Anda di halaman 1dari 8

MENGAGAS PENDIDIKAN BERBASIS WIRAUSAHA

Tiap kali pemerintah membuka pendaftaran penerimaan calon pegawai


negeri sipil
(CPNS), pendaftarnya selalu membludak. Kendatipun masyarakat tahu dan
sadar bahwa
lowongan yang tersedia tidak selaras dengan ijazah yang mereka miliki, hal
itu tak digubris.
Niat mereka tak pernah surut untuk mengadu nasib guna meraih impian,
yakni menjadi
pegawai negeri yang serba gaji pasti.
Menelisik hal di atas, kontribusi perguruan tinggi (PT) pada penciptaan
pengangguran
terbuka cukup signifikan. Pada tahun 2008, pengangguran dengan
pendidikan terakhir PT
mencapai 6.936.417 jiwa atau sekitar 7 persen dari total pengangguran (BPS
2010). Ketika
ditelusuri lebih dalam, salah satu sebabnya ialah kurang mendukungnya
kurikulum dan kultur
pendidikan di PT itu sendiri. PT kurang memberikan ruang belajar bagi
mahasiswa untuk
praktek bekerja dan menciptakan pekerjaan.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan mahasiswa menciptakan
pekerjaan pascakelulusannya dari PT, maka pendidikan keahlian dan kewirausahaan harus
diberikan sejak
mahasiswa menempuh pendidikan tingkat pertamanya. Hal ini merupakan
tuntutan bagi PT
sebagai mesin atau gudang pencipta tenaga siap kerja. Selama
ini, banyak PT hanya
berkonsentrasi pada pembekalan ilmu saja dan kurang menaruh perhatian
pada pembekalan

keahlian. PT umumnya hanya menciptakan sarjana dan diploma yang siap


mencari kerja, dan
bukan siap bekerja atau menciptakan pekerjaan sebagaimana yang
diungkapkan Ir. Ciputra:
Bangsa ini perlu melakukan lompatan kuantum untuk
menanggulangi masalah
pengangguran dan kemiskinan dengan menerapkan pendidikan
kewirausahaan. Dengan
demikian, di Indonesia akan lahir generasi pencipta kerja, bukan pencari
kerja sehingga
kemakmuran Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alamnya bisa
terwujud.
Minimnya kuliah yang mengedepankan praktek dalam kurikulum membuat
mahasiswa
gagap ketika berhadapan dengan masyarakat. Begitu juga ketika lulus
sebagai sarjana pun
mereka shock menghadapi dunia kerja yang menuntut mereka memiliki
keahlian tertentu.
Jarak antara tuntutan dunia kerja dan kondisi riil sarjana itulah yang harus
dipersempit oleh
PT dengan kurikulum yang dapat memberikan mereka bekal menghadapi
dunia kerja.
Indonesia termasuk negara yang tertinggal dalam penerapan pendidikan
kewirausahaan
dalam kurikulum PT. Kita baru menerapkannya pada tahun 1990-an,
sedangkan Amerika
Serikat (AS) sejak 1980-an telah memasukkan pendidikan kewirausahaan
dalam kurikulum
ratusan PT-nya. Hasilnya tentu dapat kita lihat hari ini di mana AS mampu
mencetak ratusan

wirausahawan muda dan unggul berkelas dunia.


Kampus perlu mengadakan perubahan paradigma bagi lulusannya. Mental
mahasiswa
harus 'dicerahkan' dengan paradigma wirausaha. Mental pegawai (karyawan)
yang selama ini
mendominasi pola pikir mahasiswa harus pelan-pelan diubah dengan
kurikulum pendidikan
kewirausahaan ini.
Mengubah pola pikir ini memang bukan pekerjaan mudah dan cepat. Butuh
waktu 5-10
tahun atau satu generasi untuk dapat merasakan hasilnya. Pola pikir kita
yang selama ini
masih ingin bekerja sebagai karyawan (dan bukan merekrut karyawan)
adalah karena kita
dididik dalam sistem pendidikan yang ingin mencetak karyawan. Pola pikir
kita adalah
warisan masa lalu, dan bila kita tetap tidak melakukan perubahan pada
masa kini, maka pola
pikir generasi mendatang akan tetap sama, bahkan bukan tidak mungkin
akan lebih buruk
dari pola pikir generasi sekarang.
Pakar kewirausahaan Peter F. Drucker mengartikan kewirausahaan sebagai
kemampuan
dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Dalam pengertian ini,
kewirausahaan
terkait erat dengan kemampuan kreasi dan inovasi. Kemampuan
wirausahawan adalah
menciptakan sesuatu yang baru atau berbeda dari yang lain, atau mampu
menciptakan
sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya.

Tujuan diajarkannya kewirausahaan adalah menanamkan semangat


kreativitas dan jiwa
inovasi dalam diri mahasiswa. Sarjana tidak boleh hanya menunggu kerja,
tapi menciptakan
kerja. Pendidikan kewirausahaan yang diberikan juga haruslah pendidikan
yang memberikan
impian dan semangat kewirausaan yang realistis. Tidak terlalu muluk-muluk
yang jauh dari
jangkauan daya pikir dan daya aksi mahasiswa.
Kegagalan pendidikan kewirausahaan beberapa PT terletak pada
aspek
keterjangkauannya. Jika kewirausahaan hanya diberikan dalam bentuk
konsep, maka yang
didapat mahasiswa adalah pemahaman pada makna, tujuan dan definisi
wirausaha itu semata.
Pendidikan kewirausahaan seharusnya dihadirkan dalam bentuknya yang
paling sederhana
sehingga mudah dipahami, diikuti dan dipraktekkan oleh mahasiswa.
Kewirausahaan bukan konsep melangit. Ia haruslah berpijak pada ruang
dan waktu
mahasiswa. Menghadirkan wirausahawan yang ada di sekitar
mahasiswa memberikan
kesempatan kepada mahasiswa untuk mempelajari secara detail
tentang latar belakang,
tujuan, manfaat dan cara bekerja wirausahawan tersebut

PENUTUP
Kesimpulan
Menghadapi permasalah pengangguran saat ini, program pendidikan
kewirausahaan baik
melalui program pendidikan kecakapan hidup atau program pemberdayaan
lainnya yang
melibatkan masyarakat harus secara serius dilaksanakan oleh pemerintah
atau pun lembaga

mitra pemerintah seperti yayasan atau lembaga swadaya


masyarakat. Program-program
tersebut harus benar-benar berorientasi pada hasil belajar untuk
menciptakan generasi
wirausahawan. Tujuan seperti ini tentu tidak bisa dilakukan dengan model
program yang
banyak terjadi saat ini yang hanya berorientasi pada penguatan materi dan
keterampilan,
namun tanpa ada dukungan penguatan mental dan nilai-nilai dalam diri
warga belajar. Oleh
karena itu pendidikan berbasis nilai dalam program pendidikan non formal
harus mulai
dikembangkan baik saat ini maupun di masa yang akan datang, mengingat
nilai-nilai tersebut
saat ini sudah mulau terkikis oleh berkembangnya kemajuan
teknologi dan akulturasi
kebudayaan asing yang masuk ke negeri ini

Daftar Pustaka
Elmubarok, Z. (2008). Membumikan Pendidikan Nilai, Mengumpulkan
yang Terserak,
menyambung yang Terputus dan Menyatukan yang Tercerai. Editor: Dudung
R.H. Bandung:
Alfabeta.
Kneller, G.F. (1971). Introduction to The Philosophy of Education, Second ed.
New York:
John Wiley & Sons, Inc.
Maryadi. (2005). Pemberdayaan Potensi Masyarakat Melalui Pendidikan
Kecakapan Hidup.
Diklus: Jurnal Pendidikan Luar Sekolah, Edisi 6, Th X, September 2005.
Jurusan Pendidikan
Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.
Muhaimin dan Mujib, A. (1993). Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung:
Trigenda Karya.
Tim Redaksi Fokusmedia. (2003). Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional (No. 20
Tahun 2003). Bandung: Fokusmedia.
Sadulloh, U. (2007). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Santoso, S. (2007). Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Qashidah Risalah ilaa
Shadiq
Karya Muhyiddin Zayith. Abstrak Online. Tersedia di [http://karyailmiah.um.ac.id/index.php/sastra-arab/article/view/422].
Siswoyo, D. Dkk. (2007). Ilmu Pendidikan. Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Negeri
Yogyakarta. Yogyakarta: UNY Press.

Sihombing, U. (2001). Pendidikan Luar Sekolah: masalah, tantangan dan


peluang. Jakarta:
Wirakarsa.
Suherman. A. (2008). Pengembangan Model Pembelajaran Kuantum
Pendidikan Jasmani
Berbasis Kompetensi di Sekolah Dasar. Mimbar Pendidikan, Jurnal
Kependidikan ISSN
0126-2025, Vol. XXXII No. 4 Tahun 2008, Pendidikan yang Kontekstual:
Pengalaman
Indonesia. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI Press).
Syohih, U. (2008). Lingkungan dan Pendidikan Indonesia. [online] tersedia

Anda mungkin juga menyukai