Anda di halaman 1dari 50

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Filariasis


2.1.1

Pengertian
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang

disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening.
Penyakit ini dapat merusak sistem limfe, menimbulkan pembengkakan pada
tangan, kaki, glandula mammae dan scrotum dan menimbulkan cacat seumur
hidup (Kemenkes RI, 2010).
Filariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria pada
manusia yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori, Loa-loa,
Onchocerca volvulus, Acanthocheilonema perstans dan Mansonella ozzardi,
dengan tiga spesies terpenting yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia
timori (Natadisastra, 2010).
Limfatik filariasis disebabkan oleh W. bancrofti, B. malayi, atau B. timori.
Parasit dewasa yang berbentuk benang berada di saluran getah bening atau
kelenjar getah bening, dan dapat bertahan selama lebih dari dua dekade. Bentuk
ini merupakan penyakit yang lebih sering diderita manusia dibandingkan bentuk
lainnya (Longo et al, 2012 : 1).
2.1.2

Penyebab Filariasis
Penyebab filariasis di Indonesia umumnya dikarenakan infeksi dari tiga

spesies cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia
timori. Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah,
terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan.
7

Secara umum, Filariasis W.bancrofti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan,


Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan
masih banyak ditemukan di Papua, Nusa Tenggara Timur, sedangkan Wuchereria
bancrofti tipe perkotaan banyak ditemukan di kota seperti di Jakarta, Bekasi,
Semarang, Tangerang, Pekalongan dan Lebak. Brugia malayi tersebar di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku. Brugia timori
terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba, umumnya endemik di
daerah persawahan. Cacing filaria secara epidemiologi dikemukakan Kemenkes
RI (2014) dibagi menjadi 6 tipe yaitu :
a. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban)
Spesies ini ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi,
Tangerang, Semarang, Pekalongan dan sekitarnya. Wuchereria bancrofti tipe
perkotaan memiliki periodisitas nokturna (mikrofilaria banyak terdapat di dalam
darah tepi pada malam hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler
organ dalam seperti paru-paru, jantung dan ginjal), ditularkan oleh nyamuk Culex
quinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga.
b. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural)
Wuchereria bancrofti tipe pedesaan ditemukan di daerah pedesaan di luar
Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai
periodisitas nokturna yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk
Anopheles, Culex dan Aedes.
c. Brugia malayi tipe periodik nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya


adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan.
d. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih
banyak ditemukan pada malam hari (subperiodik nokturna). Nyamuk penularnya
adalah Mansonia spp yang ditemukan di daerah rawa.
e. Brugia malayi tipe non periodik
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari (non
periodik). Nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia uniformis
yang ditemukan di hutan rimba.
f. Brugia timor tipe periodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya
adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan di Nusa
Tenggara Timur, Maluku Tenggara.
2.1.3

Morfologi Cacing Filaria


Daur hidup ketiga spesies cacing secara umum menurut Kemenkes RI

(2014) tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan
tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di saluran dan
kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem
peredaran darah. Mikrofilaria dapat ditemukan di dalam peredaran darah tepi pada
waktu-waktu tertentu sesuai dengan periodisitas, pada umumnya periodisitas
nokturna, yaitu banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan
pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti paru-paru, jantung

10

dan ginjal.
a. Makrofilaria
Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang
berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe.Cacing betina bersifat
ovovivipar dan berukuran 55 - 100 mm x 0,16 m, dapat menghasilkan jutaan
mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil 55 m x 0,09 mm dengan
ujung ekor melingkar. Makrofilaria dapat bertahan hidup cukup lama di dalam
kelenjar limfe, dan dapat terjadi kerusakan sistem limfe ditempat tinggal cacing
ini. Makrofilaria akan mati dengan sendirinya setelah 5-7 tahun, tetapi kerusakan
sistem limfe yang berat tidak dapat pulih kembali.
Gambar 2.1
Gambar Makrofilaria
(Sumber : Kemenkes RI, 2014, hal 18)

b. Mikrofilaria
Cacing dewasa betina, setelah mengalami fertilisasi, mengeluarkan jutaan
anak cacing yang disebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200600 m x 8 m
dan mempunyai sarung. Secara mikroskopis, morfologi spesies mikrofilaria dapat

11

dibedakan berdasarkan: ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan
giemsa, susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor.
Tabel 1. Jenis Mikrofilaria yang terdapat di Indonesia Spesimen Darah Tepi
dengan Pewarnaan Giemsa
No
1
2
3
4
5
6
7

Morfologi/
Karakteristik
Gambaran umum
dalam sediaan
darah
Perbandingan
lebar dan panjang
ruang kepala
Warna sarung
Ukuran Panjang
(m)
Inti badan
Jumlah inti di ujung
ekor
Gambaran ujung ekor

W. bancrofti

B. Malayi

B. timori

Melengkung
mulus
1:1

Melengkung
Kaku dan
Patah
1:2

Melengkung
Kaku dan
patah
1:3

Tidak berwarna

Merah muda

240 300

175 - 230

Tidak
berwarna
265 325

Halus,
tersusun
rapi
0

Kasar,
berkelompo
k
2

Kasar,
berkelompo
k
2

Seperti pita
ke arah
ujung

Ujung agak
tumpul

Ujung agak
tumpul

Gambaran morfologi ketiga jenis cacing yang telah dideskripsikan pada


tabel di atas adalah sebagai berikut :
Gambar 2.2
Morfologi 3 jenis cacing filaria
(Sumber : Kemenkes RI, 2014, hal 20)

12

Gambaran lain yang didapat dengan pewarnaan giemsa adalah morfologi


mirofilaria ketiga jenis cacing seperti tampak di bawah ini :
Gambar 2.3
Morfologi Mikrofilaria W. bancrofti pada sediaan darah tebal
(Sumber : Kemenkes RI, 2014, hal 20)

Gambar 2.4
Morfologi Mikrofilaria B. malayi pada sediaan darah tebal
(Sumber : Kemenkes RI, 2014, hal 21)

Gambar 2.5
Morfologi Mikrofilaria B. timori pada sediaan darah tebal
(Sumber : Kemenkes RI, 2014, hal 21)

c. Larva dalam tubuh nyamuk


Mikrofilaria akan terbawa masuk kedalam lambung nyamuk pada saat
nyamuk menghisap darah yang mengandung mikrofilaria, dan akan terbawa
masuk kedalam lambung nyamuk yang selanjutnya mikrofilaria melepaskan

13

selubungnya, serta menembus dinding lambung lalu bergerak menuju otot atau
jaringan lemak di bagian dada. Mikrofilaria setelah 3 hari, mengalami
perubahan bentuk menjadi larva stadium 1 (L1), bentuknya seperti sosis
berukuran 125-250 m x 10-17 m, dengan ekor runcing seperti cambuk. Larva
tumbuh menjadi larva stadium 2 (L2) setelah 6 hari dalam tubuh nyamuk,
disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300 m x 15-30 m, dengan ekor
yang tumpul atau memendek. Larva pada stadium menunjukkan adanya gerakan.
Hari ke 8 -10 pada spesies Brugia atau hari ke 10 - 14 pada spesies Wuchereria,
larva dalam nyamuk tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran 1400
m x 20 m. L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif.
Stadium 3 ini merupakan cacing infektif.
Gambar 2.6
Larva pada berbagai stadium
(Sumber : Kemenkes RI, 2014, hal 20)

2.1.4

Faktor yang Berperan dalam Penularan Filariasis


Penularan filariasis sampai menyebabkan terjadinya infeksi menurut

Kemenkes RI (2014) melibatkan 3 hal yaitu adanya vektor dalam hal ini nyamuk,
hospes dan lingkungan yang mendukung perkembang biakan atau memudahkan
transmisi penyakit.
a. Vektor

14

Spesies yang menjadi vektor filariasis di Indonesia hingga saat ini telah
diketahui terdapat 23 spesies dari 5 genus yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex,
Aedes dan Armigeres. Sepuluh spesies nyamuk Anopheles telah diidentifikasi
sebagai vektor Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus
merupakan vektor Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia
merupakan vektor Brugia malayi. Mansonia dan Anopheles barbirostris di
Indonesia bagian timur, merupakan vektor fialariasis yang penting dan beberapa
spesies Mansonia dapat menjadi vektor Brugia malayi tipe sub periodic nokturna.
Jenis Anopheles barbirostris merupakan vektor penting terhadap Brugia timori
yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan kepulauan Maluku Selatan.
Tempat perindukan masing-masing nyamuk berbeda-beda tergantung
jenisnya. Umumnya nyamuk beristirahat di tempat-tempat teduh, seperti semaksemak di sekitar tempat perindukan dan di dalam rumah pada tempat-tempat yang
gelap. Sifat nyamuk dalam memilih jenis mangsanya berbeda-beda, dapat hanya
menyukai darah manusia (antropofilik), darah hewan (zoofilik), atau darah hewan
dan manusia (zooantropofilik). Hal yang sama terjadi pada cara mencari
mangsanya, dapat hanya di luar rumah (eksofagik) atau dalam rumah (endofagik).
Perilaku nyamuk ini dapat berpengaruh terhadap distribusi kasus Filariasis. Setiap
daerah mempunyai spesies nyamuk berbeda-beda, dan pada umumnya terdapat
beberapa spesies nyamuk sebagai vektor utama dan spesies lainnya hanya
merupakan vektor potensial.
b. Hospes
Hospes dalam penularan infeksi filariasis dapat merupakan manusia atau

15

hewan.
1) Manusia
Infeksi filariasis pada dasarnya dapat menulari semua manusia terutama
ketika digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Vektor
infektif mendapat mikrofilaria

dari pengidap. Fakta

di lapangan

menunjukkan di suatu daerah endemis filariasis tidak semua orang terinfeksi


dan orang yang terinfeksi tidak semua menunjukkan gejala klinis, walaupun
sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuh. Penduduk
pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai risiko terinfeksi
lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non
endemis ke
daerah endemis, seperti transmigran, dapat menunjukkan gejala klinis yang
lebih berat walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit
mengandung mikrofilaria. .
2) Hewan
Penelitian terhadap kasus penularan filariasis memperlihatkan bahwa
terdapat beberapa jenis hewan yang berperan sebagai sumber penularan.
Spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, jenis Brugia
malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik ditemukan pada lutung
(Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus).
Penanggulangan Filariasis pada hewan reservoir lebih sulit yang
menyebabkan upaya pemberantasan filariasis pada manusia mempunyai
tingkat kesulitan tinggi.

16

c. Lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata
rantai penularannya. Daerah endemis Brugia malayi adalah daerah dengan hutan
rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman air,
sedangkan daerah endemis Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah
daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan
air kotor sebagai habitat dari vektor yaitu nyamuk Culex quinquefasciatus. Daerah
endemis Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural) secara umum sama dengan
kondisi lingkungannya pada daerah endemis Brugia malayi.
Lingkungan secara umum dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik,
lingkungan biologi, dan lingkungan sosial ekonomi serta budaya.
1) Lingkungan fisik
Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis,
struktur geologi dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan
kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumbersumber penularan Filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempattempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk. Suhu dan kelembaban
berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk.
Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya hospes reservoir
(kera, lutung dan kucing) berpengaruh terhadap penyebaran B.malayi
subperiodik nokturna dan non periodik.
2) Linkungan biologik
Lingkungan biologik dapat menjadi rantai penularan filariasis. Lingkungan

17

biologik yang dapat menjadi tempat atau reservoir jentik nyamuk adalah
adanya tanaman air yang memudahkan pertumbuhan nyamuk Mansonia spp.
Gambar 2.7
Lingkungan fisik tempat perindukan vektor filariasis
(Sumber : Kemenkes RI, 2014, hal 25)

3) Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya


Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya adalah lingkungan yang timbul
sebagai akibat adanya interaksi antar manusia, termasuk perilaku, adat
istiadat, budaya, kebiasaan dan tradisi penduduk. Kebiasaan bekerja di
kebun pada malam hari atau kebiasaan keluar pada malam hari, kebiasaan
tidur perlu diperhatikan karena berkaitan dengan intensitas kontak dengan
vektor. Insiden filariasis pada laki-laki lebih lebih tinggi daripada
perempuan karena umumnya lakilaki lebih kontak dengan vektor karena
pekerjaannya.
2.1.5

Rantai Penularan
Proses dan faktor penularan filariasis menurut Kemenkes RI (2014)

sebagaimana dibahas sebelumnya, dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu adanya
sumber penularan, baik manusia atau hospes reservoir yang mengandung

18

mikrofilaria dalam darahnya, vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan


filariasis; dan manusia yang rentan terhadap filariasis.

a. Faktor cara nyamuk menghisap darah manusia


Seseorang akan tertular filariasis, ketika mendapat gigitan nyamuk infektif.
Proses perpindahan cacing filaria dari nyamuk ke manusia adalah sebagai berikut:
1) Nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3-L3) menggigit
manusia,
2) Larva L3 akan keluar dari probosisnya dan tinggal dikulit sekitar lubang
gigitan nyamuk.
3) Larva L3 akan masuk melalui lubang bekas gigitan nyamuk dan bergerak
menuju ke sistem limfe, pada saat nyamuk menarik probosisnya.
Gambar 2.8
Skema Rantai Penularan Filariasis Wuchereria bancrofti
(Sumber : Kemenkes RI, 2014, hal 26)

19

Proses penularan filariasis, berbeda dengan penularan pada malaria dan


demam berdarah. Perbedaan terletak pada proses perpindahan larva L3 dari
nyamuk ke manusia, yang terjadi dengan alur yang tidak mudah, sehingga rantai
penularan cacing filaria pada suatu daerah tertentu tidak semudah penularan
demam berdarah dan malaria.
Gambar 2.9
Siklus Hidup Cacing Filariasis
Microfilaria (L3) nyamuk
Manusia
(Sumber : Kemenkes RI, 2014, hal 27)

b. Faktor daur hidup cacing filaria dalam tubuh manusia


Rantai penularan Filariasis pada suatu daerah juga dipengaruhi oleh
perkembangan larva L3 dalam tubuh manusia menjadi cacing filaria dewasa, lama
hidup dan kemampuan memproduksi anak cacing filaria (mikrofilaria) yang dapat
menular (infektif).
Gambar 2.10
Daur Hidup Mikrofilaria
Makrofilaria
Mikrofilaria
dalam Tubuh Manusia
(Sumber : Kemenkes RI, 2014, hal 27)

1) Makrofilaria dan Mikrofilaria

20

Larva L3 berkembang menjadi cacing dewasa (makrofilaria), kemudian


cacing dewasa ini akan menghasilkan ribuan anak cacing (mikrofilaria)
perhari. Cacing dewasa tidak menular, tetapi anak cacing yang berada di
peredaran darah tepi akan terhisap oleh nyamuk yang menggigitnya dan
kemudian ditularkan kembali pada orang lain.
2) Masa Perkembangan Makrofilaria
Larva L3 ketika memasuki dalam tubuh manusia, memerlukan periode
waktu lama untuk berkembang menjadi cacing dewasa. Larva L3 Brugia
malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu
lebih dari 3,5
bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu kurang lebih 9
ulan (6-12 bulan).
3) Lama hidup cacing dewasa dalam tubuh manusia
Cacing dewasa (makrofilaria) yang ada dalam tubuh manusia mampu
bertahan hidup selama 5-7 tahun. Selama hidup yang lama tersebut, dapat
menghasikan ribuan mikroflaria setiap hari, sehingga dapat menjadi sumber
penularan dalam periode waktu yang sangat panjang.
4) Waktu-waktu penularan mikroflaria pada nyamuk
Mikrofilaria dapat terhisap oleh nyamuk yang mengigit manusia (menular
pada nyamuk). Mikrofilaria berada di darah tepi. Oleh karena itu, di daerah
dimana mikrofilaria bersifat periodik nokturna, yaitu mikrofilaria keluar
memasuki peredaran darah tepi pada malam hari, dan bergerak ke organorgan dalam pada siang hari, mikrofilaria menular pada nyamuk yang aktif

21

pada malam hari. Daerah dengan microfilaria subperiodik nokturna dan non
periodik, penularan dapat terjadi pada siang dan malam hari.

c. Faktor daur hidup cacing filaria dalam tubuh nyamuk


1) Perkembangan menjadi cacing infektif
Mikrofilaria yang terhisap oleh nyamuk, tidak segera menjadi infektif, tetapi
memerlukan perkembangan menjadi larva L1, larva L2 dan akhirnya
menjadi larva L3 yang infektif (masa inkubasi ektrinsik). Spesies Brugia
memerlukan waktu 8-10 hari, spesies Wuchereria memerlukan waktu 10-14
hari.
Gambar 2.11
Perkembangan Mikrofilaria dalam Tubuh Nyamuk
(Sumber : Kemenkes RI, 2014, hal 28)

2) Kemampuan perkembangan mikrofilaria dalam tubuh nyamuk


Kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah
manusia yang positif mikrofilaria sangat terbatas, tetapi terlalu banyak
mikrofilaria terhisap, dapat menyebabkan kematian nyamuk tersebut. Hal
sebaliknya terjadi, mikrofilaria yang terhisap oleh nyamuk terlalu sedikit,
maka kemungkinan terjadinya penularan menjadi kecil karena stadium larva

22

L3 yang dihasilkan menjadi lebih sedikit. Hal lain yang mempengaruhi


rantai penularan adalah kepadatan vektor, suhu dan kelembaban. Suhu dan
kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk, sehingga mikrofilaria
yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya untuk tumbuh
menjadi larva infektif L3.
3) Faktor pemukiman dan perpindahan penduduk
Faktor mobilitas penduduk dari daerah endemis ke non endemis atau
sebaliknya, merupakan pendukung lain yang berpotensi menjadi media
terjadinya penyebaran Filariasis antar daerah.
4) Hospes filaria
Spesieis Brugia malayi tipe sub periodik dan non periodik juga terdapat
pada kucing dan kera dengan nyamuk penularnya adalah nyamuk mansonia.
Adanya binatang yang menjadi hospes cacing filaria, akan menjadi salat
satu masalah dalam upaya eliminasi filariasis di Indonesia.
Gambar 2.12
Skema Rantai Penularan Filariasis Limfatik

2.1.6

Manifestasi Klinis Filariasis Limfatik

23

Presentasi yang paling umum dari filariasis limfatik adalah tidak


menunjukkan gejala (atau subklinis) dari mikrofilaria, hidrokel, adenolimfangitis
akut, atau penyakit limfatik kronis. Penduduk yang telah berdiam sejak lama di
daerah endemik filariasis yang disebabkan W. bancrofti atau B. malayi, akan
menunjukkan gejala infeksi lebih sedikit meskipun mikrofilaria yang beredar
dalam darah perifer sangat besar. Adanya kemungkinan asimtomatik secara klinis,
namun hampir semua orang dengan W. bancrofti atau B. mikrofilaria malayi
memiliki beberapa tingkat penyakit subklinis yang meliputi hematuria
mikroskopik dan / atau proteinuria, pelebaran (atau menjadi berliku-liku) saluran
limfatik dan pada pria dengan W. bancrofti terjadi lymphangiektasia, meskipun
temuan ini, mayoritas individu dapat tetap asimtomatik secara klinis selama
bertahun-tahun, akan tetapi pada sebagian kecil orang dapat progresifitas infeksi
dapat menjadi penyakit akut atau kronis.
Penderita yang mengalami adenolimfangitis akut, akan mengalami demam
tinggi, peradangan limfatik (lymphangitis dan limfadenitis), dan edema lokal
sementara. lymphangitis adalah retrograde, memperluas pengeringan daerah
perifer kelenjar getah bening di mana parasit dewasa berada. Kelenjar getah
bening regional sering membesar, dan seluruh saluran limfatik dapat menjadi
melepuh dan meradang. Tromboflebitis lokal bersamaan dapat terjadi. Filariasis
jenis brugian, dapat menyebabkan terbentuknya abses lokal tunggal di sepanjang
saluran limfatik yang terlibat dan kemudian pecah ke permukaan. Limfadenitis
dan limfangitis dapat melibatkan kedua ekstremitas atas dan bawah baik infeksi
karena W. bancrofti dan filariasis brugian, kecuali limfatik genital umumnya

24

hanya disebabkan infeksi oleh W. bancrofti. Keterlibatan kelamin ini dapat


diwujudkan dengan funiculitis, epididimitis, dan nyeri skrotum.
Daerah endemik filariasis dapat ditemukan jenis lain berupa penyakit kulit
akut lymphangio adenitis (DLA). Penyakit kulit ini diakui sebagai sindrom yang
mencakup demam tinggi, menggigil, mialgia, dan sakit kepala. plak inflamasi
edema jelas batas-batasnya dari kulit normal terlihat. Vesikel, bisul, dan
hiperpigmentasi merupakan keluahan lain yang dilaporkan. Sering ada riwayat
trauma, luka bakar, radiasi, gigitan serangga, luka punctiform, atau cedera kimia.
lesi masuk, terutama di daerah interdigital, yang umum. DLA sering didiagnosis
sebagai selulitis.
Kerusakan limfatik yang berlangsung terus-menerus, dapat mengakibatkan
lymphedema transient berkembang menjadi obstruksi limfatik dan perubahan
permanen terkait dengan elephantiasis, edema berotot disertai edema pitting, dan
penebalan jaringan subkutan dan terjadi hiperkeratosis. Fissuring kulit
berkembang, seperti halnya perubahan hiperplastik. Superinfeksi dari jaringanjaringan buruk vaskularisasi menjadi masalah. Filariasis bancroftian, yang
mengenai kelamin umumnya dapat diikuti dengan hydroceles, dan dalam stadium
lanjut, kondisi ini dapat berkembang menjadi lymphedema skrotum dan kaki
gajah skrotum. Peningkatan tekanan limfatik ginjal yang dapat menyebabkan
pecahnya limfatik ginjal dan pengembangan chyluria, yang biasanya intermiten
dan paling menonjol di pagi hari, dapat dialami penderita jika ada obstruksi
limfatik retroperitoneal, (Longo et al, 2012 : 3).
2.1.7

Diagnosis

25

Diagnosis pasti dapat dibuat hanya dengan deteksi parasit dan karenanya
bisa sulit. Cacing dewasa lokal di pembuluh getah bening atau node sebagian
besar tidak dapat diakses. Mikrofilaria dapat ditemukan dalam darah, cairan
hidrokel, atau (kadang-kadang) dalam cairan tubuh lainnya. cairan tersebut dapat
diperiksa secara mikroskopis, baik secara langsung atau-untuk konsentrasi
sensitivitas-setelah lebih dari parasit dengan bagian cairan melalui filter
polikarbonat silinder-pori (ukuran pori, 3 m) atau dengan sentrifugasi cairan tetap
di 2% formalin (teknik konsentrasi Knott ini). Waktu pengumpulan darah sangat
penting dan harus didasarkan pada periodisitas mikrofilaria di daerah endemik.
Banyak orang yang terinfeksi tidak memiliki microfilaremia, dan diagnosis
definitif dalam kasus tersebut sulit. Tes untuk sirkulasi antigen dari W. bancrofti
mengizinkan diagnosis infeksi amicrofilaremic dan samar (amicrofilaremic). Dua
tes yang tersedia secara komersial: sebuah immunosorbent assay enzim-linked
(ELISA) dan tes kartu immunochromatographic. Kedua tes memiliki sensitivitas
93-100% dan spesifitas mendekati 100%. Saat ini tidak ada tes untuk sirkulasi
antigen di filariasis brugian.
Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) berbasis tes untuk DNA
dari W. bancrofti dan B. malayi dalam darah telah dikembangkan. Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa sensitivitas metode diagnostik ini setara dengan
atau lebih besar dari metode parasitologis. Kasus dugaan filariasis limfatik,
pemeriksaan skrotum, kelenjar getah bening, atau (pada pasien wanita) payudara
dengan cara USG frekuensi tinggi dalam hubungannya dengan teknik Doppler
dapat menidentifikasi cacing dewasa motil dalam limfatik melebar. Cacing dapat

26

divisualisasikan dalam limfatik dari korda spermatika di hingga 80% dari pria
yang terinfeksi W. bancrofti. cacing dewas, memiliki pola hidup yang khas dari
gerakan dalam pembuluh limfatik (disebut filaria tanda tari).
Pencitraan lymphoscintigraphic radionuklida dari anggota badan andal
menunjukkan kelainan limfatik luas di kedua orang microfilaremic subklinis dan
orang-orang dengan manifestasi klinis patologi limfatik. Penggambaran
perubahan anatomi, dari utilitas potensial yang berhubungan dengan infeksi, hasil
limfoskintigrafi tidak mungkin untuk dianggap yang utama dalam evaluasi
diagnostik individu yang dicurigai infeksi; Eosinofilia dan serum konsentrasi IgE
dan antibodi antifilarial mendukung diagnosis

filariasis

limfatik. Ada,

bagaimanapun, luas reaktivitas silang antara antigen filaria dan antigen dari cacing
lain, termasuk cacing gelang usus, dengan demikian, interpretasi temuan serologi
bisa sulit. Warga dari daerah endemis dapat menjadi peka terhadap antigen filaria
(dan dengan demikian menjadi serologis positif) melalui paparan nyamuk yang
terinfeksi tanpa infeksi filaria.
Lymphangitis berhubungan dengan filariasis limfatik harus dibedakan
dari tromboflebitis, infeksi, dan trauma. evolusi retrograde adalah fitur
karakteristik yang membantu membedakan lymphangitis filaria dari naik
limfangitis bakteri. lymphedema filarial kronis juga harus dibedakan dari
lymphedema keganasan, jaringan parut pasca operasi, trauma, negara edema
kronis, dan bawaan kelainan sistem limfatik (Longo et al, 2012 : 5)
2.1.8

Pengobatan Filariasis
Definisi baru dari sindrom klinis di filariasis limfatik dan alat-alat baru

27

untuk menilai status klinis (misalnya, ultrasound, limfoskintigrafi, beredar tes


antigen filarial, PCR), pendekatan untuk pengobatan berdasarkan status infeksi
dapat dipertimbangkan. Pengobatan yang dapat dilakukan salah satunya
penggunaan dietilkarbamazin [(DEC), 6 mg / kg sehari selama 12 hari], yang
memiliki kedua sifat makro dan microfilaricidal, tetap merupakan obat pilihan
untuk pengobatan filariasis limfatik aktif (didefinisikan oleh mikrofilaria, antigen
positif, atau cacing dewasa di USG ), meskipun albendazole (400 mg dua kali
sehari selama 21 hari) juga menunjukkan efikasi macrofilaricidal. Kursus 4- 6
minggu doxycycline (menargetkan intraseluler Wolbachia) juga memiliki aktivitas
macrofilaricidal signifikan, karena memiliki Desember / albendazole digunakan
setiap hari selama 7 hari. Penambahan Desember untuk kursus 3 minggu
doxycycline baru-baru ini terbukti manjur dalam filariasis limfatik.
Rejimen yang menggabungkan dosis tunggal albendazole (400 mg)
dengan DEC (6 mg / kg) atau ivermectin (200 g / kg) semua memiliki efek
microfilaricidal berkelanjutan dan merupakan andalan dari program untuk
pemberantasan filariasis limfatik di Afrika (albendazole / ivermectin) dan di
tempat lain (albendazole / DEC) (lihat "Pencegahan dan Pengendalian," bawah).
Filariasis, seperti telah disebutkan, meskipun mungkin asimtomatik,
hampir semua orang dengan W. bancrofti atau B. microfilaremia malayi memiliki
beberapa tingkat penyakit subklinis (hematuria, proteinuria, kelainan pada
limfoskintigrafi). Pengobatan dini untuk orang tanpa gejala dengan demikian
dianjurkan untuk mencegah kerusakan limfatik lebih lanjut. Terapi suportif
(termasuk administrasi antipiretik dan analgesik) pada kasus lymphangitis

28

dianjurkan, seperti terapi antibiotik jika infeksi bakteri sekunder mungkin.


Pengobatan dengan DEC direkomendasikan untuk operator microfilaria-negatif
cacing dewasa, karena penyakit limfatik dikaitkan dengan kehadiran cacing ini.
Rejimen pengobatan yang menekankan kebersihan, pencegahan infeksi
bakteri sekunder, dan fisioterapi telah mendapatkan penerimaan luas untuk kontrol
morbiditas pada orang dengan manifestasi kronis filariasis limfatik, Rejimen ini
mirip dengan yang direkomendasikan untuk lymphedema dengan penyebab
nonfilarial dan dikenal dengan berbagai nama, termasuk decongestive fisioterapi
kompleks dan terapi lymphedema kompleks. Kasus hydroceles dapat dikelola
melalui pembedahan, dan manifestasi kronis filariasis limfatik, terapi obat harus
disediakan untuk individu dengan bukti infeksi aktif.
Efek samping dari pengobatan DEC dapat berupa demam, menggigil,
arthralgia, sakit kepala, mual, dan muntah. Kedua pengembangan dan keparahan
dari reaksi ini secara langsung berkaitan dengan jumlah mikrofilaria yang beredar
dalam aliran darah. Reaksi yang merugikan dapat mewakili baik reaksi
hipersensitivitas akut terhadap antigen yang dirilis oleh parasit mati dan sekarat
atau reaksi inflamasi yang disebabkan oleh endosymbionts Wolbachia intraseluler
dibebaskan dari niche intraseluler mereka.
Obat lain yang memiliki profil efek samping yang sama dengan DEC
bila digunakan dalam filariasis limfatik adalah Ivermectin. Pasien yang terinfeksi
L. loa, yang memiliki tingkat Loa microfilaremia, DEC-seperti ivermectin (dapat
menimbulkan komplikasi encephalopathic parah. sehinga untuk pengobatan
filariasis limfatik digunakan albendazole dalam regimen dosis tunggal, karena

29

dikaitkan dengan relatif sedikit efek samping (Longo et al, 2012 : 6)


2.1.9

Pencegahan dan Pengawasan


Tindakan yang harus dilakukan untuk melindungi diri terhadap infeksi

filaria, diantaranya individu harus menghindari kontak dengan nyamuk yang


terinfeksi dengan menggunakan langkah-langkah perlindungan pribadi termasuk
kelambu, terutama yang diresapi dengan insektisida seperti permetrin. Intervensi
berbasis masyarakat adalah pendekatan saat ini untuk penghapusan filariasis
limfatik sebagai masalah kesehatan masyarakat. Prinsip yang mendasari
pendekatan ini adalah bahwa distribusi tahunan massa anti mikrofilaria
kemoterapi-albendazole

dan

DEC

atau

ivermectin-akan

amat

menekan

mikrofilaria. Penekanan yang berkelanjutan, maka transmisi dapat terganggu.


Obat ini dibuat oleh Organisasi Kesehatan Dunia pada tahun 1997,
Program Global Menghilangkan limfatik Filariasis berdasarkan administrasi
massa dosis tahunan tunggal DEC ditambah albendazole di daerah non-Afrika dan
Albendazole ditambah ivermectin di Afrika. informasi yang tersedia di akhir
tahun 2008 menunjukkan bahwa> 695 juta orang di 51 negara telah sejauh
berpartisipasi. Pengobatan ini tidak hanya bertujuan mengeliminasi filariasis
limfatik di beberapa daerah yang ditetapkan, namun dapat bermanfaat dalam
menghindari kecacatan serta dapat digunakan mengobati cacing usus serta kondisi
lain (misalnya, kudis dan kutu kutu). Keampuhan obat ini telah terbukti secara
empiris. Strategi lain yang dirancang untuk program secara global dan sedang
disempurnakan, yaitu upaya yang dilakukan untuk mengintegrasikan dengan
strategi lain masal pengobatan (misalnya, program cacingan, pengendalian

30

malaria, dan kontrol trachoma) (Longo et al, 2012 : 7).


2.2 Tinjauan Variabel Independent
2.2.1 Konsep Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan adalah cara dan usaha individu atau masyarakat untuk
memantau dan mengendalikan lingkungan hidup eksternal yang berbahaya bagi
kesehatan serta yang dapat mengancam kelangsungan hidup manusia. Usahausaha yang dapat dilakukan meliputi penyediaan air bersih, mencegah terjadinya
pencemaran udara, air dan tanah serta memutuskan mata rantai penularan penyakit
infeksi dan lain-lain yang dapat membahayakan serta menimbulkan kesakitan
pada manusia atau masyarakat (Chandra, 2010).
Sanitasi lingkungan menurut Rao (2010) adalah pengendalian terhadap
segala faktor dalam lingkungan fisik seseorang yang dapat memberikan pengaruh
buruk terhadap perkembangan fisik, kesehatan dan kelangsungan hidup.
Lingkungan dimaksud adalah keseluruhan kondisi eksternal yang mempengaruhi
hidup dan perkembangan dari organisme, perilaku manusia dan masyarakat.
Lingkungan eksternal meliputi lingkungan fisik seperti air, makanan, rumah,
pekerjaan, cuaca dan iklim, yang menjadi kekuatan fisik dimana manusia tiap hari
berinteraksi. Lingkungan biologis adalah seluruh mahluk hidup yang kontak
dengan manusia seperti serangga, binatang, parasit, mikro organisme dan
tingkatan nutrisi. Lingkungan eksternal berikutnya adalah lingkungan sosial yang
teridir atas nilai-nilai budaya, kebiasaan, kepercayaan, sikap status ekonomi,
agama dan standar hidup.

31

Sanitasi dasar adalah sanitasi minimum yang diperlukan untuk menyediakan


lingkungan sehat yang memenuhi syarat kesehatan yang menitikberatkan pada
pengawasan berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan
manusia. Upaya sanitasi dasar meliputi penyediaan air bersih, pembuangan
kotoran manusia (jamban), pengelolaan sampah dan saluran pembuangan air
limbah (Effendy, 2010).

2.2.2 Penyediaan Air Bersih


Air merupakan salah satu bahan pokok yang mutlak dibutuhkan oleh
manusia sepanjang masa. Air mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan.
Perhatian terhadap air yang dipergunakan masyarakat harus dilakukan agar tidak
mengganggu kesehatan manusia. Air yang baik harus didapatkan sesuai dengan
standar tertentu, sehingga saat ini menjadi barang yang mahal karena air sudah
banyak tercemar oleh bermacam-macam limbah dari hasil kegiatan manusia, baik
limbah dari kegiatan industri dan kegiatan lainnya (Wardhana, 2010).
a. Sumber air bersih
Air yang berada di permukaan bumi dapat berasal dari berbagai sumber.
Sumber-sumber tersebut menurut Chandra (2010) air dapat dibagi sebagai
berikut:
1) Air angkasa (hujan)
Air hujan merupakan sumber utama air di bumi. Air dari sumber ini,
walaupun pada saat presipitasi merupakan air yang bersih, namun air

32

tersebut mengalami pencemaran ketika berada di atmosfer. Pencemaran di


atmosfer dapat disebabkan oleh partikel debu, mikroorganisme, dan gas
(karbon dioksida, nitrogen, dan amonia).
2) Air permukaan
Air permukaan meliputi badan-badan air seperti sungai, danau, telaga,
waduk, rawa, air terjun, dan sumur permukaan. Air permukaan sebagian
besar berasal dari air hujan. Air hujan tersebut kemudian dapat mengalami
pencemaran baik oleh tanah, sampah, dan lainnya. Air permukaan
merupakan salah satu sumber penting bahan baku air bersih, meskipun
dibandingkan dengan sumber air lain, air permukaan merupakan sumber
air yang paling tercemar akibat kegiatan manusia, fauna, flora, dan zat-zat
lain. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam mengkonsumsi air
permukaan seperti mutu atau kualitas baku, kuantitas dan kontinuitas.
3) Air tanah
Air tanah merupakan sebagian air hujan yang mencapai permukaan bumi
dan menyerap ke dalam lapisan tanah dan menjadi air tanah. Sumber air
yang berasal dari air tana, sebelum mencapai lapisan tempat air tanah, air
hujan akan menembus beberapa lapisan tanah dan menyebabkan terjadinya
kesadahan air. Kesadahan pada air akan menyebabkan air mengandung zatzat mineral (kalsium, magnesium, dan logam berat) dalam konsentrasi.
A i r d e n g a n k e s a d a h a n t i n g g i , bila digunakan untuk mencuci,
sabun yang digunakan tidak akan berbusa dan bila diendapkan akan
terbentuk endapan semacam kerak.

33

4) Sumur
Sumur merupakan salah satu sumber air bersih yang masih banyak
digunakan oleh masyarakat pedesaan maupun perkotaan. Sumur terbagi
atas dua, yaitu (Chandra, 2010):
a) Sumur dangkal (shallow well)
Sumur ini memiliki sumber air yang berasal dari resapan air hujan di
atas permukaan bumi terutama di daerah dataran rendah. Jenis sumur
ini banyak terdapat di Indonesia dan mudah sekali terkontaminasi air
kotor yang berasal dari kegiatan mandi-cuci-kakus (MCK) sehingga
persyaratan sanitasi yang ada perlu diperhatikan.
b) Sumur dalam (deep well)
Sumur ini memiliki sumber air yang berasal dari proses purifikasi alami
air hujan oleh lapisan kulit bumi menjadi air tanah. Sumber airnya
tidak terkontaminasi dan memenuhi persyaratan sanitasi.
Tabel 2.1. Perbedaan antara Sumur Dangkal dan Sumur Dalam
No
Karakteristik
1 Sumber air
2 Kualitas air
3 Kualitas
4

Bakteriologis
Persediaan

Sumur dangkal
Air permukaan
Kurang baik
Kontaminasi

Sumur dalam
Air tanah
Baik
Tidak terkontaminasi

Kering pada musim

Tetap ada sepanjang

kemarau
tahun
Sumber: Pengantar Kesehatan
Lingkungan Tahun 2010

b. Standar air bersih


Air dinyatakan bersih bila memenuhi beberapa persyaratan seperti yang
dituangkan

dalam

Permenkes

RI

Nomor

492/MENKES/PER/IV/2010.

34

Persyaratan tersebeut meliputi :


1) Syarat fisik, antara lain :
a) Air harus bersih dan tidak keruh
b) Tidak berwarna
c) Tidak berasa
d) Tidak berbau
e) Suhu antara 10-25 C (sejuk)
f) Tidak meninggalkan endapan

2) Syarat kimiawi, antara lain:


a) Tidak mengandung bahan kimiawi yang mengandung racun.
b) Tidak mengandung zat-zat kimiawi yang berlebihan
c) Cukup yodium
d) pH air antara 6,5 9,2
c. Air minum
1) Pengertian
Air

minum

menurut

KEPMENKES

RI

NOMOR

907/MENKES/SK/VII/2002 adalah air yang melalui proses pengolahan atau


tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat
langsung di minum (Kemenkes RI, 2010).
2) Sumber air minum
Air yang akan digunakan sebagai air minum menurut Muscari (2007) dapat
berasal dari beberapa sumber antara lain :

35

a)

Air permukaan adalah air yang terdapat pada

permukaan tanah. Air ini misalnya air sungai, air rawa dan
danau.
b)

Air tanah yang tergantung kedalamannya bisa

disebut air tanah dangkal atau air tanah dalam. Air dalam
tanah adalah air yang diperoleh pengumpulan air pada
lapisan tanah yang dalam, misalnya air sumur, air dari mata
air.
c)

Air angkasa yaitu air yang berasal dari atmosfir, seperti hujan dan

salju

3) Standar air minum


Ada beberapa parameter yang harus dipenuhi untuk mengklasifikasikan air
yang akan dijadikan sumber air minum layak untuk digunakan. Parameter
tersebut menurut Permenkes RI Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 adalah
sebagai berikut :
a) Parameter Kualitas Fisik Air Minum
Ada beberapa parameter yang digunakan sebagai indikator kualitas fisik
air minum, antara lain :
(1) Suhu
Temperatur dari air akan mempengaruhi penerimaan (acceptance)
masyarakat akan air tersebut dan dapat mempengaruhi pula reaksi

36

kimia dalam pengelolaan, terutama apabila temperatur tersebut


sangat tinggi.
(2) Warna
Air yang murni itu tidak berwarna, walaupun air murni dikatakan
tidak berwarna, namun kalau dipandang maka air itu menimbulkan
warna biru-hijau muda apabila volumenya cukup banyak. Warna
dibagi dalam dua jenis, yaitu warna sejati dan warna semu, warna
sejati ditimbulkan oleh kolodial-kolodial organik atau zat-zat
terlarut. Warna semu ditimbulkan oleh suspensi partikel-partikel
penyebab kekeruhan.
(3) Bau
Air yang memenuhi standar kualitas harus bebas dari bau. Biasanya
bau disebabkan oleh bahan-bahan organik yang dapat membusuk
serta senyawa kimia lainnya seperti phenol, chlor, chlorida,
chloropenol dan zat-zat organik kompleks lainnya. Bau pada air juga
biasanya berasal dari sumber-sumber biologis seperti alga, bakteri,
pembusukan zat-zat organik.
(4) Rasa
Biasanya bau dan rasa terjadi bersama-sama, yaitu akibat adanya
dekomposisi bahan organik di dalam air. Hal yang sama terjadi bila
air mengandung senyawa kimia tertentu menyebabkan rasa di dalam
air seperti NaCl menyebabkan air menjadi asin.
(5) Kekeruhan

37

Kekeruhan dalam air dapat disebabkan oleh cloy, pasir, zat-zat


organik dan anorganik yang halus, plankton dan mikroorganisme
lainnya. Kekeruhan dapat pula disebabkan oleh partikel-partikel
tanah liat, lempung, lanan atau akibat buangan rumah tangga
maupun limbah industri.
b) Parameter Kualitas Kimia Air Minum
Parameter kimia yang penting dipenuhi dalam air minum agar aman
digunakan yaitu :
(1) Total Solids
Pengaruh

yang

menyangkut

aspek

kesehatan

daripada

penyimpangan standar kualitas air minum dalam hal total solids ini,
yakni bahwa air akan memberi rasa yang tidak enak pada lidah, rasa
mual dan terjadinya cardiac disease serta toxaemia pada wanitawanita hamil.
(2) Sulfat
Ion sulfat adalah salah satu anion yang banyak terjadi pada air alam.
Ia merupakan sesuatu yang penting dalam penyediaan air untuk
umum karena pengaruh pencucian perut yang bisa terjadi pada
manusia apabila ada dalam konsentrasi yang cukup besar.
(3) Khlorida
Kadar khlorida lebih besar dari 200 ppm dalam air akan
menimbulkan rasa asin bila air tersebut di minum. Di atas 600 ppm
kandungan khlorida suatu air tidak boleh digunakan untuk menyiram

38

tanaman.
(4) Flourida
Air minum tidak boleh lebih tinggi dari 2 ppm dan lebih rendah dari
1 ppm. Jika kadarnya lebih tinggi dapat menimbulakan warna coklat
pada gigi, sedangkan bila lebih kecil dari 1 ppm dapat menimbulkan
pengrusakan pada anak-anak atau dental caries.
(5) Magnesium
Kalsium dan magnesium adalah elemen-elemen pokok penyebab
kesadaran dalam air. Dalam jumlah kecil magnesium dibutuhkan
oleh tubuh untuk pertumbuhan tulang, akan tetapi dalam jumlah
yang lebih besar dari 150 mg/l dapat menyebabkan rasa mual.
(6) Besi dan Mangan
Kadar besi yang tinggi dalam air dapat menimbulkan noda-noda
coklat pada tekstil dan perlengkapan plambing lainnya dan
menimbulakn korosi pada pipa-pipa/perlengkapan-perlengkapan dari
metal. Mangan dalam konsentrasi yang tinggi adalah racun bagi
manusia tapi tidak dalam konsentrasi yang umum terdapat dalam air
dan hal-hal yang ditimbulkan sama dengan besi.
(7) Timbal
Timbal (Pb) sangat berbahaya bagi kesehatan manusia karena dapat
terakumulasi dalam tubuh manusia.
(8) Copper
Konsentrasi maksimum Cu yang dibolehkan adalah 1,5 ppm. Pada

39

dosis 0,3 ppm Cu merupakan racun bagi ikan-ikan tertentu.


(9) Hidrogen sulfida
Salah satu dari tiga gas-gas yang perlu diperhatikan dalam air adalah
H2S. Gas ini berbau seperti telur busuk dan sangat korosif.
(10)

Karbondioksida
Gas ini sangat korosif dan merupakan masalah utama bor dalam
suatu sistem sumur bor.

c) Parameter Bakteriologis Air Minum


Kandungan bakteriologis yang sesuai dengan standar kualitas air
minum telah ditetapkan bahwa setiap 100 ml contoh air MPN coliform
bakteri dan E. Coli harus nol. Penyimpangan terhadap standard ini dapat
disimpulkan bahwa air tersebut telah tercemar oleh tinja atau limbah
yang berarti dalam air tersebut kemungkinan besar terdapat kumankuman pathogenic yang membahayakan kesehatan manusia.
Mikroorganisme yang terdapat dalam air menurut Chandra (2007)
berasal dari berbagai sumber seperti udara, tanah, lumpur, tanaman
hidup atau mati, hewan hidup atau mati (bangkai), kotoran manusia atau
hewan, bahan organik lain, dan sebagainya. Mikroorganisme tersebut
mungkin tahan lama hidup dalam air karena lingkungan hidupnya yang
tidak cocok. Air merupakan medium pembawa mikroorganisme
patogenik yang berbahaya bagi kesehatan.
Jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat dalam air bervariasi
tergantung dari berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai

40

berikut (Fardiaz, 2009) :


(1) Sumber air
Sumber air dapat memengaruhi jumlah dan jenis mikroorganisme di
dalamnya, misalnya air atmosfer (air hujan, salju), air permukaan
(danau, sungai), air tanah (sumur, mata air), air tergenang, air laut,
dan sebagainya.
(2) Komponen nutrien dalam air
Air terutama air buangan sering mengandung komponen-komponen
yang dibutuhkan oleh spesies mikroorganisme tertentu. Seperti
mikroorganisme saprofit organotrofik sering tumbuh pada air
buangan yang mengandung sampah tanaman dan bangkai hewan.
(3) Komponen beracun
Komponen beracun dalam air memengaruhi jumlah dan jenis
mikroorganisme dalam air tersebut. Seperti Hidrogen Sulfida yang
diproduksi oleh mikroorganisme pembusuk dari sampah-sampah
organik bersifat racun terhadap ganggang dan mikroorganisme
lainnya. Selain itu komponen-komponen metalik, asam-asam
organik maupun anorganik, khlorin, dan sebagainya dapat
membunuh mikrooganisme dan kehidupan lainnya dalam air.
(4) Organisme air
Adanya organisme lain dalam air dapat memengaruhi jumlah dan
jenis mikroorganisme air. Adanya protozoa dan bakteriophage
mengurangi jumlah bakteri dalam air karena kedua organisme

41

tersebut dapat membunuh bakteri. Selain itu beberapa bakteri air


memproduksi antibiotik yang dapat membunuh bakteri lainnya.
(5) Faktor Fisik
Faktor-faktor fisik air seperti suhu, pH, tekanan osmotik, tekanan
hidrostatik,

aerasi,

dan

penetrasi

sinar

matahari

dapat

mempengaruhi jumlah dan jenis mikroorganisme. Jumlah dan jenis


mikroorganisme dalam air buangan dipengaruhi oleh faktor-faktor
di atas juga dipengaruhi oleh jenis polutan air tersebut. Air yang
terpolusi oleh kotoran hewan dan manusia mengandung bakteribakteri yang berasal dari kotoran seperti Escherichia coli,
streptokoki fekal, atau Clostridium perfringens.

d. Parameter Radioaktif Air Minum


Parameter Radioaktif pada air minum yaitu sinar alpha dan sinar beta.
Apapun bentuk radioaktivitas efeknya sama, yakni menimbulkan kerusakan pada
sel terpapar. Kerusakan dapat berupa kematian, perubahan genetik dan lain-lain.
2.2.3 Pembuangan Kotoran Manusia
Tinja adalah bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia melalui
anus sebagai sisa dari proses pencernaan (tractus digestifus). Dalam ilmu
kesehatan lingkungan dari berbagai jenis kotoran manusia, yang lebih
dipentingkan adalah tinja (feces) dan air seni (urine) karena kedua bahan buangan
ini memiliki karakteristik tersendiri dan dapat menjadi sumber penyebab

42

timbulnya berbagai macam penyakit saluran pencernaan (Soeparman dan


Suparmin, 2011).
Kotoran manusia ditinjau dari sudut kesehatan, merupakan masalah yang
sangat penting, karena jika pembuangannya tidak baik maka dapat mencemari
lingkungan dan akan mendatangkan bahaya bagi kesehatan manusi. Penyebaran
penyakit yang bersumber pada kotoran manusia (feces) dapat melalui berbagai
macam cara. Hal ini dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Skema 2.1
Penularan Penyakit dari Tinja

Deskripsi yang dapat digambarkan dari skema tersebut adalah bahwa tinja
mempunyai peranan dalam penyebaran penyakit sangat besar. Disamping dapat
langsung mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran, air, tanah, serangga
(lalat, kecoa, dan sebagainya), dan bagian-bagian tubuh kita dapat terkontaminasi
oleh tinja dari seseorang yang sudah menderita suatu penyakit tertentu merupakan
penyebab penyakit bagi orang lain. Kurangnya perhatian terhadap pengelolaan
tinja disertai dengan cepatnya pertambahan penduduk, akan mempercepat
penyebaran penyakit-penyakit yang ditularkan lewat tinja. Penyakit-penyakit yang
dapat disebarkan oleh tinja manusia antara lain t ipus, disentri, kolera, bermacam-

43

macam cacing (cacing gelang, cacing kremi, cacing tambang, cacing pita),
schistosomiasis, dan sebagainya (Kusnoputranto, 2010).
Pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik, untuk
mencegah atau mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan. Hal ini
dimaksudkan bahwa pembuangan kotoran harus di suatu tempat tertentu atau
jamban yang sehat. Beberapa penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manusia
antara lain tipus, disentri, kolera, bermacam-macam cacing, dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2012).
a. Pengertian jamban
Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan
mengumpulkan kotoran manusia dalam suatu tempat tertentu, sehingga kotoran
tersebut tidak menjadi penyebab penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman
(KemenKes RI, 2010).

b. Syarat jamban
Ketentuan jamban yang memenuhi syarat kesehatan Menurut KemenKes RI,
2010 adalah :
1) Kotoran tidak mencemari permukaan tanah, air tanah, dan air permukaan,
2) Jarak jamban dengan sumber air bersih tidak kurang dari 10 meter,
3) Konstruksi kuat,
4) Pencahayaan minimal 100 lux (Kepmenkes No.519 tahun 2008),
5) Tidak menjadi sarang serangga (nyamuk, lalat, kecoa),

44

6) Dibersihkan minimal 2x dalam sebulan,


7) Ventilasi 20% dari luas lantai,
8) Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna
9) terang,
10) Murah
11) Memiliki saluran dan pembuangan akhir yang baik yaitu lubang selain
12) tertutup juga harus disemen agar tidak mencemari lingkungannya.
Jamban berfungsi sebagai pengisolasi tinja dari lingkungan. Jamban yang
baikdan memenuhi syarat kesehatan akan menjamin beberapa hal, seperti
melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit, melindungi dari gangguan
estetika, bau dan penggunaan sarana yang aman, bukan tempat berkembangbiakan
serangga sebagai vektor penyakit, dan melindungi pencemaran pada penyediaan
air bersih dan lingkungan.

c. Pemeliharaan jamban
Jamban hendaknya selalu dijaga dan dipelihara dengan baik. Adapun cara
pemeliharaan yang baik menurut KemenKes RI (2010) adalah sebagai berikut :
1) Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering,
2) Di sekeliling jamban tidak ada genangan air,
3) Tidak ada sampah berserakan,
4) Rumah jamban dalam keadaan baik,
5) Lantai selalu bersih dan tidak ada kotoran yang terlihat,

45

6) Lalat, tikus dan kecoa tidak ada,


7) Tersedia alat pembersih,
8) Segera perbaiki yang rusak.
9) Air selalu tersedia di dalam bak atau ember
10) Lantai dan lubang jongkok harus disiram bersih sehabis digunakan agar
tidak bau dan mengundang lalat.
11) Lantai jamban diusahakan selalu bersih dan tidak licin, sehingga tidak
membahayakan pemakai
12) Tidak memasukkan bahan kimia dan detergen pada lubang jamban
13) Tidak ada aliran masuk kedalam jamban selain untuk membilas tinja.
d. Jenis-jenis jamban
Jamban sesuai dengan bantuk fisiknya dapat dibedakan atas beberapa
macam menurut Notoatmodjo (2012) :

1) Jamban cubluk
Jamban jenis ini lazim dijumpai di daerah pedesaan, tetapi sering dijumpai
jamban cemplung yang kurang sempurna, misalnya tanpa rumah jamban
dan tanpa tutup. Hal yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa jamban
ini tidak boleh terlalu dalam, sebab bila terlalu dalam akan mengotori air
tanah dibawahnya. Kedalamannya berkisar 1,5-3 meter dan jarak dari
sumber air minum sekurang-kurangnya 1,5 meter
2) Jamban empang

46

Jamban empang adalah suatu jamban yang dibuat di atas kolam/empang,


sungai/rawa, dimana kotoran langsung jatuh kedalam kolam atau sungai.
Jamban ini dapat menguntungkan karena kotoran akan langsung menjadi
makanan ikan, namun buang air besar ke sungai dapat menimbulkan
wabah.
3) Cubluk dengan plengsengan
Jamban ini sama dengan jamban cubluk, hanya saja dibagian tempat
jongkok dibuat seng atau kaleng yang dibentuk seperti setengah pipa yang
masuk ke dalam lubang, yang panjangnya sekitar satu meter, tujuannya
agar kotoran tidak langung terlihat.
4) Jamban leher angsa
Jamban angsa trine ini bukanlah merupakan type jamban tersendiri, tetapi
merupakan modifikasi bentuk tempat duduk/jongkok (bowl) nya saja,
yaitu dengan bentuk leher angsa yang dapat menyimpan air sebagai
penutup hubungan antara bagian luar dengan tempat penampungan tinja,
yang dilengkapi dengan alat penyekat air atau penahan bau dan mencegah
lalat kontak dengan kotoran. Jamban type angsa trine ini akan memerlukan
persediaan air yang cukup untuk keperluan membersihkan kotoran dan
penggelontor tinja.
2.2.4 Pengelolaan Sampah
Sampah adalah sesuatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai
lagi oleh manusia, atau benda padat yang sudah tidak digunakan lagi dalam suatu
kegiatan manusia dan dibuang. Para ahli kesehatan masyarakat Amerika membuat

47

batasan, sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak
disenangi , atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia, dan
tidak terjadi dengan sendirinya (Notoatmodjo, 2012).
Cara-cara pengelolaan sampah antara lain yang benar menurut
Notoatmodjo (2012) adalah sebagai berikut :
a. Pengumpulan dan pengangkutan sampah
Pengumpulan sampah dimulai di tempat sumber dimana sampah tersebut
dihasilkan. Sampah tersebut diangkut dengan alat dari lokasi sumbernya.
Penampunangn

sementara

harus

diadakan

sebelum

sampai

ke

tempat

pembuangan. Sampah selanjutnya dipindahkan dari alat angkut yang lebih besar
dan lebih efisien, misalnya dari gerobak ke truk atau dari gerobak ke truk
pemadat.
Syarat tempat sampah yg di anjurkan meliputi terbuat dari bahan yang
kedap air, kuat, dan tidak mudah bocor, mempunyai tutup yg mudah di buka,
dikosongkan isinya, mudah dibersihkan dan ukurannya di atur agar dapat di
angkut oleh 1 orang. Syarat kesehatan tempat pengumpulan sampah sementara
menurut Mubarak dan Chayatin (2011) adalah sebagai berikut :
1) Terdapat dua pintu : untuk masuk dan untuk keluar
2) Lamanya sampah di bak maksimal tiga hari
3) Tidak terletak pada daerah rawan banjir
4) Volume tempat penampungan sampah sementara mampu menampung
5) sampah untuk tiga hari.
6) Ada lubang ventilasi tertutup kasa untuk mencegah masuknya lalat.

48

7) Harus ada kran air untuk membersihkan.


8) Tidak menjadi perindukan vektor.
9) Mudah di jangkau oleh masyarakat/ dan kendaraan pengangkut.
b. Pemusnahan dan pengolahan sampah
Pemusnahan dan pengelolaan sampah yang baik menurut Mubarak dan
Chayatin (2011) yaitu :
1) Ditaman (Landfill), yaitu pemusnahan sampah dengan membuat
2) lubang ditanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan
3) tanah.
4) Dibakar (Inceneration), yaitu memusnahkan sampah dengan jalan
5) membakar di dalam tungku pembakaran (incenerator).
6) Dijadikan pupuk (Composting), yaitu pengolahan sampah menjadi
7) pupuk (kompos), khususnya untuk sampah organik daun-daunan, sisa
8) makanan, dan sampah lain yang dapat membusuk.

2.2.5 Pengelolaan Air Limbah


a. Pengertian
Menurut Ehless dan Steel, air limbah adalah cairan buangan yang berasal
dari rumah tangga, industri, dan tempat-tempat umum lainnya dan biasanya
mengandung bahan-bahan atau zat-zat yang dapat membahayakan kehidupan
manusia serta mengganggu kelestarian lingkungan (Chandra, 2010).

49

b. Parameter air limbah


Parameter yang dapat digunakan berkaitan dengan air limbah meliputi
kandungan zat padat (total solid, suspending solid, disolved solid), kandungan zat
organik, kandungan zat anorganik (mis, Pb, Cd, Mg), Kandungan gas (mis, O2, N,
CO2), kadungan bakteri (mis, E.coli), kandungan pH, suhu (Chandra, 2010).
c. Pengelolaan air limbah
Air limbah sebelum dilepas ke pembuangan akhir harus menjalani
pengelolaan terlebih dahulu, untuk dapat melaksanakan pengelolaan air limbah
yang efektif perlu rencana pengelolaan yang baik. Sistem pengelolaan air limbah
yang diterapkan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) Tidak mengakibatkan kontaminasi terhadap sumber-sumber air minum.
2) Tidak mengakibatkan pencemaran air permukaan.
3) Tidak menimbulkan pencemaran air untuk perikanan, air sungai, atau
tempat-tempat rekreasi serta untuk keperluan sehari-hari.
4) Tidak dihinggapi oleh lalat, serangga dan tikus dan tidak menjadi tempat
berkembangbiaknya berbagai bibit penyakit dan vektor.
5) Tidak terbuka dan harus tertutup jika tidak diolah.
6) Tidak menimbulkan bau atau aroma tidak sedap
d. Metode pengelolaan air limbah
Metode sederhana yang dapat digunakan untuk mengelola air limbah,
beberapa diantaranya yaitu :
1) Pengenceran (disposal by dilution)

50

Air limbah diencerkan sampai mencapai konsentrasi yang cukup rendah,


kemudian baru dibuang ke badan-badan air. Peningkatan jumlah penduduk,
yang berarti makin meningkatnya kegiatan manusia, maka jumlah air
limbah yang harus dibuang dapat terlalu banyak, sehingga diperlukan air
untuk pengenceran yang banyak, yang menyebabkan cara ini tidak dapat
dipertahankan lagi. Metode ini diketahui mempunyai kerugian lain,
diantaranya : bahaya kontaminasi terhadap badan-badan air masih tetap ada,
pengendapan yang akhirnya menimbulkan pendangkalan terhadap badanbadan air, seperti selokan, sungai, danau, dan sebagainya, sehingga dapat
pula menimbulkan banjir.
2) Kolam Oksidasi (Oxidation ponds)
Cara pengolahan ini pada prinsipnya adalah pemanfaatan sinar matahari,
ganggang (algae), bakteri dan oksigen dalam proses pembersihan alamiah.
Air limbah dialirkan kedalam kolam berbentuk segi empat dengan
kedalaman antara 1-2 meter. Dinding dan dasar kolam tidak perlu diberi
lapisan apapun. Lokasi kolam harus jauh dari daerah pemukiman, dan di
daerah terbuka, sehingga memungkinkan sirkulasi angin yang baik.

3) Irigasi (irrigation)
Air limbah dialirkan ke parit-parit terbuka yang digali, dan air akan
merembes
masuk kedalam tanah melalui dasar dan dinding parit tersebut. Air buangan
dalam keadaan tertentu dapat digunakan untuk pengairan ladang pertanian

51

atau perkebunan dan sekaligus berfungsi untuk pemupukan. Hal ini


terutama dapat dilakukan untuk air limbah dari rumah tangga, perusahaan
susu sapi, rumah potong hewan, dan lain-lainya dimana kandungan zat-zat
organik dan protein cukup tinggi yang diperlukan oleh tanam-tanaman.
2.2.6 Penelitian terkait
Hubungan lingkungan dengan kejadian filariasis dikemukakan oleh Ulfana
(2009). Lingkungan luar rumah yang berporensi menjadi pendukung kejadian
penyakit seprti filariasi adalah keberadaan tanaman air, keberadaan semaksemak,
keberadaan parit/selokan, dan keberadaan sawah), sedangkan lingkungan dalam
rumah meliputi keadaan ventilasi, keadaan langit-langit, dan keadaan dinding,
Penelitian observasional dengan rancangan studi kasus kontrol. Mendapatkan
jumlah responden sebanyak 88 sampael. Hasil penelitian menunjukkan terdapat
filariasis pada tahun 2008 adalah sebanyak 50 kasus kronis filariasis yang.
tersebar di 10 kecamatan. Hasil analisis bivariat yaitu keberadaan tanaman air
(p=0,663), keberadaan semak-semak (p=0,031), keberadaan parit/selokan
(p=1,000), keberadaan sawah (p=0,825), keadaan ventilasi (p=0,378), keadaan
langit-langit (p=0,191), keadaan dinding, kebiasaan memakai kelambu pada saat
tidur (p=0,033), kebiasaan memakai repelen (p=0,355), kebiasaan beraktivitas
diluar rumah pada malam hari (p=1,000), dan pengetahuan (p=0,522).
2.3 Variabel Penelitian Perilaku
1

Pengertian Prilaku
Perilaku menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah tanggapan atau

reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan (Depdiknas, 2009). Uraian

52

lebih luas mengenai perilaku dikemukakan Notoatmodjo (2012) sebagai tindakan


atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat
luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis,
membaca, dan sebagainya.
Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2012) merumuskan bahwa perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari
luar. Perilaku dapat terjadi melalui proses adanya organisme yang selanjutnya
organisme tersebut merespon. Teori Skinner lazim dikenal dengan teori S-O-R
atau stimulus-organisme-respon.
2

Klasifikasi Perilaku
Perilaku dapat diklasifikasikan kedalam beberapa kategori tergantung

sudut pandang dalam menilai perilaku.


1

Perilaku berdasarkan respon terhadap stimulus


Perilaku berdasarkan respon terhadap stimulus menurut Skinner dalam

Notoatmodjo (2007), dapat dibedakan menjadi bentuk :


1

Perilaku tertutup
Respon individu terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau
tertutup. Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada
perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran dan sikap yang terjadi
pada individu yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat
diamati secara jelas.

Perilaku terbuka

53

Respon individu terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau


terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk
tindakan atau praktek yang dengan mudah dapat diamati atau dengan
mudah dipelajari.
2

Perilaku terhadap Kesehatan


Klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (health related

behaviour) menurut Becker (1979, dikutip dari Notoatmodjo, 2007) terbagi atas
beberapa bentuk yaitu :
1

Perilaku kesehatan
Perilaku ini diartikan sebagai tindakan seseorang dalam memelihara
dan meningkatkan kesehatannya.

Perilaku sakit
Perilaku ini didefinisikan sebagai keseluruhan tindakan seseorang
yang merasa sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan
kesehatannya termasuk pengetahuan individu untuk mengidentifikasi
penyakit, serta usaha mencegah penyakit tersebut.

Perilaku peran sakit.


Perilaku peran sakit ditafsirkan sebagai segala tindakan seseorang
yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan.

Bentuk Operasional Perilaku


Bentuk operasional perilaku menurut Notoatmodjo (2007) dapat

dikelompokkan menjadi 3 (tiga) jenis yaitu:

54

Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui situasi


atau rangsangan dari luar.

Perilaku dalam bentuk sikap yaitu tanggapan batin terhadap keadaan atau
rangsangan dari luar. Lingkungan dalam hal ini berperan dalam
membentuk perilaku manusia yang ada di dalamnya. Lingkungan
dimaksud terdiri dari, lingkungan pertama adalah lingkungan alam yang
bersifat fisik dan akan mencetak perilaku manusia sesuai dengan sifat
dan keadaaan alam tersebut, sedangkan lingkungan yang kedua adalah
lingkungan sosial budaya yang bersifat non fisik tetapi mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap pembentukan perilaku manusia.

Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah konkrit, yakni berupa


perbuatan atau action terhadap situasi atau rangsangan dari luar.

Faktor yang mempengaruhi Perilaku


Perilaku manusia dalam pembentukannya tidak terlepas dari pengaruh

beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut dikelompokkan dalam berbagai sudut


pandang oleh beberapa ahli.
1

Faktor internal dan eksternal


Faktor yang memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku menurut

Notoatmodjo (2007) dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu:

Faktor internal
Faktor yang berada dalam diri individu itu sendiri yaitu berupa
kecerdasan, persepsi, motivasi, minat, emosi dan sebagainya untuk

55

mengolah pengaruh-pengaruh dari luar. Motivasi merupakan penggerak


perilaku, hubungan antara kedua konstruksi ini cukup kompleks, antara
lain dapat dilihat sebagai berikut:
1

Motivasi yang sama dapat menggerakkan perilaku yang berbeda


demikian sebaliknya perilaku yang sama dapat diarahkan oleh
motivasi yang berbeda.

Motivasi mengarahkan perilaku pada tujuan tertentu.

Penguatan positif/ positive reinforcement menyebabkan satu perilaku


tertentu cenderung untuk diulang kembali.

Kekuatan perilaku dapat melemah akibat dari perbuatan itu bersifat


tidak menyenangkan.

Faktor internal
Faktor-faktor yang berada diluar individu yang bersangkutan yang
meliputi objek, orang, kelompok dan hasil-hasil kebudayaan yang
disajikan sasaran dalam mewujudkan bentuk perilakunya.
2

Faktor predisposisi, pemungkin dan penguat


Konsep umum yang digunakan untuk mendiagnosis perilaku adalah

konsep dari Lawrence Green (1980), dalam Notoatmodjo (2007) yang


menyatakan perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yakni :

Faktor predisposisi (predisposing factors)


Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang

56

berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat,


tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya.
2

Faktor pemungkin (enabling factors)


Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau
fasilitas kesehatan bagi masyarakat.

Faktor penguat (reinforcing factors)


Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat,
tokoh agama dan perilaku petugas termasuk petugas kesehatan, suami
dalam memberikan dukungan terhadap suatu tindakan.

Anda mungkin juga menyukai