TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang
disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening.
Penyakit ini dapat merusak sistem limfe, menimbulkan pembengkakan pada
tangan, kaki, glandula mammae dan scrotum dan menimbulkan cacat seumur
hidup (Kemenkes RI, 2010).
Filariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria pada
manusia yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori, Loa-loa,
Onchocerca volvulus, Acanthocheilonema perstans dan Mansonella ozzardi,
dengan tiga spesies terpenting yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia
timori (Natadisastra, 2010).
Limfatik filariasis disebabkan oleh W. bancrofti, B. malayi, atau B. timori.
Parasit dewasa yang berbentuk benang berada di saluran getah bening atau
kelenjar getah bening, dan dapat bertahan selama lebih dari dua dekade. Bentuk
ini merupakan penyakit yang lebih sering diderita manusia dibandingkan bentuk
lainnya (Longo et al, 2012 : 1).
2.1.2
Penyebab Filariasis
Penyebab filariasis di Indonesia umumnya dikarenakan infeksi dari tiga
spesies cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia
timori. Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah,
terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan.
7
(2014) tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan
tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di saluran dan
kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem
peredaran darah. Mikrofilaria dapat ditemukan di dalam peredaran darah tepi pada
waktu-waktu tertentu sesuai dengan periodisitas, pada umumnya periodisitas
nokturna, yaitu banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan
pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti paru-paru, jantung
10
dan ginjal.
a. Makrofilaria
Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang
berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe.Cacing betina bersifat
ovovivipar dan berukuran 55 - 100 mm x 0,16 m, dapat menghasilkan jutaan
mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil 55 m x 0,09 mm dengan
ujung ekor melingkar. Makrofilaria dapat bertahan hidup cukup lama di dalam
kelenjar limfe, dan dapat terjadi kerusakan sistem limfe ditempat tinggal cacing
ini. Makrofilaria akan mati dengan sendirinya setelah 5-7 tahun, tetapi kerusakan
sistem limfe yang berat tidak dapat pulih kembali.
Gambar 2.1
Gambar Makrofilaria
(Sumber : Kemenkes RI, 2014, hal 18)
b. Mikrofilaria
Cacing dewasa betina, setelah mengalami fertilisasi, mengeluarkan jutaan
anak cacing yang disebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200600 m x 8 m
dan mempunyai sarung. Secara mikroskopis, morfologi spesies mikrofilaria dapat
11
dibedakan berdasarkan: ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan
giemsa, susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor.
Tabel 1. Jenis Mikrofilaria yang terdapat di Indonesia Spesimen Darah Tepi
dengan Pewarnaan Giemsa
No
1
2
3
4
5
6
7
Morfologi/
Karakteristik
Gambaran umum
dalam sediaan
darah
Perbandingan
lebar dan panjang
ruang kepala
Warna sarung
Ukuran Panjang
(m)
Inti badan
Jumlah inti di ujung
ekor
Gambaran ujung ekor
W. bancrofti
B. Malayi
B. timori
Melengkung
mulus
1:1
Melengkung
Kaku dan
Patah
1:2
Melengkung
Kaku dan
patah
1:3
Tidak berwarna
Merah muda
240 300
175 - 230
Tidak
berwarna
265 325
Halus,
tersusun
rapi
0
Kasar,
berkelompo
k
2
Kasar,
berkelompo
k
2
Seperti pita
ke arah
ujung
Ujung agak
tumpul
Ujung agak
tumpul
12
Gambar 2.4
Morfologi Mikrofilaria B. malayi pada sediaan darah tebal
(Sumber : Kemenkes RI, 2014, hal 21)
Gambar 2.5
Morfologi Mikrofilaria B. timori pada sediaan darah tebal
(Sumber : Kemenkes RI, 2014, hal 21)
13
selubungnya, serta menembus dinding lambung lalu bergerak menuju otot atau
jaringan lemak di bagian dada. Mikrofilaria setelah 3 hari, mengalami
perubahan bentuk menjadi larva stadium 1 (L1), bentuknya seperti sosis
berukuran 125-250 m x 10-17 m, dengan ekor runcing seperti cambuk. Larva
tumbuh menjadi larva stadium 2 (L2) setelah 6 hari dalam tubuh nyamuk,
disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300 m x 15-30 m, dengan ekor
yang tumpul atau memendek. Larva pada stadium menunjukkan adanya gerakan.
Hari ke 8 -10 pada spesies Brugia atau hari ke 10 - 14 pada spesies Wuchereria,
larva dalam nyamuk tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran 1400
m x 20 m. L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif.
Stadium 3 ini merupakan cacing infektif.
Gambar 2.6
Larva pada berbagai stadium
(Sumber : Kemenkes RI, 2014, hal 20)
2.1.4
Kemenkes RI (2014) melibatkan 3 hal yaitu adanya vektor dalam hal ini nyamuk,
hospes dan lingkungan yang mendukung perkembang biakan atau memudahkan
transmisi penyakit.
a. Vektor
14
Spesies yang menjadi vektor filariasis di Indonesia hingga saat ini telah
diketahui terdapat 23 spesies dari 5 genus yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex,
Aedes dan Armigeres. Sepuluh spesies nyamuk Anopheles telah diidentifikasi
sebagai vektor Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus
merupakan vektor Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia
merupakan vektor Brugia malayi. Mansonia dan Anopheles barbirostris di
Indonesia bagian timur, merupakan vektor fialariasis yang penting dan beberapa
spesies Mansonia dapat menjadi vektor Brugia malayi tipe sub periodic nokturna.
Jenis Anopheles barbirostris merupakan vektor penting terhadap Brugia timori
yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan kepulauan Maluku Selatan.
Tempat perindukan masing-masing nyamuk berbeda-beda tergantung
jenisnya. Umumnya nyamuk beristirahat di tempat-tempat teduh, seperti semaksemak di sekitar tempat perindukan dan di dalam rumah pada tempat-tempat yang
gelap. Sifat nyamuk dalam memilih jenis mangsanya berbeda-beda, dapat hanya
menyukai darah manusia (antropofilik), darah hewan (zoofilik), atau darah hewan
dan manusia (zooantropofilik). Hal yang sama terjadi pada cara mencari
mangsanya, dapat hanya di luar rumah (eksofagik) atau dalam rumah (endofagik).
Perilaku nyamuk ini dapat berpengaruh terhadap distribusi kasus Filariasis. Setiap
daerah mempunyai spesies nyamuk berbeda-beda, dan pada umumnya terdapat
beberapa spesies nyamuk sebagai vektor utama dan spesies lainnya hanya
merupakan vektor potensial.
b. Hospes
Hospes dalam penularan infeksi filariasis dapat merupakan manusia atau
15
hewan.
1) Manusia
Infeksi filariasis pada dasarnya dapat menulari semua manusia terutama
ketika digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Vektor
infektif mendapat mikrofilaria
di lapangan
16
c. Lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata
rantai penularannya. Daerah endemis Brugia malayi adalah daerah dengan hutan
rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman air,
sedangkan daerah endemis Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah
daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan
air kotor sebagai habitat dari vektor yaitu nyamuk Culex quinquefasciatus. Daerah
endemis Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural) secara umum sama dengan
kondisi lingkungannya pada daerah endemis Brugia malayi.
Lingkungan secara umum dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik,
lingkungan biologi, dan lingkungan sosial ekonomi serta budaya.
1) Lingkungan fisik
Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis,
struktur geologi dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan
kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumbersumber penularan Filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempattempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk. Suhu dan kelembaban
berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk.
Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya hospes reservoir
(kera, lutung dan kucing) berpengaruh terhadap penyebaran B.malayi
subperiodik nokturna dan non periodik.
2) Linkungan biologik
Lingkungan biologik dapat menjadi rantai penularan filariasis. Lingkungan
17
biologik yang dapat menjadi tempat atau reservoir jentik nyamuk adalah
adanya tanaman air yang memudahkan pertumbuhan nyamuk Mansonia spp.
Gambar 2.7
Lingkungan fisik tempat perindukan vektor filariasis
(Sumber : Kemenkes RI, 2014, hal 25)
Rantai Penularan
Proses dan faktor penularan filariasis menurut Kemenkes RI (2014)
sebagaimana dibahas sebelumnya, dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu adanya
sumber penularan, baik manusia atau hospes reservoir yang mengandung
18
19
20
21
pada malam hari. Daerah dengan microfilaria subperiodik nokturna dan non
periodik, penularan dapat terjadi pada siang dan malam hari.
22
2.1.6
23
24
Diagnosis
25
Diagnosis pasti dapat dibuat hanya dengan deteksi parasit dan karenanya
bisa sulit. Cacing dewasa lokal di pembuluh getah bening atau node sebagian
besar tidak dapat diakses. Mikrofilaria dapat ditemukan dalam darah, cairan
hidrokel, atau (kadang-kadang) dalam cairan tubuh lainnya. cairan tersebut dapat
diperiksa secara mikroskopis, baik secara langsung atau-untuk konsentrasi
sensitivitas-setelah lebih dari parasit dengan bagian cairan melalui filter
polikarbonat silinder-pori (ukuran pori, 3 m) atau dengan sentrifugasi cairan tetap
di 2% formalin (teknik konsentrasi Knott ini). Waktu pengumpulan darah sangat
penting dan harus didasarkan pada periodisitas mikrofilaria di daerah endemik.
Banyak orang yang terinfeksi tidak memiliki microfilaremia, dan diagnosis
definitif dalam kasus tersebut sulit. Tes untuk sirkulasi antigen dari W. bancrofti
mengizinkan diagnosis infeksi amicrofilaremic dan samar (amicrofilaremic). Dua
tes yang tersedia secara komersial: sebuah immunosorbent assay enzim-linked
(ELISA) dan tes kartu immunochromatographic. Kedua tes memiliki sensitivitas
93-100% dan spesifitas mendekati 100%. Saat ini tidak ada tes untuk sirkulasi
antigen di filariasis brugian.
Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) berbasis tes untuk DNA
dari W. bancrofti dan B. malayi dalam darah telah dikembangkan. Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa sensitivitas metode diagnostik ini setara dengan
atau lebih besar dari metode parasitologis. Kasus dugaan filariasis limfatik,
pemeriksaan skrotum, kelenjar getah bening, atau (pada pasien wanita) payudara
dengan cara USG frekuensi tinggi dalam hubungannya dengan teknik Doppler
dapat menidentifikasi cacing dewasa motil dalam limfatik melebar. Cacing dapat
26
divisualisasikan dalam limfatik dari korda spermatika di hingga 80% dari pria
yang terinfeksi W. bancrofti. cacing dewas, memiliki pola hidup yang khas dari
gerakan dalam pembuluh limfatik (disebut filaria tanda tari).
Pencitraan lymphoscintigraphic radionuklida dari anggota badan andal
menunjukkan kelainan limfatik luas di kedua orang microfilaremic subklinis dan
orang-orang dengan manifestasi klinis patologi limfatik. Penggambaran
perubahan anatomi, dari utilitas potensial yang berhubungan dengan infeksi, hasil
limfoskintigrafi tidak mungkin untuk dianggap yang utama dalam evaluasi
diagnostik individu yang dicurigai infeksi; Eosinofilia dan serum konsentrasi IgE
dan antibodi antifilarial mendukung diagnosis
filariasis
limfatik. Ada,
bagaimanapun, luas reaktivitas silang antara antigen filaria dan antigen dari cacing
lain, termasuk cacing gelang usus, dengan demikian, interpretasi temuan serologi
bisa sulit. Warga dari daerah endemis dapat menjadi peka terhadap antigen filaria
(dan dengan demikian menjadi serologis positif) melalui paparan nyamuk yang
terinfeksi tanpa infeksi filaria.
Lymphangitis berhubungan dengan filariasis limfatik harus dibedakan
dari tromboflebitis, infeksi, dan trauma. evolusi retrograde adalah fitur
karakteristik yang membantu membedakan lymphangitis filaria dari naik
limfangitis bakteri. lymphedema filarial kronis juga harus dibedakan dari
lymphedema keganasan, jaringan parut pasca operasi, trauma, negara edema
kronis, dan bawaan kelainan sistem limfatik (Longo et al, 2012 : 5)
2.1.8
Pengobatan Filariasis
Definisi baru dari sindrom klinis di filariasis limfatik dan alat-alat baru
27
28
29
dan
DEC
atau
ivermectin-akan
amat
menekan
30
31
32
33
4) Sumur
Sumur merupakan salah satu sumber air bersih yang masih banyak
digunakan oleh masyarakat pedesaan maupun perkotaan. Sumur terbagi
atas dua, yaitu (Chandra, 2010):
a) Sumur dangkal (shallow well)
Sumur ini memiliki sumber air yang berasal dari resapan air hujan di
atas permukaan bumi terutama di daerah dataran rendah. Jenis sumur
ini banyak terdapat di Indonesia dan mudah sekali terkontaminasi air
kotor yang berasal dari kegiatan mandi-cuci-kakus (MCK) sehingga
persyaratan sanitasi yang ada perlu diperhatikan.
b) Sumur dalam (deep well)
Sumur ini memiliki sumber air yang berasal dari proses purifikasi alami
air hujan oleh lapisan kulit bumi menjadi air tanah. Sumber airnya
tidak terkontaminasi dan memenuhi persyaratan sanitasi.
Tabel 2.1. Perbedaan antara Sumur Dangkal dan Sumur Dalam
No
Karakteristik
1 Sumber air
2 Kualitas air
3 Kualitas
4
Bakteriologis
Persediaan
Sumur dangkal
Air permukaan
Kurang baik
Kontaminasi
Sumur dalam
Air tanah
Baik
Tidak terkontaminasi
kemarau
tahun
Sumber: Pengantar Kesehatan
Lingkungan Tahun 2010
dalam
Permenkes
RI
Nomor
492/MENKES/PER/IV/2010.
34
minum
menurut
KEPMENKES
RI
NOMOR
35
a)
permukaan tanah. Air ini misalnya air sungai, air rawa dan
danau.
b)
disebut air tanah dangkal atau air tanah dalam. Air dalam
tanah adalah air yang diperoleh pengumpulan air pada
lapisan tanah yang dalam, misalnya air sumur, air dari mata
air.
c)
Air angkasa yaitu air yang berasal dari atmosfir, seperti hujan dan
salju
36
37
yang
menyangkut
aspek
kesehatan
daripada
penyimpangan standar kualitas air minum dalam hal total solids ini,
yakni bahwa air akan memberi rasa yang tidak enak pada lidah, rasa
mual dan terjadinya cardiac disease serta toxaemia pada wanitawanita hamil.
(2) Sulfat
Ion sulfat adalah salah satu anion yang banyak terjadi pada air alam.
Ia merupakan sesuatu yang penting dalam penyediaan air untuk
umum karena pengaruh pencucian perut yang bisa terjadi pada
manusia apabila ada dalam konsentrasi yang cukup besar.
(3) Khlorida
Kadar khlorida lebih besar dari 200 ppm dalam air akan
menimbulkan rasa asin bila air tersebut di minum. Di atas 600 ppm
kandungan khlorida suatu air tidak boleh digunakan untuk menyiram
38
tanaman.
(4) Flourida
Air minum tidak boleh lebih tinggi dari 2 ppm dan lebih rendah dari
1 ppm. Jika kadarnya lebih tinggi dapat menimbulakan warna coklat
pada gigi, sedangkan bila lebih kecil dari 1 ppm dapat menimbulkan
pengrusakan pada anak-anak atau dental caries.
(5) Magnesium
Kalsium dan magnesium adalah elemen-elemen pokok penyebab
kesadaran dalam air. Dalam jumlah kecil magnesium dibutuhkan
oleh tubuh untuk pertumbuhan tulang, akan tetapi dalam jumlah
yang lebih besar dari 150 mg/l dapat menyebabkan rasa mual.
(6) Besi dan Mangan
Kadar besi yang tinggi dalam air dapat menimbulkan noda-noda
coklat pada tekstil dan perlengkapan plambing lainnya dan
menimbulakn korosi pada pipa-pipa/perlengkapan-perlengkapan dari
metal. Mangan dalam konsentrasi yang tinggi adalah racun bagi
manusia tapi tidak dalam konsentrasi yang umum terdapat dalam air
dan hal-hal yang ditimbulkan sama dengan besi.
(7) Timbal
Timbal (Pb) sangat berbahaya bagi kesehatan manusia karena dapat
terakumulasi dalam tubuh manusia.
(8) Copper
Konsentrasi maksimum Cu yang dibolehkan adalah 1,5 ppm. Pada
39
Karbondioksida
Gas ini sangat korosif dan merupakan masalah utama bor dalam
suatu sistem sumur bor.
40
41
aerasi,
dan
penetrasi
sinar
matahari
dapat
42
Deskripsi yang dapat digambarkan dari skema tersebut adalah bahwa tinja
mempunyai peranan dalam penyebaran penyakit sangat besar. Disamping dapat
langsung mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran, air, tanah, serangga
(lalat, kecoa, dan sebagainya), dan bagian-bagian tubuh kita dapat terkontaminasi
oleh tinja dari seseorang yang sudah menderita suatu penyakit tertentu merupakan
penyebab penyakit bagi orang lain. Kurangnya perhatian terhadap pengelolaan
tinja disertai dengan cepatnya pertambahan penduduk, akan mempercepat
penyebaran penyakit-penyakit yang ditularkan lewat tinja. Penyakit-penyakit yang
dapat disebarkan oleh tinja manusia antara lain t ipus, disentri, kolera, bermacam-
43
macam cacing (cacing gelang, cacing kremi, cacing tambang, cacing pita),
schistosomiasis, dan sebagainya (Kusnoputranto, 2010).
Pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik, untuk
mencegah atau mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan. Hal ini
dimaksudkan bahwa pembuangan kotoran harus di suatu tempat tertentu atau
jamban yang sehat. Beberapa penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manusia
antara lain tipus, disentri, kolera, bermacam-macam cacing, dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2012).
a. Pengertian jamban
Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan
mengumpulkan kotoran manusia dalam suatu tempat tertentu, sehingga kotoran
tersebut tidak menjadi penyebab penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman
(KemenKes RI, 2010).
b. Syarat jamban
Ketentuan jamban yang memenuhi syarat kesehatan Menurut KemenKes RI,
2010 adalah :
1) Kotoran tidak mencemari permukaan tanah, air tanah, dan air permukaan,
2) Jarak jamban dengan sumber air bersih tidak kurang dari 10 meter,
3) Konstruksi kuat,
4) Pencahayaan minimal 100 lux (Kepmenkes No.519 tahun 2008),
5) Tidak menjadi sarang serangga (nyamuk, lalat, kecoa),
44
c. Pemeliharaan jamban
Jamban hendaknya selalu dijaga dan dipelihara dengan baik. Adapun cara
pemeliharaan yang baik menurut KemenKes RI (2010) adalah sebagai berikut :
1) Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering,
2) Di sekeliling jamban tidak ada genangan air,
3) Tidak ada sampah berserakan,
4) Rumah jamban dalam keadaan baik,
5) Lantai selalu bersih dan tidak ada kotoran yang terlihat,
45
1) Jamban cubluk
Jamban jenis ini lazim dijumpai di daerah pedesaan, tetapi sering dijumpai
jamban cemplung yang kurang sempurna, misalnya tanpa rumah jamban
dan tanpa tutup. Hal yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa jamban
ini tidak boleh terlalu dalam, sebab bila terlalu dalam akan mengotori air
tanah dibawahnya. Kedalamannya berkisar 1,5-3 meter dan jarak dari
sumber air minum sekurang-kurangnya 1,5 meter
2) Jamban empang
46
47
batasan, sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak
disenangi , atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia, dan
tidak terjadi dengan sendirinya (Notoatmodjo, 2012).
Cara-cara pengelolaan sampah antara lain yang benar menurut
Notoatmodjo (2012) adalah sebagai berikut :
a. Pengumpulan dan pengangkutan sampah
Pengumpulan sampah dimulai di tempat sumber dimana sampah tersebut
dihasilkan. Sampah tersebut diangkut dengan alat dari lokasi sumbernya.
Penampunangn
sementara
harus
diadakan
sebelum
sampai
ke
tempat
pembuangan. Sampah selanjutnya dipindahkan dari alat angkut yang lebih besar
dan lebih efisien, misalnya dari gerobak ke truk atau dari gerobak ke truk
pemadat.
Syarat tempat sampah yg di anjurkan meliputi terbuat dari bahan yang
kedap air, kuat, dan tidak mudah bocor, mempunyai tutup yg mudah di buka,
dikosongkan isinya, mudah dibersihkan dan ukurannya di atur agar dapat di
angkut oleh 1 orang. Syarat kesehatan tempat pengumpulan sampah sementara
menurut Mubarak dan Chayatin (2011) adalah sebagai berikut :
1) Terdapat dua pintu : untuk masuk dan untuk keluar
2) Lamanya sampah di bak maksimal tiga hari
3) Tidak terletak pada daerah rawan banjir
4) Volume tempat penampungan sampah sementara mampu menampung
5) sampah untuk tiga hari.
6) Ada lubang ventilasi tertutup kasa untuk mencegah masuknya lalat.
48
49
50
3) Irigasi (irrigation)
Air limbah dialirkan ke parit-parit terbuka yang digali, dan air akan
merembes
masuk kedalam tanah melalui dasar dan dinding parit tersebut. Air buangan
dalam keadaan tertentu dapat digunakan untuk pengairan ladang pertanian
51
Pengertian Prilaku
Perilaku menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah tanggapan atau
52
Klasifikasi Perilaku
Perilaku dapat diklasifikasikan kedalam beberapa kategori tergantung
Perilaku tertutup
Respon individu terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau
tertutup. Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada
perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran dan sikap yang terjadi
pada individu yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat
diamati secara jelas.
Perilaku terbuka
53
behaviour) menurut Becker (1979, dikutip dari Notoatmodjo, 2007) terbagi atas
beberapa bentuk yaitu :
1
Perilaku kesehatan
Perilaku ini diartikan sebagai tindakan seseorang dalam memelihara
dan meningkatkan kesehatannya.
Perilaku sakit
Perilaku ini didefinisikan sebagai keseluruhan tindakan seseorang
yang merasa sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan
kesehatannya termasuk pengetahuan individu untuk mengidentifikasi
penyakit, serta usaha mencegah penyakit tersebut.
54
Perilaku dalam bentuk sikap yaitu tanggapan batin terhadap keadaan atau
rangsangan dari luar. Lingkungan dalam hal ini berperan dalam
membentuk perilaku manusia yang ada di dalamnya. Lingkungan
dimaksud terdiri dari, lingkungan pertama adalah lingkungan alam yang
bersifat fisik dan akan mencetak perilaku manusia sesuai dengan sifat
dan keadaaan alam tersebut, sedangkan lingkungan yang kedua adalah
lingkungan sosial budaya yang bersifat non fisik tetapi mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap pembentukan perilaku manusia.
Faktor internal
Faktor yang berada dalam diri individu itu sendiri yaitu berupa
kecerdasan, persepsi, motivasi, minat, emosi dan sebagainya untuk
55
Faktor internal
Faktor-faktor yang berada diluar individu yang bersangkutan yang
meliputi objek, orang, kelompok dan hasil-hasil kebudayaan yang
disajikan sasaran dalam mewujudkan bentuk perilakunya.
2
56