Anda di halaman 1dari 12

UANG DAN PEMBIAYAAN

A. Mengenal Tentang Kebijakan dan Kondisi Moneter.


Perbedaan antara orde lama dengan orde baru paling jelas terlihat dalam masalah
perkembangan moneter dan keuangan. Meningkatnya defisit anggaran belanja,
menyebabkan melonjaknya tingkat inflasi pada paruh pertama 1960an, dan pemerintah
tidak memiliki political will untuk menyelesaikan masalah inflasi tersebut.
Sejarah manajemen dan reformasi ekonomi makro adalah hal yang penting, terdiri
dari beberapa isu analitis yang berbeda namun saling terkait, yaitu : pemulihan
kaseimbangan internal pada penghujung dekade 1960an, penyesuaian terhadap gejolak
eksternal yang besar selama dekade kejayaan minyak bumi, kombinasi instrumen
kebijakan moneter selama periode pasca 1966, reformasi kebijakan yang lambat sampai
tahun 1983 diikuti dengan kemajuan yang cepat, dan proses pendalaman dan pematangan
finansial secara bertahap.
Dalam perilaku dan hasil dari kebijakan moneter dan pembangunan finansial sejak tahun
1966, paling tidak terdapat lima ciri pokok yang menonjol, yaitu:
Neraca modal yang terbuka sejak tahun 1970. Sebagai konsekuensinya, gejolak
eksternal seperti fluktuasi harga minyak bumi,dengan cepat memberikan
pengaruhnya terhadap perekonomian domestik yang menimbulkan masalahmasalah tertentu terhadap manajemen uang beredar dalam jangka pendek.
Nilai tukar mata uang tetap selama suatu periode yang panjang, termasuk lima
tahun pertama masa kejayaan minyak bumi.
Prinsip anggaran berimbang.
Dalam perilaku kebijakan moneter dan fiskal terdapat ketegangan dan tarikmenarik: (a) antara regulasi dan juga pengendalian langsung, yang secara luas
merupakan ciri perekonomian pada dekade 1970an, dan campur tangan tidak
langsung melalui mekanisme pasar yang perannya semakin besar pada dekade
1980an; dan (b) tentang sejauh mana tujuan-tujuan sosial dan pemerataan dapat
dicapai bersama-sama tujuan ekonomi makro yang lazim dalam mencapai
keseimbangan internal, kususnya pengendalian inflasi.
Transformasi institusi moneter dan finansial terjadi dengan sangat dramatis.
Restocking dalm kondisi moneter juga terjadi, pada mulanya sebagai reaksi
terhadap tingkat inflasi yang lebih rendah dan adanya tingkat kepercayaang

terhadap mata uang rupiah, dan belakangan karena semakin banyaknya pilihan
aset finansial yang tersedia. Instutusi keuangan yang baru juga berkembang.
Tetapi, instrument kebijakan fiskal dan moneter masih tetap terkebelakang.

B. Inflasi dan Uang Beredar.


Pada penghujung dekade 1960an, pemerintah berhasil mengendalikan inflasi jauh
lebih cepat dari yang diduga oleh kebanyakan pengamat. Defisit anggaran belanja, yang
sebelum tahun 1966 merupakan penyebab langsung dan penyebab utama pertumbuhan
uang beredar, dengan cepat berhasil dikendalikan. Karena itu inflasi yang pernah
mencapai 1500 % pada pertengahan tahun 1966 turun drastis hingga 15 % pertahun
secara efektif dapat dikendalikan tahun 1969. Namun rendahnya inflasi tahun 1971 dan
1972 tidak bertahan lama. Jumlah uang beredar riil (yaitu uang beredar nominal dibagi
tingkat inflasi) mulai tumbuh cepat selama tahun 1972, jauh lebih tinggi dari tingat
pertumbuhan GDP atau lebih tinggi dari tingkat inflasi ideal satu digit.
Dalam masalah inflasi, krisis beras 1972 menyebabkan harga beras naik dua kali lipat
selama bulan agustus hingga desember, dan sebagian orang menganggap kajadian ini
merupakan penyebab utama meningkatnya inflasi yang tajam tahun 1973. Padahal,
kebijakan moneter yang akomodatif dan meningkatnya inflasi internasional ditambah
kurs tukar yang tetap adalah penyebab sebenarnya. Inflasi lebih tnggi lagi pada tahun
1973 sebagai akibat meningakatnya harga minyak bumi hingga empat kali lipat, sehingga
pendapatan pemerintah dan nilai ekspor meningkat dengan besar. Hal ini sesuai dengan
yang diramalkan H.W. Arndt, dalam BIES survey edisi juli 1974.
Inflasi melonjak hingga 41 % tahun 1974 yang mengancam reputasi pemerintah
dalam manajemen ekonomi. Pemerintah mendapat tekanan hebat agar uang yanh
berlimpah dibelanjakan di dalam negeri, tetapi instrumen untuk menciptakan deflasi
sangat dibutuhkan. Tetapi dalam hal lain, reaksi terhadap kondisi ekonomi makro yang
diberikan oleh pemerintahsangat tanggap. Rupiah tetap dipatok pada dolar AS (yang
semakin melemah), sebuah tindakan revaluasi mungkin lebih tepat dilaksanakan namun
pada saat itu kurs yang berlaku adalah kurs tetap, dan pemerintah sangat berkepentingan
untuk mempertahankan symbol kestabilan. Sebagai gantinya pemerintah memilih
memerangi inflasi dan sebagai akibatnya menjalankan surplus anggaran belanja dnengan

memperkenalkan paket anti inflasipada bulan april 1974. Untuk mengatasi masalah ini,
suku bunga dinaikan, reserve requirement bank-bank ditingkatkan hingga 30 % dan
ekspansi kredit komersial dibatasi jumlahnya. Kebijakan ini kusus dilakukan untuk
mengendalikan jumlah uang beredar. Kebijakan ini mulai berpangaruh dengan
menurunnya inflasi maupun pertumbuhan uang beredar.
Pada tahun 1973,trend tingkat suku bunga tetap negatif walaupun sepanjang kejayaan
minyak bumi. Sebagian besar penjelasan trend ini adalah kondisi yang terjadi di pasar
modal internasional, tingkat suku bunga negatif merupakan kebiasaan selama beberapa
tahun,tetapi hal ini terjadi karena kebijakan pemerintah yang sengaja menciptakan
kondisi tersebut. Kebijakan ini sengaja dilakukan untuk mendukung bisnis selektif.
Strategi tersebut juga menyebabkan terjadinya pasar modal yang sangat tersegmentasi
selama periode itu. Suku bunga di bank-bank negara sangat jauh dibawah tingkat yang
ditawarkan oleh bank swasta yang tidak disubsidi. Hal ini menyebabkan adanya korupsi
yang kerap terjadi dan dalm jumlah yang besar benyak terjadi proses abitrase (pembelian
dana kredit untuk dijual kembali dangan bunga yang lebih tinggi). Hal ini mempunyai
dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia.
Pada tahun 1979 terjadi kembali peningkatan inflasi yang cepat. Sebelumnya pada
bulan November 1978, rupiah didevaluasi sebesar 50 % terhadap dolar AS. Dengan
turunnya inflasi di dalam negeri maupun dunia pada tahun 1977 dan 1978, diharapkan
bahwa kenaikan harga yang diakibatkan oleh devaluasi tidak akan besar. Tetapi kurang
dari satu tahun terjadi pelonjakan harga minyak bumi. Pendapatan nominal pemerintah
meningkat hampir dua kali lipat 1980-1981, dan cadangan devisa meningkat lebih dari
50 %.
Kembali pemerintah mengalami kesulitan mensterilkan dampak moneter dari
kejayaan minyak bumi. Pertumbuhan uang beredar melonjak tahun 1980, meskipun
pemerintah telah menjalankan surplus anggaran belanja yang efektif bersama ototritas
moneter. Pada tahun 1982 minyak bumi telah turun kembali. Lebih jauh, pemerintah telah
mendapat pelajaran dari masa kejayaan minyak bumi yang pertama

dan telah

menggunakan instrumen pengendalian moneter pada tempatnya.


C. Reformasi Kebijakan Pada Dekade 1980an
Pembangunan sesudah tahun 1982 berbeda dengan pembangunan dekade 1970an
dalam tiga hal penting. Pertama, harga minyak bumi jatuh dan tetap rendah. Karena itu

dampaknya terhadap inflasi yaitu dampak moneter akibat membaiknya term of tred
menghilang, dan dalam tahun-tahun tertentu menyebabkan dampak negatif. Kedua,
pemerintah secara perlahan mulai mengembangkan pendekatan yang lebih canggih
terhadap manajemen kebijakan moneter, khususnya melalui peningkatan campur tangan
secara tidak langsung ketimbang pengendalian dan pengaturan langsung. Ketiga,
terutama karena campur tangan tidak langsung, tingakat inflasi tetap rendah dan dalam
dekade 1980an pada umumnya, tingkat inflasi kurang dari 10 %.
Paket reformasi kebiajakan moneter dan fiskal yang pertama dilaksanakan pada juni
1983. Bank negara kini diizinkan menentukan sebagian tingkat bunga deposito dan
pinjaman, kecuali dalam kasus program prioritas yang masih banyak berlangsung. Juga
dilakukan pergeseran pertama ke dalam operasi pasar yang lebih terbuka. Namun
pemerintah juga masih memiliki kekurangan instrumen untuk menangani konsekuensi
dari pasar modal yang terbuka. Akibatnya pada bulan September 1984, karena takut
terhadap terjadinya devaluasi, terjadi pelarian modal dalam jumlah yang besar sehingga
menguras habis likuiditas domestik. Hal ini menyebabkan tingkat suku bunga overnight
dalam pasar antar bank mencapai 90 %.
Reformasi lainnya, dilaksanakan pada bulan oktober 1988, dan terbukti sebagai
inisiatif kebijakan finansial yang paling menentukan dalam dekade tersebut. Semua bank
sehat dibebaskan membuka cabang-cabang baru, serta bank-bank swasta baru diizinkan
untuk beroperasi di luar Jakarta dengan batasan-batasan tertentu. Badan usah milik
negara nonbank diizinkan untuk menyimpan hingga 50 % dananya pada bank-bank
swasta nasional. Reserve requirement

bagi bank komersial dikurangi dari 15 %

kewajiban mereka menjadi 2 %. Pajak sebesar 15 % dikenakan deposito bank, terutama


untuk merangsang pasar modal.
Reformasi ini memiliki dampak yang dramatis. Indonesia pertama kalinya merasakan
masa kejayaan sketor perbankan swasta, karena institusi ini mulai bersaing secara agresif
untuk mendapatkan konsumen dan pangsa pasar. Bank-bank swasta mulai menawarkan
bergam portofolio keuangan, termasuk tingkat bunga deposito yang menarik. Dampaknya
dapat mudah ditebak terhadap satuan agregat keuangan. Rasio uang beredar dalam arti
sempit terhadap GDP hampir tidak meningkat, karena jumlah uang kas yang ditahan pada
waktu itu secara penuh sudah terisi. Tetapi kompetisi antar banj untuk mencari konsumen

menyebabkan berkembangnya pilihan keuangan, khususnya dengan tersedianya beragam


tingkat bunga deposito.
Reformasi ini memberikan kesempatan terwujudnya sektor perbankan swasta yang
lebih kompetitif. Tetapi manajemen ekonomi makro mengalami masalah-masalah baru,
khususnya kerena baik bank-bank maupun otoritas yang mengaturnya berusaha untuk
menyesuaikan diri dengan tatanan finansial yang sama sekali baru. Bank Indonesia juga
bergeser kepada mengandalkan target cadangan uang ketimbang tingkat suku bunga
sebagaimana yang terjadi beberapa tahu sebelumnya. Sebuah periode dengan kebijakan
moneter longgar di masa awal reformasi, menyebabkan munculnya masalah baru.
Pertumbuhan uang beredar sangat tinggi pada tahun 1989, lebih dari 34 %, sebuah angka
yang hanya dua kali dilewati selama masa pemerintahan Orde Baru, yaitu tahun 1969 dan
1972. Keduanya adalah masa restocking kondisi moneter. Dan karena inflasi melonjak,
bank Indonesia dipaksa untuk mengendalikan suatu agregat moneter ini, yaitu dengan
cepat menaikan suku bunga.
Kombinasi kelonggaran moneter dan liberalisasi keuangan ini menimbulkan tekanan
yang berat terhadap sisitem parbankan. Bank-bank swata mulai memperluas pangsa
pasarnya secara agresif, dengan cara menawarkan tingkat bunga deposito yang menarik.
Dalam perkembangannya, ketidakmantapan institusi ini mulai muncul. Karena baru
keluar dari kendali ketat bank sentral, hanya sedikit bank yang memiliki pengalaman
dalam penilaian proyek pemberian kredit. Dalam hal ini tekanan liquiditas semakin
menjadi parah ketika diberlakukan cadangan dana yang lebih behati-hati yang dirancang
untuk memenuhi standar yang ditetapkan oleh Bank for International Settlements.
Akibat dari seluruh faktor ini adalah bahwa system perbankan memiliki reputasi yang
agak buruk dan berbagai skandal keuangan telah menghilangkan tingkat kepercayaan
masyarakat dan investor terhadap reformasi ekonomi dan terhadap kemampuan Bank
Indonesia untuk melakukan pengawasan. Pada bulan desember 1992 sebuah krisis
kembali terjadi dengan bangkrutnya Bank Summa, yang merupakan anak perusahaan
Astra Group. Bank Summa adalah bank pertama yang dilikuidasi oleh bank sentral.

D. Kebijakan Moneter Indonesia Pasca Krisis


Kestabilan harga dan nilai tukar merupakan prasyarat bagi pemulihan ekonomi karena
tanpa itu aktivitas ekonomi masyarakat, sektor usaha, dan sektor perbankan akan

terhambat. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kiranya jika fokus utama kebijakan
moneter Bank Indonesia selama krisis ekonomi ini adalah mencapai dan memelihara
kestabilan harga dan nilai tukar rupiah. Apalagi Undang-undang No. 23 tahun 1999
tentang Bank Indonesia secara jelas menyebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang di dalamnya mengandung
pengertian kestabilan harga (laju inflasi) dan kestabilan nilai tukar rupiah.
Untuk mencapai tujuan di atas, Bank Indonesia hingga saat ini masih menerapkan
kerangka kebijakan moneter yang didasarkan pada pengendalian jumlah uang beredar
atau yang di kalangan akademisi dikenal sebagai quantity approach. Di dalam kerangka
tersebut Bank Indonesia berupaya mengendalikan uang primer (base money) sebagai
sasaran operasional kebijakan moneter. Dengan jumlah uang primer yang terkendali
maka perkembangan jumlah uang beredar. Selanjutnya, dengan jumlah uang beredar yang
terkendali diharapkan permintaan agregat akan barang dan jasa selalu bergerak dalam
jumlah yang seimbang dengan kemampuan produksi nasional sehingga harga-harga dan
nilai tukar dapat bergerak stabil. Dengan menggunakan kerangka kebijakan moneter
seperti telah diuraikan di atas, Bank Indonesia pada periode awal krisis ekonomi,
terutama selama tahun 1998, menerapkan kebijakan moneter ketat untuk mengembalikan
stabilitas moneter. Kebijakan moneter ketat tersebut tercermin pada pertumbuhan tahunan
sasaran indikatif uang primer yang terus ditekan dari level tertinggi 69,7% pada bulan
September 1998 menjadi 11,2% pada bulan Juni 1999. Kebijakan moneter ketat terpaksa
dilakukan karena dalam periode itu ekspektasi inflasi di tengah masyarakat sangat tinggi
dan jumlah uang beredar meningkat sangat pesat.
Di tengah tingginya ekspektasi inflasi dan tingkat risiko memegang rupiah, upaya
memperlambat laju pertumbuhan uang beredar telah mendorong kenaikan suku bunga
domestik secara tajam. Suku bunga yang tinggi diperlukan agar masyarakat mau
memegang rupiah dan tidak membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak mendesak serta
tidak menggunakannya untuk membeli valuta asing. Upaya pemulihan kestabilan
moneter melalui penerapan kebijakan moneter ketat yang dibantu dengan upaya
pemulihan kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional mulai memberikan hasil
positif sejak triwulan IV 1998. Pertumbuhan uang beredar yang melambat dan suku
bunga simpanan di perbankan yang tinggi telah mengurangi peluang dan hasrat
masyarakat dalam memegang mata uang asing sehingga tekanan depresiasi rupiah

berangsur surut. Sejak pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah terhadap USD
cenderung menguat dan kemudian bergerak relatif stabil selama tahun 1999.
Sesuai dengan sistem nilai tukar mengambang yang diterapkan sejak 14 Agustus
1997, perkembangan nilai tukar rupiah lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar. Di
dalam sistem tersebut, penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi sejak pertengahan1998
hingga akhir 1999 lebih banyak disebabkan oleh meredanya tekanan permintaan valas
sejalan dengan terkendalinya jumlah uang beredar dan turunnya ekspektasi inflasi. Bank
Indonesia hanya melakukan penjualan valas melalui mekanisme pasar pada harga pasar
untuk mensterilisasi atau menyedot kembali ekspansi moneter yang berasal dari
pembiayaan defisit anggaran pemerintah dan bukan terutama ditujukan untuk
mengarahkan nilai tukar rupiah ke suatu tingkat tertentu. Pelaksanaan penjualan valas itu
pun tidak sampai membahayakan posisi cadangan devisa Bank Indonesia karena
menggunakan devisa yang berasal dari penarikan hutang luar negeri pemerintah yang
memang diperuntukkan untuk mendukung pembiayaan defisit anggaran pemerintah.
Nilai tukar rupiah yang menguat serta didukung oleh pasokan dan distribusi barangbarang kebutuhan pokok yang membaik telah mendorong penurunan laju inflasi sejak
awal triwulan IV 1998. Bahkan, laju inflasi bulanan yang sempat mencapai 12,67% pada
bulan Februari 1998, mencatat angka negatif atau deflasi dalam bulan Oktober 1998.
Deflasi tersebut kemudian berlanjut sebanyak tujuh kali berturut-turut selama periode
Maret September 1999. Dengan perkembangan tersebut, laju inflasi selama tahun 1999
hanya mencapai 2,0%, jauh lebih rendah daripada laju inflasi selama tahun 1998 yang
mencapai 77,6%. Berarti Indonesia telah berhasil mengelakkan bahaya hiperinflasi yang
sempat mengancam selama paruh pertama 1998. Dalam perkembangan selanjutnya, laju
inflasi yang sangat rendah dan nilai tukar rupiah yang telah jauh menguat dibandingkan
di masa puncak krisis telah memberikan ruang gerak bagi Bank Indonesia untuk
memperlonggar kebijakan moneter dan mendorong penurunan suku bunga domestik.
Sebagai cerminan kebijakan moneter yang agak longgar, pertumbuhan tahunan sasaran
indikatif uang primer yang sebelumnya terus diturunkan hingga mencapai 11,2% pada
Juni 1999, sejak awal semester II 1999 mulai dinaikkan hingga mencapai 15,7% pada
Maret 2000. Sejalan dengan itu, suku bunga SBI 1 bulan yang selama ini menjadi
patokan (benchmark) bagi bank-bank terus menurun dari level tertinggi 70,58% pada
September 1998 menjadi 11,0% pada akhir April 2000. Penurunan suku bunga SBI yang

cukup tajam itu diikuti oleh suku bunga pasar uang antarbank (PUAB) dan simpanan
perbankan dengan laju penurunan yang hampir sama. Suku bunga kredit (kredit modal
kerja) pun mengalami penurunan meskipun tidak secepat dan sebesar penurunan suku
bunga simpanan perbankan. Penurunan laju inflasi, penguatan nilai tukar rupiah, dan
penurunan suku bunga membentuk suatu lingkaran yang saling memperkuat (virtuous
circle) sehingga membuka peluang bagi pemulihan ekonomi. Tanda-tanda awal
kebangkitan ekonomi Indonesia mulai muncul sejak triwulan I 1999 ketika PDB riil
dalam triwulan tersebut untuk pertama kalinya sejak 1997 mencatat pertumbuhan
triwulanan positif.
Arah dan Sasaran Kebijakan Moneter Bank Indonesia Pasca UU No. 23/99
Dari sisi pengelolaan moneter, krisis ekonomi sesungguhnya telah melahirkan suatu
pemikiran ulang bagi peran Bank Indonesia yang seharusnya dalam perekonomian,dan
sekaligus perannya dalam institusi kenegaraan di Republik ini. Pengalaman tersebut telah
memberikan suatu pelajaran yang sangat berharga bahwa institusi bank sentral, dengan
segala keterbatasan yang dimilikinya, harus kembali kepada fungsi utamanya sebagai
lembaga yang bertanggung jawab terhadap kestabilan nilai mata uang yang
dikeluarkannya. Kesadaran untuk memetik hikmah dari pengalaman itu pula yang
kemudian melahirkan persetujuan DPR atas Undang Undang No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia yang mengamanatkan suatu perubahan yang sangat mendasar dalam hal
pengelolaan moneter. Dalam UU tersebut, pemikiran ulang ini diformulasikan dalam
suatu tujuan kebijakan moneter yang jauh lebih fokus dibandingkan dengan UU
sebelumnya, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Sejalan dengan
kecenderungan banyak bank sentral di dunia untuk memfokuskan sasaran kebijakan
moneter kepada pencapaian stabilitas harga, pasal 7 dalam UU Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia secara eksplisit mengamanatkan tujuan mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah sebagai sasaran kebijakan moneter. Terminologi
kestabilan nilai rupiah tentu saja dapat menghasilkan interpretasi yang berbeda:
kestabilan secara internal yaitu kestabilan harga (stable in terms of prices of goods and
services), atau kestabilan secara eksternal yaitu kestabilan nilai tukar (stable in terms of
prices of other currencies). Pilihan atas interpretasi yang berbeda tersebut mempunyai
implementasi yang sangat berbeda dalam hal kebijakan moneter yang harus dilakukan
untuk mencapai sasaran kestabilan rupiah yang dipilih.

Dalam diskusi tentang kerangka kerja kebijakan moneter, diskusi di kalangan teoritisi
maupun praktisi bank sentral cenderung mengartikan kestabilan mata uang dalam
interpretasi yang pertama, yaitu kestabilan harga yang diukur dengan tingkat inflasi.
Disamping karena alasan teoritis bahwa kestabilan harga merupakan sasaran yang paling
relevan bagi kebijakan moneter, pasal-pasal maupun penjelasan pasal-pasal dalam UU
Bank Indonesia lebih sesuai dengan interpretasi tersebut. Argumen lain adalah bahwa
dalam jangka panjang, pencapaian kestabilan harga dapat mengarahkan kestabilan nilai
tukar. Secara lebih pragmatis, seperti telah diuraikan dalam sub bab sebelumnya, dapat
dikatakan bahwa karena sejak tahun 1997 kita telah memasuki rejim nilai tukar bebas
(free floating exchange rate), maka target nilai tukar tidak dapat lagi digunakan sebagai
anchor kebijakan moneter, sehingga sasaran kestabilan harga kemudian menjadi anchor
kebijakan moneter.
Bagi masyarakat secara umum, kestabilan harga merupakan sesuatu yang sangat
penting khususnya bagi golongan masyarakat berpendapatan tetap. Inflasi yang tinggi
seringkali dikategorikan sebagai musuh masyarakat nomor satu karena dapat
menggerogoti daya beli dari pendapatan yang diperoleh masyarakat. Bagi kalangan dunia
usaha, inflasi yang tinggi akan sangat menyulitkan kalkulasi perencanaan bisnis dan
dengan demikian akan berdampak buruk bagi aktivitas perekonomian dalam jangka
panjang. Bagi banyak ekonom, telah terbentuk semacam kesepakatan bahwa inflasi yang
tinggi akan berdampak buruk bagi proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Bahkan, penelitian dengan menggunakan panel data dari beberapa negara membuktikan
bahwa laju inflasi yang moderat sekalipun dapat berdampak buruk bagi proses
pertumbuhan (Ghosh and Phllips, 1998). Dengan kerangka pemikiran di atas, sejak tahun
2000 Bank Indonesia pada setiap awal tahun menetapkan dan mengumumkan sasaran
inflasi tahunan sebagai sasaran kebijakan moneter. Untuk tahun 2003 ini, dengan
mempertimbangkan prospek ekonomi dalam negeri dan luar negeri, Bank Indonesia
menetapkan sasaran laju inflasi IHK tahun 2003 pada tingkat 9% dengan marjin deviasi
1%. Selanjutnya, dalam jangka menengah Bank Indonesia berkomitmen untuk secara
bertahap menurunkan laju inflasi menjadi sekitar 6% pada tahun 2006.
Upaya Pemulihan Ekonomi Melalui Strategi Kebijakan Moneter dan Perbankan
Upaya pemulihan ekonomi nasional telah ditempuh oleh Pemerintah melalui langkahlangkah kebijakan yang bersifat menyeluruh yang tidak hanya menyangkut program

stabilisasi makroekonomi (kebijakan moneter dan fiskal) tetapi juga program reformasi di
bidang keuangan dan sektor riil. Dengan melihat strategisnya peran perbankan dalam
perekonomian maka upaya memperbaiki dan memperkuat sektor keuangan, khususnya
perbankan, menjadi sangat penting. Sektor perbankan memiliki peranan yang penting
dalam proses kebangkitan (recovery) perekonomian secara keseluruhan. Di samping
peranannya dalam penyelenggaraan transaksi pembayaran nasional dan menjalankan
fungsi intermediasi (penyaluran dana dari penabung/pemilik dana ke investor), sektor
perbankan juga berfungsi sebagai alat transmisi kebijakan moneter. Dengan industri
perbankan yang umumnya sedang mengalami kesulitan, transmisi kebijakan moneter
melalui

sektor

perbankan

tidak

berfungsi

sebagaimana

diharapkan.

Hal

ini

mengakibatkan kebijakan moneter sering kurang efektif dalam mencapai sasaran. Dengan
kerangka yang demikian, sangatlah sulit dibayangkan format pemulihan perekonomian
nasional melalui program stabilisasi ekonomi makro apabila sektor perbankan tetap
berada dalam kesulitan yang parah.
Untuk mengatasi dampak krisis, apa yang dapat dilakukan segera adalah melakukan
restrukturisasi perbankan. Rangkaian kebijakan tersebut diharapkan dapat kembali
membangun kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap sistem keuangan
dan perekonomian kita, mengupayakan agar perbankan kita menjadi lebih solvabel
sehingga dapat kembali berfungsi sebagai lembaga perantara yang mendorong
pertumbuhan ekonomi, dan sekaligus meningkatkan efektifitas pelaksanaan kebijakan
moneter. Dengan luasnya cakupan sasaran yang akan dicapai tersebut, strategi umum
yang banyak diterapkan di Asia, khususnya program-program ekonomi, bertumpu pada 4
(empat) bidang kebijakan pokok:
1. Di bidang moneter, ditempuh kebijakan moneter untuk mengurangi penurunan
atau depresiasi nilai mata uang lokal yang berlebihan, yaitu kebijakan moneter
yang ketat.
2. Di bidang Fiskal, ditempuh kebijakan fiskal yang lebih terfokus kepada upaya
realokasi pengeluaran kegiatan-kegiatan yang tidak produktif kepada kegiatan yang
diharapkan dapat mengurangi social cost yang ditimbulkan akibat krisis ekonomi yang
terjadi.
3. Di bidang pengelolaan dunia usaha (corporate governance), ditempuh kebijakan
yang akan memperbaiki kemampuan pengelolaan baik di sektor publik atau swasta.

Termasuk di dalamnya upaya untuk mengurangi intervensi pemerintah, monopoli dan


kegiatan-kegiatan yang kurang produktif lainnya.
4. Di bidang perbankan, ditempuh kebijakan yang akan memperbaiki kelemahankelemahan sistem perbankan berupa restrukturisasi perbankan yang bertujuan untuk
mencapai 2 hal, yaitu mengatasi dampak krisis, dan menghindari terjadinya krisis di masa
yang akan datang.
Independensi Bank Indonesia Dalam Menetapkan Kebijakan Moneter
Disamping faktor efektivitas kebijakan, upaya stabilisasi dan reformasi ekonomi di
sektor moneter-perbankan juga sangat dipengaruhi oleh tingkat kewenangan Bank
Indonesia dalam menetapakn kebijakan dimaksud. Sebagaimana diketahui, sebelum
berlakukanya Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, landasan
hukum bagi Bank Indonesia sebagai bank sentral adalah Undangundang No. 13 Tahun
1968 tentang Bank Sentral. Dalam Undang-undang yang lama Ditetapkan bahwa dalam
menjalankan tugasnya Bank Indonesia mengacu pada Kebijakan yang ditetapkan
Pemerintah yang perumusannya dilakukan oleh Dewan Moneter. Hal ini mencerminkan
kekurangtegasan dalam pembagian tugas dan tanggungjawab anatara Bank Indonesia
selaku bank sentral dengan Pemerintah, serta mencerminkan pula keterbatasan wewenang
bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang moneter dan
perbankan. Terbatasnya kewenangan Bank Indonesia tersebut berakibat pada kurang
efektifnya langkah-langkah yang ditempuh oleh Bank Indonesia dalam mengatasi krisis
moneter yang berlangsung beberapa waktu lalu. Oleh karena itu, timbul pemikiran untuk
memberikan kewenangan yang lebih tegas kepada Bank Indonesia dalam menajlankan
fungsinya selaku otritas moneter. Untuk itulah, sejak tanggal 17 Mei 1999 Undangundang No. 13 Tahun 1968 diganti Undang-undang No. 23 Tahun 1999. UU yang baru
diwarnai oleh kuatnya nuansa independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia.
Hal ini menunjukkan terdapatnya keseriusan dan kesadaran bersama untuk memperkokoh
fungsi dan peranan Bank Indonesia sebagai bank sentral. Banyak hal mendasar dalam UU
Bl ini yang diharapkan dapat meningkatkan efektivitas Bank Indonesia sebagai bank
sentral. Dalam UU ini dirnuat berbagai ketentuan/pasal yang memberikan dasar hukum
yang kuat bagi independensi Bank Indonesia, seperti kedudukan dan status Bank
Indonesia, tujuan dan tugas, penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter, pengaturan

dan pengawasan bank, pengaturan dan pemeliharaan kelancaran sistem pembayaran,


akuntabilitas dan transparansi, serta mengenai Pimpinan Bank Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai