Monentum Natal dijadikan ajang untuk mengemban misi menyebarkan misi Kristen.
Karenanya umat Kristiani sangat serius merayakan Natal dan Tahun Baru untuk menarik
minat kaum lainnya, termasuk Islam. Perayaan Natal Bersama (PNB), dijadikan salah satu
uslub penting untuk menyebarkan misi Kristen, agar umat manusia mengenal doktrin
kepercayaan Kristen, dengan mempercayai Tuhan Yesus sebagai juru selamat, manusia akan
selamat. Karena itulah, ajakan untuk bersama-sama ikut merayakan natal atau setidaknya
mengucapkan selamat natal begitu gencar dengan berbagai bentuk, cara, dan dalih.
Seruan ikut serta dalam perayaan Natal, tak lain adalah kampanye ide pluralisme yang
mengajarkan kebenaran semua agama. Ajaran ini mengajak umat untuk menganggap agama
lain juga benar. Khusus dalam konteks natal, itu berarti umat muslim didorong untuk
menerima kebenaran ajaran kristen, termasuk menerima paham trinitas dan ketuhanan Yesus.
Seruan itu juga merupakan propaganda sinkretisme, pencampuradukan ajaran agama-agama.
Spirit sinkretisme adalah mengkompromikan hal-hal yang bertentangan. Dalam konteks Natal
bersama dan tahun baru, sinkretisme tampak jelas dalam seruan berpartisipasi merayakan
Natal dan tahun baru, termasuk mengucapkan selamat Natal. Padahal dalam Islam batasan
iman dan kafir, batasan halal dan haram adalah sangat jelas. Tidak boleh dikompromikan!
Jika mereka menyambut dan memberi penghargaan karena umat Islam telah menerima
apalagi ikut serta dalam perayaan Natal bersama, maka sungguh itu adalah ukuran bahwa
umat telah mengikuti millah, jalan hidup dan agama mereka. Sebab Allah SWT telah
memperingatkan kita dalam firman-Nya:
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti
agama mereka. (TQS al-Baqarah [2]: 120)
MUI telah mengeluarkan fatwa melarang umat Islam untuk menghadiri perayaan Natal
Bersama. Dalam fatwa yang dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981, MUI
diantaranya menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya
haram (2) agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT,
dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid II, oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, yang
diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah (1991), hal. 238-240, juga sudah diterangkan, bahwa
hukum menghadiri PNB adalah Haram.
Ikut merayakan Natal dan hari raya agama lain hukumnya jelas haram dan bertentangan
dengan al-Quran. Ada beberapa alasan yang mendasari.
Pertama, Allah SWT berfirman:
][
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu
dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah,
mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS al-Furqan [25]: 72).
Az-zra ini meliputi semua bentuk kebatilan. Yang paling besar adalah syirik, dan
mengagungkan sekutu Allah. Karena itu Ibn Katsir mengutip dari Abu al-Aliyah, Thawus,
Muhammad bin Sirrin, adh-Dhahhak, ar-Rabi bin Anas, dan lainnya, az-zra itu adalah hari
raya kaum Musyrik. (Tafsir Ibnu Katsir, iii/1346).
Menurut asy-Syawkani, kata l yasyhadna, menurut jumhur ulama bermakna l
yahdhurna az-zra, tidak menghadirinya (Fath al-Qadr, iv/89). Menurut al-Qurthubi,
yasyhadna az-zra ini adalah menghadirkan kebohongan dan kebatilan, serta
menyaksikannya. Ibn Abbas, menjelaskan, makna yasyhadna az-zra adalah menyaksikan
hari raya orang-orang musyrik. Termasuk dalam konteks larangan ayat ini adalah mengikuti
hari raya mereka.
Kedua, perayaan Natal adalah bagian dari ajaran agama, karena itu merayakannya bagian dari
ritual agama mereka. Orang Islam yang merayakannya, bukan hanya maksiat, tetapi bisa
sampai murtad jika disertai dengan Itiqad, karena, telah melakukan ritual agama lain.
Ketiga, Rasul melarang kita menyerupai (tasyabbuh) kaum kafir, maka lebih dari menyerupai
tentu lebih tidak boleh lagi. Merayakan Natal, bukan hanya menyerupai orang Kristen, tetapi
lebih dari itu justru telah mempraktikkan bagian dari ritual mereka.
Selain tidak boleh menghadiri Natal Bersama, kaum Muslim juga dilarang ikut
menyemarakkan, meramaikan atau membantu mempublikasikan. Allah berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang suka perkara keji (fakhisyah) itu tersebar di tengahtengah orang Mukmin, maka mereka berhak mendapatkan azab yang pedih di dunia dan
akhirat. (TQS an-Nur [24]: 19)
Menyebarkan fakhisyah itu bukan hanya masalah pornografi dan pornoaksi, tetapi juga semua
bentuk kemaksiatan. Menyemarakkan Perayaan Natal, meramaikan dan menyiarkannya jelas
menyebarluaskan kekufuran dan syirik yang diharamkan. Ibnu Qayyim alJauziyyah mengatakan, Sebagaimana mereka (kaum Musyrik) tidak diperbolehkan
menampakkan syiar-syiar mereka, maka tidak diperbolehkan pula bagi kaum Muslimin
menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka.
Demikian menurut kesepakatan ahli ilmu. (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkm Ahl alDzimmah, i/235).
Para ulama dahulu juga telah jelas menyatakan haramnya menghadiri perayaan hari raya
kaum kafir. Imam Baihaqi menyatakan, Kaum Muslimin diharamkan memasuki gereja,
apalagi merayakan hari raya mereka. Al-Qadhi Abu Yala berkata, Kaum Muslimin telah
dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik. Imam
Malik menyatakan, Kaum Muslimin dilarang untuk merayakan hari raya kaum musyrik
atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau
naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya. (Ibnu
Tamiyyah, Iqtidh al-Shirth al-Mustaqm, hal. 201).
Komentar:
Wakil Ketua MPR, Hajriyanto Y Thohari, mengatakan pesatnya perkembangan Islam tidak
berkorelasi positif dengan raihan suara parpol Islam. Penyebabnya, karena parpol Islam lebih
mengutamakan ekspresi simbolik dibanding substansial. (Republika.co.id, 17/12)
1. Bagaimana parpol itu akan mendapat loyalitas umat Islam, sementara justru makin
tidak merepresentasikan Islam, makin jauh dari Islam dan tidak mau menyuarakan
Islam. Akhirnya yang tinggal hanya nama tapi realitanya tidak beda dengan parpol
sekuler, bukan parpol Islam.
2. Ketika parpol yang mengklaim parpol Islam justru menghindari sebutan Islam dan
menjauhi untuk menyerukan Islam, justru itulah kegagalan yang sebenarnya, dan
tidak lagi pantas disebut parpol Islam.
3. Parpol Islam harus menjadikan Islam sebagai ideologi. Tugas parpol dalam Islam
adalah mendakwahkan Islam, memerintahkan yang makruf dan mencegah yang
mungkar (QS Ali Imran [3]: 104).