Anda di halaman 1dari 19

Euthanasia Ditinjau dari aspek Hukum Hak Asasi Manusia

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Beberapa waktu yang lalu masalah euthanasia mulai sering dibicarakan oleh
masyarakat indonesia. Eithanasia secara sederhana dapat diartikan sebagai bentuk
pengakhiran hidup kepada seseorang yang mengalami sakit berat atau parah dengan
kematian tenang dan mudah atas nama perikemanusiaan. Berkembangnya polemik di
masyarakat antara masalah hak asasi manusia dengan kepercayaan bahwa awal dan akhir
hidup manusia ada ditangan Tuhan menyebabkan kasus euthanasia menjadi hal yang
cukup menarik dibahas.
Secara yuridis manusia telah diberi perlindungan hukum sejak ia masih dalam
kandungan yakni dalam keadaan janin. Janin dari nidasi hingga dilahirkan dinama kan
sebagai status nascendi, jadi manusia sejak masih dalam status nascendi sudah dilindungi
oleh hukum, akan tetapi bukan berarti status nascendi ini mempunyai hak perorangan. Ia
belum mempunyai hak perorangan karena ia sendiri belum menjadi subjek hukum, yaitu ia
(janin) yang dianggap telah lahir jika kepentingannya memang menuntutnya misalnya
dalam hal pewarisan, akan tetapi apabila bayi tersebut pada saat dilahirkan meninggal
dunia maka ia dianggap tidak pernah ada.
Kehadiran euthanasia sebagai suatu hak asasi manusia berupa hak untuk mati,
dianggap sebagai konsekuensi logis dari adanya hak untuk hidup. Oleh karena setiap
orang mempunyai hak untuk hidup, maka setiap orang juga mempunyai hak untuk memilih
kematian yang dianggap menyenangkan bagi dirinya. Inilah yang kemudian memunculkan

istilah euthanasia. Dalam euthanasia untuk mendapat kematian yang menyenangkan,


seseorang yang menginginkan atau dianggap menginginkan kematian memerlukan
bantuan untuk orang lain untuk mendapatkan kematian tersebut. Peranan orang lain itulah
yang membedakan euthanasia dari bunuh diri.
Masalah euthanasia sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit
yang sulit untuk disembuhkan. Di sisi lain, pasien sudah dalam keadaan kritis sehingga
takjarang pasien atau keluarganya meminta dokter untuk menghentikan pengobatan
terhadap yang bersangkutan. Dari sinilah dilema muncul dan menempatkan dokter atau
perawat pada posisi yang serba sulit. Dokter dan perawat merupakan suatu profesi yang
mempunyai kode etik sendiri sehingga mereka dituntut untuk bertindak secara profesional.
Pada satu pihak ilmu dan teknologi kedokteran telah sedemikian maju sehingga mampu
mempertahankan hidup seseorang (walaupun istilahnya hidup secara vegetatif).
Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali
berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun ketersediaan perawatan
atau tindakan medis. Di beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negaranegara lainnya dianggap melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan
dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.
B. PERMASALAHAN
1. Bagaimana pandangan HAM tentang eutanasia?
2. Apa Hak Pasien dalam kasus Euthanasia?
3. Bagaimana euthanasia menurut hukum di berbagai negara, khususnya di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Euthanasia
Euthanasia (eu = baik, thanatos = mati) atau good death / easy death sering pula
disebut mercy killing pada hakekatnya pembunuhan atas dasar perasaan kasihan,
sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right
self of determination) pada diri pasien. Hak ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan
seiring dengan kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan
berbagai perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah
mengakibatkan perubahan yang dramatis atas pemahaman mengenai euthanasia. Namun,
uniknya, kemajuan dan perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh
perkembangan di bidang hukum dan etika. Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic
menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada
kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta
teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.
Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti pembunuhan tanpa penderitaan (mercy
killing)1[1].
Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti
mati baik. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti
euthanasia sebagai mati cepat tanpa derita. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland
(Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk
tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja

1[1] Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis
sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh.

melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan
semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri. 2[2]
B. Klasifikasi Euthanasia
a. Dilihat dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi menjadi:
Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit dan
Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain seperti pihak
keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.
b. Menurut Dr. Veronica Komalawati, S.H., M.H., ahli hukum kedokteran dan staf pengajar
pada Fakultas Hukum UNPAD dalam artikel harian Pikiran Rakyat mengatakan bahwa
euthanasia dapat dibedakan menjadi:
Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga
kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, memberi
tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke tubuh pasien.
Euthanasia pasif. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan
bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak
memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan melakukan kasus
malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara tidak langsung
medis melakukan euthanasia dengan mencabut peralatan yang membantunya untuk
bertahan hidup.
Autoeuthanasia. Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima
perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri
hidupnya.
C. Eutanasia Ditinjau Dari Sudut Cara Pelaksanaannya
2[2] C. Satyo, Alfred, Dr,DSF,MHPE: "Dampak Teknologi Kedokteran Modern
terhadap Budaya Kematian dan Kehidupan", Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara .

Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori:
1. Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang
dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri
hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa
yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa
mematikan tersebut adalah tablet sianida.
2.

Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia)


digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak
secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui
bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut
diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan).
Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan
pasien yang bersangkutan.

3. Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak
menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang
pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang
dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan
tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam
pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan
tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun
pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan
mengakibatkan kematian.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga
yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena
ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga

pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak
rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal,
pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis. 3[3]
D.

Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin


Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga
yaitu :

Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan
dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat
disamakan dengan pembunuhan.
Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi
bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal
ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil
suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada
kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali
mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga
masih merupakan hal controversial.

E. Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan


Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
Pembunuhan berdasarkan belas kasihan
Eutanasia hewan

3[3] Kompas, 28 September 2000/www.kompas.com

Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif
secara sukarela
Frans Magnis Suseno membedakan 4 arti euthanasia mengikuti J. Wundeli yaitu:

Euthanasia murni : usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek


kehidupannya.

Euthanasia pasif : tidak dipergunakannya semua kemungkinan teknik kedokteran yang


sebenarnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan.

Euthanasia tidak langsung : usaha memperingan kematian dengan efek sampingan bahwa
pasien mungkin mati dengan lebih cepat.

Euthanasia aktif : proses kematian diperingan dengan memperpendek kehidupan secara


terarah dan langsung.Ini yang disebut sebagai mercy killing. Dalam euthanasia aktif masih
perlu dibedakan pasien menginginkannya atau tidak berada dalam keadaan dimana
keinginanya dapat di ketahui.

F. Eutanasia Menurut Hukum di Berbagai Negara


Sejauh ini eutanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di
negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss dan dibeberapa negara dinyatakan
sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark.

Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan
eutanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang
menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia.
Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk
mengakhiri penderitaannya.

Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal
euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah
Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3
melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan
eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang
telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat
(tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50
pertanyaan.

Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan
UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak
bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut "Right of
the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa
kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia,
sehingga harus ditarik kembali.

Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002.
Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya
telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia di negara ini, namun mereka
juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan
adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah Belanda dan
negara bagian Oregon di Amerika).

Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika. Saat ini satusatunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien
terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah
negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya
eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with
Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan
euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18
tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan
meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien,
dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali
secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan
keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan
prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada
dalam keadaan gangguan mental.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan,
sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin
saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu
sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999. 4[4]

Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang
melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu

4[4] Oregon Death with Dignity Act; situs pemerintah Negara Bagian Oregon

pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana 5[5]. Juga demikian halnya nampak
pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan
memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal
hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh
siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam
suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan
bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat
diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.
"Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan
melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.6[6]

Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss
ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal
115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan
dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa "membantu suatu
pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila
motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri."

Inggris

5[5] Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya 12 tahun
6[6] Situs Tempointeraktif

Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya
(Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal
kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin
untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns).
Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan
semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan
hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktik kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di
kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical
Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga. 7[7]

Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia demikian
pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah mengatur
mengenai eutanasia tersebut.
Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962
yang dapat dikategorikan sebagai "eutanasia pasif" ( , shkyokuteki
anrakushi). Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university
pada tahun 1995 yang dikategorikan sebagai "eutanasia aktif " (, sekkyokuteki
anrakushi).8[8]
Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum
dan suatu alasan pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan
7[7] The New England Journal of Medicine, 24-2-2000
8[8] Situs Asianews.com

secara legal. Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus
tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang melakukannya akan
dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan
pengadilan ini masih diajukan banding ke tingkat federal maka keputusan tersebut belum
mempunyai kekuatan hukum sebagai sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian
saat ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara guna melaksanakan eutanasia.

Republik Ceko
Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan
berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri
Jiri Pospil bermaksud untuk memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut
sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan
Perwakilan Konstitusional dan komite hukum negara tersebut merekomendasikan agar
pasal kontroversial tersebut dihapus dari rancangan tersebut.

India
Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai larangan
eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari
Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun
berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah
atas kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang
hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan
terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang menginginkan
kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan eutanasia tersebut (bantuan
eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain)

ataupun eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92
IPC.

China
Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia diketahui
terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama "Wang
Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap ibunya yang
sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintaannya,
namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People's Court)
menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita
penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta
untuk dilakukannya eutanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang
merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan. 9[9]

Hak Pasien dan Pembatasannya


Penghormatan hak pasien untuk penentuan nasib sendiri masih memerlukan
pertimbangan dari seorang dokter terhadap pengobatannya. Hal ini berarti para dokter
harus mendahulukan proses pembuatan keputusan yang normal dan berusaha bertindak
sesuai dengan kemauan pasien sehingga keputusan dapat diambil berdasarkan
pertimbangan yang matang. Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan
nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberikan informasi yang
cukup sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas.
Beberapa Aspek Euthanasia

Aspek Hukum.

9[9] Situs Human Rights China

Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai
pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu
pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga
dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan
euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli
apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk
mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat
yang belum diketahui pengobatannya.
Aspek Hak Asasi.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak
tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru
dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum
euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya
dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung
seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari
segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
Aspek Ilmu Pengetahuan.
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan
medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara
ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun
pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak
diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya
dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada
kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.

Aspek Agama.
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia
ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri.
Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia,
apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan
kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia,
walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat
dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Aspek lain dari
pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa
menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi
penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak
akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan
sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya
medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. 10[10]
G. Euthanasia Dipandang Dari Aspek Hukum Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang
melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu
pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari
ketentuan tersebut, ketentuan yang berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat
pada pasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP

10[10] Hukumonline.com//fatwa-fatwa kontemporer

barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua
belas tahun.
Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini
perlu diketahui oleh dokter.
Pasal 340 KUHP
Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa
orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati
atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua
puluh tahun.
Pasal 359
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selamalamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Pasal 345
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya
dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara
selama-lamanya empat tahun penjara.
Berdasarkan penjelasan pandangan hukum terhadap tindakan euthanasia dalam
skenario ini, maka dokter dan keluarga yang memberikan izin dalam pelaksanaan tindakan
tersebut dapat dijeratkan dengan pasal 345 KUHP dengan acaman penjara selamalamanya empat tahun penjara.11[11]

11[11] Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasan

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hak untuk hidup merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar dan
melekat pada setiap diri manusia secara kodrati, berlaku universal dan bersifat abadi
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Namun pada kenyataannya, masih banyak
manusia yang dengan sengaja melakukan berbagai cara untuk mengakhiri kehidupannya
sendiri maupun orang lain secara tidak alamiah. Hal ini tentu saja sangat bertentangan
dengan keyakinan setiap umat beragama yang percaya bahwa hanya Tuhan pemilik hidup
ini dan berhak atas kehidupan manusia ciptaan-Nya, juga hanya Tuhan yang akan
menentukan batas akhir kehidupan setiap manusia di dunia ini sesuai dengan kehendakNya.
Euthanasia merupakan perbuatan yang terlarang karena dikategorikan sebagai suatu
pembunuhan atas nyawa seseorang dan terhadap pelakunya diancam pidana, tetapi bukan
mustahil jika selama ini euthanasia telah banyak terjadi di Indonesia, walaupun hal tersebut
dilakukan secara diam-diam. Pada kenyataannya, semakin lama ternyata tindakan
euthanasia menjadi suatu "kebutuhan" dalam beberapa kasus tertentu mengenai
penderitaan pasien atas penyakit tak tersembuhkan yang dideritanya. Memberikan hak
kepada individu untuk mendapatkan pertolongan dalam pengakhiran hidupnya masih
menjadi perdebatan yang sengit bagi banyak negara.
B. SARAN
Untuk kedepannya, dasar hukum di Indonesia yang membahas tentang euthanasia
diharapkan dapat mewakili segala aspek yang berkaitan dengan Human Rights secara
umum, bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup dan hak untuk mati. Namun

landasan hukum tersebut haruslah memenuhi standart kriteria tersendiri (kajian dan
landasan berpikir) yang cukup.
Pasal yang mengatur masalah tersebut haruslah bersifat fleksibel, dalam artian bisa
dimengerti masyarakat awam pada umumnya dan dapat benar-benar dijadikan landasan
hukum yang kuat dalam masalah euthanasia di indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Dworkin, R. M. Life's Dominion: An Argument About Abortion, Euthanasia, and Individual


Freedom. New York: Knopf, 1993.

The New England Journal of Medicine, 2002

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasan

C. Satyo, Alfred, Dr,DSF,MHPE: "Dampak Teknologi Kedokteran Modern terhadap Budaya


Kematian dan Kehidupan",

Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara .

www.euthanasia.com

www.hukumonline.com//fatwa-fatwa kontemporer

Situs Human Rights China

www.tempointeraktif//euthanasia-dalam-pandangan-hak-asasi

Oregon Death with Dignity Act; situs pemerintah Negara Bagian Oregon

Kompas, 28 September 2000/www.kompas.com

Situs Asianews.com

https://www.youtube.com/watch?v=kk0_X7Yb7jA
http://nasional.kompas.com/read/2015/09/29/05220051/Ini.8.Kasus.Pelanggaran.HA
M.yang.Masih.Macet.hingga.Sekarang

Anda mungkin juga menyukai