Anda di halaman 1dari 7

Alia Noor Anoviar (0906490645)

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia


I. Pendahuluan
Badan Pusat Statistik (BPS) berpendapat bahwa indikator nominal rata-rata kemiskinan di
Indonesia sebesar Rp 211.000 per bulan per orang berdasar tingkat kebutuhan makanan dan non
makanan. Sementara itu, Bank Dunia telah membuat pengukuran relatif mengenai kemiskinan dengan
berstandar pada konsep purchasing power parity, yakni mulai dari standar US$ 1 , US$ 1,25 hingga US$
2 per hari. Menurut Bappenas, kemiskinan adalah ketidakmampuan dalam memenuhi hak-hak dasarnya
untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Berdasarkan tiga pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa kemiskinan adalah suatu keadaan yang menunjukkan
ketidakmampuan dalam memenuhi hak-hak dasarnya untuk hidup layak. Namun terdapat perbedaan
indikator nominal antara standar kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS dan Bank Dunia berkisar antara
Rp 91.000 Rp Rp 391.000 per bulan jika kurs $ diasumsikan Rp 10.000 dan dalam satu bulan
diasumsikan 30 hari.
Anggota Komisi II DPR RI Budiman Sudjatmiko (2011) mengungkapkan bahwa Indonesia
adalah satu-satunya negara dalam zona merah yang mengklaim berada di zona biru dalam hal
kemiskinan. Tingkat kemiskinan domestik Indonesia berdasarkan data BPS menunjukkan posisinya di
zona biru atau di bawah 20 persen. Padahal menurut standar Bank Dunia, Indonesia berada di zona merah
dengan tingkat kemiskinan antara 41 persen sampai 60 persen. Level ini sama dengan beberapa negara
Afrika, Yaman, Pakistan, Mongolia, Vietnam, dan Philipina.[1]
Menurut Rafiqoh Rokhim (2011)[2], jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami
penurunan karena adanya KUR dan Program BLT. Sejak tahun 2006 sampai dengan 2010 berturut-turut
sebesar 39,1 juta jiwa, 37,2 juta jiwa, 35,0 juta jiwa, 32,5 juta jiwa, dan per 2010 menurun kembali
menjadi 31,02 juta jiwa. Hal ini berkorelasi positif dengan tingkat pengangguran yang juga menurun dari
10,28 % per Agustus 2006 menjadi 7,14 % per Agustus 2010 (BPS, 2010).
Berbagai program telah dilaksanakan dalam rangka pengentasan kemiskinan, namun masih
terjadi banyak hambatan untuk menuju Indonesia bebas kemiskinan, misalnya pemerintah masih
memosisikan masyarakat miskin dan sangat miskin sebagai objek daripada subjek dengan memberikan
BLT. Seharusnya mereka dijadikan sebagai subjek, yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif terlibat

dalam aktivitas program penanggulangan kemiskinan, salah satunya dengan memberikan Kredit Usaha
Rakyat (KUR). Upaya dalam mengurangi angka pengangguran harus dilakukan karena memiliki korelasi
terhadap angka kemiskinan. Upaya besar yang telah dilakukan sejauh ini adalah proyek Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) yang telah menyebar hingga pelosok
desa. Program ini memicu tumbuhnya UMKM terutama dalam skala usaha mikro sehingga dapat
mengembangkan sektor riil Saat jumlah orang yang menganggur meningkat akan maka angka
kemiskinan dan masalah sosial meningkat pula. di Indonesia.[3]Namun program ini juga mengalami
hambatan, misalnya di Kabupaten Bireun terrdapat masalah dana tersendat sehingga proyek PNPM
terlantar.[4]
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, usaha mikro adalah usaha produktif milik
orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria kepemilikan aset maksimal
Rp 50.000.000,- dan omset maksimal Rp 200.000.000,-. Menurut Hendro Wibowo [5](2011), usaha
mikro saat ini mencapi 99,9 % dari total UMKM di Indonesia yang memiliki potensi untuk
dikembangkan sehingga mampu menampung pengangguran yang ada. Namun usaha mikro kerap kali
tersendat masalah permodalan sehingga perlu adanya sarana pembiayaan. Sejauh ini telah ada Lembaga
Keuangan Mikro Konvensional (LKMK) yang berperan aktif memberikan pinjaman pada UMKM,
namun LKMK hanya memiliki sasaran pembiayaan orang miskin. Sementara itu, bagi orang sangat
miskin seringkali tidak memiliki akses terhadap permodalan sehingga keberadaan Lembaga Keuangan
Mikro Syariah (LKMS) menjadi solusi potensial bagi kalangan tersebut untuk memiliki usaha mikro
sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan pribadi pada khususnya dan mengurangi angka
kemiskinan pada umumnya. LKMS dapat berbentuk lembaga keuangan bank, misalnya Bank Muamalat,
dan non bank, misalnya BMT.
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) ada untuk menolong masyarakat sanagt miskin sehingga
mereka mampu menolong dirinya sendiri. Dalam kerangka itu, keuangan mikro dimaksudkan
memberikan dukungan yang akan memberdayakan berbagai kemampuan yang dimiliki masyarakat
miskin atau pengusaha kecil. Jadi, keuangan mikro adalah penyediaan jasa-jasa keuangan kepada
anggota masyarakat yang berpenghasilan rendah (Luluk Widyawan, 2006).[6]Pemberdayaan usaha
mikro melalui LKMS merupakan langkah strategis dalam menghadapi masalah klasik usaha mikro, yaitu
akses terhadap modal yang terbatas. Hadi Paramu (2011)[7] menjelaskan bahwa persoalan mendasar
usaha mikro adalah financial accessibility sehingga LKMS perlu memperhatikan hal ini sehingga usaha
mikro yang menjadi target bisa mampu mengakses.

Tujuan penulisan esai ini adalah untuk mengkaji alternatif strategi yang dapat dikedepankan
guna memutuskan mata rantai kemiskinan melalui pemberdayaan usaha mikro di Indonesia sebagai
penggerak sektor riil yang menyentuh masyarakat miskin dan sangat miskin dengan optimalisasi sarana
pembiayaan LKMS.
II. Pembahasan
Tabel 1 akan menggambarkan perbedaan antara Lembaga Keuangan Mikro Konvensional
(LKMK) dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS).
Tabel 1 : Perbedaan antara LKMK dan LKMS[8]
Faktor
Sumber pendanaan

LKMK

LKMS

Dana pihak ketiga dan dana Dana pihak ketiga dan dana
donor.

yang bersumber dari amal


(ZIS).

Jenis pembiayaan

Berbasis bunga.

Bagi hasil, margin, dan ujrah


(instrumen keuangan islam)

Sasaran pembiayaan

Orang miskin yang produktif.

Orang sangat miskin dan orang


miskin produktif.

Transfer pendanaan

Diberikan dalam bentuk tunai. Diberikan dalam bentuk produk


(barang dan jasa).

Biaya pinjaman

Diambil dari sebagian dana Tidak dikenakan biaya.


pinjaman

Target kelompok

Wanita.

Keluarga.

Tujuan pembiayaan

Pemberdayaan wanita.

Mendapatkan ketentraman dan


meningkatkan kesejahteraan

Penanggung jawab pinjaman

Penerima pinjaman.

Penerima

pinjaman

dan

pasangannya.
Dorongan untuk bekerja

Moneter.

Solusi gagal bayar

Tekanan dan ancaman dari Jaminan


kelompok.

Perintah agama dan moneter.


dari

pasangannya,

kelompok, dan etika islam.

Program

pengembangan Sekuler, etika, dan sosial.

Keagamaan, etika, dan sosial.

sosial
Penulis pada tahun 2008 mengadakan riset mengenai Peran Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
dalam Mengurangi Angka Kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian lapanganyang
dilaksanakan pada 100 nasabah LKM BRI Unit Jenggawah, Kecamatan Jenggawah, Kabupaten Jember
secara acak menunjukkan bahwa peranan BRI sebagai LKM cukup efektif dalam upaya mengurangi
angka kemiskinan di wilayah Jenggawah yang merupakan daerah sampel. Hal ini terbukti dengan
meningkatnya

pendapatan

nasabah,

adanya

pendapatan

yang

dapat

disisihkan

untuk

ditabung, dan terciptanya lapangan kerja baru.[9] Namun hasil penelitian tersebut juga mengindikasikan
adanya kekurangan dari LKM Konvensional (LKMK), yaitu masih adanya kredit macet karena peminjam
dana tidak memiliki kesadaran dalam pengembalian dana dimana dana yang seharusnya ditujukan untuk
kegiatan produktif dialihkan menjadi kegiatan konsumsi artinya pengawasan dari pemberi pinjaman
kurang ketat. Selain itu, masih banyak dari masyarakat di lokasi penelitian yang meminjam dana dari
renternair, umumnya masyarakat kategori sangat miskin. Sistem bunga yang diberlakukan atas
peminjaman wirausaha mikro kepada LKMK ternyata cukup memberatkan karena terdapat probabilitas
usaha mikro yang didirikan tidak mampu bertahan dan mengalami kebangkrutan sehingga mereka tidak
hanya terbatas dalam kemampuan pengembalian dana pinjaman, tetapi juga tidak mampu
mengembalikan bunga atas pinjaman.
Persoalan-persoalan yang telah dijelaskan mengindikasikan bahwa para wirausaha mikro
terutama dari kalangan masyarakat sangat miskin memiliki keterbatasan dalam mendapatkan akses
modal dari LKM Konvensional. Dilema ini menjadi potensi untuk mengoptimalisasi peran LKMS
sebagai alternatif sumber pendanaan untuk menggerakkan sektor riil di Indonesia. Tabel 1 menjelaskan
beberapa perbedaan LKMK dan LKMS dengan jelas. Beberapa hal sebagaimana yang telah diungkap
berdasarkan penelitian penulis (2008) akan diperbandingkan jika sarana pembiayaan yang digunakan
para wirausaha mikro tersebut adalah LKMS.
1. Kredit macet dapat diawasi dengan pendampingan kepada wirausaha mikro sehingga tidak mengalami
kegagalan dan perlu dibentuk kesadaran secara spiritual untuk mengembalikan pinjaman yang diterima
dari LKMS. Pendampingan juga memperkecil probabilitas penyalahgunaan dana pinjaman, meskipun
tidak dapat dielakkan.

2. Masyarakat yang masih meminjam pada renternair padahal pada lokasi tersebut terdapat LKMK,
alasannya adalah tidak memiliki agunan atau tidak memenuhi persyaratan peminjaman padahal usaha
mereka produktif, terutama masyarakat kategori sangat miskin. Sasaran pembiayaan dari LKMS adalah
masyarakat sangat miskin dan miskin sehingga jika peran LKMS dalam diperluas dan dioptimalisasi
maka akan mampu memberdayakan usaha mikro secara luas.
3. Saat para wirausaha mikro mengalami kebangkrutan maka tetap berkewajiban mengembalikan pinjaman
beserta bunga pada LKMK. Jadi dapat diistilahkan sudah jatuh tertimpa tangga. Sementara pada LKMS,
dilakukan pembimbingan terhadap usaha mikro tersebut selama berjalan, sebagaimana yang dilakukan
pada BMT Halal Bank pimpinan Hendro Wibowo, dengan sistem bagi hasil sehingga saat mengalami
kebangkrutan hanya mengembalikan dana pokok.
Peran sentral LKMS dalam pemberdayaan usaha mikro dapat dikatakan semakin penting. Hendro
Wibowo (2011) mengungkapkan bahwa usaha mikro saat ini mencapai 99,9 % dari total UMKM secara
keseluruhan sehingga memiliki potensi untuk berkembang pesat. Meskipun sumbangan dari usaha mikro
jauh lebih kecil dibandingkan usaha kecil, menengah, dan besar, keberadaan usaha mikro dapat menjadi
penggerak masyarakat sangat miskin dan miskin. Usaha mikro akan membuka lapangan kerja bagi
pengangguran sehingga mengurangi masalah sosial yang ada saat ini. BMT Halal Bank yang didirikan
Hendro dan kawan-kawan mengalami peningkatan pesat dimana awalnya bermodal aset jutaan rupiah
menjadi 50 Miliar di tahun 2011 dimana telah membantu berbagai usaha mikro dengan konsep syariah.
Efek dari peminjaman dana bagai usaha mikro tidak hanya mampu mengembangkan usaha mikro yang
dibimbing, namun juga mampu mengembangkan BMT Halal Bank.
Keberadaan LKMS sebagai alternatif pendanaan penggerak sektor riil di Indonesia yang jelas
memiliki kontribusi positif ternyata tidak terlepas dari berbagai hambatan terutama terkait resiko yang
dihadapi. Hendro Wibowo (2011) menjelaskan bahwa LKMS tidak memiliki payung hukum dalam artian
Undang-Undang LKMS dan keterbatasan modal dalam penyaluran dana bagi usaha mikro. Muchamad
Setiawan (2010) menjelaskan resiko yang dihadapi LKMS sama dengan resiko yang dihadapi perbankan,
meskipun LKMS merupakan lembaga keuangan bukan bank.Resiko terbesar yang dihadapi LKMS
adalah resiko kredit karena peminjam juga berasal dari masyarakat sangat miskin yang memiliki berbagai
keterbatasan pengelolaan usaha.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mengoptimalisasi peran LKMS dalam
pengembangan usaha mikro guna mengurangi angka kemiskinan di Indonesia, yaitu :

1. Pertama, mengenai potensi resiko maka LKMS harus membuat manajemen resiko LKMS sehingga
dapat meminimalisasi kemungkinan resiko yang terjadi, terutama resiko kredit.
2. Kedua, program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang digalakkan oleh pemerintah mengalami selisih
dana sebesar Rp 3,8 triliun, dana yang awalnya hendak disalurkan adalah Rp 18 triliun dan hanya
disalurkan Rp 14,2 triliun (2010). Pemerintah hendaknya menggandeng LKMS untuk menyalurkan KUR
sehingga bisa tepat sasaran terutama menggerakkan masyarakat sangat miskin dan masyarakat miskin di
Indonesia agar produktif. Masyarakat tersebut tentu juga memiliki potensi sehingga perlu dilakukan
bedah potensi masyarakat miskin dan sangat miskin untuk meningkatkan kesejahteraan. Pelatihan,
pemberian modal, dan sosialisasi harus dilaksanakan secara berkelanjutan. Bila memungkinkan, di setiap
desa ditugaskan seorang konsultan untuk memberi pengarahan pada mereka dalam melaksanakan
kegiatan usaha mikro yang dimiliki. Dengan dukungan permodalan dari pemerintah, LKMS tidak akan
kesulitan mencari dana untuk disalurkan sebagai modal usaha.
3. Ketiga, terkait dengan tidak adanya payung hukum bagi LKMS maka perlu dibentuk Undang-Undang
LKMS. Hal ini dimaksud untuk menjamin keberadaan LKMS dapat terjamin secara legal dan dipercaya
oleh investor untuk menyimpan dana sehingga bisa disalurkan untuk menggerakkan sektor riil melalui
peran aktif masyarakat miskin dan sangat miskin dengan membangun usaha dan mendapat kepercayaan
dari masyarakat secara umum.
Melalui solusi yang ditawarkan atas permasalahan yang terjadi terkait LKMS di Indonesia,
penulis mengharapkan LKMS dapat mengoptimalkan perannya dalam pemberdayaan usaha mikro
sehingga mampu mencapai tujuan utama, yaitu mengurangi angka kemiskinan di Indonesia.
III. Kesimpulan dan Saran
Kemiskinan merupakan isu sentral yang kronis dan harus cepat diatasi dengan strategi yang tepat untuk
memutuskan mata rantai kemiskinan di Indonesia. Terutama fokus pada pemberdayaan usaha mikro
dengan efektif. Pelibatan LKMS sebagai sumber mitra pemerintah dalam penyalur modal terhadap
masyarakat sangat miskin dan masyarakat miskin dapat menunjang keberhasilan dalam memutuskan
mata rantai kemiskinan di Indonesia. Alternatif solusi dalam esai ekonomi syariah yang diajukan oleh
penulis, mencoba menjawab berbagai persooalan yang menempa keberadaan LKMS. Peran aktif
pemerintah dan masyarakat dalam mendukung optimalisasi peran LKMS dalam memberdayakan usaha
mikro sangat dibutuhkan untuk terealisasinya Indonesia bebas dari kemiskinan.

[1] Sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?p=369886955


[2] Rafiqoh Rokhim, SE, SIP, DEA, Ph.D dalam Kelas Pasar dan Lembaga Keuangan (PLK), Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. 2011.
[3] Sumber : http://matanews.com/2010/02/28/dana-pnpm-bojonegoro-565-miliar/
[4] Sumber : http://www.pnpmmandiri.org/index.php?option=com_content&view=article&id=155&Itemid=66&lang=in
[5] Diskusi dengan topik Ekonomi Islam Solusi Membangun Peradaban di Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 9 Maret 2011.
[6] Sumber : Widyawan, Luluk. 20 Oktober, 2006. Memberdayakan Masyarakat dengan Kredit Mikro.
[7] Penulis berkomunikasi dengan Hadi Paramu, SE, MBA, PhD, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas
Jember melalui message facebook. 8 Maret 2011.
[8] Financing Microenterprises : An Analitical Study of Islamic Microfinance Institution dalam Islamic
Economic Studies Journal, Vol. 9 No. 2, Maret 2002.
[9] Alia Noor Anoviar dan Ayurifa Abdillah. Peranan Lembaga Keuangan Mikro dalam Mengurangi
Angka Kemiskinan di Indonesia. Studi Kasus : LKM BRI Unit Desa Jenggawah, Jember. Juara 1 Lomba
Karya Tulis Ekonomi SMA. Kompetisi Ekonomi 10, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

SUMBER : http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2011/03/12/esai-ekonomi-syariah-348118.html

Anda mungkin juga menyukai