Anda di halaman 1dari 7

Induksi Persalinan

1. Definisi Induksi Persalinan


Induksi persalinan adalah upaya menstimulasi uterus untuk memulai terjadinya
persalinan. Sedangkan augmentasi atau akselerasi persalinan adalah meningkatkan frekuensi,
lama, dan kekuatan kontraksi uterus dalam persalinan. (Saifuddin, 2002).
Induksi dimaksudkan sebagai stimulasi kontraksi sebelum mulai terjadi persalinan
spontan, dengan atau tanpa rupture membrane. Augmentasi merujuk pada stimulasi terhadap
kontraksi spontan yang dianggap tidak adekuat karena kegagalan dilatasi serviks dan
penurunan janin. (Cunningham, 2013). Induksi persalinan adalah upaya memulai persalinan
dengan cara-cara buatan sebelum atau sesudah kehamilan cukup bulan dengan jalan
merangsang timbulnya his. (Sinclair, 2010)
Secara umum induksi persalinan adalah berbagai macam tindakan terhadap ibu hamil
yang belum inpartu, baik secara operatif maupun medisinal, untuk merangsang timbulnya
atau mempertahankan kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan. Atau dapat juga diartikan
sebagai inisiasi persalinan secara buatan setelah janin viable. (Llewellyn, 2002).
2. Indikasi Induksi Persalinan
Induksi diindikasikan hanya untuk pasien yang kondisi kesehatannya atau kesehatan
janinnya berisiko jika kehamilan berlanjut. Induksi persalinan mungkin diperlukan untuk
menyelamatkan janin dari lingkungan intra uteri yang potensial berbahaya pada kehamilan
lanjut untuk berbagai alasan atau karena kelanjutan kehamilan membahayakan ibu.
(Llewellyn, 2002).
Adapun indikasi induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini, kehamilan lewat waktu,
oligohidramnion, korioamnionitis, preeklampsi berat, hipertensi akibat kehamilan,
intrauterine fetal death (IUFD) dan pertumbuhan janin terhambat (PJT), insufisiensi
plasenta, perdarahan antepartum, dan umbilical abnormal arteri doppler.(Oxford, 2013).
3. Kontra Indikasi
Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi untuk menghindarkan
persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya yaitu: disproporsi sefalopelvik (CPD),
plasenta previa, gamelli, polihidramnion, riwayat sectio Caesar klasik, malpresentasi atau
kelainan letak, gawat janin, vasa previa, hidrosefalus, dan infeksi herpes genital aktif.
(Cunningham, 2013 & Winkjosastro, 2002).

4. Komplikasi atau Risiko Melakukan Induksi Persalinan


Komplikasi dapat ditemukan selama pelaksanaan induksi persalinan maupun setelah bayi
lahir. Komplikasi yang dapat ditemukan antara lain: atonia uteri, hiperstimulasi, fetal distress,
prolaps tali pusat, rupture uteri, solusio plasenta, hiperbilirubinemia, hiponatremia, infeksi
intra uterin, perdarahan post partum, kelelahan ibu dan krisis emosional, serta dapat
meningkatkan pelahiran caesar pada induksi elektif. (Cunningham, 2013 & Winkjosastro,
2002).
5. Persyaratan
Untuk dapat melaksanakan
kondisi/persyaratan sebagai berikut:

induksi

persalinan

perlu

dipenuhi

beberapa

a. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)


b. Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar
dan
menipis, hal ini dapat dinilai menggunakan tabel skor Bishop. Jika
kondisi
tersebut belum terpenuhi maka kita dapat melakukan pematangan
serviks dengan
menggunakan metode farmakologis atau dengan metode mekanis.
c. Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin.
d. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga panggul.
(Oxorn, 2010).
Apabila kondisi-kondisi diatas tidak terpenuhi maka induksi persalinan
mungkin tidak memberikan hasil yang diharapkan. Untuk menilai keadaan
serviks
dapat dipakai skor Bishop. berdasarkan kriteria Bishop, yakni:
a. Jika kondisi serviks baik (skor 5 atau lebih), persalinan biasanya
berhasil diinduksi dengan hanya menggunakan induksi.
b. Jika kondisi serviks tidak baik (skor <5), matangkan serviks terlebih
dahulu sebelum melakukan induksi. (Yulianti, 2006 & Cunningham,
2013)
Pada kebanyakan kasus, teknik yang digunakan untuk
meningkatkan favorability atau kematangan serviks juga menstimulasi
kontraksi. Jadi teknik tersebut dapat digunakan untuk menginduksi
persalinan. Metode yang digunakan untuk mematangkan serviks meliputi preparat
farmakologis dan berbagai bentuk distensi serviks mekanis. (Cunningham, 2013)
Metode farmakologis diantaranya yaitu pemberian prostaglandin E2
(dinoprostone, cervidil, dan prepidil), prostaglandin E1 (Misoprostol atau cytotec), dan
donor nitrit oksida. Sedangkan ynag termasuk kedalam metode mekanis yakni kateter

transservikal (kateter foley), ekstra amnionik salin infusion (EASI), dilator servikal
higroskopik, dan stripping membrane. (Cunningham, 2013)

Proses Induksi
Ada dua cara yang biasanya dilakukan untuk memulai proses induksi, yaitu kimia
dan mekanik. Namun pada dasarnya, kedua cara ini dilakukan untuk mengeluarkan zat
prostaglandin yang berfungsi sebagai zat penyebab otot rahim
berkontraksi.
a. Secara kimia atau medicinal/farmakologis
1). Prostaglandin E2 (PGE2)
PGE2 tersedia dalam bentuk gel atau pesarium yang dapat dimasukkan
intravaginal atau intraserviks. Gel atau pesarium ini yang digunakan secara local akan
menyebabkan pelonggaran kolagen serviks dan peningkatan kandungan air di dalam
jaringan serviks. PGE2 memperlunak jaringan ikat serviks dan merelaksasikan serabut
otot serviks, sehingga mematangkan serviks. PGE2 ini pada umumnya digunakan untuk
mematangkan serviks pada wanita dengan nilai bishop <5 dan digunakan untuk induksi
persalinan pada wanita yang nilai bishopnya antara 5 - 7. (Sinclair, 2010, Llewellyn,
2002)
Bentuk gelnya (prepidil) tersedia dalam suntikan 2,5 ml untuk pemberian
intraserviks berisi 0,5 mg dinoprostone. Ibu dalam posisi terlentang, ujung suntikan yang
belum diisi diletakkan di dalam serviks, dan gel dimasukkan tepat di bawah os serviks
interna. Setelah pemberian, ibu tetap berbaring selama setidaknya 30 menit. Dosis dapat
diulang setiap 6 jam, dengan maksimum tiga dosis yang direkomendasikan dalam 24 jam.
Cervidil (dinoprostone 10 mg) juga diakui untuk pematangan serviks. Bentuknya yang
persegi panjang (berupa wafer polimerik) yang tipis dan datar, yang dibungkus dalam
kantung jala kecil berwarna putih yang terbuat dari polyester. Kantungnya memiliki ekor
panjang agar mudah untuk mengambilnya dari vagina.pemasukannya memungkinkan
dilepaskannya obat 0,3 mg/jam (lebih lambat dari pada bentuk gel). (Cunningham, 2013)
Cervidil digunakan dalam dosis tunggal yang diletakkan melintang pada forniks
posterior vagina. Pelumas harus digunakan sedikit, atau tidak sama sekali, saat
pemasukan. Pelumas yang berlebihan dapat menutupi dan mencegah pelepasan
dinoprostone. Setelah pemasukan, ibu harus tetap berbaring setidaknya 2 jam. Obat ini
kemudian dikeluarkan setelah 12 jam atau ketika persalinan aktif mulai terjadi. Cervidil
ini dapat dikeluarkan jika terjadi hiperstimulasi. American College of Obstetricians and
Gynecologists (1999) merekomendasikan agar pemantauan janin secara elektronik
digunakan selama cervidil digunakan dan sekurang-kurangnya selama 15 menit setelah
dikeluarkan. (Sinclair, 2010, Cunningham, 2013)
Efek samping setelah pemberian prostaglandin E2 pervaginam adalah
peningkatan aktivitas uterus, menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists (1999) mendeskripsikannya sebagai berikut:
a) Takisistol uterus diartikan sebagai 6 kontraksi dalam periode 10 menit.
b) Hipertoni uterus dideskripsikan sebagai kontraksi tunggal yang berlangsung lebih

lama dari 2 menit.


c) Hiperstimulasi uterus jika salah satu kondisi menyebabkan pola denyut jantung
janin yang meresahkan.
Karena hiperstimulasi yang dapat menyebabkan masalah bagi janin bisa berkembang jika
prostaglandin diberikan sebelum adanya persalinan spontan, maka penggunaannya tidak
direkomendasikan. Kontra indikasi untuk agen prostaglandin secara umum meliputi
asma, glaucoma, peningkatan tekanan intra-okular. (Sinclair, 2010, Cunningham, 2013)
2). Prostaglandin E1 (PGE1)
Misoprostol atau cytotec adalah PGE1 sintetik, diakui sebagai tablet 100 atau 200
g. Obat ini telah digunakan secara off label (luas) untuk pematangan serviks prainduksi
dan dapat diberikan per oral atau per vagina. Tablet ini lebih murah daripada PGE2 dan
stabil pada suhu ruangan. Sekarang ini, prostaglandin E1 merupakan prostaglandin
pilihan untuk induksi persalinan atau aborsi pada Parkland Hospital dan Birmingham
Hospital di University of Alabama. (Sinclair, 2010, Cunningham, 2013)
Misoprostol oral maupun vagina dapat digunakan untuk pematangan serviks
atau induksi persalinan. Dosis yang digunakan 25 50 g dan ditempatkan di dalam
forniks posterior vagina. 100 g misoprostol per oral atau 25 g misoprostol per vagina
memiliki manfaat yang serupa dengan oksitosin intravena untuk induksi persalinan pada
perempuan saat atau mendekati cukup bulan, baik dengan rupture membrane kurang
bulan maupun serviks yang baik. Misoprostol dapat dikaitkan dengan peningkatan angka
hiperstimulasi, dan dihubungkan dengan rupture uterus pada wanita yang memiliki
riwayat menjalani seksio sesaria. Selain itu induksi dengan PGE1, mungkin terbukti tidak
efektif dan memerlukan augmentasi lebih lanjut dengan oksitosin, dengan catatan jangan
berikan oksitosin dalam 8 jam sesudah pemberian misoprostol. Karena itu, terdapat
pertimbangan mengenai risiko, biaya, dan kemudahan pemberian kedua obat, namun
keduanya cocok untuk induksi persalinan. Pada augmentasi persalinan, hasil dari
penelitian awal menunjukkan bahwa misoprostol oral 75 g yang diberikan dengan
interval 4 jam untuk maksimum dua dosis, aman dan efektif. (Saifuddin, 2002,
Cunningham, 2013)
3). Donor nitrit oksida
Beberapa temuan telah mengarahkan pada pencarian zat yang menstimulusi
produksi nitrit oksida (NO) lokal yang digunakan untuk tujuan klinis diantaranya yakni,
nitrit oksida merupakan mediator pematangan serviks, metabolit NO pada serviks
meningkat pada awal kontraksi uterus, dan produksi NO di serviks sangat rendah pada
kehamilan lebih bulan. Dasar pemikiran dan penggunaan donor NO yaitu isosorbide
mononitrate dan glyceryl trinitrate. isosorbide mononitrate menginduksi siklooksigenase 2 serviks, agen ini juga menginduksi pengaturan ulang ultrastruktur serviks,
serupa dengan yang terlihat pada pematangan serviks spontan. Namun sejauh ini uji
klinis belum menunjukkan bahwa donor NO sama efektifnya dengan prostaglandin E2
dalam menghasilkan pematangan serviks, dan penambahan isosorbide mononitrate pada
dinoprostone atau misoprostol tidak meningkatkan pematangan serviks pada awal

kehamilan atau saat cukup bulan dan tidak mempersingkat waktu pelahiran pervaginam.
(Cunningham, 2013)
4). Pemberian oksitosin intravena
Tujuan induksi atau augmentasi adalah untuk menghasilkan aktifitas uterus
yang cukup untuk menghasilkan perubahan serviks dan penurunan janin. Sejumlah
regimen oksitosin untuk stimulasi persalinan direkomendasikan oleh American College
of Obstetricians and Gynecologists (1999a). Oksitosin diberikan dengan menggunakan
protokol dosis rendah (1 4 mU/menit) atau dosis tinggi (6 40
mU/menit), awalnya hanya variasi protokol dosis rendah yang digunakan di Amerika
Serikat, kemudian dilakukan percobaan dengan membandingkan dosis tinggi, dan
hasilnya kedua regimen tersebut tetap digunakan untuk induksi dan augmentasi
persalinan karena tidak ada regimen yang lebih baik dari pada terapi yang lain untuk
memperpendek waktu persalinan. (Cunningham, 2013)
Oksitosin digunakan secara hati-hati karena gawat janin dapat terjadi dari
hiperstimulasi. Walaupun jarang, rupture uteri dapat pula terjadi, lebih-lebih pada
multipara. Untuk itu senantiasa lakukan observasi yang ketat pada ibu yang mendapat
oksitosin. Dublin (tahun 1984) menguraikan protokol untuk penatalaksanaan aktif
persalinan yang menggunakan oksitosin dosis awal dan tambahan 6 mU/menit. Dan di
Parkland Hospital, Satin, dkk (1992) mengevaluasi regimen oksitosin dengan dosis
tersebut, peningkatan dengan interval 20 menit jika diperlukan, menghasilkan rata-rata
waktu masuk ke persalinan yang lebih singkat, lebih sedikit induksi yang gagal, dan tidak
ada kasus sepsis neonatus. Dan dengan percobaan pada sampel yang berbeda, mereka
yang mendapat regimen 6 mU/menit memiliki durasi waktu persalinan yang lebih
singkat, persalinan forseps yang lebih sedikit, pelahiran Caesar karena distosia yang lebih
sedikit, dan menurunnya korioamnionitis intrapartum atau sepsis neonatorum. Dengan
demikian, manfaat yang lebih banyak didapatkan dengan memberikan regimen dosis
yang lebih tinggi dibandingkan dosis yang lebih rendah. Di Parkland hospital penggunaan
regimen oksitosin dengan dosis awal dan tambahan 6 mU/menit secara rutin telah
dilakukan hingga saat ini. Sedangkan di Birmingham Hospital di University Alabama
memulai oksitosin dengan dosis 2 mU/menit dan menaikkannya sesuai kebutuhan setiap
15 menit yaitu menjadi 4, 8, 12, 16, 20, 25, dan 30 mU/menit. Walaupun regimen yang
pertama tampaknya sangat berbeda, jika tidak ada aktifitas uterus, kedua regimen tersebut
mengalirkan 12 mU/menit selama 45 menit ke dalam infuse. (Cunningham, 2013)
Jika masih tidak terbentuk kontraksi yang baik pada dosis maksimal, lahirkanlah janin
melalui sectio caesar. Dalam pemberian infuse oksitosin, selama pemberian ada beberapa
hal yang harus diperhatikan oleh petugas kesehatan yaitu:
a) Observasi ibu selama mendapatkan infuse oksitosin secara cermat.
b) Jika infuse oksitosin menghasilkan pola persalinan yang baik, pertahankan kecepatan
infuse yang sama sampai pelahiran.
c) Ibu yang mendapat oksitosin tidak boleh ditinggal sendiri
d) Jangan menggunakan oksitosin 10 unit dalam 500 ml (20 mIU/ml) pada multigravida
dan pada ibu dengan riwayat section caesar.

e) Peningkatan kecepatan infus oksitosin dilakukan hanya sampai terbentuk pola


kontraksi yang baik, kemudian pertahankan infus pada kecepatan tersebut. (Saifuddin,
2002)
b. Secara mekanis atau tindakan
1). Kateter Transservikal (Kateter Foley)
Kateter foley merupakan alternatif yang efektif disamping pemberian prostaglandin untuk
mematangkan serviks dan induksi persalinan. Akan tetapi tindakan ini tidak boleh
digunakan pada ibu yang mengalami servisitis, vaginitis, pecah ketuban, dan terdapat
riwayat perdarahan. Kateter foley diletakkan atau dipasang melalui kanalis servikalis (os
seviks interna) di dalam segmen bawah uterus (dapat diisi sampai 100 ml). tekanan
kearah bawah yang diciptakan dengan menempelkan kateter pada paha dapat
menyebabkan pematangan serviks. Modifikasi cara ini, yang disebut dengan extraamnionic saline infusion (EASI), cara ini terdiri dari infuse salin kontinu melalui kateter
ke dalam ruang antara os serviks interna dan membran plasenta. Teknik ini telah
dilaporkan memberikan perbaikan yang signifikan pada skor bishop dan mengurangi
waktu induksi ke persalinan.
(Cunningham, 2013)
Penempatan kateter, dengan atau tanpa infuse salin yang kontinu, menghasilkan
perbaikan favorability serviks dan sering kali menstimulasi kontraksi. Sherman dkk.
(1996), merangkum hasil dari 13 percobaan dengan metode ini menghasilkan
peningkatan yang cepat pada skor bishop dan persalinan yang lebih singkat. Chung dkk.
(2003) secara acak mengikutsertakan 135 wanita untuk menjalani teknik induksi
persalinan dengan kateter foley ekstra amnion dengan inflasi balon sampai 30 ml juga
menghasilkan waktu rata-rata induksi ke pelahiran memendek secara nyata. Dan Levy
dkk. (2004) melaporkan bahwa penggunaan balon kateter foley transservikal 80 ml lebih
efektif untuk pematangan serviks dan induksi dari pada yang 30 ml. (Cunningham, 2013)
Adapun teknik pemasangan kateter foley yaitu sebagai berikut:
a) Pasang speculum pada vagina
b) Masukkan kateter foley pelan-pelan melalui servik dengan menggunakan cunam
tampon.
c) Pastikan ujung kateter telah melewati ostium uteri internum
d) Gelembungkan balon kateter dengan memasukkan 10 ml air
e) Gulung sisa kateter dan letakkan dalam vagina
f) Diamkan kateter dalam vagina sampai timbul kontraksi uterus atau maksimal 12
jam
g) Kempiskan balon kateter sebelum mengeluarkannya dan kemudian lanjutkan
dengan infuse oksitosin.
(Saifuddin, 2002)
2). Dilator Servikal Higroskopik (Batang Laminaria)
Dilatasi serviks dapat juga di timbulkan menggunakan dilator serviks osmotic
higroskopik. Teknik yang dilakukan yakni dengan batang laminaria dan pada keadaan
dimana serviks masih belum membuka. Dilator mekanik ini telah lama berhasil
digunakan jika dimasukkan sebelum terminasi kehamilan, tetapi kini alat ini juga

digunakan untuk pematangan serviks sebelum induksi persalinan. Pemasangan laminaria


dalam kanalis servikalis dan dibiarkan selama 12-18 jam, kemudian jika perlu dilanjutkan
dengan infus oksitosin. (Cunningham, 2013)
3). Stripping membrane
Yang dimaksud dengan stripping membrane yaitu cara atau teknik melepaskan
atau mamisahkan selaput kantong ketuban dari segmen bawah uterus. Induksi persalinan
dengan stripping membrane merupakan praktik yang umum dan aman serta
mengurangi insiden kehamilan lebih bulan. Stripping dapat dilakukan dengan cara
manual yakni dengan jari tengah atau telunjuk dimasukkan dalam kanalis servikalis.
(Cunningham, 2013)
4). Induksi Amniotomi
Ruptur membrane artifisial atau terkadang disebut dengan induksi pembedahan,
teknik ini dapat digunakan untuk menginduksi persalinan. Pemecahan ketuban buatan
memicu pelepasan prostaglandin. Amniotomi dapat dilakukan sejak awal sebagai
tindakan induksi, dengan atau tanpa oksitosin. Pada uji acak, Bacos dan Backstrom
(1987) menemukan bahwa amniotomi saja atau kombinasi dengan oksitosin lebih baik
dari pada oksitosin saja. Induksi persalinan secara bedah (amniotomi) lebih efektif jika
keadaan serviks baik (skor Bishop > 5). Amniotomi pada dilatasi serviks sekitar 5 cm
akan mempercepat persalinan spontan selama 1 sampai 2 jam, bahkan Mercer dkk.
(1995) dalam penelitian acak dari 209 perempuan yang menjalani induksi persalinan baik
itu amniotomi dini pada dilatasi 1-2 cm ataupun amniotomi lanjut pada dilatasi 5 cm
didapatkan awitan persalinan yang lebih singkat yakni 4 jam. (Cunningham, 2013;
Sinclair, 2010)
Namun ada komplikasi atau resiko yang dapat timbul setelah dilakukan
amniotomi yakni: sekitar 0,5 % terjadi prolaps tali pusat, infeksi (jika jangka waktu
antara induksi-persalinan > 24 jam), perdarahan ringan, perdarahan post partum (resiko
relatif 2 kali dibandingkan dengan tanpa induksi persalinan), hiperbilirubinemia neonatus
(bilirubin > 250 mol/l). (Llewellyn, 2002)
5). Stimulasi putting susu
Untuk stimulasi payudara gunakan pedoman CST dan pantau DJJ dengan
auskultasi atau pemantauan janin dengan cardiotografi. Observasi adanya hiperstimulasi
pada uterus. (Varney, 2002)

Anda mungkin juga menyukai