Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istilah Ketuban Pecah Dini (KPD) atau Premature Rupture of
Membrans (PROM) digunakan oleh para ahli untuk menunjukkan kejadian
dimana cairan amnion mengalir secara spontan sebelum proses persalinan
dimulai, dalam hal ini tanpa adanya kontraksi uterus. Istilah ini digunakan
untuk usia kehamilan di atas 37 minggu, sedangkan jika aliran cairan amnion
terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu, keadaan ini yang disebut dengan
Preterm Prematur Ruptur of the Membrans (pPROM) (DeCherney & Nathan
2003).
Sampai saat ini KPD masih merupakan masalah di dunia termasuk
Indonesia.

KPD sering kali menimbulkan konsekuensi yang dapat

menimbulkan morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun bayi terutama


kematian perinatal yang cukup tinggi. Kematian perinatal yang cukup tinggi
ini antara lain disebabkan karena kematian akibat kurang bulan, dan kejadian
infeksi yang meningkat karena partus tak maju, partus lama, dan partus buatan
yang sering dijumpai pada pengelolaan kasus KPD terutama pada pengelolaan
konservatif (Gandhi dkk, 2012).
Dilema sering terjadi pada pengelolaan KPD dimana harus segera
bersikap aktif terutama pada kehamilan yang cukup bulan, atau harus
menunggu sampai terjadinya proses persalinan, sehingga masa tunggu akan
memanjang berikutnya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi.
Sedangkan sikap konservatif ini sebaiknya dilakukan pada KPD kehamilan
kurang bulan dengan harapan tercapainya pematangan paru dan berat badan
janin yang cukup.
Ada 2 komplikasi yang sering terjadi pada KPD, yaitu : pertama,
infeksi, karena ketuban yang utuh merupakan barier atau penghalang terhadap
masuknya penyebab infeksi. Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti
1

pada KPD, flora vagina yang normal bisa menjadi patogen yang akan
membahayakan baik pada ibu maupun pada janinnya. Oleh karena itu
membutuhkan pengelolaan yang agresif seperti diinduksi untuk mempercepat
persalinan dengan maksud untuk mengurangi kemungkinan resiko terjadinya
infeksi ; kedua, adalah kurang bulan atau prematuritas, karena KPD sering
terjadi pada kehamilan kurang bulan. Masalah yang sering timbul pada bayi
yang kurang bulan adalah gejala sesak nafas atau respiratory Distress
Syndrom (RDS) yang disebabkan karena belum masaknya paru (Shah &
Sandesara, 2011).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ketuban Pecah Dini (KPD)
Definisi
Ketuban Pecah Dini ( amniorrhexis premature rupture of the
membrane PROM ) adalah pecahnya selaput korioamniotik sebelum
terjadi proses persalinan. Secara klinis diagnosa KPD ditegakkan bila
2

seorang ibu hamil mengalami pecah selaput ketuban dan dalam waktu satu
jam kemudian tidak terdapat tanda awal persalinan, dengan demikian
untuk kepentingan klinis waktu 1 jam tersebut merupakan waktu yang
disediakan untuk melakukan pengamatan adanya tanda-tanda awal
persalinan. Bila terjadi pada kehamilan < 37 minggu maka peristiwa
tersebut disebut KPD Preterm (PPROM = preterm premature rupture of
the membrane - preterm amniorrhexis.
Pengertian KPD menurut WHO yaitu Rupture of the membranes
before the onset of labour. KPD sebagai amnioreksis sebelum permulaan
persalinan pada setiap tahap kehamilan. Sedangkan Mochtar (1998)
mengatakan bahwa KPD adalah pecahnya ketuban sebelum in partu, yaitu
bila pembukaan pada primi kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang
dari 5 cm. KPD sebagai ketuban yang pecah spontan 1 jam atau lebih
sebelum dimulainya persalinan.Sedangkan menurut Yulaikah (2009)
ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
persalinan, dan setelah ditunggu satu jam belum terdapat tanda persalinan.
Waktu sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi rahim disebut ketuban
pecah dini (periode laten). Kondisi ini merupakan penyebab persalinan
premature dengan segala komplikasinya.
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu,
yaitu bila pembukaan pada primi kurang dari 3 dan pada multipara kurang
dari 5cm.
Ada juga yang disebut ketuban pecah dini preterm yakni ketuban
pecah saat usia kehamilan belum masa aterm atau kehamilan dibawah 38
42 minggu. Arti klinis ketuban pecah dini :
1. Bila bagian terendah janin masih belum masuk pintu atas panggul
maka kemungkinan terjadinya prolapsus tali pusat atau kompresi tali
pusat menjadi besar

2. Peristiwa KPD yang terjadi pada primigravida hamil aterm dengan


bagian terendah yang masih belum masuk pintu atas panggul sering
kali merupakan tanda adanya gangguan keseimbangan foto pelvik.
3. KPD sering diikuti dengan adanya tanda tanda persalinan sehingga
dapat memicu terjadinya persalinan preterm.
4. Peristiwa KPD yang berlangsung lebih dari 24 jam (prolonged rupture
of membrane) seringkali disertai dengan infeksi intrauterin.
5. Peristiwa KPD dapat menyebabkan oligohidramnion dan dalam jangka
panjang kejadian ini akan dapat menyebabkan hilangnya fungsi
amnion bagi pertumbuhan dan perkembangan janin.

Epidemiologi
Ketuban pecah dini prematur terjadi pada 1% kehamilan. Pecahnya
selaput ketuban berkaitan dengan perubahan proses biokimia yangterjadi
dalam kolagen matriks ekstra seluler amnion, korion, dan apoptosis
membran janin. Membran janin dan desidua bereaksi terhadap stimuli
seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban dengan membran pereduksi
mediator seperti prostaglandin, sitokinin, dan protein hormon yang
merangsang aktivitas matrix degrading enzym
Ketuban pecah dini dapat terjadi pada kehamilan aterm, preterm
dan pada kehamilan midtrester. Frekuensi terjadinya sekitar 8%, 1 3 %,
dan kurang dari 1 %. Secara umum insidensi KPD terjadi sekitar 7 12 %
(Chan, 2006). Insidensi KPD kira kira 12 % dari semua kehamilan
(Mochtar, 1998), sedangkan menurut Rahmawati 2011 insidensi KPD
adalah sekitar 6 9 % dari semua kehamilan.

Etiologi
Penyebab KPD menurut Manuaba 2009 dan Morgan 2009 meliputi :
1. Serviks inkopeten menyebabkan dinding ketuban yang paling bawah
mendapatkan tekanan yang semakin tinggi.
2. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, dan
kelainan genetik)

3. Pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban seperti infeksi genitalia


dan meningkatnya enzim proteolitik. Masa interval sejak ketuban
pecah sampai terjadinya kontraksi disebut fase laten. Makin panjang
fase laten makin tinggi kemungkinan infeksi. Makin muda usia
kehamilan, makin sulit upaya pemecahannya tanpa menimbulkan
morbiditas janin dan komplikasi ketuban pecah dini meningkat.
4. Multipara, grandemultipara, pada kehamilan yang terlalu sering akan
mempengaruhi proses embriogenesis sehingga selaput ketuban yang
terbentuk akan lebih tipis dan yang akan menyebabkan selaput ketuban
pecah sebelum tanda tanda inpartu.
5. Overdistensi uterus pada hidramnion,
sevalopelvik

disproporsi.

Hidramnion

kehamilan
atau

ganda,

sering

dan

disebut

polihidramnion adalah banyaknya air ketuban melebihi 2000 cc.


Hidramnion dapat terjadi pada kasus anensefalus, atresia esophagus,
gemeli, dan ibu yang mengalami diabetes melitus gestasional. Ibu
dengan diabetes melitus gestasional akan melahirkan bayi dengan berat
badan berlebihan pada semua usia kehamilan sehingga kadar cairan
amnion juga akan berlebih. Kehamilan ganda adalah kehamilan dengan
dua janin atau lebih sehingga kemungkinan terjadinya hidramnion
6.
7.
8.
9.

bertambah 10 kali lebih besar.


Kelainan letak yaitu letak lintang.
Penduluran abdomen (perut gantung)
Usia ibu yang lebih tua
Riwayat KPD sebelumnya

1. Inkompetensia serviks
Inkompetensia serviks adalah istilah untuk menyebut kelainan pada
otot-otot leher atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah,
sehingga sedikit membuka ditengah-tengah kehamilan karena tidak mampu
menahan desakan janin yang semakin besar. Serviks smemiliki suatu
kelainan anatomi yang nyata, yang bisa disebabkan laserasi sebelumnya
melalui ostium uteri atau merupakan suatu kelainan congenital pada serviks
sehingga memungkinkan terjadinya dilatasi berlebihan tanpa perasaan nyeri

dan mules dalam masa kehamilan trimester kedua atau awal trimester ketiga
yang diikuti dengan penonjolan dan robekan selaput janin serta keluarnya
hasil konsepsi (Cunningham, 2013).
2. Peninggian tekanan inta uterin
Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan
dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini. Misalnya :
a. Trauma : hubungan seksual, pemeriksaan dalam, amniosintesis
b. Gemelli
Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih. Pada
kehamilan gemelli terjadi distensi uterus yang berlebihan, sehingga
menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlebihan. Hal ini
terjadikarena jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar dan
kantung (selaput ketuban ) relative kecil sedangkan dibagian bawah
tidak ada yang menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban tipis
dan mudah pecah (Cunningham, 2013).
3. Makrosomia
Makrosomia adalah berat badan neonatus >4000 gram kehamilan dengan
makrosomia menimbulkan distensi uterus yang meningkat atau over distensi
dan menyebabkan tekanan pada intra uterin bertambah sehingga menekan
selaput ketuban, manyebabkan selaput ketuban menjadi teregang, tipis, dan
kekuatan membrane menjadi berkurang, menimbulkan selaput ketuban
mudah pecah (Cunningham, 2013).
4. Hidramnion
Hidramnion atau polihidramnion adalah jumlah cairan amnion >2000
mL. uterus dapat mengandung cairan dalam jumlah yang sangat banyak.
Hidramnion kronis adalah peningaktan jumlah cairan amnion terjadi secara
berangsur-angsur. Hidramnion akut, volume tersebut meningkat tiba-tiba
dan uterus akan mengalami distensi nyata dalam waktu beberapa hari saja.
5. Kelainan letak

Kelainan letak misalnya lintang, sehingga tidak ada bagian terendah


yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan
terhadap membran bagian bawah.
6. Penyakit infeksi
Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun
ascenden dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan
terjadinya KPD. Penelitian menunjukkan infeksi sebagai penyebab utama
ketuban pecah dini.Membrana khorioamniotik terdiri dari jaringan
viskoelastik. Apabila jaringan ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka
jaringan akan menipis dan sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya
aktivitas enzim kolagenolitik.Infeksi merupakan faktor yang cukup berperan
pada persalinan preterm denganketuban pecah dini. Grup B streptococcus
mikroorganisme yang sering menyebabkan amnionitis.

Patofisiologi
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh
kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena

pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan


selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban
rapuh. Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degenerasi ekstraseluelr
matriks. Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen
menyebabkan aktivasi kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban
pecah.
Dua belas hari setelah ovum dibuahi , terrbentuk suatu celah yang
dikelilingi amnion primitif yang terbentuk dekat embryonic plate. Celah
tersebut melebar dan amnion disekelilingnya menyatu dengan mula-mula
dengan body stalk kemudian dengan korion yang akhirnya menbentuk
kantung amnion yang berisi cairan amnion. Cairan amnion , normalnya
berwarna putih , agak keruh serta mempunyai bau yang khas agak amis
dan manis. Cairan ini mempunyai berat jenis 1,008 yang seiring dengan
tuannya kehamilan akan menurun dari 1,025 menjadi 1,010. Asal dari
cairan amnion belum diketahui dengan pasti , dan masih membutuhkan
penelitian lebih lanjut. Diduga cairan ini berasal dari lapisan amnion
sementara teori lain menyebutkan berasal dari plasenta.Dalam satu jam
didapatkan perputaran cairan lebih kurang 500 ml.
Amnion atau selaput ketuban merupakan membran internal yang
membungkus janin dan cairan ketuban. Selaput ini licin, tipis, dan transparan.
Selaput amnion melekat erat pada korion (sekalipun dapat dikupas dengan
mudah). Selaput ini menutupi permukaan fetal pada plasenta sampai pada
insertio tali pusat dan kemudian berlanjut sebagai pembungkus tali pusat
yang tegak lurus hingga umbilikus janin. Sedangkan korion merupakan
membran eksternal berwarna putih dan terbentuk dari vili vili sel telur yang
berhubungan dengan desidua kapsularis. Selaput ini berlanjut dengan tepi
plasenta dan melekat pada lapisan uterus.

Dalam keadaan normal jumlah cairan amnion pada kehamilan cukup


bulan sekitar 1000 1500 cc, keadaan jernih agak keruh, steril, bau khas,
agak manis, terdiri dari 98% - 99% air, 1- 2 % garam anorganik dan bahan
organik (protein terutama albumin), runtuhan rambut lanugo, verniks
kaseosa, dan sel sel epitel dan sirkulasi sekitar 500cc/jam.
Minggu gestasi
16
28
36
40
Fungsi cairan amnion
1.
2.
3.
4.

Janin
100
1000
2500
3300

Plasenta
100
200
400
500

Cairan amnion
200
1000
900
800

Persen Cairan
50
45
24
17

Proteksi : Melindungi janin terhadap trauma dari luar


Mobilisasi : Memungkinkan ruang gerak bagi bayi
Hemostatis : Menjaga keseimbangan suhu dan lingkungan asam basa (Ph)
Mekanik : Menjaga keseimbangan tekanan dalam seluruh ruang intrauteri

5. Pada persalinan, membersihkan atau melicinkan jalan lahir dengan cairan


steril sehingga melindungi bayi dari kemungkinan infeksi jalan lahir
Mekanisme KPD menurut Manuaba 2009 antara lain :
1. Terjadinya premature serviks.
2. Membran terkait dengan pembukaan terjadi
a. Devaskularisasi
b. Nekrosis dan dapat diikuti pecah spontan
c. Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban makin berkurang
d. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan adanya infeksi
yang mencegah enzim proteolitik dan enzim kolagenase.
Diagram berbagai mekanisme multifaktorial yang diteorikan sebagai

penyebab ketuban pecah dini

Patogenesis
Penelitian terbaru mengatakan KPD terjadi karena meningkatnya
apoptosis dari komponen sel dari membran fetal dan juga peningkatan dari
enzim protease tertentu. Kekuatan membran fetal adalah dari matriks
ekstraselular amnion. Kolagen interstitial terutama tipe I dan tipe III yang

10

dihasilan dari sel mesenkim juga penting dalam mempertahankan kekuatan


membran fetal.
Matriks metalloprotease (MMP) adalah kumpulan proteinase yang
terlibat dalam remodeling tissue dan degenerasi kolagen. MMP 2, MMP
3, dan MMP 9 ditemukan dengan konsentrasi tinggi pada kehamilan
dengan ketuban pecah dini. Aktivasi protease ini diregulasi oleh tissue
inhibitor of matrix metalloprotease (TIMPs). TIMPs ini pula rendah dalam
cairan amnion pada wanita dengan ketuban pecah dini. Peningkatan enzim
protease dan penurunan inhibitor mendukung bahwa enzim ini
mempengaruhi kekuatan membran fetal.

Selain itu terdapat teori yang mengatakan meningkatnya marker


marker apoptosis dimembran fetal pada ketuban pecah dini berbanding
dengan membran pada kehamilan normal. Banyak penelitian yang
mengatakan aktivasi aktivitas degenerasi kolagen dan kematian sel yang
membawa kelemahan pada dinding membran fetal.

Diagnosis

11

Diagnosis dapat ditegakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan laboratorium.
1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat menegakkan 90% dari diagnosis. Kadang kala
cairan seperti urin dan vaginal discharge bisa dianggap cairan amnion.
Penderita merasa basah dari vaginanya atau mengeluarkan cairan banyak
dari jalan lahir.
2. Inspeksi
Pengamatan biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila
ketuban baru pecah, dan jumlah airnya masih banyak, pemeriksaan ini
akan makin jelas.
3. Pemeriksaan Inspekulo
Merupakan langkah pertama untuk mendiagnosis KPD karena
pemeriksaan dalam seperti vaginal toucher dapat meningkatkan resiko
infeksi, cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, bau, dan
PH nya, yang dinilai adalah

Keadaan umum dari serviks, juga dinilai dilatasi dan perdarahan dari
serviks. Dilihat juga prolapsus tali pusat atau ekstremitas janin. Bau

dari amnion yang khas juga harus diperhatikan.


Pooling pada cairan amnion dari forniks posterior mendukung
diangnosis KPD. Melakukan perasat valsava atau menyuruh pasien

untuk batuk untuk memudahkan melihat pooling


Cairan amnion di konfirmasikan dengan menggunakan nitrazine test.
Kertas lakmus akan berubah menjadi biru jika PH 6 6,5. Sekret
vagina ibu memiliki PH 4 5, dengan kerta nitrazin ini tidak terjadi
perubahan warna. Kertas nitrazin ini dapat memberikan positif palsu

jika tersamarkan dengan darah, semen atau vaginisis trichomiasis.


4. Mikroskopis (tes pakis). Jika terdapat pooling dan tes nitrazin masih
samar dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopis dari cairan yang
12

diambil dari forniks posterior. Cairan diswab dan dikeringkan diatas


gelas objek dan dilihat dengan mikroskop. Gambaran ferning
menandakan cairan amnion
5. Dilakukan juga kultur dari swab untuk chlamydia, gonnorhea, dan
stretococcus group B

Pemeriksaan

Lab

1. Pemeriksaan

alpha fetoprotein

(AFP),

konsentrasinya

tinggi didalam cairan amnion tetapi tidak dicairan semen dan urin
2. Pemeriksaan darah lengkap dan kultur dari urinalisa
3. Tes pakis
4. Tes lakmus

Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban
dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban sedikit
(Oligohidramnion atau anhidramnion). Oligohidramnion ditambah dengan
hasil anamnesis dapat membantu diagnosis tetapi bukan untuk
menegakkan diagnosis rupturnya membran fetal. Selain itu dinilai
amniotic fluid index (AFI), presentasi janin, berat janin, dan usia janin.

Penatalaksanaan
1. Konservatif
Rawat di rumah sakit, berikan antibiotik (ampisilin 4x500mg atau
eritromisin bila tidak tahan dengan ampisilin dan metronidazol 2 x 500mg
selama 7 hari). Jika umur kehamilan kurang dari 32 34 minggu, dirawat
selama air ketuban masih keluar. Jika usia kehamilan 32 37 minggu
belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa negatif berikan dexametason,
observasi tanda tanda infeksi, dan kesejahteraan janin. Terminasi pada

13

usia kehamilan 37 minggu. Jika usia kehamilan 32 37 minggu, sudah


inpartu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason,
dan induksi setelah 24 jam. Jika usia kehamilan 32 37 minggu, ada
infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi, nilai tanda tanda infeksi
(suhu, leukosit, tanda tanda infeksi intrauterin). Pada usia kehamilan 32
37 minggu berikan steroid untuk kematangan paru janin, dan bila
memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomietin tiap minggu. Dosis
betametason 12mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason IM 5
mg setiap 6 jam selama 4 kali.
2. Aktif
Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitoksin. Bila gagal
seksio sesarea. Bila tanda tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi
dan terminasi persalinan. Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan
pelviks, kemudian induksi. Jika tidak berhasil lakukan seksio sesarea. Bila
skor pelviks > 5 lakukan induksi persalinan.

14

Komplikasi
Persalinan Prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan.
Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90%
terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34
minggu persalinan dalam 24 jam.Pada kehamilan kurang dari 26 minggu
persalinan terjadi dalam 1 minggu.
Infeksi
Resiko infeksi ibu dan anak meningkat pada Ketuban Pecah
Dini.Pada ibu terjadi korioamnionitis.Pada bayi dapat terjadi septicemia,
pneumonia, omfalitis.Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin
terinfeksi.Pada Ketuban Pecah Dini prematur, infeksi lebih sering daripada
aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder pada Ketuban Pecah Dini
meningkat sebanding dengan lamanya periode laten.
Komplikasi Ibu:
- Endometritis
- Penurunan aktifitas miometrium (distonia, atonia)
- Sepsis (daerah uterus dan intramnion memiliki vaskularisasi sangat
banyak)
- Syok septik sampai kematian ibu.
Komplikasi Janin
- Asfiksia janin
- Sepsis perinatal sampai kematian janin.

15

Gambar.Infeksi intrauterin progresif pasca ketuban pecah dini pada


kehamilan prematur
Hipoksia dan Asfiksia
Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan
tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara
terjadinya gawat janin dan oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban,
janin semakin gawat.
Sindrom Deformitas Janin
Ketuban Pecah Dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat, kelainan disebabkan oelh kompresi muka
dan anggota badan janin serta hipoplasi pulmonary.

Gambar. Deformitas Janin

16

Pencegahan
Pada pasien perokok, diskusikan tentang pengaruh merokok selama
kehamilan usaha untuk menghentikan, motivasi untuk menambah berat
badan yang cukup selama hamil, anjurkan pasangan agar menghentikan
koitus pada trimester akhir.

Prognosis
Prognosis pada ketuban pecah dini sangat bervariatif tergantung
pada :
Usia kehamilan

Adanya infeksi / sepsis

Factor resiko / penyebab

Ketepatan Diagnosis awal dan penatalaksanaan


Prognosis dari KPD tergantung pada waktu terjadinya, lebih cepat

kehamilan, lebih sedikit bayi yang dapat bertahan. Bagaimanapun,


umumnya bayi yang lahir antara 34 dan 37 minggu mempunyai
komplikasi yang tidak serius dari kelahiran premature.

B. PERSALINAN NORMAL
Definisi
Definisi persalinan normal Partus adalah suatu proses pengeluaran hasil
konsepsi yang dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar.
Partus immaturitas adalah kurang dari 28 minggu dan lebih dari 20 minggu
dengan berat janin antara 1000-1500 gram. Gravida adalah seorang wanita
yang sedang hamil. Primigravida adalah seorang wanita yang hamil untuk
pertama kali. Para adalah wanita yang pernah melahirkan bayi yang dapat
hidup. Nullipara adalah seorang wanita yang belum pernah melahirkan bayi

17

yang hidup untuk pertama kali. Multipara adalah seorang wanita yang pernah
melahirkan anak yang hidup untuk beberapa kali (Wiknjosastro H., 2005).
Faktor penting dalam persalinan
Faktor penting yang memegang peranan dalam persalinan.
1. Power. Yaitu faktor kekuatan ibu yang mempengaruhi dalam persalinan.
i. His
ii. Kontraksi otot dinding perut.
iii. Kontraksi diafragma pelvis atau kekuatan mengedan.
iv. Ketegangan dan kontraksi ligamentum rotundum.
2. Passage. Yaitu : keadaan jalan lahir.
i. Jalan lahir lunak.
ii. Jalan lahir keras.
3. Passenger. Yaitu faktor yang ada pada janin dan plasenta. Faktor penunjang
yang turut berperan pada persalinan :
i. Penolong
ii. Peralatan
4. Faktor khusus Selain kedua faktor tersebut di atas ditambah lagi dengan
satu faktor khusus, sebagai contoh antara lain :
i. Jarak kehamilan < 2 tahun
ii. Umur ibu < 20 tahun dan > 35 tahun
iii. Penyakit ibu
iv. Perdarahan antepartum
v. Infertilitas
vi. Grandemulti ( Manuaba, 1998)
Fase fase persalinan nomal
Terdapat empat kala dalam persalinan normal, pertama adalah kala
I yaitu dimulai dengan waktu serviks membuka karena his, kontraksi
uterus teratur, makin lama, makin kuat, makin sering, makin terasa nyeri,
disertai pengeluaran lendir darah dan berakhir setelah pembukaan serviks
lengkap yaitu bibir portio tidak dapat diraba. Selaput ketuban biasanya
pecah spontan pada akhir kala I. Terdapat fase laten berlansung selama 8
jam dan fase aktif selama 6 jam. Peristiwa yang penting dalam kala ini
adalah keluar lendir darah (bloody show) dengan lepasnya mucous plug,
terbukanya vaskular pembuluh darah serviks, pergeseran antara selaput
ketuban dengan dinding dalam uterus. Ostium uteri internum dan
eksternum terbuka menjadikan serviks menipis dan mendatar dan selaput
ketuban pecah spontan( Manuaba, 1998).

18

Kala II berlangsung selama 2 jam, dimulai dengan pembukaan


serviks dengan lengkap dan berakhir dengan saat bayi telah lahir lengkap.
Sebelumnya his menjadi lebih kuat, lebih sering, lebih lama, sangat kuat.
Kadang kala, selaput ketuban mungkin juga pecah spontan pada awal Kala
II. Pada kala ini, ibu selalunya rasanya ingin mengedan makin kuat
sehingga perineum meregang dan anusnya membuka. Bagian terbawah
janin turun hingga dasar panggul. Sedangkan kepala dilahirkan lebih
dahulu, dengan suboksiput di bawah simfisis, selanjutnya dilahirkan badan
dan anggota badan janin ( Manuaba, 1998).
Kala III dimulai pada saat bayi lahir dengan lengkap dan berakhir
dengan lahirnya plasenta . Ini ditandai dengan perdarahan baru atau
kadang kala dari tidak disertai perdarahan. Pada keadaan normal, kontraksi
uterus bertambah keras, fundus setinggi pusat, plasenta lepas 5-15 menit
setelah bayi lahir. (Manuaba, 1998).
Kala IV dimulai dengan observasi selama 2 jam post partum.
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan seperti vital sign ibu dalam
batas normal, apakah kontraksi uterus baik, pastikan bahwa perdarahan per
vaginam kurang dari 500 cc, plasenta dan selaput ketuban sudah lahir
lengkap, pastikan kandung kemih harus kosong dan jika terdapat luka-luka

di perineum harus dirawat segera (Manuaba, 1998).


Mekanisme Persalinan Normal
Hampir 96% janin berada dalam uterus dengan presentasi kepala
dan pada presentasi kepala ini ditemukan 58% ubun-ubun kecil terletak d
kiri depan, 23% di kanan depan, 11% di kanan belakang, dan 8% di kiri
belakang. Kedaan ini mungkin disebabkan terisinya ruangan di sebelah
kiri belakang oleh kolon sigmoid dan rektum. Seperti telah dijelaskan
terdahulu 3 faktor penting yang memegang peranan pada persalinan, ialah
kekuatan- kekuatan yang ada pada ibu seperti kekuatan his dan kekuatan
mengedan, keadaan jalan lahir dan janinnya sendiri (Wiknjosastro H.,
2005).
His adalah salah satu kuatan pada ibu, seperti telah dijelaskan yang
menyebabkan serviks membuka dan mendorong janin ke bawah. Pada

19

presentasi kepala, bila his sudah cukup kuat, kepala akan turun dan mulai
masuk ke dalam rongga panggul. Masuknya kepala melintasi pintu atas
panggul dapat dalam keadaan sinklitimus, ialah bila arah sumbu janin
tegak lurus dengan bidang pintu atas panggul. Dapat pula kepala masuk
dalam keadaan asinklitimus, yaitu arah sumbu kepala janin miring dengan
pintu atas panggul ( Wiknjosastro H., 2005)
Sampai di dasar atas panggul kepala janin berada dalam keadaan
fleksi maksimum. Kepala yang sedang turun menemui diafragma pelvis
dan tekanan intrauterine disebabkan oleh his yang berulang-ulang, kepala
mengadakan rotasi. Sesudah kepala janin sampai di dasar panggul dan
ubun-ubun kecil di bawah simfisis, kepala mengadakan gerakan defleksi
untuk dapat dilahirkan. Pada tiap his vulva lebih membuka dan kepala
janin makin tampak. Perineum menjadi makin lebar dan tipis, anus
membuka dinding rektum. Dengan kekuatan his bersama dengan kekuatan
mengedan, berturut-turut tanpa bregma, dahi, muka dan akhirnya dagu.
Sesudah kepala lahir, kepala segera mengadakan rotasi, yang disebut
putaran paksi luar ( Wiknjosastro H., 2005). Putaran paksi luar ini ialah
gerakan

kembali

sebelum

putaran

paksi

dalam

terjadi,

untuk

menyesuaikan gerakan kepala dengan punggung anak. Bahu melintasi


pintu atas panggul dalam keadaan miring. Selanjutnya dilahirkan bahu
depan terlebih dahulu baru kemudain bahu belakang. Demikian pula
dilahirkan prokanter depan baru kemudian prokanter belakang. Kemudian
bayi lahir seluruhnya. Apabila bayi telah lahir, segera jalan napas
dibersihkan. Tali pusat dijepit di antara dua cunam pada jarak 5 dan 10cm.
Kemudian, digunting di antara kedua cunam tersebut dan diikat. Tunggul
tali pusat diberi antiseptika. Umumnya bila telah lahir lengkap, bayi segera
akan menarik napas dan menangis ( Wiknjosastro H., 2005).
C. VAKUM
Syarat Vakum
Presentasi belakang kepala/vertex
Janin cukup bulan
Pembukaan lengkap

20

Kepala di H-III dan H-IV atau 1/5 2/5

Cara tindakan vakum

Masukkan mangkok melalui introitus vagina secara miring dan pasang


pada kepala bayi dengan titik tengah mangkok pada sutura sagitalis
kurang lebih 1 cm anterior dari ubun-ubun kecil dan menjauhi ubunubun

besar.

Penempatan

mangkok

pada

daerah

ini

dapat

mempertahankan fleksi kepala


Nilai apakah perlu episiotomi. Jika episiotomi tidak diperlukan pada
pemasangan mangkok, mungkin diperlukan saat perineum meregang,

ketika kepala lahir. Pastikan daerah portio atau vagina tidak terjepit
Pompa hingga tekanan skala 10 (silastik) atau negatif 0,2 kg/cm2
(mamlmstrom), dan periksa aplikasi mangkok (minta asisten

menurunkan tekanan secara bertahap).


Setelah 2 menit naikkan hingga skala 60 (silastik) atau negatif 0,6

kg/m2 (malmstrom), periksa aplikasi mangkok, tunggu 2 menit lagi.


Periksa apakah ada jaringan vagina yang terjepit, jika ada, turunkan

tekanan dan lepaskan jaringan yang terjepit tersebut.


Setelah mencapai tekanan negatif yang maksimal, lakukan traksi

searah dengan sumbu panggul dan tegak lurus pada mangkok.


Tarikan dilakukan pada puncak his dengan mengikuti sumbu jalan
lahir. Pada saat penarikan (puncak his) minta pasien meneran. Posisi
tangan: tangan luar menarik pengait. Ibu jari tangan dalam mangkok,

teluunjuk dan jari tengah pada kulit bayi. Tarikan diulang 3 kali.
Lakukan pemeriksaan di antara kontraksi (denyut janin dan aplikasi

mangkok).
Saat suboksiput sudah berada di bawah simpisis, arahkan tarikan ke
atas hingga lahirlah berturut-turut dahi, muka, dan dagu. Segera

lepaskan mangkok vakum dengan menghilangkan tekanan negatif.


Selanjutnya kelahiran bayi dan plasenta dilakukan seperti pertolongan
persalinan normal.

21

Eksplorasi jalan lahir dengan menggunakan spekulum sims atas dana


bawah untuk melihat apakah ada robekan pada dinding vagina atau
perluasan luka episiotomi.

Komplikasi

Komplikasi janin:
- Edema skalp, yang akan hilang dalam 1-2 hari
- Sefal hematoma, akan hilang dalam 3-4 minggu
- Aberasi dan laserasi kulit kepala
- Perdarahan intrakranial, jarang terjadi
Komplikasi Ibu
Robekan jalan lahir dapat terjadi. Periksa dengan seksama, dan
lakukan reparasi jika terdapat robekan serviks, vagina atau luka
episiotomi meluas.

D. INDUKSI PERSALINAN
Definisi Induksi Persalinan
Induksi persalinan adalah upaya menstimulasi uterus untuk
memulai terjadinya persalinan. Sedangkan augmentasi atau akselerasi
persalinan adalah meningkatkan frekuensi, lama, dan kekuatan kontraksi
uterus dalam persalinan. (Saifuddin, 2002).
Induksi dimaksudkan sebagai stimulasi kontraksi sebelum mulai
terjadi persalinan spontan, dengan atau tanpa rupture membrane.
Augmentasi merujuk pada stimulasi terhadap kontraksi spontan yang
dianggap tidak adekuat karena kegagalan dilatasi serviks dan penurunan
janin. (Cunningham, 2013). Induksi persalinan adalah upaya memulai
persalinan dengan cara-cara buatan sebelum atau sesudah kehamilan
cukup bulan dengan jalan merangsang timbulnya his (Sinclair, 2012).
Secara umum induksi persalinan adalah berbagai macam tindakan
terhadap ibu hamil yang belum inpartu, baik secara operatif maupun
medisinal, untuk merangsang timbulnya atau mempertahankan kontraksi
rahim sehingga terjadi persalinan. Atau dapat juga diartikan sebagai
inisiasi persalinan secara buatan setelah janin viable. (Llewellyn, 2002).

Indikasi Induksi Persalinan

22

Induksi

diindikasikan

hanya

untuk

pasien

yang

kondisi

kesehatannya atau kesehatan janinnya berisiko jika kehamilan berlanjut.


Induksi persalinan mungkin diperlukan untuk menyelamatkan janin dari
lingkungan intra uteri yang potensial berbahaya pada kehamilan lanjut
untuk berbagai alasan atau karena kelanjutan kehamilan membahayakan
ibu (Llewellyn, 2002).
Adapun indikasi induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini,
kehamilan lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis, preeklampsi
berat, hipertensi akibat kehamilan, intrauterine fetal death (IUFD) dan
pertumbuhan janin terhambat (PJT), insufisiensi plasenta, perdarahan
antepartum, dan umbilical abnormal arteri Doppler (Oxford, 2013).

Kontra Indikasi
Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi
untuk menghindarkan persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya yaitu:
disproporsi sefalopelvik (CPD), plasenta previa, gamelli, polihidramnion,
riwayat sectio Caesar klasik, malpresentasi atau kelainan letak, gawat
janin, vasa previa, hidrosefalus, dan infeksi herpes genital aktif
(Cunningham, 2013).

Komplikasi atau Risiko Melakukan Induksi Persalinan


Komplikasi

dapat

ditemukan

selama

pelaksanaan

induksi

persalinan maupun setelah bayi lahir. Komplikasi yang dapat ditemukan


antara lain: atonia uteri, hiperstimulasi, fetal distress, prolaps tali pusat,
rupture uteri, solusio plasenta, hiperbilirubinemia, hiponatremia, infeksi
intra uterin, perdarahan post partum, kelelahan ibu dan krisis emosional,
serta dapat meningkatkan pelahiran caesar pada induksi elektif
(Cunningham, 2013).

Persyaratan
Untuk dapat melaksanakan induksi persalinan perlu dipenuhi
beberapa kondisi/persyaratan sebagai berikut:

23

a. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)


b. Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar
dan menipis, hal ini dapat dinilai menggunakan tabel skor Bishop. Jika
kondisi tersebut belum terpenuhi maka kita dapat melakukan
pematangan serviks dengan menggunakan metode farmakologis atau
dengan metode mekanis.
c. Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin.
d. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga panggul
(Oxorn, 2013).
Apabila kondisi-kondisi diatas tidak terpenuhi maka induksi
persalinan mungkin tidak memberikan hasil yang diharapkan. Untuk
menilai keadaan serviks dapat dipakai skor Bishop. berdasarkan kriteria
Bishop, yakni:
a. Jika kondisi serviks baik (skor 5 atau lebih), persalinan biasanya
berhasil diinduksi dengan hanya menggunakan induksi.
b. Jika kondisi serviks tidak baik (skor <5), matangkan serviks terlebih
dahulu sebelum melakukan induksi (Cunningham, 2013)
Pada kebanyakan kasus, teknik yang digunakan

untuk

meningkatkan favorability atau kematangan serviks juga menstimulasi


kontraksi. Jadi teknik tersebut dapat digunakan untuk menginduksi
persalinan. Metode yang digunakan untuk mematangkan serviks meliputi
preparat farmakologis dan berbagai bentuk distensi serviks mekanis
(Cunningham, 2013).
Metode farmakologis diantaranya yaitu pemberian prostaglandin
E2 (dinoprostone, cervidil, dan prepidil), prostaglandin E1 (Misoprostol
atau cytotec), dan donor nitrit oksida. Sedangkan ynag termasuk kedalam
metode mekanis yakni kateter transservikal (kateter foley), ekstra
amnionik salin infusion (EASI), dilator servikal higroskopik, dan stripping
membrane (Cunningham, 2013).

Proses Induksi
Ada dua cara yang biasanya dilakukan untuk memulai proses
induksi, yaitu kimia dan mekanik. Namun pada dasarnya, kedua cara ini

24

dilakukan untuk mengeluarkan zat prostaglandin yang berfungsi sebagai


zat penyebab otot rahim berkontraksi.
a. Secara kimia atau medicinal/farmakologis
1). Prostaglandin E2 (PGE2)
PGE2 tersedia dalam bentuk gel atau pesarium yang dapat
dimasukkan intravaginal atau intraserviks. Gel atau pesarium ini
yang digunakan secara local akan menyebabkan pelonggaran
kolagen serviks dan peningkatan kandungan air di dalam jaringan
serviks.

PGE2

memperlunak

jaringan

ikat

serviks

dan

merelaksasikan serabut otot serviks, sehingga mematangkan serviks.


PGE2 ini pada umumnya digunakan untuk mematangkan serviks
pada wanita dengan nilai bishop <5 dan digunakan untuk induksi
persalinan pada wanita yang nilai bishopnya antara 5 - 7 (Sinclair,
2012, Llewellyn, 2002).
Bentuk gelnya (prepidil) tersedia dalam suntikan 2,5 ml untuk
pemberian intraserviks berisi 0,5 mg dinoprostone. Ibu dalam posisi
terlentang, ujung suntikan yang belum diisi diletakkan di dalam
serviks, dan gel dimasukkan tepat di bawah os serviks interna.
Setelah pemberian, ibu tetap berbaring selama setidaknya 30 menit.
Dosis dapat diulang setiap 6 jam, dengan maksimum tiga dosis yang
direkomendasikan dalam 24 jam.
Cervidil (dinoprostone 10 mg) juga diakui untuk pematangan
serviks. Bentuknya yang persegi panjang (berupa wafer polimerik)
yang tipis dan datar, yang dibungkus dalam kantung jala kecil
berwarna putih yang terbuat dari polyester. Kantungnya memiliki
ekor

panjang

agar

vagina.pemasukannya

mudah

untuk

memungkinkan

mengambilnya

dilepaskannya

obat

dari
0,3

mg/jam (lebih lambat dari pada bentuk gel) (Cunningham, 2013).


Cervidil digunakan dalam dosis tunggal yang diletakkan
melintang pada forniks posterior vagina. Pelumas harus digunakan
sedikit, atau tidak sama sekali, saat pemasukan. Pelumas yang
berlebihan dapat menutupi dan mencegah pelepasan dinoprostone.
Setelah pemasukan, ibu harus tetap berbaring setidaknya 2 jam. Obat

25

ini kemudian dikeluarkan setelah 12 jam atau ketika persalinan aktif


mulai

terjadi.

hiperstimulasi.

Cervidil
American

ini

dapat

dikeluarkan

College

of

jika

Obstetricians

terjadi
and

Gynecologists (1999) merekomendasikan agar pemantauan janin


secara elektronik digunakan selama cervidil digunakan dan
sekurang-kurangnya selama 15 menit setelah dikeluarkan (Sinclair,
2012, Cunningham, 2013).
Efek samping setelah

pemberian

prostaglandin E2

pervaginam adalah peningkatan aktivitas uterus, menurut American


College

of

Obstetricians

and

Gynecologists

(1999)

mendeskripsikannya sebagai berikut:


a) Takisistol uterus diartikan sebagai 6 kontraksi dalam periode 10
menit.
b) Hipertoni uterus dideskripsikan sebagai kontraksi tunggal yang
berlangsung lebih lama dari 2 menit.
c) Hiperstimulasi uterus jika salah satu kondisi menyebabkan pola
denyut jantung janin yang meresahkan.
Karena hiperstimulasi yang dapat menyebabkan masalah bagi
janin bisa berkembang jika prostaglandin diberikan sebelum
adanya

persalinan

spontan,

maka

penggunaannya

tidak

direkomendasikan. Kontra indikasi untuk agen prostaglandin


secara umum meliputi asma, glaucoma, peningkatan tekanan
intra-okular (Sinclair, 2010, Cunningham, 2013).
2). Prostaglandin E1 (PGE1)
Misoprostol atau cytotec adalah PGE1 sintetik, diakui sebagai
tablet 100 atau 200 g. Obat ini telah digunakan secara off label (luas)
untuk pematangan serviks prainduksi dan dapat diberikan per oral atau
per vagina. Tablet ini lebih murah daripada PGE2 dan stabil pada suhu
ruangan. Sekarang ini, prostaglandin E1 merupakan prostaglandin
pilihan untuk induksi persalinan atau aborsi pada Parkland Hospital
dan Birmingham Hospital di University of Alabama (Sinclair, 2010,
Cunningham, 2013).
Misoprostol oral maupun vagina dapat digunakan untuk
pematangan serviks atau induksi persalinan. Dosis yang digunakan 25
26

50 g dan ditempatkan di dalam forniks posterior vagina. 100 g


misoprostol per oral atau 25 g misoprostol per vagina memiliki
manfaat yang serupa dengan oksitosin intravena untuk induksi
persalinan pada perempuan saat atau mendekati cukup bulan, baik
dengan rupture membrane kurang bulan maupun serviks yang baik.
Misoprostol dapat dikaitkan dengan peningkatan angka hiperstimulasi,
dan dihubungkan dengan rupture uterus pada wanita yang memiliki
riwayat menjalani seksio sesaria. Selain itu induksi dengan PGE1,
mungkin terbukti tidak efektif dan memerlukan augmentasi lebih lanjut
dengan oksitosin, dengan catatan jangan berikan oksitosin dalam 8 jam
sesudah pemberian misoprostol. Karena itu, terdapat pertimbangan
mengenai risiko, biaya, dan kemudahan pemberian kedua obat, namun
keduanya cocok untuk induksi persalinan. Pada augmentasi persalinan,
hasil dari penelitian awal menunjukkan bahwa misoprostol oral 75 g
yang diberikan dengan interval 4 jam untuk maksimum dua dosis,
aman dan efektif (Saifuddin, 2002, Cunningham, 2013).
3). Donor nitrit oksida
Beberapa temuan telah mengarahkan pada pencarian zat yang
menstimulusi produksi nitrit oksida (NO) lokal yang digunakan untuk
tujuan klinis diantaranya yakni, nitrit oksida merupakan mediator
pematangan serviks, metabolit NO pada serviks meningkat pada awal
kontraksi uterus, dan produksi NO di serviks sangat rendah pada
kehamilan lebih bulan. Dasar pemikiran dan penggunaan donor NO
yaitu isosorbide mononitrate dan glyceryl trinitrate. isosorbide
mononitrate menginduksi siklo-oksigenase 2 serviks, agen ini juga
menginduksi pengaturan ulang ultrastruktur serviks, serupa dengan
yang terlihat pada pematangan serviks spontan. Namun sejauh ini uji
klinis belum menunjukkan bahwa donor NO sama efektifnya dengan
prostaglandin E2 dalam menghasilkan pematangan serviks, dan
penambahan

isosorbide

mononitrate

pada

dinoprostone

atau

misoprostol tidak meningkatkan pematangan serviks pada awal

27

kehamilan atau saat cukup bulan dan tidak mempersingkat waktu


pelahiran pervaginam (Cunningham, 2013).
4). Pemberian oksitosin intravena
Tujuan induksi atau augmentasi adalah untuk menghasilkan
aktifitas uterus yang cukup untuk menghasilkan perubahan serviks dan
penurunan janin. Sejumlah regimen oksitosin untuk stimulasi
persalinan direkomendasikan oleh American College of Obstetricians
and Gynecologists (1999a). Oksitosin diberikan dengan menggunakan
protokol dosis rendah (1 4 mU/menit) atau dosis tinggi (6 40
mU/menit), awalnya hanya variasi protokol dosis rendah yang
digunakan di Amerika Serikat, kemudian dilakukan percobaan dengan
membandingkan dosis tinggi, dan hasilnya kedua regimen tersebut
tetap digunakan untuk induksi dan augmentasi persalinan karena tidak
ada regimen yang lebih baik dari pada terapi yang lain untuk
memperpendek waktu persalinan (Cunningham, 2013).
Oksitosin digunakan secara hati-hati karena gawat janin dapat
terjadi dari hiperstimulasi. Walaupun jarang, rupture uteri dapat pula
terjadi, lebih-lebih pada multipara. Untuk itu senantiasa lakukan
observasi yang ketat pada ibu yang mendapat oksitosin. Dublin (tahun
1984) menguraikan protokol untuk penatalaksanaan aktif persalinan
yang menggunakan oksitosin dosis awal dan tambahan 6 mU/menit.
Satin, dkk (1992) mengevaluasi regimen oksitosin dengan dosis
tersebut, peningkatan dengan interval 20 menit jika diperlukan,
menghasilkan rata-rata waktu masuk ke persalinan yang lebih singkat,
lebih sedikit induksi yang gagal, dan tidak ada kasus sepsis neonatus.
Dengan percobaan pada sampel yang berbeda, mereka yang mendapat
regimen 6 mU/menit memiliki durasi waktu persalinan yang lebih
singkat, persalinan forseps yang lebih sedikit, pelahiran Caesar karena
distosia yang lebih sedikit, dan menurunnya korioamnionitis
intrapartum atau sepsis neonatorum. Dengan demikian, manfaat yang
lebih banyak didapatkan dengan memberikan regimen dosis yang lebih
tinggi dibandingkan dosis yang lebih rendah. Di Parkland hospital

28

penggunaan regimen oksitosin dengan dosis awal dan tambahan 6


mU/menit secara rutin telah dilakukan hingga saat ini. Sedangkan di
Birmingham Hospital di University Alabama memulai oksitosin
dengan dosis 2 mU/menit dan menaikkannya sesuai kebutuhan setiap
15 menit yaitu menjadi 4, 8, 12, 16, 20, 25, dan 30 mU/menit.
Walaupun regimen yang pertama tampaknya sangat berbeda, jika tidak
ada aktifitas uterus, kedua regimen tersebut mengalirkan 12 mU/menit
selama 45 menit ke dalam infuse (Cunningham, 2013).
Jika masih tidak terbentuk kontraksi yang baik pada dosis
maksimal, lahirkanlah janin melalui sectio caesar. Dalam pemberian
infus oksitosin, selama pemberian ada beberapa hal yang harus
diperhatikan oleh petugas kesehatan yaitu:
a) Observasi ibu selama mendapatkan infuse oksitosin secara cermat.
b) Jika infuse oksitosin menghasilkan pola persalinan yang baik,
pertahankan kecepatan infuse yang sama sampai pelahiran.
c) Ibu yang mendapat oksitosin tidak boleh ditinggal sendiri
d) Jangan menggunakan oksitosin 10 unit dalam 500 ml (20 mIU/ml)
pada multigravida dan pada ibu dengan riwayat section caesar.
e) Peningkatan kecepatan infus oksitosin dilakukan hanya sampai
terbentuk pola kontraksi yang baik, kemudian pertahankan infus
pada kecepatan tersebut (Saifuddin, 2002).
Secara mekanis atau tindakan
1). Kateter Transservikal (Kateter Foley)
Kateter foley merupakan alternatif yang efektif disamping
pemberian prostaglandin untuk mematangkan serviks dan induksi
persalinan. Akan tetapi tindakan ini tidak boleh digunakan pada ibu yang
mengalami servisitis, vaginitis, pecah ketuban, dan terdapat riwayat
perdarahan. Kateter foley diletakkan atau dipasang melalui kanalis
servikalis (os seviks interna) di dalam segmen bawah uterus (dapat diisi
sampai 100 ml). tekanan kearah bawah yang diciptakan dengan
menempelkan kateter pada paha dapat menyebabkan pematangan serviks.
Modifikasi cara ini, yang disebut dengan extra-amnionic saline infusion
(EASI), cara ini terdiri dari infuse salin kontinu melalui kateter ke dalam

29

ruang antara os serviks interna dan membran plasenta. Teknik ini telah
dilaporkan memberikan perbaikan yang signifikan pada skor bishop dan
mengurangi waktu induksi ke persalinan (Cunningham, 2013).
Penempatan kateter, dengan atau tanpa infuse salin yang kontinu,
menghasilkan perbaikan favorability serviks dan sering kali menstimulasi
kontraksi. Sherman dkk. (1996), merangkum hasil dari 13 percobaan
dengan metode ini menghasilkan peningkatan yang cepat pada skor bishop
dan persalinan yang lebih singkat. Chung dkk. (2003) secara acak
mengikutsertakan 135 wanita untuk menjalani teknik induksi persalinan
dengan kateter foley ekstra amnion dengan inflasi balon sampai 30 ml juga
menghasilkan waktu rata-rata induksi ke pelahiran memendek secara
nyata. Dan Levy dkk. (2004) melaporkan bahwa penggunaan balon kateter
foley transservikal 80 ml lebih efektif untuk pematangan serviks dan
induksi dari pada yang 30 ml (Cunningham, 2013).
Adapun teknik pemasangan kateter foley yaitu sebagai berikut:
a) Pasang speculum pada vagina
b) Masukkan kateter foley pelan-pelan melalui servik

dengan

menggunakan cunam tampon.


c) Pastikan ujung kateter telah melewati ostium uteri internum
d) Gelembungkan balon kateter dengan memasukkan 10 ml air
e) Gulung sisa kateter dan letakkan dalam vagina
f) Diamkan kateter dalam vagina sampai timbul kontraksi uterus atau
maksimal 12 jam
g) Kempiskan balon kateter sebelum mengeluarkannya dan kemudian
lanjutkan dengan infuse oksitosin (Saifuddin, 2002).
2). Dilator Servikal Higroskopik (Batang Laminaria)
Dilatasi serviks dapat juga di timbulkan menggunakan dilator
serviks osmotic higroskopik. Teknik yang dilakukan yakni dengan batang
laminaria dan pada keadaan dimana serviks masih belum membuka.
Dilator mekanik ini telah lama berhasil digunakan jika dimasukkan
sebelum terminasi kehamilan, tetapi kini alat ini juga digunakan untuk
pematangan serviks sebelum induksi persalinan. Pemasangan laminaria

30

dalam kanalis servikalis dan dibiarkan selama 12-18 jam, kemudian jika
perlu dilanjutkan dengan infus oksitosin (Cunningham, 2013).
3). Stripping membrane
Yang dimaksud dengan stripping membrane yaitu cara atau teknik
melepaskan atau mamisahkan selaput kantong ketuban dari segmen bawah
uterus. Induksi persalinan dengan stripping membrane merupakan
praktik yang umum dan aman serta mengurangi insiden kehamilan lebih
bulan. Stripping dapat dilakukan dengan cara manual yakni dengan jari
tengah atau telunjuk dimasukkan dalam kanalis servikalis (Cunningham,
2013).
4). Induksi Amniotomi
Ruptur membrane artifisial atau terkadang disebut dengan induksi
pembedahan, teknik ini dapat digunakan untuk menginduksi persalinan.
Pemecahan ketuban buatan memicu pelepasan prostaglandin. Amniotomi
dapat dilakukan sejak awal sebagai tindakan induksi, dengan atau tanpa
oksitosin. Pada uji acak, Bacos dan Backstrom (1987) menemukan bahwa
amniotomi saja atau kombinasi dengan oksitosin lebih baik dari pada
oksitosin saja. Induksi persalinan secara bedah (amniotomi) lebih efektif
jika keadaan serviks baik (skor Bishop > 5). Amniotomi pada dilatasi
serviks sekitar 5 cm akan mempercepat persalinan spontan selama 1
sampai 2 jam, bahkan Mercer dkk. (1995) dalam penelitian acak dari 209
perempuan yang menjalani induksi persalinan baik itu amniotomi dini
pada dilatasi 1-2 cm ataupun amniotomi lanjut pada dilatasi 5 cm
didapatkan awitan persalinan yang lebih singkat yakni 4 jam
(Cunningham, 2013; Sinclair, 2012).
Namun ada komplikasi atau resiko yang dapat timbul setelah
dilakukan amniotomi yakni: sekitar 0,5 % terjadi prolaps tali pusat, infeksi
(jika jangka waktu antara induksi-persalinan > 24 jam), perdarahan ringan,
perdarahan post partum (resiko relatif 2 kali dibandingkan dengan tanpa
induksi persalinan), hiperbilirubinemia neonatus (bilirubin > 250 mol/l)
(Llewellyn, 2002).

31

5). Stimulasi putting susu


Untuk stimulasi payudara gunakan pedoman CST dan pantau DJJ
dengan auskultasi atau pemantauan janin dengan cardiotografi. Observasi
adanya hiperstimulasi pada uterus (Prawiroharjo, 2009).

E. SECTIO CAESARIA
Definisi
Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan insisi
pada dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerotomi) (Joy,
20016).

Indikasi
Indikasi terkemuka untuk sesar (85%) adalah sesar sebelumnya,
sunsang, distosia, dan gawat janin (Joy, 2016).

Indikasi Ibu untuk Caesar meliputi:


a. Panggul Sempit Absolut
Pada panggul ukuran normal, apapun jenisnya, yaitu panggul
ginekoid, anthropoid, android, dan platipelloid. Kelahiran pervaginam
janin dengan berat badan normal tidak akan mengalami gangguan.
Panggul sempit absolut adalah ukuran konjungata vera kurang dari 10 cm
dan diameter transversa kurang dari 12 cm. Oleh karena panggul sempit,
kemungkinan kepala tertahan di pintu atas panggul lebih besar, maka
dalam hal ini serviks uteri kurang mengalami tekanan kepala. Hal ini
dapat mengakibatkan inersia uteri serta lambatnya pembukaan serviks
(Prawirohardjo, 2009).
b. Tumor yang dapat mengakibatkan Obstruksi

32

Tumor dapat merupakan rintangan bagi lahirnya janin pervaginam.


Tumor yang dapat dijumpai berupa mioma uteri, tumor ovarium, dan
kanker rahim. Adanya tumor bisa juga menyebabkan resiko persalinan
pervaginam menjadi lebih besar. Tergantung dari jenis dan besarnya
tumor, perlu dipertimbangkan apakah persalinan dapat berlangsung
melalui vagina atau harus dilakukan tindakan sectio caesarea. Pada kasus
mioma uteri, dapat bertambah besar karena pengaruh hormon estrogen
yang meningkat dalam kehamilan. Dapat pula terjadi gangguan sirkulasi
dan menyebabkan perdarahan. Mioma subserosum yang bertangkai dapat
terjadi torsi atau terpelintir sehingga menyebabkan rasa nyeri hebat pada
ibu hamil (abdomen akut). Selain itu, distosia tumor juga dapat
menghalangi jalan lahir. Tumor ovarium mempunyai arti obstetrik yang
lebih penting. Ovarium merupakan tempat yang paling banyak ditumbuhi
tumor. Tumor yang besar dapat menghambat pertumbuhan janin sehingga
menyebabkan abortus dan bayi prematur, selain itu juga dapat terjadi
torsi. Tumor seperti ini harus diangkat pada usia kehamilan 16-20
minggu. Adapun kanker rahim, terbagi menjadi dua; kanker leher rahim
dan kanker korpus rahim. Pengaruh kanker rahim pada persalinan antara
lain dapat menyebabkan abortus, menghambat pertumbuhan janin, serta
perdarahan dan infeksi (Joy, 2016).
c. Plasenta Previa
Perdarahan obstetrik yang terjadi pada kehamilan trimester ketiga
dan yang terjadi setelah anak atau plasenta lahir pada umumnya adalah
perdarahan yang berat, dan jika tidak mendapat penanganan yang cepat
bisa mengakibatkan syok yang fatal. Salah satu penyebabnya adalah
plasenta previa. Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal,
yaitu pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau
seluruh pembukaan jalan lahir. Pada keadaan normal plasenta terdapat di
bagian atas uterus. Sejalan dengan bertambah besarnya rahim dan
meluasnya segmen bawah rahim ke arah proksimal memungkinkan

33

plasenta mengikuti perluasan segmen bawah rahim. Klasifikasi plasenta


previa didasarkan atas terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan
jalan lahir. Disebut plasenta previa komplit apabila seluruh pembukaan
tertutup oleh jaringan plasenta. Plasenta previa parsialis apabila sebagian
permukaan tertutup oleh jaringan. Dan disebut plasenta previa marginalis
apabila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan
(Decherney, 2007).

d. Ruptura Uteri
Ruptura uteri baik yang terjadi dalam masa hamil atau dalam
proses persalinan merupakan suatu malapetaka besar bagi wanita dan
janin yang dikandungnya. Dalam kejadian ini boleh dikatakan sejumlah
besar janin atau bahkan hampir tidak ada janin yang dapat diselamatkan,
dan sebagian besar dari wanita tersebut meninggal akibat perdarahan,
infeksi, atau menderita kecacatan dan tidak mungkin bisa menjadi hamil
kembali karena terpaksa harus menjalani histerektomi (Prawirohardjo,
2009).
Ruptura uteri adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah
terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dengan rongga
peritoneum. Kausa tersering ruptur uteri adalah terpisahnya jaringan parut
bekas sectio caesarea sebelumnya. Selain itu, ruptur uteri juga dapat
disebabkan trauma atau operasi traumatik, serta stimulus berlebihan.
Namun kejadiannya relatif lebih kecil (Cunningham, 2013).
e. Disfungsi Uterus
Mencakup kerja uterus yang tidak adekuat. Hal ini menyebabkan
tidak adanya kekuatan untuk mendorong bayi keluar dari rahim. Dan ini
membuat kemajuan persalinan terhenti sehingga perlu penanganan
dengan sectio caesarea (Prawirohardjo, 2009).

34

f. Solutio Plasenta
Disebut juga abrupsio plasenta, adalah terlepasnya sebagian atau
seluruh plasenta sebelum janin lahir. Ketika plasenta terpisah, akan diikuti
pendarahan maternal yang parah. Bahkan dapat menyebabkan kematian
janin. Plasenta yang terlepas seluruhnya disebut solutio plasenta totalis,
bila hanya sebagian disebut solutio plasenta parsialis, dan jika hanya
sebagian kecil pinggiran plasenta yang terpisah disebut ruptura sinus
marginalis (Impey, 2008). Frekuensi terjadinya solutio plasenta di
Amerika Serikat sekitar 1% dan solutio plasenta yang berat mengarah
pada kematian janin dengan angka kejadian sekitar 0,12% kehamilan atau
1:830. Solutio plasenta jjuga dapat terjadi sekitar 1% dari semua
kehamilan di seluruh dunia (Deering, 2015).

Indikasi Janin untuk Caesar Meliputi:


a. Kelainan Letak
1. Letak Lintang
Pada letak lintang, biasanya bahu berada di atas pintu atas
panggul sedangkan kepala berada di salah satu fossa iliaka dan bokong
pada sisi yang lain. Pada pemeriksaan inspeksi dan palpasi didapati
abdomen biasanya melebar dan fundus uteri membentang hingga
sedikit di atas umbilikus. Tidak ditemukan bagian bayi di fundus, dan
balotemen kepala teraba pada salah satu fossa iliaka.
Penyebab utama presentasi ini adalah relaksasi berlebihan
dinding abdomen akibat multiparitas yang tinggi. Selain itu bisa juga
disebabkan janin prematur, plasenta previa, uterus abnormal, cairan
amnion berlebih, dan panggul sempit (Cunningham, 2013).
2. Presentasi Bokong
Presentasi bokong adalah janin letak memanjang dengan bagian
terendahnya bokong, kaki, atau kombinasi keduanya. Dengan insidensi
3 4% dari seluruh persalinan aterm. Presentasi bokong adalah

35

malpresentasi yang paling sering ditemui. Sebelum usia kehamilan 28


minggu, kejadian presentasi bokong berkisar antara 25 30%.
(Decherney,2007). Faktor resiko terjadinya presentasi bokong ini
antara lain prematuritas, abnormalitas uterus, polihidamnion, plasenta
previa, multiparitas, dan riwayat presentasi bokong sebelumnya
(Fischer,2006).
3. Presentasi Ganda atau Majemuk
Presentasi ini disebabkan terjadinya prolaps satu atau lebih
ekstremitas pada presentasi kepala ataupun bokong. Kepala memasuki
panggul bersamaan dengan kaki dan atau tangan. Faktor yang
meningkatkan kejadian presentasi ini antara lain prematuritas,
multiparitas, panggul sempit, kehamilan ganda (Prawirohardjo, 2009)
b. Gawat Janin
Keadaan janin biasanya dinilai dengan menghitung denyut jantung
janin (DJJ) dan memeriksa kemungkinan adanya mekonium di dalam
cairan amnion. Untuk keperluan klinik perlu ditetapkan kriteria yang
termasuk keadaan gawat janin. Disebut gawat janin, bila ditemukan
denyut jantung janin di atas 160/menit atau di bawah 100/menit,
denyut jantung tak teratur, atau keluarnya mekonium yang kental pada
awal persalinan (Prawirohardjo, 2009).
Keadaan gawat janin pada tahap persalinan memungkinkan dokter
memutuskan untuk melakukan operasi. Terlebih apabila ditunjang
kondisi ibu yang kurang mendukung. Sebagai contoh, bila ibu
menderita

hipertensi

atau

kejang

pada

rahim

yang

dapat

mengakibatkan gangguan pada plasenta dan tali pusar. Sehingga aliran


darah dan oksigen kepada janin menjadi terganggu. Kondisi ini dapat
mengakibatkan janin mengalami gangguan seperti kerusakan otak. Bila
tidak segera ditanggulangi, maka dapat menyebabkan kematian janin
(Oxorn, 2003).

36

c. Ukuran Janin
Berat bayi lahir sekitar 4000 gram atau lebih (giant baby),
menyebabkan bayi sulit keluar dari jalan lahir. Umumnya pertumbuhan
janin yang berlebihan disebabkan sang ibu menderita kencing manis
(diabetes mellitus). Bayi yang lahir dengan ukuran yang besar dapat
mengalami kemungkinan komplikasi persalinan 4 kali lebih besar
daripada bayi dengan ukuran normal (Oxorn, 2003).
Menentukan apakah bayi besar atau tidak terkadang sulit. Hal ini dapat
diperkirakan dengan cara :
a.

Adanya riwayat melahirkan bayi dengan ukuran besar, sulit

b.

dilahirkan atau ada riwayat diabetes melitus.


Kenaikan berat badan yang berlebihan tidak oleh sebab

lainnya (edema, dll).


c. Pemeriksaan disproporsi sefalo atau feto-pelvik.
Indikasi Ibu dan Janin
a. Gemelli atau Bayi Kembar
Kehamilan kembar atau multipel adalah suatu kehamilan dengan
dua janin atau lebih. Kehamilan multipel dapat berupa kehamilan
ganda (2 janin), triplet (3 janin), kuadruplet (4 janin), quintuplet (5
janin) dan seterusnya sesuai dengan hukum Hellin. Morbiditas dan
mortalitas mengalami peningkatan yang nyata pada kehamilan dengan
janin ganda. Oleh karena itu, mempertimbangkan kehamilan ganda
sebagai kehamilan dengan komplikasi bukanlah hal yang berlebihan.
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain anemia pada ibu, durasi
kehamilan yang memendek, abortus atau kematian janin baik salah
satu atau keduanya, gawat janin, dan komplikasi lainnya. Demi
mencegah komplikasi komplikasi tersebut, perlu penanganan
persalinan dengan sectio caesarea untuk menyelamatkan nyawa ibu
dan bayi bayinya (Prawirohardjo, 2009).
b. Riwayat Sectio Caesarea
Sectio caesarea ulangan adalah persalinan dengan sectio caesarea
yang dilakukan pada seorang pasien yang pernah mengalami sectio
37

caesarea pada persalinan sebelumnya, elektif maupun emergency. Hal


ini perlu dilakukan jika ditemui hal hal seperti :
Indikasi yang menetap pada persalinan sebelumnya seperti kasus
panggul sempit.
Adanya kekhawatiran ruptur uteri pada bekas operasi sebelumnya.
(Chunningham dkk, 2013)
c. Preeklampsia dan Eklampsia
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan
atau edema setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah
persalinan. Bila tekanan darah mencapai 160/110 atau lebih, disebut
preeklampsia berat.Sedangkan eklampsia adalah kelainan akut pada
wanita hamil, dalam persalinan atau masa nifas yang ditandai dengan
timbulnya kejang (bukan karena kelainan neurologi) dan atau koma
dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejala preeklampsia. Janin
yang dikandung ibu dapat mengalami kekurangan nutrisi dan oksigen
sehingga dapat terjadi gawat janin. Terkadang kasus preeklampsia dan
eklampsia dapat menimbulkan kematian bagi ibu, janin, bahkan
keduanya (Decherney,2007).

Indikasi Sosial
Menurut Mackenzie et al (1996) dalam Mukherjee (2006),
permintaan ibu merupakan suatu faktor yang berperan dalam angka
kejadian sectio caesarea yaitu mencapai 23%. Di samping itu, selain
untuk menghindari sakit, alasan untuk melakukan sectio caesarea adalah
untuk menjaga tonus otot vagina, dan bayi dapat lahir sesuai dengan
waktu yang diinginkan. Walaupun begitu, menurut FIGO (1999) dalam
Mukherjee (2006), pelaksanaan sectio caesarea tanpa indikasi medis
tidak dibenarkan secara etik.

Jenis Jenis Operasi Sectio Caesarea


Abdomen (sectio caesarea abdominalis)

38

a. Sectio caesarea transperitonealis :


Sectio caesarea klasik atau korporal dengan insisi memanjang pada
korpus uteri. Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada
korpus uteri kira kira sepanjang 10 cm.
Kelebihan :
-

Mengeluarkan janin lebih cepat


Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih
Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal

Kekurangan :
-

Infeksi mudah menyebar


Sering mengakibatkan ruptur uteri pada persalinan berikutnya.

Sectio caesarea ismika atau profunda atau low cervical dengan insisi
pada segmen bawah rahim. Dilakukan dengan membuat sayatan
melintang konkaf pada segmen bawah rahim kira kira 10 cm.
Kelebihan :
-

Penjahitan dan penutupan luka lebih mudah


Mencegah isi uterus ke rongga peritoneum
Kemungkinan ruptura uteri lebih kecil.

Kekurangan :
-

Luka dapat melebar


Keluhan kandung kemih postoperatif tinggi.

b. Sectio caesarea ekstraperitonealis


Sectio caesarea yang dilakukan tanpa membuka peritoneum
parietalis, dengan demikian tidak membuka kavum abdominal.
Vagina (Sectio Caesarea Vaginalis)
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan
sebagai berikut :
a. Sayatan memanjang (vertikal) menurut Kronig
b. Sayatan melintang (transversal) menurut Kerr
c. Insisi Klasik
d. Sayatan huruf T terbalik (T-incision).

39

Komplikasi
a. Infeksi Puerperal (nifas)
Ringan, kenaikan suhu beberapa hari saja
Sedang, kenaikan suhu disertai dehidrasi dan perut kembung
Berat, dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik.
b. Perdarahan, karena :
Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
Atonia Uteri
Perdarahan pada plasenta
c. Luka kandung kemih, emboli paru dan komplikasi lainnya yang jarang
terjadi.
d. Kemungkinan ruptura uteri atau terbukanya jahitan pada uterus karena
operasi sebelumnya (Joy, 2016).

BAB III
METODE PENELITIAN

40

A. Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan desain case series.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di RSUD R.A. Kartini Kabupaten
Karanganyar dengan pertimbangan tersedianya data penderita Ketuban Pecah
Dini tahun 2014 2015.
C. Populasi Penelitian
Populasi adalah sekelompok subjek dengan karakteristik tertentu dalam
penelitian. Populasi adalah semua data pasien KPD di RSUD R.A. Kartini
Kabupaten Karanganyar tahun 2014 2015.
D. Sampel dan Teknik Sampling
Sampel merupakan bagian dari populasi yang mewakili populasi dan
dipilih dengan cara tertentu. Sampel dari penelitian ini adalah pasien dengan
KPD di RSUD R.A. Kartini Kabupaten Karanganyar dan memenuhi kriteria
inklusi dari penelitian ini. Teknik dalam pengambilan sampel ini adalah
dengan menggunakan teknik total sampling yaitu pengambilan sampel dari
semua populasi penelitian yang memenuhi kriteria pemilihan (Sugiyono,
2011).
E. Kriteria Restriksi
1. Kriteria Inklusi
a. Ibu Hamil dengan Ketuban Pecah Dini
b. Ibu Hamil dengan KPD dan dipacu
c. Ibu Hamil dengan KPD dan tidak dipacu
d. Ibu Hamil dengan KPD dan berakhir vakum
e. Ibu Hamil dengan KPD dan berakhir section caesaria
2. Kriteria Eksklusi
a. Ibu hamil yang bukan di diagnosa KPD
F. Teknik Pengambilan Data
Penelitian dan pengambilan data dilakukan dengan melihat rekam
medis 2 tahun terakhir yaitu tahun 2014-2015 di RSUD R.A. Kartini
Kabupaten Karanganyar.

41

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil penelitian ini didapatkan berdasarkan data rekapitulasi ponek tahun
2014-2015. Adapun karakteristik subjek sebagai berikut:

42

Tabel 1. Data subjek pasien Ketuban Pecah dini (KPD) tahun 2014:
TIDAK
PACU

BULAN

KPD

PACU

JANUARI
FEBRUARI
MARET
APRIL
MEI
JUNI
JULI
AGUSTUS
SEPTEMBER

19
9
18
8
12
3
14
13
17

9
4
8
5
7
3
12
9
12

OKTOBER

NOVEMBER

10

DESEMBER

12

TOTAL

142 (100%)

80 (56,34%)

41 (28,87%)

21 (14,79%)

9
3
9
3
5
2
4
2

SC

VAKUM

1
2
1

Berdasarkan data tabel diatas didapatkan jumalah pasien dengan Ketuban


Pecah Dini (KPD) pada tahun 2014 yaitu 142 orang. Dengan hasil akhir
persalinan pervaginam dengan dipacu sebanyak 80 orang dengan persentase
56,34% dan yang tidak dipacu sebanyak 41 orang dengan persentase 28,87%.
Dan hasil akhir persalinan perabdominal pada pasien KPD adalah sebanyak 21
orang yaitu dengan persentase 14,79%.

Tabel 2. Data subjek pasien Ketuban Pecah dini (KPD) tahun 2015:

BULAN

KPD

PACU

JANUARI

20

20

FEBRUARI

23

MARET

22

TIDAK
PACU

SC

VAKUM

15

17

43

APRIL

15

10

MEI

25

19

JUNI

15

15

JULI

15

AGUSTUS

15

SEPTEMBER

OKTOBER

19

NOVEMBER

15

DESEMBER

12

TOTAL

202 (100%)

119 (58,91%)

27 (13,36%)

55 (27,23%)

1 (0,49%)

Berdasarkan data tabel diatas didapatkan jumalah pasien dengan Ketuban


Pecah Dini (KPD) pada tahun 2015 yaitu sebanyak 202 orang. Dengan hasil akhir
persalinan pervaginam dengan dipacu sebanyak 119 orang dengan persentase
58,91% dan yang tidak dipacu sebanyak 27 orang dengan persentase 13,36% dan
yang dilakukan vakum sebanyak 1 orang dengan persentase 0,49%.
Dan hasil akhir persalinan perabdominal pada pasien KPD adalah sebanyak 55
orang yaitu dengan persentase 27,23%.

Tabel 3. Data perbandingan kasus persalinan perabdominal dan pervaginam


pada pasien Ketuban Pecah Dini (KPD) Tahun 2014-2015:
Tahun
Cara persalinan
Pervaginam

2014

2015

121 (45,15%)

147 (54,85%)

44

Perabdominal

21 (27,63%)

55 (72,36%)

Pada tabel diatas untuk perbandingan antara persalinan pervaginam pada


tahun 2014 adalah 121 orang dengan persentase (45,15) dan pada tahun 2015
sebanyak 147 orang (54,85%).
Sedangkan pada persalinan perabdominal pada tahun 2014 sebanyak 21
orang dengan persentase (27,63%) dan pada tahun 2015 sebanyak 55 orang
dengan persentase (72,36%).
Tabel 4. Data kasus persalinan pervaginam pada pasien Ketuban Pecah Dini
(KPD) Tahun 2014-2015

Jenis Tindakan

Tahun
2014

2015

Pacu

80 (40,2%)

119 (59,8%)

Tidak dipacu

41 (60,3%)

27 (39,7%)

vakum

Total

121

147

Pada tabel diatas untuk kasus persalinan pervaginam pada tahun 20142015 didapatkan pada jenis tindakan pacu atau induksi yang digunakan untuk
membantu proses persalinan yaitu sebanyak 80 orang pada tahun 2014 dan 119
orang pada tahun 2015. Dan pada jenis perlakukan tidak dipacu atau tindakan
secara konservatif pada tahun 2014 lebih banyak daripada tahun 2015. Sedangkan
pada jenis tindakan vakum sangat jarang digunakan terbukti dari hasil rekapitulasi
data tabel diatas hanyak terjadi pada satu kali yaitu pada tahun 2015.

B. Pembahasan

45

Prevalensi angka kejadian KPD di RSUD Karanganyar tahun 2014-2015


cukup banyak. Dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2 yaitu pada tahun 2014,
kejadian KPD mencapai 142 orang. Tahun selanjutnya, pada tahun 2015
meningkat menjadi 202 orang.
Manajemen KPD tahun 2014 dan 2015 hampir sama. Dapat dilihat pada
tabel 1 dan tabel 2 yaitu pada tahun 2014 dari 142 orang yang dilakukan
tindakan pacuan mencapai 80 orang dengan persentase (56,34%) dan tahun
2015 dari 202 orang yang dilakukan tindakan pacuan mencapai 119 (58,91%).
Menurut beberapa ahli berpendapat bahwa risiko infeksi dapat terjadi setiap
saat setelah ketuban pecah dan infeksi janin mungkin sudah terjadi walaupun
belum ada tanda-tanda infeksi pada ibu, dan dapat berpengaruh pada
morbiditas dan mortalitas janin (Sofoewan, 1999). Meningkatnya risiko
tersebut ada hubungannya dengan lamanya periode laten, sehingga atas dasar
alas an tersebut para ahli lebih memilih penanganan aktif, yaitu melakukan
induksi segera setelah diagnose KPD ditegakkan (Suwannachat, 2007). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Calkins, 1952 dalam (Cunningham, 2013)
yaitu ruptur membran saat aterm tanpa adanya kontraksi uterus spontan terjadi
sekitar 8% kehamilan. Hingga saat ini, penatalaksaan umumnya meliputi
stimulasi persalinan jika kontraksi tidak dimulai setelah 6 sampai 12 jam.
Intervensi ini terjadi sudah 40 tahun lalu karena komplikasi ibu dan janin
akibat korioamiotis.
Hannah (1996) dan Peleg (1999) dkk., mereka mengikutsertakan total
5042 kehamilan dengan rupture membrane dalam penelitian acak. Mereka
mengukur efek induksi versus penatalaksanaan menunggu dan juga
membandingkan induksi menggunakan oxytocin intravena dengan yang
menggunakan gel prostaglandin E2. Terdapat sekitar 1200 kehamilan pada
setiap penelitian yang dilakukan. Mereka menyimpulkan bahwa induksi
persalinan dengan oxytocin intravena merupakan penatalaksaan yang lebih
dpilih. Ketentuan ini berdasarkan pada infeksi intrapartum dan pascapartum
yang

lebih

sedikit

pada

perempuan

yang

persalinannya

diinduksi

(Cunningham, 2013).

46

Pada tabel 4, untuk kasus persalinan pervaginam didapatkan hasil bahwa


yang tidak dipacu lebih sedikit daripada yang dipacu. Alasan memilih
tindakan aktif daripada tindakan konservatif karena risiko terjadinya infeksi
yang tinggi pada ibu dan janin. Telah dianalisis juga oleh Hannah dkk., (2000)
mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan efek samping pada keluaran
penatalaksanaan menunggu di rumah dibandingkan dengan pengamatan
dirumah sakit. Mozurkewich dkk., (2009) melaporkan angka korioamniotis
dan masuk NICU yang lebih rendah untuk wanita hamil yang ruptur membran
aterm yang persalinannya diinduksi dibandingkan dengan yang hanya
menunggu.
Tindakan SC tidak begitu banyak untuk kedua tahun tersebut, pada tahun
2014 tindakan SC hanya berjumlah 21 dan tahun 2015 berjumlah 55. Tindakan
vakum jarang dilakukan di RSUD Karanganyar, dengan mengetahui dari data
rekapitulasi, jumlah tindakan vakum tidak ada pada tahun 2014 dan hanya 1
tindakan vakum pada tahun 2015.
Keadaan ini sesuai dengan teori bahwa apabula pecahnya ketuban dengan
serviks yang sudah matang dan kontraksi yang kuat tidak akan memperpanjang
persalinan, akan tetapi jika ketuban pecah pada saat serviks masih belum
matang, keras dan menutup, maka proses persalinan sering terdapat pada
periode laten yang lama. Hal ini dikarenakan pengaruh sempitnya pintu atas
panggul (PAP) yang akhirnya berpengaruh terhadap persalinan yaitu
pembukaan serviks lamban, ketidakmajuan persalinan dan seringkali tidak
lengkap. Kerja uterus yang tidak efisien serta ketidakmampuan serviks untuk
membuka secara lancer dan cepat selain kontraksi rahim yang tidak efisieen
pada akhirnya akan memperbesar risiko terjadi partus tak maju dan lama.

47

BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Ketuban pecah dini (KPD) merupakan masalah penting dalam obstetrik
berkaitan

dengan

penyulit

kelahiran

prematur

dan

terjadinya

infeksi

48

korioamnionitis sampai sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas


perinatal dan menyebabkan infeksi ibu.
Beberapa peneliti melaporkan insidensi KPD berkisar antara 8 10 % dari
semua kehamilan. Hal ini menunjukkan, KPD lebih banyak terjadi pada
kehamilan yang cukup bulan dari pada yang kurang bulan, yaitu sekitar 95 %,
sedangkan pada kehamilan tidak cukup bulan atau KPD pada kehamilan preterm
terjadi sekitar 34 % semua kelahiran prematur. Kejadian KPD yang dilahirkan
pervaginam lebih banyak daripada persalinan perbadominal pada tahun 2014 dan
2015 di RSUD Karanganyar.
Pengelolaan Ketuban Pecah Dini (KPD) merupakan masalah yang masih
kontroversial dalam kebidanan. Pengelolaan yang optimal dan yang baku masih
belum

ada,

selalu

berubah.

Protokol

pengelolaan

yang optimal harus

mempertimbangkan adanya infeksi dan usia gestasi serta faktor-faktor lain seperti
fasilitas serta kemampuan untuk merawat bayi yang kurang bulan. Meskipun tidak
ada satu protokol pengelolaan yang dapat untuk semua kasus KPD, tetapi harus
ada panduan pengelolaan yang strategis, yang dapat mengurangi mortalitas
perinatal dan dapat menghilangkan komplikasi yang berat baik pada anak maupun
pada ibu.
B. Saran
Rekapitulasi penderita KPD di RSUD Karanganyar, sebaiknya dilengkap
untuk cara persalinan baik pervaginam atau perabdominal disertai dengan
indikasinya.
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham., Leveno., Hauth, B., Rouse., Sponge. 2013. Obstetri Williams. Edisi
23. Volume 1. Jakarta: EGC. Pp 568-579
DeCherney AH dan Nathan L. 2007. Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis
& Treatment. 9th edn. New Jersey: The McGraw-Hill.

49

Deering, S.H. 2015. Abruptio Placentae. American College of Obstetricians and


Gynecologists. Available from: http://emedicine.medscape.com/article /
252810-author (diakses tanggal 13 April 2016)
Edmonds, DK. 2007. Dewhursts textbook of Obstetric and Gynaecology, 7 th
edition. Blackwell Publishing.
Ghandi, M., Shah, F., Panchal, C. Obstetric Outcomes In Premature Ruptur Of
The Membrane (PROM). The Internet Journal Of Gynecology and
Obstetric. 2012 Volume 16 Number 2.
Hannah, M., Hodnett, ED., Willan, A, et al. 2000.Prelabour rupture of the
membranes at term: Expectant managementat home or in hospital? Obstet
Gynecol 96:533
Impey L, Child T. 2008. Obstetric and Gynaecology, 3rd edition. Wiley-Blackwell.
Joy, Saju., 2016. Caesarean Delivery. Wake Forest University School of
Medicine. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/263424overview (diakses tanggal 12 April 2016)
Llewellyn, Derek. 2002. Dasar-dasar Obstetri dan Ginekologi, edisi 6 (ed-6).
Jakarta: Hipokrates
Llewellyn, Derek. 2002. Dasar-dasar Obstetri dan Ginekologi, edisi 6 (ed-6).
Jakarta: Hipokrates
Mozurkewich E, Chilimigras J, Koepke E, et al. 2009. Indications for Induction
of labour: A best-evidence review. BJOG 116(5):626
Mukherjee, S.N., 2006. Rising Cesarean Section Rate. Maulana Aazad Medical
College
and
Hospital,
New
Delhi.
Available
from:
http://medind.nic.in/jaq /t06/i4/jaqt06i4p298.pdf (diakses tanggal 4 April
2016)
Oxford,. Medfourt J, 2013. Kebidanan Oxford dari bidan untuk bidan. Jakarta:
EGC
Oxorn, Harry. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan, Yayasan
Essential Medika.
Parry S dan Strauss JF. 1998. Premature Rupture of the Fetal Membranes. .New
England Journal Medicine. 338(10): 663-670.
Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
50

Saifuddin, AB. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Shah, M., Sandesara, P. Fetomaternal Outcome In Cases of Premature rupture of
Membran (PROM)- A Case Control Study. 2011. Gujarat Medical Journal.
Vol. 66 No. 1.
Sinclair, C. 2012. Buku Saku Kebidanan. Jakarta: EGC
Sofoewan, S. 1999. Ketuban Pecah Dini pada Kehamilan Cukup Bulan:
Penanganan Secara Aktif (PA) vs Penanganan Secara Konservatif (PK).
Departement of Obstetric & Gynecology, Faculty of Medicine, Gadjah
Mada University, Yogyakarta, Indonesia. B.I.Ked, Vol.31. No. 2:113-117
Sugiyono. 2011. Metode penelitian pendidikan. Bandung: Alfabeta
Suwannachat B. Planned early birth versus expectant management (waiting) for
prelabour rupture of membranes at term (37 weeks or more): RHL
commentary (last revised: 24 August 2007). The WHO Reproductive
Health Library; Geneva: World Health Organization.
Winkjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kebidanan, edisi ketiga. Jakarta: YBP-SP
Yulianti, D. 2006. Buku Saku Manajemen Komplikasi Kehamilan & Persalinan.
Jakarta: EGC.

51

Anda mungkin juga menyukai