Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
umur rentan yaitu bayi dan anak. Berkat adanya Program Pengembangan
Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.
BAB II
ANATOMI, FISIOLOGI TENGGOROKAN
II.1. ANATOMI
Tenggorokan merupakan bagian dari leher depan dan kolumna vertebra,
terdiri dari faring dan laring.Bagian terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis,
ini menutup jika ada makanan dan minuman yang lewat dan menuju esophagus.
Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut
terletak di depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar
lidah.Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris
yang dipersarafi oleh nervus fasialis. Vermilion berwarna merah karena ditutupi
lapisan sel skuamosa. Ruangan diantara mukosa pipi bagian dalam dan gigi
adalah vestibulum oris.
Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi seri dan
berasal prosesus nasalis media, dan palatum posterior baik palatum durum dan
palatum mole, dibentuk oleh gabungan dari prosesus palatum, oleh karena itu,
celah palatum terdapat garis tengah belakang tetapi dapat terjadi kearah maksila
depan.
Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut. Lidah bagian
depan terutama berasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh nervus
lingualis dengan cabang korda timpani dari saraf fasialis yang mempersarafi cita
rasa dan sekresi kelenjar submandibula. Saraf glosofaringeus mempersarafi rasa
dari sepertiga lidah bagian belakang. Otot lidah berasal dari miotom posbrankial
yang bermigrasi sepanjang duktus tiroglosus ke leher. Kelenjar liur tumbuh
sebagai kantong dari epitel mulut yang terletak dekat sebelah depan saraf-saraf
penting. Duktus sub mandibularis dilalui oleh saraf lingualis. Saraf fasialis
melekat pada kelenjar parotis.2
Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang mulut. Faring
adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di
bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak
terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikalis ke enam. Ke atas,
faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan
Vaskularisasi
Berasal dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang
utama berasal dari cabang a. Karotis ekstern serta dari cabang a.maksilaris interna
yakni cabang palatine superior.2
Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring
yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang dari n.vagus, cabang dari
n.glosofaringeus dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut
motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar untuk otot-otot faring
kecuali
m.stilofaringeus
n.glossofaringeus.
yang
dipersarafi
langsung
oleh
cabang
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid
yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun
teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong
diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian
tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.
Jaringan adenoid terdiri atas rangka jaringan ikat fibrosa, yang menunjang massa
limfoid. Jaringan ini terisi pembuluh darah dan penbuluh limfe, sedangkan di
beberapa tempat terdapat kelompok-kelompok kelenjar mukosa di dalam septa
yang bermuara kearah permukaan. Kelenjar mukosa sering terdapat di dalam
adenoid pada permukaan dasarnya. Ditengah-tengah jaringan ikat halus terdapat
kumpulan sel-sel leukosit atau sel-sel limfoid , bergabung menjadi jaringan
limfoid
yang
membentuk
adenoid.
(2)
infeksi
telinga
tengah
melalui
tuba
ini
pada
bayi
yang
pilek.(2)
Di dorsal torus tubarius terdapat lekukan ke lateral dari rongga nasofaring yang
didebut fossa Rosenmuller (recessus faringeus), jaringan limfoid di sekitar muara
tuba dan di fossa Rosenmuller ini disebut tonsil tubaria. Sering terjadi
pendangkalan fossa ini olch pertumbuhan tumor ganas nasofaring. (2)
Pada pertemuan antara atap dan dinding dorsal nasofaring terdapat adenoid
(tonsillla faringeal) yang terdiri dari jaringan limfoid berbentuk lipatan-lipatan
(2)
vertikal.
Pada bagian atas dari dinding dorsal ini kadang-kadang ada suatu cekungan atau
kantong yang disebut bursa faringeal yang jinak meradang menyebabkan penyakit
Thornwaldt (bursitis nasofaringeal) dengan gejala utama postnasal discharge. (2)
II. 2 FISIOLOGI
Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan, resonasi suara
dan
untuk
artikulasi.
BAB III
DIFTERI
III.1 Definisi
Difteri adalah suatu infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudo-membran
pada kulit dan atau mukosa.
III.2 Etiologi
Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang Gram-positif, tidak
bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada
pemanasan 600C, tahan dalam keadaan kering dan beku. Dengan pewarnaan,
kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau
merupakan kelompok dengan formasi mirip dengan huruf cina. Kuman
tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih banyak pada
media yang mengandungK-tellurit atau media Loeffler. Pada membrane
mukosa manusia Corynebacterium diphtheria dapat hidup bersama-sama
dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa,
sehingga untuk membedakan kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan
cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltose dan sukrosa.
Secara umum dikenal 3 tipe utama C. diphtheria yaitu tipe gravis,
intermedius dan mitis, namun dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya
basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak
tipe serologik. Hal ini mungkin bisa menerangkan mengapa pada seorang
pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C. diphtheria. Ciri khas C.
diphtheria adalah kemampuan memproduksi eksotoksin baik in vivo dan in
vitro. Eksotoksin merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000
dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A
(amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu
strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya
bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C. diphtheria yang terinfeksi
oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.
Gambar 1. Morfologi
Corynebacterium diphtheria
III.3 Epidemiologi
Difteria tersebar luas diseluruh dunia. Angka kejadian menurun secara
nyata setelah perang dunia II, setelah penggunaan toksoid difteria. Demikian
pula terdapat penurunan mortalitas yang berkisar antara 5-10%. Di ruang
perawatan penyakit menular bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.
Soetomo dalam tahun 1982-1986 rata-rata dirawat 200-400 kasus difteria
setiap tahun dengan angka kematian sekitar 4-7%, akan tetapi dari tahun ke
tahun tampak penurunan jumlah pasien dan pada tahun 1989 terdapat 130
kasus dengan angka kematian 3,08%.
RSCM
Kasus
RSHS
*m
Kasus
RSWS
*m
Kasus
RSK
*m
Kasus
RSU PMH
*m%
Kasus
*m
%
1991
22
50
28
10.7
70
8.6
32
21.9
1992
25
32
26
7.7
12
34
5.9
19
26.3
1993
19
26.3
18
12
16
62.5
1994
16
18.8
12
10
10
13
46.2
1995
11.1
14.3
1996
28.6
11
14
42.9
Keterangan :
*m
= Meninggal
RSCM =
RS.
Cipto
Mangunokusumo, Jakarta
RSHS =
Bandung
RS.
Hasan
Sadikin,
Difteria ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui
droplet (infeksi tetesan) ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan/ debu
bisa merupakan wahana penularan (vehicles of transmission).
10
11
Pada
kadang
dapat
terjadi
infeksi
sekunder
dengan
pseudomembran
bakteri
(misalnya,
12
edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem
konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis
interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada
selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang
tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.
hidung
pada
awalnya
serosanguinus
dan
kemudian
13
RSHS
RSWS
RSK
k Umur Kasus *m
Kasus *m
Kasus *m
(Tahun)
RSU PMH
*m
%
<1
16.6
105
15
26.7
1-4
66
31.8
48
8.3
19
39
6.7
40
26.3
5-9
30
36.7
30
10
10
42
37.5
>10
38.1
Jumlah
101
31.7
93
5.3
34
2.9
144
6.3
101
34.7
Keterangan :
*m
= Meninggal
RSCM =
RS.
Cipto
Mangunokusumo, Jakarta
RSHS =
RS.
Hasan
Sadikin,
Bandung
yang
menutup
14
kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang,
penyembuhan
terjadi
berangsung-angsur
dan
bisa
disertai
penyulit
miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 710 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
18 m).
15
RSCM
RSHS
RSK
Kasus *m
Kasus *m
RSU PMH
*m
%
Demam
<2 hari
12
18.2
58
62.4
40
27.8
13
12.9
>2 hari
54
81.8
35
37.6
104
72.3
88
87.1
Obtruksi Laring
Derajat I
10.6
13
9.0
17
16.8
Derajat II
12
12.9
3.5
21
20.8
Derajat III
11
16.7
36
36.7
18
17.8
Derajat IV
10
15.2
6.6
59
3.5
23
22.8
Bullneck
39
59
31
33.3
37
25.7
36
35.6
Miokarditis
29
43.9
12
12.9
3.5
29
28.7
Keterangan :
*m
= Meninggal
RSCM =
RS.
RSK
Dr.
Cipto
Mangunokusumo, Jakarta
RSHS =
RS.
Hasan
Sadikin,
Bandung
Data tahun 1991-1996
16
III.6 Diagnosis
Diagnosis difteria harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, oleh
karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien. Penentuan
kuman difteria dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang
lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique,
namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi
C.diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes
toksinogenisitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek).
Gambar 7. Pembiakan bakteri difteri dengan (a) agar darah; (b) McLoeds
agar plate culture; (c) Cystine tellurite plate culture
Difteria Hidung
Penyakit
yang
menyerupai
Difteria
hidung
adalah
Difteria Faring
Harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang
disebabkan oleh Streptokokus (tonsilitis akut, septic sore throat),
mononucleosis
infeksiosa,
tonsilitis
membranosa
non-bakterial,
17
Difteria Laring
Gejala difteria laring menyerupai laringitis, dapat menyerupai
infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic
edema pada laring, dan benda asing dalam laring.
Difteria Kulit
Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang
disebabkan oleh streptokokus dan stafilokokus.
III.8 Penyulit
Penyulit difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat
aktivitas eksotoksin, maka penyulit difteria dapat dikelompokkan dalam
obstruksi jalan nafas, dampak eksotoksin terutama ke otot jantung, saraf dan
ginjal, serta infeksi sekunder oleh bakteri lain.
Dampak toksin
Dampak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa
miokarditis yang dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan
biasanya terjadi pada pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan
antitoksin.
Pada umumnya penyulit miokarditis terjadi pada minggu ke-2,
tetapi bisa lebih dini pada minggu pertama atau lebih lambat pada minggu
ke-6.
Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardia, suara jantung
redup, terdengar bising jantung, atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal
jantung. Kelainan pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa elevasi
segmen ST, perpanjangan interval PR, dan heart block.
Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral,
terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi
kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau,
18
RSCM
RSHS
RSK
Kasus *m
Kasus *m
RSU PMH
*m
%
32
46.9
47
2.1
28
17.9
79
31.6
Miokarditis
29
51.7
28
14.2
80
29
31.0
Paralisis
11.1
Obstruksi
Laring
Keterangan :
*m
= Meninggal
RSCM =
RS.
RSK
Dr.
Cipto
Mangunokusumo, Jakarta
RSHS =
RS.
Hasan
Sadikin,
Bandung
Data tahun 1991-1996
III.9 Prognosis
19
III.10 Imuninasi
Imunisasi pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal
terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan
selama 2-3 hari. Sedangkan imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif
yang nyata atau inapparent infection serta imunisasi toksoid difteria. Imunitas
terhadap difteria dapat diukur dengan uji Schick dan uji Moloney.
Uji kepekaan Schick menentukan kerentanan (suseptibilitas) seorang
terhadap difteria. Uji Schick dilakukan dengan menyuntikkan toksin difteria
yang dilemahkan secara intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan (tidak
mempunyai antitoksin), toksin akan menimbulkan nekrosis jaringan; maka
hasil disebut positif. Demikian sebaliknya, apabila seorang mempunyai
antitoksin, tidak mempunyai antitoksin, tidak menimbulkan reaksi dan hasil
dinyatakan negatif.
Uji kepekaan Moloney, lebih menentukan sensitivitas terhadap produk
bakteri dari basil difteria. Dilakukan dengan cara memberikan 0,1 ml larutan
toksoid difteria secara intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul
eritema > 10 mm, yang berarti bahwa seorang telah mempunyai
pengalaman dengan basil difteria sebelumnya sehingga terjadi reaksi
20
Vaksin DT, digunakan untuk booster pada anak usia diatas 5 tahun (pada
anak yang telah mendapatkan vaksin DTP sebelumnya) atau imunisasi
dasar 3 kali pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi DTP. Pada
ORI (outbreak respons immunization) diberikan minimal dua kali dengan
interval minimal 1 bulan.
21
Vaksin Td, digunakan untuk booster pada anak usia diatas 7 tahun (pada
anak yang telah mendapatkan vaksin DTP/DT sebelumnya) atau imunisasi
dasar 3 kali pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi DTP/DT.
Pada ORI (outbreak respons immunization) diberikan minimal dua kali
dengan interval minimal 1 bulan. Kandungan toksoid difteri hanya
seperempat sampai sepersepuluh kandungan toksoid difteri pada DTP atau
DT. Vaksin ini (adult type diphtheria vaccine) digunakan juga untuk
booster setiap 10 tahun pada seluruh penduduk.
22
III.9 Pengobatan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang
terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3
minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria
laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan
menggunakan humidifier.
Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria.
Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari
ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.
Cara Pemberian
Difteria hidung
20.000
Intramuskular
Difteria tonsil
40.000
Intramuskular
atau
intravena
Difteria faring
40.000
Intramuskular
atau
intravena
Difteria laring
40.000
Intramuskular
atau
intravena
Kombinasi lokasi di atas
Difteria
bullneck
80.000
Intravena
penyulit, 80.000
Intravena
120.000
23
Terlambat
Intravena
pengobatan 80.000
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi
anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam
semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1mL ADS dalam
larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif jika bila
dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. uji mata dilakukan dengan
meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis.
Pada mata lain yang diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila
dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan
lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara
desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas
negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS
ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit,
tidak tergantung pada berat badan pasien berkisar antara 20.000
120.000 KI seperti yang tertera pada tabel 5.
Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau
100mL
glukosa
5%
dalam
1-2
jam.
Pengamatan
terhadap
diberikan
bukan
sebagai
pengganti
antitoksin,
24
3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini
pada difteria. Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria
yang disertai gejala :
o Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak
bullneck)
o Bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid
untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.
Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan
dosisnya secara bertahap.
Pengobatan penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika
tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila
tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif
merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
Pengobatan kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai
tindakan berikutnya terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorokan serta
gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan
serologis dan observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar
diberikan booster toksoid difteria.
Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji
Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.
25
Uji Schick
(-)
(-)
Tindakan
Bebas isolasi: anak yang telah mendapat imunisasi dasar
diberikan booster toksoid difteria
Pengobatan karier : penisilin 100 mg/kgBB/ hari
(+)
(-)
(+)
(+)
(-)
(+)
II.12 Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya, setelah anak
menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga
perlu imunisasi.
Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan
karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap,
mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibodi
terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan soerang menjadi
pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteria ringan.
26
BAB IV
KESIMPULAN
27
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Dr. T.H.Rampengan, SpA (k) dan Dr. I.R. Laurentz, SpA. 1992. Penyakit
Infeksi Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18
2. Adams, GL. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. BOIES : Buku
Ajar Penyakit THT. Edisi Enam. EGC: Jakarta.1997.
3. Snell. Buku Ajar Anatomi Klinik Jilid I. Penerbit Buku Kedokteran EGC :
Jakarta. 2001.
4. Anonim. http.www.pediatric.com diakses Minggu 24-02-2013
5. Soepardi E., Iskandar N. Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, Leher.
Edisi Kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004.
6. Anonim. http.www.medicastore.com. diakses Minggu 24-02-2013
7. Anonim.
http://www.salz-medicine.blogspot.com/2008/09/community-
http://www.manipulative-people.com/on/diphtheria-
http://nursing-resource.com/tag/mode-of-transmission-of-
29
15. 14. Lee, K. J., 2003, Essential Otolaryngology: Head and Neck Surgery,
Eighth Edition, McGraw-Hill Company: New York, halaman 452
16. 15. Dhillon, R. S., East, C. A., 1999, Ear, Nose, and Throat and Head and
Neck Surgery, Second Edition, Churchill Livingstone: London, halaman
73
30