Anda di halaman 1dari 15

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyalahgunaan Zat melibatkan pola penggunaan zat yang berulang serta menghasilkan
konsekuensi yang merusak. Konsekuensi yang merusak antara lain kegagalan dalam
memenuhi tanggung jawab utama dari individu (misalnya sebagai siswa, sebagai pekerja
maupun sebagai orang tua), menempatkan diri dalam situasi dimana penggunaan zat secara
fisik berbahaya, berhadapan dengan hukum berulang kali akibat penggunaan obat, serta
memiliki masalah sosial atau interpersonal yang kerap kali muncul akibat penggunaan zat.
Ketergantungan Zat merupakan dampak dari penyalahgunaan zat yang berlangsung
dalam periode jangka waktu yang panjang. Ketergantungan zat ini merupakan gangguan pada
kontrol terhadap penggunaan zat Psikoaktif, yang seringkali ditandai dengan ketergantungan
secara fisiologis. Disaat individu mulai mengalami ketergantungan akan obat tertentu, maka
individu tersebut akan menghabiskan sebagian besar hidup mereka untuk mendapatkan
maupun menggunakan obat tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja penggolongan gangguan yang berkaitan dengan penggunaan zat?
2. Apa saja macam-macam obat yang disalahgunakan?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyalahgunaan zat?
4. Bagaimana penyebab serta penanganan dari penyalahgunaan dan ketergantungan zat?
1.3 Tujuan Masalah
Untuk mengetahui penggolongan gangguan yang berkaitan dengan penggunaan zat,
macam-macam obat yang digunakan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi individu dalam
penyalahgunaan zat, serta bagaimana penanganan bagi individu yang mengalami
penyalahgunaan dan ketergantungan zat.

PEMBAHASAN
2.1 Penggolongan Gangguan yang Berkaitan dengan Zat
DSM-IV menggolongkan gangguan yang berkaitan dengan zat menjadi 2 kategori besar,
yaitu Gangguan Penggunaan Zat dan Gangguan Akibat Penggunaan Zat. Gangguan
Penggunaan Zat (Substance Use Disorders) melibatkan penggunaan maladptif dari zat
psikoaktif. Tipe gangguan ini mencakup penyalahgunaan zat dan ketergantungan zat.
Gangguan Akibat Penggunaan Zat (Substance-Induced Disorders) merupakan gangguan
yang dapat muncul karena penggunaan zat psikoaktif, seperti Intoksikasi, gejala putus zat,
gangguan mood, delirium, amnesia, gangguan psikotik, gangguan kecemasan, disfungsi
seksual, dan gangguan tidur.
2.2 Tahapan Ketergantungan Obat
Tahapan individu dalam ketergantungan zat ini sangat bervariasi antara satu orang dengan
orang yang lain, terdapat beberapa pola tahapan yang umum dapat digambarkan melalui
tahapan berikut ini (Weiss & Mirin, 1987) :
1. Eksperimental, pada tahap ini penggunaan obat pada sementara akan membuat individu
merasa nyaman. Pengguna merasa terkendali dan yakin bahwa mereka dapat berhenti
kapan saja.
2. Penggunaan Rutin, dalam tahap ini, dalam periode penggunaan yang rutin individu
mulai mengatur hidup mereka hanya seputar untuk mendapatkan dan menggunakan obat.
Nilai-nilai dalam kehidupannya mulai berubah, misalnya apa yang sebelumnya dianggap
penting (seperti keluarga dan pekerjaan) akan menjadi kurang penting dibandingan
dengan mengonsumsi obat.
3. Adiksi atau Ketergantungan, pada tahap ini dalam pengguanaan obat yang rutin, individu
akan mulai bergantung pada penggunaan obat, mereka akan merasa tidak berdaya untuk
menolak obat, dikarenakan mereka ingin mengalami efek dari obat tersebut maupun
untuk menghindari konsekuensi ketika putus zat.

2.3 Obat yang Disalahgunakan


2.3.1 Depresan
Depresan (depressant) adalah obat yang menghambat atau mengekang aktivitas
sitem saraf pusat. Obat tersebut mengurangi perasaan tegang dan cemas, menyebabkan
gerakan menjadi lebih lambat, dan merusak proses kognitif.
2.3.1.1 Alkohol
Banyak orang yang menganggap bahwa alkohol merupakan sebuah
minuman, akan tetapi pada dasarnya alkohol merupakan sebuah obat, tidak
seperti obat berbahaya lainnya yang cara mengonsumsinya dihisap maupun
disuntikkan. Minuman yang mengandung alkohol antara lain, anggur, bir, dan
minuman keras lainnya. Alkohol digolongkan sebagai obat depresan karena
efek biokimiawinya serupa dengan obat penenang minor lainnya. Banyak
orang awam dan professional yang menggunakan istilah alkoholisme
(alcoholism) untuk merujuk pada individu yang ketergantunag alkohol.
Kerugian personal dan sosial dari alkoholisme melampaui kerugian dari
gabungan semua obat terlarang. Penyalahgunaan alkohol berhubungan dengan
menurunnya produktivitas, kehilangan pekerjaan, dan penurunan status
sosioekonomi.
2.3.1.1.1 Faktor Resiko Alkoholisme
1. Gender, Laki-laki cenderung dua kali lebih besar disbanding
perempuan ketika mengalami ketergantungan alkohol (Grant, 1997).
Dikarenakan faktor Sosiokultural, dimana larangan bagi perempuan
lebih ketat dibandingkan dengan laki-laki.
2. Usia, mayoritas kasus ketergantungan alkohol terjadi di masa
dewasa muda, umumnya sebelum usia 40 tahun (Langenbucher &
Chung, 1995).

3. Gangguan Kepribadian Antisocial. Perilaku antisocial di masa


remaja atau dewasa dapat meningkatkan resiko alkoholisme di masa
yang akan datang.
4. Riwayat Keluarga, individu yang memiliki riwayat penyalahgunaan
alkohol dalam keluraga, dapat menjadi faktor bagi individu tersebut
untuk melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh
keluarganya dimasa yang akan datang. Intinya angota keluarga
mampu menjadi model / memberi contoh yang buruk bagi anggota
keluarga yang lainnya.
5. Faktor Sosiodemografik, individu dengan tingkat pendapatan dan
tingkat pendidikan yang rebdah maupun individu yang hidup sendiri
sangat rentan akan ketergantungan alkohol.
2.3.1.1.2 Efek Psikologis Alkohol
Saat individu mengonsumsi alkohol, indra mereka menjadi
terselubung, dan keseimbangan serta koordinasi mulai berkurang.
Dosis yang lebih tinggi beraksi pada bagian otak yang mengatur
fungsi vital involunter, seperti detak jantung, kecepatan respirasi, dan
suhu tubuh. Meskii alkohol dapat membuat mereka merasa lebih
santai dan self-confident, alkohol juga dapat menghambat mereka
dalam membuat keputusan yang bagus, yang menyebabkan mereka
memilih hal-hal yang sebelumnya mereka tolak, seperti seks beresiko
(Gordon & Carey, 1996). Alkohol dalam jumlah yang banyak dapat
mengurangi rangsangan atau kenikmatan seksual serta merusak
kemampuan seksual. Sebagai Intoksikan, alkohol juga menghambat
koordinasi dan kemampuan motorik, dan mengganggu kemampuan
bicara.

2.3.1.1.3 Kesehatan Fisik dari Alkohol


Penggunaan alkohol kronis berat berdampak pada semua organ dan
sistem tubuh, baik langsung maupun tidak langsung. Penggunaan
alkohol secara berlebihan mampu meningkatkan resiko kanker,
termasuk kanker tenggorokan, esophagus, laring, perut, usus besar,
hati, kandung kemih dan payudara (Funch dkk, 1995; Reichman,
1994). Minum berlebihan juga dihubungkan dengan berbagai masalah
kesehatan serius lainnya, termasuk penyakit jantung koroner,
gangguan neurologis, dan bentuk lain dari gangguan hati (Gordis,
1999). Ibu yang mengonsumsi alkohol saat hamil membuat janin
mereka menghadapi resiko kematian, cacat lahir, disfungsi sistem
saraf pusat, dan masalah akademis di kemudian hari, serta dapat
mengakibatkan sindrom alkohol janin (fetal alcohol syndrome, FAS),
sindrom yang ditandai dengan cirri wajah, seperti hidung pesek, mata
lebar, dan rahang atas yang kurang berkembang, dan juga retardasi
mental (Wood dkk, 2001).
2.3.1.2 Barbiturat
Barbiturat merukapan jenis obat depresan yang digunakan untuk
mengurangi kecemasan atau untuk menyebabkan tidur, serta penanganan
epilepsy dan tekanan darah tinggi. Penggunaan barbiturat dengan cepat
menimbulkan ketergantungan psikologis dan ketergantungan fisiologis dalam
bentuk toleransi maupun perkembangan sindrom putus zat.
2.3.1.3 Opioid
Opioid adalah narkotik (narcotics) istilah yang digunakan untuk obat
adiktif yang memiliki kemampuan melepaskan rasa sakit dan menyebabkan
tidur. Opioid menghasilkan perasaan nikmat yang cepat dan intens, yang
menjadi alasan utama di balik popularitasnya menjadi obat jalanan.

2.3.1.4 Morfin (Morphine)


Morfin merupakan narkotik yang sangat adiktif yang berasal dari tanaman
opium yang dapat menghilangkan rasa sakit dan menyebabkan perasaan
bahagia.
2.3.1.5 Heroin
Heroin merupakan obat depresan yang kuat yang dapat menciptakan
euphoria yang cepat. Pengguna heroin menyatakan bahwa heroin sangat nikmat
sehingga dapat menghilangkan segala pikiran tentang makanan atau seks.
2.3.2 Sedative
Sedative adalah obat yang menimbulkan depresi ringan susunan syaraf pusat
tanpa menyebabkan tidur. Pada sedative penderita menjadi lebih tenang karena
kepekaan korteks serebri berkurang, kewapadaan terhadap lingkungan, aktivitas
motorik dan reaksi spontan menurun. Efek sedative dapat mempengaruhi kemampuan
koordinasi motorik hewan uji, besar kecilnya efek sedative. Oleh karena itu efek
sedative dapat diamati dengan menggunakan parameter rotarod, daya cengkeram,
reflex kornea, dan diameter pupil mata. The American Society of Anesthesiologists
menggunakan definisi berikut untuk sedative:
1. Sedative minimal
Sedative minimal adalah suatu keadaan dimana selama terinduksi obat, pasien
berespon normal terhadap perintah verbal. Walaupun fungsi kognitif dan koordinasi
terganggu, tetapi fungsi kardiovaskuler dan ventilasi tidak dipengaruhi.
2. Sedative sedang
Sedative sedang (sedative sadar) adalah suatu keadaan depresi kesadaran setelah
terinduksi obat di mana pasien dapat berespon terhadap perintah verbal secara spontan
atau setelah diikuti oleh rangsangan taktil cahaya. Tidak diperlukan intervensi untuk

menjaga jalan napas paten dan ventilasi spontan masih adekuat. Fungsi kardiovaskuler
biasanya dijaga.
3. Sedative dalam
Sedative dalam adalah suatu keadaan di mana selama terjadi depresi kesadaran
setelah terinduksi obat, pasien sulit dibangunkan tapi akan berespon terhadap
rangsangan berulang atau rangsangan sakit. Kemampuan untuk mempertahankan
fungsi ventilasi dapat terganggu dan pasien dapat memerlukan bantuan untuk menjaga
jalan napas paten. Fungsi kardiovaskuler biasanya dijaga.
Dapat terjadi progresi dari sedative minimal menjadi sedative dalam di mana
kontak verbal dan refleks protektif hilang. Sedative dalam dapat meningkat hingga
sulit dibedakan dengan anestesi umum, dimana pasien tidak dapat dibangunkan, dan
diperlukan tingkat keahlian yang lebih tinggi untuk penanganan pasien. Kemampuan
pasien untuk menjaga jalan napas paten sendiri merupakan salah satu karakteristik
sedative sedang atau sedative sadar, tetapi pada tingkat sedative ini tidak dapat
dipastikan bahwa refleks protektif masih baik. Beberapa obat anestesi dapat digunakan
dalam dosis kecil untuk menghasilkan efek sedative. Obat-obat sedative dapat
menghasilkan efek anestesi jika diberikan dalam dosis yang besar.
2.3.3 Stimultan
Stimulan meningkatkan aktivitas sistem saraf. Amfetamin dan kokain adalah
stimulan yang meningkatkan ketersediaan neurotransmiter di otak, menyebabkan
peningkatan kondisi keterangsangan dan perasaan senang. Dosis tinggi dapat
menghasilkan reaksi psikotik yang menyerupai ciri skizofrenia paranoid. Penggunaan
kokain habitual dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, dan overdosis dapat
menyebabkan kematian mendadak. Penggunaan berulang dari nikotin, stimulan ringan
yang ditemukan pada rokok, menyebabkan ketergantungan fisiologis.
2.3.3.1 Amfetamin
Amfetamin merupakan golongan stimultan sintetis. Digunakan dalam
dosis tinggi karena mampu menghasilkan euphoria secara cepat. Sering

digunakan dalam bentuk pil, ataupun dihisap dalam bentuk murni. Bentuk
paling kuat dari amfetamin adalah metamfetamin cair yang disuntikkan
langsung ke dalam vena dan menghasilkan kenikmatan yang intens dan
langsung. Beberapa pengguna menyuntikkan metamfetamin berhari-hari untuk
mempertahankan perasaan melayang yang lebih lama. Penyalahgunaan
metamfetamin dapat menyebabkan kerusakan otak, kesulitan dalam belajar,dan
mengingat sebagai tambahan dari efek-efek lainnya (Blakeslee, 2001; Ernst
dkk, 2000; Volkow dkk, 2001; Zickler, 2000).
2.3.3.2 Ekstasi
Obat ekstasi atau MDMA adalah obat terlarang yang keras, tiruan
murahan yang struktur kimianya mirip dengan amfetamin (Braun, 2001).
Obat tersebut dapat memberi efek psikologis yang merugikan, termasuk
depresi, kecemasan, insomnia, dan bahkan paranoia dan psikosis. Obat
tersebut juga dapat merusak fungsi kognitif, termasuk kemampuan belajar
dan perhatian (atensi) dan dapat memiliki efek jangka panjang terhadap
memori (Gouzoulis-Mayfrank dkk, 2000; Reneman dkk, 2001). Obat ini
dapat mematikan apabila dikonsumsi dengan dosis yang tinggi.
2.3.3.3 Kokain
Kokain merupakan obat stimultan yang berasal dari tanaman coca. Seperti
heroin kokai secara langsung mampu merangsang otak atau sirkuit
kesenangan (Volkow dkk, 1997). Kokain juga mampu meningkatkan tekanana
darah secara mendadak, menegangkan pembuluh darah, dan mempercepat
denyut jantung. Penggunaan kokain secara berulang dan dengan dosis yang
tinggi dapat menyebabkan depresi dan kecemasan (Weiss & Mirin, 1987).
2.3.3.4 Nikotin
Nikotin merupakan obat stimultan yang dapat ditemukan dalam produk
tembakau termasuk rokok, cerutu dan tembakau tanpa asap (Kessler dkk,
1997b). Kebiasaan merokok bukan hanya kebiasaan buruk tetapi juga
merupakan bentuk adiksi fisik terhadap obat stimultan dan merokok merupakan
saran untuk memasukkan obat ke dalam tubuh. Seorang perokok dapat
menghadapi resiko kematian karena kanker dua kali lipat dibanding orang yang

tidak merokok, di kalangan perokok berat resiko meningkat menjadi empat kali
lipat (Bartecchi, MacKenzie, & Schrier, 1994). Nikotin dihantarkan ke tubuh
melalui penggunaan produk tembakau. Sebagai stimultan nikotin mampu
meningkatkan kewaspadaan tetapi juga dapat meningkatkan resiko flu, kulit
berkeringat, mual dan muntah, kebingungan dan pusing, serta diare semua
rasa tidak nyaman yang biasanya dirasakan oleh perokok pemula.
2.3.4 Halusinogen
Halusinogen (hallucinogens) juga dikenal sebagai psychedelics merupakan
golongan obat yang menghasilkan distorsi sensori atau halusinasi, termasuk perubahan
besar dalam persepsi warna dan pendengaran. Halusinogen dapat memiliki efek
tambahan seperti relaksasi dan euforia, atau pada beberapa kasus panik. Halusinogen
termasuk obat seperti LSD (lysergic acid diethylamide), psilocybin, dan meskalin. Zat
psikoaktif yang mirip dampaknya

dengan obat psychedelic adalah mariyuana

(canabis, ganja) dan phencyclidine (PCP).


2.3.4.1 LSD (Lysergic acid diethylamide)
LSD merupakan salah satu tipe halusinogen. LSD singkatan dari
lysergic acid diethylamide, obat halusinogen sintesis. Sebagai tambahan
terhadap munculnya parade warna yang terang dan distorsi visual yang
dihasilkan LSD, pengguna menyatakan LSD memperluas kesadaran dan
membuka dunia baru seolah mereka melihat suatu kenyataan yang melampaui
kenyataan biasa. Kadang kala mereka yakin bahwa mereka mendapat wawasan
yang luar biasa selama perjalanan LSD , namun saat pengalaman tersebut
memudar mereka biasanya tidak dapat meneruskannya atau bahkan mengingat
kembali penemuan-penemuan yang mereka dapat. Efek LSD tidak dapat
diramalkan dan tergantung jumlah yang dikonsumsi serta harapan pengguna,
kepribadian, mood, dan lingkungan (USDHHS, 1992). Pengalaman pengguna
yang pernah belajar mengatasi efek obat melalui pengalamannya yang lalu
dapat lebih baik mempersiapkan diri dibandingkan pengguna yang baru.

Beberapa pengguna mengalami pengalaman tidak menyenangkan pada


obat ini seperti perasaan takut atau panik dapat terjadi (USDHHS, 1992),
pengguna dapat merasa takut kehilangan kendali atau kewarasan, dan takut
akan kematian. Kilas balik (Flashback) khususnya mengalami kembali
sejumlah distorsi persepsi saat perjalanan dapat terjadi beberapa hari,
minggu, atau bahkan beberapa tahun sesudahnya. Kilas balik cenderung terjadi
tiba-tiba tanpa peringatan. Distorsi persepsi dapat mencakup di antaranya,
bentuk geometris, kilatan warna, warna yang diperkuat, afterimage, atau
penampakan lingkaran cahaya di sekitar subjek (APA 2000). Hal ini dapat
berasal dari perubahan kimia di otak yang disebabkan karena penggunaan obat
sebelumnya. Pemicu kilas balik di antaranya masuk dalam lingkungan gelap,
penggunaan berbagai obat , kecemasan atau kondisi kelelahan, stres (APA,
2000). Faktor psikologis seperti masalah psikologis yang mendasari juga dapat
menjelaskan mengapa beberapa pengguna mengalami kilas balik. Pada
beberapa kasus, kilas balik dapat merupakan pengulangan kembali bayangan
pengalaman LSD.
2.3.4.2 Phencyclidine (PCP)
PCP dikenal sebagai debu malaikat di jalanan dikembangkan sebagai
anastetik pada tahun 1950 an namun tidak diteruskan karena ditemukannya
efek samping halusinasi obat. Bentuk PCP yang dihisap menjadi populer
sebagai obat jalanan pada tahun 1970 an. Saat pertengahan 1980 an, satu lebih
dari lima anak muda berusia 18 hingga 25 telah mnggunakan PCP (USDHHS,
1986 b). Efek PCP berhubungan dengan dosis. Di samping menyebabkan
halusinasi PCP juga mempercepat detak jantung dan tekanan darah dan
menyebabkan keringat berlebihan, merona, dan mati rasa. PCP digolongkan
sebagai delirian obat yang mampu menciptakan kondisi delirium. Obat tersebut
juga memiliki dampak disosiatif menyebabkan pengguna merasa seolah ada
semacam batas atau dinding tak terlihat antara mereka dengan lingkungannya.
Disosiatif dapat dialami sebagai hal yang menyenangkan, mengikat atau
menakutkan , tergantung bayangan pengguna, mood, situasi, dan sebagainya.

2.3.4.3 Mariyuana
Mariyuana (marijuana) berasal dari tanaman Canabis
sativa. Mariyuana kadang menghasilkan halusinasi ringan,
sehingga dianggap sebagai halusinogen minor. Zat psikoaktif
dalam mariyuana adalah delta-9-tetrahydrocannabinol, atau
THC. THC ditemukan di cabang dan daun tanaman tetapi
paling tinggi konsentrasinya pada gerah tanaman betina.
Hashish atau hash, juga berasal dari getah. Meski lebih kuat
dari mariyuana, hashish memiliki efek yang serupa.
Penggunaan mariyuana meledak saat tahun 1960-an dan
1970-an, namun obat tersebut kemudian kehilangan sejumlah
(tidak

semua)

daya

tariknya.

Namun,

mariyuana

tetap

merupakan obat ilegal yang paling luas digunakan, meski


prevalensinya

tidak

dapat

dibandingkan

dengan

alkohol.

Hampir 33% orang di Amerika Serikat usia 12 tahun atau lebih,


hampir 70juta orang, pernah mencoba mariyuana setidaknya
sekali dalam seumur hidup mereka dan 5% menggunakannya
hingga kini (USDHHS, 1993).
Ketergantungan kanabis (atau mariyuana) adalah bentuk
ketergantungan obat terlarang paling umum di Amerika
Serikat, menimpa sekitar 4,2% populasi orang dewasa pada
titik tertentu dalam hidup mereka (Anthony dkk., 1994). Lakilaki lebih cenderung mengembangkan gangguan penggunaan
kanabis

(baik

penyalahgunaan

maupun

ketergantungan)

dibenading perempuan, dan jumlah gangguan ini terbesar di


kalangan anak muda berusia 18 hingga 30 tahun (APA 2000).
Dosis rendah obat dapat menciptakan perasaan santai
mirip dengan minum alkohol. Sejumlah pengguna melaporkan
bahwa pada dosis rendah obat ini membuat mereka merasa
lebih nyaman dalam acara temu sosial. Namun demikian, dosis
tinggi sering membuat penggunanya menarik diri. Beberapa

pengguna yakin bahwa obat meningkatkan kapasitas mereka


untuk melakukan self-insight atau berfikir kreatif, meski
gagasan yang dicapai dibawah pengaruh obat tampaknya
tidak terlalu hebat saat efek obat berlalu. Orang berpaling ke
mariyuana, seperti ke obat lain, untuk membantu mereka
mengatasi masalah hidup atau membantu fungsi mereka saat
mereka di bawah tekanan. Orang yang terintoksikasi berat
menganggap waktu berlalu lebih lambat. Lagu yang berdurasi
beberapa menit terasa seperti satu jam. Ada peningkatan
kesadaran akan sensasi tubuh, seperti detak jantung. Perokok
kanabis

juga

melaporkan

intoksikasi

kuat

meningkatkan

sensasi seksual. Halusinasi visual bisa terjadi.


Ketergantungan kanabis lebih dihubungkan dengan pola
penggunaan

kompulsif

atau

ketergantungan

psikologis

daripada ketergantungan fisiologis. Meski toleransi terhadap


berbagai efek obat dapat terjadi akibat penggunaan kronis,
beberapa pengguna melaporkan toleransi terbalik (reverse
tolerance),

atau

sensitisasi.

Sindrom

putus

zat

tidak

ditunjukkan secara reliabel (APA, 2000). Meskipun demikian,


penelitian terbaru terhadap binatang menunjukkan beberapa
gangguan yang mirip antara mariyuana dan obat adiktif
seperti heroin atau kokain (Wickelgren, 1997).
Siswa sekolah yang merupakan pengguna

berat

mariyuana menunjukkan bukti kerusakan intelektual, termasuk


kemampuan

yang

menurun

dalam

tugas-tugas

yang

membutuhkan perhatian, abstraksi, dan fleksibilitas mental


(Pope & Yurgelun-Todd, 1996). Obat tersebut juga merusak
ingatan jangka pendek dan melambatkan kemampuan belajar.
Mariyuana meningkatkan detak jantung dan tekanan darah
dan

berhubungan

dengan

meningkatnya

resik

serangan

jantung pada

orang dengan penyakit jantung

Worry,2000).
2.4 Penyebab Penyalahgunaan dan Ketergantungan Zat
2.5 Penanganan Penyalahgunaan dan Ketergantungan Zat
2.5.1 Pendekatan Biologis
2.5.2 Penanganan Peka Budaya untuk Alkoholisme
2.5.3 Kelompok Pendukung Non-Profesional
2.5.4 Pendekatan Residensial
2.5.5 Pendekatan Psikodinamika
2.5.6 Pendekatan Behavioral
2.5.7 Pelatihan Pencegahan Kambuh

(Another

DAFTAR PUSTAKA

Nevid, Jeffrey S. Spencer A. Rathus. Beverly Greene. 2003. Psikologi Abnormal Edisi
Kelima Jilid 2. Jakarta : Penerbit Erlangga.

TUGAS MATA KULIAH PSIKOLOGI ABNORMAL


PENYALAHGUNAAN DAN KETERGANTUNGAN ZAT
Disusun sebagai tugas presentasi pada Mata Kuliah Psikologi Abnormal

Dosen Pengampu :
Sumi Lestari, S.Psi., M.Si
Disusun Oleh :
YAYAH NURJANAH

135120301111078

LAILY NOVITASARI

135120301111080

ASMAUL HUSNA

135120307111014

MAYA AINUN NUZULA

135120307111052

Psikologi Kelas D-5


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

Anda mungkin juga menyukai