Anda di halaman 1dari 9

Abses Peritonsil dan Penatalaksanaannya

Pebriyanti Salipadang
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
email : pebribebe@gmail.com
Pendahuluan
Nyeri tenggorok dan demam disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher,
harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam
terebentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran
infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah
dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher
dalam yang terlibat.
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman
anaerob Bacterioides atau kuman campuran. Abses peritonsil adalah salah satu penyakit yang
termasuk dalam abses leher dalam.
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan
leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa
berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform
inferior, dan palatum superior. Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme
bakteri penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring
menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap
dalam batas otot konstriktor faring.
Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus (nanah) yang
terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari
suppurative tonsillitis. Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan
membuka mulut dan leher harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam.
Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai
akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan

pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab adalah
golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran.1

Anamnesis
Keluhan kelainan di daerah faring umumnya adalah nyeri tenggorok, nyeri
menelan/Odinofagia, rasa banyak dahak di tenggorok, sulit menelan/disfagia, rasa ada yang
menyumbat atau mengganjal.2

Nyeri tenggorok: keluhan ini dapat hilang timbul atau menetap. Apakah nyeri tenggorok
ini disertai demam, batuk, serak, dan tenggorok terasa kering. Apakah pasien merokok

dan berapa jumlahnya perhari.


Nyeri menelan/Odinofagia: merupakan rasa nyeri di tenggorok waktu gerakan menelan.

Apakah rasa nyeri ini dirasakan sampai ke telinga.


Dahak di tenggorok: merupakan keluhan yang sering timbul akibat adanya inflamasi di
hidung dan faring. Apakah dahak ini berupa lendir saja, pus atau bercampur darah. Dahak

ini dapat turun, keluar bila dibatukkan atau terasa turun di tenggorok.
Sulit menelan/disfagia: sudah berapa lama dan untuk jenis makanan cair atau padat.

Apakah juga disertai muntah dan berat badan menurun dengan cepat.
Rasa sumbatan di leher: sudah berapa lama, tempatnya dimana?

Pemeriksaan Fisik
Dengan lampu kepala yang diarahkan ke rongga mulut , dilihat keadaan bibir, mukosa rongga
mulut, lidah dan gerakan lidah.2
Inspeksi
Lakukan inspeksi dengan bantuan senter dan penahan lidah. Periksa bibir dan lidah.
Perhatikan bila ada pigmentasi, pengecilam atau asikulasi otot lidah. Minta pasien
menjulurkan lidah dan sentuh bagian atap rongga mulut. Lihat tonsil, uvula dan dinding
posterior faring serta kelenjar limfanya, arkus faring serta gerkannya, mucosa pipi, kista dan
lain-lain. Minta pasien berkata aaaaaahhh, adakah tanda peradangan, eksudat, pembesaran
atau pertumbuhan.2,3

Palpasi

Palpasi setiap kelainan yang tampak dengan jari terbungkus sarung tangan. Palpasi rongga
mulut diperlukan bila ada massa tumor, kista. Apakah ada nyeri di sendi temporo mandibula
ketika membuka mulut.2,3
Kadang- kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus. Palatum mole tampak
membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong
ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke
arah tengah, depan dan bawah.2,3
Pada pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang kedua tonsil terinfeksi
pada waktu bersamaan. Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua akan membengkak setelah
tonsil yang satu membaik. Bila terjadi pembengkakan secara bersamaan, gejala sleep apnea
dan obstruksi jalan nafas akan lebih berat. Pada pemeriksaan fisik penderita dapat
menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dan pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal / servikal
adenopati. Di saat abses sudah timbul, biasanya akan tampak pembengkakan pada daerah
peritonsilar yang terlibat disertai pembesaran pilar-pilar tonsil atau palatum mole yang
terkena.2,3
Tonsil sendiri pada umumnya tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkak atau
tertutup oleh mukopus. Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan terdorongnya
uvula pada sisi yang berlawanan. Paling sering abses peritonsil pada bagian supratonsil atau
di belakang tonsil, penyebaran pus ke arah inferior dapat menimbulkan pembengkakan
supraglotis dan obstruksi jalan nafas. Pada keadaan ini penderita akan tampak cemas dan
sangat ketakutan.Abses peritonsil yang terjadi pada kutub inferior tidak menunjukkan gejala
yang sama dengan pada kutub superior. Umumnya uvula tampak normal dan tidak bergeser,
tonsil dan daerah peritonsil superior tampak berukuran normal hanya ditandai dengan
kemerahan.2,3

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah berupa faal hemostasis, terutama adanya leukositosis sangat
membantu diagnosis. Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan
tomografi komputer. Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis abses peritonsil
secara spesifik dan mungkin dapat digunakan sebagai alternatif pemeriksaan. Mayoritas
kasus yang diperiksa menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran sentral

hypoechoic. Gambaran tersebut kurang dapat dideteksi bila volume relatif pus dalam seluruh
abses adalah kurang dari 10% pada penampakan tomografi komputer.4
Penentuan lokasi abses yang akurat, membedakan antara selulitis dan abses peritonsil serta
menunjukkan gambaran penyebaran sekunder dari infeksi ini merupakan kelebihan
penggunaan tomografi komputer. Khusus untuk diagnosis abses peritonsil di daerah kutub
bawah tonsil akan sangat terbantu dengan tomografi komputer.4
Pemeriksaan dengan menggunakan foto rontgen polos dalam mengevaluasi abses peritonsil
terbatas. Bagaimanapun tomografi komputer dan ultrasonografi dapat membantu untuk
membedakan antara abses peritonsil dengan selulitis tonsil. Ultrasonografi juga dapat
digunakan di ruang pemeriksaan gawat darurat untuk membantu mengidentifikasi ruang
abses sebelum dilakukan aspirasi dengan jarum.4

Diagnosis Kerja
Abses peritonsil adalah akumulasi pus lokal di jaringan peritonsil yang terbentuk
sebagai akibat dari tonsilitis supuratif. Abses terbentuk pada kelompok kelenjar ludah di fosa
supratonsilar, yang dikenal sebagai kelenjar weber. Sarang akumulasi pus terletak antara
kapsul tonsil palatina dan otot-otot konstriktor faring. Pilar anterior dan posterior, torus
tubarius superior, dan sinus piriformis inferior membentuk ruang potensial peritonsil. Karena
terdiri dari jaringan ikat longgar, infeksi parah pada daerah ini dapat mengakibatkan
pembentukan materi purulen. Peradangan progresif dan pus dapat secara langsung mengenai
palatum, dinding faring lateral, dan, dasar lidah.5
Abses peritonsil biasanya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut. Edema akibat
inflamasi dapat mengakibatkan kesulitan menelan. Dehidrasi sekunder sering terjadi akibat
pasien menghindari menelan makanan dan cairan. Perluasan abses dapat menyebabkan
peradangan ke dalam kompartemen fasia yang berdekatan dengan kepala dan leher, sehingga
berpotensi menyebabkan obstruksi jalan napas.5

Different Diagnosis

Abses Parafaring
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara langsung yaitu akibat tusukan jarum
pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum
suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring
superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fossa tonsilaris. Yang kedua adalah karena
proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal,
hidung, mastoid dan vertebra cervikal dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses
ruang parafaring. Yang ketiga adalah karena penjalaran infeksi dari ruang peritonsil,
retrofaring atau submandibula.
Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan disekitar angulus
mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga menonjol ke
arah medial. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila
meragukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen jaringan lunak AP
atau CT scan.
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung ke daerah
sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, kebawah
menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. Untuk terapi diberi antibiotika dosis
tinggi secara paraenteral terhadap kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera
dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara
eksplorasi dalam nekrosis. Caranya melalui insisi dari luar dan intraoral.2
Tonsilitis Akut
Tonsillitis adalah suatu peradangan pada tonsil (atau biasa disebut amandel) yang dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, namun hampir 50% kasus tonsilitis adalah karana infeksi.
Tonsilitis akut sering dialami oleh anak dengan insidensi tertinggi pada usia 5-6 tahun, dan
juga pada orang dewasa di atas usia 50 tahun. Seseorang terpredisposisi menderita tonsillitis
jika memiliki resistensi yang rendah, memiliki tonsil dengan kondisi tidak menguntungkan
akibat tonsilitis berulang sebelumnya, sebagai bagian dari radang tenggorok (faringitis)
secara umum, atau sekunder terhadap infeksi virus (biasanya adenovirus yang menyebabkan
tonsil menjadi mudah diinvasi bakteri).2
Manifestasi klinik yang mungkin timbul pada tonsilitis sangat bervariasi untuk tiap penderita,
diantaranya rasa mengganjal atau kering di tenggorokan, nyeri tenggorok (sore throat) rasa

haus, malaise, demam, menggigil, nyeri menelan (odinofagia), gangguan menelan (disfagia),
nyeri yang menyebar ke telinga, pembengkakan kelenjar getah bening regional, perubahan
suara, nyeri kepala, ataupun nyeri pada bagian punggung dan lengan.6
Diagnosis dari tonsilitis akut atau berulang ditegakkan terutama berdasarkan manifestasi
klinis. Meskipun demikian prosedur kultur dan resistensi bakterial sangat dianjurkan. Hal ini
berkaitan dengan ditemukannya jenis bakteri Streptokokus beta hemolitikus grup A pada 40%
kasus, di mana tonsilitis yang terjadi sekunder terhadap bakteri ini dapat menimbulkan
berbagai komplikasi yang cukup berat. Jenis bakteri lain yang juga dapat ditemukan, antara
lain: streptokokus alfa dan gama, difteroid, stafilokokus aureus, dan haemofilus influenza. Di
samping itu bakteri anaerob juga telah ditemukan pada permukaan dan poros tonsil, terutama
grup bakteroides melaninogenikus.6
Meskipun kebanyakan kasus tonsilitis dapat sembuh dengan penanganan konvensional,
seperti istirahat (bedrest), asupan makanan yang baik, penurun panas (antipiretik), di mana
tanpa pemberian antibiotik, tonsilitis biasanya berlangsung selama kurang lebih 1 minggu.
Adapun pemberian antibiotik dalam kasus seperti ini, umumnya ditujukan untuk mengurangi
episode penyakit dan lamanya gejala yang diderita seperti nyeri tenggorok, demam, nyeri
kepala, ataupun pembengkakan kelenjar getah bening. Antibiotika sendiri menjadi indikasi
jika pada pemeriksaan kultur dan resistensi ditemukan bakteri Streptokokus beta hemolitikus
grup A, dengan tujuan mengeradikasi kuman dan mencegah komplikasi lebih lanjut.

Etiologi
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya
sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak
yang lebih tua dan dewasa muda.
Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang
bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah
Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus

influenzae.

Sedangkan

organisme

anaerob

yang

berperan

adalah

Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp.

Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme
aerobik dan anaerobik.5

Epidemiologi
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi
pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun
sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada
anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti
menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral
untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses
peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang
per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.5

Gejala Klinik
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri menelan) yang
hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia), mungkin terdapat
muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara
gumam (hot potato voice) dan kadang-kadang susah membuka mulut (trismus), serta
pembengkakan kelenjar submandibular dengan nyeri tekan.6

Patofisiologi
Abses peritonsil atau Quinsy adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah orofaring. Abses
peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir pada jaringan peritonsil yang umumnya
merupakan komplikasi dari tonsilitis akut berulang atau bentuk abses dari kelenjar Weber
pada kutub atas tonsil. Infeksi yang terjadi akan menembus kapsul tonsil (umumnya pada
kutub atas tonsil) dan meluas ke dalam ruang jaringan ikat di antara kapsul dan dinding
posterior fosa tonsil. Perluasan infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Lokasi infeksi abses peritonsil terjadi di jaringan peritonsil dan dapat menembus
kapsul tonsil. Hal ini kemudian akan menyebabkan penumpukan pus atau pus meluas ke arah
otot konstriktor faring superior menuju ruang parafaring dan retrofaring terdekat. Pada fosa

tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil yang disebut kelenjar Weber.
Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan cairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil,
membantu untuk menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang terperangkap di
dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan
pada proses tersebut lalu timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang
mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan
terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan sistem
saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga menyebabkan terjadinya abses.5
Patologi
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh
karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini,
sehingga tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat
terbentuk di bagian inferior. Pada stadium permulaan (Stadium infiltrat), selain
pembengkakan tampak permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi
sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan
uvula ke arah kontralateral. Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya
akan menyebabkan iritasi pada M. Pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat
pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.6
Penatalaksanaan
Pada stadium infiltrasi, diberikan anibiotika golongan penisilin atau klindamisin, dan
obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada
leher. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi
untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak,
atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir
pada sisi yang sakit. Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi.6
Bila dilakukan bersama-sama tindakan drainase abses, disebut tonsilektomi a
chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi a
tiede dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi a
froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu
sesudah drainase abses.6
Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah6:


1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau piema.
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak.
Kesimpulan
Abses peritonsil adalah salah satu abses leher dalam. Abses peritonsil merupakan abses di
luar kapsul atau selubung tonsil, antara kedua lapisan palatum molle. Penyakit ini merupakan
komplikasi dari tonsilofaringitis akut. Gejala-gejala abses peritonsil yaitu odinofagia, otalgia,
hipersalivasi, foeter ex ore serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.
Terapi untuk abses peritonsil pada stadium infiltrasi diberikan antibiotika dosis tinggi dan
obat simptomatik. Jika terbentuk abses yang lebih lanjut dapat dilakukan pembedahan dengan
tehnik drainase, aspirasi jarum dan tehnik insisi.
Daftar pustaka

1. Adrianto, Petrus. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Dalam: Adrianto, Petrus.
Buku ajar penyakit telinga, hidung, dan tenggorok. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC;2007.h.296-302.
2. Soepardi EA. Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Dalam: Soepardi
EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung,
tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2012.h.4-5.
3. Gleadle J. At a glance : Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2006. H. 46.
4. Lucente FE, Har-El G. Ilmu THT esensial. Ed 8. Jakarta: EGC. 2011. H.315-7
5. Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams GL, Boeis LR,
Hilger PA, ed. Buku ajar penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2003.h.333-40.
6. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti

RD, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi
ke07. Jakarta:Badan Penerbit FKUI;2012.h. 204-7.

Anda mungkin juga menyukai