Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS
Nama
No. RM
Kelamin
Umur
Alamat

: Tn. Parman
: 692915
: Laki-laki
: 61 tahun
:Jl.Pandan Alas nomer 22 A RT 03/02 Cijantung,
Jakarta Timur No. HP 082110501100
Status perkawinan
: Menikah
Pekerjaan
: Wiraswasta
Agama
: Islam
Bangsa
: Indonesia
Tanggal masuk RS : 21/04/2015
Tanggal pemeriksaan : 22/04/2015
Ruang Perawatan
: Parkit 1
II.

KELUHAN UTAMA
Sesak nafas

III.

ANAMNESIS
Pasien datang dengan keluhan sesak dan batuk yang dirasakan sejak 1
bulan sebelum masuk rumah sakit, batuk berdahak dan berwarna putih.
pasien juga mengeluhkan rasa panas di perutnya. Selain itu pasien juga
mengalami demam yang dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien mempunyai riwayat merokok sejak usia muda dan pasien
bisa menghabiskan 1 bungkus rokok dalam sehari. Sebelumnya pasien
pernah dirawat di rumah sakit sebanayak 3 kali dengan keluhan yang
sama. Keluhan utama seperti sesak dapat dirasakan pasien pada saat
melakukan aktivitas ringan. Dirumah pasien menggunakan alat nebulizer
yang berisi combivent 3-4 kali sehari terutama pada saat pasien merasa
sesak pada saat aktivitas. Karena keluarga pasien merasa pasien tidak
mengalami perbaikan dan pasien juga mengalami sesak disertai batuk,
maka pasien dibawa ke RS untuk penaganan lebih lanjut. Pasien
menyangkal adanya riwayat pengobatan OAT selama 6 bulan, riwayat
asma (-), riwayat hipertensi (-), riwayat diabetes melitus (-), riwayat alergi
(-).

IV.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
: Tampak sakit sedang.
Kesadaran
: Compos mentis
Status Gizi
Berat badan
: 56 kg
Tinggi badan : 160 cm

Tanda Vital
Tekanan darah
Nadi = Heart Rate
Respirasi
Suhu

: 130/80 mmHg
: 105 x/menit
: 28 x/menit
: 37,4 oC

Kepala
Mata
Hidung

: konjungtiva anemis -/-, sklera tidak ikterik


: pernafasan cuping hidung tidak ada, sekret tidak ada, tidak
ada deviasi septum
: tidak ada sekret, pendengaran baik, tidak ada nyeri tekan
mastoid
: sianosis perioral tidak ada, mukosa mulut dan lidah basah,
papil lidah tidak atrofi

Telinga
Mulut
Leher
Inspeksi
Palpasi
Kulit
Toraks
Pulmo

: jugular venous pressure tidak meningkat


: kelenjar getah bening tidak teraba membesar
deviasi trakea tidak ada
: turgor kulit baik, tidak ada sianosis, petekhie, dan ikterik

Inspeksi : bentuk dan gerakan dinding dada hemitoraks


kanan dan kiri
Palpasi
: fremitus taktil dan fremitus vokal simetris kanan
dan kiri
Perkusi
: sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler pada lapang paru, wheezing +/+, ronki +/
+
Abdomen
Datar lembut, nyeri tekan (-)
Hepar
: 2 cm dari bawah arcus costa dan 3 cm di bawah
proccessus
xyphoideus, tepi tumpul, permukaan datar, nyeri tekan (-)
Lien: tidak teraba
Ginjal
: ballotement (-)
BU (+) normal
Ekstremitas
Akral hangat, sianosis -/- , edema -/V.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Tanggal Pemeriksaan : 20/04/2015

HEMATOLOGI
Hemoglobin

15,5 g/dl

13-16 g/dl

Leukosit

13.600 /ul

5,000-10,000 /ul

Hematokrit

44 %

Trombosit

325.000 /ul

40-48 %
150,000-400,000 /ul

KIMIA KLINIK
Glukosa Glukometer

87 mg/dl

<200 mg/dl

b. Rontgen thoraks

Kesan :
CTR < 50 %
Tulang dan jaringan lemak baik
Hiperinflasi di kedua lapang paru
Hiperulsen di kedua lapang paru
Tampak pelebaran sela iga
Follow Up
21 April 2015
22 April 2015
S: sesak (+), batuk (+), demam S: sesak (+), batuk (+), demam
(+), panas pada daerah perut
(+)

O:
TD: 110/80 mmHg
N: 118x/mnt
RR: 36x/mnt
S: 38 C

VI.

O:
TD: 130/80 mmHg
N: 105x/mnt
RR: 28 x/mnt
S: 37,4 C

RESUME

Pasien datang dengan keluhan sesak dan batuk yang dirasakan sejak 1 bulan
sebelum masuk rumah sakit, batuk berdahak dan berwarna putih. pasien juga
mengeluhkan rasa panas di perutnya. Selain itu pasien juga mengalami demam
yang dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mempunyai
riwayat merokok sejak usia muda dan pasien bisa menghabiskan 1 bungkus rokok
dalam sehari. Sebelumnya pasien pernah dirawat di rumah sakit sebanayak 3 kali
dengan keluhan yang sama. Keluhan utama seperti sesak dapat dirasakan pasien
pada saat melakukan aktivitas ringan. Dirumah pasien menggunakan alat
nebulizer yang berisi combivent 3-4 kali sehari terutama pada saat pasien merasa
sesak pada saat aktivitas. Karena keluarga pasien merasa pasien tidak mengalami
perbaikan dan pasien juga mengalami sesak disertai batuk, maka pasien dibawa ke
RS untuk penaganan lebih lanjut. Pasien menyangkal adanya riwayat pengobatan
OAT selama 6 bulan, riwayat asma (-), riwayat hipertensi (-), riwayat diabetes
melitus (-), riwayat alergi (-).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan pasien tampak sakit sedang status gizi
baik. Pada inspeksi, palpasi dan perkusi paru dalam batas normal, pada auskultasi
terdengar wheezing +/+, ronki +/+. Pada pemeriksaan penunjang foto rontgen
thoraks didapatkan gambaran CTR < 50 %, Tulang dan jaringan lemak baik,
hiperinflasi di kedua lapang paru, Hiperulsen di kedua lapang paru,Tampak
pelebaran sela iga.
VII.

DIAGNOSIS KERJA
PPOK Eksaserbasi Akut

VIII. PENATALAKSANAAN
IUFD RL 20 tpm
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Inj. Ceftriaxone 2x1
Drip. Aminophyline 3amp/24jam
PCT 3x500 mg
Inhalasi combivent 4x/hari uap
GG 3x1
Metilprednisolon 3x 62,5
I.

PROGNOSIS
Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam


Quo ad sanactionam : dubia ad malam

BAB II
LANDASAN TEORI

1. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak
sepenuhnya reversibel2.(guideline GOLD terbaru)
Hambatan aliran udara pada penyakit ini seringkali disebabkan oleh
diameter saluran nafas yang menyempit berkaitan dengan beberapa faktor, antara
lain meningkatnya ketidakelastisan dinding saluran nafas, meningkatnya produksi
sputum di saluran nafas, dan lain sebagainya. Gangguan aliran udara di dalam
saluran nafas disebabkan proses inflamasi paru yang menyebabkan terjadinya
kombinasi penyakit saluran napas kecil ([[small airway disease]]) dan destruksi
parenkim (emfisema). Kerusakan

pada jaringan parenkim paru, yang juga

disebabkan proses inflamasi, menyebabkan hilangnya perlekatan alveolar pada


saluran nafas kecil dan penurunan rekoil elastik paru.
Banyak definisi terdahulu menekankan emfisema dan bronkitis kronis,
yang sekarang sudah tidak termasuk dalam definisi PPOK. Emfisema atau
kerusakan permukaan pertukaran gas paru (alveoli), adalah kata patologis yang
sering digunakan dan menjelaskan, hanya satu dari beberapa abnormalitas
struktural yang terjadi pada penderita PPOK, dengan kata lain emfisema
merupakan suatu diagnosis patologik. Bronkitis kronis, atau batuk dan produksi
sputum selama setidaknya 3 bulan dalam 2 tahun, tetap merupakan konsep

definitif yang berguna secara klinis dan epidemiologi, sehingga bronkitis kronis
dianggap sebagai diagnosis klinis.

2. Gejala Klinis
Gejala PPOK sangat bervariasi dari satu penderita ke penderita lainnya,
dapat dimulai dengan tanpa gejala, gejala ringan sampai berat, mulai dari tanpa
kelainan fisik sampai kelainan fisik yang jelas dan tanda inflasi paru. Oleh karena
itu dibutuhkan diagnosa yang akurat, pemeriksaan penunjang dan diagnosa
banding untuk dapat menegakkan penyakit PPOK.2
Seseorang diduga menderita PPOK bila (i) mengalami batuk kronis yang
umumnya muncul pada siang hari, jarang pada malam hari, (ii) memproduksi
sputum kronis, (iii) -sering mengalami bronkitis akut, (iv) sesak nafas setiap hari,
memburuk pada saat melakukan aktivitas dan terkena infeksi, (v) punya riwayat
terpapar asap rokok (baik perokok aktif maupun perokok pasif), polusi udara,
debu dan bahan kimia di tempat kerja, ataupun asap hasil pembakaran alat masak,
misalnya kayu bakar, arang yang terus menerus (setiap hari sepanjang tahun),
disertai dengan pemeriksaan faal paru. Indikator diagnosis PPOK adalah penderita
di atas usia 40 tahun, dengan sesak napas yang progresif, memburuk dengan
aktivitas, persisten, batuk kronik, produksi sputum kronik, riwayat pajanan rokok,
asap atau gas berbahaya di dalam lingkungan kerja atau rumah.
Penyakit ini seringkali tidak berdiri sendiri, tapi selalu disertai komorbid
yang berkaitan dengan rokok atau ketuaan, karena memang PPOK seringkali
terjadi pada orang perokok dalam jangka lama dan usia lanjut. Penurunan berat
badan, abnormalitas nutrisi dan disfungsi otot skeletal adalah beberapa dampak
PPOK pada ekstrapulmonal. PPOK juga akan meningkatkan risiko terjadinya
infark myokard, angina, osteoporosis, infeksi pernafasan, fraktur, depresi,
diabetes, gangguan tidur, anemia , glukoma dan juga kanker paru.

3. Faktor Resiko
3.1. Genetik.

PPOK adalah penyakit yang melibatkan banyak gen dan


merupakan contoh klasik interaksi gen dan lingkungan. Faktor resiko
genetik yang telah diketahui adalah defisiensi alpha-1 antitrypsin, suatu
penghambat yang bersikulasi dari protease serine.1
3.2.

Merokok.
Perokok memeliki prevalensi yang lebih tinggi menderita gejala
dan gangguan fungsi paru, penurunan FEV1 setiap tahun dan angka
mortalitas PPOK yang lebih besar. Resiko PPOK pada perokok,
bergantung pada banyaknya rokok yang dikonsumsi, usia pertama kali
mulai merokok, jumlah total rokok yang dihisap pertahun dan status
merokok saat ini.

3.3. Debu dan Bahan Kimia Okupasi.


Paparan partikel dan bahan kimia okupasi, juga merupakan faktor
resiko berkembangnya PPOK. Meliputi agen kimia dan debu organik dan
anorganik serta bau-bauan.
3.4. Polusi Udara Dalam Rumah.
Pembakaran pada tungku atau kompor yang tidak berfungsi dengan
baik, dapat menyebabkan polusi udara di dalam ruangan.
3.5. Polusi Udara Di Luar Rumah.
Peranan polusi udara luar rumah dalam menyebabkan PPOK tidak
jelas, tetapi tampaknya lebih kecil dibandingkan merokok. Polusi udara
dari pembakaran hutan, asap kendaraan bermotor dan asap-asap pabrik.
3.6. Stress Oksidatif.
Paru-paru secara terus menerus terpapar oleh oksidan yang
dikeluarkan secara endogendari fagosit dan jenis sel lainnya, atau secara
eksogen dari polusi udara atau asap rokok. Akibat dari ketidakseimbangan
antara oksidan dan anti oksidan maka paru-paru mengalami stress
oksidatif. Selain menghasilkan perlukaan langsung, juga mengaktivase
mekanisme molekuler yang menginisiasi inflamasi paru.
3.7. Infeksi.
Kolonisasi bakteri yang dihubungkan dengan inflamasi saluran
nafas, dapat juga berperan

dalam eksaserbasi. Akibatnya

akan

menyebabkan penurunan fungsi paru dan menimbulkan gejala gangguaan


pernafasan.

3.8. Status Sosioekonomi


3.9. Nutrisi.
3.10. Asma.
Pada orang dewasa dengan asma memeliki resiko 12x lipat lebih
besar menderita PPOK, dibandingkan orang dewasa tanpa menderita asma

BAB III
Patogenesis dan Patofisologis PPOK
Asap rokok dan partikel berbahaya, menyebabkan inflamasi pada paruparu yang merupakan suatu respon normal, yang tampak menjadi lebih berat pada
penderita PPOK. Respon abnormal ini menyebabkan

kerusakan jaringan

parenkim (menyebabkan emfisema) dan mengganggu perbaikan normal dan


mekanisme pertahanan (menyebabkan fibrosis saluran nafas kecil). Perubahan
patologis ini menyebabkan air trapping dan keterbatasan saluran nafas yang
progresif.
PERUBAHAN PATOLOGI PADA PPOK
Saluran Nafas Proksimal (Trakea, Bronki > 2mm diameter internal)
Sel inflamasi : Makrofag, CD8+ limfosit T, beberapa neutrofil atau eosinofil.
Perubahan struktural : Sel goblet, hipertrophi kelenjar submukosal ( keduanya
menyebabkan hipersekresi mukus), squamosa metaplasia epitelium.
Saluran Nafas Periferal (Bronkiolus < 2mm)
Sel inflamasi : Makrofag, (CD8+ > CD4+) limfosit T, limfosit B, folikel
limfoid, fibroblas, beberapa neutrofil atau eosinofil.
Perubahan struktural : penebalan dinding saluran nafas, fibrosis peribronkial,
eksudat inflamasi luminal, penyempitan saluran nafas, peningkatan respon
inflamasi dan eksudat yang berhubungan dengan kegawatan penyakit.
Parenkim Paru (bronkioulus respirasi dan alveoli)
Sel inflamasi : Makrofag, CD8+ limfosit T
Perubahan struktural : kerusakan dinding alveolar, apoptosis dinding epitel dan
endotel.
Emfisema sentrilobular : dilatasi dan kerusakan bronkiolus respirasi (paling
banyak pada perokok)

Emfisema parasinar : kerusakan kantung alveolar dan bronkiolus respirasi


(banyak terdapat pada defisiensi alpha-1 antitrypsin)
Vaskular Pulmonal
Sel inflamasi : Makrofag, limfosit T.
Perubahan struktural : penebalan intima, disfungsi sel endotel

SEL-SEL INFLAMSI PADA PPOK


Neutrofil : terdapat di dalam sputum perokok normal, kemungkinan berperan
penting dalam hipersekresi mukus dan melalui pelepasan protease.
Makrofag : Sejumlah besar terlihat pada lumen saluran nafas, parenkim paru dan
cairan lavage bronkoalveolar. Berasal dari monosit darah yang berdiferensiasi
dalam jaringan paru. Menghasilkan peningkatan mediator inflamasi dan protease
pada pasien PPOK, sebagai respon terhadap asap rokok dan dapat menyebabkan
fagositosis defektif.
Limfosit T : Sel CD4+ dan CD8+ meningkat poada dinding saluran nafas dan
parenkim paru. Sel T CD8+ (Tc1) dan sel Th1 mensekresikan interferon. Sel
CD8+ dapat menjadi sitotoksik terhadap sel-sel alveolar.
Limfosit B : di dalam saluran nafas perifer dan diantara folikel limfoid,
kemungkinan sebagai respon terhadap kolonisasi kronik dan infeksi saluran nafas.
Eosinofil : protein eosinofil terdapat dalam sputum dan eosinofil terdapat pada
dinding saluran nafas saat eksaserbasi.
Sel-sel Epitel : kemungkinan dipicu oleh asap rokok, untuk menghasilkan
mediator inflamasi
1.

Patogenesis
Inflamasi paru pada pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi

normal terhadap partikel dan gas beracun seperti asap rokok yang berlangsung
lama. Selain itu faktor genetik ikut mempengaruhi. Inflamasi lebih lanjut,
diperburuk oleh stress oksidatif dan kelebihan proteinase pada paru-paru. Secara
bersamaan, mekanisme ini akan menyebabkan perubahan patologis.
PPOK ditandai oleh pola tertentu dari inflamasi yang melibatkan netrofil,
makrofag dan limfositosis. Sel-sel ini akan melepaskan mediator inflamasi dan

10

berinteraksi dengan sel struktural, pada saluran nafas dan parenkim paru. Berbagai
mediator inflamasi itu, akan menarik sel inflamasi dari darah ( faktor kemotakik),
memperkuat proses inflamasi (sitokin proinflamasi), dan menginduksi perubahan
struktural (faktor pertumbuhan).
Stress oksidatif mungkin merupakan mekanisme penguat dari proses
terjadinya PPOK. stress oksidatif lebih lanjut, meningkat pada eksaserbasi.
Oksidan dihasilkan oleh asap rokok dan partikulat lainnya, dan dilepaskan dari sel
inflamasi teraktifasi seperti makrofag dan neutrofil. Stress oksidatif memiliki
konsekuensi buruk pada paru paru, yang meliputi aktifasi gen inflamasi, inaktifasi
antiprotese yang menstimulasi sekresi mukus dan eksudat plasma.

PATOGENESIS
Asap rokok, Partikel dan gas
beracun
Faktor
penjamu
Inflam
asi paru
Anti

Antiprot

oksidan

ease

Stress

Pr

oksidatif

otease

Mekanisme
perbaikan
Patologi
PPOK

Patofisiologis
Inflamasi dan air trapping adalah dasar dari PPOK. Pada pasien PPOK penurunan
FEV1 disebakan inflamasi dan penyempitan saluran nafas periferal, sementara

11

penurunan pertukaran gas disebabkan oleh kerusakan jaringan parenkim paru.


Besarnya inflamasi, fibrosis dan eksudat pada saluran nafas kecil, berhubungan
dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Cepatnya penurunan FEV1,
merupakan karakteristik dari PPOK. Obstruksi saluran nafas periferal secara
progresif, menyebabkan air trapping selama ekspirasi dan mengakibatkan
hiperinflasi. Hiperinflasi ini akan menurunkan kapasitas inspirasi, sehingga
kapasitas residu fungsional meningkat.

Diperkirakan hiperinflasi berkembang

sejak awal penyakit dan merupakan mekanisme utama untuk dispnea eksersional.
Abnormalitas dari pertukaran gas itu akan menyebabkan terjadinya hipoksemia
dan hiperkapnia. Akibat dari obstruksi saluran nafas periferal menyebabkan
ketidakseimbangan

ventilasi perfusi (VA/Q) disertai gangguan fungsi otot

pernafasan, terjadilah retensi CO2.


Hipersekresi mukus, penyebab batuk kronis, tidak dialami semua pasien dengan
PPOK. Hal ini disebabkan metaplasia mukus dengan peningkatan jumlah sel-sel
goblet dan pembesaran kelenjar submukosa, sebagai respon terhadap iritasi
saluran nafas kronis akibat asap rokok dan agen berbahaya lainnya.
Hipertensi ringan juga dapat terjadi pada pasien PPOK. hal ini disebabkan
vasokonstriksi hipoksik dari arteri pulmonal kecil, yang akhirnya menyebabkan
trejadinya hiperplasia intima. Pada PPOK, tejadi respon inflamasi pada pembuluh
darah serupa dengan yang terlihat pada saluran nafas dan pada disfungsi sel
endotel.

12

BAB IV
DIAGNOSIS PPOK
Diagnosis PPOK secara teoritis ditegakkan didasarkan atas anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan fungsi paru atau
spirometri.
I.

Anamnesis
PPOK adalah suatu penyakit menahun, gangguan saluran napas secara
bertahap selama bertahun-tahun. Umumnya terjadi pada perokok, dimulai
dengan berkurangnya kemampuan untuk melakukan pekerjaan berat,
terjadinya perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru. Timbul batuk
prodiktif yang lama, mulai sering mendapat infeksi berulang saluran nafas,
kemudian secara perlahan disertai sesak nafas, dan sudah tidak mampu untuk
melakukan aktifitas sehari hari.
Diagnosis klinis PPOK seyogyanya dipertimbangkan pada setiap
penderita yang mengalami dyspneu, batuk kronis dengan produksi sputum
dan/ atau adanya faktor resiko (genetik: defisiensi alfa-1 antitripsin, paparan
rokok dan polusi udara, oksidatif stres, gender, usia, infeksi saluran nafas, dll).
Batuk-batuk pada pagi hari sering dikatakan oleh penderita karena merokok,
dan dianggap bukan sebagai keluhan oleh penderita. Makin lama batuk makin
berat, timbul sepanjang hari. Bila disertai infeksi saluran nafas, batuk akan
bertambah hebat dan berkurang bila infeksi menghilang. Umumnya sputum
pasien PPOK berwarna putih atau mukoid, bila terdapat infeksi akan menjadi

13

purulen atau mukopurulen dan kental. Keluhan sesak bertambah berat bila
terdapat infeksi.
II.

Pemeriksaan Fisik
Pada stadium dini tidak diketemukan kelainan. Hanya kadang kadang
terdengar ronkhi pada waktu inspirasi dalam. Bila sudah ada keluhan sesak,
akan terdengar ronkhi pada waktu ekspirasi dan inspirasi disertai mengi.
Pasien biasanya tampak kurus, juga didapatkan tanda tanda overinflasi
paru seperti diameter anteroosterior dada meningkat ( barrel-shaped chest ),
kifosis, jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan supra sternal kurang
dari 3 jari, iga lebih horisontal dan sudut subkostal bertambah. Fremitus taktil
dada berkurang bahkan tidak ada
Pada perkusi dada terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas
paru hati lebih rendah, dan pekak jantung berkurang. Suara nafas vesikuler
berkurang dengan ekspirasi memanjang atau kadang normal. Kadang disertai
kontraksi otot otot pernafasan tambahan. Lebih sering didapatkan dengan
hernia inguinalis.

III.

Pemeriksaan Radiologis
Pada foto toraks pasien curiga PPOK bisa didapatkan normal atau tidak ada
kelainan, dapat juga ditemukan gambaran bayangan bronkus yang menebal,
corakan bronkovaskuler meningkat,bula, diapragma letak rendah dan
mendatar, paru paru lebih hiperlusen karena adanya air trapping, disertai
posisi jantung yang menggantung.

IV.

Pemeriksaan Fungsi Paru


Spirometri adalah pengukuran volume dan aliran udara yang masuk dan
keluar paru-paru. Spirometer dapat mengukur volume paru, seperti volume
tidal dan kapasitas paru, seperti kapasitas total.
Bila pada hasil pemeriksaan spirometri didapatkan hasil 30%<VEP1<70%
dan VEP1 / KVP < 80% maka dipastikan menderita PPOK.

14

DIAGNOSIS PPOK
Sesak nafas
Batuk kronik disertai

Faktor resiko
Usia
Riwayat pajanan : asap
rokok, polusi udara, polusi tempat
kerja

dahak
Keterbatasan aktifiti

Pemeriksaan
fisik *

Curiga

Pemeriksaan

Infiltrat,

foto torak

PPOK **

Fasiliti

massa, dll

Fasiliti

spirometri (-)

spirometri (+)

N
ormal

30% < VEP1 < 70 %


prediksi
VEP1 / KVP < 80 %

PPOK
secara klinis

Beresiko
PPOK derajat 0

PPOK
Derajat
I/II/III/IV

Bukan
PPOK

15

KETERANGAN
* Pemeriksaan fisik :
a. Normal
b. Kelainan
Bentuk dada : Barrel chest
Penggunaan otot bantu
pernapasan
Pelebarab sela iga
Hipertrofi otot bantu nafas
Fremitus melemah, sela iga
melebar
Hipersonor
Suara nafas vesikuler
melemah atau normal
Ekspirasi memanjang
Mengi
**Foto toraks curiga PPOK
a.
b.

Normal
Kelainan
Hiperinflasi
Hiperlusen
Diafragma mendatar
Corakan bronkovaskuler
meningkat
Bullae
Jantung pendulum

KLASIFIKASI PPOK
DERAJAT
Derajat 0 :

KLINIS
Gejala kronik (batuk, dahak)

FAAL PARU
Spirometri normal

beresiko
Derajat I :

Terpajan faktor resiko


Dengan atau tanpa gejala VEP1/KVP < 75%

PPOK Ringan
Derajat II A:

klinik (
VEP1 80% prediksi
Dengan atau tanpa gejala VEP1/KVP < 75%

PPOK Sedang

klinik

Derajat II B:

Dengan atau tanpa gejala VEP1/KVP < 75%

PPOK Sedang

klinik

Derajat III:

Gagal

PPOK Berat

jantung kanan

50 % VEP1 80% prediksi

30 % VEP1 50% prediksi


napas

atau

gagal VEP1/KVP < 75%


VEP1 30% prediksi

Diagnosis Banding
1.
a.
b.
c.
d.
e.

PPOK
Onset usia pertengahan
Gejala progresif lambat
Riwayat merokok (lama dan jumlah rokok)
Sesak saat aktifitas
Hambatan aliran udara ireversibel

a.
b.
c.
d.
e.
f.

Pada Asma
Onset usia dini
Gejala bervariasi dari hari ke hari
Gejala pada waktu malam lebih menonjol
Dapat diketemukan alergi, rhinitis dan eksim
Riwayat asma dalam keluarga
Hambatan aliran udaranya reversibel

a.
b.
c.
d.

Pada Gagal Jantung Kongestif


Riwayat hipertensi
Rankhi basah halus di basal paru
Gambaran foto torak tampak pembesaran jantung dan oedema
Pemeriksaan faal paru restriktif. (PPOK Obstruktif)

2.

3.

16

4.

Pada Tuberkulosis
a. Onset semua usia
b. Gambaran foto torak infiltrat
c. Konfirmasi pemeriksaan mikrobiologi (BTA)

5.

Pada Sindrom Obstruksi Pasca TB (SOPT)


a. Riwayat terapi TB adekuat
b. Gambaran foto torak fibrosis dan kalsifikasi minimal
c. Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruktif yang tidak reversibel

BAB V
PENATALAKSANAAN PASIEN PPOK
Dampak PPOK pada seseorang pasien, bergantung tidak hanya pada derajat
keterbatasan saluran nafas, tetapi juga pada keparahan gejalanya. Staging berdasarkan
spirometri, adalah pendekatan pragmatik yang ditujukan pada implementasi praktis dan harus
digunakan sebagai alat edukasi dan suatu indikasi umum untuk dilakukan pengobatan.
17

Terapi farmakologis digunakan untuk mencegah dan mengendalikan gejala,


mengurangi kekerapan dan keparahan eksaserbasi, meningkatkan kondisi kesehatan dan
meningkatkan toleransi olah raga.
Tujuan dari penatalaksanaan PPOK sendiri :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Mencegah progresivitas penyakit


Mengurangi gejala
Meningkatkan toleransi latihan
Mencegah dan mengobati komplikasi
Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
Mencegah atau meminimalkan efek samping obat
Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
Meningkatkan kualitas hidup penderita
Menurunkan angka kematian
Berdasarkan dari tujuan penatalaksanaan PPOK maka program berhenti merokok juga

menjadi perhatian utama, karena asap rokok merupakan penyebab terpenting bagi timbulnya
PPOK.
Untuk mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan melalui 4 komponen program
tatalaksana :
1.

Evaluasi dan monitor penyakit


Riwayat penyakit yang rinci pada pasien yang dicurigai atau pasien yang telah
di diagnosis PPOK digunakan untuk evaluasi dan monitoring penyakit :
a. Pajanan faktor resiko, jenis zat dan lamanya terpajan.
b. Riwayat timbulnya gejala atau penyakit
c. Riwayat keluarga PPOK atau penyakit paru lain, misalnya Asma dan TB
paru.
d. Riwayat eksaserbasi atau perawatan di rumah sakit akibat penyakit paru
kronik lainnya.
e. Penyakit komorbid yang ada, misal penyakit jantung, rematik atau penyakit
yang menyebabkan keterbatasan aktifitas.
f. Rencana pengobatan terkini yang sesuai dengan derajat PPOK.
g. Pengaruh penyakit terhadap kehidupan pasien seperti keterbatasan aktifitas,
kehilangan waktu kerja dan pengaruh ekonomi, dan perasaan cemas.
h. Kemungkinan untuk mengurangi faktor resiko terutama berhenti merokok.
i. Dukungan dari keluarga.
Karakteristik gejala PPOK adalah dispnea kronik dan progresif, artinya fungsi
paru akan menurun seiring bertambahnya usia, batuk dan produksi sputum, dapat
mendahului terjadinya keterbatasan aliran nafas. Meski PPOK didefinisikan atas
18

dasar keterbatasan aliran nafas, pada prakteknya keputusan untuk mendapatkan


pertolongan medis umumnya ditentukan dari dampak suatu gejala terhadap kualitas
hidup pasien. Untuk itu monitor penting yang harus dilakukan adalah memperhatikan
gejala klinis dan fungsi paru penderita.
2.

Menurunkan faktor resiko


Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam
mengurangi resiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progesifitas penyakit.
Proses berhenti dari kebiasaan merokok ini memang tidak semudah membalik
telapak tangan, butuh niat yang kuat dari penderita dan kalau perlu bisa dibantu
dengan farmakoterapi. Kebiasaan merokok ini bahkan bisa masuk kategori candu
karena begitu seseorang mencoba merokok maka nikotin yang terserap dalam darah
akan diteruskan ke otak dan ditangkap oleh reseptor alfa 4 beta 2 sehingga
merangsang pelepasan dopamin yang memberikan rasa nyaman. Sehingga saat
seseorang berhenti merokok, dopamin akan berkurang dan menimbulkan hilangnya
rasa nyaman selanjutnya akan timbul keinginan kembali untuk merokok, terjadilah
lingkaran setan yang akan sangat sulit diputuskan.
Untuk itu bagi kita para dokter telah dibuatkan strategi untuk membantu pasen
berhenti merokok. Dikenal dengan istilah 5 A:
a. Ask ( Tanyakan )
Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
b. Asdvise ( Nasihati )
Beri dorongan yang kuat untukberhenti merokok.
c. Assessment ( menilai )
Keinginan untuk usaha berhenti merokok.
d. Assist ( membantu )
Membantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan konseling dan
merekomendasikan penggunaan farmakoterapi.
e. Arrange (Atur)
Buat jadwal kontak lebih lanjut.

3.

Tatalaksana PPOK stabil

19

Tatalaksana
PPOK stabil

EDUKASI

FARMAKOL
OGI

Berhenti
merokok
Pengetahu
an dasar PPOK
Obatobatan
Pencegaha
n perburukan
penyakit
Menghinda
ri pencetus
Penyesuaia
n aktifitas

NON
FARMAKOLOGI

REGULER
Bronkodilato
r
Anti
kolinergik
2 Agonis
Xantin
Kombinasi
SABA +
Antikolinergik
Kombinasi
LABA +
Kortikosteroid
Antioksidan

Rehabilitasi
Terapi oksigen
Vaksinasi *
Nutrisi
Ventilasi non
mekanik
Intervensi
bedah

Dipertimban
gkan mukolitik

Keterangan :
Kortikosteroid hanya diberikan kepada penderita dengan uji steroid positif. Uji
steroid positif adalah bila dengan pemberian steroid oral selama 10-14 hari atau
inhalasi selama 6 minggu 3 bulan menujukkan perbaikan gejala klinisatau
fungsi paru.
SABA : short acting 2 Agonis
LABA : long actng 2 Agonis
* Vaksinasi Influensa dipertimbangkan pemberiannya pada :
Pasien usia diatas 60 tahun
Pasien PPOK sedang dan berat
4.

Tatalaksana PPOK eksaserbasi


Akut eksaserbasi adalah suatu kejadian yang terjadi secara alamiah, dalam
perjalanan penyakit PPOK hal itu ditandai dengan perubahan dispnea, batuk, dan atau
produksi sputum yang jauh dari normal.
20

Gejala eksaserbasi akut :

Batuk bertambah
Produksi sputum bertambah
Sputum berubah warna
Sesak napas bertambah
Keterbatasan aktifitas bertambah
Penurunan kesadaran

Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi PPOK


1.
Optimalisasi penggunaan obat-obatan
a. Bronkodilator
Agonis beta-2 kerja cepat kombinasi dengan antikolinergik perinhalasi
(nebuliser)
Xantin intravena (bolus dan drip)
b. Kortikosteroid sistemik
c. Antibiotik
Gol. Makrolid baru
Gol. Kuinolon
Sefalosporin generasi III / IV
d. Mukolitik
e. Ekspektoran
2.
Terapi oksigen
3.
Terapi nutrisi
4.
Rehabilitasi fisik dan respirasi
5.
Evaluasi progesifitas penyakit
6.
Edukasi
Penatalaksanaan pasien PPOK eksaserbasi akut bisa dilakukan dengan rawat
jalan atau rawat inap bergantung pada kondisi pasien.

21

BAB VI
REHABILITASI pada PENDERITA PPOK
Pada penderita PPOK, terdapat gangguan mekanis dan pertukaran gas pada sistim
pernapasan dan menurunnya aktivitas fisik pada kehidupan sehari-hari. Peningkatan volume
paru dan tahanan aliran udara dalam saluran napas akan meningkatkan kerja pernapasan.
Penyakit ini bersifat kronis dan progrresif, makin lama kemampuan penderita akan menurun
bahkan penderita akan kehilangan stamina fisiknya.
Parameter penting keberhasilan penanganan pasien PPOK adalah meningkatnya
kualitas hidup pasien. Dalam mengelola penderita PPOK, di samping pemberian obat-obatan
dan penghentian merokok juga diperlukan terapi tambahan yang ditujukan untuk mengatasi
masalah tersebut yakni rehabilitasi medis, khususnya fisioterapi pernapasan.
Fisioterapi pernapasan adalah suatu tindakan dalam rehabilitasi medis yang bertujuan
mengurangi cacat atau ketidak mampuan penderita, dan diharapkan penderita merasa terbantu
untuk mengatasi ketidak mampuannya sehingga mereka dapat mengurus diri sendiri tanpa
22

banyak tergantung pada orang lain. Namun sayangnya upaya ini kurang diminati oleh para
dokter bahkan sering kali dilupakan orang.
TUJUAN REHABILITASI PARU
Rehabilitasi didefinisikan sebagai : memulihkan individu ke arah potensi fisik, medik,
mental, emosional, ekonomi sosial dan vokasional sepenuhnya menurut kemampuannya.
Maka jelaslah bahwa tingkat pemenuhan tujuan program rehabilitasi paru tergantung pada
derajat insufisiensi pernapasan, dan tindakan yang ditempuh tergantung pula pada faktorfaktor yang berpengaruh pada penderita. Meskipun demikian, tiap usaha harus dilakukan
untuk membawa penderita. ke arah perbaikan fisik yang maksimal dan pemakaian energi
yang optimal tetapi efisien, sehingga penderita dapat melakukan pekerjaannya sehari-hari.
Jika hal ini tidak mungkin, harus diusahakan latihan kerja yang lebih ringan, dan harus
ditekankan agar penderita mempunyai percaya diri dan mengurangi ketergantungan pada
keluarga dan masyarakat.
REHABILITASI PARU PADA PPOK
Dalam mengelola penderita PPOK, rehabilitasi medis pada paru (rehabilitasi
pulmonal) mempunyai 2 aspek yakni:
1) Rehabilitasi fisik, terdiri dari:
1.1. Latihan relaksasi
1.2. Terapi fisik dada
1.3. Latihan pernapasan
1.4. Latihan meningkatkan kemampuan fisik
2) Rehabilitasi psikososial dan vokasional, terdiri dari:
2.1. Pendidikan perseorangan dan keluarga
2.2. Latihan pekerjaan
2.3. Penempatan tugas
2.4. Latihan merawat diri sendiri
Kedua aspek rehabilitasi medis tersebut diterapkan dalam mengelola semua penderita
PPOK tanpa memandang etiologi dan derajat penyakitnya. Rehabilitasi fisik dapat dilakukan
23

pada stadium dini atau stadiun lanjut dari penyakitnya. Penderita dilatih untuk memakai
cadangan napasnya seefektif mungkin dengan mengubah pola bernapas untuk memperoleh
potensi yang optimal bagi kegiatan fisiknya.
Rehabilitasi psikososial dan vokasional dipertimbangkan bila penderita tidak dapat
mencapai keinginan fisik-psikologis untuk melakukan kegiatan seperti biasanya. Bila
pendidikan pada tingkat tersebut tidak mungkin, rehabilitasi ditujukan untuk memberi
kesempatan pada penderita untuk dapat melakukan kegiatan minimal termasuk mengurus diri
sendiri.
I. Latihan relaksasi
Tujuan latihan relaksasi adalah:
1) Menurunkan tegangan otot pernapasan, terutama otot bantu pernapasan.
2) Menghilangkan rasa cemas karena sesak napas.
3) Memberikan sense of well being.
Penderita PPOK yang mengalami insufisiensi pernapasan selalu merasa
tegang, cemas dan takut mati tersumbat. Untuk mengatasi keadaan ini penderita
berusaha membuat posisi yang menguntungkan terutama bagi gerakan diafragmanya.
Sikap ini dicapai dengan memutar bahu ke depan dan membungkukkan badan ke
depan pula. Sikap ini selalu diambil setiap akan memulai rehabilitasi fisik (drainase
postural, latihan pernapasan). Agar penderita memahami, latihan ini harus
diperagakan. Latihan relaksasi hendaknya dilakukan di ruangan yang tenang, posisi
yang nyaman yaitu telentang dengan bantal menyangga kepala dan guling di bawah
lutut atau sambil duduk.
II. Terapi fisik dada
Timbunan sekret yang sangat kental jika tidak dikeluarkan akan menyumbat
saluran napas dan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kuman. Infeksi
mengakibatkan radang yang menambah obstruksi saluran napas. Bila berlangsung
terus sehingga mengganggu mekanisme batuk dan gerakan mukosilier, maka
timbunan sekret merupakan penyulit yang cukup serius.

24

Terapi fisik (fisioterapi) dada ditujukan untuk melepaskan dan membantu


menggerakkan sekret dan saluran napas kecil ke trakea; dapat dilakukan dengan cara
drainase postural, perkusi dinding dada, vibrasi menggunakan tangan (manual) atau
dengan bantuan alat (mekanik). Perkusi dengan vibrasi cepat, ketukan dengan telapak
tangan (clapping), atau memakai rompi perkusi listrik serta latihan batuk akan
memperbaiki mobilisasi dan klirens sekret bronkus dan fungsi paru pada penderita
PPOK dengan produksi sputum yang meningkat (>30 ml/ hari). Pada penderita
dengan serangan asma akut, pneumonia akut, gagal napas, penderita yang memakai
ventilator, dan penderita PPOK dengan produksi sputum yang minimal (<30 ml/hari),
fisioterapi dada tidak berefek dan bahkan membahayakan.
Dalam melakukan drainase postural harus diperhatikan posisi penderita yang
disesuaikan dengan anatomi percabangan bronkus. Tindakan ini dilakukan 2 kali
sehari selama 5 menit. Sebelum dilakukan drainase postural sebaiknya penderita
minum

banyak

atau

diberikan

mukolitik,

bronkodilator

perinhalasi

untuk

memudahkan pengaliran sekret.

III. Latihan pernapasan


Latihan pernapasan dilakukan setelah latihan relaksasi dikuasai penderita.
Tujuan latihan pernapasan adalah untuk:
1.
2.
3.
4.
5.

Mengatur frekuensi dan pola napas sehingga mengurangi air trapping


Memperbaiki fungsi diafragma
Memperbaiki mobilitas sangkar toraks
Memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukaran gas tanpa
meningkatkan kerja pernapasan
Mengatur dan mengkoordinir kecepatan pernapasan sehingga bernapas lebih
efektif dan mengurangi kerja pernapasan.
Selain itu pada penderita PPOK tendapat hambatan aliran udara terutama pada

waktu ekspirasi. Pada umumnya letak diafragma rendah dan posisi sangkar toraks
sangat tinggi sehingga secara mekanis otot-otot pernapasan bekerja kurang efektif.
Pada umumnya fungsi diafragma penderita PPOK kurang dan 35% volume tidal,
akibatnya penderita selalu menggunakan otot-otot bantu pernapasan. Latihan otot-otot
25

pernapasan akan meningkatkan kekuatan otot pernapasan, meningkatkan tekanan


ekspirasi (PE max) sekitar 37%.
Latihan pernapasan meliputi:
a) Latihan pernapasan diafragma
Tujuan latihan pernapasan diafragma adalah : menggunakan diafragma
sebagai usaha pernapasan, sementara otot-otot bantu pernapasan mengalami relaksasi.
Manfaat pernapasan diafragma:
1) Mengatur pernapasan pada waktu serangan sesak napas dan waktu
melakukan pekerjaan/latihan.
2) Memperbaiki ventilasi ke arah basal paru.
3) Melepaskan sekret yang melalui saluran napas.
Dengan pernapasan diafragma maka akan terjadi peningkatan volume tidal,
penununan kapasitas residu fungsional dan peningkatan ambilan oksigen optimal.
Latihan ini dapat dilakukan dengan prosedur berikut :
1.

2.
3.

4.

5.

Sebelum melakukan latihan, bila terdapat obstruksi saluran napas yang reversibel
dapat diberi bronkodilator. Bila terdapat hipersekresi mukus dilakukan drainase
postural dan latihan batuk. Pemberian oksigen bila penderita mendapat terapi oksigen
di rumah.
Posisi penderita bisa duduk, telentang, setengah duduk, tidur miring ke kiri atau ke
kanan, mendatar atau setengah duduk.
Penderita meletakkan salah satu tangannya di atas perut bagian tengah, tangan yang
lain di atas dada. Akan dirasakan perut bagian atas mengembang dan tulang rusuk
bagian bawah membuka. Penderita perlu disadarkan bahwa diafragma memang turun
pada waktu inspirasi. Saat gerakan (ekskursi) dada minimal. Dinding dada dan otot
bantu napas relaksasi.
Penderita menarik napas melalui hidung dan saat ekspirasi pelan-pelan melalui mulut
(pursed lips breathing), selama inspirasi, diafragma sengaja dibuat aktif dan
memaksimalkan protrusi (pengembangan) perut. Otot perut bagian depan dibuat
berkontraksi selama inspirasi untuk memudahkan gerakan diafragma dan
meningkatkan ekspansi sangkar toraks bagian bawah.
Selama ekspirasi penderita dapat menggunakan kontraksi otot perut untuk
menggerakkan diafragma lebih tinggi. Beban seberat 0,5 -1 kg dapat diletakkan di
atas dinding perut untuk membantu aktivitas ini.

26

Latihan pernapasan pernapasan diafragma sebaiknya dilakukan bersamaan dengan


latihan berjalan atau naik tangga. Selama latihan, penderita harus diawasi untuk mencegah
kesalahan yang sering terjadi seperti :
Ekspirasi paksa:
Hal ini akan memperberat obstruksi saluran napas, meningkatkan tekanan
intrapleura dan terjadi air trapping jika saluran napas yang rusak dan mudah kolaps
ditekan oleh tekanan intrapleura.

Perpanjangan ekspirasi:
Menyebabkan pernapasan berikutnya tidak teratur dan tidak efisien, pola
pernapasan kembali ke pernapasan dada bagian atas yang tidak teratur disertai dengan
aktifnya otot bantu pernapasan.
Gerakan tipuan abdomen:
Otot perut berkontraksi dan relaksasi tetapi tidak ada perbaikan dan ventilasi.
Penggunaan dada bagian atas secara berlebihan:
Hal ini dapat mengganggu gerakan diafragma, kebutuhan O2 meningkat
karena otot bantu pernapasan bekerja lebih keras.
b) Pursed lips breathing
Pursed lips breathing (PLB) dilakukan dengan cara menarik napas (inspirasi)
secara biasa beberapa detik melalui hidung (bukan menarik napas dalam) dengan
mulut tertutup, kemudian mengeluarkan napas (ekspirasi) pelan-pelan melalui mulut
dengan posisi seperti bersiul, lamanya ekspirasi 2-3 kali lamanya inspirasi, sekitar 4-6
detik. Penderita tidak diperkenankan mengeluarkan napas terlalu keras.
PLB dilakukan dengan atau tanpa kontraksi otot abdomen selama ekspirasi.
Selama PLB tidak ada udara ekspirasi yang mengalir melalui hidung, karena terjadi
elevasi involunter dari palatum molle yang menutup lubang nasofaring. Dengan
pursed lips breathing (PLB) akan terjadi peningkatan tekanan pada rongga mulut,
kemudian tekanan ini akan diteruskan melalui cabang-cabang bronkus sehingga dapat
27

mencegah air trapping dan kolaps saluran napas kecil pada waktu ekspirasi. Hal ini
akan menurunkan volume residu, kapasitas vital meningkat dan distribusi ventilasi
merata pada paru sehingga dapat memperbaiki pertukaran gas di alveol. Selain itu
PLB dapat menurunkan ventilasi semenit, frekuensi napas, meningkatkan volume
tidal, PaO2 saturasi oksigen darah, menurunkan PaCO2 dan memberikan keuntungan
subjektif karena mengurangi rasa sesak napas pada penderita. Pursed lips breathing
akan menjadi lebih efektif bila dilakukan bersama-sama dengan pernapasan
diafragma. Ventilasi alveoler yang efektif terlihat setelah latihan berlangsung lebih
dari 10 menit.
c) Latihan batuk
Batuk merupakan cara yang efektif untuk membersihkan benda asing atau
sekret dan saluran pernapasan. Batuk yang efektif harus memenuhui kriteria:
1) Kapasitas vital yang cukup untuk mendorong sekret.
2) Mampu menimbulkan tekanan intra abdominal dan intratorakal yang cukup
untuk mendorong udara pada fase ekspulsi.
Cara melakukan batuk yang baik:
Posisi badan membungkuk sedikit ke depan sehingga memberi kesempatan
luas kepada otot dinding perut untuk berkontraksi, sehingga menimbulkan tekanan
intratorak Tungkai bawah fleksi pada paha dan lutut, lengan menyilang di depan
perut. Penderita diminta menarik napas melalui hidung, kemudian menahan napas
sejenak, disusul batuk dengan mengkontraksikan otot-otot dinding perut serta badan
sedikit membungkuk ke depan.
Cara ini diulangi dengan satu fase inspirasi dan dua tahap fase ekspulsi.
Latihan diulang sampai penderita menguasai. Penderita yang mengeluh sesak napas
saat latihan batuk, diistirahatkan dengan melakukan Iatihan pernapasan diantara dim
latihan batuk. Bila penderita tidak mampu batuk secara efektif, dilakukan rangsangan
dengan alat penghisap (refleks batuk akan terangsang oleh kateter yang masuk trakea)
atau menekan trakea dari satu sisi ke sisi yang lain.

28

IV. Latihan meningkatkan kemampuan fisik


Bertujuan

meningkatkan

toleransi

penderita

terhadap

aktivitas

dan

meningkatkan kemampuan fisik, sehingga penderita hidup lebih aktif dan lebih
produktif. Pengaturan tingkat latihan dimulai dengan tingkat berjalan yang
disesuaikan dengan kemampuan awal tiap penderita secara individual, yang kemudian
secara bertahap ditingkatkan ke tingkat toleransi yang paling besar. Jarak maksimum
dalam latihan berjalan yang dicapai oleh penderita merupakan batas untuk mulai
meningkatkan latihan dengan menaiki tangga. Selama latihan penderita harus dibantu
dengan pemberian oksigen untuk menghindari penununan saturasi oksigen secara
drastis yang dapat membahayakan jantung. Penderita harus diawasi dengan baik,
secara berkala gas darah arteri diukur tenutama pada penderita dengan hipoventilasi
alveoler, untuk mencegah retensi CO2 yang berlebihan.
Pemberian oksigen selama latihan harus diteruskan sampai penderita
mendapat manfaat yang maksimal, setelah itu lambat laun dapat dikurangi.

BAB III
DAFTAR PUSTAKA
29

1. Fauci, Anthony S. Kasper, Dennis L. Longo, Dan L. Braunwald, Hauser, Eugene


Stephen L. Jameson, J. Larry. Loscalzo, Joseph. Chapter 158 Tuberculosis in:
Harrison principle of internal medicine 17th edition. USA: Mc Graw Hill. 2008
2. Iseman, Michael D. Chapter 345 Tuberculosis in: Goldman, Lee. Ausiello, Dennis.
Cecil medicine 23rd edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2008.
3. Baliga, Ragavendra. Hough, Rachel. Haq, Iftikhar. Crash course internal medicine.
United Kingdom: Elsevier Mosby. 2007.
4. Fitzpatrick, Lisa K. Braden, Christopher. Chapter 294 Tuberculosis in: Humes, David.
Dupont, Herbert L. Kelley textbook of medicine USA: Lippincott Williams & Wilkins
2000.
5. World Health Organization. World Global Tuberculosis Control 2011. Geneva World
Health Organization. 2011
6. World Health Organization. Multi drug and extensively drug 2010 global report on
surveillance and response. Geneva: World Health Organization 2011
7. World Health Organization. World Global Tuberculosis Control 2010. Geneva World
Health Organization. 2010
8. Rao, C. Kosen, S. Bisara, D. Usman, Y. Adair, T. Djaja, S. Suhardi, S. Soemantri, S.
Lopez, AD. Tuberculosis mortality differentials in Indonesia during 2007-2008:
evidence for health policy and monitoring. Int J Tuberc Lung Dis. 2011
Dec;15(12):1608-14.
9. Mohan A, Sharma SK. Fibreoptic bronchoscopy in the diagnosis of sputum smearnegative pulmonary tuberculosis: current status. Indian J Chest Dis Allied Sci. 2008
Jan-Mar;50(1):67-78.
10. Herchline, Thomas E. Tuberculosis. [online] updated December 9 2011. Cited at
december 18 2011.Downloaded from www.emedicine.medscape.com/article/230802overview

30

Anda mungkin juga menyukai

  • TP (DR - Nyoman)
    TP (DR - Nyoman)
    Dokumen8 halaman
    TP (DR - Nyoman)
    Siska Paramita
    Belum ada peringkat
  • Varicella PH Fajrin
    Varicella PH Fajrin
    Dokumen16 halaman
    Varicella PH Fajrin
    Safitri Ningrum
    Belum ada peringkat
  • TP (DR - Nyoman)
    TP (DR - Nyoman)
    Dokumen8 halaman
    TP (DR - Nyoman)
    Siska Paramita
    Belum ada peringkat
  • Refrat Mastoiditis
    Refrat Mastoiditis
    Dokumen28 halaman
    Refrat Mastoiditis
    Yurnisa Fauziah
    100% (1)
  • Ulkus-Kornea Mata Februari2015
    Ulkus-Kornea Mata Februari2015
    Dokumen28 halaman
    Ulkus-Kornea Mata Februari2015
    Safitri Ningrum
    Belum ada peringkat
  • SINUSITIS
    SINUSITIS
    Dokumen31 halaman
    SINUSITIS
    Safitri Ningrum
    Belum ada peringkat
  • Presus Paru
    Presus Paru
    Dokumen30 halaman
    Presus Paru
    Safitri Ningrum
    Belum ada peringkat
  • Ulkus-Kornea Mata Februari2015
    Ulkus-Kornea Mata Februari2015
    Dokumen28 halaman
    Ulkus-Kornea Mata Februari2015
    Safitri Ningrum
    Belum ada peringkat
  • Tugas Tabel
    Tugas Tabel
    Dokumen3 halaman
    Tugas Tabel
    FajrinUtami
    Belum ada peringkat
  • Wrap Up
    Wrap Up
    Dokumen26 halaman
    Wrap Up
    Safitri Ningrum
    Belum ada peringkat
  • Varicella PH Fajrin
    Varicella PH Fajrin
    Dokumen16 halaman
    Varicella PH Fajrin
    Safitri Ningrum
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Brenda Karina
    Belum ada peringkat
  • Varicella PH Fajrin
    Varicella PH Fajrin
    Dokumen16 halaman
    Varicella PH Fajrin
    Safitri Ningrum
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Brenda Karina
    Belum ada peringkat
  • Jurnal
    Jurnal
    Dokumen2 halaman
    Jurnal
    Fitri Zahara
    Belum ada peringkat
  • Referat OMA
    Referat OMA
    Dokumen36 halaman
    Referat OMA
    Safitri Ningrum
    Belum ada peringkat
  • NAPZA
    NAPZA
    Dokumen44 halaman
    NAPZA
    Safitri Ningrum
    Belum ada peringkat