BAB I
LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS
Nama
No. RM
Kelamin
Umur
Alamat
: Tn. Parman
: 692915
: Laki-laki
: 61 tahun
:Jl.Pandan Alas nomer 22 A RT 03/02 Cijantung,
Jakarta Timur No. HP 082110501100
Status perkawinan
: Menikah
Pekerjaan
: Wiraswasta
Agama
: Islam
Bangsa
: Indonesia
Tanggal masuk RS : 21/04/2015
Tanggal pemeriksaan : 22/04/2015
Ruang Perawatan
: Parkit 1
II.
KELUHAN UTAMA
Sesak nafas
III.
ANAMNESIS
Pasien datang dengan keluhan sesak dan batuk yang dirasakan sejak 1
bulan sebelum masuk rumah sakit, batuk berdahak dan berwarna putih.
pasien juga mengeluhkan rasa panas di perutnya. Selain itu pasien juga
mengalami demam yang dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien mempunyai riwayat merokok sejak usia muda dan pasien
bisa menghabiskan 1 bungkus rokok dalam sehari. Sebelumnya pasien
pernah dirawat di rumah sakit sebanayak 3 kali dengan keluhan yang
sama. Keluhan utama seperti sesak dapat dirasakan pasien pada saat
melakukan aktivitas ringan. Dirumah pasien menggunakan alat nebulizer
yang berisi combivent 3-4 kali sehari terutama pada saat pasien merasa
sesak pada saat aktivitas. Karena keluarga pasien merasa pasien tidak
mengalami perbaikan dan pasien juga mengalami sesak disertai batuk,
maka pasien dibawa ke RS untuk penaganan lebih lanjut. Pasien
menyangkal adanya riwayat pengobatan OAT selama 6 bulan, riwayat
asma (-), riwayat hipertensi (-), riwayat diabetes melitus (-), riwayat alergi
(-).
IV.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
: Tampak sakit sedang.
Kesadaran
: Compos mentis
Status Gizi
Berat badan
: 56 kg
Tinggi badan : 160 cm
Tanda Vital
Tekanan darah
Nadi = Heart Rate
Respirasi
Suhu
: 130/80 mmHg
: 105 x/menit
: 28 x/menit
: 37,4 oC
Kepala
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Leher
Inspeksi
Palpasi
Kulit
Toraks
Pulmo
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Tanggal Pemeriksaan : 20/04/2015
HEMATOLOGI
Hemoglobin
15,5 g/dl
13-16 g/dl
Leukosit
13.600 /ul
5,000-10,000 /ul
Hematokrit
44 %
Trombosit
325.000 /ul
40-48 %
150,000-400,000 /ul
KIMIA KLINIK
Glukosa Glukometer
87 mg/dl
<200 mg/dl
b. Rontgen thoraks
Kesan :
CTR < 50 %
Tulang dan jaringan lemak baik
Hiperinflasi di kedua lapang paru
Hiperulsen di kedua lapang paru
Tampak pelebaran sela iga
Follow Up
21 April 2015
22 April 2015
S: sesak (+), batuk (+), demam S: sesak (+), batuk (+), demam
(+), panas pada daerah perut
(+)
O:
TD: 110/80 mmHg
N: 118x/mnt
RR: 36x/mnt
S: 38 C
VI.
O:
TD: 130/80 mmHg
N: 105x/mnt
RR: 28 x/mnt
S: 37,4 C
RESUME
Pasien datang dengan keluhan sesak dan batuk yang dirasakan sejak 1 bulan
sebelum masuk rumah sakit, batuk berdahak dan berwarna putih. pasien juga
mengeluhkan rasa panas di perutnya. Selain itu pasien juga mengalami demam
yang dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mempunyai
riwayat merokok sejak usia muda dan pasien bisa menghabiskan 1 bungkus rokok
dalam sehari. Sebelumnya pasien pernah dirawat di rumah sakit sebanayak 3 kali
dengan keluhan yang sama. Keluhan utama seperti sesak dapat dirasakan pasien
pada saat melakukan aktivitas ringan. Dirumah pasien menggunakan alat
nebulizer yang berisi combivent 3-4 kali sehari terutama pada saat pasien merasa
sesak pada saat aktivitas. Karena keluarga pasien merasa pasien tidak mengalami
perbaikan dan pasien juga mengalami sesak disertai batuk, maka pasien dibawa ke
RS untuk penaganan lebih lanjut. Pasien menyangkal adanya riwayat pengobatan
OAT selama 6 bulan, riwayat asma (-), riwayat hipertensi (-), riwayat diabetes
melitus (-), riwayat alergi (-).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan pasien tampak sakit sedang status gizi
baik. Pada inspeksi, palpasi dan perkusi paru dalam batas normal, pada auskultasi
terdengar wheezing +/+, ronki +/+. Pada pemeriksaan penunjang foto rontgen
thoraks didapatkan gambaran CTR < 50 %, Tulang dan jaringan lemak baik,
hiperinflasi di kedua lapang paru, Hiperulsen di kedua lapang paru,Tampak
pelebaran sela iga.
VII.
DIAGNOSIS KERJA
PPOK Eksaserbasi Akut
VIII. PENATALAKSANAAN
IUFD RL 20 tpm
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Inj. Ceftriaxone 2x1
Drip. Aminophyline 3amp/24jam
PCT 3x500 mg
Inhalasi combivent 4x/hari uap
GG 3x1
Metilprednisolon 3x 62,5
I.
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: dubia ad bonam
BAB II
LANDASAN TEORI
1. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak
sepenuhnya reversibel2.(guideline GOLD terbaru)
Hambatan aliran udara pada penyakit ini seringkali disebabkan oleh
diameter saluran nafas yang menyempit berkaitan dengan beberapa faktor, antara
lain meningkatnya ketidakelastisan dinding saluran nafas, meningkatnya produksi
sputum di saluran nafas, dan lain sebagainya. Gangguan aliran udara di dalam
saluran nafas disebabkan proses inflamasi paru yang menyebabkan terjadinya
kombinasi penyakit saluran napas kecil ([[small airway disease]]) dan destruksi
parenkim (emfisema). Kerusakan
definitif yang berguna secara klinis dan epidemiologi, sehingga bronkitis kronis
dianggap sebagai diagnosis klinis.
2. Gejala Klinis
Gejala PPOK sangat bervariasi dari satu penderita ke penderita lainnya,
dapat dimulai dengan tanpa gejala, gejala ringan sampai berat, mulai dari tanpa
kelainan fisik sampai kelainan fisik yang jelas dan tanda inflasi paru. Oleh karena
itu dibutuhkan diagnosa yang akurat, pemeriksaan penunjang dan diagnosa
banding untuk dapat menegakkan penyakit PPOK.2
Seseorang diduga menderita PPOK bila (i) mengalami batuk kronis yang
umumnya muncul pada siang hari, jarang pada malam hari, (ii) memproduksi
sputum kronis, (iii) -sering mengalami bronkitis akut, (iv) sesak nafas setiap hari,
memburuk pada saat melakukan aktivitas dan terkena infeksi, (v) punya riwayat
terpapar asap rokok (baik perokok aktif maupun perokok pasif), polusi udara,
debu dan bahan kimia di tempat kerja, ataupun asap hasil pembakaran alat masak,
misalnya kayu bakar, arang yang terus menerus (setiap hari sepanjang tahun),
disertai dengan pemeriksaan faal paru. Indikator diagnosis PPOK adalah penderita
di atas usia 40 tahun, dengan sesak napas yang progresif, memburuk dengan
aktivitas, persisten, batuk kronik, produksi sputum kronik, riwayat pajanan rokok,
asap atau gas berbahaya di dalam lingkungan kerja atau rumah.
Penyakit ini seringkali tidak berdiri sendiri, tapi selalu disertai komorbid
yang berkaitan dengan rokok atau ketuaan, karena memang PPOK seringkali
terjadi pada orang perokok dalam jangka lama dan usia lanjut. Penurunan berat
badan, abnormalitas nutrisi dan disfungsi otot skeletal adalah beberapa dampak
PPOK pada ekstrapulmonal. PPOK juga akan meningkatkan risiko terjadinya
infark myokard, angina, osteoporosis, infeksi pernafasan, fraktur, depresi,
diabetes, gangguan tidur, anemia , glukoma dan juga kanker paru.
3. Faktor Resiko
3.1. Genetik.
Merokok.
Perokok memeliki prevalensi yang lebih tinggi menderita gejala
dan gangguan fungsi paru, penurunan FEV1 setiap tahun dan angka
mortalitas PPOK yang lebih besar. Resiko PPOK pada perokok,
bergantung pada banyaknya rokok yang dikonsumsi, usia pertama kali
mulai merokok, jumlah total rokok yang dihisap pertahun dan status
merokok saat ini.
akan
BAB III
Patogenesis dan Patofisologis PPOK
Asap rokok dan partikel berbahaya, menyebabkan inflamasi pada paruparu yang merupakan suatu respon normal, yang tampak menjadi lebih berat pada
penderita PPOK. Respon abnormal ini menyebabkan
kerusakan jaringan
Patogenesis
Inflamasi paru pada pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi
normal terhadap partikel dan gas beracun seperti asap rokok yang berlangsung
lama. Selain itu faktor genetik ikut mempengaruhi. Inflamasi lebih lanjut,
diperburuk oleh stress oksidatif dan kelebihan proteinase pada paru-paru. Secara
bersamaan, mekanisme ini akan menyebabkan perubahan patologis.
PPOK ditandai oleh pola tertentu dari inflamasi yang melibatkan netrofil,
makrofag dan limfositosis. Sel-sel ini akan melepaskan mediator inflamasi dan
10
berinteraksi dengan sel struktural, pada saluran nafas dan parenkim paru. Berbagai
mediator inflamasi itu, akan menarik sel inflamasi dari darah ( faktor kemotakik),
memperkuat proses inflamasi (sitokin proinflamasi), dan menginduksi perubahan
struktural (faktor pertumbuhan).
Stress oksidatif mungkin merupakan mekanisme penguat dari proses
terjadinya PPOK. stress oksidatif lebih lanjut, meningkat pada eksaserbasi.
Oksidan dihasilkan oleh asap rokok dan partikulat lainnya, dan dilepaskan dari sel
inflamasi teraktifasi seperti makrofag dan neutrofil. Stress oksidatif memiliki
konsekuensi buruk pada paru paru, yang meliputi aktifasi gen inflamasi, inaktifasi
antiprotese yang menstimulasi sekresi mukus dan eksudat plasma.
PATOGENESIS
Asap rokok, Partikel dan gas
beracun
Faktor
penjamu
Inflam
asi paru
Anti
Antiprot
oksidan
ease
Stress
Pr
oksidatif
otease
Mekanisme
perbaikan
Patologi
PPOK
Patofisiologis
Inflamasi dan air trapping adalah dasar dari PPOK. Pada pasien PPOK penurunan
FEV1 disebakan inflamasi dan penyempitan saluran nafas periferal, sementara
11
sejak awal penyakit dan merupakan mekanisme utama untuk dispnea eksersional.
Abnormalitas dari pertukaran gas itu akan menyebabkan terjadinya hipoksemia
dan hiperkapnia. Akibat dari obstruksi saluran nafas periferal menyebabkan
ketidakseimbangan
12
BAB IV
DIAGNOSIS PPOK
Diagnosis PPOK secara teoritis ditegakkan didasarkan atas anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan fungsi paru atau
spirometri.
I.
Anamnesis
PPOK adalah suatu penyakit menahun, gangguan saluran napas secara
bertahap selama bertahun-tahun. Umumnya terjadi pada perokok, dimulai
dengan berkurangnya kemampuan untuk melakukan pekerjaan berat,
terjadinya perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru. Timbul batuk
prodiktif yang lama, mulai sering mendapat infeksi berulang saluran nafas,
kemudian secara perlahan disertai sesak nafas, dan sudah tidak mampu untuk
melakukan aktifitas sehari hari.
Diagnosis klinis PPOK seyogyanya dipertimbangkan pada setiap
penderita yang mengalami dyspneu, batuk kronis dengan produksi sputum
dan/ atau adanya faktor resiko (genetik: defisiensi alfa-1 antitripsin, paparan
rokok dan polusi udara, oksidatif stres, gender, usia, infeksi saluran nafas, dll).
Batuk-batuk pada pagi hari sering dikatakan oleh penderita karena merokok,
dan dianggap bukan sebagai keluhan oleh penderita. Makin lama batuk makin
berat, timbul sepanjang hari. Bila disertai infeksi saluran nafas, batuk akan
bertambah hebat dan berkurang bila infeksi menghilang. Umumnya sputum
pasien PPOK berwarna putih atau mukoid, bila terdapat infeksi akan menjadi
13
purulen atau mukopurulen dan kental. Keluhan sesak bertambah berat bila
terdapat infeksi.
II.
Pemeriksaan Fisik
Pada stadium dini tidak diketemukan kelainan. Hanya kadang kadang
terdengar ronkhi pada waktu inspirasi dalam. Bila sudah ada keluhan sesak,
akan terdengar ronkhi pada waktu ekspirasi dan inspirasi disertai mengi.
Pasien biasanya tampak kurus, juga didapatkan tanda tanda overinflasi
paru seperti diameter anteroosterior dada meningkat ( barrel-shaped chest ),
kifosis, jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan supra sternal kurang
dari 3 jari, iga lebih horisontal dan sudut subkostal bertambah. Fremitus taktil
dada berkurang bahkan tidak ada
Pada perkusi dada terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas
paru hati lebih rendah, dan pekak jantung berkurang. Suara nafas vesikuler
berkurang dengan ekspirasi memanjang atau kadang normal. Kadang disertai
kontraksi otot otot pernafasan tambahan. Lebih sering didapatkan dengan
hernia inguinalis.
III.
Pemeriksaan Radiologis
Pada foto toraks pasien curiga PPOK bisa didapatkan normal atau tidak ada
kelainan, dapat juga ditemukan gambaran bayangan bronkus yang menebal,
corakan bronkovaskuler meningkat,bula, diapragma letak rendah dan
mendatar, paru paru lebih hiperlusen karena adanya air trapping, disertai
posisi jantung yang menggantung.
IV.
14
DIAGNOSIS PPOK
Sesak nafas
Batuk kronik disertai
Faktor resiko
Usia
Riwayat pajanan : asap
rokok, polusi udara, polusi tempat
kerja
dahak
Keterbatasan aktifiti
Pemeriksaan
fisik *
Curiga
Pemeriksaan
Infiltrat,
foto torak
PPOK **
Fasiliti
massa, dll
Fasiliti
spirometri (-)
spirometri (+)
N
ormal
PPOK
secara klinis
Beresiko
PPOK derajat 0
PPOK
Derajat
I/II/III/IV
Bukan
PPOK
15
KETERANGAN
* Pemeriksaan fisik :
a. Normal
b. Kelainan
Bentuk dada : Barrel chest
Penggunaan otot bantu
pernapasan
Pelebarab sela iga
Hipertrofi otot bantu nafas
Fremitus melemah, sela iga
melebar
Hipersonor
Suara nafas vesikuler
melemah atau normal
Ekspirasi memanjang
Mengi
**Foto toraks curiga PPOK
a.
b.
Normal
Kelainan
Hiperinflasi
Hiperlusen
Diafragma mendatar
Corakan bronkovaskuler
meningkat
Bullae
Jantung pendulum
KLASIFIKASI PPOK
DERAJAT
Derajat 0 :
KLINIS
Gejala kronik (batuk, dahak)
FAAL PARU
Spirometri normal
beresiko
Derajat I :
PPOK Ringan
Derajat II A:
klinik (
VEP1 80% prediksi
Dengan atau tanpa gejala VEP1/KVP < 75%
PPOK Sedang
klinik
Derajat II B:
PPOK Sedang
klinik
Derajat III:
Gagal
PPOK Berat
jantung kanan
atau
Diagnosis Banding
1.
a.
b.
c.
d.
e.
PPOK
Onset usia pertengahan
Gejala progresif lambat
Riwayat merokok (lama dan jumlah rokok)
Sesak saat aktifitas
Hambatan aliran udara ireversibel
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Pada Asma
Onset usia dini
Gejala bervariasi dari hari ke hari
Gejala pada waktu malam lebih menonjol
Dapat diketemukan alergi, rhinitis dan eksim
Riwayat asma dalam keluarga
Hambatan aliran udaranya reversibel
a.
b.
c.
d.
2.
3.
16
4.
Pada Tuberkulosis
a. Onset semua usia
b. Gambaran foto torak infiltrat
c. Konfirmasi pemeriksaan mikrobiologi (BTA)
5.
BAB V
PENATALAKSANAAN PASIEN PPOK
Dampak PPOK pada seseorang pasien, bergantung tidak hanya pada derajat
keterbatasan saluran nafas, tetapi juga pada keparahan gejalanya. Staging berdasarkan
spirometri, adalah pendekatan pragmatik yang ditujukan pada implementasi praktis dan harus
digunakan sebagai alat edukasi dan suatu indikasi umum untuk dilakukan pengobatan.
17
menjadi perhatian utama, karena asap rokok merupakan penyebab terpenting bagi timbulnya
PPOK.
Untuk mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan melalui 4 komponen program
tatalaksana :
1.
3.
19
Tatalaksana
PPOK stabil
EDUKASI
FARMAKOL
OGI
Berhenti
merokok
Pengetahu
an dasar PPOK
Obatobatan
Pencegaha
n perburukan
penyakit
Menghinda
ri pencetus
Penyesuaia
n aktifitas
NON
FARMAKOLOGI
REGULER
Bronkodilato
r
Anti
kolinergik
2 Agonis
Xantin
Kombinasi
SABA +
Antikolinergik
Kombinasi
LABA +
Kortikosteroid
Antioksidan
Rehabilitasi
Terapi oksigen
Vaksinasi *
Nutrisi
Ventilasi non
mekanik
Intervensi
bedah
Dipertimban
gkan mukolitik
Keterangan :
Kortikosteroid hanya diberikan kepada penderita dengan uji steroid positif. Uji
steroid positif adalah bila dengan pemberian steroid oral selama 10-14 hari atau
inhalasi selama 6 minggu 3 bulan menujukkan perbaikan gejala klinisatau
fungsi paru.
SABA : short acting 2 Agonis
LABA : long actng 2 Agonis
* Vaksinasi Influensa dipertimbangkan pemberiannya pada :
Pasien usia diatas 60 tahun
Pasien PPOK sedang dan berat
4.
Batuk bertambah
Produksi sputum bertambah
Sputum berubah warna
Sesak napas bertambah
Keterbatasan aktifitas bertambah
Penurunan kesadaran
21
BAB VI
REHABILITASI pada PENDERITA PPOK
Pada penderita PPOK, terdapat gangguan mekanis dan pertukaran gas pada sistim
pernapasan dan menurunnya aktivitas fisik pada kehidupan sehari-hari. Peningkatan volume
paru dan tahanan aliran udara dalam saluran napas akan meningkatkan kerja pernapasan.
Penyakit ini bersifat kronis dan progrresif, makin lama kemampuan penderita akan menurun
bahkan penderita akan kehilangan stamina fisiknya.
Parameter penting keberhasilan penanganan pasien PPOK adalah meningkatnya
kualitas hidup pasien. Dalam mengelola penderita PPOK, di samping pemberian obat-obatan
dan penghentian merokok juga diperlukan terapi tambahan yang ditujukan untuk mengatasi
masalah tersebut yakni rehabilitasi medis, khususnya fisioterapi pernapasan.
Fisioterapi pernapasan adalah suatu tindakan dalam rehabilitasi medis yang bertujuan
mengurangi cacat atau ketidak mampuan penderita, dan diharapkan penderita merasa terbantu
untuk mengatasi ketidak mampuannya sehingga mereka dapat mengurus diri sendiri tanpa
22
banyak tergantung pada orang lain. Namun sayangnya upaya ini kurang diminati oleh para
dokter bahkan sering kali dilupakan orang.
TUJUAN REHABILITASI PARU
Rehabilitasi didefinisikan sebagai : memulihkan individu ke arah potensi fisik, medik,
mental, emosional, ekonomi sosial dan vokasional sepenuhnya menurut kemampuannya.
Maka jelaslah bahwa tingkat pemenuhan tujuan program rehabilitasi paru tergantung pada
derajat insufisiensi pernapasan, dan tindakan yang ditempuh tergantung pula pada faktorfaktor yang berpengaruh pada penderita. Meskipun demikian, tiap usaha harus dilakukan
untuk membawa penderita. ke arah perbaikan fisik yang maksimal dan pemakaian energi
yang optimal tetapi efisien, sehingga penderita dapat melakukan pekerjaannya sehari-hari.
Jika hal ini tidak mungkin, harus diusahakan latihan kerja yang lebih ringan, dan harus
ditekankan agar penderita mempunyai percaya diri dan mengurangi ketergantungan pada
keluarga dan masyarakat.
REHABILITASI PARU PADA PPOK
Dalam mengelola penderita PPOK, rehabilitasi medis pada paru (rehabilitasi
pulmonal) mempunyai 2 aspek yakni:
1) Rehabilitasi fisik, terdiri dari:
1.1. Latihan relaksasi
1.2. Terapi fisik dada
1.3. Latihan pernapasan
1.4. Latihan meningkatkan kemampuan fisik
2) Rehabilitasi psikososial dan vokasional, terdiri dari:
2.1. Pendidikan perseorangan dan keluarga
2.2. Latihan pekerjaan
2.3. Penempatan tugas
2.4. Latihan merawat diri sendiri
Kedua aspek rehabilitasi medis tersebut diterapkan dalam mengelola semua penderita
PPOK tanpa memandang etiologi dan derajat penyakitnya. Rehabilitasi fisik dapat dilakukan
23
pada stadium dini atau stadiun lanjut dari penyakitnya. Penderita dilatih untuk memakai
cadangan napasnya seefektif mungkin dengan mengubah pola bernapas untuk memperoleh
potensi yang optimal bagi kegiatan fisiknya.
Rehabilitasi psikososial dan vokasional dipertimbangkan bila penderita tidak dapat
mencapai keinginan fisik-psikologis untuk melakukan kegiatan seperti biasanya. Bila
pendidikan pada tingkat tersebut tidak mungkin, rehabilitasi ditujukan untuk memberi
kesempatan pada penderita untuk dapat melakukan kegiatan minimal termasuk mengurus diri
sendiri.
I. Latihan relaksasi
Tujuan latihan relaksasi adalah:
1) Menurunkan tegangan otot pernapasan, terutama otot bantu pernapasan.
2) Menghilangkan rasa cemas karena sesak napas.
3) Memberikan sense of well being.
Penderita PPOK yang mengalami insufisiensi pernapasan selalu merasa
tegang, cemas dan takut mati tersumbat. Untuk mengatasi keadaan ini penderita
berusaha membuat posisi yang menguntungkan terutama bagi gerakan diafragmanya.
Sikap ini dicapai dengan memutar bahu ke depan dan membungkukkan badan ke
depan pula. Sikap ini selalu diambil setiap akan memulai rehabilitasi fisik (drainase
postural, latihan pernapasan). Agar penderita memahami, latihan ini harus
diperagakan. Latihan relaksasi hendaknya dilakukan di ruangan yang tenang, posisi
yang nyaman yaitu telentang dengan bantal menyangga kepala dan guling di bawah
lutut atau sambil duduk.
II. Terapi fisik dada
Timbunan sekret yang sangat kental jika tidak dikeluarkan akan menyumbat
saluran napas dan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kuman. Infeksi
mengakibatkan radang yang menambah obstruksi saluran napas. Bila berlangsung
terus sehingga mengganggu mekanisme batuk dan gerakan mukosilier, maka
timbunan sekret merupakan penyulit yang cukup serius.
24
banyak
atau
diberikan
mukolitik,
bronkodilator
perinhalasi
untuk
waktu ekspirasi. Pada umumnya letak diafragma rendah dan posisi sangkar toraks
sangat tinggi sehingga secara mekanis otot-otot pernapasan bekerja kurang efektif.
Pada umumnya fungsi diafragma penderita PPOK kurang dan 35% volume tidal,
akibatnya penderita selalu menggunakan otot-otot bantu pernapasan. Latihan otot-otot
25
2.
3.
4.
5.
Sebelum melakukan latihan, bila terdapat obstruksi saluran napas yang reversibel
dapat diberi bronkodilator. Bila terdapat hipersekresi mukus dilakukan drainase
postural dan latihan batuk. Pemberian oksigen bila penderita mendapat terapi oksigen
di rumah.
Posisi penderita bisa duduk, telentang, setengah duduk, tidur miring ke kiri atau ke
kanan, mendatar atau setengah duduk.
Penderita meletakkan salah satu tangannya di atas perut bagian tengah, tangan yang
lain di atas dada. Akan dirasakan perut bagian atas mengembang dan tulang rusuk
bagian bawah membuka. Penderita perlu disadarkan bahwa diafragma memang turun
pada waktu inspirasi. Saat gerakan (ekskursi) dada minimal. Dinding dada dan otot
bantu napas relaksasi.
Penderita menarik napas melalui hidung dan saat ekspirasi pelan-pelan melalui mulut
(pursed lips breathing), selama inspirasi, diafragma sengaja dibuat aktif dan
memaksimalkan protrusi (pengembangan) perut. Otot perut bagian depan dibuat
berkontraksi selama inspirasi untuk memudahkan gerakan diafragma dan
meningkatkan ekspansi sangkar toraks bagian bawah.
Selama ekspirasi penderita dapat menggunakan kontraksi otot perut untuk
menggerakkan diafragma lebih tinggi. Beban seberat 0,5 -1 kg dapat diletakkan di
atas dinding perut untuk membantu aktivitas ini.
26
Perpanjangan ekspirasi:
Menyebabkan pernapasan berikutnya tidak teratur dan tidak efisien, pola
pernapasan kembali ke pernapasan dada bagian atas yang tidak teratur disertai dengan
aktifnya otot bantu pernapasan.
Gerakan tipuan abdomen:
Otot perut berkontraksi dan relaksasi tetapi tidak ada perbaikan dan ventilasi.
Penggunaan dada bagian atas secara berlebihan:
Hal ini dapat mengganggu gerakan diafragma, kebutuhan O2 meningkat
karena otot bantu pernapasan bekerja lebih keras.
b) Pursed lips breathing
Pursed lips breathing (PLB) dilakukan dengan cara menarik napas (inspirasi)
secara biasa beberapa detik melalui hidung (bukan menarik napas dalam) dengan
mulut tertutup, kemudian mengeluarkan napas (ekspirasi) pelan-pelan melalui mulut
dengan posisi seperti bersiul, lamanya ekspirasi 2-3 kali lamanya inspirasi, sekitar 4-6
detik. Penderita tidak diperkenankan mengeluarkan napas terlalu keras.
PLB dilakukan dengan atau tanpa kontraksi otot abdomen selama ekspirasi.
Selama PLB tidak ada udara ekspirasi yang mengalir melalui hidung, karena terjadi
elevasi involunter dari palatum molle yang menutup lubang nasofaring. Dengan
pursed lips breathing (PLB) akan terjadi peningkatan tekanan pada rongga mulut,
kemudian tekanan ini akan diteruskan melalui cabang-cabang bronkus sehingga dapat
27
mencegah air trapping dan kolaps saluran napas kecil pada waktu ekspirasi. Hal ini
akan menurunkan volume residu, kapasitas vital meningkat dan distribusi ventilasi
merata pada paru sehingga dapat memperbaiki pertukaran gas di alveol. Selain itu
PLB dapat menurunkan ventilasi semenit, frekuensi napas, meningkatkan volume
tidal, PaO2 saturasi oksigen darah, menurunkan PaCO2 dan memberikan keuntungan
subjektif karena mengurangi rasa sesak napas pada penderita. Pursed lips breathing
akan menjadi lebih efektif bila dilakukan bersama-sama dengan pernapasan
diafragma. Ventilasi alveoler yang efektif terlihat setelah latihan berlangsung lebih
dari 10 menit.
c) Latihan batuk
Batuk merupakan cara yang efektif untuk membersihkan benda asing atau
sekret dan saluran pernapasan. Batuk yang efektif harus memenuhui kriteria:
1) Kapasitas vital yang cukup untuk mendorong sekret.
2) Mampu menimbulkan tekanan intra abdominal dan intratorakal yang cukup
untuk mendorong udara pada fase ekspulsi.
Cara melakukan batuk yang baik:
Posisi badan membungkuk sedikit ke depan sehingga memberi kesempatan
luas kepada otot dinding perut untuk berkontraksi, sehingga menimbulkan tekanan
intratorak Tungkai bawah fleksi pada paha dan lutut, lengan menyilang di depan
perut. Penderita diminta menarik napas melalui hidung, kemudian menahan napas
sejenak, disusul batuk dengan mengkontraksikan otot-otot dinding perut serta badan
sedikit membungkuk ke depan.
Cara ini diulangi dengan satu fase inspirasi dan dua tahap fase ekspulsi.
Latihan diulang sampai penderita menguasai. Penderita yang mengeluh sesak napas
saat latihan batuk, diistirahatkan dengan melakukan Iatihan pernapasan diantara dim
latihan batuk. Bila penderita tidak mampu batuk secara efektif, dilakukan rangsangan
dengan alat penghisap (refleks batuk akan terangsang oleh kateter yang masuk trakea)
atau menekan trakea dari satu sisi ke sisi yang lain.
28
meningkatkan
toleransi
penderita
terhadap
aktivitas
dan
meningkatkan kemampuan fisik, sehingga penderita hidup lebih aktif dan lebih
produktif. Pengaturan tingkat latihan dimulai dengan tingkat berjalan yang
disesuaikan dengan kemampuan awal tiap penderita secara individual, yang kemudian
secara bertahap ditingkatkan ke tingkat toleransi yang paling besar. Jarak maksimum
dalam latihan berjalan yang dicapai oleh penderita merupakan batas untuk mulai
meningkatkan latihan dengan menaiki tangga. Selama latihan penderita harus dibantu
dengan pemberian oksigen untuk menghindari penununan saturasi oksigen secara
drastis yang dapat membahayakan jantung. Penderita harus diawasi dengan baik,
secara berkala gas darah arteri diukur tenutama pada penderita dengan hipoventilasi
alveoler, untuk mencegah retensi CO2 yang berlebihan.
Pemberian oksigen selama latihan harus diteruskan sampai penderita
mendapat manfaat yang maksimal, setelah itu lambat laun dapat dikurangi.
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
29
30