Anda di halaman 1dari 3

a.

Sjogren syndrome
Sjogren syndrome atau sering disebut autoimmune exocrinopathy
adalah penyakit autoimun sistemik yang terutama mengenai kelenjer eksokrin
dengan gejala kekeringan persisten pada mulut dan mata akibat gangguan
fungsional kelenjer saliva dan lakrimalis. Sindrom Sjogren diklasifikasikan
sebagai Sindrom Sjogren Primer bila tidak berkaitan dengan penyakit autoimun
sistemik dan Sindrom Sjogren Sekunder bila berkaitan dengan penyakit
autoimun sistemik lainnya seperti Artritis Reumatoid, SLE dan Sklerosis
Sistemik. Etiologi Sjogren syndrome belum diketahui, beberapa tulisan ilmiah
menyatakan bahwa penyakit ini bersifat herediter, yang mana faktor genetik
memicu terjadinya penyakit ini (Yahrini, 2009). Etiologi Sjogren syndrome
belum diketahui, penyakit ini bersifat herediter, faktor genetik memicu
terjadinya penyakit ini (Yahrini, 2009). Sjogren syndrome terjadi karena
infiltrasi pada glandula lakrimalis dan saliva oleh limfosit dan sel plasma yang
menurun (Behrman dkk, 2000).
Pada awal penyakit gejala yang paling sering adalah xerostomia.
Keluhan lain adalah kesulitan mengunyah dan menelan makanan, kesulitan
mengunakan gigi bawah serta mulut rasa panas. Tetapi beberapa pasien ada
yang tanpa gejala. Pemeriksaan yang paling spesifik untuk kelenjer saliva
pasien Sindrom Sjogren adalah biopsi Labial Salivary Gland ( LSG). Keluhan
xerostomia merupakan eksokrinopati pada kelenjer ludah yang menimbulkan
keluhan mulut kering karena menurunnya produksi kelenjer saliva. Akibat
mulut kering ini sering pasien mengeluh kesulitan menelan makanan dan
berbicara lama. Selain itu kepekaan lidah berkurang dalam merasakan
makanan, gigi banyak yang mengalami karies. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan mukosa mulut yang kering dan sedikit kemerahan, atropi papila
filiformis pada pangkal lidah, serta pembesaran kelenjer (Yuliasih, 2006).
b. Diabetes Mellitus
Diabets Mellitus adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan
terjadinya hiperglikemi akibat ganggua sekresi insulin atau kerja insulin

sehingga terjadi abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemat, dan protein.


Berdasarkan etiologinya, penyakit ini diklasifikasikan menjadi diabetes mellitus tipe
1 dan tipe 2. Diabetes mellitus tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes

Mellitus (IDDM) terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas sehingga
mengakibatkan defisiensi absolut insulin, sedangkan pada diabetes mellitus tipe 2
atau Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) timbul akibat disfungsi
seluler dalam kondisi resistensi insulin oleh jaringan perifer. (Soegondo, 2011).
Manifestasi klinis diabetes mellitus antara lain poliuria, polidipsia, polifagia,
dan penurunan berat badan secara idiopatik. Beberapa studi menegaskan bahwa
individu yang mengalami hiperglikemia akan menunjukkan perubahan kondisi
rongga mulut seperti insidensi karies yang lebih besar, penyakit periodontal, dan
candidosis. American Diabetes Association (ADA) telah menentukan kriteria tertentu
untuk mendiagnosa diabetes, yaitu kadar gula darah puasa ( 126 mg/dl) dan kadar
gula darah sesaat atau plasma glucose ( 200 mg/dl) (Soegondo, 2011).
Pengukuran kadar glukosa selama ini hanya terbatas melaui darah, tetapi
terdapat juga prosedur non-invasive untuk menetukan level glukosa darah tanpa
memlaui pengambilan darah, yaitu dengan menggunakan saliva sebagai biomarker.
Glukosa adalah molekul yang dapat berpindah pad membran pembuluh darah
melewati plasma darah menuju ke cairan gingival melaui sulcus gingival. Glukosa
dapat

di

transfer

memalui

epithelium

kelenjar

saliva

sehingga

dapat

menggambarkan level glukosa dalam darah (Rathnayake, 2013).


Peningkatan glukosa darah pasien DM menyebabkan level salivary glucose
meningkat karena terjadi homeostatis dan kerentanan terhadap serangan penyakit
rongga mulut, selain itu pada cairan krevikular gingiva juga dapat terditeksi adanya
peningkatan level glukosa. Level glukosa saliva ( fasting saliva glucose) pada pasien
diabetes berkisar antara 0-31 mg/dl, sedangkan dalam normal sehat 0-41 mg/dl.
Penderita DM tipe 2 mengalami peningkatan level salivary albumin sebesar 73,47
31,35 g/ml, sedangkan dalam kondisi normal sebesar 64,50 38,40 g/ml (Lee dan
Wong, 2009).
Lee, Y. dan Wong, D.T., 2009, An Emerging Biofluid for Early Detection
Disease, American Journal of Dentistry, 22(4): 241-24
Rathnayake, N., kerman, S., Klinge, B., Lundegren, N., Jansson, H.,
Tryselius, Y., Sorsa, T., dan Gustafsson, A., 2013, Salivary Biomarkers for
Detection of Systemic Diseases, PLoS One, 8(4)
Soegondo, S., 2011, Diagnosis, Klasifikasi, dan Patofisiologi Diabetes Mellitus.
Kumpulan Makalah Update Comprehensive Management of Diabetes

Mellitus, Panitia Seminar Ilmiah Nasional Continuing Medical Education Fakultas


Kedokteran Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

Yuliasih., 2006, Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV,
Pusat Penerbitan IPD FKUI:1193-1196.

Behrman, Kliegman, Arvin, 2000, Ilmu Kesehatan Anak Nelson,


Volume 1 Edisi 15, EGC, Jakarta.
Gustaviani, R., 2006, Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, h. 1879.

Anda mungkin juga menyukai