Anda di halaman 1dari 15

Analisis Ketahanan Sosial Ekonomi Kota Semarang dalam Menghadapi

Masyarakat Ekonomi ASEAN Tahun 2015

PENDAHULUAN
Dalam hitungan hari, MEA di tahun 2015 akan segera memasuki eranya. MEA atau yang lebih
dikenal dengan istilah MEA 2015 merupakan sebuah bentuk integrasi negara-negara kawasan Asia Tenggara
yang memiliki tujuan utama untuk menciptakan kondisi kawasan yang aman, damai dan stabil (Wangkey,
2014). Penguatan integrasi ekonomi negara-negara ASEAN dimuat dalam ASEAN Economic Community
Blueprint yang menekankan integrasi dalam empat pilar agenda utama, diantaranya adalah (1) ASEAN
sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional; (2) ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing
ekonomi yang tinggi; (3) ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata; (4)
ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi dengan perekonomian global (ASEAN Secretariat, 2008).
Dengan diberlakukannya MEA di akhir 2015 tentunya akan mendorong berbagai perubahan bagi
negara-negara anggota ASEAN khususnya Indonesia, baik pada segi sosial budaya, ekonomi dan politik
negara-negara di kawasan ASEAN. Disinilah timbul tantangan dan peluang MEA 2015. Aspek ekonomi dan
sosial menjadi dua diantara tantangan dalam pelaksanaan MEA 2015. Pasar bebas antar negara ASEAN
menjadi sebuah tantangan besar bagi bangsa Indonesia di tengah kondisi perekonomian bangsa yang tidak
begitu stabil dan masih berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia,
Thailand dan Kamboja (Abdurofiq, 2014). Ketergantungan sektor perindustrian Indonesia pada bahan baku
impor, masih tingginya jumlah penduduk miskin, masih rendahnya kualitas sumber daya manusia
profesional, serta rapuhnya struktur UMKM atau small medium Enterprises yang sulit bersaing dengan
gempuran barang impor.
Disinilah posisi ketahanan kota menjadi penting sebagai salah satu elemen dalam menghadapi MEA.
Ketahanan kota merupakan kemampuan kota untuk dapat mengurus fungsi-fungsi pokoknya untuk dapat
berkembang dan menjadi lebih kuat dalam menghadapi guncangan dan tekanan (Gordon, 2014). Salah satu
kota di kawasan asia tenggara yang terpilih menjadi salah satu dari 100 kota tangguh atau resilience city
adalah Kota Semarang. Ketahanan Kota Semarang atau Resilience city di Kota Semarang sendiri ditopang
dalam bentuk pada empat pilar, yakni (1) kesehatan dan kesejahteraan, (2) ekonomi dan sosial, (2)
infrastruktur dan lingkungan, serta (4) kepemimpinan dan strategi (Bappeda Kota Semarang dalam 100 RC
Semarang). Dalam aspek ekonomi sosial ini terdapat tantangan berupa kemiskinan dan pengangguran yang
jumlahnya di semarang masih cukup tinggi. Selain menjadi tantangan dalam menciptakan ketahanan kota,
tingginya tingkat kemiskinan juga menjadi salah satu tantangan terbesar indonesia pada umumnya dan kota
semarang pada khususnya dalam menyongsong MEA atau ASEAN economic community (AEC). Dimana
masyarakat miskin yang memiliki tingkat kemampuan sumber daya manusia yang rendah harus bersaing
dengan masyarakat ASEAN lainnya untuk memperoleh pekerjaan khususnya pekerjaan di sektor formal.

Penyusunan makalah ini memiliki tujuan untuk mengkaji terhadap permasalahan terkait dengan
kemampuan Kota Semarang dalam menghadapi MEA (MEA) di tahun 2015 ini dipandang dari segi
ketahanan sosial ekonomi Kota Semarang. Dengan beberapa sasaran yang harus dilakukan dan dicapai
diantaranya adalah:
1.
2.
3.
4.

Mengindentifikasi urgensi pengkajian MEA;


Mengindentifikasi isu-isu dan tantangan dalam menghadapi MEA;
Mengkaji kapasitas Kota Semarang dalam menghadapi MEA;
Mengkaji permasalahan terkait ketahanan sosial ekonomi Kota Semarang yang akan ditimbulkan
dalam menghadapi MEA;

ULASAN TOPIK PEMBAHASAN


Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN memiliki potensi kekuatan ekonomi yang besar, namun
potensi ini masih lebih kecil jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Timur seperti Jepang dan
Tiongkok. Maka dari itu, untuk meningkatkan perekonomian dikawasan ASEAN para pemimpin ASEAN
membuat kesepakatan berupa MEA (MEA) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada Desember 1997 di
Kuala Lumpur, Malaysia. Pada KTT selanjutnya yang berlangsung pada tahun 2007, para pemimpin
menegaskan komitmen kuat mereka untuk mewujudkan MEA dan mempercepat target waktunya menjadi
tahun 2015.
MEA yang akan diimplementasikan pada tahun 2015 adalah sebuah agenda integrasi ekonomi negaranegara ASEAN yang bertujuan untuk menghilangkan hambatan-hambatan didalam melakukan kegiatan
ekonomi lintas kawasan, misalnya dalam perdagangan barang, jasa, dan investasi. Tujuan utama MEA 2015
yang ingin menghilangkan secara signifikan hambatan-hambatan kegiatan ekonomi lintas kawasan tersebut,
diimplementasikan melalui 4 pilar utama (ASEAN Secretariat, 2008), yaitu:
1. ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional (single market and production
base) dengan elemen tenaga kerja terdidik, aliran bebas barang, jasa, investasi, dan aliran modal yang
lebih bebas
2. ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi (competitive economic region),
dengan elemen peraturan hak atas kekayaan intelektual, kompetisi, pengembangan infrastruktur,
perlindungan konsumen, dan perpajakan;
3. ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata (equitable economic
development) dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi
ASEAN untuk negara-negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos, dan Vietnam); dan
4. ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global
(integration into the global economy) dengan elemen pendekatan yang terintegrasi dalam hubungan
ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.
Isu-isu perkembangan MEA (MEA)
Isu yang berkembang dalam menyambut datangnya era MEA 2015 adalah mengenai isu kesiapan
indonesia dalam menghadapi MEA. Kesiapan indonesia dipertanyakan mengingat masih banyak hal-hal
2

yang harus dibenahi sebelum MEA benar-benar masuk ke Indonesia. Beberapa aspek yang menjadi
banyak topik dalam menghadapi MEA adalah masalah kemiskinan, ketenagakerjaan, sumber daya
manusia dan masalah infrastruktur. Isu pertama adalah mengenai kemiskinan yang diakibatkan oleh
beberapa faktor sehingga sering disebut dengan permasalahan multisektoral. Dalam berita online
Republika (Pareto, 2015) berdasarkan koefisien Gini pada akhir tahun 2014, masih terjadi ketimpangan
penduduk di Indonesia yang mencapai 0,42. Terdapat tiga kelas pendapatan penduduk, yakni 40%
penduduk memiliki pendapatan paling rendah, 40% penduduk berpendapatan menengah dan sisanya
memiliki pendapatan tinggi.
Isu kedua dan ketiga adalah terkait dengan sumber daya manusia, menurut Badan Pusat Statistik
terdapat 76,1 juta atau setara 62,95% penduduk berpendidikan rendah; 31,8 juta atau setara 26,16%
penduduk berpendidikan menengah dan yang berpendidikan tinggi sekitar 13,1 juta orang atau sekitar
10,89%. Pada kenyataannya bahwa di Indonesia tingkat pendidikan sangat berpengaruh dalam
mendapatkan lapangan pekerjaan. Pada kurun waktu 14 tahun produktivitas tenaga kerja Indonesia masih
terbilang rendah. Jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya seperti negara India yang mampu
meningkatkan dua kali lipat produktivitas tenaga kerja. Indonesia masih jauh dibelakang dari negaranegara berkembang lainnya karena hanya dapat meningkat sebanyak 60% dalam kurun waktu 14 tahun
tersebut. Tercatat 184,6 juta orang merupakan penduduk Indonesia yang berada di usia 15 tahun keatas
dimana merupakan usia produktif yang berpotensi dalam ketenagakerjaan. Berdasarkan data statistik BPS
menyebutkan bahwa pada Februari 2015 dari 128,3 juta angkatan kerja sekitar 7,45 juta orang masih
menganggur atau belum diserap oleh pasar kerja.
Isu selanjutnya adalah persebaran infrastruktur belum merata, dikarenakan pemenuhan kebutuhan
infrastruktur lebih berpusat di pusat kota,

sedangkan daerah pinggiran masih belum maksimal

pelayanannya. Keberadaan infrastruktur yang optimal dapat meningkatkan daya saing wilayah yang
tentunya kondisi ini akan menjadi sebuah peluang besar dalam menghadapi MEA 2015.
Tantangan dalam menghadapi MEA (MEA)
Dikutip dari ulasan Chairil, et.al : 2014 dan Baskoro: 2015, terdapat beberapa tantangan yang harus
dihadapi oleh Indonesia secara umum dalam menyambut datangnya MEA 2015:
1. Investasi baik pada pembangunan infrastruktur maupun investasi lainnya, MEA dapat menstimulus
pertumbuhan ekonomi melalui perkembangan teknologi, sumber daya manusia dan akses yang lebih
mudah ke pasar dunia. Namun kondisi ini dapat menciptakan resiko eksploitasi yang berlebih. Hal ini
dikarenakan Indonesia sendiri masih belum memiliki regulasi yang mengikat sehingga dapat
menimbulkan eksploitasi dalam skala besar terhadap sumber daya alamnya.
2. Terdapat kesempatan yang besar karena tersedia lapangan kerja dengan berbagai kebutuhan akan
keahlian yang beraneka ragam. Namun disisi lain hal ini dapat memunculkan resiko ketenagakerjaan
bagi Indonesia karena jika dilihat dari segi pendidikan dan produktifitas Indonesia berada di posisi ke
empat dan masih kalah bersaing dengan negara Malaysia, Singapura dan Thailand.Bonus demografi
3

yang dimiliki Indonesia, tidak akan memberikan keuntungan apa pun tanpa adanya perbaikan
kualitas SDM. Data dari ASEAN Productivity Organization (APO) menunjukkan dari 1000 tenaga
kerja Indonesia hanya ada sekitar 4,3% yang terampil, sedangkan Filipina 8,3%, Malaysia 32,6%,
dan Singapura 34,7%.Berdasarkan struktur pasar, tenaga kerja Indonesia didominasi oleh pekerja
lulusan SD (80%) sementara lulusan Perguruan Tinggi hanya 7%, dimana saat ini sebagian dunia
kerja mensyaratkan lulusan Perguruan Tinggi. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan Malaysia
yang sebagian besar penduduknya lulusan S1.Kesempatan memperoleh pendidikan secara merata di
seluruh Indonesia sulit dilakukan sehingga kesadaran untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi sangat rendah. Kondisi ini mengakibatkan tenaga kerja Indonesia hanya dilirik sebagai
buruh atau tenaga kerja kasar di pasar tenaga kerja internasional.
3. Dalam peningkatan daya saing dengan negara ASEAN lainnya indonesia perlu meningkatkan
kualitas infrastrukturnya, namun berdasarkan The Global Competitiveness Report 2013/2014 yang
dibuat oleh World Economic Forum (WEF), daya saing Indonesia berada pada peringkat ke-38.
Sementara itu kualitas infrastruktur Indonesia menempati peringkat ke-82 dari 148 negara atau
berada pada peringkat ke-5 diantara negara-negara inti ASEAN.
4. Dampak dari rendahnya infrastruktur berpengaruh pada semakin mahalnya biaya logistik di
Indonesia. Perdagangan menjadi kurang efisien mengingat biaya logistik yang mahal dibandingkan
negara anggota ASEAN lainnya, yang dibebankan sebesar 14,08%, jika dibandingkan dengan biaya
logistik yang wajar sebesar 7%.
5. Pertanian merupakan salah satu penopang sumber penghasilan masyarakat Indonesia, pembangunan
pertanian perlu terus dilakukan, mengingat bahwa luas daratan yang dimiliki Indonesia lebih besar
dan tingkat konsumsi yang tinggi terhadap hasil pertanian. Tindakan pemerintah untuk menopang
komitmen Indonesia dalam mewujudkan MEA 2015 melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor
39 Tahun 2014 tentang Daftar Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan
di Bidang Penanaman Modal, dipandang hanya akan memberikan keuntungan bagi pihak-pihak
tertentu, bukan petani Indonesia. Perpres tersebut mengatur mengenai:
a. Investasi asing diperbolehkan hingga 49% untuk usaha budidaya tanaman pangan seluas lebih
dari 25 hektar.
b. Investasi asing diperbolehkan hingga 95% untuk usaha perkebunan dalam hal perbenihan bagi
usaha seluas lebih dari 25 hektar.
c. Investasi asing diperbolehkan hingga 30% untuk usaha perbenihan dan budidaya hortikultura.
Melihat bahwa sektor pertanian masih tertinggal dan dibebani volume impor komoditas pangan dan
hortikultura; kegagalan panen akibat kemarau dan gangguan hama; serta petani Indonesia rata-rata
berusia 55-60 tahun dan tidak memiliki pengetahuan dan pendidikan yang memadai akan
menyulitkan memasuki pasar bebas ASEAN.

Kapasitas kota di Indonesia menghadapi MEA (MEA)

Berdasar pada latar belakang dan urgensi MEA 2015 serta isu dan tantangan dalam menyambut MEA
2015, hal pertama yang harus dikaji adalah mengenai kapasitas internal dari masyarakat dalam negeri
untuk dapat berkompetisi dan bersaing dengan masyarakat ASEAN lainnya. Kondisi demikian juga
seharusnya dikaji oleh Kota Semarang dalam menghadapi MEA. Sebagai salah satu kota besar di
Indonesia, yang juga menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah, serta menjadi salah satu kawasan industri di
Pulau Jawa, dapat dipastikan Kota Semarang juga akan menghadapi MEA dengan semua tantangan dan
hambatannya. Perlu dikaji bagaimana kapasitas Kota Semarang untuk dapat mengambil keuntungan dari
persaingan MEA, dapat mengoptimalkan setiap kesempatan yang ada untuk dapat bersama-sama bukan
hanya dengan kota-kota di dalam negeri melainkan dengan kota-kota di negara anggota ASEAN untuk
meraih kondisi aman, damai dan stabil sesuai tujuan awal dibentuknya MEA.
Banyak hal yang perlu diperhatikan untuk mengetahui bagaimana kapasitas Kota Semarang
mengahadapi MEA 2015. Indikator perekonomian menjadi salah satu faktor penting dan krusial untuk
mengetahui sejauh mana kesiapan Kota Semarang menghadapi MEA. Pertama-tama dilihat dari performa
ekonomi makro Kota Semarang, sejak tahun 2011 pertumbuhan ekonomi Kota Semarang telah berada di
atas angka 6%, kurang lebih 1% lebih tinggi dibanding rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi jawa
tengah. Sedangkan dilihat dari angka Produk Domestik Regional Bruto atau PDRB setiap tahunnya
mengalami peningkatan, yang diikuti dengan semakin meningkatnya tingkat PDRB per kapita. Nilai
PDRB per kapita Kota Semarang berada di sekitaran angka 37,14 juta per tahun, hampir mendekati
pendapatan rata-rata per kapita nasional yang berada di angka 38 juta per tahun. Tidak perlu angka
pendapatan per kapita ini dibandingkan dengan kota lainnya di Asia Tenggara, karena jika dibandingkan
dengan kota lainnya di Indonesia seperti Kota Surabaya, pendapatan per kapita Kota Semarang masih
jauh lebih rendah. Hal ini dikarenakan Kota Surabaya mampu mencapai tingkat pendapatan perkapita
sebesar 80 juta pertahun berdasarkan harga berlaku 2014 (Kota Semarang sekitar 37,18 juta), sedangkan
berdasarkan harga konstan Kota Surabaya mampu mencapai pendapatan riil 32 juta per tahunnya atau
hampir dua kali pendapatan riil masyarakat Kota Semarang yang berkisar 15 juta per tahunnya. Kondisi
ini akan memicu terjadinya migrasi besar-besaran keluar kota semarang untuk meningkatkan tingkat
pendapatan, meskipun pada satu sisi kondisi ini sangat disukai oleh pengusaha padat karya untuk
menanamkan sahamnya di Kota Semarang akibat rendahnya tingkat upah.
Dilihat dari segi ekonomi lainnya adalah masih banyaknya jumlah penduduk miskin di Kota
Semarang dan tingginya tingkat pengangguran penduduk. Menurut Bappeda Kota Semarang sampai
tahun 2014 terdapat 114.961 rumah tangga miskin di Kota Semarang. Jumlah ini adalah sekitar 26,8%
dari total seluruh rumah tangga yang ada di Kota Semarang. Sedangkan untuk jumlah penduduk usia
kerja yang menganggur adalah sejumlah 226.545 orang. Masih lumayan tingginya jumlah penduduk yang
memiliki pendidikan rendah menjadi salah satu faktor penyebab mengapa jumlah penduduk miskin dan
pengangguran di Kota Semarang masih lumayan tinggi. Meskipun demikian, dapat dikatakan posisi Kota
Semarang masih dapat bersaing dalam menyambut MEA di akhir 2015, disamping beberapa tantangan
dan hambatan yang masih dihadapi sampai saat ini.
5

RELEVANSI TEORITIS
Bertitik tolak pada pembahasan terkait urgensi MEA, isu-isu dan tantangan dalam menghadapi MEA serta
kapasitas Kota Semarang dalam menghadapi MEA di akhir tahun 2015, maka diperlukan sebuah kajian
mendalam untuk dapat menyiapkan diri dalam menghadapi MEA. Ketahanan kota merupakan salah satu
elemen yang memiliki peran penting dalam membentuk kesiapan masyarakat dalam menghadapi MEA.
Karena ketahanan kota sendiri bukan hanya dilihat dari bagaimana kota dapat bertahan dari masalah
perubahan iklim yang terjadi, melainkan juga bagaimana kota dapat bertahan dari guncangan sosial
ekonomi, lingkungan dan infrastruktur, kesehatan dan kesejahteraan, serta faktor kepemimpinan atau
pemerintahan. Aspek ketahanan kota sosial ekonomi merupakan salah satu aspek yang paling krusial untuk
dapat menghadapi MEA. Maka dari itu, terdapat beberapa fokus sosial ekonomi yang harus dikaji secara
komprehensif untuk dapat membentuk ketahanan Kota Semarang agar dapat menghadapi MEA 2015.
Beberapa fokus diantaranya adalah sebagai berikut:
Rendahnya daya saing ekonomi wilayah
Irawati, et. al : 2012 menyatakan tingkat daya saing wilayah menjadi salah satu indikator dalam konsep
kota berkelanjutan, dimana semakin tinggi tingkat daya saing yang dimiliki suatu wilayah maka akan
semakin tinggi tingkat kesejahteraan penduduk yang ada dalam wilayah tersebut. Tingkat daya saing
sendiri memiliki beberapa indikator penilaian, salah satu diantaranya yang paling penting adalah terkait
dengan kinerja perekonomian wilayah. Kinerja perekonomian suatu wilayah sendiri dapat dilihat dari
berbagai pendekatan, seperti pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, pendapatan regional bruto,
pendapatan per kapita, dan sebagainya. Berdasarkan angka pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan
perekonomian di Kota Semarang berada di atas rata-rata laju pertumbuhan wilayah yang lebih luas, baik
itu di tingkat provinsi jawa tengah maupun di tingkat nasional, walaupun perbedaan antara ketiganya
masih sangat tipis. Tidak dapat dikatakan perekonomian Kota Semarang berada dalam kondisi stabil,
sebab masih terdapat fluktuatif periode 2007-2008, kemudian dari tahun 2010-2011 baru mengalami
kenaikan dan kembali turun di tahun 2012, penurunannya melebihi angka 1%. Meskipun secara umum
kondisi ini sangat dipengaruhi oleh keuangan global, namum untuk dapat menciptakan iklim investasi
yang baik perlu adanya stabilitas ekonomi.
Tabel 1 Komparasi Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang
KOTA SEMARANG
PROVINSI
NASIONAL
Laju Pertumbuhan (%)
Laju pertumbuhan (%)
Laju Pertumbuhan (%)
2007
5,98
5,59
6,3
2008
5,59
5,61
6,1
2009
5,34
5,14
4,5
2010
5,87
5,84
6,1
2011
6,41
6,03
6,4
2012
6,17
5,34
6,23
2013
6,20
5,14
5,78
Rata-rata
5,94
5,53
5,92
Sumber: Buku PDRB Kota Semarang dan Provinsi Jawa Tengah 2010-2014
TAHUN

Selain dilihat dari pertumbuhan ekonomi, indikator ekonomi lainnya adalah terkait dengan
pendapatan per kapita Kota Semarang. Pendapatan per kapita ADHB pada tahun 2007 sebesar Rp. 19,18
6

juta dan di tahun 2013 mencapai Rp. 37,14 juta yang berarti terjadi peningkatan pendapatan sebesar
94,78% dalam jangka waktu tersebut. Tingkat pendapatan perkapita ini hampir mendekati dengan ratarata tingkat pendapatan perkapita nasional yang juga berada pada kisaran 38 juta per tahun. Namun bila
dibandingkan dengan beberapa kota besar lainnya yang memiliki status administratif yang sama-sama
berkedudukan sebagai ibu kota provinsi, pendapatan perkapita Kota Semarang dapat dikatakan masih
rendah. Sebagai komparasi, berdasarkan data PDRB Kota Surabaya mampu mencapai tingkat pendapatan
perkapita ADHB sebesar 80 juta tahun 2014, sedangkan berdasarkan harga konstan mampu mencapai
angka 32 juta pertahunnya atau hampir dua kali pendapatan riil masyarakat Kota Semarang yang berkisar
15 juta pertahunnya.
Rendahnya tingkat pendapatan perkapita Kota Semarang merupakan salah satu indikasi bahwa
rendahnya daya saing Kota Semarang dengan kota lainnya di Indonesia, terutama yang memiliki
kedudukan administratif yang sama. Dengan kata lain nilai tawar tenaga kerja di Kota Semarang masih
sangat rendah. Di satu sisi kondisi seperti ini menjadi daya tarik bagi investor untuk menanamkan
modalnya di wilayah yang memiliki tingkat pendapat perkapita dengan alasan biaya upah yang rendah.
Namun di sisi lain, kondisi ini dapat dianggap sebagai masalah yang serius dimana nilai produktivitas
yang mampu dihasilkan oleh seorang tenaga kerja masih rendah. Produktivitas yang rendah dibayar
dengan upah yang rendah pula. Tingginya daya saing wilayah tentunya berdampak sangat signifikan
terhadap tingkat ketahanan kota, mengingat semakin tinggi daya saing yang dimiliki semakin kota bisa
berkelanjutan dan memiliki ketahanan.
Tingginya jumlah penduduk miskin Kota Semarang
Kemiskinan menjadi faktor penyebab tersendatnya pertumbuhan perekonomian di suatu negara
maupun suatu kota. Penduduk yang miskin ini dapat berpengaruh besar bagi pergerakan ekonomi suatu
wilayah baik hubungan perekonomian antar wilayah maupun dalam intrawilayah itu sendiri. Penduduk
miskin pada dasarnya merupakan kendala yang harus diselesaikan guna menciptakan penduduk yang
sejahtera. Dalam pengentasan kemiskinan di berbagai negara telah dilakukan melalui regulasi-regulasi
yang ditetapkan, namun hal ini dapat terhambat karena pengoperasional dari pemerintah yang kurang
optimal serta latar belakang dari masyarakat tersebut. Program-program yang dilaksanakan belum dapat
mencapai tujuan utama dari pengentasan kemiskinan di Indonesia. Perlu dilakukan pendekatan terhadap
masyarakat miskin sehingga dapat disusun suatu perencanaan program yang mampu menurunkan
kemiskinan di Indonesia.
Tingkat pendidikan, upah pekerja rendah, sumber daya manusia yang rendah, ketimpangan
kesempatan kerja dengan tenaga kerja serta fasilitas penunjang bagi masyarakat menjadi faktor-faktor
utama kemiskinan di Indonesia. Perlu dilakukan analisis untuk mengetahui penyebab utama kemiskinan
di setiap daerah sehingga dilakukan prioritas pengentasan masalah kemiskinan dan dapat dilakukan suatu
program yang mampu menyeimbangi kualitas penduduk dan kesempatan dalam memperoleh tenaga
kerja sehingga mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Melalui daerah-daerah tersebut maka akan
7

memiliki karakteristik tersendiri dalam perekonomian sehingga mampu mendukung tingkat


perekonomian Indonesia yang dapat meningkat untuk tahun-tahun berikutnya sehingga dapat beradaptasi
dan mampu bersaing dalam MEA.

60000
50000

48321

40000
30000

33877

20000

16811

17397

2013

2015

10000
0
2009

2011

Sumber: Bappeda Kota Semarang dalam Simgakin, 2015


Gambar 1 Perkembangan RumahTangga Miskin Kota Semarang 2009-2015

Berdasarkan data diatas bahwa tingkat kemiskinan sempat mengalami penurunan di Kota
Semarang, hal ini dikarenakan terlaksananya program pemerintah Kota Semarang dalam pengentasan
kemiskinan di Kota. Program yang dilaksanakan tersebut dinamakan program Gerdu Kempling yang
telah digalakkan pada tahun 2011. Program ini merupakan program pemerintah yang bekerja sama
dengan seluruh stakeholder yaitu pemerintah kota, perguruan tinggi, BUMN, perusahaan swasta,
perbankan, dan masyarakat untuk bekerjasama dalam mengatasi kemiskinan di Kota Semarang. Gerakan
terpadu pengentasan kemiskinan ini berfokusd pada 5 aspek antara lain kesehatan, ekonomi, pendidikan,
infrastruktur, dan lingkungan. Melalui berbagai aspek program Gerdu Kempling ini dikatakan berhasil
menurunkan tingkat kemiskinan di Kota Semarang, terlihat penurunan drastis pada tahun 2013 dimana
penurunan tersebut mencapai 71,6%. Namun jumlah kemiskinan meningkat pada tahun 2015 hanya
sebesar 1,7 % hal ini disebabkan oleh urbanisasi yang tidak diimbangi dengan fasilitas pelayanan dari
aspek-aspek yang mendukung perkembangan suatu kota.
Penduduk rentan miskin merupakan penduduk yang berpotensi menjadi masyarakat miskin yang
diakibatkan oleh beberapa faktor seperti penduduk yang di PHK, penduduk yang belum mendapatkan
pekerjaan tetap, semakin meningkatnya pengangguran, penduduk yang bermigrasi namun di kota tidak
mendapatkan pekerjaan. Berikut merupakan data statistik rumah tangga rentan Kota Semarang dalam
periode 2009-2015,

120000
100000

96452

97564

2013

2015

80328
80000
77071
60000
40000
20000
0
2009

2011

Sumber: Bappeda Kota Semarang dalam Simgakin, 2015


Gambar 2 Perkembangan Rumah Tangga Rentan Miskin Kota Semarang 2009-2015
Kerentanan kemiskinan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan hal ini disebabkan oleh
ketidakpastian dalam mendapatkan kelayakan hidup di suatu kota. Penduduk ini tidak dikatakan sebagai
penduduk miskin namun dapat berpotensi menjadi penduduk miskin. Perlu dilakukan penanganan untuk
menurunkan jumlah rumah tangga rentan miskin sehingga tidak berdampak dalam penambahan jumlah
penduduk miskin Kota Semarang. Tingginya angka penduduk miskin ini tentunya pada satu sisi
membebani Pemerintah Kota Semarang dari segi anggaran untuk subsidi dan sebagainya, di sisi lain
penduduk miskin juga dapat mengurangi tingkat ketahanan Kota Semarang akibat masyarakat yang tidak
dapat mencapai kesejahteraan. Kondisi demikian menjadikan peluang untuk sukses dengan MEA 2015
menjadi semakin susah untuk dicapai oleh Kota Semarang. Diperlukan pembaharuan atas berbagai
program-program pengentasan kemiskinan seperti Gerdu Kempling, agar dapat meningkatkan
perekonomian Kota Semarang dan dapat mendukung Indonesia dalam bersaing di MEA 2015.
Rendahnya tingkat sumber daya manusia
Kapasitas sumber daya manusia merupakan salah satu hal cukup penting dalam menghadapi MEA pada
tahun 2015 ini. Kapasitas sumber daya manusia dapat menentukan sejauh mana sumber daya manusia di
Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya. Dengan adanya MEA ini nantinya akan
memberikan banyak pilihan pekerjaan bagi pencari kerja di Indonesia. Namun untuk mencapai standar
pekerjaan yang layak diperlukan peningkatan kapasitas tenaga kerja indonesia agar tidak kalah bersaing
dengan tenaga kerja dari negara lainnya di ASEAN. Dari data ASEAN Productivity Organization (APO),
Indonesia berada pada posisi ke empat jika dilhat dari segi tingkat pendidikan dan produktifitasnya. Hal
ini menunjukkan indonesia masih tertinggal jauh dari negara tetangga dalam hal kualitas sumber daya
manusia. Indonesia yang didominasi oleh lulusan SD diperkirakan akan kalah bersaing dalam
mendapatkan pekerjaan sehingga kesenjangan perekonomian dikhawatirkan akan semakin meningkat
dengan adanya MEA ini. Selain itu kapasitas sumber daya manusia dalam menghadapi MEA ini juga

dapat dilihat dari kemampuan yang dimiliki. Skill yang dimiliki ini dapat menumbuhkan jiwa
kewirausahaan dalam mengembangkan usaha sendiri untuk tetap survive di dalam MEA.

Tingkat Pendidikan
350000
300000
250000
200000
150000
100000
50000
0

Jumlah

Sumber: Kota Semarang dalam Angka, 2014


Gambar 3 Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Kota Semarang Tahun 2014
Dari data mengenai tingkat pendidikan masyarakat di kota semarang tahun 2013 diketahui bahwa masih
banyak penduduk yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah (tamat SD). Keadaan ini menyebabkan
penduduk ini tidak mampu bersaing di MEA dan hanya mampu mengakses lapangan pekerjaan kasaran
dilapangan kerja internasional dan masyarakat tidak akan mampu mengambil manfaat dengan maksimal
dari adanya MEA ini.
Rendahnya kesempatan kerja di sektor formal perkotaan
Sektor formal adalah lapangan usaha yang secara sah terdaftar dan mendapat izin dari pejabat
berwenang yang berbentuk serta memiliki akta pendirian yang dibuat oleh notaris dan membutuhkan
modal yang besar dalam pendirian maupun pengoperasiannya. Lapangan usaha sektor formal ini biasanya
banyak ditemukan di daerah perkotaan. Lapangan kerja formal dapat menjaring jumlah tenaga kerja yang
cukup banyak, namun dengan kriteria khusus atau keterampilan khusus yang sesuai dengan jenis
lapangan usahanya tersebut. Contoh dari lapangan usaha sektor formal yang ada di perkotaan adalah
perhotelan, perdagangan, restoran, dan industri.
Lapangan usaha sektor formal yang banyak ditemui di Kota Semarang relatif sama dengan kotakota lainnya di Indonesia, yakni perhotelan, perdagangan, restoran dan industri. Sektor-sektor formal ini
tentunya membutuhkan tenaga kerja yang memiliki keterampilan khusus di bidangnya. Selain itu, sektor
formal di Kota Semarang juga tidak hanya menjaring tenaga kerja dari dalam kota, namun juga dari luar
kota seperti Kendal atau Demak. Hal ini menjadi sebuah kendala bagi masyarakat Kota Semarang sendiri,
meskipun sebagian besar penduduknya telah mengenyam bangku pendidikan namun tidak menjamin
bahwa mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan pada sektor formal yang ada.
Tidak semua orang atau semua penduduk usia kerja dapat memasuki pasar kerja formal karena ada
antrian untuk masuk ke dalamnya atau pelamar kerja dan sangat bergantung pada kualifikasi SDM nya.
10

Ketika sektor formal tidak mampu mengakomodir tingkat pertumbuhan tenaga kerja, dampaknya adalah
sektor informal memiliki beban kelebihan tenaga kerja, karena bebasnya tenaga kerja yang dapat masuk
dan keluar dari sektor informal, mengakibatkan banyak penduduk usia kerja di beberapa negara
berkembang terkonsentrasi di lapangan pekerjaan sektor informal (Oberai, 1993). Disinilah muncul
permasalahannya, dimana sektor informal akan berkembang lebih pesat bahkan saat MEA sudah resmi
masuk ke Indonesia. Tenaga kerja sektor informal tidak dapat mencapai kondisi sejahtera akibat
perdagangan bebas yang terjadi dan semakin banyak penduduk yang kalah bersaing di pasar bebas ini.
Disinilah tingkat ketahanan kota menjadi semakin rendah dalam menghadapi MEA.
Untuk memperbesar kesempatan kerja sektor formal di Kota Semarang kedepannya, diharapkan
jumlah usaha sektor formal dapat bertambah, para pelaku usaha sektor formal lebih memprioritaskan
penarikan tenaga kerja yang berdomisili di Kota Semarang, dan yang terpenting adalah peningkatan
kualitas masyarakat dalam bidang pendidikan dan keterampilan. Hal-hal ini sangat perlu dilakukan karena
akan berdampak pada peningkatan ekonomi daerah yang juga menjadi salah satu sektor ketahanan kota
yang dibutuhkan dalam menghadapi MEA.
Pengangguran
Rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) dan tingginya tingkat pengangguran
merupakan dua diantara sekian banyak faktor yang menjadi kendala dalam menghadapi MEA di berbagai
kota di Indonesia. Berikut ini data mengenai tingkat TPAK Kota Semarang selama beberapa tahun
terakhir:
90
77.32
75.6675.9174.44
72.47
80
66.2467.0069.6067.9167.7568.40
63.1463.10
62.3063.74
70

Tingk at TPAK Kota Se m arang

60
50
40
30
20
10
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Tahu n

Sumber: Sensus Penduduk Kota Semarang, 2010


Gambar 4 Perkembangan TPAK Kota Semarang 2000-2014
Tingkat partisipasi angkatan kerja Kota Semarang jika diamati mengalami penurunan selama tahun
2000-2005 kecuali di tahun 2001 mengalami peningkatan walau dalam jumlah yang sangat kecil. TPAK
Kota Semarang baru mengalami peningkatan yang sangat signifikan kembali ke poin 70-an pada tahun
2005 namun setelahnya sampai tahun 2007 nilai TPAK kembali menurun secara tajam sampai poin 62,30.
Tingkat partisipasi angkatan kerja Kota Semarang selama lima tahun tahun terakhir nilainya masih berada
di bawah TPAK Provinsi Jawa Tengah yang dengan nilai rata-rata di atas 70 poin. Rendahnya TPAK di

11

Kota Semarang memberikan indikasi bahwa tingkat produktivitas penduduk usia kerja di Kota Semarang
mengalami penurunan.
25
20.8721.11
20
15
Tingk at TPT Kota Se m arang

14.96

14.20

13.84
9.92

10

9.88

11.80
9.39

10.5111.49
6.92

5.82 6.02

7.76

5
0

Tah un

Sumber: Sensus Penduduk Kota Semarang, 2010


Gambar 5 Perkembangan TPT Kota Semarang 2000-2013
Pertumbuhan angka TPT selama lima tahun terakhir menunjukkan tren yang menurun, kecuali di akhir
tahun 2013 dan tahun 2014 yang meningkat. Tingkat TPT di tahun 2010 yang mencapai titik 14,96%
kemudian di tahun selanjutnya turun secara drastis sebanyak 8% sampai nilainya menjadi 6,92%. Angka
TPT di Kota Semarang sendiri masih berada di atas angka TPT rata-rata Provinsi Jawa Tengah yang
hanya berada pada poin 5,68%. Kondisi ini tentu menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi Kota
Semarang dalam menghadapi MEA di akhir 2015. Dengan diberlakukannya MEA, aliran tenaga kerja
berkompetensi tinggi akan semakin bebas dan tentunya hal ini akan semakin mempersempit peluang
tenaga kerja indonesia untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Ditambah lagi dengan kualitas
pendidikan dan produktivitas tenaga kerja indonesia yang masih dapat dibilang rendah dibanding negara
ASEAN lainnya.
Permasalahan sistem standarisasi upah tenaga kerja
Permasalahan upah tenaga kerja disini merupakan salah satu bentuk kesenjangan yang terjadi dalam
perekonomian Indonesia. upah di indonesia tidak dinilai dari seberapa lama dan seberapa efektif
pekerjaan seseorang. Namun upah ini cenderung hanya di tentukan oleh pemberi upah tanpa adanya suatu
standar yang sesuai dengan keefektifan upah dari pekerja. Di kota-kota di indonesia sendiri memang
sudah ada standar UMR, namun standar ini sebagian besar hanya di terapkan pada pekerjaan di sektor
formal. Pekerjaan lainnya seperti buruh bangunan harian, petani dan pekerjaan lain yang tidak terikat oleh
suatu kontrak tertentu pekerjanya hanya di beri upah sesuai dengan kesepakatan. UMR di indonesia jika
dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya masih tergolong rendah. Dengan adanya mea ini seharusnya
pemerintah menaikkan upah minimum dalam rangka peningkatan kesejahteraan pekerja. Namun
peningkatan ini juga harus di sertai dengan peningkatan kualitas dan profesionalitas tenaga kerja di
indonesia. di kota semarang sendiri sebagai salah satu kota besar di pulau jawa masih memiliki upah
minimum yang cukup rendah. Menurut keputusan gubernur nomor 560/66 tahun 2016 umr di kota
semarang adalah Rp. 1.909.000,00. Jumlah ini masih tertinggal jauh dari umr jawa timur yang mencapai 3
juta rupiah per bulannya. Pemberlakuan UMR seharusnya tidak hanya terjadi pada sektor-sektor formal
12

saja, namun juga harus berlaku pada sektor informal sehingga distribusi pendapatan tidak menimbulkan
kesenjangan di masyarakat. Salah satu contohnya adalah membuat standar upah terhadap tenaga kerja
informal di bidang pertanian. Dimana pada sektor ini terdapat kesenjangan dalam pendistribusian upah
antara buruh tani dan pemilik lahan serta distributor hasil pertanian. Dalam sebagian besar kasus terdapat
kesenjangan antara pendapatan yang di peroleh oleh buruh tani dengan pemiliki lahan maupun distributor.
Kasus serupa pun juga banyak terjadi dalam bidang pekerjaan lainnya di Indonesia. dalam menghadapi
MEA suatu wilayah harus menunjukkan kesiapannya dalam menghadapi mea salah satunya dengan
mengurangi kesenjangan pendapatan di masyarakat.
UMKM dan jiwa entrepeneur
Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) merupakan program pembukaan lapangan usaha di sektor
informal, dimana masyarakat umum dapat mengajukan pendirian jenis lapangan usaha baru dengan skala
yang tidak besar. Pembentukan sebuah UMKM baru ini tentunya membutuhkan inovasi baru dan jiwa
kewirausahaan yang tinggi. Hingga akhir tahun 2014, jumlah UMKM yang ada di Kota Semarang
mencapai 11.858 unit dan dapat menyerap sebanyak kurang lebih 18.00 tenaga kerja. Namun banyaknya
jumlah UMKM tersebut belum sebanding dengan kualitas UMKM itu sendiri. Permasalahan yang sering
dihadapi biasanya berupa masalah produktivitas dan daya saing produk. Untuk menciptakan produk
dengan daya saing yang tinggi tentunya dibutuhkan jiwa kewirausahaan yang dapat mencari celah dan
inovasi baru. Aliran barang bebas menjadi sebuah tantangan bagi UMKM dalam negeri untuk dapat
bersaing di pasar global. Serbuan produk impor juga menjadi sebuah tantangan dalam menjaga eksistensi
keberadaan produk lokal di pasar tanah air.
Usaha Mikro Kecil Menengah merupakan salah satu program yang bermanfaat dalam peningkatan
ekonomi daerah yang juga menjadi salah satu sektor ketahanan kota yang dibutuhkan dalam menghadapi
MEA. Namun, seperti yang telah dijelaskan bahwa dalam pembentukan sebuah UMKM baru, dibutuhkan
jiwa kewirausahaan yang tinggi. Untuk meningkatkan jiwa kewirausahaan guna peningkatan kualitas dan
kuantitas UMKM di Kota Semarang kedepannya, perlu adanya pemerataan pendidikan sehingga dengan
pendidikan dasar yang sama rata ini setidaknya masyarakat di Kota Semarang dapat memiliki ide-ide baru
yang dapat dikembangkan menjadi sebuah UMKM baru.
Investasi untuk pembangunan infrastruktur
Dalam perwujudan pembangunan negara yang dapat bersaing di dunia tidak hanya berfokus pada
perekonomian, persediaan sumberdaya maupun kualitas dari masyarakat. Aspek-aspek tersebut tidak akan
berjalan bila tidak ada infrastruktur yang mendukung rangkaian sistem pembangunan negara.
Infrastruktur dapat terpenuhi jika suatu negara tersebut dapat bekerja sama untuk berinvestasi agar
pemenuhan kebutuhan infrastruktur dapat terlaksana. Pengembangan infrastruktur termasuk dalam
komponen utama iklim investasi. Pada iklim investasi, infrastruktur merupakan kelompok kebijakan
pemerintah yang dapat mempengaruhi biaya. Kebijakan yang berkualitas dapat mendorong investasi
13

dimana harus berkualiyas dalam memperhitungkan investasi dan kemana arah investasi tersebut sehingga
dapat membentuk kualitas pertumbuhan.
Infratsruktur dalam perekonomian ini diarahkan untuk pertumbuhan yang mampu memberi dampak
luas (multiplier effect). Investasi bidang infrastruktur

perekonomian antara lain jalan tol, bandara,

pelabuhan laut, listrik, pendidikan, kesehatan, perdagangan, industri dsb. Investasi bidang infrastruktur ini
direncanakan untuk dilakukan program-program dalam memicu peningkatan mutu daerah baik potensi
lokal maupun persaingan dengan daerah lain sehingga dapat menunjang ketahanan nasional.
Perlu dilakukan penyusunan kebijakan yang tegas dengan meng-upgrade kebijakan yang saat ini
telah ada. Selain itu hal-hal yang menghambat pembangunan infrastruktur adalah pembebasan lahan,
pendanaan dan biaya logistik. Pengadaan tanah dimaksudkan agar lahan tersebut dapat dibangun untuk
memenuhi kebutuhan aktivitas masyarakat yang bersifat publik. selain itu juga untuk pembangunan jalan
umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api dan fasilitas operasi kereta api, pelabuhan
dan bandara. Kendala lain yaitu pengalokasian dana dimana pada data APBD maupun APBN untuk dana
bagi pembangunan infrastruktur suatu daerah terbilang sangat kecil. kenyataannya bahwa infrsatruktur
sendiri berdampak besar bagi kehidupan dan kegiatan masyarakat daerah maupun negara. Indonesia
masih tertinggal dalam kemajuan infrastuktur baik kota maupun negara. Hal ini disebabkan karena faktor
belum terintegrasinya antara transportasi satu dengan yang lainnya, selain itu juga pengembangan
transportasi umum yang masih minim.
Di Kota Semarang untuk ketersediaan infrastruktur masih terbilang belum merata. Ketersediaan
infrastuktur yang memadai dan layak hanya terdapat di pusat-pusat pelayanan kota. Sedangkan untuk
daerah perbatasan antar kota masih terbilang kurang. Perlu dilakukan pemerataan infrastruktur di Kota
Semarang sehingga mampu meminimalisir kesenjangan penerimaan akses berbagai infrastruktur di Kota.
Dengan ketersediaan infrastruktur ini dapat mendukung aktivitas masyarakat dalam melakukan
kegiatannya termasuk dalam hal bekerja dsb serta dapat mendukung pertumbuhan perekonomian kota.
Saat ini kendala aksesibilitas yang memadai masih perlu dilakukan peninjauan dan penilaian untuk
kemudian disusun program yang mampu memberikan akses yang merata bagi semua penduduk. Dengan
pemerataan ini dapat mendukung potensi lokal dan mampu bersaing dengan kota-kota lalin, juga dapat
membangun negara Indonesia untuk maju dan bersaing di MEA.
KESIMPULAN
MEA atau yang lebih dikenal dengan istilah MEA 2015 merupakan sebuah bentuk integrasi negara Asia
Tenggara yang memiliki tujuan utama untuk menciptakan kondisi kawasan yang aman, damai dan stabil
melalui empat pilar agenda utama, diantaranya adalah (1) ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi
internasional; (2) ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi; (3) ASEAN sebagai
kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata; (4) ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi
dengan perekonomian global.

14

Dalam menghadapi MEA 2015, ada banyak tantangan yang harus dihadapi oleh negara-negara di
ASEAN, terutama oleh kota-kota di Indonesia. tantangannya bukan hanya bagaimana masyarakat dapat
bersaing atau berkompetisi dengan masyarakat ASEAN lainnya, lebih dari itu semua aspek baik sosial,
ekonomi, kelembagaan, lingkungan dan sebagainya harus mencapai kondisi yang stabil agar dapat
berkompetisi dan dan dapat mengoptimalkan semua peluang yang ada di MEA 2015. Kondisi demikian
sangat erat kaitannya dengan konsep ketahanan kota. Dimana kota dapat bertahan dari segala bentuk
goncangan dan tekanan baik yang berasal dari internal maupun eksternal kota. Ketahanan Kota Semarang
atau Resilience city di Kota Semarang sendiri ditopang dalam bentuk pada empat pilar, yakni (1) kesehatan
dan kesejahteraan, (2) ekonomi dan sosial, (2) infrastruktur dan lingkungan, serta (4) kepemimpinan dan
strategi. Dan aspek sosial ekonomi merupakan salah satu aspek yang cukup signifikan dalam membentuk
ketahanan kota dalam rangka menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN.
Kajian terhadap beberapa fokus utama dalam menghadapi MEA yang terdiri atas daya saing ekonomi
wilayah, penduduk miskin perkotaan, tingkat sumber daya manusia, kesempatan kerja di sektor formal
perkotaan, pengangguran, standarisasi upah tenaga kerja, UMKM dan jiwa entrepeneur serta Investasi
pembangunan infrastruktur menunjukkan bahwa dengan diatasinya dan diselesaikannya permasalahanpermasalahan, maka ketahanan kota Semarang dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN dapat
terbentuk, dan masyarakat Kota Semarang dapat berkompetisi dengan negara asia tenggara lainnya baik
dalam pasar barang bebas ataupun pasar tenaga kerja serta berperan aktif dalam optimalisasi peluang MEA
2015.

15

Anda mungkin juga menyukai