SHARE ON:FacebookTwitter
Google +
Kalau mau belajar Koperasi, bacalah tulisan-tulisan Bung Hatta, ujar teman
saya. Beliau banyak mengulas koperasi sebagai senjata kaum lemah. Beliau
bilang, koperasi bisa menjadi senjata untuk menikam kapitalisme, tambahnya.
Saya agak berfikir sejenak. Dalam benak saya, selain Bung Hatta yang banyak
menulis soal koperasi, DN Aiditpimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI)juga
pernah mengulas soal itu. Sayang, ideologi Aidit dianggap terlarang, sehingga
pemikirannya pun turut dilarang.
Pemikiran Aidit soal koperasi dirangkum, antara lain, dalam buku Peranan
Koperasi Dewasa Ini. Buku itu diterbitkan oleh Departemen Agitasi dan
Propaganda CC PKI, tahun 1963.
Buku ini merupakan rangkuman pidato Aidit di dua tempat. Pertama, pidato Aidit
di hadapan pejabat Departemen Koperasi dan Jawatan Koperasi se-Jakarta Raya
tanggal 23 Februari 1963. Kedua, pidato sambutan Aidit dalam Musyawarah
Pembiayaan Koperasi di Cipayung, Jakarta Timur, tanggal 13 November 1962.
Berikut ringkasan saya soal pemikiran Aidit soal Koperasi:
Aidit membantah keras pendapat Bung Hatta, bahwa koperasi adalah satusatunya jalan untuk mencapai kemakmuran bagi bangsa kita yang masih lemah
secara ekonominya.
Aidit menganggap pendapat Bung Hatta itu bercelah. Hatta bermaksud
memindahkan perhatian agar perjuangan Rakyat tidak ditujukan kepada
pelikuidasian kekuasaan kapitalis monopoli, imperialisme dan sisa-sisa
feodalisme, sanggah Aidit.
Aidit berpegang pada teori ekonomi-politik Marxis. Klas buruh hanya mungkin
sampai kepada tujuan perjuanganya, yaitu pembebasan darinya dari segala
bentuk penghisapan, jika sistem kapitalisme itu dihapus sama sekali, katanya.
Lantas, ada orang yang berpendapat, selama revolusi nasional-demokratis
belum dituntaskan, maka penghidupan rakyat tak mungkin diperbaiki
sepenuhnya. Karena itu, bagi pendapat ini, pengorganisasian koperasi rakyat
tidak dibutuhkan.
Aidit menolak pandangan itu. Ia bilang, di bawah kapitalisme pun rakyat
menghendaki perbaikan tingkat penghidupannya. Karenanya koperasi
dibutuhkan sebagai salah satu alat untuk mencapai perbaikan tingkat hidup
rakyat itu, ujarnya.
Prinsipnya: Jangan mengilusi massa rakyat bahwa pengorganisasian koperasi di
bawah sistim kapitalisme akan mengatasi krisis ekonomi yang menimpa rakyat
pekerja!
Aidit menyebut dua manfaat koperasi bagi rakyat pekerja. Pertama, koperasi
dapat mempersatukan rakyat pekerja sesuai lapangan penghidupannya dan
mencegah keterpecahan/fragmentasi produsen-produsen kecil.
Jika produsen kecil atau ekonomi lemah ini disatukan, setidaknya mereka bisa
mengurangi penghisapan tuan tanah, lintah darat, tukang ijon, tengkulak, dan
para kapitalis.
Prinsipnya: koperasi hanya mengurangi penghisapan, tetapi tidak
menghapuskan penghisapan itu sendiri. Hanya revolusi yang bisa
menghapuskan penghisapan itu.
Kedua, koperasi dapat digunakan untuk meningkatkan produksi, sehingga
menambah penghasilan atau pendapatan anggotanya.
Lebih penting lagi, menurut Aidit, pengalaman berkoperasi di jaman sekarang
bisa menjadi semacam sekolah untuk menuju koperasi tingkat tinggi,
yakni koperasi sosialis. Koperasi tipe ini hanya muncul di bawah sistim
masyarakat sosialistik.
Aidit pun menggarisbawahi perbedaan koperasi di bawah kapitalisme dan
koperasi di bawah sosialisme. Perbedaan pokoknya terletak pada soal hubungan
kepemilikan. Dalam koperasi sosialis, alat produksi dimiliki secara kolektif.
Dalam koperasi pertanian, misalnya, tanah dan alat-alat produksi lainnya
dimiliki secara kolektif oleh kaum tani. Sementara koperasi di bawah kapitalisme
masih mengakui kepemilikan perseorangan.
Bagaimana strateginya supaya koperasi bisa sejalan dengan cita-cita
sosialisme? Aidit menjawab: koperasinya harus berwatak progressif, bukan
kapitalistik. Artinya, koperasi itu tidak boleh dikembangkan dalam logika
kapitalistik, yakni mencari untung.
Bung Hatta juga sebetulnya menolak pengelolaan koperasi yang berorientasi
profit. Kata Bung Hatta, tujuan koperasi bukanlah menggali keuntungan,
melainkan memenuhi kebutuhan bersama. Karena itu, prinsip berkoperasi
adalah kerjasama dan solidaritas.
Supaya pengelolaan koperasi tidak salah urus, kata Aidit, harus dihindari dua
penyakit. Pertama, kecenderungan kekiri-kirian, yaitu penyakit kekanak-kanakan
dalam revolusi, yang menempatkan pembangunan koperasi sekarang adalah
koperasi sosialis dan menuntut penghapusan kapitalis nasional, termasuk
pedagang kecil.
Perkoperasian harus diletakkan searas dengan tahap Revolusi Indonesia.
Dengan demikian, dalam tahap revolusi nasional-demokratis, musuh pokok
koperasi adalah menghapuskan imperialisme dan feodalisme. Termasuk
menyasar kapitalis birokrat dan komprador.
Kedua, kecenderungan kekanan-kananan, yaitu praktek menjalankan koperasi
dengan watak kapitalistik. Kata Aidit, potensi menyeleweng ke kanan, yakni
praktik kapitalis, sangat besar. Maklum, kita hidup di tengah-tengah struktur
masyarakat kapitalis.
Aidit jelas tidak sesumbar. Sekarang saja, dari sekitar 186.000 koperasi yang
ada di Indonesia, ternyata ada 70 persen yang tinggal papan nama. Banyak
yang bangkrut karena tata kelola yang kapitalistik. Sebagian besar juga karena
digilas liberalisasi ekonomi.
Karena itu, koperasi harus dibangun di atas dasar yang tepat. Aidit bilang,
koperasi mesti dibangun di atas kerjasama diantara kaum yang lemah
ekonominya. Supaya, ketika mereka bersatu, kapital besar tidak gampang
melumat mereka.
Selain itu, koperasi juga harus dibangun di atas kesamaan kepentingan.
Koperasi tidak bisa dibangun di atas himpunan kelas-kelas yang bertolakbelakang kepentingannya. Tuan tanah, tani kaya, tani sedang, dan tani miskin
tidak bisa dihimpun dalam koperasi bersama. Kepentingan mereka jelas
berlawanan. Begitu pula antara penguasa dan kaum buruh.
Mencoba menghimpun kelas-kelas yang berbeda kepentingan itu ke dalam
sebuah koperasi, bukan saja menyebabkan kehancuran koperasi, tetapi
membuka peluang bagi si kuat menindas yang lemah.
Larasati