Budidaya Pertanian Singkong1
Budidaya Pertanian Singkong1
1.
SEJARAH SINGKAT
Ketela pohon merupakan tanaman pangan berupa perdu dengan nama lain ubi kayu, singkong
atau kasape. Ketela pohon berasal dari benua Amerika, tepatnya dari negara Brazil. Penyebarannya
hampir ke seluruh dunia, antara lain: Afrika, Madagaskar, India, Tiongkok. Ketela pohon
berkembang di negara-negara yang terkenal wilayah pertaniannya dan masuk ke Indonesia pada
tahun 1852.
2.
JENIS TANAMAN
Klasifikasi tanaman ketela pohon adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae atau tumbuh-tumbuhan
Divisi
: Spermatophyta atau tumbuhan berbiji
Sub divisi : Angiospermae atau berbiji tertutup
Kelas
: Dicotyledoneae atau biji berkeping dua
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Manihot
Spesies
: Manihot utilissima Pohl.; Manihot esculenta Crantz sin.
Varietas-varietas ketela pohon unggul yang biasa ditanam, antara lain: Valenca, Mangi, Betawi,
Basiorao, Bogor, SPP, Muara, Mentega, Andira 1, Gading, Andira 2, Malang 1, Malang 2, dan
Andira 4
3.
MANFAAT TANAMAN
Di Indonesia, ketela pohon menjadi makanan bahan pangan pokok setelah beras dan jagung.
Manfaat daun ketela pohon sebagai bahan sayuran memiliki protein cukup tinggi, atau untuk
keperluan yang lain seperti bahan obat-obatan. Kayunya bisa digunakan sebagai pagar kebun atau
di desa-desa sering digunakan sebagai kayu bakar untuk memasak. Dengan perkembangan
teknologi, ketela pohon dijadikan bahan dasar pada industri makanan dan bahan baku industri
pakan. Selain itu digunakan pula pada industri obat-obatan.
4.
SENTRA PENANAMAN
Di dunia ketela pohon merupakan komoditi perdagangan yang potensial. Negaranegara sentra
ketela pohon adalah Thailand dan Suriname. Sedangkan sentra utama ketela pohon di Indonesia di
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
5.
SYARAT PETUMBUHAN
5.1. Iklim
a) Curah hujan yang sesuai untuk tanaman ketela pohon antara 1.500-2.500 mm/tahun.
b) Suhu udara minimal bagi tumbuhnya ketela kohon sekitar 10 derajat C. Bila suhunya di
bawah 10 derajat C menyebabkan pertumbuhan tanaman sedikit terhambat, menjadi kerdil
karena pertumbuhan bunga yang kurang sempurna.
c) Kelembaban udara optimal untuk tanaman ketela pohon antara 60-65%.
d) Sinar matahari yang dibutuhkan bagi tanaman ketela pohon sekitar 10 jam/hari terutama
untuk kesuburan daun dan perkembangan umbinya.
5.2. Media Tanam
a) Tanah yang paling sesuai untuk ketela pohon adalah tanah yang berstruktur remah, gembur,
tidak terlalu liat dan tidak terlalu poros serta kaya bahan organik. Tanah dengan struktur
remah mempunyai tata udara yang baik, unsur hara lebih mudah tersedia dan mudah
diolah. Untuk pertumbuhan tanaman ketela pohon yang lebih baik, tanah harus subur dan
kaya bahan organik baik unsur makro maupun mikronya.
b) Jenis tanah yang sesuai untuk tanaman ketela pohon adalah jenis aluvial latosol, podsolik
merah kuning, mediteran, grumosol dan andosol.
PROYEK PENGEMBANGAN
BUDI DAYA SINGKONG VARIETAS DARUL HIDAYAH
SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN TARAP KEHIDUPAN
EKONOMI PETANI,SEKALIGUS MENGINTIP PELUANG
PENGEMBANGAN BAHAN BAKU BIOFUEL
A.PENDAHULUAN
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamualaikum Wr.Wb.
mengembangkan berbagai
potensi masyarakat, memanfaatkan berbagai sumber daya yang dimiliki dan mengoptimalkan hasil
hasil dari prakarsa dan pemanfaatan tersebut, sehingga berbagai upaya dimaksud harus berujung
dan bertumpu kepada kesejahteraan rakyat, dan kemakmuran daerah yang bersangkutan,
berdasarkan sendi sendi keadilan dan pemerataaan.
Salah satu upaya untuk mencapai tujuan tersebut adalah pengembangan sector AGROBISNIS, yang
memang sudah merupakan ciri utama dan mayoritas kehidupan masyarakat di negara kita, dimana
sebagian besar penduduknya bertempat tinggal dipedesaan,
mewujudkan
harapan
dan
tujuan
tersebut,
kami
BIGCASSAVA.COM atau
SINGKONGRAKSASA.COM telah memulai rintisan sejak lima tahun yang lalu, dengan mencoba
mengembangkan budi daya singkong Darul Hidayah ( Singkong Raksasa ), yang merupakan bibit
unggul dari singkong singkong yang ada saat ini, dan telah terbiasa dibudidayakan oleh petani
secara konvensional.
Pengembangan singkong Darul Hidayah adalah merupakan jawaban dari persoalan dan rendahnya
produktivitas persatuan lahan, dimana untuk jenis singkong konvensional biasanyan hanya
dihasilkan sebesar 40 50 ton/ha lahan tanaman bahkan terkadang hanya mencapai 20 25 ton
/ha lahan tanam. Sedangkan singkong Darul Hidayah setelah melalui uji tanam atau Pilot Project I
diketahui dapat menghasilkan singkong sebagai hasil tanaman sebesar 100 150 ton/ha lahan
tanam. Bahkan sejak bulan April 2006 sampai dengan September tidak turun hujan ( kemarau )
singkong Darul Hidayah tetap berkembang panjang umbinya mencapai satu meter per batang ubi
kayu , Bahkan tidak sedikit jenis singkong Konvensional yang mati daun dan batang sehingga gagal
panen.
Selain itu BIGCASSAVA.COM memilih komoditas singkong sebagai garapan utamanya didasarkan
pada hasil survey dan analisa market, bahwa kebutuhan berbagai jenis industri yang memanfaatkan
singkong sebagai singkong sebagai bahan bakunya sangat besar, seperti industri makanan, industri
farmasi, industri kimia, industri bahan bangungan, industri kertas, Industri BIOFUEL. Akibatnya
beragamnya jenis industri yang memanfaatkan singkong sebagai bahan baku utamanya, tidak heran
kalau dari singkong dapat dihasilkan 14 macam produk turunan. Kebutuhan bahan baku singkong tersebut bukan
hanya untuk konsumsi dalam negeri, juga untuk kebutuhan import, dan ironisnya kebutuhan kebutuhan industri
dalam negeri masih mengimport bahan baku industrinya, padahal bahan tersebut berasal dari bahan dasar
singkong
Hal lain yang sangat penting dari budi daya singkong ini cenderung dapat ditanam pada jenis tanah
apapun di satu sisi sedangkan pada sisi lain dapat mengoptimalkan lahan lahan yang belum
maksimal produksi, sehingga apabila kegiatan kegiatan tersebut tumbuh kembangkan oleh
pemerintah daerah dan masyarakatnya, akan diperoleh beberapa keuntungan yaitu :
( Gips &
Keramik ), Industri kertas, industri pakan ternak, sedagkan untuk pangsa pasar luar negeri dengan
tujuan eksport adalah Negara Masyarakat Ekonomi Eropa, Jepang, Korea, China, Amerika Serikat,
Jerman, dengan pemanfaatan untuk bahan baku farmasi, bahan baku industri lem, bahan baku
industri kertas, dan bahan baku industri pakan ternak.
Potensi Singkong
UNIDO (UN Industrial Development Organization) atau Badan PBB di bidang Pembangunan Industri
sudah sejak awal tahun 1980-an menerbitkan beberapa laporan tentang potensi singkong atau ubi
kayu atau sampeu atau manioc, terutama di negara berkembang seperti di Indonesia yang memiliki
lahan luas dan memungkinkan, karena permintaan pasar produk singkong tersebut dalam bentuk
gaplek, tepung gaplek, dan terutama tepung tapioka, sangat tinggi.
Dari data UNIDO sejak tahun 1982, Indonesia tercatat sebagai negara penghasil manioc terbesar ke-3
(13.300.000 ton) setelah Brasil (24.554.000 ton), kemudian Thailand (13.500.000 ton), serta disusul oleh negaranegara seperti Nigeria (11.000.000 ton), India (6.500.000 ton), dan sebagainya, dari total produk dunia sebesar
122.134.000 ton per tahun. Walau dari hasil kebun per hektar (ha), Indonesia masih rendah, yaitu 9,4 ton,
kalau dibandingkan dengan India (17,57 ton), Angola (14,23 ton), Thailand (13,30 ton), Cina (13,06 ton), Brasil
(10,95 ton). Tetapi, lahan yang tersedia untuk budidaya singkong cukup luas, terutama dalam bentuk lahan di
dataran rendah serta lahan di dataran tinggi berdekatan dengan kawasan hutan.
Pada umumnya, di Indonesia masih jarang budidaya singkong berbentuk perkebunan dengan luas di
atas lima hektar, karena umumnya masih merupakan kebun sela atau tumpang sari setelah
penanaman padi huma, kebun hortikultura, ataupun hanya merupakan kebun sambilan, yang lebih
banyak ditujukan untuk panenan daun/pucuknya yang dapat dijual untuk lalap, urab, ataupun
makanan lainnya. Sedang dari ubinya, merasa sudah cukup hanya menjadi makanan panganan,
baik dalam bentuk keripik, goreng singkong, rebus singkong, urab singkong, ketimus, opak, sampai
ke bubuy singkong. Kadang-kadang dapat pula ditingkatkan menjadi makanan yang lebih
"bergengsi" kalau menjadi "misro" (atau amis di jero/di dalam) atau "comro" (oncom di jero), dan
sebagainya.
Ekspor singkong Indonesia dalam bentuk gaplek (keratan ubi singkong yang dikeringkan), tepung
gaplek, ataupun tepung tapioka cukup meyakinkan dan dapat bersaing, seperti gaplek Indonesia
yang sangat terkenal di mancanegara, terutama di Masyarakat Eropa (ME) sehingga harganya
mampu bersaing dengan produk sejenis dari beberapa negara di Afrika, juga dari India dan
Thailand, yaitu rata-rata dengan harga 65-75 dollar AS/ton, kemudian meningkat sampai 130 dollar
AS/ ton, padahal produk yang sama dari India, Thailand, dan apalagi dari negara-negara di Afrika,
hanya mencapai 60 dollar AS/ ton dan tidak lebih dari 80 dollar AS/ton.
Akan tetapi, berbeda dengan produk tapioka, yang semula Indonesia dikenal sebagai penghasil
tepung tapioka terbaik kualitasnya, bahkan mendekati kualitas pharmaceutical grade atau produk
bahan baku untuk keperluan farmasi, tetapi tiba-tiba pada tahun 1980-an jatuh menjadi kualitas
terendah, kalah oleh produk sejenis dari negara-negara Afrika, apalagi dari India dan Thailand.
Masalahnya adalah, bahwa di dalam tepung tapioka hasil Indonesia terdapat residu (sisa) pestisida yang
membahayakan, bahkan di atas ambang batas.
Memang budidaya singkong, pada umumnya di Indonesia, tidak menggunakan pestisida, terutama
insektisida (pembasmi hama). Tetapi, mohon untuk diketahui, bahwa pada umumnya pabrik tapioka, yaitu
pengolah ubi kayu menjadi tepung, umumnya berada di lingkungan kawasan pertanian padi, serta untuk keperluan
pabrik, sejak mencuci ubi sebelum dihancurkan (diparut), menghasilkan "larutan" tapioka dari parutan sampai ke
pengendapan dan memisahkan larutan menjadi "bubur" tapioka, dari selokan yang keluar dari kotakan sawah. Jadi
kalau dihitung secara teoretis (on paper) penggunaan pestisida, apakah itu organofosfor ataupun lainnya, rata-rata
dua kilogram (kg) per ha sawah, maka sisa yang terdapat di dalam air sawah, sekitar 150-200 ppm (part per
million atau 1 mg per liter). Dengan begitu, wajar saja kalau sisa/residu tersebut akan terdapat antara 20-35 ppm
pada tepung tapioka, sedangkan persyaratan WHO harus kurang dari 0,05 ppm.
Saat produk tapioka Indonesia jatuh dan terpuruk, maka kalau mau dijadikan komoditas ekspor,
khususnya ke Eropa, harus dijual dulu melalui Singapura, karena di negara tersebut tapioka kita
yang sudah tercemar residu pestisida akan "dicuci" terlebih dahulu hingga memenuhi syarat,
kemudian baru diekspor ke beberapa negara di Eropa dengan nama "Made in Singapore", padahal,
kelakar banyak pakar pertanian, di Singapura tersebut jangankan ada kebun singkong, mencari
untuk obat saja sudah susah, dan baru ada di Malaysia.
Tahun 1980-an, ekspor produk singkong Indonesia, terutama dalam bentuk gaplek dan tepung tapioka,
umumnya ke negara-negara ME. Sedangkan yang membutuhkan produk singkong Indonesia, banyak negara di
luar ME. Akibatnya keluar semacam SK Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri tahun 1990, yang
menyatakan bahwa eksportir Indonesia yang mau mengekspor ke luar ME akan dapat rangsangan 1:2, yaitu
dalam bentuk mereka akan dapat jatah ekspor ke ME sebesar dua kali jumlah ekspornya ke non-ME.
Makin menurunnya jumlah ekspor gaplek, karena penurunan produk singkong Indonesia, misalnya dari
17,1 juta ton tahun 1989, menjadi 16,3 juta ton tahun 1990. Ini disebabkan pula karena konsumsi di dalam negeri
untuk banyak kegunaan dalam bentuk singkong mencapai 12,65 juta ton, sehingga sisa singkong yang akan
digaplekkan hanya sekitar tiga juta ton saja. Dengan catatan konversi (perubahan) dari ubi singkong segar menjadi
gaplek sekitar 30 persen saja. Karena itu, tidak heran kalau ekspor juga ikut anjlok, yaitu dari sekitar 790.000 ton
ke ME dan 657.104 ke luar ME hanya menjadi 122.845 ton (tahun 1989-1990). Ternyata penurunan tersebut terkait
dengan banyak petani singkong yang sudah tidak mau lagi menanam singkong; disebabkan antara lain karena
"tanah bekas" singkong menjadi lebih kurus karena selama penanaman tidak pernah dilakukan pemberian pupuk,
misalnya pupuk organik dalam bentuk pupuk hijau (tanaman polong-polongan), serta faktor lainnya lagi, antara
lain, banyak pabrik tapioka daerah yang kemudian gulung tikar, sehingga produk para petani kemudian banyak
yang rusak, misalnya perubahan warna menjadi kehitam-hitaman ataupun membusuk. Juga singkong untuk
bahan baku tapioka berbeda dengan singkong konsumsi, yaitu kandungan senyawa cyanida lebih tinggi
dan terasa pahit.
Petani, bukan saja disebabkan karena keterbatasan lahan untuk budidaya singkong yang
menyebabkan mereka tidak tertarik, tetapi juga karena pemasaran yang bertahap, sehingga dari
petani bernilai antara Rp 36 - Rp 50/kg segar, dan para pengumpul menerima sekitar Rp 75-Rp
100/kg segar. Dulu ketika di hampir tiap daerah/desa banyak bermunculan pabrik pengolah
singkong menjadi tapioka, hasil jerih payah mereka banyak membantu pendapatan.
Bahwa bertani singkong menguntungkan, banyak dialami petani di beberapa daerah di Jawa Barat,
mulai dari Kabupaten Purwakarta, Subang, Sumedang, Tasik, Ciamis, Garut, sampai sukabumi dan
Cianjur.
Mereka menanam singkong bukan sekadar sambilan, tetapi sudah dikhususkan pada lahan yang
sudah ada, dengan luas antara 1-4 ha, umumnya terletak di lereng pegunungan, berbatasan
dengan lahan Kehutanan/Perhutani. Lahan untuk tanaman singkong tidak harus khusus, dan tidak
memerlukan penggarapan seperti halnya untuk tanaman hortikultura lainnya, misal sayuran. Juga
selama penanaman, tidak perlu pemupukan dan pemberantasan hama atau penyakit.
Ternyata hasil tiap panen (antara 5-6 bulan setelah penanaman) dari luas 1 ha akan dapat diraih
keuntungan sekitar Rp 2.500.000, yaitu dari hasil penjualan umbinya (4-6 ton) serta pucuk
daunnya. Yang perlu diketahui, bahwa selama budidaya tidak banyak pekerjaan yang harus
dilakukan, misal menyiangi gulma (hama). Tentu saja kalau hal ini dilakukan, hasilnya akan dapat lebih baik
lagi. Padahal bibit singkong yang mereka tanam masih jenis tradisi, yang hanya memberikan hasil ubi sekitar 4-8
ton/ha.
Sekarang, seperti yang dilakukan oleh para pengusaha singkong di daerah Lampung, Sulawesi
Selatan, serta daerah lainnya, di samping lahan yang digunakan dapat lebih dari 500 ha/kebun,
bahkan ada yang mencapai ribuan ha, juga bibit singkong umumnya merupakan bibit unggul seperti
Manggi (berasal dari Brasil) dengan hasil rata-rata 16 ton/ha, Valenca (berasal dari Brasil) dengan
hasil rata-rata 20 ton/ha, Basiorao (berasal dari Brasil) dengan hasil rata-rata 30 ton/ ha, Muara
(berasal dari Bogor) dengan hasil rata-rata 30 ton/ ha, Bogor (asal dari Bogor) dengan hasil ratarata 40 ton/ha. Bahkan, sekarang ada pula jenis unggul dan genjah (cepat dipanen), seperti
Malang-1, dengan produksi antara 45-59 ton/ha atau rata-rata 37 ton, Malang-2, dengan produksi
rata-rata antara 34 - 35 ton/ha.
Semakin banyak petani berdasi yang saat ini mulai melirik budidaya singkong dengan luas tanam di
atas 50 ha, terutama di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan, karena permintaan produk, terutama
dalam bentuk gaplek, tepung gaplek dan tepung tapioka, terus meningkat dengan tajam. Serta
produk olahan singkong Indonesia, terutama dalam bentuk gaplek dan tepung gaplek, dapat bersaing dengan
produk sejenis dari negara-negara di Afrika, juga dari Thailand dan India. H UNUS SURIAWIRIA, Bioteknologi dan
Agroindustri, ITB
C. MENANAM BENSIN DIKEBUN SINGKONG
[ ilmu & Teknologi, Gatra No:13 Beredar senin, 7 Februari 2006]
MENTERI Riset Dan Teknologi Kusmayanto Kadiman ternyata bisa juga jadi supir, Mantan Rektor
Institut Teknologi Bandung itu tanpa canggung duduk dibelakang setir Land Rover Discovery.
Penumpangnya Direktur Jenderal Industri Kimia dan Direktur Jenderal Migas. Mobil kelas atas ini
meluncur dari Gedung BPPT di jalan M. H. Thamrin menuju Monumen Nasional, lalu kejalan Jenderal
Sudirman dan Memutar lagi di Jembatan semanggi balik lagi ke BPPT.
Tak lama Kusmayanto jadi supir kamis terakhir dibulan Januari itu hanya memamerkan kinerja
mobil berbahan bakar Singkong Tapi demo Kusmayanto belum berakhirSaya akan Promosikan
ke Istana Negara,katanya . Namun sebelum beranjak ke Istana rupanya gayung sudah bersambut
oleh Gubernur Sutiyoso. Ia akan menjajaki penggunaan Bensin Singkong itu untuk taksi di
Jakarta.
Bensin Singkong? Tepatnya bensin dioplos alcohol yang dibuat dari ubi kayu. Di dunia dikenal
dengan sebutan gasohol atau
mengurangi ketergantungan pada bensin yang diyakini bakal habis ditambang. Salah satunya
alternatifnya mencampurkan etanol kedalam bensin. Etanol mengandung 35 % oksigen, sehingga
meningkatkan efisiensi pembakaran. Juga menaikkan Oktan, seperti zat aditif ( methyl tertiary
buthyl ether MTBE) dan tetra ethyl lead (TEL) yang umum dipakai berbeda dengan TEL, Etanol
bisa terurai sehingga mengurangi emisi gas buang berbahaya.
Tak mengherankan pemakain Etanol di dunia makin dan makin Besar, Produksi etanol dunia untuk
bahan bakar diduga bakal meningkat dari 19 Milyar liter ( 2001) menjadi 31 Milyar liter ( estimasi
2006). Beberapa Negara di Brasil, Amerika Serikat, Kanada. Uni Eropa dan Australia sudah
menggunakan campuran 63% etanol dan 37% bensin. Sedangkan yang mengisi tangki Land Rover Pak Menteri
itu adalah gasohol Be-10, artinya porsi Bioetanol 10 % dan Bensin 90 %. Dengan porsi 10 % kerja mesinnya bisa
optimal, kata Agus Eko Tjahyono. Kepala Balai Besar Teknologi Pati, Lampung.
Di Indonesia sendiri gasohol bukan barang baru, di Lampung, gasohol sudah bertahun tahun
mengisi tangki mobil dan motor para pegawai Bali Besar. Tapi tak pernah dilirik pejabat Jakarta.
Teknologi ini mulai diteliti Balai Besar sejak 1983 dengan bantuan teknis dari lembaga penelitian Jepang,JICA.
Mereka terus mengembangkan teknologi itu dengan tekad mengubah sumber pati tak berharga itu di lampung,
tiap kilogramnya, harganya tak lebih dari harga sepotong ubi goreng di Jakarta menjadi bahan bakar bernilai
tinggi. Hasilnya ?sekarang, gasohol ubi kayu kami termurah didunia. kata Agus Eko Tjahyono.
Sumber Bioetanol memang tak Cuma singkong, bisa juga tebu,sagu,jagung,gandum,bahkan limbah
pertanian seperti jerami. Di Amerika yang banyak dipakai sebagai sumber pati adalah jagung,tapi
Agus yakin bahan bakar Bakar alternative dari singkongnya mampu bersaing di pasar.
Teknologi kami makin efisien. Ongkos Produksi lebih murah dari minyak tanpa subsidi, katanya
untuk skala kecil, kapasitas 60.000 liter per hari biaya produksinya Rp. 2.400, lebih rendah
dibandingkan dengan bensin yang berkisar Rp. 2.600. Menurut Agus, Gasohol juga bisa
mensejahterakan Petani. Contoh tahun 2004, konsumsi bensin 15 Juta Kilo liter. Jika 20 %nya
diganti gasohol BE-10, berarti menghemat 3 juta kiloliter bensin. Setiap liter alcohol. Dihasilkan dari
6,5 Kilogram Singkong artinya butuh 2 juta ton singkong dari lahan 100.000 hektare.
Apabila menggunakan singkong Varietas unggul Darul Hidayah hanya memerlukan lahan seluas
13.500 Ha. Dengan menanam singkong Varietas unggul dapat mengefisiensi :
1. Lahan
2. Bibit
3. Pupuk
4. biaya garapan( olah lahan )
5. penyiangan rumput
6. biaya panen
7. biaya angkut
8. Hasil panen lebih optimal dalam waktu yang lebih singkat sebesar 100 sampai 150 ton dalam jangka
waktu 1 tahun, dari pada singkong konvensional panen dengan hasil 100 - 150 ton dalam jangka waktu
4 tahun
Sedangkan
untuk
kebutuhan
tersebut
utnuk
memenuhi
pasokan
kebutuhan
lokal
saja
BIGCASSAVA.COM hanya mengambil 30 % dari kebutuhan yang ada atau sekitar 100 ton singkong
segar/hari. Apabila target 100 ton singkong segar / hari diolah dalam bentuk chips singkong sebagai
bahan jadi, maka bila 50% dari 100 ton diolah dengan cara padat karya, berdasarkan
pengalamn Pilot Project I per orang setiap harinya mampu menghasilkan Chip singkong segar
sebanyak 300 Kg, artinya apabila setiap harinya dilakukan produksi chip sebesar 50 Ton atau 50.000
kg berarti menyerap tenaga kerja sebanyak 167 orang pekerja/hari, dengan upah chips sebesar Rp.
6.000/100. Dengan demikian seorang tenaga kerja chips yang bekerja dari jam 07.00 pagi s/d
13.00 siang akan memperoleh pendapatan sebesar Rp. 18.000/orang/hari.
Untuk mendukung Program pengembangan budi daya tanaman singkong Darul Hidayah di
Kabupaten Subang sehingga dapat terlaksana sebagaimana yang direncanakan, maka diperlukan
suatu upaya yang terintegrasi dan Sinergis antara Kopersai, Petani, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten
Sukabumi
maupun
Pemerintah
Pusat,
agar
dapat
tujuan
pengembangan
dan
pemberdayaan masyarakat petani dapat tercapai. Salah satu upaya yang harus dilaksanakan adalah
dengan cara memanfaatkan lahan lahan tidur baik yang dikuasai Pemda maupun dinas
Perkebunan juga Dinas Kehutanan. Dimana berdasarkan hasil survey
beberapa instansi terdapat ribuan Ha lahan yang menganggur tidak dimanfaatkan secara optimal.
Untuk pupuk kandang BIGCASSAVA.COM telah bekerjasama dengan Koperasi Susu Perah Gunung
Gede Sukabumi& Peternak Ayam potong di Warung Kiara Kabupaten Sukabumi
Pemasaran singkong (segar, Gaplek, tepung ) diperuntukan :
1.Pakan Ternak Sapi Perah , yang sangat tinggi akan
karbohidrat
Satuan
Kadar
Keterangan
Air
% Berat
60,29
SNI 01-2891-1992
Pati
%Berat
34,66
SNI 01-2891-1992
Gula Total
% Berat
2,33
Luff Schoorl
Serat Kasar
% Berat
6,61
AOAC 962.09(2000)
Pati
% Berat
83,03
SNI 01-2891-1992
Gula Total
% Berat
3,76
Luff Schoorl
Serat Kasar
% Berat
7,17
AOAC 962.09(2000)
2
Singkong Basah
6
7
Singkong Kering
Pemesanan bibit :
Teguh Rahayu, telp. 08122040286; email : teguh_r@smsagrobost.com
Segera hadir! Bibit Mekarmanik 2
I. TEROBOSAN TEKNOLOGI.
Terobosan Bio Teknologi, merupakan suatu revolusi iptek seperti ditemukannya transistor
yang merupakan pondasi dari industri microchip saat ini, ditemukannya petroleum
cracking yang mengembangkan industri BBM dan petrokimia, dan ditemukannya mesin
uap yang mengalirkan revolusi industri.
PT. Sumber Daya Hijau bersama PDBI dan rekan-rekan, berusaha memanfaatkan terobosan-terobosan
teknologi ini dalam industri bahan bakar kendaraan bermotor yang memakai Biomas, limbah pertanian
yang ramah lingkungan sebagai bahan baku.
II. ETHANOL SEBAGAI BAHAN BAKAR KENDARAAN.
Ethanol sebagai bahan bakar kendaraan bermotor sudah dipakai sejak per-mulaan abad ke 20 di Brazil,
Perancis, Jerman, Swedia, U.S.A, India, dsb.
Henry Ford melihat Ethanol sebagai bahan bakar untuk kehidupan hari de-pan namun dalam
pengembangan lebih lanjut, BBM dari petroleum yang harganya lebih murah telah menjadi dominan.
Kini Ethanol dipakai secara luas di Brazil dan U.S.A. Semua kendaraan bermotor di Brazil, saat ini
menggunakan bahan bakar yang mengandung paling sedikit kadar ethanol sebesar 20 %. Pertengahan
1980, lebih dari 90 % dari mobil baru, dirancang untuk memakai ethanol murni.
Di U.S.A , lebih dari 1 trilyun mil telah ditempuh oleh kendaraan bermotor yang menggunakan BBM
dengan kandungan ethanol sebesar 10 % dan ken-daraan FFV (Flexible Fuel Vehicle) yang menggunakan
BBM dengan kand-ungan 85 % ethanol (E85, lihat halaman - 2).
Tahun 1999, ethanol merupakan pangsa pasar sebesar 1,2 % dari pasaran BBM.
3.2. Dengan dipakainya 2/3 lebih dari produksi dunia untuk bahan bakar kendaraan bermotor, maka
ethanol adalah bahan bakar non petroleum yang terbesar didunia.
Ini mencakup 41 % dari pasaran bensin di Brazil dan 1,2 % dari pasaran bensin di U.S.A. Potensi ethanol
di pasaran bahan bakar kendaraan bermotor di U.S.A adalah 570 juta ton atau 100 kali dari jumlah
produksi saat kini se-cara global, maka pasaran ethanol yang cukup murah (ex. limbah pertanian)
diperkirakan mencapai 2.000 juta ton (sama dengan 80 kali produksi dunia sekarang).
3.3 Bahan bakar dari minyak bumi adalah sumber utama polusi, sedangkan ethanol dari pertanian (bioethanol) adalah bahan terbaharui (renewable), ramah lingkungan, mengurangi import BBM dan
khususnya buat Indonesia mengalirkan subsidi BBM kepada para petani yang miskin (sektor yang te-pat
menerimanya) melalui penciptaan lapangan kerja yang luas dan sustain-able di perkebunan tanaman
energi.
Dalam th. 2003, Ir. Arsjid Mulia, Ir. Harefah, Drs. Yordan Bangsaratoe, and Tukul
Sufianto (Anton) menanda tangani Perjanjian Kerja Sama untuk menanam Singkong
dengan menggunakan pertanian intensif agar produktivitas tanaman singkong per Ha di
Lampung meningkat. Dengan demikian pendapatan Petani diharapkan juga meningkat
dan Industri Tapioka memperoleh bahan bakunya lebih cukup, namun semuanya tetap
layak usaha . Ethanol bisa dibuat dengan harga dibawah Rp.1.600 / liter. Berarti sudah
lebih murah dari harga bensin yang di subsidi yang kini dijual dengan harga SPBU Pertamina Rp. 1,800
/liter (Pre-mium, oktan 88) Padahal ethanol murni mempunyai angka oktan 115. Terobosan dalam
pertanian ini harus menjadi terobosan bagi BPPT Sulusuban untuk men-jadi ujung tumbak dalam
memproduksi bahan bakar kendaraan Ethanol Singkong dan akhirnya menjadi terobosan bangkitnya
sektor riel seluruh Indone-sia.
Hasil panen 5 Januari 2004 dari cultivar Aldira Plus
menghasilkan produktivitas rata-rata sebesar 20.7 Kg.
per pohon, dimana hasil terbesar per pohon asalah 27
Kg umbi. (lihat foto terlampir). Usia panen adalah 12
bulan dan jumlah po-hon yang ditanam adalah 277
batang, dengan jarak tanam 1.5m x 1.0m. Produk-tivitas
ini setara dengan 120 Ton / Ha. Lampung rata-rata saat
ini = 12.4 ton per Ha.
Kondisi tanah adalah marginal (Podzolik, merah kuning) dan klimat tipe C, menurut Olderman
Kadar pati yang diuji: 29 % untuk usia panen 12 bulan,
dan 21 % untuk usia panen 5 bulan.
II. Ke-Ekonomian
Dari eksperimen ini didapat perhitungan indikator keekonomian yang sangat menarik ( dari catatan biaya
yang dikeluarkan dan hasil penjualan ke pabrik tapioca)
Hasilnya sebagai berikut :
Investasi per Ha. = Rp. 12.7 juta, siklus proyek = 3.6 tahun ( 3 x panen). IRR = 68% ; ROI = 35%; dan
ROA = 85%
Pendapatan petani diproyeksikan = Rp. 7 juta / tahun, (tidak memiliki lahan) Jika petani memiliki lahan 1
ha. maka pendapatannya = Rp. 11.5 juta /tahun.
Harga singkong yang didapat diproyeksikan berada sekitar Rp. 70/Kg dengan pendapatan rata-rata petani
= Rp. 7.9 juta. (Lampung rata-rata Petani penghasilannya dibawah Rp. 7 juta)
III. Perlu Pilot Proyek yang lebih luas (200 Ha.)
Hasil dari eksperimen 2003 diatas cukup memberi harapan, oleh karena itu memerlukan konfirmasi lebih
lanjut untuk penanaman le-bih lanjut pada lahan yang lebih luas, 200 Ha. Melalui kerja sama dengan
partner strategik, yang mencakup budi daya singkong dan permodalan. Menurut para ahli hasil tanam
pada lahan yang lebih luas biasanya akan turun karena kemampuan mengontrol pada mutu pelaksanaan
budaya tanam singkong secara intensif menurun (mutu dan disiplin kerja petani). Pilot proyek ini sedang
dalam persiapan.
Hasil dari pilot proyek semacam ini akan sangat penting artinya, karena akan membuka jalan menuju
pelaksanaan program Penciptaan Lapangan Kerja se-cara nasional, khususnya menjawab pertanyaan
berapa biaya yang bisa dilak-sanakan untuk menerapkannya di seluruh Provinsi Lampung ?, yang
kemudian akan menjadi model untuk seluruh Indonesia.
Untuk memperluas lapangan kerja yang berkesinambungan diselu-ruh Nusantara maka didalam:
Jangka Panjang
tolong minta cara pembuatan bioetanol singkong dan berapa harga mesinya untuk skala industri kecil dan
jualnya kemana terimakasih
Posted by erik, on Wednesday, 11 June 2008 at 10:20
saya tertarik dengan usaha bio-ethanol, saya mau bertanya: bagaimana proses cara pembuatan bio-ethanol
dan berapa harga mesin pembuatan bio-ethanol dari skala rumah tangga sampai skala industri besar? dan
satu pertanyaan lagi: dimana?Ditoko apa? dan bagaimana saya dapat membeli mesin pembuatan bioethanol? terima kasih, putra gunawan ( p_gun87@yahoo.com )
Posted by putra gunawan, on Thursday, 05 June 2008 at 5:38
minta info tentang cara pembuatan bioethanol skala kecil,semoga dapat membantu orang yang
memerlukannya.mengapa sampai sekarang belum dijalankan proyek ini???
Posted by arief, on Thursday, 22 May 2008 at 12:31
mohon informasinya detail mengenai bau menyengat yang diakibatkan pembangunan industri etanol? apa
dampak kesehatan bagi manusia, lingkungan dan biota sungai? bagaimana solusi untuk menghilangkan
bau yg sangat mengganggu tsb? atas perhatian dan bantuannya saya ucapkan terima kasih
Posted by Pu3, on Monday, 28 April 2008 at 12:55
setiap sesuatu berlaku hukum sebab akibat, jika kita mempropagandakan pemakaian bio-energi. yang nota
bene barasal dari pertanian dan perkebunan. jk lahan dan hasilnya berlomba lomba di peruntukkan untuk
bio-energi sedangkan manusia jg butuh jg untuk lahan-pertanian yg dipakai untuk konsumsi otomtis
bahan2 konsumsi harganya melambung yang disebabkan penggunaan lahan dan hasilnya untuk bioenergi. trus bagaimn nasib manusia/negara miskin??? harga kebutuhan pokok melambung?? manusia
tahan menghadapi panas tapi tak kan mampu menghadapi lapar dan kelaparan?? untuk apa berbuat
sesuatu yang mungkin dari satu sudut pandang menyelamatkan dunia tapi satu sisi yg lain malah
mengorbankan orang2 kecil/kemanusiannya dengan kelaparan.., jadilah pengembil keputusan dan
kebijakan yang slalu membawa keuntungan dan kemakmuran bagi seluruh mahluk bukan
segelintir...hiduplah dengan keadilan bukan keserakahan, kt semua bakal mati apa yang akan kt bawa saat
ajal menjemput selain amal kebajiakan tiap2 amal perbuatan kt akan dimintai pertanggung jawaban
sekecil apapun. kita diutus sbg kholifah untuk seluruh alam.
Posted by Riduwan, on Wednesday, 23 April 2008 at 8:13
umbi. Jumlah ini sangat berbeda dengan produksi singkong di sekitar Bogor saat ini yang hanya berkisar
15-20 ton/hektar. Mengingat usaha budidaya singkong selalu menambahkan pupuk buatan dalam bentuk
urea, TSP/SP 36, dan kadang-kadang KCL, maka tentunya penurunan unsur hara tanah tidak terlalu
nyata.
Satu-satunya kemungkinan yang dapat menjadi dasar perbedaan produktivitas singkong yang sangat
nyata di Bogor menurut Bauski adalah penurunan kandungan bahan organik.
Sementara itu dijelaskannya lagi, produktivitas lahan rata-rata di Thailand meningkat 15 ton per hektar
pada 1995 menjadi 20,3 ton per hektar pada 2005. Hal ini juga memastikan peranan pemberian bahan
organik ke dalam lahan budidaya singkong sangat nyata meningkatkan produktivitas. Di mana pengusaha
tepung singkong di Khorat dan daerah lainnya mengkombinasikan usaha tepung singkong dengan usaha
biogas dan pengembalian bahan organik hasil dekomposisi dari sistem biogas.
Strategis hasilkan zat tepung
Peningkatan produksi singkong merupakan tindakan yang sangat strategis. Pemenuhan zat tepung untuk
konsumsi masih kekurangan. Sementara itu kebutuhan zat tepung sebagai bahan baku untuk biofuel juga
sangat besar. Sebagai salah satu tanaman penghasil zat tepung utama selain beras, singkong merupakan
tanaman yang sangat besar menghasilkan tepung per tahun. Selain itu dapat tumbuh di lahan yang kurang
subur.
Walaupun singkong merupakan tanaman yang relatif dapat tumbuh dan berproduksi pada lahan-lahan
yang marginal dan telah dikenal luas di Indonesia, namun data produksi singkong di Indonesia lebih
rendah daripada Thailand.
Hasil ini menjadi lebih nyata bila dibandingkan dengan data rendemen zat tepung terhadap singkong. Di
Indonesia, rendemen zat tepung pada singkong berkisar 16 persen 17 persen. Sedangkan di Thailand
dapat mencapai rata-rata 19 persen. Padahal varietas singkong yang ditanam umumnya sama yaitu
Kasesat 4 dan UJ 4 dan 5.
Iklim dan tanah bervariasi
Singkong dapat tumbuh pada berbagai kondisi iklim dan tanah yang cukup bervariasi. Umumnya, para
peneliti yakin dengan suhu tanah rata-rata di atas 18 derajat Celcius. Sedangkan kebutuhan curah hujan
minimum harus di atas 1000 mm. Meski demikian ada juga yang berpendapat bahwa singkong dapat
tumbuh dengan baik pada lahan bercurah hujan lebih rendah dari 1000 mm asalkan dua bulan pertama
dari penanaman tidak mengalami kekurangan air.
Sebagai tanaman umbi-umbian, singkong membutuhkan drainase tanah yang baik seperti tanah bertekstur
lempung berpasir sampai lempung berliat. Akan tetapi beberapa data menunjukkan bahwa tanaman
singkong masih dapat berkembang baik pada tanah dengan kandungan liat yang tinggi.
Singkong juga jauh lebih toleran terhadap kemasaman tanah dan keracunan aluminium daripada tanaman
lahan kering lainnya seperti jagung dan kedelai. Tapi, kondisi yang paling optimum adalah bila singkong
berkembang pada tanah ber-pH 6 - 7. Hasil penelitian CIAT pada 1976 menunjukkan bahwa pada tanah
masam, umumnya singkong mengalami hambatan pertumbuhan. Itu disebabkan keracunan aluminium
atau mangan, kekurangan fosfor dan kalsium.
Kurangnya pemberian bahan organik, dan tidak dikembalikannya sisa-sisa tanaman juga menyebabkan
menurunnya aktivitas organisme tanah dan menurunkan kemantapan struktur tanah sehingga tanah
menjadi padat. Sebagai akibatnya, akar tanaman menjadi kurang berkembang. Terlebih lagi pupuk kimia
menjadi sangat beracun dan menurunkan produktivitas.
Sumber: http://beritabumi.or.id/berita3.php?idberita=642 . Diedit oleh: Ardi Bramantyo
Kasmir mengaku juga mempertanyakan masalah tersebut kepada kepala pabrik briket di Lampung. Kalau
melihat hasil tungku, kata dia, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sekalipun bukan dalam kapasitas
sebagai ahli kesehatan, hasil panas briket diyakini tak membahayakan.
Kasmir menegaskan, kampanye energi alternatif di masyarakat sudah menggaung, sehingga sangat layak
menjadi isu utama DPD ke depan. "Saya cenderung ingin menjadikan ini sebagai isu utama terutama
ketika DPD bertemu eksekutif, daripada ikut membahas isu lain yang hanya menjadi tong sampah DPR."
Sarwono Kusumaatmadja, anggota DPD dari DKI Jakarta menyatakan, bahan kunjungan kerja ini akan
menjadi Terms of Reference (ToR) dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Ia setuju akan
menjadikan energi alternatif sebagai isu utama DPD, karena alasan pengembangan energi alternatif ini
berbasis masyarakat dan desentralisasi sumber daya energi.
TUGAS MAKALAH
MATA KULIAH MASALAH KHUSUS AGRONOMI
PNA 620
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS SINGKONG DENGAN TEKNOLOGI MUKIBAT SEBAGAI
SUMBER BAHAN BAKU BIOETHANOL
Oleh :
Purwanto
07/260162/PPN/3219
A. Pendahuluan
Dalam sejarah, manusia tidak pernah lepas dari ketergantungan dengan energi. Konsumsi energi
dalam jumlah besar merupakan ciri dari peradaban modern. Sejak ditemukannya api manusia melai
merekayasa energi. Seiring dengan kebutuhan, tingkat rekayasa energi semakin besar. Hal ini tak pelak
menuntut pengeksploitasian sumber-sumber energi yang semakin besar dan gencar. Namun hal ini masih
terbatas pada sumber-sumber energi tak terbarukan (minyak bumi, gas alam dan Batubara) (Anonim,
2007).
Sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia mengalami penurunan produksi minyak nasional yang
disebabkan secara alamiah cadangan minyak pada sumur-sumur yang berproduksi. Dilain pihak
pertambahan penduduk telah mengakibatkan meningkatnya kebutuhan sarana transportasi dan aktivitas
industri yang berimbas pada peningkatan kebutuhan dan konsumsi bahan bakar sehingga untuk
memenuhinya Indonesia harus import.
Besarnya ketergantungan pada bahan bakar import semakin memberatkan Pemerintah. Ketika harga
minyak dunia terus meningkat seperti pada saat ini mencapai 90 $ US mengakibatkan semaikin berat
beban subsidi yang harus ditanggung Pemerintah sehingga harus dikurangi dan ini berakibat naiknya
harga bahan bakar minyak.
Melihat kodisi ini, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5
tahun 2006 tentang kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber-sumber energi alternatif
sebagai pengganti Bahan Bakar Minyak. Walaupun kebijakan ini menekankan penggunaan batubara dan
gas sebagai pengganti bahan bakar minyak, kebijakan tersebut juga menetapkan sumber daya yang dapat
diperbaharui seperti bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar minyak. Selain itu, pemerintah serius
untuk mengembangkan bahan bakar nabati dengan menerbitkan INPRES No. 1 tahun 2006 tanggal 25
Juni 206 tentang penyediaan bahan bakar nabati (Biofuel) sebagai sumber bahan bakar (Martono dan
Sasongko, 2007).
Tabel 1. Jenis Tumbuhan Penghasil Energi
Jenis Tumbuhan
Produksi
Minyak (Liter
per Ha)
Ekivalen
Energi(kWh per
Ha)
3.600-4.000
33.900-37.700
2.100-2.800
19.800-26.400
1.800-2.700
17.000-25.500
2.450
16.000
1.200-2.000
11.300-18.900
1.020
6.600
Bahan bakar nabati yang dapat dikembangkan adalah biodiesel dan bioethanol. Bahan baku hayati
biofuel dapat berasal dari produk-produk dan limbah pertanian yang sangat berlimpah di Indonesia.
Saat ini teknologi yang berpeluang dikembangkan untuk pengadaan energi biofuel adalah produksi
ethanol. Ethanol memiliki kandungan oksigen lebih tinggi sehingga terbakar lebih sempurna, bernilai
oktan lebih tinggi, ramah lingkungan karena mengandung emisi gas karbon monoksida lebih rendah
dibandingkan dengan bahan bakar minyak (Anonim, 2007).
Biomasa :Bioethanol
6,5 : 1
8:1
2,5 : 1
12 : 1
4:1
Menurut Martono dan Sasongko (2007) Indonesia memiliki 60 jenis tanaman yang berpotensi
menjadi bahan bakar alternatif diantaranya kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, kapuk yang bisa dijadikan
biodiesel untuk bahan bakar alternatif pengganti solar; dan tebu, jagung, singkong ubi serta sagu yang
bisa dijadikan bioethanol untuk dijadikan bahan bakar alternatif pengganti premium. Bahan baku biofuel
yang potensial untuk diukembangkan di Indonesia terutama adalah Ubi kayu.
B. Potensi Produksi Singkong Sebagai Penyedia Bahan Baku Bioethanol
Berdasarkan kontribusi terhadap produksi nasional terdapat sepuluh propinsi utama penghasil
singkong yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku,
Sumatera Selatan dan Yogyakarta yang menyumbang sebesar 89,47 % dari produksi Nasional sedangkan
produksi propinsi lainnya sekitar 11-12 % (Agrica, 2007).
Indonesia termasuk sebagai negara penghasil ubi kayu terbesar ketiga (13.300.000 ton) setelah Brazil
(25.554.000 ton), Thailand (13.500.000 ton) serta disusul negara-negara seperti Nigeria (11.000.000 ton),
India (6.500.000 ton)dari total produksi dunia sebesar 122.134.000 ton per tahun (Bigcassava.com, 2007).
Potensi Pengembangan ubi kayu di Indonesia masih sangat luas mengingat lahan yang tersedia untuk
budidaya ubi kayu cukup luas terutama dalam bentuk lahan di dataran rendah serta lahan-lahan di
dataran tinggi dekat kawasan hutan. Dalam upaya penyediaan bahan baku yang besar dan kontinu untuk
bioethanol, pengusahaan ubi kayu perlu dilakukan dalam bentuk perkebunan dengan luas areal diatas
lima hektar mengingat selama ini belum diusahakan dan masih merupakan kebun sela atau tumpangsari
ataupun hanya merupakan kebun sambilan.
Permasalahan utama dalam produksi ubi kayu adalah produktivitas yang masih rendah yaitu 12,2
ton/ha (Agrica, 2007) dibandingkan dengan India (17,57 ton), Angola (14,23 ton/ha), Thailand (13,30
ton/ha) dan China (13,06 ton/ha) (bigcasssava.com, 2007). Disamping itu, produktivitas ubi kayu di
Indonesia masih sangat berfluktuatif. Di Daerah Istimewa Yogyakarta terutama di Kabupaten Gunung
Kidul dari tahun 1998 sampai dengan 2005 mengalami fluktuasi produktivitas anatar 127 kw/ha samapi
174 kw/ha dan produksi tertinggi sebesar 812.321 ton (Martono dan Sasongko, 2007)
Grafik 1. Trend Luas Panen Ubi Kayu (Hektar) di Kabupaten se Daerah Istimewa
Yogyakarta
Hasil penelitian Ahit et al., (1981) menunjukan bahwa penggunaan teknologi mukibat dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil yang lebih tinggi yaitu tanaman memiliki stuktur tanaman
lebih tinggi, diameter akar yang lebat dengan bobot yang lebih tinggi serta LAI yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tanaman ubi kayu biasa. De Bruijn dan Guritno (1990) menyatakan bahwa
peningkatan produksi ubi kayu sistem mukibat maningkat 30% dan bahkan dapat mencapai lebih dari 100
% tergantung pada kondisi wilayah penanaman.
D. Penutup
Penurunan produksi minyak bumi nasional dan kenaikan harga minyak dunia yang semakin tinggi
perlu disikapi dengan mencari sumber energi alternatif bersumber pada bahan terbaharui atau bahan
bakar nabati. Bioethanol berbahan baku singkong cukup potensial untuk dikembangkan mengingat masih
tersedianya lahan untuk budidayanya dengan didukung teknologi budidaya. Teknologi singkong
mukibat dapat dikembangkan untuk peningkatan produksi singkong untuk bioethanol. Penggunaan
teknologi mukibat dapat meningkatkan produksi singkong antara 30 % sampai dengan 100 %.
DAFTAR PUSTAKA
Agrica. 2007. Bensin Singkong. Lembaga Pers Mahasiswa AGRICA Fakultas Pertanian
Unsoed Purwokerto, Edisi XIX/Tahun XXI September 2007
Ahit, O.P.; S.E. Abit and M.B. Posas. Growth and development of Cassava Under The
Traditional and The Mukibat System of Planting. Annal of Tropical Research 3(3): 187198.
Alves, A.A.C. 2002. Cassava Botany and Physiology. CAB International.
Anonim. 2007. Saatnya Eksplorasi Bahan Bakar Hayati. http://www.bppt.go.id
Bigcassava.com. 2007. Proyek Pengembangan Budi Daya Singkong Varietas Darul
Hidayah Sebagai Upaya Meningkatkan Tarap Kehidupan Ekonomi Petani, Sekaligus
Mengintip Peluang Pengembangan Bahan Baku Biofuel. http://www.bigcassava.com
Cock, J.H. 1992. Ubi Kayu. in Goldsworthy, P.R. dan N.M. Fisher. 1992. Fisiologi
Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
De Bruijn, G.H. and Bambang Guritno. 1990. Farmer Experimentation With Cassava
Planting in Indonesia. Departemen of Tropical Crop Science. Wageningen Agriculture
University, Netherlands
Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta.
Goldsworthy, P.R. dan N.M. Fisher. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Martono, B. dan Sasongko. 2007. Prospek Pengembangan Ubi Kayu Sebagai Bahan Baku
Bioethanol. http://www.diy.go.id