Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak ditetapkannya Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tetang Standar Isi dan berikutnya
Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), maka di sekolahsekolah dari jenjang pendidikan dasar dan menengah diterapkan kurikulum baru yang dikenal dengan
sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, disingkat KTSP, sebagai penyempurnaan dari
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Tahun 2004. Semangat yang mendasari pemberlakuan KTSP
ini adalah semangat perubahan, perubahan dari suasana keterpasungan menjadi suasana yang penuh
dengan kebebasan dan kreativitas. Dari segi proses pembelajaran, KTSP menghembuskan perubahan
dari model pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi model pembelajaran
yang berpusat pada subyek didik (students centered), perubahan dari kegiatan mengajar menjadi
kegiatan membelajarkan, dan seterusnya, dan seterusnya.
Penerapan KTSP membuat guru semakin pintar dan kreatif, karena mereka dituntut harus
mampu menyusun sendiri kurikulum yang sesuai dan tepat bagi peserta didiknya, guru dituntut harus
mampu merencanakan sendiri materi pelajarannya untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan.
Hal ini jelas berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya yang datang dari dan dibuat oleh
Pemerintah Pusat, dan guru hanya tinggal menerapkannya, sehingga nyaris tidak memberikan ruang
dan tantangan bagi perkembangan ide dan kreativitas dari guru.
Namun demikian, di balik perubahan-perubahan besar dan mendasar yang dihembuskan oleh
KTSP, tantangan yang dihadapi oleh guru tidaklah semakin ringan, melainkan semakin berat.
Penerapan Standar Isi dan Standar Kompetensi sebagai acuan dasar dalam penyusunan KTSP
membawa konsekuensi yang tidak ringan dalam implementasinya di lapangan. Itu berarti KTSP
menuntut adanya profesionalisme yang tinggi dari guru.
Dan

dalam

kaitannya

dengan

konsep

pembelajaran

biologi,

KTSP

menghendaki

dilakukakannya perubahan mendasar dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Kesalahan yang selama ini

terjadi dalam penyelenggaraan pembelajaran biologi tidak boleh terulang lagi. Tugas guru sekarang ini
bukanlah mengajar biologi, tetapi membelajarkan siswa tentang biologi. Itu berarti bahwa kegiatan
pembelajaran harus berpusat pada siswa, dan bukan pada guru. Guru tidak lagi harus mendominasi
kegiatan pembelajaran dengan metode ceramah sampai berbusa-busa, sementara siswa hanya duduk
manis mendengarkan sambil bengong atau bahkan sampai terkantuk-kantuk.
Biologi sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam merupakan ilmu yang lahir dan
berkembang berdasarkan observasi dan eksperimen. Dengan demikian, belajar Biologi tidak cukup
hanya dengan menghafalkan fakta dan konsep yang sudah jadi, tetapi dituntut pula menemukan faktafakta dan konsep-konsep tersebut melalui observasi dan eksperimen. Melalui pembelajaran biologi
(IPA) siswa dilibatkan secara aktif untuk melakukan eksplorasi alam. Melalui proses inilah dapat
dikembangkan Keterampilan Sains (Keterampilan Proses Ilmiah), sehingga pengalaman belajar yang
benar-benar bermakna tentang Sains dapat diperoleh subyek didik.
Keterampilan-keterampilan dalam bidang Sains (Biologi) meliputi:

Observasi

Klasifikasi, prediksi, inferensi

Membuat hipotesis

Mendisain dan melakukan percobaan

Menggunakan alat ukur (pengamatan)

Identifikasi variabel

Mengontrol variabel

Mengumpulkan data

Mengorganisasi data (tabel, grafik, dll)

Memaknakan data, tabel, dan grafik

Menyusun kesimpulan

Mengkomunikasikan hasil/ide/secara tertulis atau lisan

Keterampilan Sains yang dimiliki siswa merupakan pintu gerbang untuk menguasai
pengetahuan yang lebih tinggi dan akhirnya merupakan kecakapan hidup (Life Skill), karena dengan
keterampilan Sains yang dimiliki, maka siswa secara mental siap untuk menghadapi permasalahan
yang terjadi dalam hidupnya.
Dengan demikian proses belajar mengajar Biologi bukan sekedar transfer ilmu dari guru
kepada siswa. Pola interaksi seharusnya terjadi antara siswa dengan materi (obyek), dan guru hanya
bertindak sebagai

motivator, fasilitator dan supervisor. Itulah perubahan mendasar dalam pola

pembelajaran biologi yang harus diakomodir dan disikapi secara positif oleh guru biologi seiring
dengan penerapan KTSP.
Namun demikian, meskipun sikap positif terhadap perubahan telah diakomodir oleh guru,
bukan berarti bahwa guru akan serta merta terbebas sama sekali dari masalah-masalah yang
berhubungan dengan kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran di kelas sepertinya akan selalu
memunculkan permasalahan seiring dengan perkembangan pribadi subyek didik dan seiring pula
dengan perkembangan sekolah dan tuntutan masyarakat yang semakin dinamis. Terkait dengan itu
tugas guru adalah merespon dan mencari pemecahan terhadap setiap masalah yang timbul sepanjang
masih dalam batas jangkauan kompetensi dan profesinya demi terciptanya suasana belajar yang lebih
baik dan kondusif dan demi tercapainya tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Seperti halnya yang terjadi dalam pembelajaran biologi di Kelas X-1 Semester I SMA Negeri 1
Babat Tahun Pelajaran 2007/2008, khususnya terhadap penguasaan materi/Kompetensi Dasar:
Mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi, dan peran virus dalam kehidupan. Guru dengan berbagai cara
telah mengusahakan agar semua siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran. Pembelajaran standar juga
telah dilakukan oleh guru, berbagai media pembelajaran yang ada di sekolah telah dimanfaatkan,
berbagai bentuk penugasan telah pula diberikan untuk dilaksanakan oleh siswa, baik di dalam maupun
di luar kelas, mulai dari tugas melakukan observasi, melakukan eksperimen, membuat laporan singkat
hasil eksperimen atau hasil observasi, mengerjakan LKS, dan lain sebagainya. Namun demikian, dalam

berbagai kesempatan tanya jawab, diskusi kelas, maupun ulangan harian, aktivitas dan prestasi belajar
mereka sangat rendah. Berdasarkan catatan guru, aktivitas siswa dalam tanya jawab dan diskusi kelas
masing-masing hanya sebesar 30% dan 35% dari 40 siswa yang ada. Sebagian besar dari siswa justru
memperlihatkan aktivitas yang tidak relevan dengan pembelajaran, seperti kelihatan bengong dan
melamun, kurang bergairah, kurang memperhatikan, bermain-main sendiri, berbicara dengan teman
ketika dijelaskan, canggung berbicara atau berdialog dengan teman waktu diskusi, dan lain sebagainya.
Sementara itu dari hasil ulangan harian/ulangan blok, prestasi belajar mereka hanya sebesar 45% yang
berhasil mencapai batas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Padahal KKM yang ditetapkan bagi
Kelas X SMA Negeri 1 Babat Tahun Pelajaran 2007/2008 untuk mata pelajaran biologi (IPA) hanya
sebesar 65.
Melihat data aktivitas dan prestasi belajar siswa yang demikian rendah tersebut jelas hal itu
mengindikasikan adanya permasalahan serius dalam kegiatan pembelajaran yang harus segera
dicarikan pemecahannya.
Bertolak dari permasalahan tersebut kemudian dilakukan refleksi dan konsultasi dengan guru
sejawat untuk mendiagnosis faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebab timbulnya masalah. Dari
situ diperoleh beberapa faktor kemungkinan penyebab, di antaranya adalah:
1. faktor rendahnya minat dan motivasi belajar siswa;
2. faktor penyampaian materi dari guru;
3. faktor pengelolaan kelas; dan
4. faktor kesulitan adaptasi dan kerjasama di antara siswa.
Dari berbagai faktor kemungkinan penyebab tersebut Guru lebih condong pada faktor ke-4,
yaitu faktor kesulitan adaptasi dan kerjasama di antara siswa, dan diduga kuat sebagai faktor utama
penyebab rendahnya aktivitas dan prestasi belajar siswa Kelas X-1 Semester I SMA Negeri 1 Babat
Tahun Pelajaran 2007/2008 pada mata pelajaran Biologi, khususnya pada materi/Kompetensi Dasar:
Mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi, dan peranan virus dalam kehidupan. Dugaan tersebut sangat
beralasan, karena bagi siswa kelas X, suasana sekolah di lingkungan SMA adalah suasana baru, yang

jelas berbeda dalam segala sesuatunya dengan suasana dan lingkungan sekolah mereka sebelumnya,
baik itu menyangkut tempat, teman sekolah, mata pelajaran, guru, dan lain sebagainya, yang
kesemuanya masih memerlukan waktu bagi mereka untuk beradaptasi dengan baik. Kesulitan siswa
dalam beradaptasi, terutama dengan materi pelajaran di SMA dan dengan teman-teman sekelas, sangat
mungkin menjadi penyebab utama rendahnya aktivitas mereka dalam pembelajaran dan juga
rendahnya prestasi belajar yang mereka capai.
Sebagai langkah dan upaya pemecahan terhadap masalah yang timbul dalam pembelajaran
biologi di Kelas X-1 Semester I SMA Negeri 1 Babat tersebut maka dilakukan Penelitian Tindakan
Kelas (PTK) atau disebut pula dengan istilah Classroom Action Research. Pendekatan dari segi metode
pembelajaran yang dipilih dan digunakan dalam penelitian tindakan ini adalah Metode Pembelajaran
Kooperatif Tipe STAD (Student Teams-Achievement Divisions).
Banyak ahli berpendapat bahwa metode pembelajaran kooperatif (cooperative learning)
memiliki keunggulan dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Pembelajaran kooperatif
juga dinilai bisa menumbuhkan sikap multikultural dan sikap penerimaan terhadap perbedaan antarindividu, baik itu menyangkut perbedaan kecerdasan, status sosial ekonomi, agama, ras, gender,
budaya, dan lain sebagainya. Selain itu yang lebih penting lagi, pembelajaran kooperatif mengajarkan
keterampilan bekerja sama dalam kelompok atau teamwork. Pembelajaran kooperatif sangat
menekankan tumbuhnya aktivitas dan interaksi di antara siswa untuk saling memotivasi dan saling
membantu dalam menguasai materi pelajaran demi tercapainya prestasi belajar yang optimal.
Berdasarkan latar pemikiran yang telah terurai maka penelitian tindakan kelas ini
diformulasikan dengan judul sebagai berikut: UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN
PRESTASI BELAJAR SISWA PADA BIDANG STUDI BIOLOGI MELALUI PENERAPAN
METODE PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD (Penelitian Tindakan Kelas Pada Siswa
Kelas X-1 Semester I SMA Negeri 1 Babat Tahun Pelajaran 2007/2008).
Pada akhirnya diharapkan, melalui penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe STAD itu
nantinya bisa memicu dan memacu tumbuhnya semangat kebersamaan, saling membantu dan saling
memotivasi di antara siswa, yang pada gilirannya juga bisa meningkatkan aktivitas belajar dan prestasi

belajar mereka pada bidang studi biologi, khususnya pada materi dan atau Kompetensi Dasar:
Mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi, dan peranan virus dalam kehidupan.

B. Rumusan Masalah
Untuk memberikan arahan bagi pelaksanaan penelitian, maka perlu dirumuskan masalahmasalah pokok yang ingin dicarikan jawaban pemecahannya melalui penelitian tindakan ini, sebagai
berikut:
1. Apakah penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe STAD bisa meningkatkan aktivitas belajar
siswa Kelas X-1 Semester I SMA Negeri 1 Babat Tahun Pelajaran 2007/2008 pada bidang studi
Biologi, khususnya pada materi/Kompetensi Dasar: Mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi dan
peranan virus dalam kehidupan?
2. Apakah penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe STAD bisa meningkatkan prestasi belajar
siswa Kelas X-1 Semester I SMA Negeri 1 Babat Tahun Pelajaran 2007/2008 pada bidang studi
Biologi, khususnya pada materi/Kompetensi Dasar: Mendiskripsikan ciri-ciri, replikasi, dan
peranan virus dalam kehidupan?

C. Tujuan Penelitian Tindakan


Penelitian tindakan ini bertujuan:
1.

Ingin mengetahui ada tidaknya peningkatan aktivitas belajar melalui penerapan

metode

pembelajaran kooperatif tipe STAD pada siswa Kelas X-1 Semester I SMA Negeri 1 Babat Tahun
Pelajaran 2007/2008 dalam bidang studi Biologi, khususnya pada materi/Kompetensi Dasar:
Mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi, dan peranan virus dalam kehidupan.
2.

Ingin mengetahui ada tidaknya peningkatan prestasi belajar melalui penerapan metode
pembelajaran kooperatif tipe STAD pada siswa Kelas X-1 Semester I SMA Negeri 1 Babat Tahun
Pelajaran 2007/2008 dalam bidang studi Biologi, khususnya pada materi/Kompetensi Dasar:
Mendiskripsikan ciri-ciri, replikasi, dan peranan virus dalam kehidupan.

D. Batasan Masalah
Untuk menghindari meluasnya permasalahan yang tidak diinginkan, maka perlu diberikan
batasan-batasan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Penelitian tindakan ini hanya dilakukan terhadap siswa kelas X-1 Semester I SMA Negeri 1 Babat
Tahun Pelajaran 2007/2008.
2. Penelitian ini berlaku dalam ruang lingkup kegiatan pembelajaran bidang studi Biologi, khususnya
pada materi atau Kompetensi Dasar: Mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi, dan peranan virus dalam
kehidupan.
3.

Rentang waktu pelaksanaan penelitian tindakan ini hanya berlangsung selama kurang lebih 3
(bulan) mulai dari awal bulan September sampai dengan akhir Nopember 2007.

4. Pelaku dan pelaksana penelitian tindakan ini dilakukan secara individual oleh guru bidang studi
yang bersangkutan sendiri.

E. Manfaat Hasil Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat, sekecil apapun, kepada:
1.

Siswa; mereka diharapkan bisa mengambil pelajaran yang berharga tentang betapa pentingnya
kerjasama, saling membantu dan saling memotivasi demi tercapainya tujuan bersama yang
diinginkan, termasuk salah satu di antaranya adalah demi tercapainya tujuan pembelajaran dan
prestasi belajar yang telah ditetapkan bagi suatu lembaga, kelas atau kelompok. Lebih dari itu,
siswa secara sadar belajar menerapkan prinsip simbiosis mutualisme dalam kehidupan riil di
kelas, sebagaimana diajarkan dalam ilmu biologi, demi kelangsungan hidup dan kemajuan
ekosistem sekolah. Dengan kata lain, hasil penelitian ini diharapkan bisa semakin meningkatkan
aktivitas belajar dan prestasi belajar siswa Kelas X-1 Semester I SMA Negeri 1 Babat Tahun
Pelajaran 2007/2008 pada bidang studi Biologi, khususnya pada penguasaan materi atau
Kompetensi Dasar: Mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi dan peran virus dalam kehidupan.

2. Guru; hasil penelitian ini diharapkan bisa semakin meningkatkan kompetensi dan profesionalisme
guru dalam merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif dan
menyenangkan demi tercapainya tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Sehingga dengan
begitu aktivitas belajar dan prestasi belajar siswa bisa ditingkatkan secara optimal.
3. Sekolah; hasil penelitian ini setidaknya bisa menambah referensi dan khazanah bagi kepustakaan
sekolah, yang suatu saat mungkin berguna sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan
kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan di sekolah setempat.

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Aktivitas Belajar Siswa


Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang
paling pokok. Ini berarti berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung pada
bagaimana proses belajar itu dilakukan oleh peserta didik. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah
belajar itu?
Dari pertanyaan sederhana tersebut tentu akan kita dapatkan beragam jawaban dengan berbagai
argumen yang tidak bisa dibilang sederhana. Hal itu wajar mengingat perbuatan yang disebut belajar
itu dalam kenyataannya memang ada bermacam-macam bentuk dan jenisnya. Ada yang berpendapat
bahwa belajar merupakan kegiatan menghafal fakta-fakta. Guru yang berpendapat demikian akan
merasa puas jika murid-muridnya telah sanggup menghafal sejumlah fakta di luar kepala. Pendapat
lain mengatakan bahwa belajar adalah sama dengan latihan, sehingga hasil belajar akan nampak dalam
keterampilan-keterampilan tertentu yang bersifat mekanis atau otomatis. Alhasil, banyak definisi
tentang apa itu belajar, dan setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda satu sama lain.
Menurut James O. Whittaker (dalam Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, 1991), belajar dapat
didefinisikan sebagai proses di mana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau
pengalaman (Learning may be difined as the process by which behavior originates or is altered
through training or experience).
Hampir senada dengan pendapat di atas, Howard L. Kingsley (dalam Abu Ahmadi dan Widodo
Supriyono, 1991) menyatakan sebagai berikut: Learning is the process by which behavior (in the
broader sense) is originated or changed through practice or training {Belajar adalah proses di mana
tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan}.

Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam
pembentukan pribadi dan perilaku individu. Nana Syaodih Sukmadinata (2005) menyebutkan bahwa
sebagian terbesar perkembangan individu berlangsung melalui kegiatan belajar.
Menurut Winarno Surakhmad (1980), belajar dapat dipandang sebagai hasil, sebagai proses dan
sebagai sebuah fungsi. Belajar dipandang sebagai hasil bilamana guru terutama hanya melihat bentuk
terakhir dari berbagai pengalaman interaksi edukatif. Yang diperhatikan adalah menampaknya sifat dan
tanda-tanda tingkah laku yang dipelajari. Adapun belajar dipandang sebagai proses dimaksudkan
adalah sebagai proses di mana guru terutama melihat apa yang terjadi selama murid menjalani
pengalaman-pengalaman edukatif untuk mencapai sesuatu tujuan. Yang diperhatikan adalah pola-pola
tingkah laku selama pengalaman belajar itu berlangsung. Selanjutnya, belajar dipandang sebagai fungsi
dimaksudkan adalah bilamana perhatian ditujukan pada aspek-aspek yang menentukan atau yang
memungkinkan terjadinya perubahan tingkah laku manusia di dalam pengalaman edukatif.
Sementara itu menurut Moh. Surya (1997) : belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang
dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil
dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Jadi, kata kunci dari belajar menurut pendapat tersebut adalah perubahan perilaku. Lebih lanjut
Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku yang diperoleh dari belajar,
sebagai berikut:
1. Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).
Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang
bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa
dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau
keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu proses belajar.
2. Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).
Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan
dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan,

sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu akan menjadi dasar bagi pengembangan
pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya.
3. Perubahan yang fungsional.
Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang
bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang.
4. Perubahan yang bersifat positif.
Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan. Misalnya,
seorang mahasiswa sebelum belajar tentang Psikologi Pendidikan menganggap bahwa dalam
proses belajar mengajar tidak perlu mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual atau
perkembangan perilaku dan pribadi peserta didiknya, namun setelah mengikuti pembelajaran
Psikologi Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan untuk menerapkan prinsip-prinsip
perbedaan individual maupun prinsip-prinsip perkembangan individu jika dia kelak menjadi guru.
5. Perubahan yang bersifat aktif.
Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan
perubahan. Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang Psikologi
Pendidikan, maka mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan mengkaji bukubuku psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang psikologi pendidikan dan sebagainya.
6. Perubahan yang bersifat permanen.
Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang
melekat dalam dirinya. Misalnya, siswa belajar mengoperasikan komputer, maka penguasaan
keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan menetap dan melekat dalam diri siswa
tersebut.
7. Perubahan yang bertujuan dan terarah.
Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka
pendek, jangka menengah maupun jangka panjang

8. Perubahan perilaku secara keseluruhan.


Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk
memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya. Misalnya, mahasiswa belajar
tentang Teori-Teori Belajar, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan tentang TeoriTeori Belajar, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya seorang guru menguasai TeoriTeori Belajar. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan Teori-Teori
Belajar.
Menurut Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan perilaku yang merupakan hasil
belajar dapat berbentuk :
1.

Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis maupun
tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan sebagainya.

2.

Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan


lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol matematika.
Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam membedakan (discrimination),
memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan ini sangat dibutuhkan
dalam menghadapi pemecahan masalah.

3. Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan keseluruhan
aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu kemampuan
mengendalikan ingatan dan cara-cara berfikir agar terjadi aktivitas yang efektif. Kecakapan
intelektual menitikberatkan pada hasil pembelajaran, sedangkan strategi kognitif lebih menekankan
pada proses pemikiran.
4. Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih macam tindakan
yang akan dilakukan. Dengan kata lain, sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan
memberikan kecenderungan bertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa, di dalamnya
terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak.

5. Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot
dan fisik.
Sedangkan menurut Bloom, perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil belajar meliputi
perubahan dalam kawasan (domain) kognitif, afektif dan psikomotor, beserta tingkatan aspekaspeknya. Perubahan yang dihasilkan oleh proses belajar bersifat progresif dan akumulatif, mengarah
kepada kesempurnaan, misalnya dari tidak mampu menjadi mampu, dari tidak mengerti menjadi
mengerti, baik mencakup aspek pengetahuan (cognitive domain), aspek afektif (affective domain)
maupun aspek psikomotorik (psychomotoric domain).
Selanjutnya, perlu pula diketengahkan di sini empat pilar belajar sebagai landasan pendidikan
yang dikemukakan oleh organisasi pendidikan sedunia, yakni

UNESCO (dalam Nana Syaodih

Sukmadinata, 2005), dalam rangka membangun kebersamaan masa depan memasuki abad ke-21 dan
dalam rangka menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan dunia yang semakin cepat. Keempat
pilar belajar dimaksud adalah: : belajar mengetahui (learning to know), belajar berkarya (learning to
do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar berkembang secara utuh (learning to
be).
1. Belajar mengetahui (learning to know)
Belajar mengetahui berkenaan dengan perolehan, penguasaan dan pemanfaatan informasi.
Dewasa ini terdapat ledakan informasi dan pengetahuan. Hal itu bukan saja disebabkan karena adanya
perkembangan yang sangat cepat dalam bidang ilmu dan teknologi, tetapi juga karena perkembangan
teknologi yang sangat cepat, terutama dalam bidang elektronika, memungkinkan sejumlah besar
informasi dan pengetahuan tersimpan, bisa diperoleh dan disebarkan secara cepat dan hampir
menjangkau seluruh planet bumi. Belajar mengetahui merupakan kegiatan untuk memperoleh,
memperdalam dan memanfaatkan pengetahuan. Pengetahuan diperoleh dengan berbagai upaya
perolehan pengetahuan, melalui membaca, mengakses internet, bertanya, mengikuti kuliah, dll.
Pengetahuan dikuasai melalui hafalan, tanya-jawab, diskusi, latihan pemecahan masalah, penerapan,
dll. Pengetahuan dimanfaatkan untuk mencapai berbagai tujuan: memperluas wawasan, meningkatakan
kemampuan, memecahkan masalah, belajar lebih lanjut, dll. Pengetahuan terus berkembang, setiap saat

ditemukan pengetahuan baru. Oleh karena itu belajar mengetahui harus terus dilakukan, bahkan
ditingkatkan menjadi knowing much (berusaha tahu banyak).
2. Belajar berkarya (learning to do)
Agar mampu menyesuaikan diri dan beradaptasi dalam masyarakat yang berkembang sangat
cepat, maka individu perlu belajar berkarya. Belajar berkarya berhubungan erat dengan belajar
mengetahui, sebab pengetahuan mendasari perbuatan. Dalam konsep komisi Unesco, belajar berkarya
ini mempunyai makna khusus, yaitu dalam kaitan dengan vokasional. Belajar berkarya adalah balajar
atau berlatih menguasai keterampilan dan kompetensi kerja. Sejalan dengan tuntutan perkembangan
industri dan perusahaan, maka keterampilan dan kompetisi kerja ini, juga berkembang semakin tinggi,
tidak hanya pada tingkat keterampilan, kompetensi teknis atau operasional, tetapi sampai dengan
kompetensi profesional. Karena tuntutan pekerjaan didunia industri dan perusahaan terus meningkat,
maka individu yang akan memasuki dan/atau telah masuk di dunia industri dan perusahaan perlu terus
bekarya. Mereka harus mampu doing much (berusaha berkarya banyak).
3. Belajar hidup bersama (learning to live together)
Dalam kehidupan global, kita tidak hanya berinteraksi dengan beraneka kelompok etnik,
daerah, budaya, ras, agama, kepakaran, dan profesi, tetapi hidup bersama dan bekerja sama dengan
aneka kelompok tersebut. Agar mampu berinteraksi, berkomonikasi, bekerja sama dan hidup bersama
antar kelompok dituntut belajar hidup bersama. Tiap kelompok memiliki latar belakang pendidikan,
kebudayaan, tradisi, dan tahap perkembangan yang berbeda, agar bisa bekerjasama dan hidup rukun,
mereka harus banyak belajar hidup bersama, being sociable (berusaha membina kehidupan bersama)
4. Belajar berkembang utuh (learning to be)
Tantangan kehidupan yang berkembang cepat dan sangat kompleks, menuntut pengembangan
manusia secara utuh. Manusia yang seluruh aspek kepribadiannya berkembang secara optimal dan
seimbang, baik aspek intelektual, emosi, sosial, fisik, maupun moral. Untuk mencapai sasaran
demikian individu dituntut banyak belajar mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya. Sebenarnya
tuntutan perkembangan kehidupan global, bukan hanya menuntut berkembangnya manusia secara
menyeluruh dan utuh, tetapi juga manusia utuh yang unggul. Untuk itu mereka harus berusaha banyak

mencapai keunggulan (being excellence). Keunggulan diperkuat dengan moral yang kuat. Individuindividu global harus berupaya bermoral kuat atau being morally.
Masalahnya sekarang adalah bagaimana meningkatkan aktivitas dan kreativitas belajar dari
siswa atau subyek didik dalam suatu proses pembelajaran? Pertanyaan demikian sangatlah penting
dikemukakan mengingat lembaga pendidikan (baca, sekolah) dengan segala komponennya itu
didirikan dan diselenggarakan tidak lain adalah untuk memfasilitasi kepentingan belajar siswa. Tidak
berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa pada hekekatnya mereka (siswa) itulah yang menjadi pemilik
sekolah. Berbagai pembekalan yang diberikan oleh para guru di sekolah pada hakikatnya, menurut
Wardiman Djojonegoro, untuk menginternalisasikan tiga nilai dasar. Masing-masing adalah (1)
membangun atau membentuk siswa yang memiliki orientasi ke depan dengan ciri-ciri, antara lain
luwes, tanggap terhadap perubahan, dan memiliki semangat berinovasi; (2) senantiasa punya hasrat
untuk mengeksploitasi lingkungan dan kekuatan-kekuatan alam, artinya tidak tunduk pada nasib,
senantiasa memecahkan masalah yang dihadapi dan berusaha menguasai iptek, dan (3) memiliki
orientasi terhadap karya yang bermutu atau punya achievement orientation, antara lain ditandai oleh
penilain yang tinggi terhadap hasil karya. Untuk menuju pada tiga nilai dasar tersebut siswa harus
dipacu kemauan belajarnya (Suyanto dan M.S. Abbas, 2001: 148).
Proses pembelajaran pada hakekatnya dimaksudkan untuk mengembangkan aktivitas dan
kreativitas peserta didik, melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar. Namun dalam
pelaksanaannya seringkali kita tidak sadar, bahwa masih banyak kegiatan pembelajaran yang
dilaksanakan justru menghambat aktivitas dan kreativitas peserta didik.
Banyak resep untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif, di mana para peserta didik
dapat mengembangkan aktivitas dan kreativitas belajarnya secara optimal, sesuai dengan
kemampuannya masing-masing.
Gibbs (dalam E. Mulyasa, 2003:106) berdasarkan berbagai hasil penelitiannya menyimpulkan
bahwa kreativitas dapat dikembangkan dengan memberi kepercayaan, komunikasi yang bebas,
pengarahan diri, dan pengawasan yang tidak terlalu ketat. Hasil penelitian tersebut dapat diterapkan
dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini peserta didik akan lebih kreatif jika:

a. dikembangkannya rasa percaya diri pada peserta didik, dan mengurangi rasa takut;
b. memberi kesempatan kepada seluruh peserta didik untuk berkomunikasi ilmiah seara bebas dan
terarah;
c. melibatkan peserta didik dalam menentukan tujuan belajar dan evaluasinya;
d. memberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat dan tidak otoriter; dan
e. melibatkan mereka secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran secara keseluruhan.
Kendatipun begitu, menurut E. Mulyasa (2003:107), kualitas pembelajaran sangat ditentukan
oleh aktivitas dan kreativitas guru dengan segala kompetensi profesionalnya. Aktivitas dan kreativitas
peserta didik dalam belajar sangat bergantung pada aktivitas dan kreativitas guru dalam
mempersiapkan rencana pembelajaran, penyampaian dan pengembangan materi pelajaran, pemilihan
metode dan media pembelajaran, serta penciptaan lingkungan belajar yang kondusif. Guru dapat
menggunakan berbagai pendekatan untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas peserta didik.
Pendekatan mana yang digunakan, harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan, kebutuhan peserta
didik, dan tujuan yang ingin dicapai.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan aktivitas belajar siswa di sini adalah segala bentuk
kegiatan yang dilakukan oleh siswa terutama dalam proses pembelajaran di kelas atau di sekolah.
Bentuk kegiatan yang disebut aktivitas belajar itu dapat bermacam-macam, bisa berupa mendengarkan,
mencatat, membaca, membuat ringkasan, bertanya, menjawab pertanyaan, berdiskusi, melakukan
eksperimen, dan lain sebagainya, yang dengan itu semua dapat diketahui bahwa kegitan pembelajaran
berpusat pada siswa dan bukan pada guru. Guru hanya sekedar berperan untuk memfasilitasi,
membelajarkan, membimbing dan mengarahkan, serta mengkoreksi dan mengevaluasi hasil belajar
dari siswa.

B. Prestasi Belajar
Istilah prestasi belajar mempunyai hubungan yang erat kaitannya dengan hasil belajar.
Sebenarnya sangat sulit untuk membedakan pengertian prestasi belajar dengan hasil belajar. Ada yang

berpendapat bahwa pengertian prestasi belajar sama dengan hasil belajar. Akan tetapi ada pula yang
mengatakan bahwa hasil

belajar berbeda secara prinsipil dengan prestasi belajar. Hasil belajar

menunjukkan kualitas jangka waktu yang lebih panjang, misalnya satu cawu, satu semester dan
sebagainya. Sedangkan prestasi belajar menunjukkan kualitas yang lebih pendek, misalnya satu pokok
bahasan, satu kali ulangan harian dan sebagainya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dari
yang telah dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya). Sedangkan prestasi belajar diartikan sebagai
penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya
ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru.
Nawawi (1981:100) mengemukakan pengertian hasil belajar sebagai keberhasilan murid dalam
mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau skor dari hasil tes
mengenai sejumlah pelajaran tertentu.
Selanjutnya Nawawi (1981:127) membedakan hasil belajar menjadi tiga macam yaitu:
a. Hasil belajar yang berupa kemampuan keterampilan atau kecakapan di dalam melakukan atau
mengerjakan suatu tugas, termasuk di dalamnya keterampilan menggunakan alat.
b. Hasil belajar yang berupa kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan tentang apa yang dikerjakan,
dan
c. Hasil belajar yang berupa perubahan sikap dan tingkah laku.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil belajar memiliki cakupan
makna yang lebih luas dibanding prestasi belajar. Dengan kata lain, prestasi belajar adalah sebagian
dari hasil belajar pada mata pelajaran atau materi pelajaran tertentu yang dinyatakan dengan nilai atau
angka berdasarkan tes yang dikembangkan dan diberikan oleh guru. Meskipun demikian, dalam tulisan
ini kedua istilah tersebut dianggap identik dan karenanya bisa saling dipertukarkan pemakaiannya.
Selanjutnya perlu dikemukakan di sini, bahwa hasil belajar (baca, prestasi belajar) merupakan
hasil dari proses yang kompleks. Hal itu disebabkan banyak faktor yang mempengaruhi hasil atau
prestasi belajar. Secara garis besar, faktor-faktor yang mempengaruhi hasil atau prestasi belajar itu

dapat dibedakan atas dua macam, yaitu faktor dari dalam diri individu (baca, subyek didik) atau
disebut faktor internal, dan faktor dari luar diri subyek didik, atau disebut faktor eksternal. Baik
buruknya kualitas kedua faktor ini akan banyak berpengaruh terhadap baik buruknya hasil atau prestasi
belajar. Semakin baik kondisi atau kualitas kedua faktor tersebut dimiliki oleh subyek didik, maka
cenderung semakin baik hasil atau prestasi belajar yang bisa dicapai. Demikian pula sebaliknya,
semakin buruk kondisi atau kualitas kedua faktor dimaksud, maka cenderung semakin buruk pula hasil
atau prestasi belajar yang dicapai.
Adapun faktor internal yang mempengaruhi hasil belajar yaitu:

Faktor fisiologi, seperti kondisi fisik dan kondisi indera.

Faktor Psikologi, meliputi bakat, minat, kecerdasan, motivasi, kemampuan kognitif.

Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi hasil belajar adalah:

Lingkungan, seperti keluarga, sekolah, masyarakat, lingkungan alam.

Faktor Instrumental, seperti kurikulum, bahan pengajaran, sarana dan fasilitas.

C. Pembelajaran Kooperatif
Metode pembelajaran kooperatif (cooperative learning) dikembangkan oleh Robert Slavin dan
kawan-kawannya dari Universitas John Hopkins. Tipe ini dipandang sebagai yang paling sederhana
dan paling langsung dari pendekatan pembelajaran kooperatif.
Belajar secara koperatif adalah strategi mengajar yang menyertakan partisipasi anak dalam
aktivitas belajar kelompok kecil yang mengembangkan interaksi positif. Pemikiran ini mendiskusikan
alasan untuk menggunakan strategi belajar secara koperatif di pusat dan kelas-kelas, cara menerapkan
strategi, dan keuntungan jangka panjang bagi pendidikan anak.

Belajar secara kooperatif dapat meningkatkan prestasi akademik, ini relatif mudah diterapkan,
dan tidak mahal. Anak-anak bertambah baik tingkah laku dan kehadirannya, serta senang bersekolah
adalah beberapa keuntungah belajar secara kooperatif (Slavin, 1987).
Abdurrahman dan Bintoro (2000:78) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah
pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang silih asah, silih asih,
dan silih asuh antara sesama siswa sebagai latihan hidup di dalam masyarakat nyata.
Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang didalamnya terdapat elemen-elemen yang
saling terkait. Adapun berbagai elemen dalam

pembelajaran kooperatif adalah adanya (1) saling

ketergantungan positif, (2) interaksi tatap muka, (3) akuntabilitas individual dan (4) keterampilan
untuk

menjalin

hubungan

antar

pribadi

atau

keterampilan

sosial

yang

secara

sengaja

diajarkan(Abdurrahman &Bintoro, 2000:78-790). Itulah unsur dasar yang terdapat dalam metode
pembelajaran kooperatif, yang perlu mendapatkan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Saling ketergantungan positif;
Dalam pembelajaran kooperatif guru menciptakan suasana yang mendorong agar siswa merasa
saling membutuhkan. Hubungan yang saling membutuhkan inilah yang dimaksud dengan saling
memberikan motivasi untuk meraih hasil belajar yang optimal. Saling ketergantungan tersebut
dapat dicapai melalui (a) saling ketergantungan pencapaian tujuan (b) saling ketergantungan dalam
menyelesaikan tugas, (c) saling ketergantungan bahan dan sumber, (d) saling ketergantungan peran,
dan (e) saling ketergantungan hadiah.
2. Interaksi tatap muka;
Interaksi tatap muka menuntut para siswa dalam kelompok dapat saling bertatap muka sehingga
mereka dapat melakukan dialog, tidak hanya dengan guru, tetapi juga dengan sesama siswa.
Interaksi semacam itu memungkinkan para siswa dapat saling menjadi sumber belajar sehingga
sumber belajar lebih bervariasi. Interaksi semacam itu sangat penting karena ada siswa yang
merasa lebih mudah belajar dari sesamanya.
3. Akuntabilitas individual;

Pembelajaran kooperatif menampilkan wujudnya dalam belajar kelompok. Meskipun demikan,


penilaian ditujukan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi

pelajaran secara

individual. Hasil penilaian secara individual tersebut selanjutnya disampaikan oleh guru kepada
kelompok agar semua anggota kelompok mengetahui siapa anggota kelompok yang memerlukan
bantuan dan siapa anggota kelompok yang dapat memberikan bantuan. Nilai kelompok didasarkan
atas rata-rata hasil belajar semua anggotanya, dan karena itu tiap anggota kelompok harus
memberikan urunan atau kontribusi

demi kemajuan kelompok. Penilaian kelompok secara

individual inilah yang dimaksudkan dengan akuntabilitas individual.


4. Keterampilan menjalin hubungan antar pribadi;
Dalam pembelajaran kooperatif, keterampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap sopan
terhadap teman, mengkritik ide dan bukan mengkritik teman, mempertahankan pikiran logis, tidak
mendominasi orang lain, mandiri dan berbagai sifat lain yang bermanfaat dalam menjalin
hubungan antar pribadi (interpersonal relationship) tidak hanya diasumsikan tetapi secara sengaja
diajarkan. Siswa yang tidak dapat menjalin hubungan antara pribadi tidak hanya memperoleh
teguran dari guru tetapi juga dari sesama siswa.
Selanjutnya, bagaimanakah peran guru dalam pembelajaran kooperatif? Pembelajaran
kooperatif menuntut guru untuk berperan relatif berbeda dari model pembelajaran tradisional. Berbagai
peran guru dalam pembelajaran kooperatif tersebut dapat dikemukanan sebagai berikut ini:
a. Merumuskan tujuan pembelajaran. Ada dua tujuan pembelajaran yang perlu diperhatikan oleh
guru, yaitu tujuan akademik (Academic objectives) dan tujuan keterampilan bekerja sama
(collaboratives skill objectives). Tujuan akademis dirumuskan sesuai dengan taraf perkembangan
siswa dan analisis tugas atau analisis konsep. Tujuan keterampilan

bekerja sama meliputi

keterampilan memimpin, berkomunikasi, mempercayai orang lain dan mengelola konflik.


b. Menentukan jumlah anggota dalam kelompok belajar. Jumlah anggota

dalam tiap kelompok

belajar tidak boleh terlalu besar, biasanya 2 hingga 6 siswa. Ada 3 (tiga) faktor yang menentukan
jumlah anggota tiap kelompok belajar. Ketiga faktor tersebut adalah (1) taraf kemampuan siswa,

(2) ketersediaan bahan dan (3) ketersediaan waktu. Jumlah anggota kelompok belajar hedaknya
kecil agar tiap siswa aktif menjalin kerjasama menyelesaikan tugas.
Ada sedikitnya 4 (empat) pertanyaan yang hendaknya dijawab oleh oleh guru saat akan
menempatkan siswa dalam kelompok. Keempat pertanyaan tersebut dapat dikemukanan sebagai
berikut:
1. Pengelompokan siswa secara homogen atau heterogen?
Pengelompokan siswa hendaknya heterogen. Heterogenitas

kelompok mencakup jenis

kelamin, ras, agama (kalau mungkin) tingkat kemampuan (tinggi, sedang, rendah) dan
sebagainya.
2. Bagaimana menempatkan siswa dalam kelompok? Ada dua jenis kelompok belajar kooperatif,
yaitu (1) yang berorientasi bukan pada tugas (non task orientied) dan (2) yang berorientasi pada
tugas (task oriented). Kelompok belajar kooperatif yang berorientasi bukan pada tugas tidak
menuntut adanya pembagian tugas untuk tiap angota kelompok. Kelompok belajar semacam
ini tampak seperti pada saat siswa mengerjakan soal-soal LKS atau soal-soal latihan yang
diberikan guru yang berbentuk prosedur penyelesaian dan mencocokan pendapatnya antar
kelompok satu dengan yang lain. Sedangkan kelompok belajar yang berorientasi pada tugas
menekankan adanya pembagian tugas yang jelas bagi semua anggota kelompok. Kelompok
belajar semacam ini tampak seperti pada saat siswa melakukan kunjungan ke kebun binatang
sehingga harus disusun oleh panitia untuk menentukan siapa yang menjadi ketua, sekretaris,
bendahara, seksi transportasi, seksi konsumsi, dan sebagainya. Siswa yang baru mengenal
belajar kooperatif dapat ditempatkan dalam kelompok belajar yang berorientasi pada tugas, dari
jenis tugas yang sederhana hingga yang kompleks.
3. Siswa bebas memilih teman atau ditentukan oleh guru? Kebebasan memilih teman sering
menyebabkan kelompok belajar menjadi homogen sehingga tujuan belajar kooperatif tidak
tercapai. Anggota tiap kelompok belajar hendaknya ditentukan secara acak oleh guru. Ada tiga
teknik untuk menentukan anggota kelompok secara acak yang dapat digunakan oleh guru.
Ketiga teknik tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:

1) Berdasarkan metode sosiemetri. Melalui metode sosiometri guru dapat menentukan siswa
yang tergolong disukai oleh banyak teman (bintang kelas) hingga yang paling tidak
disukai atau tidak memiliki teman (terisolasi). Berdasarkan metode sosiometri tersebut
guru menyusun kelompol-kelompok belajar yang di dalam tiap kelompok ada siswa yang
tergolong banyak teman, yang tergolong biasa, dan yang terisolasi.
2) Berdasarkan

kesamaan nomor. Jika jumlah siswa dalam kelas terdiri atas 30 siswa

misalnya, dan guru ingin membentuk 10 kelompok belajar yang terdiri dari 1 hingga 10,
maka para siswa yang bernomor sama dikelompokkan sehingga terbentuk 10 kelompok
siswa dengan masing-masing beranggotakan 3 orang siswa yang memiliki karakteristik
heterogen.
3) Menggunakan teknik acak berstrata. Para siswa dalam kelas lebih dahulu dikelompokkan
secara homogen atas dasar jenis kelamin dan atas dasar kemampuannya (tinggi, sedang,
rendah) dan sebagainya. Setelah itu, secara acak siswa diambil dari kelompok homogen
tersebut dan dimasukkan ke dalam sejumlah kelompok-kelompok belajar yang heterogen.
4. Bagaimana menentukan tempat duduk siswa? Tempat duduk siswa hendaknya disusun agar tiap
kelompok dapat saling bertatap muka tetapi cukup terpisah antara kelompok yang satu
dengan kelompok lainnya. Susunan tempat duduk dapat dalam bentuk lingkaran atau berhadaphadapan.
c. Merancang bahan untuk meningkatkan saling ketergantungan positif. Cara menyusun bahan ajar
dan penggunaannya dalam suatu kegiatan pembelajaran dapat menentukan tidak hanya efektifitas
pencapaian tujuan belajar siswa. Bahan ajar hendaknya dibagikan kepada semua siswa agar mereka
dapat berpartisipasi dalam pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Jika kelompok
belajar telah memiliki cukup

pengalaman, guru tidak perlu membagikan bahan ajar dengan

berbagai petunjuk khusus. Jika kelompok belajar belum banyak pengalaman atau masih baru, guru
perlu memberi tahu para siswa bahwa mereka harus bekerja sama, bukan bekerja sendiri-sendiri.
Ada sedikitnya 3 (tiga) macam cara untuk meningkatkan saling ketergantungan positif. Ketiga
macam cara tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:

1) Saling ketergantungan bahan. Tiap kelompok hanya diberi satu bahan ajar dan kelompok harus
bekerja sama untuk mempelajarinya.
2) Saling ketergantungan informasi. Tiap anggota kelompok diberi bahan ajar yang berbeda
bentuk untuk selanjutnya disatukan untuk disintesiskan. Bahan ajar juga dapat disajikan dalam
bentuk jigsaw puzzle sehingga dengan demikian tiap siswa memiliki bagian dari bahan yang
diperlukan untuk melengkapi atau menyelesaikan tugas.
3) Saling ketergantungan menghadapi lawan dari luar. Bahan ajar disusun dalam suatu bentuk
pertandingan antara kelompok yang memiliki kekuatan seimbang sebagai dasar untuk
meningkatkan saling ketergantungan positif antar anggota kelompok. Keseimbangan kekuatan
antar kelompok perlu diperhatikan karena pretandingan antar kelompok yang memiliki
kekuatan seimbang atau memiliki peluang untuk kalah atau menang yang sama dapat
meningkatkan motivasi belajar.
d. Menentukan peran siswa untuk menunjang saling ketergantungan positif. Saling ketergantungan
positif dapat diciptakan melalui pembagian tugas kepada tiap anggota kelompok dan mereka
bekerja untuk saling melengkapi. Dalam mata pelajaran Biologi misalnya, seorang anggota
kelompok diberi tugas sebagai peneliti, yang lainnya sebagai penyimpul, yang lainnya lagi sebagai
penulis, dan yang lainnya lagi sebagai pemberi semangat dan ada pula yang menjadi pengawas
terjalinnya keja sama. Penugasan untuk memerankan suatu fungsi semacam itu merupakan metode
yang efektif untuk melatih keterampilan menjalin kerja sama.
e. Menjelaskan tugas akademik. Ada beberapa aspek yang perlu disadari oleh para guru dalam
menjelaskan tugas akademik kepada para siswa. Beberapa aspek dimaksud dapat dikemukanan
sebagai berikut:
1) Menyusun tugas sehingga siswa menjadi jelas mengenai tugas tersebut. Kejelasan tugas sangat
penting bagi para siswa karena dapat menghindarkan mereka dari frustasi atau kebingungan.
Dalam pembelajran kooperatif siswa yang tidak dapat memahami tugasnya dapat bertanya
kepada kelompoknya sebelum bertanya kepada guru.
2) Menjelaskan tujuan belajar dan mengaitkannya dengan pengalaman siswa di masa lampau.

3) Menjelaskan berbagai konsep atau pengertian atau istilah, prosedur yang harus diikuti atau
pengertian contoh kepada para siswa.
4) Mengajukan berbagai pertanyaan khusus untuk mengetahui pemahaman para siswa mengenai
tugas mereka.
f. Menjelaskan kepada siswa mengenai tujuan dan keharusan bekerja sama. Menjelaskan tujuan dan
keharusan bekerja sama kepada para siswa dilakukan dengan contoh sebagai berikut:
1) Meminta kepada kelompok untuk menghasilkan suatu karya atau produk tertentu. Jika karya
kelompok berupa laporan, tiap anggota kelompok harus menandatangani laporan tersebut
sebagai tanda bahwa ia setuju dengan isi laporan kelompok dan dapat menjelaskan alasan isi
laporan tersebut.
2) Menyediakan hadiah bagi kelompok. Pemberian hadiah merupakan salah satu cara untuk
mendorong kelompok menjalin kerja sama sehingga terjalin pula rasa kebersamaan antara
anggota kelompok. Semua anggota kelompok harus saling membantu agar masing-masing
memperoleh skor hasil belajar yang optimal karena keberhasilan kelompok ditentukan oleh
keberhasilan tiap anggota.
g. Menyusun akuntabilitas individual. Suatu kelompok belajar tidak dapat dikatakan benar-benar
kooperatif jika memperbolehkan adanya anggota kelompok tertentu saja yang

mengerjakan

seluruh pekerjaan kelompok. Suatu kelompok belajar juga tidak dapat dikatakan benar-benar
kooperatif jika memperbolehkan adanya anggota yang tidak melakukan apapun demi
kelompoknya. Oleh karena itu, untuk menjamin agar seluruh anggota kelompok benar-benar
menjalin kerjasama dan agar kelompok mengetahui adanya anggota kelompok yang memerlukan
bantuan atau dorongan, guru harus

sering melakukan pengukuran untuk mengetahui taraf

penguasaan tiap siswa terhadap materi yang sedang dipelajari.


h. Menyusun kerja sama antara kelompok. Hasil positif yang ditemukan dalam suatu kelompok
belajar kooperatif dapat diperluas

ke seluruh kelas dengan menciptakan kerja sama antar

kelompok. Nilai tambahan dapat diberikan jika seluruh siswa di dalam kelas meraih standar mutu
yang tinggi. Jika suatu kelompok telah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik para anggotanya

dapat diminta untuk membantu kelompok-kelompok lain yang belum selesai. Upaya semacam ini
memungkinkan terciptanya suasana kehidupan kelas yang sehat, yang memungkinkan semua
potensi siswa berkembang optimal dan terintegrasi.
i. Menjelaskan kriteria keberhasilan. Penilaian dalam pembelajaran kooperatif

bertolak dari

penilaian acuan patokan (criterium referenced). Pada awal kegiatan belajar guru hendaknya
menerangkan secara jelas kepada siswa mengenai bagaimana pekerjaan mereka akan dinilai.
j. Menjelaskan perilaku siswa yang diharapkan. Perkataan kerjasama atau gotong royong sering
memiliki konotasi dan penggunaan

yang bermacam-macam. Oleh karena itu guru perlu

mendefinisikan perkataan kerja sama tersebut secara operasional dalam bentuk berbagai perilaku,
antara lain dapat dikemukakan dengan kata-kata seperti Tetaplah berada dalam kelompokmu,
Berbicaralah pelan-pelan, Berbicaralah menurut giliran, dan sebagainya. Jika kelompok mulai
berfungsi secara efektif, perilaku yang diharapkan dapat mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) Tiap anggota kelompok menjelaskan bagaimana memperoleh jawaban.
2) Meminta kepada tiap anggota kelompok untuk mengaitkan pelajaran baru dengan yang telah
dipelajari sebelumnya.
3) Memeriksa untuk meyakinkan bahwa semua anggota kelompok memahami bahan yang
dipelajari dan menyetujui jawaban-jawabannya.
4) Mendorong semua anggota kelompok agar berpartisipasi dalam menyelesaikan tugas.
5) Memperhatikan dengan sungguh-sungguh mengenai apa yang dikatakan oleh anggota lain.
6) Jangan mengubah

pikiran karena berbeda dari pikiran anggota lain tanpa penjelasan yang

logis.
7) Memberikan kritik kepada ide, bukan kepada pribadi.
k. Memantau perilaku siswa. Setelah semua kelompok mulai bekerja, guru harus menggunakan
sebagian besar waktunya untuk memantau kegiatan siswa. Tujuan pemantauan, guru harus

menjelaskan pelajaran, mengulang prosedur atau strategi untuk menyelesaikan tugas, menjawab
pertanyaan dan mengajarkan keterampilan menyelesaikjan tugas kalau perlu.
l. Memberikan bantuan kepada siswa dalam menyelesaikan tugas. Pada saat melakukan pemantauan,
guru harus menjelaskan pelajaran, mengulang prosedur atau strategi untuk menyelesaikan tugas,
menjawab pertanyaan, dan mengerjakan keterampilan menyelesaikan tugas kalau perlu.
m. Melakukan intervensi untuk mengerjakan keterampilan bekerja sama. Pada saat memantau
kelompok-kelompok yang sedang belajar, guru kadang-kadang menemukan siswa yang tidak
memiliki keterampilan

untuk menjalin kerja sama yang cukup dan adanya kelompok

yang

memiliki masalah dalam menjalin kerja sama. Dalam kondisi semacam itu, guru perlu memberikan
nasihat agar siswa dapat bekerja efektif.
n. Menutup pelajaran. Pada saat pelajaran berakhir, guru perlu meringkas pokok-poko pelajaran,
meminta kepada siswa untuk mengemukakan ide atau contoh, menjawab pertanyaan dan
mengevaluasi hasil belajar mereka.
o. Menilai kualitas pekerjaan atau hasil belajar siswa. Guru menilai kualitas pekerjaan atau hasil
belajar para siswa berdasarkan penilaian acuan patokan. Para anggota kelompok hendaknya juga
diminta untuk memberikan umpan balik mengenai kualitas pekerjaan dan hasil belajar mereka.
p. Menilai kualitas kerja sama antar anggota kelompok. Meskipun waktu belajar di kelas terbatas,
diperlukan waktu untuk berdiskusi dengan para siswa untuk membahas kualitas kerja sama antar
anggota kelompok pada hari itu. Pembicaraan dengan para siswa dilakukan untuk mengetahui apa
yang telah dilakukan dengan baik dan apa yang masih perlu ditingkatkan pada hari berikutnya.
Demikian itulah gambaran umum tentang peran yang harus dilakukan oleh guru dalam
penerapan metode pembelajaran kooperatif.
Badeni (1998), menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan suatu pendekatan
pengajaran

yang efektif dalam pencapaian tujuan pendidikan, khususnya dalam

interpersonal siswa.

keterampilan

Nur (1996: 25) mengatakan bahwa model pembelajaran kooperatif tidak hanya unggul dalam
membantu siswa memahami konsep-konsep IPA yang sulit, tetapi juga sangat berguna untuk
menumbuhkan kerjasama, berfikir kritis, kemauan membantu teman dan sebagainya. Pada prinsipnya
model pembelajaran kooperatif bertujuan mengembangkan tingkah laku kooperatif antar siswa
sekaligus membantu siswa dalam pelajaran akademisnya.
Ada banyak variasi pendekatan dalam model pembelajaran kooperatif. Setiap pendekatan
memberi penekanan pada tujuan tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa.
Salah satu dari model pemebelajaran kooperatif adalah model atau tipe STAD (Sudent TeamsAchievement Divisions) atau dapat diterjemahkan dengan istilah Tim Siswa Kelompok Prestasi.
Keunggulan dari metode pembelajaran kooperatif tipe STAD yaitu adanya kerja sama dalam
kelompok dan dalam menentukan keberhasilan kelompok ter

tergantung keberhasilan individu.

Namun demikian, setiap anggota kelompok tidak bisa menggantungkan pada anggota yang lain.
Pembelajaran kooperatif tipe STAD
saling memotivasi,

menekankan pada aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk

saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi

yang optimal.
Model pembelajaran Student Teams-Achievement Divisions (STAD) yang dikembangkan oleh
Slavin, dkk tersebut secara garis besar terdiri dari 6 (enam) langkah, sebagai berikut:
1.

Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi,
jenis kelamin, suku, dll);

2. Guru menyajikan pelajaran;


3. Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota-anggota kelompok. Anggota
yang tahu dan mengerti menjelaskan pada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok
itu mengerti dan memahami materi yang dipelajari;
4.

Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis, anggota dalam
suatu kelompok tidak boleh saling membantu;

5. Memberi evaluasi; dan

6. Kesimpulan.
Dari berbagai pendapat tersebut kiranya bisa diambil suatu kesimpulan, bahwa metode
pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan aktivitas belajar dan prestasi belajar siswa di
kelas. Dan dari situ pula diduga kuat bahwa metode pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat menjadi
salah satu solusi alternatif untuk memecahkan masalah yang timbul dalam pembelajaran biologi di
kelas X-1 Semester I SMA Negeri 1 Babat Tahun Pelajaran 2007/2008, khususnya terhadap materi atau
Kompetensi Dasar: Mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi dan peranan virus dalam kehidupan.

D. Hipotesis Tindakan
Bertolak dari kerangka pemikiran yang telah terurai kiranya dapat dirumuskan hipotesis
tindakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Bahwa penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe STAD pada pembelajaran Biologi, dapat
meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas X-1 Semester I SMA Negeri 1 Babat Tahun Pelajaran
2007/2008, khususnya pada materi atau Kompetensi Dasar: Mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi
dan peranan virus dalam kehidupan.
2. Bahwa penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe STAD pada pembelajaran Biologi, dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa kelas X-1 Semester I SMA Negeri 1 Babat Tahun Pelajaran
2007/2008, khususnya pada materi atau Kompetensi Dasar: Mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi
dan peranan virus dalam kehidupan.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Lokasi, Subyek dan Waktu Penelitian


Seperti telah disinggung pada bagian terdahulu, lokasi atau tempat dilaksanakannya penelitian
ini adalah SMA Negeri 1 Babat yang terletak di ibu kota wilayah Kecamatan Babat, Kabupaten
Lamongan, Propinsi Jawa Timur.
Dari segi letak geografis, ibu kota wilayah Kecamatan Babat ini berada di persimpangan jalan
ke arah wilayah kabupaten Jombang, Bojonegoro dan Tuban. Bahkan dari segi batas wilayah,
Kecamatan Babat ini berbatasan dekat dengan wilayah Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban.
Karena itu maklum jika siswa-siswi SMA Negeri 1 Babat ini juga banyak yang berasal dari luar
wilayah Kabupaten Lamongan, atau dengan kata lain banyak yang berasal dari wilayah Kabupaten
Bojonegoro dan Tuban.
Adapun subyek penelitian dalam hal ini adalah siswa Kelas X-1 Semester I SMA Negeri 1
Babat Tahun Pelajaran 2007/2008.
Selanjutnya berkaitan dengan masalah waktu, penelitian ini dilaksanakan dalam rentang waktu
selama kurang lebih 3 (tiga) bulan, mencakup keseluruhan tahapan yang diperlukan, mulai dari tahap
persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap penulisan laporan penelitian. Tepatnya, penelitian ini
dijadwalkan dan dilaksanakan mulai awal bulan September sampai dengan akhir bulan Nopember
2007.

B. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian tindakan kelas, disingkat PTK. Penelitian tindakan
kelas berasal dari istilah bahasa Inggris Classroom Action Research, yang berarti penelitian yang

dilakukan pada sebuah kelas untuk mengetahui akibat tindakan yang dilakukan terhadap subyek
penelitian di kelas tersebut.
Menurut DR.Sulipan,M.Pd, dalam tulisannya yang disusun untuk Program Bimbingan Karya
Tulis Ilmiah Online (http://www.ktiguru.org) berjudul Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action
Research), pertama kali penelitian tindakan kelas diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada tahun 1946,
yang selanjutnya dikembangkan oleh Stephen Kemmis, Robin Mc Taggart, John Elliot, Dave Ebbutt
dan lainnya. Pada awalnya penelitian tindakan menjadi salah satu model penelitian yang dilakukan
pada bidang pekerjaan tertentu di mana peneliti melakukan pekerjaannya, baik di bidang pendidikan,
kesehatan maupun pengelolaan sumber daya manusia. Salah satu contoh pekerjaan utama dalam
bidang pendidikan adalah mengajar di kelas, menangani bimbingan dan konseling, dan mengelola
sekolah. Dengan demikian para guru atau kepala sekolah dapat melakukan kegiatan penelitiannya
tanpa harus pergi ke tempat lain seperti para peneliti konvensional pada umumnya. Adapun tujuan
penelitian tindakan kelas itu tidak lain adalah untuk memecahkan masalah, memperbaiki kondisi,
mengembangkan dan meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas.
Menurut Suharsimi Arikunto (2002:82), penelitian tindakan adalah penelitian tentang hal-hal
yang terjadi di masyarakat atau sekelompok sasaran dan hasilnya langsung dapat dikenakan pada
masyarakat yang bersangkutan. Ciri atau karakteristik utama dalam penelitian tindakan adalah adanya
partisipasi dan kolaborasi antara peneliti dengan anggota kelompok sasaran. Penelitian tindakan
adalah salah satu strategi pemecahana masalah yang memanfaatkan tindakan nyata dalam bentuk
proses pengembangan inovatif yang dicoba sambil jalan dalam mendeteksi dan memecahkan masalah.
Dalam prosesnya, pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan tersebut dapat saling mendukung satu
sama lain.
Sedangkan tujuan penelitian tindakan harus memenuhi beberapa prinsip sebagai berikut;
1. Permasalahan atau topik yang dipilih harus memenuhi kriteria, yaitu benar-benar nyata dan
penting, menarik perhatian dan mampu ditangani serta dalam jangkauan kewenangan peneliti
untuk melakukan perubahan.

2. Kegiatan

penelitian, baik inferensi maupun pengamatan yang dilakukan tidak boleh sampai

mengganggu atau menghambat kegiatan utama.


3. Jenis intervensi yang dicobakan harus efektif dan efisien, artinya terpilih dengan tepat sasaran dan
tidak memboroskan waktu, dana dan tenaga.
4. Metodologi

yang digunalkan harus jelas, rinci dan

dirumuskan dengan

terbuka, setiap langkah dari tindakan

tegas sehingga orang yang berminat terhadap penelitian tersebut dapat

mengecek setiap hipotesis dan pembuktiannya.


5. Kegiatan penelitian diharapkan dapat merupakan proses kegiatan yang berkelanjutan (on-going),
mengingat bahwa pengembangan dan perbaikan terhadap kualitas tindakan memang tidak dapat
berhenti tetapi menjadi tantangan sepanjang waktu (Arikunto, Suharsimi, 2002:82).
Menurut Sukidin, dkk (2002:54), ada 4 (empat) macam bentuk penelitian tindakan kelas, yaitu :
(1) penelitian tindakan guru sebagai peneliti, (2) penelitian tindakan kolaborasi, (3) penelitian tindakan
simultan terintegratif dan (4) penelitian tindakan sosial eksperimental. Keempat bentuk penelitian
tindakan itu ada persamaan dan perbedaannya.
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian tindakan guru sebagai peneliti, dimana guru
terlibat langsung secara penuh dalam proses pelaksanaan penelitian, mulai dari tahap menyusun
perencanaan, melakukan tindakan, melakukan observasi dan tahap refleksi. Kehadiran pihak lain
dalam penelitian ini, kalaupun ada,

peranannya

sangat kecil dan tidak dominan. Penelitian ini

mengacu pada perbaikan pembelajaran yang berkesinambungan.


Ada banyak model penelitian tindakan yang dikemukakan oleh para ahli, tetapi secara garis
besar suatu penelitian tindakan lazimnya memiliki 4 (empat) tahapan yang harus dilalui, yaitu tahap
perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan refleksi.
Kemmis dan Taggart (1988:14) menyatakan bahwa model penelitian tindakan adalah berbentuk
spiral. Tahapan penelitian tindakan pada suatu siklus meliputi empat tahapan, yaitu tahap perencanaan,
pelaksanaan, observasi dan tahap refleksi. Siklus ini berlanjut dan akan dihentikan jika dirasa sudah
cukup memenuhi kebutuhan dan tujuan penelitian yang telah ditetapkan.

Sesuai dengan jenis rancangan penelitian yang dipilih, yaitu penelitian tindakan kelas, maka
penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis dan Taggart (dalam Arikunto,
Suharsimi, 2002:83), yaitu berbentuk spiral dari siklus yang satu ke siklus yang berikutnya. Setiap
siklus meliputi planning (rencana), action (tindakan), observasi (pengamatan) dan reflection (refleksi).
Langkah pada siklus berikutnya adalah perencanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan dan
refleksi. Sebelum masuk pada siklus I dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi
permasalahan.
Siklus spiral dari tahap-tahap penelitian tindakan kelas dapat dilihat pada gambar 1 berikut:

BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Subyek dan Obyek Penelitian


Subyek penelitian ini adalah siswa kelas X-1 Semester I SMA Negeri 1 Babat Tahun Pelajaran
2007/2008 yang berjumlah 40 orang siswa, terdiri dari 19 putra dan 21 putri.
Adapun obyek penelitian tindakan kelas ini tidak lain adalah variabel tindakan dan variable
masalah. Variabel tindakan dimaksud adalah penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD,
sedangkan variabel masalah terdiri dari aktivitas belajar siswa dan prestasi belajar siswa. Hasil
penelitian terkait dengan kedua variabel penelitian tersebut dapat dilihat pada bagian berikut ini.

B. Hasil Penelitian
Penelitian ini berjalan dalam dua siklus, yang dalam setiap siklusnya berlangsung dua kali
pertemuan atau pembelajaran tatap muka (setiap pertemuan = 2 x 45 menit). Setiap siklus penelitian
terdiri dari 4 (empat) tahap kegiatan utama, yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi.
Data yang dikumpulkan dalamsetiap siklus adalah data yang berhubungan dengan aktivitas belajar dan
prestasi belajar siswa melalui instrumen pengumpul data yang telah ditetapkan, dalam hal ini adalah
melalui format observasi dan lembar soal tes yang telah disiapkan oleh guru.
Hasil Observasi terhadap aktivitas belajar siswa dari siklus ke siklus setelah diolah dapat dilihat
pada tabel 6 berikut ini :

Tabel 6
Data Aktivitas Belajar Siswa (N = 40)

Ketercapaian
N
o

INDIKATOR PROSES
Siklus I

Siklus II

Keberanian siswa dalam bertanya dan


mengemukakan pendapat

22

55

33

82,5

Motivasi dan kegairahan dalam proses


belajar (meyelesaikan tugas mandiri
atau tugas kelompok)

26

65

35

87,5

Kerjasama dalam kelompok

26

65

37

92,5

Kreativitas belajar siswa (membuat


catatan, ringkasan)

28

70

35

87,5

Interaksi dan komunikasi dengan


sesama siswa selama pembelajaran
(dalam kerja kelompok)

25

62,5

34

85

Interaksi dan komunikasi dengan guru


selama kegiatan pembelajaran

24

60

36

90

Partisipasi siswa dalam pembelajaran


(memperhatikan dan mendengarkan,
ikut melakukan kegiatan kelompok,
selalu mengikuti petunjuk guru).

25

62,5

38

95

25

62,5

35

87,5

Rata-rata

Berdasarkan data pada tabel 6 tersebut diketahui bahwa aktivitas belajar siswa mengalami
peningkatan dari 62,5% pada siklus I meningkat menjadi 87,5% pada siklus II, yang berarti mengalami
peningkatan sebesar 25%.
Selanjutnya, bagaimana data aktivitas siswa yang kurang relevan dengan pembelajaran, dapat
dilihat pada tabel 7 berikut ini.

Tabel 7
Data Aktivitas Siswa Yang Kurang Relevan Dengan Pembelajaran
(N = 40)

Ketercapaian
N
o

INDIKATOR PROSES
Siklus I

Siklus II

Asyik bermain sendiri

16

40

17,5

Tidak/kurang memperhatikan
penjelasan dari guru atau teman
sekelas

18

45

12,5

Mengobrol dan bercanda sendiri


dengan teman

12

30

15

Melamun dan kurang bergairah


belajar

22

55

20

Mengerjakan tugas pelajaran lain

10

25

100

Rata-rata

16

40

12,5

Berdasarkan data pada tabel 7 diatas terlihat bahwa aktivitas siswa yang kurang relevan dengan
kegiatan pembelajaran mengalami penurunan, dari 40% pada siklus I menjadi 12,5% pada siklus II,
yang berarti mengalami penurunan sebesar 27,5% pada akhir siklus II.
Selanjutnya, prestasi hasil belajar dan atau ketuntasan belajar siswa terhadap materi pokok
pembelajaran virus, berikut ciri-ciri, replikasi dan peranannya dalam kehidupan setelah data diolah
dan disederhanakan dapat dilihat pada tabel 8 berikut ini (Data mentahnya dapat dilihat pada Lampiran
8).

Tabel 8
Data Prestasi Belajar Siswa
Ketercapaian
N
o

Kriteria Penilaian
Siklus I

Siklus II

Tidak Tuntas (Remidi)

11

27,5

12,5

Tuntas

18

45

21

52,5

Tuntas Memuaskan (Pengayaan)

20

10

25

Tuntas Sangat Memuaskan


(Pengayaan)

7,5

10

N=

40

40

Dari data pada tabel 8 di atas dapat diketahui bahwa prestasi belajar dan atau ketuntasan belajar
siswa dari siklus I ke siklus II cenderung mengalami peningkatan yang relatif besar. Dari 11 siswa
(27,5%) yang tidak tuntas pada siklus I menurun menjadi hanya 5 siswa (12,5%) yang tidak tuntas dan
memerlukan remidi pada akhir siklus II. Seiring dengan itu jumlah siswa yang tuntas tetapi tidak perlu
pengayaan juga meningkat, dari 18 siswa (45%) pada siklus I meningkat menjadi 21 siswa (52,5%)
pada siklus II. Siswa dalam kategori tuntas tetapi tidak memerlukan pengayaan ini merupakan jumlah
yang terbesar dalam sebaran distribusi. Berikutnya adalah siswa yang tuntas dengan predikat
memuaskan dan sangat memuaskan, masing-masing sebanyak 8 (20%) dan 3 (7,5%) pada siklus I
dan hanya meningkat sedikit pada akhir siklus II, yaitu masing-masing menjadi 10 (25%) dan 4 (10%).
Baik yang tuntas memuaskan maupun yang tuntas sangat memuaskan, keduanya adalah termasuk
kategori siswa yang perlu mendapat program pengayaan. Jumlah siswa dalam kategori yang terakhir
itu secara kumulatif pada akhir siklus II adalah sebanyak 14 siswa (35%).

C. Pembahasan Hasil
Dari data hasil penelitian yang telah tersaji pada tabel 6, 7, dan 8 tersebut dengan jelas
diketahui bahwa aktivitas belajar siswa dalam segala aspek pengamatan mengalami peningkatan yang
sangat berarti dari siklus I ke siklus II. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD melalui
tindakan guru yang berupa pembentukan kelompok belajar secara acak terstruktur ditambah dengan
pemberian dan penyematan tanda nomor identifikasi selama proses belajar untuk memudahkan
observasi dan penilaian sepertinya cukup ampuh untuk menggugah motivasi dan gairah belajar siswa.
Siswa seolah menjadi sangat terkesan dengan penciptaan suasana belajar dan proses penilaian yang
tampak serius dan resmi dari guru. Mereka berusaha untuk tampil sebaik mungkin dalam rangka
mendapat penilaian yang terbaik dari guru selama proses pembelajaran. Apalagi setelah mereka
mengetahui tentang aturan main dalam penilaian proses maupun penilaian hasil.
Itulah kiranya yang mendorong siswa untuk, sepertinya, berlomba dan terpacu meningkatkan
aktivitas belajar mereka di kelas. Dari yang semula kelihatan pemalu dan pendiam berubah menjadi
pro-aktif dalam berinteraksi dan berkomunikasi, baik dengan guru maupun apalagi dengan teman
sekelas atau teman kelompok belajarnya; dari yang semula pemalas, pelamun dan kurang bergairah

belajar mendadak menjadi rajin dan bersemangat belajar; dari yang semula kelihatan peragu dan
penakut berubah menjadi penuh percaya diri dalam kegiatan tanya jawab; dari yang semula kelihatan
cuek dan egois berubah menjadi penuh atensi dan mau berbagi dengan teman. Hal itu semua
terbukti dari data hasil penelitian sebagaimana tersajikan pada tabel 6 di atas, di mana aktivitas belajar
siswa dalam segala aspek pengamatan dari 62,5% pada siklus I meningkat menjadi 87,5% pada akhir
siklus II, yang berarti naik sebesar 25%.

Berdasarkan kriteria penilaian aktivitas belajar yang telah

ditetapkan (lihat tabel 4 Bab III), prosentase aktivitas belajar sebesar 87,5% itu tergolong tinggi sekali.
Demikian pula angka prosentase kenaikan sebesar 25% tersebut jelas jauh melampaui kriteria
keberhasilan penilaian proses sekaligus kriteria pengujian hipotesis yang telah ditetapkan dalam
penelitian ini, yakni sebesar 10%. Dengan demikian maka hipotesis penelitian (tindakan) pertama yang
dirumuskan di bagian terdahulu dalam penelitian ini bisa diterima kebenarannya secara meyakinkan.
Hal itu berarti, bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada mata pelajaran
Biologi, khususnya pada materi/Kompetensi Dasar Mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi dan peranan
virus dalam kehidupan terbukti dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa Kelas X-1 Semester I
SMA Negeri 1 Babat Tahun Pelajaran 2007/2008.
Memang harus diakui, bahwa dengan model pembelajaran kooperatif seperti yang diterapkan
dalam penelitian tindakan ini suasana belajar di kelas menjadi kesannya agak ramai dan cenderung
gaduh. Sesekali sering terdengar suara tepukan meriah dan gelak tawa riang dari para siswa untuk
memberikan applause dan support atau karena munculnya spontanitas perilaku jenaka dari teman
sekelas ketika berdiskusi ataupun saat mengerjakan tugas-tugas kelompok dan tanya jawab.. Meskipun
begitu suasana kelas tetap kondusif bagi proses pembelajaran, dan bahkan siswa sepertinya merasakan
adanya suasana belajar yang menyenangkan (joyful learning atau learning is fun). Hal ini setidaknya
terbukti dari semakin menurunnya secara signifikan aktivitas siswa yang tidak relevan dengan belajar
dari siklus I ke siklus berikutnya, sebagaimana terlihat dari sajian data pada tabel 7 di atas, dari 40%
aktivitas siswa yang kurang relevan dengan pembelajaran pada siklus I turun menjadi 12,5% pada
siklus II. Dan berdasarkan kriteria penilaian yang telah ditetapkan untuk ini (lihat tabel 5 Bab III),
angka prosentase 12,5% itu tergolong rendah sekali. Itu artinya apa? Penerapan tindakan melalui
pembelajaran kooperatif tipe STAD terbukti bisa mereduksi atau mengurangi sampai seminimal
mungkin aktivitas siswa yang tidak relevan dengan pembelajaran.

Demikian pula halnya bila ditinjau dari segi hasil, data hasil belajar atau prestasi belajar siswa
sebagaimana tersajikan pada tabel 8 di atas dengan jelas membuktikan bahwa telah terjadi peningkatan
yang sangat signifikan pada prestasi belajar siswa, dari semula hanya 29 siswa (18 + 8 + 3 ) atau
sebesar 72,5% yang tuntas belajar pada siklus I meningkat menjadi 35 siswa (21 + 10 + 4) atau sebesar
87,5% pada akhir siklus II, yang berarti mengalami peningkatan sebesar 15% untuk kategori ini.
Sementara itu untuk kategori penilaian hasil yang lain, yakni kategori siswa yang tidak tuntas, dari
semula sebanyak 11 siswa (27,5%) yang tidak tuntas pada siklus I berkurang secara drastis menjadi
hanya 5 siswa (12,5%) yang tidak tuntas pada akhir siklus II, yang berarti berkurang sebesar 15%.
Meskipun angka prosentase kenaikan bagi yang tuntas maupun prosesntase pengurangan bagi
yang tidak tuntas dari siklus I ke siklus II tersebut tidak terlalu fantastis, yakni masing-masing hanya,
kebetulan sama 15%, namun bila dihubungkan dengan kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan
sebelumnya untuk pengujian hipotesis, yakni kenaikan 10%, maka hal itu sudah lebih dari cukup
membanggakan. Terlebih lagi bila dilihat dari segi kriteria keberhasilan secara klasikal yang telah
ditetapkan, yakni sebesar 85% dari seluruh siswa dalam kelas harus mencapai ketuntasan belajar,
sementara dari penilaian hasil di akhir siklus II ini hanya menyisakan 12,5% yang tidak tuntas (yang
berarti 87,5% siswa telah mencapai ketuntasan belajar), maka dari situ dapat dipahami lebih jauh
bahwa tindakan guru melalui penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD ini telah berhasil
mencapai tujuannya. Dengan demikian pula maka hipotesis penelitian (tindakan) kedua yang
dirumuskan dalam penelitian ini terbukti dapat diterima kebenarannya secara sah dan meyakinkan.
Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada pembelajaran Biologi, khususnya pada
materi atau kompetensi dasar mendeskripisikan ciri-ciri virus, replikasi dan peranannya dalam
kehidupan terbukti dapat meningkatkan prestasi belajar siswa Kelas X-1 Semester I SMA Negeri 1
Babat Tahun Pelajaran 2007/2008.

BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Simpulan utama yang dihasilkan dalam penelitian tindakan kelas ini merupakan jawaban
terhadap masalah penelitian yang telah dirumuskan, sebagai berikut:
1. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada bidang studi Biologi, khususnya pada
materi atau kompetensi dasar mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi dan peranan virus dalam
kehidupan terbukti telah berhasil meningkatkan sebesar 25% (dari semula 62,5% pada siklus I
menjadi 87,5% pada akhir siklus II) dari aktivitas belajar siswa Kelas X-1 Semester I SMA Negeri
1 Babat Tahun Pelajaran 2007/2008.
2. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada bidang studi Biologi, khususnya pada
materi atau kompetensi dasar mendeskripsikan ciri-ciri, replikasi dan peranan virus dalam
kehidupan terbukti juga telah berhasil meningkatkan sebesar 15% (dari semula 27,5% yang tidak
tuntas pada siklus I berkurang menjadi 12,5% yang tidak tuntas pada akhir siklus II) dari prestasi
belajar atau ketuntasan belajar siswa Kelas X-1 Semester I SMA Negeri 1 Babat Tahun Pelajaran
2007/2008.
Dengan demikian maka tindakan guru dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe
STAD pada bidang studi Biologi di sini telah berhasil mencapai tujuan yang diinginkan.

B. Saran
Mengingat hasil-hasil penelitian yang telah dicapai di sini, maka disarankan:
1.

Kepada siswa; mereka para siswa hendaknya lebih meningkatkan kerjasamanya dalam kegiatan
pembelajaran, terutama dalam mengerjakan tugas-tugas kelompok yang diberikan oleh guru.
Dengan begitu maka selain akan menimbulkan rasa saling asah, saling asih dan saling asuh di
antara siswa juga akan mempermudah upaya pencapaian tujuan pembelajaran di sekolah.

2. Kepada teman sejawat, guru; jika menghadapi masalah pembelajaran yang sama atau yang mirip
dengan masalah yang ada dalam penelitian ini, kiranya patut dicoba untuk diatasi dengan
menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD, pada bidang studi yang sama dengan ini
ataupun untuk bidang studi yang lain. Mengingat satu dan lain hal, model pembelajaran kooperatif
tipe STAD selain prosedurnya mudah dan sederhana, dampaknya sangat terasa bagi peningkatan
aktivitas belajar siswa sesuai dengan tuntutan dan trend pembelajaran yang berkembang akhir-akhir
ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi,Abu,Drs., dan Supriyono,Widodo,Drs., Psikologi Belajar, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta,


1991.
De Porter,Bobbi dan Hernacki,Mike dalam Abdurrahman,Alwiyah (penerjemah), Quantum Learning,
Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Bandung, Kaifa, 2002.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI; Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,
1990.
Mulyasa,E., Dr.,M.Pd., Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan Implementasi,
Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2003.
--------------------------, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi, dan Implementasi, Bandung,
PT. Remaja Rosdakarya, 2003.
Gordon,Thomas, dalam Mudjito,Drs.,MA. (Penyadur); Guru Yang Efektif, Cara Mengatasi Kesulitan
Dalam Kelas, Jakarta, CV Rajawali, 1984.
Hamalik,Oemar,Dr., Perencanaan dan Manajemen Pendidikan, Bandung, Penerbit CV Mandar Maju,
1991.
Madya,Suwarsih,Prof.,Ph.D., Teori dan Praktik, Penelitian Tindakan (Action Research), Bandung,
Penerbit Alfabeta, 2006.
Pemerintah RI; UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta, Penerbit
Cemerlang, 2003.
-------------------; UU RI No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Bandung, Penerbit Citra
Umbara, 2006.
Surakhmad,Winarno,Dr.,M.Sc.,Ed.; Metodologi Pengajaran Nasional, Bandung, Penerbit Jemmars,
1980.
Sunarto,H.,Prof.,Dr. dan Hartono, Ny.B.Agung,Dra.; Perkembangan Peserta Didik, Jakarta, Penerbit
Rineka Cipta, 1999.
Sudjana,Nana,Dr.; Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung, Penerbit PT Remaja, 1989.

Suyanto,Prof.,Drs.,M.Ed.,Ph.D. dan Abbas,M.S.,Drs.,M.Si.; Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak


Bangsa, Yogyakarta, Penerbit Adi Cita Karya Nusa, 2001.
Sulipan,Dr., Artikel Bimbingan Karya Tulis Ilmiah Online, Penelitian Tindakan Kelas (Classroom
Action Research), http://www.ktiguru.org/

LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran I
Format Observasi Aktivitas Belajar Siswa
Siklus I dan II

N
o

NAM
A
SISW
A

Keberania
n

Motivasi

Kerja

belajar

Sama
dlm ke-

bertanya

Kreativi
-

Interaks
i

Interaks
i

tas
belajar

Sesama

Dengan

siswa

guru

si dalam

lompok

Ya

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Tdk

Y
a

Td
k

Y
a

Td
k

Partisipa

pembelajara
n

40

Lampiran II
Format Observasi
Aktivitas Siswa Yang Kurang Relevan Dengan Pembelajaran
Siklus I dan II
No

NAMA
SISWA

Asyik
bermain
sendiri

Ya

1
2

Tdk

Kurang
memperhatikan
penjelasan
guru

Ya

Tdk

Berbicara
sendiri
dengan teman

Ya

Tdk

Melamun
dan kurang
bergairah

Ya

Tdk

Mengerjakan
tugas
pelajaran lain

Ya

Tdk

Anda mungkin juga menyukai