PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kematian merupakan suatu kejadian yang pasti akan terjadi pada setiap manusia.
Sebagaimana peristiwa kelahiran, kejadian kematian juga perlu adanya upaya pelaporan. Informasi
peristiwa dan penyebab kematian di masyarakat sangat penting untuk memperoleh data dasar di
bidang kesehatan, dimana data tersebut dapat dipakai sebagai indikator untuk menyusun kebijakan
kesehatan, mengevaluasi efektifitas dan efisiensi program yang sudah berjalan, serta menunjang
penelitian-penelitian yang dilakukan. Pelaporan peristiwa kematian dan penyebab kematian di
Indonesia masih sangat minim, dimana lebih dari enam puluh persen kematian terjadi di rumah
sehingga data-data untuk penyebab kematiannyapun semakin sedikit.1,2
Berdasarkan UU no 23 tahun 2006, Departemen Dalam Negeri melalui Dirjen Administrasi
Kependudukan telah menyusun aturan dan kerangka kerja baru guna menyeragamkan,
mengkoordinasikan dan membuat efisien sistem registrasi vital (lahir, pindah, kawin, mati)
penduduk di Indonesia. Mengingat pentingnya data tersebut Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam
Negeri telah menyepakati dan menandatangani Peraturan Bersama Nomor : 15 Tahun 2010 dan
Nomor 162/menkes/PB/I/2010. Selanjutnya perlu ditindak lanjuti oleh Kepala Dinas Kesehatan dan
Kepala Kependudukan Catatan Sipil di masing-masing kabupaten atau kota agar bisa
diimplementasikan di masing-masing daerah. Hasil kegiatan peningkatan sistem registrasi penyebab
kematian oleh jajaran kesehatan untuk mendapatkan diagnosis penyebab kematian dari kasus
kematian yang terjadi di masyarakat baik yang meninggal di rumah, rumah sakit maupun unit
forensik. 1
Dalam proses pelaporan kematian ini dikenal adanya akta kematian yang merupakan suatu
keterangan tertulis tentang kematian seseorang. Kesadaran warga untuk mengurus akta kematian
masih rendah. Hal ini terkait dengan minimnya pemahaman masyarakat mengenai fungsi akta
kematian itu. Padahal akta tersebut berhubungan erat dengan status hukum seseorang, baik hukum
privat maupun publik. Bahkan, beberapa tahun ke depan akta kematian akan menjadi salah satu
prasyarat penting bagi kepengurusan dokumen lain. Manfaat dari akta kematian bagi ahli waris
diantaranya untuk mengurus penetapan ahli waris, pensiunan, klaim asuransi, maupun persyaratan
perkawinan bagi duda atau janda.3
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
1
1.3
Manfaat
a.
b.
Bagi Masyarakat
Diharapkan dengan ditulisnya referat ini dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang
pentingnya pelaporan kematian sehingga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk
mendukung proses pelaporan kematian.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kematian
2.1.1 Definisi kematian
Sebelum membahas definisi mati perlu dipahami lebih dahulu bahwa manusia menurut ilmu
kedokteran memiliki dua dimensi, yaitu sebagai individu dan sebagai kumpulan dari berbagai
macam sel. Oleh sebab itu kamatian manusia juga dapat dilihat dari kedua dimensi tadi, dengan
catatan bahwa kematian sel (cellulare death) akibat ketiadaan oksigen baru akan terjadi setelah
kematian manusia sebagai individu (somatic death).
2
Mati individu atau mati somatis itu sendiri sebetulnya dapat didefinisikan secara sederhana
sebagai berhentinya kehidupan secara permanen (permanent cessation of life). Hanya saja, untuk
dapat memahami difinisi tersebut perlu dipahami lebih dahulu tentang hidup. Mengenai hal ini
nampaknya para ahli sependapat jika hidup didefinisikan sebagai berfungsinya berbagai organ vital
(paru-paru, jantung dan otak) sebagai satu kesatuan utuh, yang ditandai oleh adanya konsumsi
oksigen. Dengan definisi hidup seperti itu maka definisi mati dapat diperjelas lagi menjadi
berhentinya secara permanen fungsi berbagai organ-organ vital (paru-paru, jantung dan otak)
sebagai satu kesatuan yang utuh, yang ditandai oleh berhentinya konsumsi oksigen.
Akibat berhentinya konsumsi oksigen ke seluruh jaringan tubuh maka satu demi satu sel yang
merupakan elemen hidup terkecil bentuk manusia akan mengalami kematian pula. Dimulai dari selsel yang paling rendah daya tahannya terhadap ketiadaan oksigen.4
Mati seluler (mati molekuler) adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul
beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing organ dan jaringan
berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ atau jaringan tidak bersamaan.
Pengetahuan ini penting untuk transplantasi organ.
Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa susunan saraf pusat mengalami mati seluler
dalam waktu 4 menit; otot masih dapat dirangsang (listrik) sampai kira-kira 2 jam pasca mati, dan
mengalami mati seluler setelah 4 jam; dilatasi pupil masih terjadi pada pemberian adrenalin 0,1%
atau penyuntikan sulfas atropin 1% ke dalam kamera okuli anterior, pemberian pilokarpin 1% atau
fisostigmin 0,5% akan mengakibatkan miosis hingga 20 jam pasca mati.
Kulit masih dapat berkeringat sampai lebih dari 8 jam pasca mati dengan cara menyuntikkan
subkutan pilokarpin 2% atau asetilkolin 20%; spermatozoa masih dapat bertahan hidup beberapa
hari dalam epididimis; kornea masih dapat ditransplantasikan dan darah masih dapat dipakai untuk
transfusi sampai 6 jam pasca mati.
Selain kematian individu dan kematian seluler, ada yang namanya mati suri (suspended
animation, apparent death). Mati suri adalah terhentinya ketiga sistim kehidupan di atas yang
ditentukan dengan alat kedokteran sederhana. Dengan peralatan kedokteran canggih masih dapat
dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi. Mati suri sering ditemukan pada kasus
keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam.
Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang ireversibel kecuali batang orak dan
serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem pernafasan dan kardiovaskular masih
berfungsi dengan bantuan alat.
Mati otak (mati batang otak) adalah bila telah terjadi kerusakan seluruh isi neuron intrakranial
yang reversibel, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak (mati batang
otak) maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi,
sehingga alat bantu dapat dihentikan.
3
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang berupa tanda
kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan tersebut dapat timbul dini
pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian, misalnya kerja jantung dan peredaran darah
berhenti, pernafasan berhenti, refleks cahaya dan refleks kornea mata hilang, kulit pucat dan
relaksasi otot. Setelah beberapa waktu timbul perubahan pascamati yang jelas yang memungkinkan
diagnosis kematian lebih pasti. Tanda-tanda tersebut dikenal sebagai tanda pasti kematian berupa
lebam mayat (hipostasis atau lividitas pasca mati), kaku mayat (rigor mortis), penurunan suhu
tubuh, pembusukan, mimifikasi dan adiposera.5
Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu (somatic death), diperlukan
kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah. Kriteria diagnostik pertama yang disusun oleh para ahli di bidang kedokteran adalah
yang dirumuskan berdasarkan konsep permanent cessation of heart beating and respiration is
death. Namun dengan ditemukannya respirator (alat nafas buatan) yang dapat mempertahankan
fungsi paru-paru dan jantung maka kriteria tradisional tidak dapat dilakukan terhadap pasien-pasien
yang menggunakan alat itu. Karena itu lalu disusunlah kriteria diagnostik baru yang didasarkan
pada konsep brain death is death. Terakhir konsep diagnostik ini diperbaiki lagi menjadi brain
stem death is death.4 Perbaikan ini berangkat dari pemikiran bahwa:
1.
Mustahil dapat mendiagnosis brain death dengan memeriksa seluruh fungsi otak dalam
keadaan koma, mengingat fungsi-fungsi tertentu dari otak (melihat, mencium, mendengar,
fungsi serebelum dan beberapa fungsi kortek) hanya dapat diperiksa dalam keadaan kompos
2.
mentis.
Proses brain death tidak terjadi secara serentak, tetapi bertahap mengingat resistensi yang
berbeda-beda dari berbagai bagian otak terhadap ketiadaan oksigen. Dalam keadaan ini brain
3.
stem (batang otak) merupakan bagian yang paling tahan dibandingkan kortek dan talamus.
Brain stem merupakan bagian dari otak yang mengatur fungsi vital, terutama pernafasan.
Pernafasan berhenti dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi, palpasi, auskultasi).
Terhentinya sirkulasi, dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena mungkin terjadi
d.
otot sesaat setelah kematian disebut relaksasi primer. Hal ini mengakibatkan pendataran
e.
daerah-daerah yang tertekan, misanya daerah belikat dan bokong pada mayat yang terlentang.
Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian. Segmen-
f.
hasil yang meragukan atau juka ada kekhawatiran akan adanya tuntutan di kemudian hari.4,5
Dengan adanya kriteria baru itu tidak berarti kriteria tradisional diagnostik tidak berlaku lagi.
Kriteria tradisional tetap diperlukan bagi penentuan kematian pada kasus-kasus biasa, sedang
kriteria baru hanya berlaku bagi kasus-kasus luar biasa (misalnya keracunan, sengaran listrik,
gangguan metabolisme, hypotermi atau pasien-pasien yang dipersiapkan menjadi donor kadaver).5
Kriteria tradisional itu sendiri sebetulnya didasarkan pada konsep permanent cessation of
heart beating and respiration is death. Dikatakan berhenti secara permanen (permanent cessation)
jika fungsi jantung dan paru-paru terhenti sekitar 10 menit. Hal ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa sel-sel otak akan mengalami kerusakan ireversibel jika tidak mendapatkan suplai oksigen
selama 10 menit. Di daerah yang suhunya dingin ketahanannya dapat mencapai 1 jam atau lebih.5
Secara teoritis, diagnosis kematian sudah dapat ditegakkan jika jantung dan paru selama 10
menit, namun dalam prakteknya sering kali terjadi kesalahan diagnosis sehingga perlu dilakukan
konfirmasi dengan cara mengamati selama waktu tertentu. Kebiasaan yang berlaku di Indonesia
adalah mengamati selama 2 jam. Jika waktu tersebut telah terlewati, sedang tanda-tanda kehidupan
tidak juga muncul barulah yang bersangkutan dapat dinyatakan mati berdasarkan kriteria diagnostik
tradisional.4
Untuk menentukan apakah paru-paru sudah berhenti bernapas perlu dilakukan pemeriksaan:4
a.
Auskultasi
Tes ini dilakukan secara hati-hati dan lama. Kalau perlu dilakukan juga auskultasi pada daerah
laring
b.
c.
d.
Tes Winslow
Yaitu dengan meletakkan gelas berisi air di atas perut atau dadanya. Bila permukaan air
bergoyang berarti masih ada gerakan nafas.
Tes Cermin
Yaitu dengan meletakkan kaca cermin di depan mulut dan hidung. Bila basah berarti masih
bernafas.
Tes Bulu Burung
5
Yaitu dengan meletakkan bulu burung di depan hidung. Bila bergetar berarti masih bernafas.
Untuk menentukan jantung masih berfungsi perlu dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:4
a.
Auskultasi
Auskultasi dilakukan di daerah prekardial selama 10 menit terus-menerus.
b.
Tes Magnus
Yaitu dengan mengikat jari tangan sedemikian rupa sehingga hanya aliran darah vena saja
yang terhenti. Bila terjadi bendungan berwarna sianotik berarti masih ada sirkulasi.
Tes Icard
Yaitu dengan cara menyuntikkan larutan dari campuran 1 gram zat fluorescin dan 1 gram
c.
natrium bicarbonas di dalam 8 ml air secara subkutan. Bila terjadi perubahan warna kuning
kehijauan berarti masih ada sirkulasi darah.
Incisi Arteria Radialis
Bila terpaksa dapat dilakukan pengirisan pada arteria radialis. Bila keluar darah secara pulsatif
d.
Pelaporan kematian
Peristiwa
Kependudukan
dan
pendataan
Penduduk
rentan
17
berkewajiban
dan
bertanggung
jawab
menyelenggarakan
Administrasi Kependudukan;
e. pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala nasional: dan
f. pencetakan, penerbitan, dan distribusi blangko Dokumen Kependudukan.
Instansi Pelaksana melaksanakan urusan Administrasi Kependudukan dengan
kewajiban yang meliputi :
a. mendaftar Peristiwa Kependudukan dan mencatat Peristiwa Penting;
b. memberikan pelayanan yang sama dan profesional kepada setiap Penduduk
atas pelaporan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting;
c. menerbitkan Dokumen Kependudukan;
d. mendokumentasikan hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil;
e. menjamin kerahasiaan dan keamanan data atas Peristiwa Kependudukan dan
Peristiwa Penting; dan
7
33
f. melakukan verifikasi dan validasi data dan informasi yang disampaikan oleh
g. Penduduk dalam pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Setiap lahir mati wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana
44
Presiden.
Setiap kematian wajib dilaporkan oleh keluarganya atau yang mewakili kepada
Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal kematian.
Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pejabat Pencatatan
Sipil mencatat pada Register Akta Kematian dan menerbitkan Kutipan Akta
Kematian.
Pencatatan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
45
kepolisian.
Kematian Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia wajib dilaporkan oleh keluarganya atau yang mewakili keluarganya
kepada Perwakilan Republik Indonesia dan wajib dicatatkan kepada instansi
yang berwenang di negara setempat paling lambat 7 (tujuh) hari setelah
kematian.
Apabila Perwakilan Republik Indonesia mengetahui peristiwa kematian
seseorang Warga Negara Indonesia di negara setempat yang tidak dilaporkan
dan dicatatkan paling lambat 7 (tujuh) hail sejak diterimanya informasi
tersebut, pencatatan kematiannya dilakukan oleh Perwakilan Republik
Indonesia.
Dalam hal seseorang Warga Negara Indonesia dinyatakan hilang, pernyataan
kematian karma hilang dan pencatatannya dilakukan oleh Instansi Pelaksana di
negara setempat.
Dalam hal terjadi kematian seseorang Warga Negara Indonesia yang tidak jelas
identitasnya, pernyataan dan pencatatan dilakukan oleh Instansi Pelaksana di
negara setempat.
8
Keterangan pernyalaan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat
46
Presiden.
Dokumen Kependudukan meliputi:
a. Biodata Penduduk:
b. KK;
c. KTP;
d. surat keterangan kependudukan: dan
e. Akta Pencatatan Sipil.
Surat keterangan kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
meliputi:
67
68
1
1
a. kelahiran;
b. kematian;
c. perkawinan;
d. perceraian; dan
e. pengakuan anak.
Kutipan Akta Pencatatan Sipil rnemuat:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
10
11
Sipil.
Pendaftaran Penduduk adalah pencatatan biodata Penduduk, pencatatan atas
pelaporan
Peristiwa
Kependudukan
dan
pendataan
Penduduk
rentan
16
21
kewarganegaraan.
Pemerintah berkewajiban
dan
bertanggung
jawab
menyelenggarakan
27
Administrasi Kependudukan;
e. pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala nasional; dan
f. pencetakan, penerbitan, dan distribusi blangko Dokumen Kependudukan.
Dalam menyelenggarakan urusan Administrasi Kependudukan di
kabupaten/kota, dibentuk Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil sebagai
32
sipil.
Pelayanan pencatatan sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. kelahiran;
b. kematian;
c. lahir mati;
d. perkawinan;
e. perceraian;
f. pengakuan anak;
g. pengesahan anak;
h. pengangkatan anak;
i. perubahan nama;
j. perubahan status kewarganegaraan;
k. pembatalan perkawinan;
l. pembatalan perceraian; dan
m. peristiwa penting lainnya.
Perpres No. 25 Tahun 2008 memuat 111 pasal. Pasal-pasal yang berkaitan dengan pelaporan
dan pencatatan kematian antara lain11 :
Pasal Ayat
Isi
1
1
Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan
penertiban dalam penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui
Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi
Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan
7
Peristiwa
Kependudukan
dan
pendataan
Penduduk
rentan
16
81
Pelaksana.
Pencatatan kematian dilakukan pada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi
Keterangan
Kematian
dan
12
kependudukan.
Pencatatan kematian bagi Orang Asing dilakukan pada Instansi Pelaksana atau
83
domisili.
Pencatatan pelaporan kematian seseorang yang hilang atau mati yang tidak
ditemukan jenazahnya dan/atau tidak jelas identitasnya dicatat pada Instansi
Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana di tempat tinggal pelapor.
13
diketahui jenazahnya.
Pencatatan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan
tata cara:
a. Pelapor mengisi dan menyerahkan Formulir Pelaporan Kematian dengan
melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada
Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana ;
b. Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi
Pelaksana mencatat pada Register Akta Kematian dan menerbitkan Kutipan
Akta Kematian;
c. Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana mencatat dan merekam
84
Keterangan Kematian.
Kematian Warga Negara Indonesia di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pencatatan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memenuhi syarat berupa :
a. Surat Keterangan tentang terjadinya kematian dari rumah sakit di negara
setempat;
b. Paspor Republik Indonesia; atau
c. Identitas lainnya.
Pencatatan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan
tata cara:
a. Pelapor mengisi Formulir Pencatatan Kematian dengan menyerahkan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pejabat Konsuler;
b. Pejabat Konsuler mencatat dalam Register Akta Kematian dan menerbitkan
Kutipan Akta Kematian;
c. Pejabat Konsuler mengirimkan data kematian Warga Negara Indonesia
kepada Instansi Pelaksana di wilayah tempat domisili yang bersangkutan
melalui departemen yang bidang tugasnya meliputi urusan pemerintahan
dalam negeri;
d. Instansi Pelaksana di wilayah tempat domisili sebagaimana dimaksud pada
86
bahwa dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan diperlukan data kematian dan
2.
penyebab kematian
bahwa data kematian dan penyebab kematian pada tingkat desa/kelurahan sampai tingkat
3.
4.
Ayat
1
Isi
Pencatatan Kematian adalah pencatatan kejadian kematian yang dialami oleh
seseorang dalam register pada Instansi Pelaksana untuk pengelolaan data
kependudukan.
Administrasi Kependudukan.
Pencatatan Penyebab Kematian adalah pencatatan beberapa penyakit atau
kondisi yang merupakan suatu rangkaian perjalanan penyakit menuju kematian
atau keadaan kecelakaan atau kekerasan yang menyebabkan cedera dan
keluarga atau pihak lain yang mengetahui kondisi sakit dari almarhum.
Setiap kematian wajib dilaporkan oleh keluarganya atau yang mewakili kepada
Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh)
16
persyaratan:
a. surat pengantar dari RT dan RW untuk mendapatkan surat keterangan kepala
desa/lurah; dan/atau
b. KK dan/atau KTP yang bersangkutan;
c. Surat keterangan kematian dari dokter yang berwenang dari fasilitas
kematian
mencatat pada register akta kematian dan menerbitkan kutipan akta kematian.
Dalam hal terjadi ketidakjelasan keberadaan seseorang karena hilang atau mati
tetapi tidak ditemukan jenazahnya, pencatatan pada register akta kematian dan
penerbitan kutipan akta kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat keterangan kematian dari kepolisian.
Pelaporan kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan
pencatatan kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan
tata cara:
a. pelapor mengisi dan menyerahkan formulir pelaporan kematian dengan
melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada
petugas registrasi di kantor desa/kelurahan untuk diteruskan kepada instansi
pelaksana;
b. kepala desa/lurah menerbitkan surat keterangan kematian dan disampaikan
kepada yang bersangkutan;
c. pejabat pencatatan sipil pada instansi pelaksana mencatat pada register akta
kematian dan menerbitkan kutipan akta kematian;
d. instansi pelaksana sebagaimana dimaksud pada huruf c memberitahukan
data hasil pencatatan kematian kepada instansi pelaksana tempat domisili
17
yang bersangkutan;
e. instansi pelaksana tempat domisili sebagaimana dimaksud pada huruf d
mencatat dan merekam dalam database kependudukan.
Instansi pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4
Kependudukan.
Setiap kematian yang terjadi diluar fasilitas pelayanan kesehatan harus
3
4
dimaksud
pada
ayat
(5)
peristiwa kematian dan penyebab kematian wajar maupun tidak wajar kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat setiap bulan sekali, dengan
2
setempat.
Instansi Kepolisian yang berwenang harus melaporkan data peristiwa kematian
dan penyebab kematian tidak wajar kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
setempat.
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2) dan ayat (4) mengolah data menjadi data statistik kematian dan statistik
penyebab kematian.
Data sebagaimana dimaksud pada ayat (5) antara lain :
a. angka kematian umum;
b. angka kematian ibu;
18
11
Undang-undang mengatur bahwa setiap provinsi, kabupaten dan kota wajib melaksanakan
pencatatan dan pelaporan. Untuk melakukan hal tersebut, maka dibuatlah Peraturan Daerah yang
mengatur hal tersebut, sehingga kegiatan pencatatan dan pelaporan ini dapat berjalan dengan baik.
Setiap provinsi, kabupaten atau kota mempunyai peraturan yang berbeda-beda. Berikut ini
salah satu contohnya yaitu Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2008, tentang
Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan. 13
Pasal Ayat
54
1
2
Isi
Setiap kematian wajib dilaporkan oleh keluarganya atau yang
mewakili kepada dinas paling lambat 30 hari sejak tanggal kematian
Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register Akte Kematian dan
berwenang.
Dalam hal terjadi ketidak jelasan keberadaan seseorang karena
hilang atau mati tetapi tidak ditemukan jenazahnya, pencatatan oleh
Pejabat Pencatatan Sipil baru dilakukan setelah adanya penetapan
pengadilan negeri.
Dalam hal terjadi kematian seseorang yang tidak jelas identitasnya,
Dinas melakukan pencatatan kematian berdasarkan keterangan dari
kepolisian.
Pasal Ayat
55
1
Isi
Kematian penduduk di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia wajib dilaporkan oleh keluarganya atau yang mewakili
kepada Dinas paling lambat 30 hari sejak WNI yang bersangkutan
kembali ke Daerah
Pencatatan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), direkam
dalam data base kependudukan diterbitkan Tanda Bukti Pelaporan
Kematian di Luar Negeri
Pasal Ayat
56
Isi
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
pencatatan kematian sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 dan
pasal 55 diatur dengan Peraturan Walikota sesuai dengan ketentuan
perundang undangan yang berlaku.
20
3). Kekuatan pembuktian materil (memberikan kepastian tentang materi suatu akta).
Surat Keterangan / Pengantar Kematian Kelurahan diperoleh dari model lembaran Dinas
Pendaftaran Penduduk (DPP 5) yang dicatat di Kantor Kelurahan dilampiri dengan :
Surat Keterangan kematian dari dokter asli ( Bila mati dirumah cukup surat keterangan dari
Rt / RW )
Foto Copy Akta Kematian suami / istri, bila salah satu ada yang meninggal dunia
Foto Copy Akta Kelahiran salah satu anaknya
Foto Copy SKBRI dan GANTI NAMA bagi WNI keturunan
Foto Copy STMD, Imigrasi, Pasport yang masih berlaku
Foto Copy KSK dan KTP yang masih berlaku
Saksi 1 orang dengan melampirkan Foto Copy KTP yang masih berlaku (khusus bagi
pribumi)
Harus didaftarkan sendiri oleh ahli warisnya
21
Surat Pengantar Kematian dari Kelurahan dilegalisir di Kantor Catatan Sipil guna kelengkapan
Surat Kematian dan Peralihan Hak Waris.
dokumen aslinya
Surat pernyataan/keterangan hubungan keluarga dengan yang meninggal dan diketahui oleh
Lurah Setempat
Nama dan identitas dua orang saksi yang memenuhi persyaratan (berumur 21 tahun keatas)
Surat Kuasa Pengisisan Biodata bermaterai Rp.6000,- bagi yang dikuasakan, dan fotocopy
22
Foto Copy Akta Kematian suami / istri, bila salah satu ada yang meninggal dunia
Foto Copy Akta Kelahiran salah satu anaknya
Foto Copy SKBRI dan GANTI NAMA bagi WNI keturunan
Foto Copy STMD, Imigrasi, Pasport yang masih berlaku
Foto Copy KSK dan KTP yang masih berlaku
Saksi 1 orang dengan melampirkan Foto Copy KTP yang masih berlaku (khusus bagi
pribumi)
Harus didaftarkan sendiri oleh ahli warisnya
Biaya bagi WNI = Rp. 2.500,- WNA = Rp. 5.000,-
23
2.
Surat Pengantar Kematian dari Kelurahan dilegalisir di Kantor Catatan Sipil guna kelengkapan
Surat Kematian dan Peralihan Hak Waris.
dokumen aslinya
Surat pernyataan/keterangan hubungan keluarga dengan yang meninggal dan diketahui oleh
Lurah Setempat
Nama dan identitas dua orang saksi yang memenuhi persyaratan (berumur 21 tahun keatas)
Surat Kuasa Pengisisan Biodata bermaterai Rp.6000,- bagi yang dikuasakan, dan fotocopy
kunjungan
Surat Kuasa Pengisian Biodata bermaterai Rp.6000,- bagi yang dikuasakan, dan fotocopy
KTP penerima Kuasa.
Prosedur mendapatkan akta kematian jika meninggalnya selain di rumah atau di rumah
sakit :
Untuk Warga Negara Indonesia baik pribumi maupun keturunan yang meninggal di tempat
lain selain rumah sakit dan di rumah, dilakukan prosedur melalui pihak yang berwajib sebagai
berikut.
Dalam hal orang tersebut meninggal tanpa identitas, maka, jenazah menjadi tanggung jawab
pihak yang berwajib untuk diupayakan pencarian identitasnya melalui pembuatan visum et
24
repertum oleh dokter dan surat keterangan kematian dari instansi kesehatan dimana jenazah
diperiksa. Dalam hal identitas jenazah tidak diketahui setelah usaha di atas, maka akta kematian
tidak dapat diterbitkan.
Bila orang tersebut dengan identitas, maka jenazah akan menjadi tanggung jawab pihak yang
berwajib untuk diperiksa sebab kematiannya melalui visum et repertum, untuk kemudian dibuatkan
surat kematian dari instansi kesehatan dimana jenazah diperiksa.
Surat kematian tersebut menjadi salah satu syarat diterbitkannya akta kematian oleh Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil di kota dimana yang bersangkutan meninggal, selain berkasberkas berupa pengantar dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (untuk yang meninggal di
luar kota) serta Tripikat Kematian asli dari kelurahan dimana yang bersangkutan berdomisili. Syarat
lain seperti fotokopi Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, Surat keterangan ganti
nama (bagi WNI keturunan), KTP, Kartu Keluarga, Surat Nikah, akta kelahiran yang bersangkutan
dan ahli waris tetap harus disertakan dalam berkas tersebut.
25
Berisi : Identitas jenazah, Keterangan meninggal karena penyakit menular atau tidak karena
penyakit menular, Identitas dokter, Tanda tangan dokter penyakit menular ialah penyakitpenyakit yang tercantum dalam :
1. Undang-undang no. 6 thn 1962 tentang wabah.
2. Undang-undang no. 1 thn 1962 tentang karantina laut.
3. Undang-undang no. 2 thn 1962 tentang karantina udara.
Formulir kematian International (Formulir I)
Formulir ini dipakai oleh dunia International setelah disahkan oleh WHO pada tahun 1948.
Hanya dibuat atau diisi pada peristiwa kematian yang ada dalam rumah sakit saja.
Dalam formulir ini harus dinyatakan dengan jelas tentang rangkaian peristiwa-peristiwa
sakit serta penyakit yang menjadi pokok pangkal
rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut tadi.
Di isi dan ditanda tangani oleh dokter, kemudian dikirim ke Kan-Wil Dep-Kes, kemudian
selanjutnya diteruskan ke Departemen Kesehatan.
Formulir pelaporan kematian untuk Catatan Sipil (Formulir CS)
Dibuat berdasarkan reglemen catatan sipil pasal 71 bagi golongan eropa dan pasal 79 bagi
golongan Cina dan pasal 66 bagi golongan Kristen dan pasal 47 bagi golongan asli
Indonesia yang terkena reglemen catatan sipil.
Berisi : Identitas jenazah (nama, jenis kelamin dan umur), Alamat serta pekerjaan jenazah,
Identitas suami /isteri, Alamat dan pekerjaan suami / isteri, Nama, alamat, pekerjaan ayah
dan ibu, Nama dan tanda tangan dokter yang merawat, Nama dan tanda tangan direktur
rumah sakit
Formulir izin pemakaman
Formulir ini dibuat atas dasar reglemen catatan sipil, dan berlaku untuk golongan Eropah
dan golongan Cina.
Formulir ini hanya dibuat oleh RS, Pemerintah dan Kantor Catatan Sipil.
Untuk mengisi/membuat surat kematian, termasuk dalam golongan mana jenazah tersebut.
Penduduk Indonesia dibagi 2 golongan yaitu : 15
1. Golongan yang terkena Reglemen Catatan Sipil
Golongan Eropa
Golongan Cina
Golongan Indonesia Asli (misalnya Raden Mas, perwira angkatan perang, dll).
Formulir A
Formulir B
28
Formulir International
Kemudian keluarga jenazah dengan membawa formulir A melaporkan ke kantor catatan sipil
untuk memperoleh izin pemakaman.
Formulir B,
Formulir Internasional,
Kemudian keluarga jenazah melaporkan ke kantor catatan sipil, tetapi tidak usah minta izin
pemakaman.
Formulir B
Formulir International,
Kemudian keluarga jenazah melaporkan ke kantor catatan sipil, tetapi tidak perlu minta izin
pemakaman.
2.1
Sebab primer
29
2.1
BAB 3
KESIMPULAN
Kematian memiliki nilai hukum, sebagai negara hukum bangsa Indonesia telah mengatur
ketetapan dengan dasar hukum sehubungan dengan data kematian. Dasar hukum pencatatan dan
pelaporan kematian di Indonesia mengacu pada UU No. 23 Tahun 2006, PP No. 37 Tahun 2007 dan
Perpres No. 25 Tahun 2008. UU No. 23 Tahun 2006 berisi tentang administrasi kependudukan. PP
No. 37 Tahun 2007 berisi tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang
administrasi kependudukan. UU No. 25 Tahun 2008 berisi tentang persyaratan dan tata cara
pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Pencatatan dan pelaporan kematian tidak berdiri sendiri
melainkan berkaitan dengan nilai-nilai hukum lain yang terlihat pada manfaat surat kematian dan
akta kematian.
Untuk Warga Negara Indonesia baik pribumi maupun keturunan yang meninggal di tempat
lain selain rumah sakit dan di rumah, dilakukan prosedur melalui pihak yang berwajib sebagai
berikut.
Dalam hal orang tersebut meninggal tanpa identitas, maka, jenazah menjadi tanggung jawab
pihak yang berwajib untuk diupayakan pencarian identitasnya melalui pembuatan visum et
repertum oleh dokter dan surat keterangan kematian dari instansi kesehatan dimana jenazah
30
diperiksa. Dalam hal identitas jenazah tidak diketahui setelah usaha di atas, maka akta kematian
tidak dapat diterbitkan.
Bila orang tersebut dengan identitas, maka jenazah akan menjadi tanggung jawab pihak yang
berwajib untuk diperiksa sebab kematiannya melalui visum et repertum, untuk kemudian dibuatkan
surat kematian dari instansi kesehatan dimana jenazah diperiksa. Selain itu terdapat berkas-berkas
dan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Registrasi
Penyebab
Kematian
di
Indonesia
Masih Rendah.
Didapat
dari:
31
10. Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 37 tahun 2007 tentang pelaksanaan undangundang nomor
23 tahun 2006
tentang
administrasi
kependudukan.
Didapat
dari:
32
Lampiran1
33
Lampiran 2
34
35
Lampiran 3
36