Anda di halaman 1dari 10

A.

CARA PENULARAN
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu
penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan,
tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (portd entre) (Siregar, 2004).
Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan
sel otak sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar
tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan
menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang
terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah
penderita. Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun
hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui (Siregar, 2004). :
1. Transmisi Seksual
Penularan

melalui

hubungan

seksual

baik

Homoseksual

maupun

Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi.


Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi
dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya.
Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah
pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985)
ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik
pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang
sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok
manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
a. Homoseksual

Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas


homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua
golongan rusial. Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku
seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra
seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap
HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan
mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara
anogenital.
b. Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan
heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah
kelompok umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai
banyak pasangan dan berganti-ganti.
2. Transmisi Non Seksual
a. Transmisi Parenteral
1) Parenteral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat
tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan
narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar
secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum
suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih
dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.
2) Darah/Produk Darah

Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negaranegara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi
melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor
telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV
lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.
b. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai
resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan
dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan
dengan resiko rendah

B. PATOGENESIS
Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit T
helper/induser yang mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan
pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas
seluler, terjadi karena HIV secara selektif menginfeksi sel yang berperan
membentuk zat antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel lymfosit T4.
Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk kedalam target dan ia
melepas bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptae ia merubah
bentuk RNA agar dapat bergabung dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang
berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan
demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup.

Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang
di infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga
ada kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat
laun akan menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit
T4. Setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada
penderita akan terlihat gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut.
Masa antara terinfeksinya HIV dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa
inkubasi) adalah 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anakanak dan 60 bulan pada orang dewasa.
Fase perjalanan infeksi HIV dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu :
1. Fase infeksi akut
Fase ini merupakan keadaan klinis yang bersifat sementara yang
berhubungan dengan replikasi virus pada stadium tinggi dan ekspansi virus
pada respon imun yang spesifik. Proses replikasi virus tersebut menghasilkan
virus-virus baru yang jumlahnya juataan dan menyebabkan terjadina iremia
yang memicu timbulnya sindroma infeksi akut. Manifestasi klinis yang timbul
antara lain demam, faringitis, mlimfadenopati , atralgia, letargi, malaise, nyeri
kepala, mual, muntah, diare, anoreksia, penurunan berat badan.
Pada fase ini terjadi penurunan limfosit T besar-besaran yang diikuti
kenaiakn limfosit T, namun tidak ada antibodi spesifik HIV yang dapat
terdeteksi pada stadium awal infeksi ini. Selama masa infeksi akut, HIV
bereplikasi terus-menerus

sehingga mencapai level 00 juta kopi HIV

RNA/ml. Virus ini memiliki topisme pada berbagai sel target, terutama pada
sel-sel yang mampu mengekspresikan CD4+, yaitu :
a. Sistim saraf : astrosit, mikroglia danoligodendroglia

b. Sistim sstemik: limfosit T, limfosit B, monosit, makrofag


c. Kulit: sel langerhans, fibroblas, dendritik
Pada awal infeksi, terjadi interaksi antara gp120 dengan reseptor CD4+
yang terdapat pada sel limfosit T. Interaksi tersebut menghasilkan ikatan
dengan reseptor kemokin yang bertindak sebagai reseptor spesifik CXCR4
dan CCR5 yang juga terdapat pada membran sel target. Proses internalisasi
HIV pada membran sel targe juga memerlukan peran gp41 yang terdapat pada
selubung virus. Gp41 tersebut berperan dalam proses fusi membran virus
dengan membran sel target, hal ini menyebabkan seluruh komponen inti HIV
dapat masuk ke dalam sel dan mengalami internalisasi yang ditandai dengan
masuknya inti nukleokapsid ke dalam sitoplasma.
2. Fase infeksi laten
Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam
sel dendritik folikuler di pusat germinativum kelenjar limfe menyebabkan
virion dapat dikendalikan, gejala akan hilang dan mulai memasuki fase laten.
Fase ini jarang ditemukan virion di plasma, sebagian besar virus terakumulasi
di kelenjar limfe dan terjadi replikasi di kelenjar limfe sehingga di dalam
darah jumlahnya menurun. Jumlah limfosit CD4+ menurun hingga sekitar
500-200 sel/mm3. Fase ini berlangsung sekitar 8-10 tahun setelah terinfeksi
HIV. Tahun ke 8 setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis seperti
demam, banyak keringat pada malam hari, kehilangan berat badan <10%,
diare, lesi pada mukosa kulit yang berulang. Gejala-gejala tersebut merupakan
awal tanda munculnya infeksi oportunistik.
3. Fase infeksi kronik

Selama fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan dalam
sirkulasi sitemik dan tidak mampu dibendung oleh respon imun. Terjadi
penurunan jumlah limfosit CD4+ hingga dibawah 300 sel.mm 3. Penurunan ini
mengakibatkan sistim imun menurun dan menjadikan pasien semakin rentan
terhadap berbagai macam penyakit sekunder. Perjalanana penyakit semakin
progresif yang mendorong ke arah AIDS.
Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak yang
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena
penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri,
protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarkoma
kaposi. HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel syaraf,
menyebabkan kerusakan neurologis
C. PATOFISIOLOGI
Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T helper
yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan sel utama
yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi
imunologik. Menurun atau menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena
virus HIV menginfeksi sel yang berperan membentuk antibodi pada sistem
kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus HIV mengikatkan diri
pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya
kemudian dengan enzim reverse transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA
(Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid)

sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetik
virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur
hidup. 20 Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari
sel yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun
akan merusak limfosit T4 sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut dengan
masa inkubasi. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang
terpapar virus HIV sampai menunjukkan gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus
HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan
sejak 15 tertular virus HIV yang dikenal dengan masa window period. Setelah
beberapa bulan sampai beberapa tahun akan terlihat gejala klinis pada penderita
sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut.20 Pada sebagian penderita
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah
terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan
kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah
infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya
berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada sekelompok kecil penderita yang
memliki perjalanan penyakit amat cepat hanya sekitar 2 tahun dan ada juga yang
sangat lambat (non-progressor). 20 Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang
terinfeksi oleh virus HIV akan menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak.
Kekebalan tubuh yang rusak akan mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang
bahkan hilang, sehingga penderita akan menampakkan gejala-gejala akibat infeksi
oportunistik

Siregar, Fazidah A., 2004. Pengenalan dan Pencegahan AIDS. Fakultas


Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai