PETUNJUK TEKNIS
SAMBUTAN
Kepala Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri - Kementerian Perindustrian
ebagai salah satu pilar dan penggerak perekonomian di Indonesia, industri memegang
peranan penting dalam pembangunan nasional. Industri nasional pun diharapkan mampu
untuk bersaing di pasar global. Pengembangan industri menjadi industri hijau merupakan salah
satu cara untuk menjawab tantangan ini.
Industri hijau merupakan industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya
efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan. Upaya-upaya ini pun
akan mendorong adanya penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sehingga penurunan emisi
GRK merupakan salah satu capaian yang tidak terpisahkan dalam pelaksanaan industri hijau.
Seiring dengan adanya komitmen Pemerintah Indonesia ke dunia internasional untuk menurunkan
emisi GRK di tahun 2020, Kementerian Perindustrian menyambut baik inisiatif serta komitmen
dari industri semen untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan industri hijau serta penurunan
emisi GRK. Untuk mendukung serta semakin mendorong industri semen dalam upaya tersebut,
tentunya diperlukan pemahaman yang sama terkait pelaksanaan perhitungan dan pelaporan
emisi CO2.
Oleh karena itu, Kementerian Perindustrian menyusun buku Petunjuk Teknis Perhitungan dan
Pelaporan Emisi CO2 di Industri Semen ini. Kami mengharapkan agar buku Petunjuk Teknis ini
dapat menjadi acuan bersama antara industri semen maupun pemangku kepentingan lainnya
dalam pelaksanaan perhitungan dan pelaporan emisi CO2.
Akhir kata, semoga Petunjuk Teknis ini dapat bermanfaat bagi industri semen maupun
pemangku kepentingan lainnya serta dapat mendukung tercapainya pembangunan nasional
yang berkelanjutan.
Jakarta, November 2014
Kepala Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri
Arryanto Sagala
SAMBUTAN
Kepala Pusat Pengkajian Industri Hijau dan Lingkungan Hidup - Kementerian Perindustrian
eiring dengan komitmen Pemerintah Indonesia terkait perubahan iklim, telah diterbitkan
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan
Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Industri merupakan salah bidang
dalam pelaksanaan kegiatan RAN GRK.
Industri semen merupakan salah satu industri prioritas yang dapat menurunkan emisi CO2 yang
berasal dari penggunaan energi maupun dari kegiatan proses industrinya. Permen Perindustrian
Nomor 12 tahun 2012 tentang Peta Panduan (Roadmap) Pengurangan Emisi CO2 Industri Semen
di Indonesia telah memberikan arahan capaian untuk industri semen sampai dengan tahun 2020.
Dalam pelaksanaan Roadmap serta untuk mengetahui kemajuan pencapaian penurunan emisi
CO2, industri semen membutuhkan panduan untuk melakukan perhitungan emisi CO2. Selain
itu, industri semen maupun pemangku kepentingan lainnya juga membutuhkan rujukan tata
cara pemantauan serta pelaporan dari emisi CO2 yang ditimbulkan di industri semen. Adanya
pemahaman dan rujukan yang sama tentang perhitungan dan pelaporan emisi CO2 tentunya
akan memudahkan pelaksanaan upaya penurunan emisi CO2 serta proses pemantauan dan
pelaporan yang terkait.
Buku Petunjuk Teknis Perhitungan dan Pelaporan Emisi CO2 di Industri Semen ini disusun untuk
memberikan arahan serta informasi lengkap bagi pelaku industri semen maupun pemangku
kepentingan lainnya dalam melaksanakan perhitungan serta pelaporan emisi CO2 di industri
semen.
Kami sangat menghargai para pihak yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam penyusunan
buku Petunjuk Teknis ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat sebagai acuan dalam melakukan
perhitungan dan pelaporan emisi CO2 di industri semen.
Jakarta, November 2014
Kepala Pusat Pengkajian Industri Hijau dan Lingkungan Hidup
KATA PENGANTAR
uji syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, dengan telah tersusunnya buku
Petunjuk Teknis Perhitungan dan Pelaporan Emisi CO2 Industri Semen.
Buku ini disusun dalam kerangka pelaksanaan aksi penurunan Emisi CO2 di industri semen.
Buku ini berisikan informasi informasi tata cara perhitungan dan pelaporan emisi CO2 di industri
semen. Acuan metodologi perhitungan yang digunakan dalam buku ini adalah metodologi yang
diterbitkan oleh Cement Sustainability Initiative (CSI) dari World Business Council for Sustainable
Development (WBCSD).
Buku petunjuk teknis ini menjelaskan mengenai tahapan yang harus dilalui untuk melakukan
perhitungan dan pelaporan emisi CO2, yang dimulai dari prinsip-prinsip perhitungan dan
pelaporan emisi CO2 serta batasan organisasi dan batasan operasional. Metode perhitungan
emisi CO2 meliputi perhitungan emisi CO2 langsung maupun emisi CO2 tidak langsung yang
dihasilkan di industri semen. Hasil perhitungan akan disampaikan melalui indikator kinerja emisi
CO2. Buku petunjuk teknis ini juga memuat rujukan untuk melaksanakan pemantauan, pelaporan
dan verifikasi serta tata cara mengelola kualitas inventori emisi CO2 di industri semen.
Kami mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada pihak-pihak
yang telah mendukung dan bekerjasama hingga tersusunnya buku ini. Akhir kata, semoga
buku ini bermanfaat dan dapat menjadi sarana penting bagi berbagai pihak, utamanya para
penanggung jawab operasional pabrik semen di Indonesia.
Jakarta, November 2014
Ketua Asosiasi Semen Indonesia
Widodo Santoso
iii
Daftar Isi
SAMBUTAN
kATA pENGANTAR
iii
Bab 1. Pendahuluan
1.2. Tujuan
13
14
14
15
15
4.2. Emisi CO2 Langsung dari Proses Produksi Semen (Direct Emission)
15
17
18
19
21
22
4.8. CO2 dari Bahan Bakar Alternatif, Bahan Bakar Campuran dan Bahan Bakar Biomassa
23
23
4.10. CO2 dari Bahan Bakar Campuran dengan Biomassa dan Fraksi Fosil
23
iv
iv
24
24
24
26
26
27
27
4.18. Emisi CO2 Absolute Gross (Tidak Termasuk Pembangkit Listrik On-site)
28
4.19. Perhitungan Emisi CO2 dari Biomassa yang Mengandung Bahan Bakar
29
4.20. Penurunan Emisi CO2 Nett dan Tidak Langsung terkait dengan Pemanfaatan Limbah
sebagai Bahan Bakar alternatif
29
30
31
32
5.1.1. Klinker
32
32
33
33
33
34
34
35
35
35
38
39
41
41
41
43
43
45
LAMPIRAN
48
Daftar GAMBAR
Gambar 2.1 Keterkaitan Organisasi Internasional dalam Perhitungan Emisi GRK
10
11
12
13
Gambar 3.6 Skema Aplikasi WHRG dan Pembangkitan Listrik dalam Proses Produksi
13
14
16
Gambar 4.2 Contoh Aliran Massa Produksi Klinker pada Sistem Pre-Heater-Calciner
dan Rotary Kiln
18
Gambar 4.3 Overview Metode Penentuan Emisi CO2 dari Kalsinasi Bahan Baku
19
Gambar 4.4 Breakdown Tipe Transportasi dalam Lingkup yang Didefiniskan oleh Protokol
25
Gambar 4.5 Emisi Lingkup 2 dan Lingkup 3 Terkait Listrik yang Dibeli
26
27
Gambar 5.1 Definisi Emisi Spesifik CO2 per ton Cementitious Product
33
34
34
41
42
44
45
46
vi
vi
Daftar Tabel
Tabel 4.1 Parameter dan Sumber Data yang Direkomendasikan untuk Perhitungan Emisi CO2
Langsung
17
Tabel 4.2 Parameter dan Sumber Data untuk Perhitungan Emisi CO2 Langsung Seperti yang
27
Tabel 4.3 Sumber Emisi yang Dilaporkan dalam Emisi CO2 Absolute Gross termasuk
Pembangkit Listrik On-Site
Tabel 4.4
28
29
31
Tabel 7.1 Sumber-Sumber Ketidakpastian Paling Relevan dan Langkah untuk Meminimalkan
Ketidakpastian
47
vii
notasi ilmiah
CaO
Calcium oxide
CaCO3
Calcium carbonate
CH4
Methane
GJ
Gigajoule
GJ/t
GtCO2e
Kcal
Kilocalories
Kcal/kg
Kcal/kg cli
Kg CO2/t
kWh/t
MJ/kg
MJ/t
MWh
Megawatt hour
N2O
Nitrous oxide
Na2CO3
Disodium carbonate
tonne (metric)
t CO2/y
t CO2e
TJ
Terajoule
TJ/y
Tpy
MgO
Magnesium oxide
TOC
tonne of clinker
t/a
MgO
Magnesium oxide
TOC
tonne of clinker
t/a
kg CO2/GJ
viii
viii
Bab 1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Pada saat Earth Summit di Rio de Jeneiro tahun 1992 diselenggarakan, berbagai bangsa di dunia melalui
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) telah menyusun kesepakatan
bersama untuk menghadapai fenomena perubahan iklim global terkait dengan emisi gas-gas rumah
kaca antropogenik. Negara-negara anggota konvensi melakukan pertemuan tahunan untuk membahas
rencana, kesepakatan, serta laporan kemajuan dalam upaya menghadapi fenomena perubahan iklim.
Pada pertemuan di Kyoto tahun 1997, telah dicapai kesepakatan terkait dengan upaya penurunan emisi
gas rumah kaca (GRK) di mana negara-negara maju (Annex I countries) mempunyai kewajiban untuk
menurunkan emisi GRK mereka hingga ke level tertentu. Negara-negara berkembang (non-Annex I
countries) tidak diwajibkan untuk menurunkan emisi GRK namun diharapkan secara sukarela berkontribusi
dalam upaya-upaya penurunan emisi GRK di negara masing-masing. Setelah penandatanganan konvensi
perubahan iklim di Rio 1992 yang kemudian diratifikasi pada tanggal 1 Agustus 1994 melalui UU No. 6
Tahun 1994, Indonesia secara resmi ditetapkan menjadi salah satu anggota negara non-Annex I, yaitu
pihak yang terikat dalam hak dan kewajiban sebagaimana tercakup dalam UNFCCC.
Sebagai negara non-Annex I, Pemerintah Indonesia berkepentingan untuk ikut serta menghadapi fenomena
perubahan iklim global. Salah satunya ditunjukkan dengan keseriusan Indonesia untuk menurunkan tingkat
emisi GRK. Pada akhir tahun 2009, Presiden RI telah menyampaikan non-binding commitment (komitmen
tidak mengikat) mengenai target penurunan tingkat emisi GRK sebesar 26% lebih rendah dibandingkan tingkat
emisi GRK yang akan terjadi menurut perkiraan Business as Usual (BaU) pada tahun 2020. Penurunan emisi
GRK tersebut akan dicapai dengan menggunakan sumber pendanaan dari dalam negeri, baik pendanaan
pemerintah (APBN/APBD), swasta (industri/komersial) atau masyarakat (termasuk LSM). Penurunan lebih
lanjut menjadi sebesar 41% akan dicapai apabila ada pendanaan dengan bantuan internasional. Untuk
mencapai komitmen tersebut, pemerintah telah menyusun rencana aksi mitigasi nasional dan daerah untuk
tahun 2010-2020 sebagaimana tercantum di dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK (RANGRK) dan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi GRK (RAD-GRK) yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden
(PerPres) No. 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).
Pada Perpres tersebut disampaikan institusi-institusi yang bertanggungjawab terhadap target penurunan
emisi GRK nasional, arahan kebijakan sektor, dan aksi-aksi mitigasi yang mungkin dapat dilaksanakan untuk
mencapai target penurunan emisi GRK nasional.
Berdasarkan PerPres No. 61 tahun 2011, target penurunan emisi dari sektor industri adalah sebesar 0,001
Gton CO2e (skenario 26 %) dan sebesar 0,005 Gton CO2e (skenario 41 %) pada tahun 2020. Implementasi
Rencana Aksi Nasional perlu didukung dengan pemantauan, pelaporan dan verifikasi (Measurement,
Reporting, and Verification/MRV) guna meningkatkan kinerja berbagai aksi mitigasi emisi GRK secara
berkelanjutan.
1
Pendahuluan
Petunjuk Teknis Perhitungan dan Pelaporan Emisi CO2 di Industri Semen ini merupakan dokumen
yang menyediakan arahan bagi pemangku kepentingan untuk melaksanakan perhitungan emisi CO2 di
industri semen dalam kurun waktu tertentu. Dasar hukum utama dalam menyusun dokumen ini adalah
Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 tentang RAN-GRK yang menjabarkan target penurunan emisi GRK
nasional pada tahun 2020 serta Peraturan Menteri Perindustrian No. 12/M-IND/PER/1/2012 tentang
Peta Panduan (Roadmap) Pengurangan Emisi CO2 Industri Semen di Indonesia.
Petunjuk Teknis ini berisi metode perhitungan dan pelaporan emisi CO2 yang bersifat spesifik di industri
semen dengan mempertimbangkan karakteristik, potensi, terintegrasi dengan rencana Road Map serta
dapat dikaji ulang sesuai dengan kebutuhan nasional serta perkembangan yang ada.
Dokumen ini bersifat terbuka untuk umum, namun dikhususkan pada berbagai pihak yang akan terlibat
langsung dalam kegiatan penurunan emisi di industri semen. Pada intinya dokumen ini berguna bagi: (i)
pengambil keputusan sebagai pedoman dalam memantau kinerja emisi CO2 di industri semen, (ii) pihak
teknis yang akan terlibat langsung dalam kegiatan penghitungan emisi CO2 maupun jasa lingkungan lain,
ataupun (iii) pihak pelaku kegiatan penurunan emisi CO2 di industri semen.
Dokumen ini disusun berdasarkan hasil analisis dan sintesis dengan mengacu pada panduan internasional
mengenai perhitungan emisi gas rumah kaca yang sudah ada dan/sedang dikembangkan berbagai pihak
(standar WBCSD/CSI Protocol V.03, IPCC maupun standar-standar lainnya).
Inventori CO2 korporasi yang dipelihara dan didesain dengan baik sebagaimana direkomendasikan oleh
Petunjuk Teknis ini dapat memberikan manfaat untuk industri semen dalam hal:
- Pengelolaan resiko dan identifikasi peluang penurunan CO2
- Partisipasi dalam pelaporan program penurunan CO2 secara sukarela
- Partisipasi dalam pelaporan program penurunan CO2 secara mandatori
- Partisipasi dalam pasar CO2
- Pengakuan sebagai aksi sukarela perusahaan
1.2. Tujuan
Petunjuk Teknis ini dimaksudkan untuk:
1. Mendukung pencapaian komitmen Pemerintah Indonesia untuk mencapai target penurunan emisi
CO2 tahun 2011-2020
2. Menindaklanjuti Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 12/M-IND/PER/1/2012 tentang Peta
Panduan (Road Map) Pengurangan Emisi CO2 Industri Semen di Indonesia
2
2
Pendahuluan
Adapun tujuan-tujuan spesifik yang ingin dicapai dalam penyusunan Petunjuk Teknis ini adalah:
1. Membantu perusahaan menyiapkan inventori emisi CO2 yang merepresentasikan jumlah emisi CO2
yang benar (true) dan adil (fair) melalui pendekatan dan prinsip-prinsip standar yang kredibel dan
diakui secara luas
2. Memberikan konsistensi dan standardisasi metodologi perhitungan beban emisi CO2 untuk keperluan
pelaporan kepada Kementerian Perindustrian sehingga data yang dikumpulkan dapat dibandingkan
secara setara dan dapat dijadikan baseline total beban emisi CO2 dari industri semen
3. Memberikan keseragaman dan transparansi ruang lingkup sumber-sumber emisi CO2 dari kegiatan
proses produksi semen yang beban emisinya akan dihitung
4. Memberikan informasi yang dapat digunakan untuk membangun strategi yang efektif untuk mengelola
dan menurunkan emisi CO2
5. Memberikan panduan bagi pengembangan sistem MRV untuk kinerja CO2 industri semen di Indonesia
sehingga sistem tersebut dapat memenuhi kebutuhan serta memenuhi standar yang disepakati
bersama
1.3. Landasan Hukum
Landasan hukum penyusunan Petunjuk Teknis Perhitungan dan Pelaporan Emisi CO2 Industri Semen ini antara
lain adalah:
1. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on
Climate Change (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3557)
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
4. Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunanan Emisi Gas
Rumah Kaca
5. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca
Nasional
6. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 12/M-IND/PER/1/2012 tentang Peta Panduan (Roadmap)
Pengurangan Emisi CO2 Industri Semen di Indonesia
Pendahuluan
4
4
Ilmu Pengetahuan
IPCC
Audit
WRI dan
WBCSD
Standard
ISO
2.1.1.
IPCC adalah badan ilmiah internasional terkemuka yang melakukan penilaian terhadap perubahan iklim.
IPCC didirikan oleh United Nations Environment Programme (UNEP) dan World Meteorology Organization
(WMO) untuk memberikan pandangan ilmiah yang jelas tentang keadaan saat ini terkait perubahan iklim
dan potensi dampak lingkungan dan sosial-ekonomi.
Dokumen yang menjadi referensi juknis ini adalah IPCC 2006: National Greenhouse Gas Inventory
dan Good Practice Guidance and Uncertainty Management in National Greenhouse Gas Inventories
(GPG2000). Kedua dokumen ini menyediakan metodologi yang disepakati secara internasional untuk
memperkirakan inventori emisi GRK kemudian dilaporkan kepada sekretariat/UNFCCC.
IPCC 2006 memberikan 3 (tiga) Tier untuk memperkirakan emisi gas rumah kaca yang dibedakan dari
tingkat kompleksitas metodologi sebagai berikut:
Tier 1 Metode dasar yang menggunakan paramater tetapan (default parameter).
Emisi dihitung berdasarkan jumlah bahan-bahan penghasil emisi dikalikan faktor emisi standar.
Tier 2 Metode tingkat menengah yang bergantung pada parameter spesifik suatu negara.
Emisi dihitung berdasarkan jumlah bahan-bahan penghasil emisi dikalikan faktor emisi nasional.
Tier 3 Metode yang paling tinggi dalam hal kompleksitas dan data persyaratan (proyek/lokasi parameter
tertentu). Emisi dihitung berdasarkan bahan-bahan penghasil emisi dikalikan faktor emisi
peralatan sumber emisi.
Faktor emisi default untuk Tier 1 tersedia dalam dokumen IPCC untuk setiap gas rumah kaca yang
diemisikan dari ketiga sumber emisi yang bersangkutan (sistem energi, proses, dan limbah). Faktor emisi
default ini merupakan hasil perata-rataan dari studi-studi di berbagai negara.
2.1.2. World Resource Institute (WRI) dan World Business Council for Sustainable Development
(WBCSD)
Protokol GRK dikembangkan oleh WRI dan WBCSD untuk memberikan pendekatan yang diakui secara
internasional dalam penghitungan dan pelaporan GRK perusahaan secara transparan terkait perubahan
iklim.
Greenhouse Gas Protocol: A Corporate Accounting and Reporting Standard (Corporate Standard) diterbitkan
pada tahun 2001 memberikan standar dan pedoman untuk perusahaan dan jenis organisasi lainnya dalam
mempersiapkan inventori emisi dari enam gas rumah kaca yang dicakup oleh Protokol Kyoto. Perhitungan
emisi kemudian dimasukkan ke dalam perangkat perhitungan yang konsisten dengan IPCC.
6
6
8
8
Perusahaan A
Armada Kapal
Bangunan
yang
disewakan
Perusahaan B
Unit
pembangkit
Listrik
Bangunan
Milik
Perusahaan C
Armada Mobil
Perusahaan D
Pabrik yang
disewakan
Bangunan
Milik
}
}
BATASAN
OPERASI
Perusahaan Induk
BATASAN
ORGANISASI
Batasan Inventori
Gambaran singkat dalam proses produksi semen meliputi tiga tahapan proses utama yaitu:
1. Penyiapan bahan baku;
2. Produksi klinker sebagai produk antara (intermediate), melalui pembakaran bahan baku;
3. Penggilingan dan pencampuran klinker dengan produk lainnya (komponen mineral) untuk
memproduksi semen.
Persiapan
Bahan Baku
Produksi
Klinker
Penggilingan
Akhir
Penambahan
Bahan Baku
Penyiapan
Bahan Bakar
Kiln
Penyiapan
Bahan Aditif
(gypsum, fly
ash, dsb)
Bahan Baku
Bahan Bakar
Aditif
Homogenisasi
dan Penggilingan
Bahan Baku
Produksi
Klinker
(Pyroprocessing)
Raw Meal
Klinker
Penggilingan
Akhir
Semen
Pengemasan dan
Transportasi
Batasan Inventori
CO2
LINGKUP 2
TIDAK LANGSUNG
SF6
LINGKUP 1
LANGSUNG
CH4
N2O
HFCs
PCFs
LINGKUP 3
TIDAK LANGSUNG
Pengelolaan limbah
Kendaraan kontraktor
SEKTOR
Produksi Material
LINGKUP 2
SUMBER EMISI
Mineral
Semen
dan Kapur6
- Pembakaran
stasioner
(Konsumsi
listrik yang
dibeli, panas,
dan uap)
Batasan Inventori
Lingkup 3 : Lingkup 3 merupakan kategori pelaporan opsional yang memungkinkan untuk treatment
dari seluruh emisi tidak langsung lainnya. Lingkup 3 emisi adalah konsekuensi dari
kegiatan perusahaan, namun terjadi dari sumber yang tidak dimiliki atau dikendalikan oleh
perusahaan.
Beberapa contoh ruang lingkup 3 adalah kegiatan ekstraksi dan produksi bahan baku yang
dibeli, transportasi bahan bakar yang dibeli, dan penggunaan produk dan jasa yang dijual.
Merujuk kepada CSI Protocol, perusahaan secara terpisah melaporkan minimal Lingkup 1
dan 2. Gambar 3.4 memberikan gambaran batasan secara umum tentang sumber emisi
pada Lingkup 1,2 dan 3 untuk pabrik semen.
Transportasi
Bahan Bakar
Eksternal
Bahan Bakar
Termal Aditif
Transportasi
Internal
Bahan Bakar
Kiln Klinker
Aditif
Sumber
Pertambangan
Persiapan Bahan
Baku
Import
listrik
Import
Bahan Bakar
Konsumsi listrik
Pembangkit &
Konsumsi listrik
Produksi Klinker
Produksi Semen
Aditif Semen
Gudang
on site/off site
Penjualan
Semen
Fasilitas
Tambang
off site
Stok
Klinker
Lingkup 1-Emisi Langsung
Klinker
Dibeli
Aditif
Penjualan Klinker
Lingkup 2 & 3 - Emisi Tidak Langsung
12
12
Batasan Inventori
Transportasi on site ; bahan bakar non kiln ; produksi listrik sendiri
Bahan bakar
non kiln;
pengeringan
bahan baku
Pertambangan
Kalsinasi
Pembelian Klinker
Pembelian Listrik
Batasan Pelaporan CO2
Preheater
Boiler
To raw grinding
Turbine
Generator
Preheater
Tower
condenser
2
Conditioning
Tower
Cooling Tower
De-duster
Cooler
Boiler
Clinker Cooler
4
Cooler
Vent Filter
Gambar 3.6 Skema Aplikasi WHRG dan Pembangkitan Listrik dalam Proses Produksi
Listrik yang dibangkitkan dari WHRG dalam hal ini emisinya sudah terhitung dari pemakaian bahan bakar
di kiln dan calciner sehingga listrik yang dibangkitkan kemudian digunakan untuk memasok kebutuhan
energi listrik di pabrik semen yang pada akhirnya akan menurunkan pasokan listrik dari sumber eksternal
atau on-site power plant.
13
Batasan Inventori
Line #
Klinker
Plant 1
Plant 2
Plant 3
Plant #
Plant Milling &
Grinding
Plant 1
Plant 2
Laporan Sektor
Tingkat Nasional
Sektor Semen
Group/Corporate Level
Line 1
Line 2
Line 3
Plant KlinkerSemen
Tambang
Plant KlinkerSemen
Laporan
Group/Corporate Level
Perusahaan 1
Perusahaan 2
Perusahaan 3
Perusahaan #
Plant #
14
14
a.
b. Pembakaran bahan bakar fosil alternatif di sistem kiln (juga disebut AF fosil atau limbah fosil) dan
c.
a.
b. Pembakaran bahan bakar fosil alternatif (juga disebut AF fosil atau limbah fosil) dan bahan bakar
c.
Listrik
Transportasi 5%
Tidak dapat dihindari
untuk Portland biasa
Energi untuk
Kalsinasi
Panas yang
hilang
16
16
Tabel 4.1 Parameter dan Sumber Data yang Direkomendasikan untuk Perhitungan Emisi CO2 Langsung
Komponen Emisi
Parameter
Unit
Klinker yg diproduksi
CaO+MgO dalam klinker
CaO + MgO dalam raw meal
t
%
%
Kalsinasi debu
t CO2/t clicker
%
Klinker
Raw meal : rasio klinker
Kandungan TOC dari raw meal
t clicker
t / t clicker
%
t
GJ / t fuel
t CO2/GJ Fuel
t
GJ / t fuel
t CO2/GJ Fuel
t
GJ / t fuel
t CO2/GJ Fuel
17
Gambar 4.2 Contoh Aliran Massa Produksi Klinker pada Sistem Pre-Heater-Calciner dan Rotary Kiln
4.4. CO2 dari Kalsinasi Bahan Baku
Dalam proses pembakaran pembentukan klinker, CO2 dilepaskan akibat proses dekomposisi kalsium
karbonat (misalnya limestone) menjadi kapur (lime).
CaCO3 + panas ------> CaO + CO2
Proses yang disebut dengan kalsining atau kalsinasi ini menghasilkan emisi CO2 langsung melalui cerobong
kiln. Ketika menghitung emisi CO2 yang berasal dari kalsinasi, ada 2 komponen yang harus diperhatikan,
yaitu :
1. CO2 dari produksi klinker aktual
2. CO2 dari bahan baku yang meninggalkan sistem kiln dalam bentuk CKD (Cement Kiln Dust) yang
terkalsinasi sebagian atau bypass dust yang terkalsinasi lengkap.
CO2 dari produksi klinker aktual proporsional dengan kandungan kapur di dalam klinker. Sebagai akibatnya
faktor emisi CO2 per ton klinker cukup stabil (tetapan IPCC : 510 kg CO2/ton klinker).
Jumlah debu kiln yang meninggalkan sistem kiln bervariasi tergantung jenis kiln dan standar kualitas
semen, berkisar antara nol sampai seratus kilogram per ton klinker. Emisi ini biasanya mirip dan cukup
relevan di beberapa negara.
18
18
Metode Input
Parameter dasar
dan metode analisis
Metode Output
Metode Input
Sederhana A1
Metode Input
Detail A2
Metode Output
Sederhana B1
Metode Output
Detail B2
Raw meal
terkonsumsi
LOI (berat loss of
ignition)
Raw meal
terkonsumsi
Kandungan CO2
(misal dengan
analisis-IR gas)
Klinker yang
diproduksi
Nilai default
Klinker yang
diproduksi
Analisis CaO3,MgO
(contoh : dengan
XRF)
Nilai default
Parsial termasuk
Tercakup sebagai
analisa terpisah
bagian kandungan
untuk bahan baku
organik
dengan kandungan
Tidak diperlukan
TOC yg tinggi
perhitungan terpisah
CO2 dari
by pass dust
Meliputi kalsinasi
lengkap yg
diasumsikan, tidak
perlu analisis
Kandungan CO2
residu
LOI
Kandungan CO2
Analisis atau
nilai default
Tidak tercakup
Perhitungan
kandungan CO2
terpisah
Tercakup,
perhitungan
terpisah tidak
diperlukan
Tercakup,
perhitungan
terpisah tidak
diperlukan
Tambahan bahan
baku bahan bakar
ke calciner
atau inlet kiln
Gambar 4.3 Overview Metode Penentuan Emisi CO2 dari Kalsinasi Bahan Baku
19
Sebagaimana disepakati oleh Asosiasi dan industri semen Indonesia bahwa perhitungan metode kalsinasi
sedapat mungkin menggunakan metode B2.
Untuk menerapkan perhitungan emisi CO2 berbasis hasil klinker dengan metode B2, perusahaan harus
menggunakan data spesifik pabrik sebagai berikut:
(1) Klinker: CO2 Kalsinasi dihitung berdasarkan volume klinker yang diproduksi dan faktor emisi per ton
klinker. Faktor emisi harus ditentukan berdasarkan kadar CaO dan MgO di dalam klinker, dan dikoreksi
jika jumlah CaO dan MgO dalam klinker berasal dari sumber-sumber non-karbonat.
Metode detail mengacu pada analisis CaO dan MgO dari klinker dan koreksi untuk sumber-sumber nonkarbonat oksida tersebut. Jika tidak terdapat data yang lebih baik, tetapan 525 kg CO2 / t klinker harus
digunakan (Metode Output Sederhana B1). Nilai ini sebanding dengan IPCC default (510 kg CO2 / t klinker
) dikoreksi dengan kadar MgO di dalam klinker.
(2) Debu: CO2 dari bypass dust atau debu semen kiln (CKD) meninggalkan sistem kiln harus dihitung
berdasarkan volume debu dan faktor emisinya. Perhitungan harus dapat menetapkan secara lengkap
volume debu meninggalkan sistem kiln, terlepas dari apakah debu tersebut dijual, ditambahkan ke
semen, atau dikeluarkan untuk dibuang dari sistem. Bypass dust biasanya terkalsinasi total, oleh karena
itu, emisi terkait untuk bypass dust dihitung menggunakan faktor emisi untuk klinker.
CKD biasanya tidak sepenuhnya terkalsinasi. Faktor emisi untuk CKD ditentukan berdasarkan faktor emisi
untuk klinker dan tingkat kalsinasi CKD.
Laju kalsinasi CKD lebih disukai didasarkan pada data spesifik pabrik. Apabila data tersebut tidak tersedia,
nilai tetapan 0 harus digunakan untuk kiln proses kering karena CKD biasanya tidak terkalsinasi atau
terkalsinasi sangat sedikit sehingga bisa diabaikan. Dalam proses lainnya (setengah kering, setengah
basah atau basah) nilai kalsinasi CKD dapat signifikan. Jika tidak ada data, nilai tetapan 1 harus digunakan.
Persamaan 1 didasarkan pada analisis raw meal, sedangkan Persamaan 2 didasarkan pada faktor emisi CO2
klinker. Kedua metode perhitungan harus mengarah pada hasil yang sama. Apabila data volume debu tidak
tersedia, maka digunakan tetapan IPCC untuk CO2 dari debu yang dibuang dari sistem yaitu 2% CO2 klinker.
Persamaan 1 :
EFCKD =
fCO2RM x d
1 - CO2RM x d
Di mana:
EFCKD = Faktor emisi CKD terkalsinasi sebagian (t CO2 /t CKD)
fCO2RM = Fraksi berat karbonat CO2 di dalam raw meal (--)
d
20
20
= Laju kalsinasi CKD (pelepasan CO2 dinyatakan sebagai fraksi total karbonat CO2 di dalam
raw meal)
Persamaan 2 :
EFCli
EFCKD =
1 + EFCli
1-
xd
EFCli
1 + EFCli
xd
Di mana:
EFCKD = Faktor emisi CKD terkalsinasi sebagian (t CO2/t CKD)
EFCli = Faktor emisi klinker spesifik pabrik (t CO2 /t klinker)
d
= Laju kalsinasi CKD (pelepasan CO2 dinyatakan sebagai fraksi total karbonat CO2 di dalam
raw meal)
(3) CO2 dari Karbon Organik Bahan Baku : Selain karbonat anorganik, bahan baku yang digunakan untuk
produksi klinker biasanya mengandung sebagian kecil dari karbon organik yang dapat dinyatakan sebagai
Total Organic Carbon (TOC) yang sebagian besar akan dikonversi menjadi CO2 selama proses pembakaran
raw meal. Total organic carbon (TOC) dari bahan baku dapat bervariasi antar lokasi dan antar jenis bahan
yang digunakan. Data dari CSI menunjukkan bahwa nilai untuk TOC dalam raw meal sekitar 0,1-0,3%
(berat kering). Hal ini sesuai dengan emisi CO2 sekitar 10 kg / t klinker, mewakili sekitar 1% dari gabungan
emisi CO2 dari kalsinasi bahan baku dan pembakaran bahan bakar kiln.
Jumlah bahan baku yang digunakan harus diukur dan dilaporkan untuk memastikan kelengkapan
inventori. Namun, karena kontribusi mereka terhadap emisi keseluruhan kecil, mekanisme perhitungan
yang disederhanakan telah diimplementasikan dengan mengalikan produksi klinker dengan nilai tetapan
rasio raw meal to klinker : 1,5. Tetapan kadar TOC di dalam raw meal : 2 kg / t raw meal (berat kering, sesuai
dengan 0,2%). Berdasarkan analisis data oleh CSI nilai faktor tetapan 0,2% telah dikonfirmasikan.
Perusahaan tidak diharuskan untuk menganalisa emisi TOC lebih jauh kecuali mereka memiliki indikasi
bahwa karbon organik jumlahnya signifikan. Hal ini bisa terjadi jika perusahaan mengkonsumsi volume
besar shale atau fly ash sebagai bahan baku dengan kandungan TOC tinggi.
4.6. Persamaan untuk Metode Output B1 dan B2
Persamaan 3:
Bahan Baku CO2 = klinker EFcli /1000 + Bypass D meninggalkan sistem kiln EFcli /1000 + CKD meninggalkan
sistem kiln EFCKD + Raw Meal Dikonsumsi fTOCRM 3.664
Raw meal yang dikonsumsi dihitung dengan Persamaan 4:
Konsumsi Raw Meal = klinker RM/Cli-Rasio
di mana untuk Persamaan 3 dan 4:
21
EFcli
ditemukan di klinker sehingga karbon pada semua bahan bakar kiln harus dianggap teroksidasi sempurna.
Faktor emisi CO2 dari bahan bakar harus selalu ditentukan berdasarkan total karbon konten (TC).
4.8. CO2 dari Bahan Bakar Alternatif, Bahan Bakar Campuran dan Bahan Bakar Biomassa
Industri semen saat ini semakin sering menggunakan berbagai bahan bakar alternatif (AF) yang biasanya
berasal dari limbah. AF sebagai pengganti bahan bakar fosil konvensional terdiri dari fraksi berbasis
bahan bakar fosil, seperti limbah minyak dan plastik, dan fraksi biomassa seperti limbah kayu.
CO2 dari bahan bakar biomassa dianggap climate neutral, karena emisi dapat dikompensasikan dengan
pertumbuhan kembali biomassa dalam jangka pendek. CO2 dari bahan bakar biomassa dilaporkan sebagai
memo item, tapi dikeluarkan dari total emisi.
4.9. CO2 dari Limbah Turunan Bahan Bakar Fosil (Juga Disebut Bahan Bakar Fosil Alternatif
atau AF Fosil)
Menurut pedoman IPCC, emisi GRK dari industri yang menggunakan limbah sebagai energi dilaporkan
dalam energi pada kategori sumber inventori nasional, sementara emisi GRK dari pembuangan limbah
konvensional (penimbunan, insinerasi) dilaporkan dalam kategori manajemen limbah.
4.10. CO2 Dari Bahan Bakar Campuran dengan Biomassa dan Fraksi Fosil
Dalam hal biofuel dibakar bersama-sama dengan bahan bakar fosil (misalnya pretreated industri dan/
atau limbah rumah tangga), pembagian antara fraksi fosil dan bahan bakar non-fosil harus ditetapkan
serta faktor emisi diterapkan pada fraksi yang sesuai (IPCC 2006, Vol. II, Bagian 2.3.3.4).
- CO2 langsung dari pembakaran biomassa (termasuk bahan bakar biomassa, limbah biomassa dan
fraksi biomassa bahan bakar campuran) harus dilaporkan sebagai memo item, tetapi dikecualikan
terhadap total emisi. Dalam IPCC, faktor emisi untuk biomassa padat sebesar 110 kg CO2 / GJ, kecuali
jika tersedia data yang lebih baik.
- CO2 langsung dari pembakaran AF fosil dan fraksi fosil bahan bakar campuran harus dihitung dan
dimasukkan dalam emisi CO2 langsung. Faktor emisi CO2 tergantung pada jenis AF atau campuran
bahan bakar yang digunakan dan harus ditetapkan pada tingkat pabrik. Bila tidak tersedia data spesifik
pabrik, perusahaan dapat menggunakan tetapan faktor emisi dari CSI.
- Penurunan GRK yang dicapai melalui pemanfaatan AF diperhitungkan sebagai emisi netto dalam
Protokol.
- Penurunan GRK lainnya harus dicatat secara terpisah. Umumnya, faktor emisi CO2 dari semua bahan
bakar harus mewakili emisi CO2 keseluruhan dari penggunaan bahan bakar berdasarkan kandungan
karbon total (TC).
23
Beberapa AF, misalnya ban bekas dan serbuk gergaji mengandung fosil dan karbon biomassa. Bahan
bakar ini akan diperlakukan sebagai bahan bakar campuran dan emisi CO2 harus dipisahkan sesuai fraksi
fosil dan biogenik. Hal ini dilakukan dengan menentukan fraksi karbon biogenik pada kandungan karbon
dalam bahan bakar secara keseluruhan, dengan metode menurut standar internasional.
4.11. CO2 dari Bahan Bakar Kiln
Bahan bakar kiln dalam protokol ini adalah semua bahan bakar yang diumpankan ke sistem kiln ditambah
bahan bakar yang digunakan untuk pengeringan dan pengolahan bahan baku atau bahan bakar kiln
lainnya. Termasuk dalam definisi ini adalah bahan bakar yang dimasukkan melalui sistem pembakaran
utama kiln serta sebagai bahan bakar yang ditambahkan ke calciner atau langsung ke kiln inlet. Dalam
protokol ini bahan bakar tersebut dianggap sebagai bahan bakar kiln.
Bahan bakar yang digunakan untuk pengeringan komponen mineral (MIC) yang digunakan dalam semen
grinding dan bahan bakar yang digunakan untuk produksi listrik di instalasi yang terpisah dari sistem
kiln harus dilaporkan sebagai bahan bakar non-kiln. Emisi CO2 spesifik dan konsumsi energi bahan
bakar spesifik produksi klinker ditentukan oleh penggunaan bahan bakar kiln termasuk bahan baku dan
penyiapan bahan bakar.
4.12. CO2 dari Bahan Bakar Non- Kiln
Bahan bakar non - kiln mencakup semua bahan bakar yang tidak termasuk dalam definisi bahan bakar kiln,
misalnya :
- Untuk pabrik dan kendaraan tambang,
- Untuk peralatan proses termal (misalnya pengering) komponen mineral (MIC) pada penggilingan
semen,
- Dalam instalasi terpisah untuk produksi listrik on-site.
Industri semen harus memastikan pelaporan lengkap emisi CO2 dari bahan bakar non kiln yang dibakar
di pabrik sebagai berikut :
LHV bahan bakar spesifik pabrik umumnya lebih disukai, namun angka tetapan IPCC atau CSI juga bisa
digunakan jika data pabrik tidak tersedia.
4.13. CO2 dari Transportasi
Seperti proses manufaktur lainnya, produksi semen memerlukan transportasi untuk penyediaan bahan
baku dan bahan bakar serta untuk distribusi produk (klinker, semen, beton). Dalam beberapa kasus,
klinker dipindahkan ke site lain untuk digiling. Moda transportasi bisa berupa conveyor, kereta api, kapal,
24
24
dan kendaraan darat. Jika transportasi dilakukan oleh pihak ketiga yang independen, maka emisi yang
timbul dikategorikan sebagai emisi tidak langsung.
Gambar 4.4 berikut memberikan rincian jenis transportasi terkait dengan produksi semen. Protokol ini
memerlukan penghitungan konsumsi energi dan emisi yang terkait dengan transportasi on site yang
dilakukan dengan kendaraan sendiri (termasuk kendaraan yang disewa), contohnya adalah konsumsi
bahan bakar kendaraan tambang dan konsumsi listrik belt conveyor.
Protokol ini tidak mengharuskan perusahaan untuk menghitung emisi sesuai jenis transportasi, misalnya:
- Angkutan on-site yang dilakukan oleh pihak ketiga (yaitu kendaraan tidak dimiliki atau dikontrol oleh
perusahaan pelapor);
- Semua transportasi off-site terlepas dari apakah angkutan dilakukan oleh pihak ketiga atau perusahaan
pemilik armada.
Transportasi input dan produk
Transportasi On-site
Kendaraan milik
sendiri (termasuk
yang sewa)
Mesin
Pembakaran
Mesin
Listrik
Emisi
langsung
Emisi tidak
langsung
Diperlukan kuantifikasi
dengan protokol ini
Kendaraan
pihak ke-3
Emisi tidak
langsung
Transportasi Off-site
Kendaraan milik
sendiri (termasuk
yang sewa)
Mesin
Pembakaran
Mesin
Listrik
Emisi
langsung
Emisi tidak
langsung
Kendaraan
pihak ke-3
Emisi tidak
langsung
Gambar 4.4 Breakdown Tipe Transport dalam Lingkup yang Didefiniskan oleh Protokol
25
Konsumsi sendiri
Lingkup 2
Emisi tidak langsung dari listrik yang dikonsumsi sendiri
Dijual kembali
ke pengguna akhir
Lingkup 3
Emisi tidak langsung dari listrik yang dijual ke pengguna akhir
Dijual kembali
dengan perantara
Informasi opsional
Emisi dari listrik yang dijual kepada perantara
Gambar 4.5. Emisi Lingkup 2 dan Lingkup 3 terkait Listrik yang Dibeli
Data emisi tidak langsung dapat berguna untuk menilai jejak karbon secara keseluruhan dari suatu
industri. Untuk tujuan ini, perusahaan semen wajib menghitung dan melaporkan dua atas empat kategori
emisi tidak langsung yaitu :
- CO2 dari produksi listrik eksternal, dihitung berdasarkan jaringan listrik yang terukur dan diperoleh
dari pemasok listrik atau dianjurkan untuk menggunakan data pemerintah untuk jaringan listrik
nasional. Jika kedua data tidak tersedia, rata-rata faktor emisi negara dapat digunakan. Faktor-faktor
tersebut didasarkan pada data International Energy Agency (IEA) yang diperbarui setiap tahun (lihat
www.ghgprotocol.org/standar/tools.htm untuk update terbaru ).
- CO2 dari produksi klinker yang dibeli.
Pendekatan untuk menghitung kedua jenis emisi tidak langsung ini dirangkum dalam Tabel 4.2.
26
26
Tabel 4.2 Parameter dan Sumber Data untuk Perhitungan Emisi CO2 Langsung seperti yang
Dipersyaratkan oleh Protokol ini
Emisi
Parameter
Unit
Sumber parameter
GWh
t CO2/GWh
t cli
t CO2/t cli
Emisi
CO2
Emisi CO2
Limbah
Emisi CO2
Limbah
Bahan
bakar fosil
Plant semen
termasuk CO2 dari bahan bakar fosil alternatif, namun mengecualikan CO2 dari bahan bakar biomassa dan
kandungan biomassa dalam bahan bakar campuran.
Tabel 4.3 Sumber Emisi yang Dilaporkan dalam Emisi CO2 Absolute Gross Termasuk Pembangkit
Listrik On-Site
Emisi
CO2 dari bahan baku
+ CO2 dari bahan bakar fosil kiln konvensional
+ CO2 dari bahan bakar fosil kiln alternatif (limbah fosil)
+ CO2 dari karbon fosil bahan bakar campuran
(alternatif) kiln dan bahan bakar non-kiln (kecuali
pembangkit listrik on site)
+ CO2 dari bahan bakar non-kiln kecuali CO2 pembangkit
listrik on site
= Emisi CO2 Gross
= Emisi Langsung (kecuali CO2 dari pembangkit listrik
on-site)
Memo Item
CO2 dari bahan bakar biomassa
CO2 dari karbon biogenik bahan bakar campuran
(alternatif)
CO2 tidak langsung (listrik dan klinker yang dibeli)
4.18. Emisi CO2 Absolute Gross (Tidak Termasuk Pembangkit Listrik On-Site)
Emisi CO2 Absolute Gross adalah total emisi CO2 yang berasal kalsinasi dan pemakaian bahan bakar
fosil (tidak termasuk pembangkit listrik on-site) di pabrik semen dalam suatu periode tertentu. Emisi
gross termasuk CO2 dari bahan bakar fosil alternatif, tidak termasuk CO2 dari bahan bakar biomassa dan
kandungan biomassa dalam bahan bakar campuran, karena emisi ini dianggap sebagai carbon-neutral.
28
28
Tabel 4.4 Sumber Emisi yang Dilaporkan dalam Emisi CO2 Absolute Gross
Memo Item
CO2 dari bahan bakar biomassa
CO2 dari karbon biogenik bahan bakar campuran
(alternatif)
CO2 tidak langsung (listrik dan klinker yang dibeli)
4.19. Perhitungan Emisi CO2 dari Biomassa yang Mengandung Bahan Bakar
Pada CO2 Protocol Versi 3, emisi CO2 yang berasal dari kandungan karbon biogenik pada bahan bakar
campuran tidak dicatat sebagai bagian dari emisi gross. Emisi CO2 dari bahan bakar biomassa tersebut
ditambahkan dengan emisi CO2 dari bahan bakar biomassa murni terhadap total CO2 biomassa dan
dilaporkan sebagai memo item.
4.20. Penurunan Emisi CO2 Nett dan Tidak Langsung Terkait dengan Pemanfaatan Limbah sebagai
Bahan Bakar Alternatif
Industri semen saat ini memanfaatkan sejumlah besar limbah untuk digunakan sebagai bahan bakar
dan/atau bahan baku. Limbah ini juga disebut sebagai bahan bakar alternatif (AF) dalam protokol ini.
Dengan memanfaatkan AF, perusahaan semen mengurangi konsumsi bahan bakar fosil konvensional
sementara pada saat yang sama membantu untuk menghindari pembuangan limbah konvensional
dengan penimbunan atau insinerasi.
Peningkatan pemanfaatan AF dapat memiliki pengaruh pada emisi CO2 langsung di industri semen karena
faktor emisi CO2 dari AF dapat berbeda dari bahan bakar konvensional. Selain itu, karbon yang terkandung
dalam AF dapat berasal dari fosil dan/atau biomassa. Seperti disebutkan di atas, pemanfaatan AF oleh
industri semen biasanya menghasilkan penurunan emisi CO2 di tempat pembuangan limbah. Kombinasi
dampak emisi langsung, pengurangan emisi tidak langsung, dan efisiensi sumber daya membuat
29
substitusi AF untuk bahan bakar fosil konvensional adalah cara yang efektif untuk mengurangi emisi gas
rumah kaca global.
Persyaratan yang berkaitan dengan pelaporan emisi CO2 dari bahan bakar berbasis fosil AF (juga disebut
fosil AF atau bahan bakar fosil alternatif) bervariasi sebagai berikut:
- Emisi langsung CO2 yang dihasilkan dari pembakaran AF fosil harus selalu disertakan dalam perhitungan
emisi gross. Dengan konsep ini protokol menyediakan kerangka untuk melaporkan pengurangan emisi
tidak langsung yang dapat dicapai dengan menggunakan bahan bakar alternatif;
- Pengurangan emisi GRK langsung di tempat pembuangan (landfill) dan incineration dicatat dengan
mengurangkan emisi CO2 fosil dari bahan bakar alternatif.
Emisi Nett adalah emisi Gross dikurangi emisi CO2 dari bahan bakar fosil alternatif
Nett CO2 Emissions = Gross CO2 Emissions fosil CO2 emission from AF
4.21. Perangkat Perhitungan Emisi CO2
Cement CO2 Protocol menyediakan template spreadsheet untuk perhitungan inventori emisi CO2 di sektor
semen. Perangkat spreadsheet standar memerlukan modifikasi disesuaikan dengan kondisi di masingmasing industri semen.
30
30
2009
[t CO2/yr]
Gross CO2 Emissions (=direct fossil CO2 excluding CO2 from on-site power generation)
59c
59a
calcination component
59b
fuel component
907.606
2009
[t CO2/yr]
907.606
[t CO2/yr]
558.743
[t CO2/yr]
348.864
Net CO2 Emissions (= gross CO2 minus alternative fossil fuels CO2; excluding CO2 from on-site power generation)
2009
71
[t CO2/yr]
2009
Absolute CO2 from biomass sources (including biomass content of mixed fuels)
[t CO2/yr]
907.606
0
2009
873
60a
calcination component
538
60b
fuel component
336
873
73
2009
834
63a
calcination component
514
63b
fuel component
321
834
75
62a
calcination component
62b
fuel component
74
77
2009
834
514
321
834
Specific indirect CO2 from external power generation per tonne of cement (eq.)
[kg CO2/t cem eq.]
82a
Specific indirect CO2 from external power generation per tonne of cementitious
[kg CO
product
2/t cem prod]
82b
Specific indirect CO2 from net clinker imports (+) / exports (-) per tonne of cementitious
[kg CO2/t cem
product
prod]
[%]
92a
[%]
92
Clinker/cementitious factor*
[%]
93
[MJ/t cli]
94
[%]
95
[%]
96
[%]
96a
[kg CO2/GJ]
96b
[%]
96c
96d
[%]
[%]
97
98
[kWh/t cli]
98c
98a
[MJ/kWh]
98b
[MJ/t cli]
2009
85
85
2009
95,6%
95,6%
3.502
100%
0%
0%
95,8
100%
110
68
110
31
Manfaat tambahan yang berasal dari pemenuhan Cement CO2 Protocol untuk sektor semen Indonesia
dan Pemerintah adalah adanya benchmarking terhadap sektor semen dunia / regional yang dapat diakses
melalui. Database Semen Global CO2 dan Informasi Energi/ Global Cement Database on CO2 and Energy
Information (GNR)
5.1. Emisi CO2 Spesifik
Dari sudut pandang pengembangan dan bisnis yang berkelanjutan, pelaporan emisi CO2 ditetapkan
dalam ukuran emisi CO2 spesifik (ton CO2/ton produk). Definisi dari unit produksi yang digunakan untuk
menghitung emisi CO2 spesifik di industri semen adalah:
1. Klinker
2. Semen (ekivalen)
3. Cementitious products
Masing-masing dari ketiga jenis produk memberikan pembobotan yang berbeda
terhadap hasil
klinker
32
32
own
own clinker +
clinker
+
consumed
sold directly
clinker
bought &
consumed
Gambar 5.1 Definisi Emisi Spesifik CO2 per ton Cementitious Product
5.2. Penyebut untuk Rasio Indikator Lainnya
Untuk indikator selain emisi CO2, perlu memasukkan klinker yang dibeli tetapi tidak memasukkan klinker
yang dijual. Hal ini berlaku untuk:
- Konsumsi daya spesifik per ton cementitious product harus memperhitungkan proses grinding klinker
yang dibeli;
- Klinker / semen faktor harus menggambarkan rasio antara jumlah klinker yang dikonsumsi dan total
produksi semen atau cementitious product.
Kedua faktor telah diimplementasikan dalam spreadsheet protokol.
5.2.1. Faktor Klinker / Semen (ekivalen)
Semen (ekivalen) dapat dihitung dari klinker yang diproduksi dibagi dengan faktor klinker / semen (ekivalen),
yang didefinisikan sebagai: Total klinker dikonsumsi/(klinker sendiri yang dikonsumsi ditambah gipsum,
kapur, CKD, ditambah pengganti klinker yang dikonsumsi untuk bahan pencampur, ditambah klinker dibeli
dan dikonsumsi. Faktor klinker/semen (ekivalen) yang diusulkan ditunjukkan pada Gambar 5.2
33
clinker/cement (eq)
factor
clinker consumed
=
own
own clinker +
clinker
+
consumed
sold directly
clinker
bought &
consumed
clinker consumed
=
own
own clinker +
clinker
+
consumed
sold directly
clinker
bought &
consumed
34
34
35
4. Transparan: Memasukkan semua isu yang relevan secara faktual berdasarkan data hasil audit.
Menggunakan asumsi dan referensi yang relevan sesuai dengan metodologi perhitungan serta
menyebutkan sumber data yang digunakan.
5. Akurat: Memastikan hasil perhitungan emisi CO2 sesuai dengan nilai sebenarnya, dengan ketidakpastian
seminimal mungkin.
Aspek kualitas dari pengambilan, pengumpulan dan analisis data perlu dilakukan sedemikian rupa agar
kesalahan dugaan (error estimates) dapat dihitung dan selanjutnya bisa diperbaiki. Aspek quality control/
QC (berkaitan dengan proses internal dalam perhitungan) dan quality assurance/QA (berkaitan dengan
penilaian dari pihak luar mengenai kualitas dari informasi yang dilaporkan) dalam perhitungan emisi CO2
mengacu pada IPCC 2006 Guidelines for National Greenhouse Inventories.
Mekanisme pelaporan mengenai kinerja emisi CO2 industri semen sebagai berikut:
(i)
Laporan disampaikan kepada Kementerian Perindustrian dengan tembusan kepada Asosiasi Semen
Indonesia;
Tahun Pelaporan
Nama Perusahaan
Alamat
Jumlah Pabrik
10
11
12
OWC
Tipe II
Tipe IV
Tipe V
White Cement
Lain-Lain
13
36
36
Kontak Person
[t CO2/yr]
Gross CO2 Emissions (=direct fossil CO2 excluding CO2 from on-site power generation)
59c
[t CO2/yr]
59a
calcination component
59b
fuel component
[t CO2/yr]
[t CO2/yr]
Net CO2 Emissions (= gross CO2 minus alternative fossil fuels CO2; excluding CO2 from on-site power generation)
71
[t CO2/yr]
Absolute CO2 from biomass sources (including biomass content of mixed fuels)
[t CO2/yr]
60a
calcination component
60b
fuel component
73
63a
calcination component
63b
fuel component
75
62a
calcination component
62b
fuel component
74
77
Specific indirect CO2 from external power generation per tonne of cement (eq.)
[kg CO2/t cem eq.]
82a
Specific indirect CO2 from external power generation per tonne of cementitious
[kg CO
product
2/t cem prod]
82b
[%]
92a
[%]
92
Clinker/cementitious factor*
[%]
93
[MJ/t cli]
94
[%]
95
[%]
96
[%]
96a
[kg CO2/GJ]
96b
[%]
96c
96d
[%]
97
98
[kWh/t cli]
98c
98a
[MJ/kWh]
98b
[MJ/t cli]
[%]
37
C. Aksi Mitigasi
Aksi Mitigasi Corporate Level
No
Tahun
Inisiatif
Pabrik
Status
Keterangan
(iii)
(iv)
Pelaporan emisi spesifik CO2 yang dihasilkan per ton semen seperti dimaksudkan dalam
Permenperin 12/M-IND/PER/1/2012 tentang Peta Panduan (Roadmap) Pengurangan Emisi CO2
Industri Semen di Indonesia adalah kg CO2/ ton cementitious dan/atau kg CO2/ ton cement (eq)
sebagaimana diperlukan.
- Data produksi (ton bahan diproduksi, kWh listrik yang dihasilkan, dll)
- Data konsumsi bahan baku untuk perhitungan neraca massa (faktur, catatan pengiriman, data
penimbangan, dll)
- Faktor Emisi (analisis laboratorium dll)
Informasi pengumpulan proses meliputi :
- Deskripsi prosedur dan sistem yang digunakan untuk mengumpulkan dokumen dan memproses data
emisi CO2 di fasilitas pabrik dan tingkat korporasi
- Deskripsi kontrol kualitas prosedur terapan (audit internal, perbandingan dengan data tahun lalu,
perhitungan kembali oleh pihak ketiga, dll)
Deskripsi bagaimana data emisi CO2 telah dihitung meliputi:
- Faktor Emisi dan parameter lain yang digunakan dan penjelasannya
- Asumsi yang digunakan sebagai dasar perkiraan
- Informasi tentang keakuratan pengukuran dan penimbangan (misalnya, catatan kalibrasi) dan teknik
pengukuran lain.
Data emisi secara terpisah untuk masing-masing lingkup meliputi :
- Data Emisi dalam ton CO2
- Data Emisi untuk emisi CO2 langsung dari pembakaran biomassa / biofuel, dilaporkan secara terpisah
- Metodologi yang digunakan untuk menghitung emisi, menyediakan referensi atau link ke alat
perhitungan yang digunakan
Informasi lainnya meliputi:
- Pendekatan konsolidasi yang dipilih
- Daftar (dan akses ke) orang yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan data emisi GRK di setiap
site dan di tingkat korporasi (nama, jabatan, e-mail, dan nomor telepon)
- Informasi mengenai ketidakpastian kualitatif dan kuantitatif jika tersedia
Perusahaan bertanggung jawab untuk memastikan keberadaan, kualitas dan lama penyimpanan dokumen
sehingga membuat rekam jejak mengenai penyusunan inventori. Jika sebuah perusahaan mengeluarkan
suatu tahun basis tertentu untuk menilai kinerja emisi CO2, perusahaan harus menyimpan semua catatan
historis yang relevan untuk mendukung data tahun tersebut.
6.4. Menggunakan Temuan Verifikasi
Sesuai ruang lingkup yang disepakati, verifikator dapat mengeluarkan laporan verifikasi yang berisi
sejumlah rekomendasi untuk perbaikan masa depan. Proses verifikasi harus dipandang sebagai masukan
berharga bagi proses perbaikan berkesinambungan. Apakah verifikasi dilakukan untuk tujuan kajian
39
internal, laporan publik atau untuk mengesahkan sesuai dengan program GRK tertentu, kemungkinan
akan berisi informasi yang berguna dan bimbingan tentang cara untuk memperbaiki dan meningkatkan
kualitas inventori CO2 dan sistem pelaporan perusahaan.
Sebelum verifikator menyatakan bahwa inventori telah memenuhi standar mutu yang relevan, perusahaan
perlu melakukan koreksi ketidaksesuaian yang teridentifikasi selama verifikasi. Jika verifikator dan
perusahaan tidak dapat mencapai kesepakatan tentang penyesuaian tersebut, maka verifikator tidak
dapat memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian. Semua ketidaksesuaian (secara individu atau
secara agregat) harus diperbaiki sebelum verifikasi akhir ditandatangani.
Laporan temuan hasil verifikasi/audit bersifat rahasia, hanya untuk keperluan Pemerintah (Kementerian
Perindustrian) dan perusahaan terkait. Publikasi dapat dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak.
40
40
41
Kelengkapan dan akurasi inventori CO2 bergantung pada berbagai input yang menjadi tanggung jawab
beberapa departemen termasuk produksi, akuntansi, manajemen kualitas dan departemen terkait
lainnya.
Mengintegrasikan fungsi-fungsi bisnis ke dalam inventori dan pelaporan emisi CO2 akan memberikan
manfaat seperti:
Data keuangan yang diaudit akan memberikan verifikasi data produksi internal, dan
Manajemen kualitas memberikan validasi internal.
Komposisi tim khusus yang disarankan ditampilan pada Gambar 7.2 berikut dimana proses ini diarahkan
agar senior manajemen terlibat dalam proses perhitungan inventori. Susunan tim khusus khusus ini
meliputi bidang-bidang utama dari inventori CO2 yaitu departemen produksi, akuntansi, jaminan kualitas
dan departemen terkait lainnya. Selain itu, konsultan eksternal dapat dilibatkan untuk membantu
dalam proses perhitungan inventori CO2. Sumber daya eksternal ini akan tergantung sesuai kebutuhan
perusahaan.
Dept.
Produksi
Dept.
Accounting
Dept. Quality
Assurance
Konsultan
Eksternal/
Advisor/
Narasumber
3. Melakukan pemeriksaan kualitas secara umum: Pemeriksaan ini berlaku untuk data dan proses di
seluruh inventori, menekankan pada penanganan data, dokumentasi, dan perhitungan emisi.
4. Melakukan pemeriksaan kualitas sumber emisi spesifik: Pemeriksaan ini meliputi batasan, asumsi
dan perhitungan sesuai dengan batasan sumber emisi yang dipilih untuk kategori sumber tertentu,
misalnya emisi yang berhubungan dengan bahan bakar individu yang digunakan dalam pabrik semen.
Termasuk di dalamnya penilaian kualitatif dan/atau kuantitatif dari ketidakpastian perkiraan emisi.
5. Meninjau perkiraan inventori akhir dan pelaporan: Kajian manajerial internal diperlukan untuk
mendapatkan persetujuan manajemen terhadap inventori akhir. Kaji ulang dapat melibatkan
verifikator eksternal.
6. Menetapkan umpan balik formal: Perusahaan dapat memiliki prosedur umpan balik formal kepada
tim manajemen mutu.
7. Menetapkan pelaporan, dokumentasi, dan prosedurnya: Sistem manajemen mutu berisi prosedur
yang memberikan informasi terhadap data yang akan didokumentasikan untuk tujuan internal,
informasi yang harus diarsipkan, dan yang akan dilaporkan untuk kepentingan eksternal sesuai
kebutuhan.
SISTEM MANAJEMEN MUTU INVENTARISASI
1. Bentuk tim mutu inventarisasi
7. Laporkan, dokumentasikan,
dan arsipkan
DATA
METODE
2. Kembangkan rencana
manajemen mutu
SISTEM
6. Terapkan siklus feedback ke dalam
perusahaan secara formal
DOKUMENTASI
3. Lakukan pengujian
mutu secara umum
4. Lakukan pengujian
mutu sumber-spesifik
SIKLUS FEEDBACK
Gambar 7.3 Sistem Manajemen Mutu Inventarisasi
44
44
Kegiatan Pengumpulan,
Input, dan
Penanganan Data
l
l
Dokumentasi Data
l
l
Lain-lain
l
l
l
l
Lain-lain
Ketidakpastian agregat perkiraan emisi untuk pabrik atau perusahaan akan tergantung pada
ketidakpastian parameter individual yang digunakan. Ketidakpastian parameter tergantung pada data
dan prosedur. WBCSD/CSI mengakui bahwa ketidakpastian dalam inventori CO2 merupakan tantangan
jangka panjang yang layak untuk mendapatkan perhatian. Tabel 7.1 mengidentifikasi sumber-sumber
ketidakpastian yang biasanya paling relevan di sebuah perusahaan semen, beserta langkah-langkah
untuk meminimalkan ketidakpastian tersebut.
Protokol GRK mengidentifikasi ketidakpastian yang berkaitan dengan inventori CO2 sebagai berikut :
- Ketidakpastian ilmiah (Scientific Uncertainty), muncul ketika ilmu dari penentuan emisi sebenarnya
belum cukup dipahami, dan
- Ketidakpastian Estimasi (Estimation Uncertainty), muncul setiap kali emisi CO2 diukur.
Ketidakpastian dijelaskan secara detail dalam Guideline IPCC 2006 Vol 1_3.
Estimasi Ketidakpastian
Ketidakpastian dihubungkan
dengan metode kuantifikasi
dari emisi GRK
Ketidakpastian Ilmiah
Ketidakpastian berhubungan dengan
pengetahuan ilmiah yang tidak lengkap
mengenai emisi dan proses removal
Parameter Ketidakpastian
Ketidakpastian dihubungkan
dengan mengkuantifikasi
parameter yg digunakan dalam
pemodelan estimasi emisi
Model Ketidakpastian
Ketidakpastian dihubungkan dengan
persamaan matematis yang digunakan
untuk memperkirakan emisi GRK
(statistika, stoikiometri, dan model lain)
Ketidakpastian Statistik
Ketidakpastian yang
diakibatkan variabel acak
dari sampel data. Parameter
ketidakpastian dapat
dikuantifikasi melalui penilaian
para ahli.
Penilaian kuantitatif dari
ketidakpastian statistik berada
dalam lingkup kelayakan suatu
perusahaan.
Ketidakpastian Sistematik
Ketidakpastian dihubungkan dengan
penyimpangan sistematik yang
terjadi dalam proses estimasi., seperti
faktor emisi berdasarkan sampel
non representatif, kesalahan alat
pengukuran.
Tabel 7.1 Sumber-Sumber Ketidakpastian Paling Relevan dan Langkah untuk Meminimalkan
Ketidakpastian
Parameter
Produksi klinker
(t/a)
Faktor emisi
kalsinasi (kg CO2/t
klinker)
Lower heating
values dari bahan
bakar (GJ/t)
Pastikan bahwa volume bahan bakar dan lower heating value telah
berdasarkan pada kandungan uap air yang sama
Parameter yang ditandai dengan bintang biasanya hanya relevan jika metode berbasis raw meal digunakan
untuk menghitung CO2 dari kalsinasi bahan baku.
47
Prefix
peta
tera
giga
mega
kilo
hecto
deca
deci
centi
milli
micro
Symbol
P
T
G
M
k
h
da
d
c
m
m
m2
ha
g
t
J
O
C
calorie
year
capita
gallon
dry matter
cal
yr
cap
gal
dm
Sumber : IPPCC 1996, Revised 1996 IPCC Guidelines for National Gas Inventories and IPCC 2006, IPCC Guidelines
for National Greenhouse Gas Inventories
48
48
Lampiran I
Conversion Factors
To convert from
grams (g)
kilograms (kg)
megagrams
gigagram
pounds (lb)
tons (long)
tons (short)
barrels (petroleum, US)
cubic fast (ft8)
litres
cubic yards
gallons (liquid, US)
imperial gallon
joule
kilojoule
megajoule
terajoule (TJ)
Btu
calories, kg (mean)
tonne oil equivalent (toe)
kWh
Btu / ft11
Btu / lb
lb / ft11
psi
kgf / cm3 (tech atm)
atm
mile (statue)
ton CH4
ton N2O
ton carbon
To
Multiply by
matric tons (t) 1 x 10-4
matric tons (t) 1 x 10-4
matric tons (t) 1
matric tons (t) 1 x 10-4
matric tons (t)
4.5359 x 10-4
matric tons (t)
1.016
matric tons (t)
0.9072
2
cubic matric (m ) 0.15898
cubic matric (m2) 0.028317
1 x 10-4
cubic matric (m2)
cubic matric (m2) 0.76455
3.7854 x 10-4
cubic matric (m2)
cubic matric (m2)
4.54626 x 10-4
gigajoules (GJ)
1 x 10-4
gigajoules (GJ)
1 x 10-4
gigajoules (GJ)
1 x 10-4
gigajoules (GJ)
1 x 10-4
gigajoules (GJ)
1.05506 x 10-4
gigajoules (GJ)
4.187 x 10-4
gigajoules (GJ)
41.86
gigajoules (GJ)
3.6 x 10-4
GJ / m1
3.72589 x 10-4
GJ / metric tons
2.326 x 10-4
metric tons / m1
1.60185 x 10-4
bar 0.0689476
bar
0.98o665
bar 1.01325
kilometer
1.6093
ton CO2 equivalent
21
ton CO2 equivalent
310
3.664
ton CO2 equivalent
49
lampiran II pengertian
Faktor emisi/serapan GRK
Besarnya emisi/serapan per satuan unit kegiatan yang dilakukan. Jika tersedia, faktor emisi yang disarankan
yaitu faktor emisi lokal yang sesuai dengan situasi setempat sebagai hasil dari beberapa penelitian. Jika
belum tersedia, maka disarankan menggunakan faktor emisi lokal untuk daerah lain atau faktor emisi
nasional dan regional berdasarkan bidang masing-masing, seperti yang sedang dikembangkan oleh IPCC
melalui Basis Data untuk Faktor Emisi (Emission Factor Database).
NAMAs
Nationally Appropriate Mitigation Actions (komitmen negara berkembang untuk menurunkan emisi)
sesuai kesepakatan Cancun Agreement, 2010.
Green House Gas (GHG)/ Gas Rumah Kaca (GRK)
Gas yang terkandung dalam atmosfer, baik alami maupun antropogenik, yang menyerap dan memancarkan
kembali radiasi inframerah yang terdiri dari gas CO2, SF6, CH4, N2O, HFCs dan PCFs. GRK utama dari
industri semen adalah CO2 (karbondioksida)
Inventori
Kegiatan untuk memperoleh data dan informasi mengenai tingkat, status, dan kecenderungan perubahan
emisi GRK secara berkala dari berbagai sumber emisi (source) dan penyerapnya (sink), termasuk simpanan
karbon (carbon stock).
Emisi GRK
Lepasnya gas rumah kaca ke atmosfer pada area tertentu dalam jangka waktu tertentu.
Data Aktivitas
Besaran kuantitatif kegiatan atau aktivitas manusia yang dapat melepaskan dan/atau menyerap GRK.
Faktor Emisi
Besaran emisi GRK yang dilepaskan ke atmosfer per satuan aktivitas tertentu.
Mitigasi
Usaha untuk menurunkan emisi dan atau meningkatkan penyerapan GRK dari berbagai sumber emisi,
dalam upaya pengendalian atau pengurangan dampak perubahan iklim.
50
50
Lampiran II
51
Lampiran II
Cement/Semen
Bahan bangunan yang dibuat dari penggilingan klinker dan komponen mineral lainnya seperti gipsum,
batu kapur, fly ash, slag dan lainnya.
Semen (ekivalen)/Cement (eq.)
Nilai produksi semen yang ditentukan dari klinker yang diproduksi sendiri dibagi dengan klinker/semenfaktor.
Cementitious products
Klinker yang diproduksi oleh perusahaan pelapor ditambah gipsum, kapur, CKD dan semua bahan
subtitusi klinker.
cem eq.
Cement (eq.)
cem prod
Cementitious products.
Climate-Neutral
Pembakaran bahan bakar climate-neutral tidak menambah papara GRK di dalam atmosfir pada rentang
waktu tertentu. Emisi CO2 yang berasal dari pembakaran biomassa yang terkandung dalam AF digolongkan
climate-neutral karenan dikompensasi oleh penyerapan CO2 oleh tumbuh-tumbuhan.
Klinker
Produk setengah jadi yang dihasilkan dari proses pembakaran raw meal di dalam kiln. Produksi klinker
adalah sumber utama emisi CO2 pada proses produksi semen.
CKD
Cement kiln dust adalah debu kiln yang meninggalkan sistem peralatan proses berupa raw meal yang
terkalsinasi sebagian.
cli
Clinker
CSI
Cement Sustainability Initiative (CSI) yang beranggotakan sejumlah perusahaan semen dari lebih 100
negara di dunia.
52
52
Lampiran II
Direct emissions
Emisi langsung adalah emisi yang berasal dari sumber yang dimiliki atau dikendalikan oleh suatu entitas.
Dust return
Bagian dari kiln feed yang tidak terproses oleh kiln menjadi klinker atau bersal CKD yang dikembalikan ke
dalam sistem pengumpanan kiln feed.
EF
Emission factor adalah besarnya emisi CO2 per satuan massa atau per satuan panas bahan bakar.
EU ETS (European Union Emissions Trading System)
Skema perdagangan emisi CO2 oleh negara-negara Uni Eropa sejak tahun 2005. Untuk informasi lebih
lanjut dapat diakses pada situs http://ec.europa.eu/clima/policies/ets/index_en.htm
Fossil Carbon
Carbon yang berasal dari bahan bakar fosil atau sumber fosil yang lain.
GCV
Gross calorific value adalah nilai kalori kotor bahan bakar.
GNR
Getting the Numbers Right Project dan CSIs global cement database mencakup data lebih dari 800
pabrik di seluruh dunia sebagai anggot.
Gross CO2 emissions
Jumlah emisi langsung CO2 ( tidak termasuk emisi CO2 yang berasal dari produksi listrik on-site) misalnya
dari pembakaran karbon fosil.
HHV
Higher heat value adalah nilai kalor kotor suatu bahan bakar dalam satuan kalor per satuan massa
(misalnya GJ per ton bahan bakar).
Indirect emissions
Emisi tidak langsung dari sumber-sumber yang tidak dimiliki atau dikendalikan oleh entitas pelapor.
Sebagai contoh adalah pemakaian listrik untuk keperluan proses produksi yang dibeli dari perusahaan
pembangkit listrik.
53
Lampiran II
Inventory
Perhitungan emisi GRK beserta sumber-sumbernya.
IPCC
The Intergovernmental Panel on Climate Change adalah lembaga sain internasional yang berkecimpung
dalam perubahan iklim. Informasi lebih jauh dapat diakses melalui situs www.ipcc.ch.
Kiln Feed/KF
Bahan baku yang diumpankan ke dalam sistem kiln pada proses produksi klinker
Kiln
Tanur untuk produksi klinker dalam proses pembuatan semen. Sistem kiln pada proses pembuatan
semen dilengkapi dengan preheater, calciner dan clinker cooler.
Kiln fuel
Bahan bakar yang diumpankan ke dalam sistem kiln pada proses produksi semen.
KPI
Key Performance Indicator adalah tolok ukur untuk mengukur kinerja.
LHV
Lower heat value (= net calorific value, NCV), adalah nilai kalor bersih suatu bahan bakar, biasanya
dituliskan dalam satuan kalor per satuan massa (misalnya GJ per ton bahan bakar).
LOI
Loss on Ignition adalah metode uji laboratorium yang digunakan untuk menentukan prosentase material
yang hilang pada saat pemijaran.
MIC
Mineral components atau komponen mineral adalah bahan-bahan anorganik yang digunakan sebagai
bahan sibstitusi Klinker pada proses produksi semen (misalnya blast furnace slag, fly ash, pozzolana, batu
kapur).
Mixed fuels
Bahan bakar campuran antara biomassa dan bahan bakar fosil.
Net CO2 Emissions
Gross CO2 emissions dikurangi dengan emisi CO2 yang berasal dari AF fosil.
54
54
Lampiran II
Non-kiln fuel
Bahan bakar yang digunakan oleh perusahaan selain untuk bahan bakar di sistem kiln.
Nm
Normal cubic meters (pada tekanan t 1013 hPa dan temperatur 0 C)
NCV
Net calorific value (=lower heat value, LHV)
OPC
Ordinary Portland cement adalah semen tipe I dengan komposisi klinker minimal 90% sesuai dengan
spesifikasi dalam SNI 15-2049-2004
Petcoke
Petroleum coke, adalah bahan bakar padat karbon yang berasal dari kilang minyak
Pozzolana
Material yang memiliki sifat pengikat batuan bila bereaksi dega kalsium hidroksida dan memiliki sifat
seperti semen.
Protokol
Metode perhitungan, monitoring dan pelaporan emisi GRK
Raw material preparation
Adalah tahapan proses produksi semen dimana bahan mentah dikeringkan, digiling dan dihohogenisasi
menjadi raw meal.
Raw Meal/RM
Bahan baku pembuatan semen yang berasal dari penggilingan bahan mentah semen yaitu batu kapur,
tanah liat dan bahan lain yang dibutuhkan.
Raw material
Bahan mentah semen, pada umumnya berupa batu kapur, tanah liat dan bahan tambahan serta bahan
koreksi lainnya yang dibutuhkan.
Specific emissions/Emisi spesifik
Emisi spesifik adalah jumlah emisi yang dikeluarkan dalam proses produksi per satuan produk yang
dihasilkan.
55
Lampiran II
TC
Total carbon adalah jumlah TOC dan TIC.
TIC
Total inorganic carbon adalah karbon anorganik yang terikat pada mineral, misalnya karbonat pada abu
bahan bakar.
TOC
Total organic carbon adalah karbon organik yang terdapat dalam suatu bahan.
Traditional fuels
Bahan bakar fosil sesuai dengan definisi International Panel on Climate Change (IPCC) guidelines, misalnya
: batubara, petcoke, lignite, shale, minyak dan gas alam.
WBCSD
World Business Council for Sustainable Development. Informasi lebih lanjut mengenai WBCSD dapat
diakses melalui situs http://www.wbcsd.org.
WRI
World Resources Institute adalah lembaga internasional sebagai think tank permasalahan lingkungan
dunia yang didirikan pada tahun 1982 dan berkantor pusat di Washington, D.C. in the United States.
56
56
Kementerian Perindustrian
Jl. Jend. Gatot Subroto Kav.52-53
Jakarta 12950