PENGANTAR
1
Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Pidana, Badan Pembinaan Hukum Nnasional (BPHN),
Kementerian Hukum dan HAM RI. 2012, hlm. 2-3.
AssetRecovery|1
Ibid, hlm.3.
Ibid.
Istilah penyitaan berasal dari terminologi Beslag (bahasa Belanda), dan istilah ini (beslag) juga lazim
dipakai dalam bahasa indonesia, namun istilah bakunya ialah kata sita atau penyitaan. Beberapa
pengertian penyitaan yaitu: (1) tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat selama tindakan paksa berada
ke dalam keadaan penjagaan; (2) tindakan paksa penjagaan (custody) itu diberitahukan secara resmi (official)
berdasarkan permintaan pengadilan atau hakim; dan (3) barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut,
berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas
keputusan hutang debitur atau tergugat dengan jalan menjual lelang (exsekutorial verkoop) barang yang disita
tersebut. Lihat M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 283.
5
Tindakan sita jaminan merupakan upaya hukum dan tindakan hukum pengecualian. Bahwa tidak
selalu proses pemeriksaan perkara harus diikuti dengan tindakan sita jaminan dan sebagai upaya untuk
2|EdiNasution
menjamin hak-hak penggugat, andaikata gugatan penggugat dikabulkan karena dimenangkan, maka akan lebih
pasti bahwa putusannya itu dapat dilaksanakan dan ia dapat menikmati kemenangannya tersebut. Oleh karena
alasan yang eksepsional itulah, maka penerapannya haruslah: (a) secara bijaksana Majelis Hakim (Pengadilan)
mempertimbangkan secara hati-hati disertai dasar alas an yang kuat serta didukung pula oleh fakta-fakta yang
mendasar; dan (b) kebijaksanaan mengabulkan sita jaminan, sejak semula didasarkan oleh adanya bukti yang
kuat tentang akan dikabulkannya gugatan penggugat. Lihat R. Soeparmono, Masalah Sita Jaminan (CB) Dalam
Hukum Acara Perdata, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm. 7.
6
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Op.Cit., hlm. 284. Dari segi pelaksanaannya, penyitaan
sifatnya terbuka yang umum. Dalam pelaksanaannya: (1) penyitaan secara fisik dilakukan ditengah-tengah
kehidupan masyarakat sekitarnya; (2) secara resmi disaksikan oleh dua orang saksi maupun oleh kepala desa
namun bisa pula disaksikan oleh masyarakat luas; (3) administratif justisial, dimana penyitaan barang tertentu
harus diumumkan dalam buku register kantor yang bersangkutan yang sesuai dengan asas publisitas. Dengan
demikian jelas bahwa tindakan penyitaan berdampak terdapat psikologis yang sangat merugikan nama baik
atau kredibilitas seseorang baik sebagai pribadi, apalagi sebagai pelaku bisnis. Tindakan penyitaan dapat
meruntuhkan kepercayaan orang atas bonafilitas korporasi dan bisnis yang dijalankan. Pengaruh buruk
tindakan penyitaan dari segi psikologis bukan hanya ditanggung dan menimpa diri pribadi dan bisnis tersita,
tetapi berdampak luas kepada keluarga dalam pergaulan sosial-kemasyaraakatan.
7
AssetRecovery|3
8
Penyitaan bisa bersifat permanen, apabila penyitaan kelak dilanjutkan dengan perintah penyerahan
kepada Penggugat berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau apabila penyitaan
dilanjutkan kelak dengan penjualan lelang untuk melunasi pembayaran hutang tergugat kepada penggugat.
9
Penyitaan yang dilakukan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat dapat dinyatakan bersifat
temporer apabila hakim memerintahkan pengangkatan sita. Perintah pengangkatan sita jaminan yang seperti ini
terjadi berdasarkan surat penetapan pada saat proses persidangan mulai berlangsung, dan bisa juga dilakukan
hakim sekaligus pada saat menjatuhkan putusan, apabila gugatan penggugat ditolak.
10
Pasal ini memberikan kewenangan kepada hakim atau juru sita untuk menyerahkan penjagaan,
penguasaan, dan pengusahaan barang yang disita ditangan penggugat atau dibawah penjagaan pengadilan.
4|EdiNasution
Pada pasal tersebut secara tegas ditentukan bahwa juru sita atau
penyita meninggalkan barang yang disita dalam keadaan semula
ditempat dimana barang itu disita. Dan si tersita disuruh untuk
menyimpan atau menjaganya. Sekalipun untuk membawa dan
menyimpan sebagian barang di tempat penyimpanan yang dianggap
patut, namun penjagaan dan penguasaan hak miliknya tetap ditangan
si tersita, dengan pemberitahuan kepada polisi agar barang tersebut
tidak dilarikan orang.
Tujuan utama tindakan penyitaan adalah agar tergugat tidak memindahkan
atau membebankan harta kekayaan kepada pihak ke tiga. Dalam hal pelaksanaan
sita jaminan bertujuan untuk menjaga keutuhan keberadaan harta atau harta
kekayaan tergugat selama proses pemeriksaan perkara berlangsung sampai
perkara memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan adanya
perintah penyitaan atas harta tergugat atas harta sengketa, secara hukum telah
terjamin keutuhan keberadaan barang yang disita, misalnya di dalam contoh
surat gugatan perkara harta bersama dalam perkara warisan dimana pada
bagian petitum biasanya dimohonkan kepada hakim agar dilakukan sita
jaminan terhadap barang-barang yang disengketakan.11 Karena itu sita
jaminan harus diajukan oleh pihak penggugat selama perkara berlangsung guna
menjaga keutuhan barang barang yang menjadi objek sengketa.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelas bahwa sita jaminan merupakan
upaya hukum agar tercipta keutuhan dan keberadaan harta yang disita sampai
keputusan dapat dieksekusi, guna menjaga agar gugatan pada saat proses
eksekusi tiba menjadi tidak hampa. Sehingga dengan telah diletakkannya sita
pada harta sengketa atau harta kekayaan tergugat, serta pelaksanaan penyitaan
telah didaftarkan dan diumumkan kepada masyarakat12, maka terhitung sejak
tanggal pendaftaran dan pengumuman sita, (sesuai dengan Pasal 213 Rbg), telah
digariskan akibat hukumnya seperti yang diatur dalam Pasal 215 Rbg) yaitu :
1. Demi hukum melarang tergugat untuk menjual, memindahkan barang
sitaan kepada siapa pun.
2. Pelanggaran atas itu, menimbulkan dua sisi akibat hukum:
a. Akibat hukum dari segi perdata.
Apabila barang menjadi objek sengketa dilakukan tindakan jual beli
atau penindahan hak atau barang tersebut maka tindakan atau
perbuatan tersebut batal demi hukum.
11
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000), hlm. 57.
12
Hal ini sesuai dengan ketentuan 198 HIR yang berbunyi: (1) Apabila yang disita barang tetap, maka
berita acara penyitaan diumumkan yaitu jika barang tetap itu sudah dibukukan menurut ordonansi tentang
pemindahan barang tetap dan tentang membukukan hipotek atas barang itu di Indonesia (S. 1834 Nr. 27),
dengan menyalin berita acara itu dalam daftar yang tersebut dalam pasal 50 dari aturan tentang menjalankan
undang-undang baru dan pemindahan untuk itu (S. 1848 Nr. 10) atau dengan menyalin berita acara itu dalam
daftar yang disediakan untuk maksud itu, di kantor kepaniteraan pengadilan negeri, dalam kedua hal ini dengan
menyebutkan jam, hari, dan tahun itu harus disebut oleh panitera pada surat asal yang dibserikan kepadanya;
(2) Tambahan pula orang yang dipertanggungkan menyita barang itu, member perintah kepada kepala desa
supaya penyitaan itu diumumkan di tempat itu menurut cara yang biasa sehingga diketahui orang yang seluasluasnya. Lihat R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor: Politeia, 1995), hlm. 146.
AssetRecovery|5
13
Apabila dirinci tindak kejahatan yang diatur Pasal 231 KUHP adalah tindakan terhadap barang sitaan
berupa: (1) melepaskan barang yang disita, baik menjual, maupun memindahkan hak atas barang yang menjadi
objek sengketa; (2) melepaskan barang yang disimpan atas perintah hakim; dan (3) menyembunyikan barang
yang dilepaskan dari sitaan.
14
6|EdiNasution
merupakan hak milik, atau barang yang disita dapat dieksekusi melalui penjualan
lelang, jika perkara yang sengketakan merupakan perselisihan hutang-piutang
atau tuntutnan ganti rugi berdasarkan Tort atau Wanprestasi.
Barang yang menjadi objek sitaan dapat langsung menjadi objek eksekusi,
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 214 Rbg, yang menegaskan bahwa setiap
barang yang disita dilarang diperjualbelikan atau dipindahkan tergugat kepada
pihak ketiga atau pihak lain. Dalam hal ini, perbuatan jual-beli merupakan salah
satu perbuatan yang dilarang, dimana jual-beli akan batal demi hukum, apabila
terlebih dahulu telah didaftarkan dan diumumkan. Dalam kasus seperti ini, sita
itu masih tetap menjangkau pihak ketiga atau pihak lain yang ingin memiliki
harta sitaan tersebut, sehingga eksekusi dapat dilaksanakan dan tanpa halangan.15
Namun dalam hal ini, penggugat harus menjelaskan secara terperinci dan
menunjukkan identitas barang yang hendak disita pada saat permohonan sita
diajukan pada Ketua Majelis guna menjaga objek eksekusi yang sudah pasti tadi
benar-benar ada dan sesuai data di lapangan. Misalnya, penggugat harus
menjelaskan letak, ukuran dan batasan-batasannya.16 Lebih lanjut adalah
penegasan MA memberi kepastian atas objek eksekusi yang apabila telah
berketentuan hukum tetap, kemenangan atas penggugat dapat langsung dijamin
dengan pasti terhadap adanya barang sitaan tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa tujuan pokok dari
tindakan penyitaan (sita) adalah: (1) untuk melindungi kepentingan penggugat
dari itikad buruk tergugat sehingga gugatan menjadi tidak hampa (ilusioner),
pada saat putusan setelah berkekuatan hukum tetap; dan (2) memberi jaminan
kepastian hukum bagi Penggugat terhadap kepastian terhadap objek eksekusi,
apabila keputusan telah berkekuatan hukum tetap.
Tindakan penyitaan (sita) tidaklah mungkin dapat dilakukan tanpa
memenuhi syarat-syarat yang telah ada dan berlaku sesuai peraturan perundangundangan. Namun kecukupan syarat-syarat tidaklah cukup dan sempurna
apabila tidak dibarengi dengan adanya alasan-alasan penyitaan. Pertama-tama
syarat penyitaan harus melalui adanya permohonan sita kepada hakim. Hakim
tentunya akan mempelajari permohonan sita tersebut sesuai dengan tata cara
pengajuan permohonan yang berlaku. Syarat penyitaan berdasarkan permohonan
sita merupakan hal yang mendasar, sebab hakim tidaklah akan menjatuhkan sita
apabila tidak ada inisiatif dari pengugat yang mengajukan permohonan sita.
Sita berdasarkan permohonan diajukan dalam surat gugatan. Biasanya,
dalam suatu permohonan sita diajukan bersama-sama di dalam surat gugatan.
Bentuk dan tata cara pengguna permohonan sita jaminan yang seperti ini dalam
praktiknya lazim dijumpai. Penggugat mengajukan permohonan sita secara
tertulis dalam bentuk surat gugatan, sekaligus bersamaan dengan pengajuan
gugatan pokok. Pengajuan permohonan sita dalam bentuk ini tidak dapat
dipisahkan dari dalil gugatan pokok. Apabila permohonan sita diajukan
15
M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, (Bandung: Pustaka,
1990), hlm. 9
16
Kepastian objek eksekusi atas barang sitaan semakin sempurna sesuai dengan penegasan MA yang
menyatakan, bila putusan telah berkekuatan hukum tetap maka barang yang disita demi hukum langsung
menjadi sita eksekusi. Lihat, Himpunan Tanya Jawab Rakerda, MA RI, 1987-1962, hlm. 177.
AssetRecovery|7
17
Namun di dalam praktiknya, bentuk permohonan sita tersendiri secara lisan jarang terjadi. Tetapi pada
hakekatnya, kelangkaan praktek itu bukan berarti dapat melenyapkan hak penggugat untuk mengajukan
permohonan sita secara lisan.
18
M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, Op.Cit., hlm. 25.
8|EdiNasution
19
AssetRecovery|9
20
Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Bina Cipta, 1977), hlm. 49.
21
Namun di antara beberapa unsur kewajiban diatas, ada yang berpendapat tidak mutlak penggugat harus
dapat menunjukan atau mengajukan surat identitas atau surat bukti barang. Menurut praktek yang sudah ada,
dianggap cukup bila penggugat telah mampu menjelaskan unsur, sifat , letak, dan ukurannya, ditambah dengan
unsur penegasan yang positif bahwa barang itu milik tergugat atau setidak- tidaknya dalam kekuasan
tergugat.Intinya adalah penggugat tidak boleh menyebutkan barang objek sita secara umum, meskipun Pasal
1311 KUH Perdata menegaskan segala harta kekayaan debitur menjadi tanggungan untuk membayar utangnya.
Lihat M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Op. Cit., hlm. 291.
22
Ibid.
10|EdiNasution
BENTUK-BENTUK PENYITAAN
23
K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 9
24
AssetRecovery|11
25
26
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2009), hlm. 206.
Menurut Pasal 505 KUH Perdata, bahwa barang bergerak ini dapat dibagi atas benda yang dapat dihabiskan
dan benda yang tidak dapat dihabiskan.
12|EdiNasution
27
Jika bertitik-tolak pada BAB VII Pasal 35 dan Pasal 36 Undang- Undang Nomor1 Tahun 1974, dapat
dibedakan antara harta kekayaan bersama yang menjadi hak bersama suami-istri, dan harta pribadi (bawaan)
yang menjadi hak penuh secara perseorangan bagi suami atau istri. Jadi, maritale beslag tidak meliputi harta
bawaan atau harta pribadi suami atau istri. Tentang penjualan harta bersama yang telah disita adalah atas izin
hakim27 berdasarkan putusan.
28
29
30
M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, Op.Cit., hlm. 2.
31
Subekti secara tegas mengalihkan. istilah consevatoir beslag menjadi istilah yang bernama sita jaminan.
Lihat Subekti, Op. Cit., hlm. 48. Hal ini diperkuat dengan adanya SEMA No.05/1975 Tanggal 1 Desember
1975, yang telah mengalihbahasakan consevatoir beslag menjadi sita jaminan. Yurisprudensi juga menguatkan
14|EdiNasution
jaminan ini diatur dalam Pasal 261, yang mempunyai ciri-ciri: (1)
diletakan atas harta yang disengketakan status kepemilikannya; dan
(2) juga bisa diletakan terhadap harta kekayaan tergugat dalam
sengketa utang piutang atau tuntutan ganti rugi.
Dari sisi objeknya, sita jaminan dapat berupa barang bergerak dan
barang tidak bergerak, baik terhadap benda berwujud maupun tidak
berwujud (lychammelijk on lychammelijk). Tentang benda berwujud
tentunya dapat kita temukan dengan mudah. Sedangkan benda tak
berwujud misalnya macam-macam hak32 seperti hak gadai, hak
merek dan lain sebagainya.
Pembebanan sita jaminan bisa hanya terbatas pada barang tertentu
jika gugatan didalilkan berdasarkan sengketa hak milik atas barangbarang tertentu. Namun di lain sisi, sita jaminan juga dapat meliputi
seluruh harta kekayaan tergugat sampai mencukupi seluruh jumlah
tagihan apabila gugatan didasarkan atas utang-piutang atau tuntutan
ganti-kerugian. Adapun tujuan penerapan sita jaminan tidak lain agar
mampu menjamin gugatan penggugat agar tidak illusioner (hampa)
saat putusan telah berkekuatan hukum tetap, sehingga harta yang
dipersengketakan (harta tergugat) yang disita tetap terjamin
keutuhannya sampai tiba waktunya perkara untuk dieksekusi.
Sita jaminan dapat dijalankan sebelum putusan memperoleh
kekuatan hukum tetap. Karena itu, sita jaminan merupakan upaya
hukum yang bersifat eksepsional, yang berbeda dengan sita eksekusi
yang dapat dilaksanakan apabila putusan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Dari segi kewenangan pelaksanaannya, kewenangan
memerintahkan pelaksanaan sita jaminan terletak pada tangan ketua
majelis yang memeriksa perkara tersebut. Ini karena hakim
diperintahkan undang-undang sebagai penilai unsur persangkaan
suatu permohonan sita jaminan.
Satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah berhubungan dengan sita
jaminan yang diletakan atas harta kekayaan tergugat atas jenis
perkara sengketa utang-piutang dan tuntutan ganti-kerugian. Sita
jaminan yang diletakan atas harta kekayaan tergugat dengan
sendirinya akan berubah menjadi sita eksekusi. Hal ini terjadi apabila
gugatan dikabulkan yang terhitung sejak putusan yang bersangkutan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Jadi, sita jaminan menurut
asasnya otomatis menjadi sita eksekusi, apabila telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap. Oleh karena sita jaminan otomatis
mempunyai kekuatan hukum executorial beslag, maka tidak diperlukan
lagi adanya tahapan proses executorial beslag.33
pergantian tempat consevatoir beslag menjadi sita jaminan. Seperti contohnya pada Putusan Mahkamah Agung
(MA) Tanggal 11 November 1976 No.607/K/Sip/1974.
32
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Umum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002),
hlm. 244.
33
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),
hlm. 70
AssetRecovery|15
34
35
Dalam praktiknya tergugat sering mengajukan keberatan atas penyitaan yang diletakkan terhadap harta
kekayaannya dengan dalih, bahwa barang yang disita adalah milih pihak ketiga. Dalil dan ketentuan itu sering
tidak dihiraukan pengadilan dengan alasan, sekiranya benar barang itu milik pihak ketiga, dia dapat
mengajukan keberatan melalui upaya derden verset. Ternyata meskipun sita telah dilakukan diatasnya, tidak ada
muncul perlawanan dari pihak ketiga, oleh karena itu cukup alas an untuk menduga, bahwa harta tersebut milik
tergugat bukan milik pihak ketiga. Tetapi bagaimana seandainya benar-benar milik pihak ketiga? Dalam hal ini,
yang bersangkutan dapat mengajukan perlawanan dalam bentuk derden verset atau perlawanan pihak ketiga
terhadap Conservatoir Beslag, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MA No. 3089 k/Pdt/1991. Derden verset
atas sita jaminan dapat diajukan pemilik selama perkara yang dilawannya itu belum inkrach, tetapi kalau sudah
incrach maka upaya hokum yang dapat dirempuhnya adalah gugatan perdata biasa, sebagaimana Putusan MA
No. 996 k/Pdt/1989.
36
16|EdiNasution
37
Dari segi kewenangan, kewenangan memerintahkan sita eksekusi berada pada pimpinan Ketua
Pengadilan Negeri. Hal ini diatur dalam Pasal 206 Rbg. Tentang tata cara pelaksanaan sita eksekusi sama
dengan tata cara sita jaminan. Sita eksekusi timbul akibat tergugat (pihak yang kalah) tidak mau melaksanakan
isi putusan secara sukarela. Dengan demikian salah satu prinsip yang melekat pada eksekusi merupakan
tindakan yang timbul apabila pihak tergugat tidak mau menjalankan isi putusan secara sukarela. Lihat M.
Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan dan Penerapan Eksekusi Bidang Perdata, Op. Cit., hlm. 12
38
18|EdiNasution
AssetRecovery|19
d. Rijdende beslag.
Pada jenis penyitaan ini ruang lingkupnya terbatas karena rijdende beslag
adalah salah satu dari bentuk sita jaminan yang bersifat khusus. Oleh
karena itu rijdende beslag dapat diletakan terhadap benda-benda bergerak
dan benda-benda tidak bergerak. Selain itu, rijdende beslag juga bisa
didasarkan atas sengketa hak milik, utang-piutang, dan tuntutan gantikerugian.
Rijdende beslag juga dapat meliputi seluruh harta debitur maupun hanya
sebagian dari hartanya. Namun rijdende beslag terbatas pada benda-benda
yang berbentuk sarana perusahaan saja, contohnya adalah sita terhadap
gedung-gedung, mobil, dan sebagainya. Jadi rijdende beslaghanya boleh
menyita sarana dan/atau peralatan-peralatan yang mendukung
perusahaan saja. Hal ini tidak termasuk kegiatan usaha dan proses
produksinya.
e. Sita niet bevinding.
Sita niet bevinding hanya bisa diterapkan apabila barang yang menjadi
objek sengketa tidak diketemukan atau tidak ada pada waktu pelaksanaan
sita dilaksanakan. Bisa saja selain barang yang disita tidak ada
dilapangan, barang sitaan tersebut berbeda jenis dan sifatnya antara apa
yang dikemukakan oleh si penggugat dengan yang ada dilapangan. Bisa
juga terdapat perbedaan batas maupun luas, sehingga hal ini dapat
menimbulkan sita niet bevinding.
Karena sita niet bevinding termasuk prinsip yang terkandung dalam sita
jaminan, maka objek sita niet bevinding bisa berupa benda-benda bergerak
maupun benda-benda tidak bergerak. Selain itu, jenis sita niet bevinding ini
juga dapat didasarkan pada gugatan sengketa hak milik, utang-piutang,
dan tuntutan ganti-kerugian.
f.
Sita penyesuaian.
Sita penyesuaian hanya bisa diletakan pada keadaan barang yang
menjadi objek sengketa telah lebih dahulu disita oleh orang lain. Jadi sita
penyesuaian hanya berupa sita karena ada upaya hukum sita yang telah
ada terlebih dahulu sebelum pemohon sita penyesuaian meminta
permohonan sita.
Barang yang menjadi objek sengketa harus sama antara barang yang
menjadi permohonan pemohon sita pertama dengan pemohon sita yang
selanjutunya. Barang yang telah menjadi objek sita tersebut atau barang
yang menjadi sengketa tersebut sudah didaftar di Pengadilan Negeri
sebagai barang yang telah diletakan sita.
Tentang objek sita penyesuaian tidak terbatas pada benda-benda bergerak
saja, terhadap benda-benda tidak bergerak juga bisa. Sita penyesuaian
bisa didasarkan atas sengketa hak milik, utang-piutang, dan tuntutan
ganti-kerugian.
20|EdiNasution
g. Sita eksekusi.
Ruang lingkup sita eksekusi hanya terbatas pada telah adanya keputusan
yang berkukatan hukum tetap. Jadi bila suatu putusan telah berkekuatan
hukum tetap, maka sita eksekusi bisa dilaksanakan. Pemohon sita
eksekusi biasanya pihak yang memenangkan pokok perkara di sidang
peradilan. Sedangkan objek sita eksekusi bisa berupa benda-benda yang
bergerak maupun terhadap benda-benda yang tidak bergerak.
Ada pengecualian dalam perkara yang bisa diajukan dalam sita eksekusi.
Sita eksekusi hanya bisa dimajukan terhadap perkara sengketa utangpiutang dan tuntutan ganti- kerugian saja. Sedangkan dalam sengketa hak
milik tidak bisa. Sita eksekusi tidak bisa diterapkan pada jenis sengketa
hak milik.39 Satu lagi hal yang penting, bahwa sita eksekusi bisa berjalan
apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi putusan secara
sukarela. Sehingga dengan itu diperlukan upaya paksa bahkan sampai
memohon kekuatan umum.
h. Sita lanjutan.
Ruang lingkup penerapan sita lanjutan terbatas pada suatu keadaan
dimana barangbarang yang menjadi barang sitaan tersebut tidak cukup
untuk melunasi seluruh utang-utang dari para kreditor. Hal inilah yang
menjadi alasan timbulnya sita lanjutan. Sita lanjutan biasanya
dimohonkan oleh para kreditor yang belum terpenuhi tagihan atau utangutangnya dari hasil pelaksanaan sita eksekusi yang pertama sekali
dilakukan. Untuk itulah para kreditur itu memohonkan adanya sita
lanjutan guna menuntut haknya.
Sita lanjutan bisa diletakkan terhadap benda-benda bergerak dan bendabenda tidak bergerak. Sita ini juga dapat meliputi seluruh harta kekayaan
debitur sampai semua tagihan para kreditur bisa dilunasi atau terpenuhi.
Dan bisa juga terhadap sebagian harta debitur saja, apabila setelah semua
tagihan para kreditur dapat terpenuhi, dimana masih tersisa harta dari si
debitur.
Dalam praktiknya ada beberapa masalah hukum dalam penyitaan dan
perampasan aset (harta kekayaan) ini, antara lain: 40
(1) Konstruksi sistem hukum pidana di Indonesia belum menempatkan
penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana sebagai
bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan. Misalnya,
kewenangan yang dimiliki penyelidik dan penyidik dalam di dalam
KUHAP belum memungkinkan para penyelidik dan penyidik untuk
melaksanakan penelusuran hasil dan instrumen tindak pidana dengan
baik. KUHAP belum mengatur secara jelas mengenai kewenangan
penyelidik dan penyidik dalam mengakses sumber-sumber informasi yang
diperlukan dalam rangka mengidentifikasi dan menemukan hasil dan
39
M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, Op. Cit., hlm. 17.
40
Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Pidana, Op.Cit., hlm. 19-20.
AssetRecovery|21
41
Asset Recovery memiliki sinonim Investment Recovery. Sinonim lainnya adalah Resources Recovery. Tiga
frase tersebut, sama saja pengertiannya. Adalah frase Asset Recovery yang lazim dipakai di seantero dunia ini.
Dalam bahasa Indonesia Asset Recovery diterjemahkan secara lurus, yaitu Pemulihan Aset. Selanjutnya frase
ini diadaptasikan dalam bahasa hukum Indonesia menjadi Barang Rampasan. Lihat: http://requisitoiremagazine.com/2012/07/17/ asset-recovery/ dakses pada tanggal 15 November 2013. Sementara itu Konvensi
PBB Anti Korupsi (UNCAC 2003) tidak tidak memberikan definisi khusus untuk asset recovery (pemulihan aset).
Konvensi ini hanya menjelaskan bagaimana aset harus dipulihkan dari satu negara ke negara lain. Hal ini
sangat penting bagi banyak negara berkembang di mana korupsi tingkat tinggi telah menjarah kekayaan
nasional, dan di mana sumber daya yang sangat diperlukan untuk rekonstruksi dan rehabilitasi masyarakat di
bawah pemerintahan baru. Kasus klasik dari kleptokrasi, seperti rezim Marsekal Mobutu Sese Seko, yang
memerintah Republik Kongo, atau mantan diktator militer Jenderal Sani Abacha dari Nigeria, mudahmudahan tidak akan terulang. Namun demikian, sejumlah besar dana pemerintah masih dicuri oleh pejabat
publik saat ini dan perlu ditransfer kembali ke pemiliknya yang sah - warga negara. Di Brazil, misalnya, ada
sekitar 493 kasus korupsi. Masing-masing melibatkan sekitar $ 1 juta (atau lebih) dalam 30 yurisdiksi yang
berbeda di mana pemulihan sedang dicoba. Pemulihan aset Oleh karena itu pemulihan aset tidak hanya penting
untuk memperbaiki kerusakan masa lalu tetapi juga untuk menjamin keadilan di masa depan. Lihat:
http://www.giz.de/Themen/de/ dokumente/en-gtz-asset-recovery-2007.pdf diakses pada tanggal 15
November 20137.
22|EdiNasution
Sehubungan dengan itu, United Nations Office on Drugs and Crime dan World
Bank pada bulan September 2007 secara resmi meluncurkan Stolen Asset Recovery
Initiative (StAR I) yang tujuan utamanya adalah pemberian technical dan financial
assistance guna memperkuat kapasitas institusional lembaga-lembaga nasional
dari negara-negara berkembang untuk dapat mengambil kembali aset-asetnya
yang telah dicuri. Secara khusus prakarsa ini mempunyai lima tujuan. Pertama,
membantu membangun kapasitas dalam merespon dan mengajukan permohonan
untuk international mutual legal assistance. Kedua, membantu untuk diadopsinya
dan diberlakukannya aturan mengenai penyitaan, termasuk undang-undang
mengenai penyitaan tanpa hukuman atau kesalahan (civil forfeiture atau nonconviction based forfeiture). Ketiga, membantu peningkatan transparansi dan
akuntabilitas sistem manajemen keuangan publik. Keempat, membantu
membentuk dan memperkuat lembaga anti korupsi nasional. Kelima, membantu
mengawasi (monitoring) dana yang dikembalikan apabila diminta oleh negara
terkait.42
Prakarsa ini juga memberikan panduan untuk dapat memerangi pencurian
aset publik, dimana setidak-tidaknya ada tiga elemen yang harus diperhatikan
dalam penanganannya, yaitu: 43
Pertama, memastikan bahwa tidak akan ada tempat untuk menyimpan hasil
kejahatan sehingga akan menjadi sumbangan yang sangat besar, dengan cara
menaikkan cost untuk melakukan korupsi tingkat tinggi.
Kedua, memerangi korupsi di negara berkembang adalah tanggung jawab
yang sama yang dimiliki oleh negara maju. Salah satu sumber korupsi di negara
berkembang adalah praktek suap, kolusi, dan pendapatan ilegal lainnya yang
berasal dari kantor-kantor atau individu-individu dari negara maju. Dana yang
terlibat selalu tertanam di negara-negara maju.
Ketiga, menghambat aliran dana korupsi dari negara berkembang dan
memulihkan atau memperoleh kembali apa yang sudah dicuri. Untuk itu
memerlukan kerjasama antar negara-negara. Tanpa bantuan dan kerjasama
antara negara-negara, uang yang dicuri akan terus mengalir dari negara-negara
miskin dan pemulihannya bisa menjadi sangat sulit, makan waktu dan biaya
tinggi.
Bagi Indonesia konsep StAR Initiative ini perlu dioptimalkan, mengingat
prakarsa ini berkaitan erat dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi
dan pelarian aset oleh koruptor ke luar negeri yang selama ini menjadi salah satu
isu utama di Indonesia. Prakarsa ini juga sangat penting mengingat besarnya
dampak korupsi bagi kemajuan Indonesia.44
Dalam Action Plan yang dikeluarkan oleh PBB dan Bank Dunia untuk
mendukung pelaksanaan StAR Initiative, negara berkembang diminta untuk
menyiapkan dan memperkuat rejim anti-pencucuian uang melalui penguatan
42
Lihat United Nation, Launch of Asset Recovery Initiative, 17
(http://go.worldbank.org/U2ZCWCDKR0) diakses pada tanggal 15 November 2007.
September
2007
43
Bismar Nasution, Anti Pencucian Uang: Teori dan Praktek, (Bandung: Books Terrace & Library, 2010),
hlm. 137-138.
44
Ibid.
AssetRecovery|23
financial intelligence unit (FIU). Dalam konteks StAR Initiative ini, optimalisasi
rezim anti-pencucian uang merupakan sebuah keharusan mengingat institusi ini
dapat membantu proses pengembalian aset, baik dari segi penyelidikan,
penyidikan maupun proses persidangan para koruptor. Setidak-tidaknya ada
beberapa kelebihan dari rezim anti-pencucian uang dalam membantu StAR I,
yaitu:45
Pertama, rezim anti-pencucian uang telah mengintegrasikan berbagai sektor
seperti lembaga penyedia jasa keuangan, bea cukai, aparat penegak hukum
sehingga pemberantasan korupsi dan proses pengembalian aset dapat berjalan
lebih terarah dan terorganisir.
Kedua, PPATK sebagai anggota The Egmont Group (TEG) yang merupakan
wadah FIU se-dunia mempunyai akses untuk melacak jalur uang atau mencari
alat bukti lainnya di negara-negara anggota TEG tersebut. Lebih jauh PPATK
dapat menyediakan informasi mengenai assets tracing, jumlah, identitas pemilik
dan linkage dari koruptor pemilik uang yang dilarikan ke luar negeri melalui jasa
penyediaan keuangan. Hal ini tentunya sangat membantu aparat penegak hukum
dalam proses pengumpulan alat bukti untuk kepentingan proses persidangan.
Ketiga, UU TPPU memberikan dasar hukum kepada aparat hakim untuk
menyita dan merampas harta kekayaan milik terdakwa walaupun terdakwa
meninggal dunia sebelum putusan hakim dijatuhkan.
Keempat, rezim anti-pencucian uang membantu dalam hal mengidentifikasi
terjadinya praktik korupsi. UU TPPU mewajibkan penyedia jasa keuangan (PJK)
untuk melaksanakan prinsip know your principle (KYC) dan melaporkan transaksi
yang tidak sesuai dengan profile (transaksi yang mencurigakan) kepada PPATK.
Hal ini dapat menjadi indikasi pertama dari terjadinya tindak pidana termasuk
korupsi karena apabila si pengguna PJK yang dicurigai tersebut melakukan
transaksi diluar profile-nya, maka PPATK dapat mulai melakukan penyelidikan
tentang asal-usul uang dari si pengguna PJK tersebut.
Salah satu upaya hukum yang dapat diterapkan dalam StAR I adalah Mutual
Legal Assistance (MLA). Dalam hal ini, MLA bagaikan napas dari upaya
pengembalian aset-aset yang telah dicuri oleh para koruptor. MLA merupakan
permintaan bantuan dalam masalah pidana berkenaan dengan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan negara diminta. MLA ini pula menjadi suatu
instrumen hukum yang sangat berguna dikarenakan banyaknya aset curian
tersebut yang diparkirkan di luar negeri yang seringkali mempunyai sistem
hukum atau politik yang sangat berbeda dengan Indonesia.
Namun dalam praktiknya selama ini sulit sekali untuk mengembalikan asetaset yang dicuri oleh para koruptor kepada negara. Kelemahan dari segi regulasi
dan sumber daya manusia (SDM) untuk menginventaris, mencari alat bukti dan
menyita aset-aset yang banyak dilarikan oleh para koruptor ke luar negeri masih
menjadi salah satu hambatan terbesar dari pemerintah Indonesia. Memang
dengan disahkannya UU TPPU dan UU MLA, sedikit banyaknya telah
45
Ibid.
24|EdiNasution
membantu aparat penegak hukum dalam mencari mencari informasi, alat bukti
atau menyita aset di luar negeri.46 Namun dalam hal pembuktian di dalam proses
peradilan seringkali pemerintah Indonesia mengalami kesulitan untuk
membuktikan unsur yang didakwakan. Selain itu sering juga pemerintah
mengalami kesulitan dalam persidangan karena berbagai masalah prosedural
seperti kurang lengkapnya alat bukti, terdakwa sakit, hilang atau meninggal
dunia. Hal ini terlihat dalam kasus persidangan Syamsul Nursalim yang menjadi
tersangka dalam kasus korupsi penyalahgunaan dana BLBI. Dengan alasan sakit,
Syamsul kabur ke Singapura sehingga menyebabkan proses persidangannya
tertunda. Padahal Syamsul diperkirakan telah mencuri aset sebesar Rp. 10
trilyun.47
Pada dasarnya hambatan-hambatan itulah yang menjadi tantangan bagi
berhasil atau tidaknya pelaksanaan StAR I di Indonesia. Tanpa adanya putusan
dari pengadilan, akan sangat sulit bagi Indonesia untuk meminta bantuan negara
lain untuk mengambil aset para koruptor yang ada di negara (yurisdiksi) lain
karena adanya asas double criminality yang dianut oleh sebagian negara-negara
tersebut. Selain itu, mengingat mudahnya pemindahan aset melalui jasa
perbankan (wire transfer), dan tertundanya persidangan yang diakibatkan oleh
kaburnya terdakwa dapat memberikan kesempatan bagi terdakwa itu untuk
memindahkan asetnya. Bahkan menurut data yang dikeluarkan oleh Merril
Lynch, aset para koruptor Indonesia di Singapura mencapai 87 miliar dolar AS
atau sekitar Rp 870 triliun.48 Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah
memikirkan suatu cara baru untuk memerangi tindak pidana korupsi. Dalam
hal ini, PPATK sebagai lembaga pemerintah yang ditugaskankan untuk itu
tengah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset
tindak Pidana.49
RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ini dibuat dengan pertimbangan,
yaitu: (1) bahwa sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset
hasil tindak pidana berikut instrumen yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana, pada saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukum yang
berkeadilan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan (2)
bahwa pengaturan yang jelas dan komprehensif mengenai pengelolaan aset yang
telah dirampas akan mendorong terwujudnya penegakan hukum yang
profesional, transparan, dan akuntabel. Ketiga, bahwa berdasarkan pertimbangan
pertama dan kedua, maka perlu membentuk Undang-Undang tentang
46
Bismar Nasution, Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif HUkum Ekonomi di Indonesia,
Makalah disampaikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2007, Pengembalian Aset (Asset Recovery)
Melalui Instrumen Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative dan Perundang-Undangan Indonesia Hotel Millenium
Jakarta 28-29 November 2007.
47
Politik Indonesia, Lagi, Syamsul Nursalim Dikejar
http://www.politikindonesia.com/readhead.php?id=333. [02-04-13].
48
Pikiran Rakyat, 80% Koruptor Kakap Kabur,
rakyat.com/cetak/2007/042007/27/0101.htm. [02-04-13].
Interpol,
18
Juli
2003,
49
Berdasarkan salah satu ketentuan yang diatur dalam RUU ini, aset tindak pidana bisa dirampas tanpa
orang itu dihukum lebih dulu. Draft RUU telah dibawa ke Kementerian Hukum dan HAM, lalu akan
diteruskan ke Presiden dan baru ke parlemen. Perampasan aset dimungkinkan untuk dilakukan dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Lihat,
PPATK susun UU Perampasan aset, Antaranews.com, 2 Januari 2013. [05-04-13]
AssetRecovery|25
Perampasan Aset Tindak Pidana; dengan mengingat Pasal 5 ayat (1) dan Pasal
20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.50
Dan penyusunan RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana tersebut
mengacu pada sebuah literatur yang ditujukan sebagai buku panduan atau
pedoman (guidelines) yang disusun secara ilmiah dan berdasarkan penelitianpenelitian yang dilakukan secara kolaborasi dari beberapa kolega yang terkait
dan memiliki kemampuan dalam masalah mekanisme pengembalian aset hasil
kejahatan. Pedoman ini diberi judul Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide
for Non-Conviction Based Asset Forfeiture yang disusun oleh Theodore S. Greenberg,
Linda M. Samuel, Wingate Grant, dan Larissa Gray.51
Boleh dikatakan bahwa Mutual Legal Assistance (MLA) bagaikan napas dari
upaya pengembalian aset-aset yang telah dicuri oleh para koruptor di negaranya.
MLA adalah instrumen hukum yang sangat berguna sekarang ini karena saking
banyaknya aset curian yang diparkir di luar negeri yang sering kali mempunyai
sistem hukum atau politik yang sangat berbeda antara satu negara dengan negara
lain.52
Rezim MLA di Indonesia sudah ada sejak tahun 1999 dimana Indonesia
telah meratifikasi perjanjian bilateral dengan aparat penegak hukum di Australia.
Pengintegrasian MLA ke dalam regulasi nasional kemudian dilakukan oleh
pemerintah Indonesia melalui Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (UU MLA) setelah
mendatangani dan meratifikasi United Nations Convention against Corruption
(UNCAC). Selain itu Indonesia juga telah membuat perjanjian (treaty) bilateral
mengenai MLA dengan beberapa negara lain seperti China dan Korea, serta
menjadi penandatangan Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters yang
melibatkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara (like minded countries).53
50
Muhammad Yusuf, Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana: Solusi Pemberantsan Korupsi Di Indonesia,
(Jakarta: Pustaka Juanda Tigalima, 2012), hlm. 240
51
Dalam penyusunan pedoman ini dilakukan berdasarkan pada keahlian dan pengalaman dari tim ahli
yang telah melakukan profesionalismenya terhadap perampasan aset pidana dan perampasan in rem atau
keduanya setiap harinya. Secara metodologi literature pedoman ini memberikan pendekatan dalam bentuk 36
(tiga puluh enam) konsep utama (Key Concept), yang merupakan rekomendasi dari tim ahli yang telah
melakukan penelaahan dan penelitian pada bidangnya masing-masing. Kunci-kunci konsep (Keys Concept) inilah
yang akan menjadi dasar acuan dan petunjuk bagi negara-negara yang telah melakukan rativikasi terhadap hasil
konvensi UNCAC dalam melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi. Ke-36 (tiga puluh enam) konsep tersebut disusun dalam 8 (delapan) section tittle sebagai
penggolongan ruang lingkup penggunaan konsepnya, yaitu: Prime Imperatives (Acuan Utama) terdiri dari 4
(empat) konsep kunci; Defining Assets and Offenses Subject to NCB Asset Forfeiture (Mendefinisikan Aktiva dan
Pelanggaran Berdasarkan Perampasan Aset tanpa putusan Pidana) terdiri dari 5 (lima) konsep kunci; Measures
for Investigation and Preservation of Assets (Langkah-langkah untuk Penyelidikan dan Pengelolaan Aset) terdiri dari
3 (tiga) konsep kunci; Procedural and Evidentiary Concepts (Konsep Prosedural dan Pembuktian) terdiri dari 5
(lima) konsep kunci; Parties to Proceedings and Notice Requirements (Para Pihak yang Dapat Turut-serta Dalam
Proses dan Pengajuan Persyaratan) terdiri dari 5 (lima) konsep kunci; Judgment Proceedings (Prosedur Putusan)
terdiri dari 4 (empat) konsep kunci; Organizational Considerations and Asset Management (Beberapa Pertimbangan
terkait Organisasi dan Pengelolaan Aset) terdiri dari 4 (empat) konsep kunci; dan International Cooperation and
Asset Recovery (Kerjasama internasional dan Pemulihan Aset) terdiri dari 6 (enam) konsep kunci. Ibid, hal. 120121.
52
Muhammad Yusuf, Miskinkan Koruptor: Pembuktian Terbalik Solusi Yang Terabaikan, (Jakarta: Pustaka
Juanda Tigalima, 2013), hal. 146-147.
53
Ibid.
26|EdiNasution
54
Ibid.
55
Ibid.
56
Ibid.
57
Ibid.
58
Ibid.
AssetRecovery|27
59
Ibid.
60
Daniel Thelesklaf, Using the anti-money laundering framework to trace assets dalam Tracing Stolen
Assets: A Practitioners Handbook, (Switzerland: Basel Institute on Governance, International Centre for Asset
Recovery, 2009), hlm. 61.
61
Ibid.
28|EdiNasution
Investigates
incountry
Publicofficial
Company
fromcountryA
incountry
holds
account
for
company
canmake
information
Discoverssuspicious
transactionto
Bank
shellcompanyin
incountry
ofshoreinancial
center,heldby
reports
suspicous
FIU
incountry
sharesinformation
FIU
incountry
62
AssetRecovery|29
63
Ibid.
30|EdiNasution
tujuan dan sifat dari hubungan bisnis; dan (d) melakukan due diligence yang
berlangsung dalam hubungan bisnis. Untuk itu, dokumen-dokumen dari lembaga
keuangan harus dikumpulkan guna memenuhi persyaratan bahwa informasi
tentang tujuan dan sifat yang diinginkan dari hubungan bisnis dapat diperoleh,
sehingga dapat menjadi sumber informasi yang sangat berharga bagi penyidik
dalam menelusuri hubungan bisnis yang belum terdeteksi sepanjang pelaksanaan
investigasi. Seringkali, dokumen-dokumen tersebut berupa ringkasan situasi
keuangan klien, berisi informasi tentang hubungan bisnis lain atau sebelumnya
dengan lembaga keuangan lain atau dokumen yang terkait dengan pengacara
atau akuntan.64 Potongan-potongan dari semua informasi itu mempunyai arti
penting dalam rangka penyelidikan dan penyidikan.
Seorang penyidik yang baik akan tahu persis persyaratan yang diwajibkan
lembaga keuangan berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan AML.
Pengetahuan ini memungkinkan penyidik untuk menanyakan pertanyaan yang
tepat sasaran, dan meminta dokumen yang diperlukan, seperti laporan latar
belakang dari hubungan bisnis individu. Biasanya lembaga keuangan besar hanya
dapat memenuhi kewajiban untuk melakukan deteksi terhadap hubungan bisnis
yang sedang berlangsung dengan menggunakan Teknologi Informasi (TI)
berbasis sistem pemantauan transaksi. Sistem ini dirancang untuk menandai
transaksi yang berpontensi mencurigakan sebagai bagian dari program AML
pada lembaga keuangan. Namun demikian, lembaga keuangan masih perlu
melakukan analisis transaksi untuk memastikan apakah transaksi itu
mencurigakan atau tidak. Dalam proses analisis sering membutuhkan tambahan
informasi yang diminta dari klien. Informasi tambahan ini akan, pada gilirannya,
memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai situasi keuangan klien dan
jenis usaha yang dilakukannya. Itu semua merupakan sumber informasi yang
cukup penting bagi penyidik.65
Kerangka kerja (frane work) AML internasional tersebut dapat diterapkan di
suatu negara, dan berpotensi besar bila digunakan oleh peneliti dan jaksa dalam
mencari dan melacak aset pidana asal. Namun, penyidik dan jaksa harus
menyadari persyaratan hukum AML yang relevan. Seorang penyidik atau jaksa
harus terlebih dahulu melakukan kontak yang intens dengan FIU yang ada di
negaranya dan semua badan-badan pengawas untuk memfasilitasi suksesnya
investigasi pelacakan aset dan proses pengadilan.66
Dalam hubungan ini, Pasal 2 huruf f UNCAC metetapkan, bahwa freezing
or seizure shall mean temporarily prohibiting the transfer, conversion, disposition or
movement of property or temporarily assuming custody or control of property on the basis
of an order issued by a court or other competent authority (pembekuan atau
penyitaan berarti pelarangan sementara transfer, konversi, pelepasan atau
pemindahan kekayaan, atau pengawasan sementara atau pengendalian kekayaan
berdasarkan suatu perintah yang dikeluarkan oleh pengadilan atau badan
berwenang lainnya).
64
65
Ibid.
66
AssetRecovery|31
Dalam konteks kerjasama internasional di bidang penegakan hukum, negaranegara Pihak yang telah menandatangani dan meratifikasi Konvensi PBB AntiKorupsi (UNCAC) 2003, sebagai negara korban praktik korupsi memiliki hak
untuk dapat mengembalikan hasil korupsi yang telah dikirim ke luar negeri. Pasal
53 UNCAC dirancang untuk memastikan bahwa setiap Negara Pihak mengakui
Negara Pihak lainnya memiliki legal standing yang sama dalam melakukan
tindakan sipil dan cara langsung lainnya untuk memulihkan properti (harta
kekayaan) yang diperoleh secara ilegal dan dilarikan ke luar negeri. Dalam hal
ini, antara lain termasuk:
(1) sebagai penggugat dalam gugatan perdata, dimana Negara Pihak harus
meninjau persyaratan untuk dapat mengakses Pengadilan bilamana
penggugat adalah sebuah negara asing, karena di banyak yurisdiksi hal
ini dapat memicu masalah yurisdiksi dan prosedural.
(2) sebagai negara yang harus dipulihkan dari kerusakan yang disebabkan oleh
tindak pidana (korupsi). Penerimaan dari korupsi harus dipulihkan hanya
dengan alasan penyitaan, dan Negara Pihak diwajibkan untuk
memungkinkan pengadilan mereka untuk mengenali hak-hak korban
Negara-negara Pihak untuk menerima kompensasi. Hal ini relevan dengan
pelanggaran (tindak pidana) yang telah menyebabkan kerugian di Negara
Pihak lain.
(3) sebagai pihak ketiga yang mengklaim hak kepemilikan dalam prosedur
penyitaan, baik secara perdata maupun pidana. Sebagai negara korban
mungkin saja tidak mengetahui secara pasti prosedur yang akan
dilakukan, maka Negara Pihak perlu memberitahu negara korban untuk
mengikuti prosedur yang berlaku dan membuktikan klaimnya.67
Bilamana aset hasil curian (korupsi) tersebut dapat diidentifikasi, maka aset
haram tersebut harus dikembalikan kepada negara korban. Namun untuk
mewujudkannya dibutuhkan kerjasama internasional yang efektif, adalah suatu
kebutuhan mendasar, sebagaimana tertulis dalam Pasal 54 UNCAC. Tantangannya
adalah pengakuan terhadap perintah penyitaan dari pihak asing. Secara tradisional,
elemen ekstra-teritorial seperti perintah penyitaan sering ditolak karena menyiratkan
nasionalisasi milik pribadi. Dan secara historis, hasil korupsi sangat erat kaitannya
dengan kasus pencucian uang dalam yurisdiksi tertentu dimana hasil-hasil kejahatan
dapat disembunyikan. Sehubungan dengan itu, Pasal 54 ayat 1 (b) UNCAC
mengharuskan setiap Negara Pihak untuk menjamin kemampuan mereka dalam
menyita hasil tindak pidana dari negara lain terkait kasus pencucian uang. Selain itu,
ayat ini juga membuka kemungkinan bagi setiap Negara Pihak untuk menetapkan
proses penyitaan aset secara in rem68. Untuk itu, UNCAC merekomendasikan
pengadopsian dengan perbaikan prosedur untuk kasus-kasus di mana keyakinan
67
Yara Esquitel, The United Nations Convention against Corruption and Asset Recovery: the Trail to
Repatriation, Basel Institute on Governance, (Steinenring 60, 4051 Basel, Switzerland, 2009), hlm. 121-122.
68
In rem maksudnya adalah suatu tindakan hukum untuk melawan aset (properti) itu sendiri, bukan
terhadap individu (in personam), misalnya, Negara vs. $100.000. NCB Asset Forfeiture ini adalah tindakan hukum
yang terpisah dari setiap proses pidana, dan membutuhkan bukti bahwa suatu aset (properti) tertentu
tercemar (ternodai) oleh tindak pidana. Lihat: World Bank, Non-Conviction Based Asset Forfeiture as a
Tool for Asset Recovery, http://www1.worldbank. org/finance/star_site/documents/non-conviction/
part_a_03.pdf, diakses tanggal 5 Agustus 2012.
32|EdiNasution
pidana tidak dapat diperoleh, yaitu ketika terdakwa telah meninggal dunia,
melarikan diri, dan karena hal-hal lainnya. Untuk kasus-kasus seperti ini,
penyusunan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Sipil (Asset Forfeiture)
merupakan solusi yang paling tepat.69
Sekarang ini, asset forfeiture70 merupakan sarana yang cukup penting penting
dalam upaya pengembalian aset (asset recovery). Di beberapa yurisdiksi, Asset
Forfeiture ini juga disebut sebagai civil forfeiture, in rem forfeiture, atau objective
forfeiture, adalah tindakan melawan aset itu sendiri (misalnya, Negara vs.
$100.000) dan bukan terhadap individu (in personam). Asset Forfeiture ini adalah
tindakan yang terpisah dari setiap proses pidana, dan membutuhkan bukti bahwa
suatu properti itu tercemar (ternodai) oleh tindak pidana. Sebagaimana
diketahui bahwa secara umum, tindak pidana harus ditetapkan pada
keseimbangan probabilitas standar pembuktian. Hal ini memudahkan beban
pemerintah (otoritas) bertindak dan itu berarti bahwa dimungkinkan untuk
mendapatkan denda apabila ada bukti yang cukup untuk mendukung keyakinan
pidana. Karena tindakan tersebut tidak melawan terdakwa individu, tetapi
terhadap properti, maka pemilik properti adalah pihak ketiga yang memiliki hak
untuk mempertahankan properti71 yang akan dilakukan tindakan perampasan.72
Asset forfeiture adalah penyitaan dan pengambilalihan suatu aset melalui
gugatan in rem atau gugatan terhadap aset. Konsep Asset Forfeiture didasarkan
pada taint doctrine dimana sebuah tindak pidana dianggap taint (menodai)
sebuah aset yang dipakai atau merupakan hasil dari tindak pidana tersebut.73
Walaupun mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk menyita dan
mengambilalih aset hasil kejahatan (proceeds of crime), akan tetapi Asset forfeiture
69
70
Asset Forfeiture (perampasan aset) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan penyitaan
aset, oleh Negara, baik yang (1) hasil kejahatan atau (2) instrumen kejahatan. Instrumen kejahatan adalah
properti yang digunakan untuk memfasilitasi kejahatan, untuk mobil misalnya digunakan mengangkut
narkotika ilegal. Terminologi asset forfeiture yang digunakan bervariasi dalam yurisdiksi yang berbeda. Lihat:
Asset Forfeiture, http://www.absoluteastronomy.com/ topics/Asset_forfeiture, diakses tanggal 12 Desember
2011. Lihat juga Brenda Grantland yang mengemukakan bahwa asset forfeiture adalah suatu proses di mana
pemerintah secara permanen mengambil properti dari pemilik, tanpa membayar kompensasi yang adil, sebagai
hukuman untuk pelanggaran yang dilakukan oleh properti atau pemilik, adalah salah satu senjata paling
kontroversial dalam hal penegakan hukum semasa Perang Melawan Narkotik. Meskipun telah datang
menjadi trend dalam beberapa tahun terakhir, tetapi asset forfeiture sebenarnya sudah ada sejak zaman Biblical
(Alkitab). Lihat: Brenda Grantland, Asset Forfeiture: Rules and Procedures, http://www.drugtext.
org/library/articles/grantland01.htm, diakses tanggal 12 Desember 2011.
71
World Bank, Non-Conviction Based Asset Forfeiture as a Tool for Asset Recovery,
http://www1.worldbank.org/finance/star_site/documents/non-conviction/part_a_03.pdf, diakses tanggal 12
Desember 2011. Pengertian properti menurut Pasal 2 huruf d UNCAC: adalah Kekayaan berarti aset
bentuk apa pun, baik korporasi atau nonkorporasi, bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud,
dan dokumen atau instrumen hukum yang membuktikan hak atas atau kepentingan dalam aset tersebut
(Property shall mean assets of every kind, whether corporeal or incorporeal, movable or immovable, tangible or intangible,
and legal documents or instruments evidencing title to or interest in such assets). Sedangkan di Pasal 2 angka 13 UU No.
8 Tahun 2010 (UU TPPU), istilah properti diterjemahkan sebagai harta kekayaan, adalah semua benda
bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik
secara langsung maupun tidak langsung.
72
Menurat Pasal 2 huruf g UNCAC, Perampasan yang meliputi pengenaan denda bilamana dapat
diberlakukan, berarti perampasan permanen atas kekayaan dengan perintah pengadilan atau badan berwenang
lainnya (Confiscation, which includes forfeiture where applicable, shall mean the permanent deprivation of property by
order of a court or other competent authority).
73
David Scott Romantz, Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of right and
The Judicial Response: The Guilt of the Res, 28 Suffolk University Law Review, 1994, hlm. 390.
AssetRecovery|33
PENUTUP
74
34|EdiNasution
REFERENSI
Buku
Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
____, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, Bandung: Pustaka, 1990.
____, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum Umum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
MA RI, Himpunan Tanya Jawab Rakerda, 1987-1962, Jakarta.
Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Nasution, Bismar, Anti Pencucian Uang: Teori dan Praktek, Bandung: Books Terrace & Library, 2010.
Saleh, K. Wantjik, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 9
Naskah Akademik
Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan UndangUndang Tentang Perampasan Aset Pidana, Badan Pembinaan Hukum Nnasional (BPHN), Kementerian
Hukum dan HAM RI. 2012.
Makalah
Nasution, Bismar, Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif HUkum Ekonomi di Indonesia, Makalah
disampaikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2007, Pengembalian Aset (Asset Recovery)
Melalui Instrumen Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative dan Perundang-Undangan Indonesia Hotel
Millenium Jakarta 28-29 November 2007.
Internet/artikel
Antaranews.com, PPATK susun UU Perampasan aset, 2 Januari 2013. [05-04-13]
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17781/3/Chapter%20II.pdf. [05-04-13]
Pikiran Rakyat, 80% Koruptor Kakap Kabur, Jumat, 27 April 2007, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/
2007/042007/27/0101.htm. [02-04-13].
Politik Indonesia, Lagi, Syamsul Nursalim Dikejar Interpol, 18 Juli 2003, http://www.politikindonesia.com/
readhead.php?id=333. [02-04-13].
United Nation, Launch of Asset Recovery Initiative, 17 September 2007 (http://go.worldbank.org/
U2ZCWCDKR0) diakses pada tanggal 15 November 2007.
Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Agung (MA) Tanggal 11 November 1976 No.607/K/Sip/1974.
Putusan Mahkamah Agung No. 3089 k/Pdt/1991.
Putusan Mahkamah Agung No. 996 k/Pdt/1989.
~o0o~
AssetRecovery|35