Anda di halaman 1dari 35

PEMULIHAN ASET (ASSET RECOVERY)

DENGAN MENYITA ASET ILEGAL


Oleh: Edi Nasution

PENGANTAR

eberapa konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait dengan


kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) telah diratifikasi oleh pemerintah
Indonesia seperti United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic
drugs and Psychotropic Substances (1988), United Nations Convention on Transnational
Organized Crime (2000), dan United Nations Convention against Corruption (2003).
Konvensi-konvensi PBB tersebut antara lain mengatur mengenai ketentuanketentuan yang berkaitan dengan upaya mengidentifikasi, mendeteksi, dan
membekukan serta perampasan hasil dan instrumen tindak pidana. Sebagai
konsekuensi dari diratifikasinya konvensi-konvensi PBB tersebut mengharuskan
pemerintah Indonesia menyesuaikan ketentuan-ketentuan perundang-undangan
yang ada dengan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam konvensi-konvensi
tersebut.
Indonesia sebagai sebuah negara yang berdasarkan pada hukum (rechtstaat)
dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat), maka upaya
penegakan hukum berpegang pada prinsip-prinsip rule of law yaitu: adanya
supremasi hukum, prinsip persamaan di depan hukum dan terjaminnya hak-hak
asasi manusia oleh undang-undang dan putusan pengadilan. Dalam konteks
ajaran negara kesejahteraan (welfare state) pemerintah Indonesia berkewajiban
untuk mensinergikan upaya penegakan hukum yang berlandaskan pada nilainilai keadilan dengan upaya pencapaian tujuan nasional untuk mewujudkan
kesejahteraan umum bagi masyarakat. Berdasarkan pemikiran seperti ini,
penanganan tindak pidana dengan motif ekonomi harus dilakukan dengan
menggunakan pendekatan yang berkeadilan bagi masyarakat melalui
pengembalian hasil dan instrumen tindak pidana kepada negara untuk
kepentingan masyarakat.1
Berangkat dari kondisi di atas, terlihat adanya kebutuhan yang nyata
terhadap suatu sistem yang memungkinkan dilakukannya penyitaan dan
perampasan hasil dan instrumen tindak pidana secara efektif dan efisien.
Tentunya hal tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai keadilan
dengan tidak melanggar hak-hak perorangan. Pelaku tindak pidana, secara
curang dan berlawanan dengan norma dan ketentuan hukum, mengambil
keuntungan pribadi dengan mengorbankan kepentingan orang lain atau
kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Kejahatan juga memungkinkan

1
Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Pidana, Badan Pembinaan Hukum Nnasional (BPHN),
Kementerian Hukum dan HAM RI. 2012, hlm. 2-3.

AssetRecovery|1

terakumulasinya sumber daya ekonomi yang besar di tangan pelaku tindak


pidana yang seringkali digunakan untuk kepentingan yang bertentangan dengan
kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dengan kata lain, kejahatan
berpotensi merusak tatanan kehidupan bermasyarakat yang bertujuan untuk
mewujudkan keadilan dan kesejahteraan di dalam suatu masyarakat secara
keseluruhan.2
Menyita dan merampas hasil dan intrumen tindak pidana dari pelaku tindak
pidana tidak saja memindahkan sejumlah harta kekayaan dari pelaku kejahatan
kepada masyarakat tetapi juga akan memperbesar kemungkinan masyarakat
untuk mewujudkan tujuan bersama yaitu terbentuknya keadilan dan
kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat. Undang-Undang Dasar negara
republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28D ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sementara itu, pasal 28H (4)
menyatakan bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak
milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.3
Sebagaimana diketahui bahwa beberapa ketentuan pidana di Indonesia sudah
mengatur mengenai kemungkinan untuk menyita serta merampas hasil dan
instrumen tindak pidana seperti dalam KUHP, KUHAP, dan beberapa ketentuan
peraturan perundang-perundangan lainnya. Akan tetapi berdasarkan ketentuanketentuan tersebut, perampasan aset (harta kekayaan) hanya dapat dilaksanakan
setelah pelaku tindak pidana terbukti di pengadilan secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana. Sementara dalam praktiknya terdapat berbagai
kemungkinan yang dapat menghalangi penyelesaian mekanisme penindakan
seperti itu, contohnya tidak ditemukannya atau meninggalnya atau adanya
halangan lain yang mengakibatkan pelaku tindak pidana tidak bisa menjalani
pemeriksaan di pengadilan, atau tidak ditemukannya bukti yang cukup untuk
mengajukan tuntutan ke pengadilan dan juga karena sebab-sebab yang lainnya.

PENGERTIAN DAN TUJUAN PENYITAAN

sensi fundamental sebagai landasan penerapan sita atau penyitaan4,


yang perlu diperhatikan paling tidak ada dua tindakan, yaitu tindakan
hukum eksepsional dan tindakan perampasan. Dalam hal penyitaan
merupakan suatu tindakan hukum eksepsional5, berarti penyitaan merupakan
tindakan hukum yang diambil oleh pengadilan mendahului pemeriksaan pokok

Ibid, hlm.3.

Ibid.

Istilah penyitaan berasal dari terminologi Beslag (bahasa Belanda), dan istilah ini (beslag) juga lazim
dipakai dalam bahasa indonesia, namun istilah bakunya ialah kata sita atau penyitaan. Beberapa
pengertian penyitaan yaitu: (1) tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat selama tindakan paksa berada
ke dalam keadaan penjagaan; (2) tindakan paksa penjagaan (custody) itu diberitahukan secara resmi (official)
berdasarkan permintaan pengadilan atau hakim; dan (3) barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut,
berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas
keputusan hutang debitur atau tergugat dengan jalan menjual lelang (exsekutorial verkoop) barang yang disita
tersebut. Lihat M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 283.
5

Tindakan sita jaminan merupakan upaya hukum dan tindakan hukum pengecualian. Bahwa tidak
selalu proses pemeriksaan perkara harus diikuti dengan tindakan sita jaminan dan sebagai upaya untuk

2|EdiNasution

perkara atau mendahului putusan pengadilan. Seringkali penyitaan dilakukan


pada saat proses pemeriksaan perkara sedang berjalan. Dengan demikian seolaholah pengadilan telah menghukum tergugat lebih dulu, sebelum pengadilan
sendiri menjatuhkan putusan. Tindakan penyitaan membenarkan putusan yang
belum dijatuhkan. Tegasnya, sebelum pengadilan menyatakan pihak tergugat
bersalah berdasarkan putusan, tergugat sudah dijatuhi hukuman berupa
penyitaan harta sengketa atau harta kekayaan tergugat. Itu sebabnya, tindakan
penyitaan merupakan tindakan hukum yang sangat ekspensional. Pengabulan
permohonan penyitaan merupakan tindakan hukum pengecualian, yang
penerapannya mesti dilakukan pengadilan dengan segala pertimbangan yang
hati-hati sekali. Tindakan penyitaan harus didukung fakta-fakta yang kuat dan
mendasar. Karena itu tindakan penyitaan tidak boleh diterapkan secara
serampangan. Jangan sampai terjadi misalnya penyitaan telah diletakkan atas
harta kekayaan tergugat, tetapi gugatan ternyata ditolak oleh pengadilan.
Kebijakan mengabulkan sita jaminan, sejak semula sebaiknya sudah dilandasi
oleh bukti-bukti yang kuat tentang akan dikabulkannya gugatan penggugat.
Oleh karena penjatuhan sita (beslag) seolah-olah merupakan pernyataan
kesalahan tergugat sebelum putusan dijatuhkan, dengan sendirinya tindakan
penyitaan menimbulkan berbagai dampak yang harus dipikul tergugat, antara
lain dari segi kejiwaan. Dengan adanya penyitaan maka tentunya telah
menempatkan tergugat dalam posisi keresahan dan kehilangan harga diri.
Karena di dalam proses persidangan sedang berlangsung, putusan yang akan
dijatuhkan belum tentu akan menghukum dan menyalahkan tergugat. Namun
dengan adanya penyitaan tersebut, kepercayaan masyarakat terhadap tergugat
sudah mulai hilang dan luntur. Itu artinya pengadilan berdampak psikologis.6
Dengan memperhatikan akibat-akibat negatif seperti ini, para hakim harus
dituntut untuk teliti di dalam menjalankan permohonan sita. Hakim harus
menyadari bahwa tindakan penyitaan (sita) tersebut dapat bergerak sangat
eksepsional, dan sita memaksakan kebenaran gugatan,7 dimana sebelum putusan
dijatuhkan kepada tergugat atau sebelum putusan untuk menghukumnya belum
mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrach), tetapi tergugat telah dihukum dan
dinyatakan bersalah dengan jalan menyita harta kekayaannya.

menjamin hak-hak penggugat, andaikata gugatan penggugat dikabulkan karena dimenangkan, maka akan lebih
pasti bahwa putusannya itu dapat dilaksanakan dan ia dapat menikmati kemenangannya tersebut. Oleh karena
alasan yang eksepsional itulah, maka penerapannya haruslah: (a) secara bijaksana Majelis Hakim (Pengadilan)
mempertimbangkan secara hati-hati disertai dasar alas an yang kuat serta didukung pula oleh fakta-fakta yang
mendasar; dan (b) kebijaksanaan mengabulkan sita jaminan, sejak semula didasarkan oleh adanya bukti yang
kuat tentang akan dikabulkannya gugatan penggugat. Lihat R. Soeparmono, Masalah Sita Jaminan (CB) Dalam
Hukum Acara Perdata, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm. 7.
6
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Op.Cit., hlm. 284. Dari segi pelaksanaannya, penyitaan
sifatnya terbuka yang umum. Dalam pelaksanaannya: (1) penyitaan secara fisik dilakukan ditengah-tengah
kehidupan masyarakat sekitarnya; (2) secara resmi disaksikan oleh dua orang saksi maupun oleh kepala desa
namun bisa pula disaksikan oleh masyarakat luas; (3) administratif justisial, dimana penyitaan barang tertentu
harus diumumkan dalam buku register kantor yang bersangkutan yang sesuai dengan asas publisitas. Dengan
demikian jelas bahwa tindakan penyitaan berdampak terdapat psikologis yang sangat merugikan nama baik
atau kredibilitas seseorang baik sebagai pribadi, apalagi sebagai pelaku bisnis. Tindakan penyitaan dapat
meruntuhkan kepercayaan orang atas bonafilitas korporasi dan bisnis yang dijalankan. Pengaruh buruk
tindakan penyitaan dari segi psikologis bukan hanya ditanggung dan menimpa diri pribadi dan bisnis tersita,
tetapi berdampak luas kepada keluarga dalam pergaulan sosial-kemasyaraakatan.
7

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Op.Cit., hlm. 283.

AssetRecovery|3

Pada hakikatnya tindakan penyitaan merupakan perintah perampasan atas


harta sengketa atau harta kekayaan tergugat. Perintah perampasan itu dilakukan
oleh pengadilan dalam surat penetapan berdasarkan permohonan penggugat.
Perampasan harta tergugat tersebut adakalanya bersifat permanen8 dan juga
temporer (sementara)9.
Manakala tindakan penyitaan dimaknai sebagai tindakan perampasan
berdasarkan perintah hakim, makna perampasan dalam penyitaan tidak boleh
diartikan secara sempit dan bersifat mutlak. Karena dengan mengartikannya
secara sempit dan mutlak akan dapat menimbulkan penyalahgunaan lembaga
sita jaminan. Penyalah-gunaan ini terus terjadi dalam praktek sebagai akibat dari
kelemahan menafsirkan arti sita jaminan sebagai perampasan yang mutlak.
Tidak demikian halnya bahwa sita atau penyitaan sebagai tindakan-tindakan
perampasan harta sengketa atau harta kekayaan tergugat bukan bersifat mutlak
terlepas dari hak dan penguasaan serta pengusahaan barang yang disita dari
tangan tergugat. Oleh karena itu, agar tidak terjadi kesalahan penafsiran maupun
penyalahgunaannya maka perlu diketahui acuan yang tepat dan proposional
untuk memberlakukan barang sitaan. Acuan yang mesti dipedomani terhadap
perlakuan barang sitaan terutama bagi hakim adalah:
a. Sita semata-mata hanya sebagai jaminan.
Istilah, maksud dan esensi jaminan, harta yang disita ditunjukkan
untuk menjamin gugatan tergugat, agar gugatan itu tidak ilusioner.
b. Hak atas benda sitaan tetap dimiliki tergugat.
Sekalipun barang yang disita dirampas atas perintah hakim, hak milik
atas barang tersebut masih tetap berada di tangan tergugat sampai
putusan dieksekusi. Keliru sekali anggapan sementara pihak-pihak
maupun hakim, yang berpendapat sita bersifat melepaskan hak milik
tergugat atas barang yang disita sejak tanggal berita acara sita dibuat.
c. Penguasaan benda sitaan tetap dipegang tergugat.
Sejalan dengan acuan yang menegaskan hak milik atas benda sitaan
tidak tanggal (lepas) dari kekuasaan tergugat, maka penguasaan atas
benda sitaan tetap berada ditangan tergugat. Maka sungguh keliru
praktik hukum yang mengabsahkan pelimpahan benda sitaan
berpindah ke tangan penggugat. Penerapan dan praktek hukum yang
seperti itu, jelas bertentangan Pasal 197 ayat 9 HIR atau Pasal 212
Rbg.10

8
Penyitaan bisa bersifat permanen, apabila penyitaan kelak dilanjutkan dengan perintah penyerahan
kepada Penggugat berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau apabila penyitaan
dilanjutkan kelak dengan penjualan lelang untuk melunasi pembayaran hutang tergugat kepada penggugat.
9
Penyitaan yang dilakukan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat dapat dinyatakan bersifat
temporer apabila hakim memerintahkan pengangkatan sita. Perintah pengangkatan sita jaminan yang seperti ini
terjadi berdasarkan surat penetapan pada saat proses persidangan mulai berlangsung, dan bisa juga dilakukan
hakim sekaligus pada saat menjatuhkan putusan, apabila gugatan penggugat ditolak.

10
Pasal ini memberikan kewenangan kepada hakim atau juru sita untuk menyerahkan penjagaan,
penguasaan, dan pengusahaan barang yang disita ditangan penggugat atau dibawah penjagaan pengadilan.

4|EdiNasution

Pada pasal tersebut secara tegas ditentukan bahwa juru sita atau
penyita meninggalkan barang yang disita dalam keadaan semula
ditempat dimana barang itu disita. Dan si tersita disuruh untuk
menyimpan atau menjaganya. Sekalipun untuk membawa dan
menyimpan sebagian barang di tempat penyimpanan yang dianggap
patut, namun penjagaan dan penguasaan hak miliknya tetap ditangan
si tersita, dengan pemberitahuan kepada polisi agar barang tersebut
tidak dilarikan orang.
Tujuan utama tindakan penyitaan adalah agar tergugat tidak memindahkan
atau membebankan harta kekayaan kepada pihak ke tiga. Dalam hal pelaksanaan
sita jaminan bertujuan untuk menjaga keutuhan keberadaan harta atau harta
kekayaan tergugat selama proses pemeriksaan perkara berlangsung sampai
perkara memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan adanya
perintah penyitaan atas harta tergugat atas harta sengketa, secara hukum telah
terjamin keutuhan keberadaan barang yang disita, misalnya di dalam contoh
surat gugatan perkara harta bersama dalam perkara warisan dimana pada
bagian petitum biasanya dimohonkan kepada hakim agar dilakukan sita
jaminan terhadap barang-barang yang disengketakan.11 Karena itu sita
jaminan harus diajukan oleh pihak penggugat selama perkara berlangsung guna
menjaga keutuhan barang barang yang menjadi objek sengketa.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelas bahwa sita jaminan merupakan
upaya hukum agar tercipta keutuhan dan keberadaan harta yang disita sampai
keputusan dapat dieksekusi, guna menjaga agar gugatan pada saat proses
eksekusi tiba menjadi tidak hampa. Sehingga dengan telah diletakkannya sita
pada harta sengketa atau harta kekayaan tergugat, serta pelaksanaan penyitaan
telah didaftarkan dan diumumkan kepada masyarakat12, maka terhitung sejak
tanggal pendaftaran dan pengumuman sita, (sesuai dengan Pasal 213 Rbg), telah
digariskan akibat hukumnya seperti yang diatur dalam Pasal 215 Rbg) yaitu :
1. Demi hukum melarang tergugat untuk menjual, memindahkan barang
sitaan kepada siapa pun.
2. Pelanggaran atas itu, menimbulkan dua sisi akibat hukum:
a. Akibat hukum dari segi perdata.
Apabila barang menjadi objek sengketa dilakukan tindakan jual beli
atau penindahan hak atau barang tersebut maka tindakan atau
perbuatan tersebut batal demi hukum.

11
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000), hlm. 57.
12
Hal ini sesuai dengan ketentuan 198 HIR yang berbunyi: (1) Apabila yang disita barang tetap, maka
berita acara penyitaan diumumkan yaitu jika barang tetap itu sudah dibukukan menurut ordonansi tentang
pemindahan barang tetap dan tentang membukukan hipotek atas barang itu di Indonesia (S. 1834 Nr. 27),
dengan menyalin berita acara itu dalam daftar yang tersebut dalam pasal 50 dari aturan tentang menjalankan
undang-undang baru dan pemindahan untuk itu (S. 1848 Nr. 10) atau dengan menyalin berita acara itu dalam
daftar yang disediakan untuk maksud itu, di kantor kepaniteraan pengadilan negeri, dalam kedua hal ini dengan
menyebutkan jam, hari, dan tahun itu harus disebut oleh panitera pada surat asal yang dibserikan kepadanya;
(2) Tambahan pula orang yang dipertanggungkan menyita barang itu, member perintah kepada kepala desa
supaya penyitaan itu diumumkan di tempat itu menurut cara yang biasa sehingga diketahui orang yang seluasluasnya. Lihat R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor: Politeia, 1995), hlm. 146.

AssetRecovery|5

Akibat dari batalnya demi perbuatan tindakan tersebut,secara hukum,


status barang tersebut kembali menjadi dalam keadaan semula
sebagai barang sitaan, sehingga tindakan atau perbuatan pemindahan
hak atas barang dianggap tidak pernah terjadi (never existed),
sebagaimana diatur dalam Pasal 215 Rbg.
b. Akibat hukum dari segi pidana.
Dalam hukum pidana, apabila pihak tergugat/yang kena sita
melakukan penjualan atau pemindahan hak dan barang-barang
menjadi sengketa, diancam sesuai Pasal 231 KUHP13, tindakan
pidana yang diancam dengan Pasal 231 KUHP ini adalah berupa
tindak kejahatan yang dengan sengaja melepas barang yang telah
dijatuhi sita menurut peraturan-peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Perbuatan.tindak kejahatan ini diancam dengan pidana
penjara maksimal 4 tahun.
Penyitaan (beslag) secara teknis peradilan adalah salah satu upaya hukum
yang dilakukan penggugat memohonkan diadakannya lembaga sita guna
menjamin dan melindungi hak dan kepentingannya atas harta kekayaan tergugat
agar tetap terjaga keutuhannya sampai diperoleh kekuatan hukum yang tetap
(inkracht). Upaya hokum ini dilakukan untuk menjaga agar tidak ada itikad buruk
(bad faith) dari pada tindakan penggugat yang berusaha melepaskan diri dan
mengelak memenuhi tanggung jawab perdata sesuai putusan pengadilan yang
merupakan kewajibannya, yang timbul karena adanya Perbuatan Melawan
Hukum (Tort) atau Wanprestasi yang telah dilakukannya.
Akibat hukum yang timbul dari tindakan penyitaan ini adalah berupa harta
kekayaan tergugat berada dan ditempatkan di bawah penjagaan dan pengawasan
pengadilan sampai ada perintah pengangkatan atau pencabutan sita. Seandainya
ada tindakan tidak baik dari penggugat (bad faith), maka baik dari segi perdata
dan pidana sudah ada aturan dan ancaman hukum atas perbuatan/ tindakan
tersebut. Namun aturan ini berlaku setelah penyitaan diumumkan melalui
pendaftaran pada buku register kantor yang berwewenang sesuai Pasal 213 Rbg.
Dengan mengaitkan tujuan penyitaan dengan ketentuan Pasal 215 Rbg dan
Pasal 231 KUH Perdata, terjamin perlindungan yang kuat bagi penggugat atas
terpenuhinya pelaksanaan putusan pengadilan pada saat eksekusi dijalankan.14
Tujuan lain yang tidak kalah penting dalam penyitaan, selain memberi kepastian
kepada penggugat bahwa gugatannya telah dijamin dan mempunyai arti dan
nilai apabila gugatannya dikabulkan oleh pengadilan, juga adalah dengan adanya
sita, berarti sudah ada secara pasti objek eksekusi atas kemenangan penggugat,
atau disimpulkan objek eksekusi sudah pasti. Hal ini untuk menjaga agar
kemenangan penggugat tidak ilusioner (hampa) sehingga kemenangan penggugat
ada suatu materinya, yakni barang yang disita tersebut. Dalam hal ini, barang
sitaan dapat langsung diserahkan kepada pihak penggugat, jika sengketa perkara

13
Apabila dirinci tindak kejahatan yang diatur Pasal 231 KUHP adalah tindakan terhadap barang sitaan
berupa: (1) melepaskan barang yang disita, baik menjual, maupun memindahkan hak atas barang yang menjadi
objek sengketa; (2) melepaskan barang yang disimpan atas perintah hakim; dan (3) menyembunyikan barang
yang dilepaskan dari sitaan.
14

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Op.Cit., hlm. 286.

6|EdiNasution

merupakan hak milik, atau barang yang disita dapat dieksekusi melalui penjualan
lelang, jika perkara yang sengketakan merupakan perselisihan hutang-piutang
atau tuntutnan ganti rugi berdasarkan Tort atau Wanprestasi.
Barang yang menjadi objek sitaan dapat langsung menjadi objek eksekusi,
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 214 Rbg, yang menegaskan bahwa setiap
barang yang disita dilarang diperjualbelikan atau dipindahkan tergugat kepada
pihak ketiga atau pihak lain. Dalam hal ini, perbuatan jual-beli merupakan salah
satu perbuatan yang dilarang, dimana jual-beli akan batal demi hukum, apabila
terlebih dahulu telah didaftarkan dan diumumkan. Dalam kasus seperti ini, sita
itu masih tetap menjangkau pihak ketiga atau pihak lain yang ingin memiliki
harta sitaan tersebut, sehingga eksekusi dapat dilaksanakan dan tanpa halangan.15
Namun dalam hal ini, penggugat harus menjelaskan secara terperinci dan
menunjukkan identitas barang yang hendak disita pada saat permohonan sita
diajukan pada Ketua Majelis guna menjaga objek eksekusi yang sudah pasti tadi
benar-benar ada dan sesuai data di lapangan. Misalnya, penggugat harus
menjelaskan letak, ukuran dan batasan-batasannya.16 Lebih lanjut adalah
penegasan MA memberi kepastian atas objek eksekusi yang apabila telah
berketentuan hukum tetap, kemenangan atas penggugat dapat langsung dijamin
dengan pasti terhadap adanya barang sitaan tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa tujuan pokok dari
tindakan penyitaan (sita) adalah: (1) untuk melindungi kepentingan penggugat
dari itikad buruk tergugat sehingga gugatan menjadi tidak hampa (ilusioner),
pada saat putusan setelah berkekuatan hukum tetap; dan (2) memberi jaminan
kepastian hukum bagi Penggugat terhadap kepastian terhadap objek eksekusi,
apabila keputusan telah berkekuatan hukum tetap.
Tindakan penyitaan (sita) tidaklah mungkin dapat dilakukan tanpa
memenuhi syarat-syarat yang telah ada dan berlaku sesuai peraturan perundangundangan. Namun kecukupan syarat-syarat tidaklah cukup dan sempurna
apabila tidak dibarengi dengan adanya alasan-alasan penyitaan. Pertama-tama
syarat penyitaan harus melalui adanya permohonan sita kepada hakim. Hakim
tentunya akan mempelajari permohonan sita tersebut sesuai dengan tata cara
pengajuan permohonan yang berlaku. Syarat penyitaan berdasarkan permohonan
sita merupakan hal yang mendasar, sebab hakim tidaklah akan menjatuhkan sita
apabila tidak ada inisiatif dari pengugat yang mengajukan permohonan sita.
Sita berdasarkan permohonan diajukan dalam surat gugatan. Biasanya,
dalam suatu permohonan sita diajukan bersama-sama di dalam surat gugatan.
Bentuk dan tata cara pengguna permohonan sita jaminan yang seperti ini dalam
praktiknya lazim dijumpai. Penggugat mengajukan permohonan sita secara
tertulis dalam bentuk surat gugatan, sekaligus bersamaan dengan pengajuan
gugatan pokok. Pengajuan permohonan sita dalam bentuk ini tidak dapat
dipisahkan dari dalil gugatan pokok. Apabila permohonan sita diajukan

15
M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, (Bandung: Pustaka,
1990), hlm. 9
16
Kepastian objek eksekusi atas barang sitaan semakin sempurna sesuai dengan penegasan MA yang
menyatakan, bila putusan telah berkekuatan hukum tetap maka barang yang disita demi hukum langsung
menjadi sita eksekusi. Lihat, Himpunan Tanya Jawab Rakerda, MA RI, 1987-1962, hlm. 177.

AssetRecovery|7

bersamaan di dalam gugatan, perumusan permohonan sita di dalam surat


gugatan biasanya mengikuti pedoman yang ada. Pertama, gugatan sita
dirumuskan setelah uraian posita atau dalil gugat. Dengan perumusan dalil
gugat itulah ditentukan layak atau tidaknya diajukan permohonan sita, karena
dari perumusan dalil gugat beserta penjelasan mengenai uraian fakta dan
peristiwa yang mendukung dalil gugat, akan lebih tepat dan lebih mudah
dirumuskan permohonan sita serta alas an-alsan kepentingan penyitaan. Kedua,
permintaan pernyataan sah biasanya diajukan pada petitum kedua. Biasanya
setelah diuraikan perumusan permohonan sita pada akhir posita gugat,
permohonan sita itu dipertegas lagi dalam petitum gugat, yang berisi
permintaan kepada pengadilan supaya sita yang diletakkan atas harta sengketa
atau harta kekayaan tergugat, dinyatakan sah dan berharga. Namun ada kalanya
permohonan sita juga diajukan secara terpisah dari pokok perkara. Dalam bentuk
permohonan seperti ini, penggugat membuatnya atau menyiapkannya dalam
bentuk tersendiri secara terpisah dari gugatan pokok perkara. Penggugat dapat
mengajukan permohonan sita dalam surat yang lain, bahkan dimungkinkan dan
dibolehkan pengajuan permohonan sita tersendiri secara lisan.17
Satu hal penting yang harus diperhatikan dalam hal pengajuan sita adalah
tenggang waktu pengajuan sita, sampai batas waktu kapan permohonan sita
dapat diajukan dan kepada instansi pengadilan mana saja pengajuan sita jaminan
yang dibenarkan oleh hukum.18 Penentuan tenggang waktu pengajuan
permohonan sita diatur dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg. Menurut ketentuan
perundang- undangan yang berlaku, pengajuan permohonan sita dapat
dilakukan:
1) Selama putusan belum dijatuhkan atau selama belum berkekuatan
hukum tetap.
Menurut Pasal 261 ayat 1 Rbg, ketentuan tenggang waktu ini yang
dibenarkan karena hukum yaitu selama putusan belum dijatuhkan atau
selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi selama
putusan perkara belum diputus oleh hakim atau selama putusan belum
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, masih terbuka hak dan
kesempatan untuk mengajukan permohonan sita.
2) Sejak mulai berlangsung pemeriksaan perkara di sidang pengadilan negeri
sampai putusan dijatuhkan.
Dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg ada ketentuan yang berbunyi selama
putusan belum dijatuhkan. Makna dan penafsiran kalimat tersebut
menurut penulis terbatas pada ruang lingkup proses pemeriksaan sidang
pengadilan negeri. Sehingga jika proses pemeriksaan diinstansi
pengadilan negeri masih berlangsung, maka dapat diajukan permohonan
sita.

17
Namun di dalam praktiknya, bentuk permohonan sita tersendiri secara lisan jarang terjadi. Tetapi pada
hakekatnya, kelangkaan praktek itu bukan berarti dapat melenyapkan hak penggugat untuk mengajukan
permohonan sita secara lisan.
18

M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, Op.Cit., hlm. 25.

8|EdiNasution

3) Atau selama putusan belum dapat dieksekusi.


Dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg juga memuat ketentuan yang berbunyi
selama putusan belum dapat dieksekusi (dilaksanakan). Selama
putusan belum dapat dilaksanakan mengandung arti yuridis selama
putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang
tetap.19
Berdasarkan ketentuan di atas jelas bahwa permohonan sita dapat
dimohonkan ke pengadilan apabila putusan belum dapat dieksekusi, karena
putusan tersebut masih belum berkekuatan hukum tetap (inkrach), yang dapat
masih dapat dilakukan upaya hukum banding maupun dikasasi. Dalam
hubungan ini, kendati undang-undang secara tegas memberi hak dan
kewenangan kepada hakim untuk menyita harta kekayaan atau harta terpekara
milik tergugat sesuai dengan Pasal 261 Rbg jo. Pasal 206 Rbg, tetapi hakim harus
teliti dan cermat didalam pengabulan terhadap permohonan sita. Ini karena sita
sangat eksepsional sekali sifatnya.
Permohonan sita yang telah dimohonkan selayaknya disempurnakan dengan
adanya alasan sita. Sangat mustahil sekali hakim mau mengabulkan sita apabila
tidak dibarengi dengan suatu alasan sita yang relevan dan logis, serta kuat.
Mengingat sangat eksepsionalnya sifat tindakan penyitaan (sita) ini, maka hakim
harus benar-benar mengamati, memperhatikan, serta menimbang alasan sita
tersebut dengan cermat dan teliti. Jangan sampai permohonan sita itu dikabulkan
tanpa mengkaji pengabulan sita dengan alasan yang dibenarkan oleh hukum.
Sebelum permohonan sita dikabulkan hakim, hakim berhak dan
berwewenang memeriksa fakta-fakta tentang adanya dugaan atau persangkaan
berupa petunjuk-petunjuk pelanggaran hokum (misalnya penggelapan) yang
hendak dilakukan tergugat atas barang-barang yang menjadi objek sengketa.
Apabila alasan sita memang telah sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dan
telah memenuhi unsur persangkaan hakim bahwa perlu dilakukan sita, maka
permohonan sita dapat dikabulkan. Sebaliknya apabila alasan permohonan sita
tidak sesuai dengan fakta-fakta, aturan-aturan, dan unsur-unsur penilaian
persangkaan hakim, maka sewajarnya permohonan sita tersebut ditolak. Hal ini
ditujukan untuk melindungi hak dari tergugat. Walaupun esensi atau alasan
utama sita terletak pada tergugat akan menggelapkan barang yang menjadi
objek perkara, namun perlu diperhatikan pula unsur sita jaminan jangan sampai
terlalu merugikan pihak tergugat.
Dari ketentuan Pasal 261 ayat 1 Rbg dapat kita lihat tentang batas pengajuan
tenggang waktu sita. Namun terkait dengan masalah kewenangan untuk
memerintahkan pelaksanaan sita, masih ada silang pendapat di antara praktisi
hukum.
Pendapat pertama, mutlak menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Menurut
pendukung pendapat ini, hanyalah Pengadilan Negeri yang memmpunyai
kewenangan atas sita. Di dalam undang-undang tidak ada kewenangan yang
diberikan kepada Pengadilan Tinggi (PT) sebagai instansi tingkat banding.

19

Ibid, hlm. 27.

AssetRecovery|9

Sehubungan dengan pendapat ini, telah dirinci aturan penerapan penyitaan


sebagai berikut:
a) Apabila Pengadilan Negeri (PN) menolak sita, maka Pengadilan Tinggi
(PT) tidak berwewenang memerintahkan PN untuk melakukan sita,
kecuali apabila PN mencabut permohonan sita, maka PT berwewenang
penuh untuk mengabulkan sita dengan cara Universitas Sumatera
Utaramembatalkan putusan PN.
b) Apabila penggugat menganggap perlu dilakukan penyitaan, sedangkan
perkara sudah pada tingkat banding, maka permohonan tetap diajukan
kepada PN, karena PN berwewenang penuh memutus pengabulan atau
permohonan sita.
Pendapat kedua, Pengadilan Tinggi (PT) berwewenang memerintah sita.
Menurut Prof. Subekti, Permohonan penyitaan dapat diajukan kepada
Pengadilan Tinggi (PT) selama pokok perkaranya belum diputus oleh pengadilan
tingkat banding, dengan alasan yang berpijak pada Pasal 261 Rbg karena di
dalamnya terdapat kalimat: Sebelum putusan memperoleh kekuatan hukum
tetap. Kalimat tersebut menunjukan bahwa permohonan sita dapat juga
ditujukan kepada PT selama pokok perkaranya belum diputus dalam tingkat
banding.20
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa permohonan sita hanya boleh
dikabulkan dan diletakan terhadap barang-barang yang ditunjuk penggugat.
Penunjukan ini diwajibkan terhadap barang yang ditunjuk secara jelas dan pasti,
baik mengenai sifat, letak, ukuran yang berkaitan dengan identitas barang. Jadi,
kewajiban penggugat sehubungan dengan penunjukan barang yang diminta
untuk disita mengandung unsur: (1) menjelaskan letak, sifat, dan ukuran barang;
(2) mengemukakan surat-surat yang berkenaan dengan identitas barang (bukti
surat barang); dan (3) penegasan positif status barang adalah milik tergugat.21
Pada diri hakim tidak ada kewajiban hukum untuk mencari dan menemukan
identitas atau rincian barang yang menjadi objek sita. Hal ini adalah mutlak
kewajiban penggugat. Oleh karena itu, sangat mustahil bagi penggugat meminta
hakim mencari dan menemukan identitas barang yang hendak disita. Oleh
karena tindakan penyitaan (sita) adalah untuk kepentingan penggugat maka si
penggugat yang mesti menyebut identitasnya secara terang dan pasti.22
Di dalam pengajuan gugatan, penggugat harus dapat menunjukan kepada
hakim tentang adanya relevansi dan urgensi penyitaan dilakukan dalam perkara
yang bersangkutan. Bila ditinjau dari ketentuan Pasal 261 Rbg maupun Pasal 720
Rv, alasan-alasan pokok permintaan sita adalah, sebagai berikut:

20

Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Bina Cipta, 1977), hlm. 49.

21

Namun di antara beberapa unsur kewajiban diatas, ada yang berpendapat tidak mutlak penggugat harus
dapat menunjukan atau mengajukan surat identitas atau surat bukti barang. Menurut praktek yang sudah ada,
dianggap cukup bila penggugat telah mampu menjelaskan unsur, sifat , letak, dan ukurannya, ditambah dengan
unsur penegasan yang positif bahwa barang itu milik tergugat atau setidak- tidaknya dalam kekuasan
tergugat.Intinya adalah penggugat tidak boleh menyebutkan barang objek sita secara umum, meskipun Pasal
1311 KUH Perdata menegaskan segala harta kekayaan debitur menjadi tanggungan untuk membayar utangnya.
Lihat M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Op. Cit., hlm. 291.
22

Ibid.

10|EdiNasution

a. Adanya kekhawatiran atau persangkaan bahwa tergugat berusaha


mencari akal guna menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya,
dimana dilakukan selama proses pemeriksaan perkara berlangsung.
b. Kekhawatiran atau persangkaan itu harus nyata dan mempunyai sifat
yang objektif, dimana:
1) Penggugat harus mampu menunjukan fakta-fakta tentang adanya
langkah-langkah tergugat untuk menggelapkan atau mengasingkan
harta kekayaannya, selama proses pemeriksaan perkara berlangsung.
2) Sekurang-kurangnya, penggugat dapat menunjukan adanya indikasi
objektif tentang adanya upaya untuk menghilangkan atau
mengasingkan barang-barangnya guna menghindari isi gugatan
penggugat.
3) Sesuai dengan pendapat Prof. Supomo yang menjelaskan dalam
peradilan perdata tugas hakim adalah mempertahankan tata hukum
perdata.23 Hakim harus mampu melihat bahwa seandainya sita tidak
diajukan akan menimbulkan kerugian dari pihak penggugat.
Hal tersebut di atas harus diperkuat dengan eratnya isi gugatan dengan
penyitaan, yang apabila penyitaan tidak dilakukan maka timbul kerugian dari
pihak penggugat. Dengan demikian, penggugat tidak dibenarkan mendasarkan
kekhawatiran dan persangkaan secara pribadi saja terhadap tergugat untuk
mengajukan sita. Berdasarkan Pasal 261 Rbg atau Pasal 720 Rv, alasan dapat
dikatakan objektif apabila dilengkapi dengan fakta-fakta atau petunjuk-petunjuk
yang nyata. Hal ini diharuskan karena hakim dapat menolak permohonan sita
apabila alasan sita tidak kuat. Karena menurut undang- undang, yang berhak
menilai alasan sita adalah hakim. Jadi alasan sita harus dapat benar-benar
meyakinkan hakim. Semua alasan-alasan yang diangkat oleh penggugat pada
akhirnya untuk kepentingan tergugat sendiri agar haknya terjamin sekiranya
gugatannya dikabulkan nanti,24 dan telah berkekuatan hukum tetap untuk
dilaksanakan.

BENTUK-BENTUK PENYITAAN

esuai dengan ketentuan perundang-undangam terdapat beberapa bentuk


penyitaan (beslag) berdasarkan jenis, prinsip sita, dan pelaksanaanya, yang
dapat dirinci sebagai berikut:

1. Penyitaan berdasarkan jenisnya


Bentuk penyitaan berdasarkan jenisnya ini mengacu pada posisi hak
milik atau dimana benda tersebut berada sebagai barang objek sengketa.
Bentuk penyitaan berdasarkan jenisnya, ada dua macam, yaitu:

23

K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 9

24

Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 89.

AssetRecovery|11

a. Penyitaan terhadap barang milik sendiri


Penyitaan ini ditujukan kepada harta kekayaan penggugat atau
kreditur yang berada atau dikuasai oleh orang lain. Penyitaan ini
guna menjalankan dan menjamin penyerahan barang yang disita
apabila telah jatuh putusan dari hakim. Jadi, sita jaminan ini bukan
untuk menjamin suatu tagihan utang. Sita jaminan terhadap
barang miliknya sendiri ada dua macam pula, yakni:
1) Sita revindikasi (Revindikatoir) dalam Pasal 260 RBg.
Permintaan untuk mengajukan permohonan sita revindikasi
dapat diajukan secara lisan maupun tertulis kepada ketua
Pengadilan Negeri (PN), dimana tempat orang yang memegang
barang tersebut tinggal. Hal ini agar penyitaan atas barang sitaan
jauh lebih mudah dilaksanakan.
Menurut Pasal 1977 ayat (2) KUH Perdata dan Pasal 1751 KUH
Perdata disebutkan bahwa hanyalah pemilik benda yang bergerak
yang barangnya dikuasai orang lain yang dapat mengajukan sita
revindikasi. Hal ini juga berlaku kepada hak reklame, yaitu hak
daripada penjual barang bergerak untuk meminta kembali
barangnya apabila harga barang tidak dibayar. Pemilik barang
tersebut juga dapat mengajukan sita revindikasi (Pasal 1145 KUH
Perdata dan Pasal 232 KUH Dagang).
Tuntutan revindikasi ini dapat dikabulkan langsung terhadap
orang yang menguasai barang sengketa tanpa meminta
pembatalan lebih dahulu tentang jual beli dan barang yang
dilakukan oleh orang tersebut dengan pihak lain.25
Ada beberapa ciri khas dari bentuk sita revindikasi yaitu antara
lain benda yang menjadi objek sengketa tersebut telah dikuasai
atau berada di tangan tergugat secara tidak sah atau dengan cara
melawan hukum, atau dengan mana tergugat tidak berhak
atasnya. Ciri khas lainnya, sita revindikasi hanya terbatas pada
benda bergerak saja, sehingga tidak mungkin diajukan dan
dikabulkan terhadap benda tidak bergerak, walaupun dalil
gugatan berdasarkan hak milik.26
Selain itu, sita revindikasi hanya dapat dimohonkan berdasarkan
sengketa hak milik, dan dasar alasan sengketa hak milik itu
terbatas pula pada: (1) benda tersebut dikuasai tergugat dengan
jalan melawan hukum (dicuri atau digelapkan); (2) benda tersebut
dikuasai secara tidak sah seperti dari penadahan atau hasil
penipuan.

25

Subekti, Kumpulan Putusan MA, (Bandung: Alumni, 1978), hlm. 243

26

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2009), hlm. 206.
Menurut Pasal 505 KUH Perdata, bahwa barang bergerak ini dapat dibagi atas benda yang dapat dihabiskan
dan benda yang tidak dapat dihabiskan.

12|EdiNasution

Dengan demikian, sita revindikasi tidaklah mungkin diajukan


berdasarkan sengketa utang-piutang atau ganti-kerugian. Ia hanya
khusus bagi sengketa hak milik saja. Pendek kata, benda yang
menjadi objek sengketa sita revindikasi yang didapat oleh
tergugat bukan berdasarkan alasan yang sah, bukan karena jual
beli, bukan karena tukar-menukar, pinjam-meminjam, disewakan
dan lain sebagainya. Seandainya terjadi penguasaan benda sitaan
tersebut berdasarkan suatu alas hukum yang sah, tidak dapat
dimajukan sita revindikasi. Upaya hukum yang dapat dilakukan
adalah sita jaminan atau upaya hukum hak reklame.
Di dalam sita revindikasi, penjagaan dan penguasaan barang
sitaan pada saat sita dikabulkan dan dinyatakan sah dan
berharga, maka hakim secara langsung memerintahkan
penyerahannya secara langsung kepada penggugat, sehingga pada
saat itu pula penjagaan dan penguasaan berpindah ketangan
penggugat. Biasanya, permohonan sita revindikasi diajukan
kepada dhakim dengan tujuan agar barang tergugat yang telah
disita untuk segera diserahkan kepada penggugat selaku pemilik
yang sah atas benda tersebut.
2) Sita marital (Maritale Beslag) dalam Pasal 823-823j Rv.
Permohonan sita marital ini dapat dimohonkan kepada
pengadilan oleh seorang istri, yang tunduk pada hukum perdata
selama proses sengketa perceraian diperiksa di pengadilan. Hal
ini untuk mencegah agar pihak lawannya (suami) tidak
mengasingkan barang-barang tersebut, sesuai Pasal 190 KUH
Perdata dan Pasal 823 Rv. Sita marital adalah sita yang khusus ,
karena tidak diatur di dalam Rbg atau HIR.
Sita marital diatur dalam Pasal 823- Pasal 823j Rv. Sita ini hanya
dapat diajukan terhadap harta perkawinan yakni harta bersama.
Tujuan sita merital jelas untuk menjamin agar harta perkawinan
tetap utuh dan terpelihara sampai perkara mendapat putusan
yang berkekuatan hukum tetap. Sita marital merupakan
pengkhususan yang hanya dapat diajukan berhubungan dengan
adanya perkara perceraian.
Dalam Pasal 215 ayat (1) KUH Perdata disebutkan, bahwa tidak
mengurangi keleluasaan istri untuk mengamankan haknya
dengan mempergunakan upaya-upaya yang diatur dalam hukum
acara perdata. Upaya ini akan berfungsi menyelamatkan
gugatan atau pihak yang berkepentingan dari kemungkinan
illusioner.
Apabila kita mengaitkan Undang- Undang Perkawinan Nomor1
Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
ada isyarat ada hak bagi istri atau suami yang mengajukan
permintaan sita terhadap harta perkawinan selama proses
pemeriksaan perkara perceraian berlangsung. Berdasarkan Pasal
AssetRecovery|13

24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,


suami atau istri diberi hak untuk mengajukan maritale beslag atas
harta perkawinan selama proses perkara perceraian berlangsung,
dan Pengadilan berwewenang untuk mengabulkan maritale
beslag agar terjamin pemeliharaan dan keutuhan harta
perkawinan.
Penerapan sita marital meliputi seluruh harta perkawinan
(terutama apabila terjadi perceraian) yang diartikan bagi seluruh
harta kekayaan bersama (harta gono-gini), baik yang ada pada
suami maupun yang ada pada istri.27
Mengenai permohonan izin penjualan-penjualan harta bersama,
izin penjualan tersebut bersifat voluntair bukan bersifat contentiosa
atau bersifat partai.28 Ini diajukan guna mempermudah proses
beracara dalam permohonan izin untuk penjualan barang sitaan
oleh pengadilan.
b. Penyitaan terhadap barang milik tergugat (debitur)
Penyitaan terhadap barang milik tergugat biasanya disebut dengan
sita
consevatoir
(consevatoir
beslag).
Menurut
Sudikno
Mertokusumo29, sita consevatoir ini merupakan tindakan persiapan
dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada ketua
pengadilan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata.
Penyitaan dapat menjaga barang agar tidak dialihkan atau tidak
dijual. Sifat dari sita consevatoir ini dapat juga berupa tekanan
apabila, barang sitaan tidak sampai dijual. Hal ini terjadi karena
tergugat telah memenuhi prestasinya sebelum putusan dilaksanakan.
Dalam hal penerapannya di peradilan, sita consevatoir atau
consevatoir beslag memiliki banyak arti karena terjadi pengalihan arti
(makna) yang berbeda di antara pengadilan yang satu dengan yang
lain. Contohnya di dalam Yurisprudensi Jawa Barat, Pengadilan
Negeri Bandung mengalihkan Consevatoir Beslag ke dalam bahasa
hukum Indonesia dengan istilah sita pengukuhan, sedangkan
Pengadilan Negeri Sumedang memakai istilah sita jaminan. Selain
itu, ada pula yang mengalihkan istilah Consevatoir Beslag menjadi
Sita Pengabdian. 30 Namun dewasa ini ada kecenderungan
Consevatoir Beslag dialihkan dengan istilah sita jaminan.31 Sita

27

Jika bertitik-tolak pada BAB VII Pasal 35 dan Pasal 36 Undang- Undang Nomor1 Tahun 1974, dapat
dibedakan antara harta kekayaan bersama yang menjadi hak bersama suami-istri, dan harta pribadi (bawaan)
yang menjadi hak penuh secara perseorangan bagi suami atau istri. Jadi, maritale beslag tidak meliputi harta
bawaan atau harta pribadi suami atau istri. Tentang penjualan harta bersama yang telah disita adalah atas izin
hakim27 berdasarkan putusan.
28

Ibid, hlm. 150.

29

Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 93.

30

M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, Op.Cit., hlm. 2.

31

Subekti secara tegas mengalihkan. istilah consevatoir beslag menjadi istilah yang bernama sita jaminan.
Lihat Subekti, Op. Cit., hlm. 48. Hal ini diperkuat dengan adanya SEMA No.05/1975 Tanggal 1 Desember
1975, yang telah mengalihbahasakan consevatoir beslag menjadi sita jaminan. Yurisprudensi juga menguatkan

14|EdiNasution

jaminan ini diatur dalam Pasal 261, yang mempunyai ciri-ciri: (1)
diletakan atas harta yang disengketakan status kepemilikannya; dan
(2) juga bisa diletakan terhadap harta kekayaan tergugat dalam
sengketa utang piutang atau tuntutan ganti rugi.
Dari sisi objeknya, sita jaminan dapat berupa barang bergerak dan
barang tidak bergerak, baik terhadap benda berwujud maupun tidak
berwujud (lychammelijk on lychammelijk). Tentang benda berwujud
tentunya dapat kita temukan dengan mudah. Sedangkan benda tak
berwujud misalnya macam-macam hak32 seperti hak gadai, hak
merek dan lain sebagainya.
Pembebanan sita jaminan bisa hanya terbatas pada barang tertentu
jika gugatan didalilkan berdasarkan sengketa hak milik atas barangbarang tertentu. Namun di lain sisi, sita jaminan juga dapat meliputi
seluruh harta kekayaan tergugat sampai mencukupi seluruh jumlah
tagihan apabila gugatan didasarkan atas utang-piutang atau tuntutan
ganti-kerugian. Adapun tujuan penerapan sita jaminan tidak lain agar
mampu menjamin gugatan penggugat agar tidak illusioner (hampa)
saat putusan telah berkekuatan hukum tetap, sehingga harta yang
dipersengketakan (harta tergugat) yang disita tetap terjamin
keutuhannya sampai tiba waktunya perkara untuk dieksekusi.
Sita jaminan dapat dijalankan sebelum putusan memperoleh
kekuatan hukum tetap. Karena itu, sita jaminan merupakan upaya
hukum yang bersifat eksepsional, yang berbeda dengan sita eksekusi
yang dapat dilaksanakan apabila putusan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Dari segi kewenangan pelaksanaannya, kewenangan
memerintahkan pelaksanaan sita jaminan terletak pada tangan ketua
majelis yang memeriksa perkara tersebut. Ini karena hakim
diperintahkan undang-undang sebagai penilai unsur persangkaan
suatu permohonan sita jaminan.
Satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah berhubungan dengan sita
jaminan yang diletakan atas harta kekayaan tergugat atas jenis
perkara sengketa utang-piutang dan tuntutan ganti-kerugian. Sita
jaminan yang diletakan atas harta kekayaan tergugat dengan
sendirinya akan berubah menjadi sita eksekusi. Hal ini terjadi apabila
gugatan dikabulkan yang terhitung sejak putusan yang bersangkutan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Jadi, sita jaminan menurut
asasnya otomatis menjadi sita eksekusi, apabila telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap. Oleh karena sita jaminan otomatis
mempunyai kekuatan hukum executorial beslag, maka tidak diperlukan
lagi adanya tahapan proses executorial beslag.33

pergantian tempat consevatoir beslag menjadi sita jaminan. Seperti contohnya pada Putusan Mahkamah Agung
(MA) Tanggal 11 November 1976 No.607/K/Sip/1974.
32
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Umum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002),
hlm. 244.
33
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),
hlm. 70

AssetRecovery|15

Adapun masalah penjagaan harta sitaan dalam sita jaminan diatur


tegas dalam Pasal 508 Rv dan Pasal 212 Rbg diberikan pada tersita
(tergugat). Tersitalah yang menjadi penjaganya demi hukum. Tersita
boleh memakai barang yang telah disita dengan syarat harga barang
tersebut tidak boleh turun.
Pengadilan juga memiliki hak untuk memerintahkan penggugat
untuk memberikan jaminan atas permohonan sita. Tujuannya adalah
menutupi biaya kerugian dan bunga yang timbul akibat penyitaan.
Namun hal ini bukanlah salah satu syarat pengabulan sita.
Menurut Sudikno Mertokusumo,34, yang dapat disita berdasarkan sita
jaminan yaitu: (1) sita jaminan atas barang-barang bergerak milik
debitur; (2) sita jaminan atas barang-barang tetap milik debitur; (3)
sita jaminan atas barang-barang bergerak milik debitur yang ada pada
pihak ketiga35; (4) sita jaminan atas kreditur; (5) sita gadai
(pandenbeslag); 6) sita atas barang-barang debitur yang tidak
mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia atau orang
yang bukan penduduk Indonesia; (7) sita jaminan terhadap pesawat
terbang; (8) sita jaminan terhadap barang milik negara, ditambah; dan
(9) sita jaminan atas kapal (menurut pendapat M.Yahya Harahap).36
Penyitaan berdasarkan keadaan hukum terhadap barang yang menjadi objek
sengketa (prinsip sita) sebagai berikut:
1. Rijdende Beslag, adalah sita jaminan yang diletakan atas harta kekayaan
tergugat atas permintaan penggugat. Dalam rijdende beslag yang disita
adalah sarana perusahaan. Penjagaan dan pengusahaan atas perusahaan
tidak boleh diserahkan pada penggugat, jadi kegiatan usaha dari si
tergugat tidak dilarang.
Contohnya apabila pengadilan mengabulkan sita jaminan atas suatu
perusahaan, maka yang boleh disita adalah sarana dan peralatannya saja.
2. Sita Niet Bevinding, merupakan sita dimana barang yang ditunjuk
penggugat dalam permohonan sita tidak diketemukan dilapangan pada
saat pelaksanaan penyitaan, sehingga mengakibatkan pelaksanaan sita
jaminan menjadi gagal.
Dalam SEMA Tanggal 25 April 1961 No.2 Tahun 1962 ditentukan
tentang pengertian niet bevinding dan serta tata cara pembuatan

34

Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 95.

35

Dalam praktiknya tergugat sering mengajukan keberatan atas penyitaan yang diletakkan terhadap harta
kekayaannya dengan dalih, bahwa barang yang disita adalah milih pihak ketiga. Dalil dan ketentuan itu sering
tidak dihiraukan pengadilan dengan alasan, sekiranya benar barang itu milik pihak ketiga, dia dapat
mengajukan keberatan melalui upaya derden verset. Ternyata meskipun sita telah dilakukan diatasnya, tidak ada
muncul perlawanan dari pihak ketiga, oleh karena itu cukup alas an untuk menduga, bahwa harta tersebut milik
tergugat bukan milik pihak ketiga. Tetapi bagaimana seandainya benar-benar milik pihak ketiga? Dalam hal ini,
yang bersangkutan dapat mengajukan perlawanan dalam bentuk derden verset atau perlawanan pihak ketiga
terhadap Conservatoir Beslag, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MA No. 3089 k/Pdt/1991. Derden verset
atas sita jaminan dapat diajukan pemilik selama perkara yang dilawannya itu belum inkrach, tetapi kalau sudah
incrach maka upaya hokum yang dapat dirempuhnya adalah gugatan perdata biasa, sebagaimana Putusan MA
No. 996 k/Pdt/1989.
36

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Op. Cit, h. 353

16|EdiNasution

pernyataan niet bevinding. Pengertian niet bevinding mencaku: (1) secara


nyata barang tidak diketemukan; (2) secara nyata barang tidak ada; (3)
sifat dan jenisnya berbeda dengan apa yang dikemukakan penggugat; dan
(4) batas- batas maupun luas yang di kemukakan penggugat tidak sesuai
dengan pernyataan di lapangan. Sedangkan tata cara niet bevinding
adalah: (1) membuat berita acara niet bevinding yang berisi barang yang
disita tidak diketemukan (proces verbal van niet bevinding); (2) pernyataan
niet bevinding di sidang pengadilan; dan (3) sita niet bevinding tidak mampu
menghapuskan hak pengajuan data dan permohonan sita baru.
3. Sita Penyesuaian (Vergelijkende Beslag), adalah permohonan sita yang
kedua, yang bertujuan untuk menyesuaikan diri pada sita pertama (yang
terdahulu), dimana barang secara nyata telah dipertanggungkan kepada
pihak lain. Jadi barang yang telah diletakan sita, tidak bisa dilakukan sita
untuk yang kedua kalinya. Tindakan yang dibenarkan adalah dilakukan
sita penyesuaian. Tata cara sita penyesuaian dapat kita lihat pada
Putusan MA pada tanggal 19 Agustus 1982 No.1326 k/Sip/1981,
dimana tata caranya adalah membuat catatan dalam berita acara dan
isi catatan berisikan tentang penjelasan status barang yang hendak disita
sedang dalam sita jaminan atau sedang dalam keadaan dianggunkan.
Kedudukan seseorang terhadap barang yang didasarkan atas sita
penyesuaian adalah hanya bersifat pencatatan akan permohonan sita
saja, yang dituangkan dalam berita acara. Selama sita jaminan yang
terdahulu (yang pertama) belum diangkat, kedudukan hanya tercatat saja.
Tetapi bila telah diangkat, status sita penyesuaian menjadi status sita
jaminan.
Dengan demikian, hak penuh atas barang sitaan lahir apabila sita
jaminan yang terdahulu atau agunan telah diangkat. Apabila barang
tersebut dilelang untuk dieksekusi, maka pemegang sita penyesuaian
terbatas pada sisa yang ada. Hal ini karena pemegang sita penyesuaian
tidak mempunyai hak yang sama (berimbang) atau fond-fond gewijs atas
hasil penjualan lelang.
Penyitaan berdasarkan pelaksanaannya sebagai berikut:
1. Sita persiapan (permulaan), adalah penyitaan yang dipergunakan
sebagai persiapan agar putusan dapat dilaksanakan apabila telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sita persiapan bertujuan
untuk menjaga harta yang menjadi sengketa (harta terperkara) agar
tidak dijual atau pindahkan haknya kepada orang lain. Sita ini juga
bertujuan untuk memastikan agar gugatan tidak hampa (illusioner),
dan menjaga kepastian objek eksekusi. Contoh sita persiapan antara
lain: sita jaminan (consevatoir beslag), sita revindikasi (revindicatoir
beslag), dan sita marital (maritale beslag).
2. Sita eksekusi, bertujuan untuk melaksanakan lelang eksekusi harta
tergugat guna memenuhi putusan, apabila keputusan telah
berkekuatan hukum yang tetap. Sita eksekusi yang merupakan sita
yang sesungguhnya dalam artian sita yang dapat melaksanakan
AssetRecovery|17

sebuah isi dari putusan pengadilan, namun sita eksekusi hanya


terbatas pada sengketa utang-piutang dan tuntutan ganti-kerugian
saja.37
3. Sita lanjutan (Voorgezette beslag), yang dapat terjadi karena harta
kekayaan tereksekusi yang disita hanya cukup untuk melunasi
tagihan pemohon sita pertama, sedangkan pemohan selanjutnya
(pemohon lain) tidak dapat apa-apa dari pelaksanaan sita eksekusi
tadi (sita pertama). Untuk itu perlu diajukan sita lanjutan untuk
memenuhi tagihan dari pemohon lainya. Selama masih ada harta
kekayaan tergugat, selama itulah pengadilan dapat memerintahkan
sita lanjutan sampai terpenuhi semua utang yang harus dibayarkan
kepada semua pemohon eksekusi. Namun apabila harta kekayaan
tereksekusi tidak ada lagi, tentunya sita lanjutan tidak dapat
dilaksanakan. Agar sita eksekusi menjadi adil, maka semua pemohon
dimasukan bergabung kedalam sita eksekusi yang pernah ada, yakni
sita eksekusi pertama sekali. Berarti harta hasil penjualan lelang yang
telah dinikmati pemohon eksekusi pertama harus dibagi rata dengan
pemohon eksekusi lainya.
Sita berdasarkan jangka waktunya dapat dibagi dua, yaitu sita yang bersifat
permanen dan sita yang bersifat temporer. Sita yang bersifat permanen biasanya
dikaitkan dengan adanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan
putusan yang berkekuatan hukum tetap, penyitaan kelak dapat dilanjutkan
dengan perintah penyerahan benda atau barang penggugat. Sita yang bersifat
permanen itu bisa juga dilanjutkan dengan melaksanakan penjualan lelang harta
kekayaan tergugat guna melunasi hutang tergugat kepada penggugat dan juga
memenuhi pelaksanaan putusan. Sedangkan untuk sita yang bersifat temporer,
penyitaan yang diletakan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat
dimana sifatnya masih berupa sita persiapan (permulaan) dapat dikatakan
bersifat temporer. Seperti sita jaminan, sita revindikasi ,dan sita marital.
Penyitaan yang bersifat temporer ini belum dilandasi kekuatan hukum yang pasti
berupa Universitas Sumatera Utaraputusan yang telah inkracht. Sewaktu-waktu
sita ini dapat diangkat berdarsarkan suatu surat penetapan pada saat persidangan
berlangsung, maupun pada saat menjatuhkan putusan. Hal ini terjadi bila
gugatan penggugat ditolak oleh hakim.
Setiap jenis penyitaan tersebut di atas mempunyai ruang lingkup yang
berbeda sesuai dengan keadaan sita. Biasanya ruang lingkup penyitaan akan
membatasi dan mengatur bagaimana suatu jenis penyitaan bisa dimohonkan dan
dikabulkan oleh hakim. Ruang lingkup penyitaan berdasarkan jenis-jenis
penyitaan tersebut sebagai berikut:38

37
Dari segi kewenangan, kewenangan memerintahkan sita eksekusi berada pada pimpinan Ketua
Pengadilan Negeri. Hal ini diatur dalam Pasal 206 Rbg. Tentang tata cara pelaksanaan sita eksekusi sama
dengan tata cara sita jaminan. Sita eksekusi timbul akibat tergugat (pihak yang kalah) tidak mau melaksanakan
isi putusan secara sukarela. Dengan demikian salah satu prinsip yang melekat pada eksekusi merupakan
tindakan yang timbul apabila pihak tergugat tidak mau menjalankan isi putusan secara sukarela. Lihat M.
Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan dan Penerapan Eksekusi Bidang Perdata, Op. Cit., hlm. 12
38

Lihat, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17781/3/Chapter%20II.pdf. [05-04-13]

18|EdiNasution

a. Sita revindikasi (revindikatoir beslag).


Permohonan penyitaan pada sita revindikasi hanya terbatas pada
sengketa hak milik saja. Sita ini tidak dapat dimohonkan dalam perkara
sengketa utang-piutang atau tuntutan ganti-kerugian.
Barang yang menjadi objek sengketa berada ditangan pihak lain
(tergugat), padahal barang tersebut adalah milik dari pemohon sita
(penggugat). Barang sitaan tersebut diperoleh dari si pemilik dengan cara
yang tidak sah atau dengan cara melawan hukum atau dimana tergugat
tidak berhak atasanya. Jadi dalam sita revindikasi, yang dapat
memohonkan sita ini adalah pemilik barang yang barangnya dikuasai
oleh orang lain. Objek benda sita revindikasi hanya terbatas pada bendabenda bergerak saja, sehingga dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup
sita revindikasi hanya sebatas pada bisa diletakan terhadap benda
bergerak saja, dengan berdasarkan gugatan hak milik dimana benda itu
dikuasai secara tidak Universitas Sumatera Utarasah dan melawan
hukum. Sita revindikasi contohnya bisa diletakkan dalam transaksi
pinjam-meminjam, sesuai dengan Pasal 1751 KUH Perdata. Selain itu
bisa juga dilakukan terhadap tuntutan hukum berdasarkan hak reklame.
b. Sita marital (maritale beslag).
Apabila kita melihat secara sempit dalam Pasal 190 KUH Perdata
maupun Pasal 24 ayat (2) huruf c PP Tahun 1975, penerapan lembaga
sita marital hanya terbatas pada perkara gugatan perceraian
(huwelijksantbinding). Namun hal itu adalah dalam artian sempit.
Sedangkan dalam artian yang lebih luas, penerapan sita marital dapat
didasarkan pada sengketa yang timbul antara suami istri, seperti pada
perkara perceraian, pembagian harta bersama, dan perbuatan yang
membahayakan harta bersama.
Sita marital dapat diletakan pada seluruh harta yang diperoleh selama
masa perkawinan, baik yang ada pada suami maupun yang ada pada
istri. Namun sita marital tidak dapat menyentuh harta pribadi atau harta
bawaan suami-istri. Hal ini karena harta bawaan adalah menjadi hak
penuh dari masing-masing suami-istri.
c. Sita jaminan (consevatoir beslag).
Sita jaminan dapat diletakkan terhadap barang-barang milik kreditur.
Barang-barang yang dapat disita barang-barang bergerak dan barangbarang tidak bergerak (lichammelijk on lichammelijk). Dan sita jaminan ini
dapat didasarkan atas gugatan hak milik, utang-piutang, maupun
tuntutan ganti-kerugian. Sita jaminan dapat meliputi seluruh harta si
debitur dan bisa juga hanya bagi barang-barang tertentu jika gugatan
didasarkan pada sengketa hak milik. Sita jaminan bisa dimohonkan oleh
penggugat (kreditur) kepada tergugat (debitur) guna menjamin dapat
dilaksanakannya putusan pengadilan.

AssetRecovery|19

d. Rijdende beslag.
Pada jenis penyitaan ini ruang lingkupnya terbatas karena rijdende beslag
adalah salah satu dari bentuk sita jaminan yang bersifat khusus. Oleh
karena itu rijdende beslag dapat diletakan terhadap benda-benda bergerak
dan benda-benda tidak bergerak. Selain itu, rijdende beslag juga bisa
didasarkan atas sengketa hak milik, utang-piutang, dan tuntutan gantikerugian.
Rijdende beslag juga dapat meliputi seluruh harta debitur maupun hanya
sebagian dari hartanya. Namun rijdende beslag terbatas pada benda-benda
yang berbentuk sarana perusahaan saja, contohnya adalah sita terhadap
gedung-gedung, mobil, dan sebagainya. Jadi rijdende beslaghanya boleh
menyita sarana dan/atau peralatan-peralatan yang mendukung
perusahaan saja. Hal ini tidak termasuk kegiatan usaha dan proses
produksinya.
e. Sita niet bevinding.
Sita niet bevinding hanya bisa diterapkan apabila barang yang menjadi
objek sengketa tidak diketemukan atau tidak ada pada waktu pelaksanaan
sita dilaksanakan. Bisa saja selain barang yang disita tidak ada
dilapangan, barang sitaan tersebut berbeda jenis dan sifatnya antara apa
yang dikemukakan oleh si penggugat dengan yang ada dilapangan. Bisa
juga terdapat perbedaan batas maupun luas, sehingga hal ini dapat
menimbulkan sita niet bevinding.
Karena sita niet bevinding termasuk prinsip yang terkandung dalam sita
jaminan, maka objek sita niet bevinding bisa berupa benda-benda bergerak
maupun benda-benda tidak bergerak. Selain itu, jenis sita niet bevinding ini
juga dapat didasarkan pada gugatan sengketa hak milik, utang-piutang,
dan tuntutan ganti-kerugian.
f.

Sita penyesuaian.
Sita penyesuaian hanya bisa diletakan pada keadaan barang yang
menjadi objek sengketa telah lebih dahulu disita oleh orang lain. Jadi sita
penyesuaian hanya berupa sita karena ada upaya hukum sita yang telah
ada terlebih dahulu sebelum pemohon sita penyesuaian meminta
permohonan sita.
Barang yang menjadi objek sengketa harus sama antara barang yang
menjadi permohonan pemohon sita pertama dengan pemohon sita yang
selanjutunya. Barang yang telah menjadi objek sita tersebut atau barang
yang menjadi sengketa tersebut sudah didaftar di Pengadilan Negeri
sebagai barang yang telah diletakan sita.
Tentang objek sita penyesuaian tidak terbatas pada benda-benda bergerak
saja, terhadap benda-benda tidak bergerak juga bisa. Sita penyesuaian
bisa didasarkan atas sengketa hak milik, utang-piutang, dan tuntutan
ganti-kerugian.

20|EdiNasution

g. Sita eksekusi.
Ruang lingkup sita eksekusi hanya terbatas pada telah adanya keputusan
yang berkukatan hukum tetap. Jadi bila suatu putusan telah berkekuatan
hukum tetap, maka sita eksekusi bisa dilaksanakan. Pemohon sita
eksekusi biasanya pihak yang memenangkan pokok perkara di sidang
peradilan. Sedangkan objek sita eksekusi bisa berupa benda-benda yang
bergerak maupun terhadap benda-benda yang tidak bergerak.
Ada pengecualian dalam perkara yang bisa diajukan dalam sita eksekusi.
Sita eksekusi hanya bisa dimajukan terhadap perkara sengketa utangpiutang dan tuntutan ganti- kerugian saja. Sedangkan dalam sengketa hak
milik tidak bisa. Sita eksekusi tidak bisa diterapkan pada jenis sengketa
hak milik.39 Satu lagi hal yang penting, bahwa sita eksekusi bisa berjalan
apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi putusan secara
sukarela. Sehingga dengan itu diperlukan upaya paksa bahkan sampai
memohon kekuatan umum.
h. Sita lanjutan.
Ruang lingkup penerapan sita lanjutan terbatas pada suatu keadaan
dimana barangbarang yang menjadi barang sitaan tersebut tidak cukup
untuk melunasi seluruh utang-utang dari para kreditor. Hal inilah yang
menjadi alasan timbulnya sita lanjutan. Sita lanjutan biasanya
dimohonkan oleh para kreditor yang belum terpenuhi tagihan atau utangutangnya dari hasil pelaksanaan sita eksekusi yang pertama sekali
dilakukan. Untuk itulah para kreditur itu memohonkan adanya sita
lanjutan guna menuntut haknya.
Sita lanjutan bisa diletakkan terhadap benda-benda bergerak dan bendabenda tidak bergerak. Sita ini juga dapat meliputi seluruh harta kekayaan
debitur sampai semua tagihan para kreditur bisa dilunasi atau terpenuhi.
Dan bisa juga terhadap sebagian harta debitur saja, apabila setelah semua
tagihan para kreditur dapat terpenuhi, dimana masih tersisa harta dari si
debitur.
Dalam praktiknya ada beberapa masalah hukum dalam penyitaan dan
perampasan aset (harta kekayaan) ini, antara lain: 40
(1) Konstruksi sistem hukum pidana di Indonesia belum menempatkan
penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana sebagai
bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan. Misalnya,
kewenangan yang dimiliki penyelidik dan penyidik dalam di dalam
KUHAP belum memungkinkan para penyelidik dan penyidik untuk
melaksanakan penelusuran hasil dan instrumen tindak pidana dengan
baik. KUHAP belum mengatur secara jelas mengenai kewenangan
penyelidik dan penyidik dalam mengakses sumber-sumber informasi yang
diperlukan dalam rangka mengidentifikasi dan menemukan hasil dan

39

M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, Op. Cit., hlm. 17.

40

Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Pidana, Op.Cit., hlm. 19-20.

AssetRecovery|21

instrumen tindak pidana, terutama akses terhadap sumber-sumber


informasi yang dilindungi dengan ketentuan kerahasiaan.
(2) Dalam perkembangan terakhir di dunia internasional, penyitaan dan
perampasan hasil dan instrumen tindak pidana menjadi bagian penting
dari upaya menekan tingkat kejahatan, seperti yang tercantum dalam
UNTOC, UNCAC, yang keduanya telah diratifikasi oleh Indonesia,
namun Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang
sejalan dengan perampasan aset berdasarkan dua konvensi internasional
tersebut, sehingga upaya pengembalian aset tindak pidana yang berada di
luar negeri menjadi sulit untuk diimplementasikan karena belum adanya
ketentuan yang sama.
(3) Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini dinilai belum secara
komprehensif dan rinci mengatur tentang perampasan aset yang terkait
dengan tindak pidana, dan masih memiliki banyak kekurangan
(loophole) jika dibandingkan dengan Non-Conviction Based Asset Forfeiture
(NCB)
yang direkomendasikan oleh PBB dan lembaga-lembaga
internasional lainnya. NCB digunakan apabila proceeding pidana yang
kemudian diikuti dengan pengambilalihan aset (confiscation) tidak dapat
dilakukan, yang bisa diakibatkan oleh beberapa hal, antara lain: (i)
pemilik aset telah meninggal dunia; (ii) berakhirnya proses pidana karena
terdakwa bebas; (iii) penuntutan pidana terjadi dan berhasil tetapi
pengambilalihan aset tidak berhasil; (iv) terdakwa tidak berada dalam
batas jurisdiksi, nama pemilik aset tidak diketahui; dan (v) tidak ada bukti
yang cukup untuk mengawali gugatan pidana.

STOLEN ASSET RECOVERY INITUATIVE (StAR I)

engan telah terjadinya globalisasi dalam tindak pidana serius (serious


crime) seperti tindak pidana pencucian uang (money laundering) misalnya,
maka untuk kepentingan melacak, mengejar dan merampas uang hasil
tindak pidana yang telah dibawa lari atau ditransfer ke luar negeri, maka
pemulihannya dapat dilakukan dalam rangka pengembalian aset (asset recovery).41

41

Asset Recovery memiliki sinonim Investment Recovery. Sinonim lainnya adalah Resources Recovery. Tiga
frase tersebut, sama saja pengertiannya. Adalah frase Asset Recovery yang lazim dipakai di seantero dunia ini.
Dalam bahasa Indonesia Asset Recovery diterjemahkan secara lurus, yaitu Pemulihan Aset. Selanjutnya frase
ini diadaptasikan dalam bahasa hukum Indonesia menjadi Barang Rampasan. Lihat: http://requisitoiremagazine.com/2012/07/17/ asset-recovery/ dakses pada tanggal 15 November 2013. Sementara itu Konvensi
PBB Anti Korupsi (UNCAC 2003) tidak tidak memberikan definisi khusus untuk asset recovery (pemulihan aset).
Konvensi ini hanya menjelaskan bagaimana aset harus dipulihkan dari satu negara ke negara lain. Hal ini
sangat penting bagi banyak negara berkembang di mana korupsi tingkat tinggi telah menjarah kekayaan
nasional, dan di mana sumber daya yang sangat diperlukan untuk rekonstruksi dan rehabilitasi masyarakat di
bawah pemerintahan baru. Kasus klasik dari kleptokrasi, seperti rezim Marsekal Mobutu Sese Seko, yang
memerintah Republik Kongo, atau mantan diktator militer Jenderal Sani Abacha dari Nigeria, mudahmudahan tidak akan terulang. Namun demikian, sejumlah besar dana pemerintah masih dicuri oleh pejabat
publik saat ini dan perlu ditransfer kembali ke pemiliknya yang sah - warga negara. Di Brazil, misalnya, ada
sekitar 493 kasus korupsi. Masing-masing melibatkan sekitar $ 1 juta (atau lebih) dalam 30 yurisdiksi yang
berbeda di mana pemulihan sedang dicoba. Pemulihan aset Oleh karena itu pemulihan aset tidak hanya penting
untuk memperbaiki kerusakan masa lalu tetapi juga untuk menjamin keadilan di masa depan. Lihat:
http://www.giz.de/Themen/de/ dokumente/en-gtz-asset-recovery-2007.pdf diakses pada tanggal 15
November 20137.

22|EdiNasution

Sehubungan dengan itu, United Nations Office on Drugs and Crime dan World
Bank pada bulan September 2007 secara resmi meluncurkan Stolen Asset Recovery
Initiative (StAR I) yang tujuan utamanya adalah pemberian technical dan financial
assistance guna memperkuat kapasitas institusional lembaga-lembaga nasional
dari negara-negara berkembang untuk dapat mengambil kembali aset-asetnya
yang telah dicuri. Secara khusus prakarsa ini mempunyai lima tujuan. Pertama,
membantu membangun kapasitas dalam merespon dan mengajukan permohonan
untuk international mutual legal assistance. Kedua, membantu untuk diadopsinya
dan diberlakukannya aturan mengenai penyitaan, termasuk undang-undang
mengenai penyitaan tanpa hukuman atau kesalahan (civil forfeiture atau nonconviction based forfeiture). Ketiga, membantu peningkatan transparansi dan
akuntabilitas sistem manajemen keuangan publik. Keempat, membantu
membentuk dan memperkuat lembaga anti korupsi nasional. Kelima, membantu
mengawasi (monitoring) dana yang dikembalikan apabila diminta oleh negara
terkait.42
Prakarsa ini juga memberikan panduan untuk dapat memerangi pencurian
aset publik, dimana setidak-tidaknya ada tiga elemen yang harus diperhatikan
dalam penanganannya, yaitu: 43
Pertama, memastikan bahwa tidak akan ada tempat untuk menyimpan hasil
kejahatan sehingga akan menjadi sumbangan yang sangat besar, dengan cara
menaikkan cost untuk melakukan korupsi tingkat tinggi.
Kedua, memerangi korupsi di negara berkembang adalah tanggung jawab
yang sama yang dimiliki oleh negara maju. Salah satu sumber korupsi di negara
berkembang adalah praktek suap, kolusi, dan pendapatan ilegal lainnya yang
berasal dari kantor-kantor atau individu-individu dari negara maju. Dana yang
terlibat selalu tertanam di negara-negara maju.
Ketiga, menghambat aliran dana korupsi dari negara berkembang dan
memulihkan atau memperoleh kembali apa yang sudah dicuri. Untuk itu
memerlukan kerjasama antar negara-negara. Tanpa bantuan dan kerjasama
antara negara-negara, uang yang dicuri akan terus mengalir dari negara-negara
miskin dan pemulihannya bisa menjadi sangat sulit, makan waktu dan biaya
tinggi.
Bagi Indonesia konsep StAR Initiative ini perlu dioptimalkan, mengingat
prakarsa ini berkaitan erat dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi
dan pelarian aset oleh koruptor ke luar negeri yang selama ini menjadi salah satu
isu utama di Indonesia. Prakarsa ini juga sangat penting mengingat besarnya
dampak korupsi bagi kemajuan Indonesia.44
Dalam Action Plan yang dikeluarkan oleh PBB dan Bank Dunia untuk
mendukung pelaksanaan StAR Initiative, negara berkembang diminta untuk
menyiapkan dan memperkuat rejim anti-pencucuian uang melalui penguatan

42
Lihat United Nation, Launch of Asset Recovery Initiative, 17
(http://go.worldbank.org/U2ZCWCDKR0) diakses pada tanggal 15 November 2007.

September

2007

43

Bismar Nasution, Anti Pencucian Uang: Teori dan Praktek, (Bandung: Books Terrace & Library, 2010),
hlm. 137-138.
44

Ibid.

AssetRecovery|23

financial intelligence unit (FIU). Dalam konteks StAR Initiative ini, optimalisasi
rezim anti-pencucian uang merupakan sebuah keharusan mengingat institusi ini
dapat membantu proses pengembalian aset, baik dari segi penyelidikan,
penyidikan maupun proses persidangan para koruptor. Setidak-tidaknya ada
beberapa kelebihan dari rezim anti-pencucian uang dalam membantu StAR I,
yaitu:45
Pertama, rezim anti-pencucian uang telah mengintegrasikan berbagai sektor
seperti lembaga penyedia jasa keuangan, bea cukai, aparat penegak hukum
sehingga pemberantasan korupsi dan proses pengembalian aset dapat berjalan
lebih terarah dan terorganisir.
Kedua, PPATK sebagai anggota The Egmont Group (TEG) yang merupakan
wadah FIU se-dunia mempunyai akses untuk melacak jalur uang atau mencari
alat bukti lainnya di negara-negara anggota TEG tersebut. Lebih jauh PPATK
dapat menyediakan informasi mengenai assets tracing, jumlah, identitas pemilik
dan linkage dari koruptor pemilik uang yang dilarikan ke luar negeri melalui jasa
penyediaan keuangan. Hal ini tentunya sangat membantu aparat penegak hukum
dalam proses pengumpulan alat bukti untuk kepentingan proses persidangan.
Ketiga, UU TPPU memberikan dasar hukum kepada aparat hakim untuk
menyita dan merampas harta kekayaan milik terdakwa walaupun terdakwa
meninggal dunia sebelum putusan hakim dijatuhkan.
Keempat, rezim anti-pencucian uang membantu dalam hal mengidentifikasi
terjadinya praktik korupsi. UU TPPU mewajibkan penyedia jasa keuangan (PJK)
untuk melaksanakan prinsip know your principle (KYC) dan melaporkan transaksi
yang tidak sesuai dengan profile (transaksi yang mencurigakan) kepada PPATK.
Hal ini dapat menjadi indikasi pertama dari terjadinya tindak pidana termasuk
korupsi karena apabila si pengguna PJK yang dicurigai tersebut melakukan
transaksi diluar profile-nya, maka PPATK dapat mulai melakukan penyelidikan
tentang asal-usul uang dari si pengguna PJK tersebut.
Salah satu upaya hukum yang dapat diterapkan dalam StAR I adalah Mutual
Legal Assistance (MLA). Dalam hal ini, MLA bagaikan napas dari upaya
pengembalian aset-aset yang telah dicuri oleh para koruptor. MLA merupakan
permintaan bantuan dalam masalah pidana berkenaan dengan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan negara diminta. MLA ini pula menjadi suatu
instrumen hukum yang sangat berguna dikarenakan banyaknya aset curian
tersebut yang diparkirkan di luar negeri yang seringkali mempunyai sistem
hukum atau politik yang sangat berbeda dengan Indonesia.
Namun dalam praktiknya selama ini sulit sekali untuk mengembalikan asetaset yang dicuri oleh para koruptor kepada negara. Kelemahan dari segi regulasi
dan sumber daya manusia (SDM) untuk menginventaris, mencari alat bukti dan
menyita aset-aset yang banyak dilarikan oleh para koruptor ke luar negeri masih
menjadi salah satu hambatan terbesar dari pemerintah Indonesia. Memang
dengan disahkannya UU TPPU dan UU MLA, sedikit banyaknya telah

45

Ibid.

24|EdiNasution

membantu aparat penegak hukum dalam mencari mencari informasi, alat bukti
atau menyita aset di luar negeri.46 Namun dalam hal pembuktian di dalam proses
peradilan seringkali pemerintah Indonesia mengalami kesulitan untuk
membuktikan unsur yang didakwakan. Selain itu sering juga pemerintah
mengalami kesulitan dalam persidangan karena berbagai masalah prosedural
seperti kurang lengkapnya alat bukti, terdakwa sakit, hilang atau meninggal
dunia. Hal ini terlihat dalam kasus persidangan Syamsul Nursalim yang menjadi
tersangka dalam kasus korupsi penyalahgunaan dana BLBI. Dengan alasan sakit,
Syamsul kabur ke Singapura sehingga menyebabkan proses persidangannya
tertunda. Padahal Syamsul diperkirakan telah mencuri aset sebesar Rp. 10
trilyun.47
Pada dasarnya hambatan-hambatan itulah yang menjadi tantangan bagi
berhasil atau tidaknya pelaksanaan StAR I di Indonesia. Tanpa adanya putusan
dari pengadilan, akan sangat sulit bagi Indonesia untuk meminta bantuan negara
lain untuk mengambil aset para koruptor yang ada di negara (yurisdiksi) lain
karena adanya asas double criminality yang dianut oleh sebagian negara-negara
tersebut. Selain itu, mengingat mudahnya pemindahan aset melalui jasa
perbankan (wire transfer), dan tertundanya persidangan yang diakibatkan oleh
kaburnya terdakwa dapat memberikan kesempatan bagi terdakwa itu untuk
memindahkan asetnya. Bahkan menurut data yang dikeluarkan oleh Merril
Lynch, aset para koruptor Indonesia di Singapura mencapai 87 miliar dolar AS
atau sekitar Rp 870 triliun.48 Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah
memikirkan suatu cara baru untuk memerangi tindak pidana korupsi. Dalam
hal ini, PPATK sebagai lembaga pemerintah yang ditugaskankan untuk itu
tengah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset
tindak Pidana.49
RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ini dibuat dengan pertimbangan,
yaitu: (1) bahwa sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset
hasil tindak pidana berikut instrumen yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana, pada saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukum yang
berkeadilan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan (2)
bahwa pengaturan yang jelas dan komprehensif mengenai pengelolaan aset yang
telah dirampas akan mendorong terwujudnya penegakan hukum yang
profesional, transparan, dan akuntabel. Ketiga, bahwa berdasarkan pertimbangan
pertama dan kedua, maka perlu membentuk Undang-Undang tentang

46
Bismar Nasution, Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif HUkum Ekonomi di Indonesia,
Makalah disampaikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2007, Pengembalian Aset (Asset Recovery)
Melalui Instrumen Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative dan Perundang-Undangan Indonesia Hotel Millenium
Jakarta 28-29 November 2007.

47
Politik Indonesia, Lagi, Syamsul Nursalim Dikejar
http://www.politikindonesia.com/readhead.php?id=333. [02-04-13].
48
Pikiran Rakyat, 80% Koruptor Kakap Kabur,
rakyat.com/cetak/2007/042007/27/0101.htm. [02-04-13].

Interpol,

18

Juli

2003,

Jumat, 27 April 2007, http://www.pikiran-

49
Berdasarkan salah satu ketentuan yang diatur dalam RUU ini, aset tindak pidana bisa dirampas tanpa
orang itu dihukum lebih dulu. Draft RUU telah dibawa ke Kementerian Hukum dan HAM, lalu akan
diteruskan ke Presiden dan baru ke parlemen. Perampasan aset dimungkinkan untuk dilakukan dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Lihat,
PPATK susun UU Perampasan aset, Antaranews.com, 2 Januari 2013. [05-04-13]

AssetRecovery|25

Perampasan Aset Tindak Pidana; dengan mengingat Pasal 5 ayat (1) dan Pasal
20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.50
Dan penyusunan RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana tersebut
mengacu pada sebuah literatur yang ditujukan sebagai buku panduan atau
pedoman (guidelines) yang disusun secara ilmiah dan berdasarkan penelitianpenelitian yang dilakukan secara kolaborasi dari beberapa kolega yang terkait
dan memiliki kemampuan dalam masalah mekanisme pengembalian aset hasil
kejahatan. Pedoman ini diberi judul Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide
for Non-Conviction Based Asset Forfeiture yang disusun oleh Theodore S. Greenberg,
Linda M. Samuel, Wingate Grant, dan Larissa Gray.51
Boleh dikatakan bahwa Mutual Legal Assistance (MLA) bagaikan napas dari
upaya pengembalian aset-aset yang telah dicuri oleh para koruptor di negaranya.
MLA adalah instrumen hukum yang sangat berguna sekarang ini karena saking
banyaknya aset curian yang diparkir di luar negeri yang sering kali mempunyai
sistem hukum atau politik yang sangat berbeda antara satu negara dengan negara
lain.52
Rezim MLA di Indonesia sudah ada sejak tahun 1999 dimana Indonesia
telah meratifikasi perjanjian bilateral dengan aparat penegak hukum di Australia.
Pengintegrasian MLA ke dalam regulasi nasional kemudian dilakukan oleh
pemerintah Indonesia melalui Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (UU MLA) setelah
mendatangani dan meratifikasi United Nations Convention against Corruption
(UNCAC). Selain itu Indonesia juga telah membuat perjanjian (treaty) bilateral
mengenai MLA dengan beberapa negara lain seperti China dan Korea, serta
menjadi penandatangan Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters yang
melibatkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara (like minded countries).53

50
Muhammad Yusuf, Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana: Solusi Pemberantsan Korupsi Di Indonesia,
(Jakarta: Pustaka Juanda Tigalima, 2012), hlm. 240
51
Dalam penyusunan pedoman ini dilakukan berdasarkan pada keahlian dan pengalaman dari tim ahli
yang telah melakukan profesionalismenya terhadap perampasan aset pidana dan perampasan in rem atau
keduanya setiap harinya. Secara metodologi literature pedoman ini memberikan pendekatan dalam bentuk 36
(tiga puluh enam) konsep utama (Key Concept), yang merupakan rekomendasi dari tim ahli yang telah
melakukan penelaahan dan penelitian pada bidangnya masing-masing. Kunci-kunci konsep (Keys Concept) inilah
yang akan menjadi dasar acuan dan petunjuk bagi negara-negara yang telah melakukan rativikasi terhadap hasil
konvensi UNCAC dalam melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi. Ke-36 (tiga puluh enam) konsep tersebut disusun dalam 8 (delapan) section tittle sebagai
penggolongan ruang lingkup penggunaan konsepnya, yaitu: Prime Imperatives (Acuan Utama) terdiri dari 4
(empat) konsep kunci; Defining Assets and Offenses Subject to NCB Asset Forfeiture (Mendefinisikan Aktiva dan
Pelanggaran Berdasarkan Perampasan Aset tanpa putusan Pidana) terdiri dari 5 (lima) konsep kunci; Measures
for Investigation and Preservation of Assets (Langkah-langkah untuk Penyelidikan dan Pengelolaan Aset) terdiri dari
3 (tiga) konsep kunci; Procedural and Evidentiary Concepts (Konsep Prosedural dan Pembuktian) terdiri dari 5
(lima) konsep kunci; Parties to Proceedings and Notice Requirements (Para Pihak yang Dapat Turut-serta Dalam
Proses dan Pengajuan Persyaratan) terdiri dari 5 (lima) konsep kunci; Judgment Proceedings (Prosedur Putusan)
terdiri dari 4 (empat) konsep kunci; Organizational Considerations and Asset Management (Beberapa Pertimbangan
terkait Organisasi dan Pengelolaan Aset) terdiri dari 4 (empat) konsep kunci; dan International Cooperation and
Asset Recovery (Kerjasama internasional dan Pemulihan Aset) terdiri dari 6 (enam) konsep kunci. Ibid, hal. 120121.
52

Muhammad Yusuf, Miskinkan Koruptor: Pembuktian Terbalik Solusi Yang Terabaikan, (Jakarta: Pustaka
Juanda Tigalima, 2013), hal. 146-147.
53

Ibid.

26|EdiNasution

UU MLA bertujuan memberikan dasar hukum bagi Pemerintah Indonesia


agar dapat meminta dan/atau memberikan bantuan timbal balik dalam masalah
pidana. UU MLA juga bertujuan untuk menjadi pedoman dalam membuat
perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan negara asing (lihat
Pasal 2 UU MLA). Dengan adanya UU MLA ini, pemerintah Indonesia dapat
meminta bantuan ke negara lain untuk mempermudah proses hukum para
koruptor seperti meminta alat bukti, menyita aset dan menjalankan keputusan
pengadilan di negara tersebut.54 Di samping itu, UU MLA juga mengatur
mengenai pembagian hasil aset yang berhasil diambil dengan negara yang
membantu. Pembagian tersebut dilakukan untuk menutupi biaya yang timbul
dari proses yang dilakukan dalam rangka bantuan tersebut.55
Secara umum, hadirnya UU MLA atau perjanjian bilateral MLA sangat
membantu upaya Indonesia dalam mengambil kembali aset-aset yang dicuri oleh
koruptor. Keberhasilan pemerintah Indonesia membawa pulang aset yang dicuri
oleh Hendra Raharja dari Australia misalnya, adalah salah satu bukti efektivitas
dari MLA untuk membantu mengambil aset-aset koruptor di luar negeri.56
Namun demikian, UU MLA tidak akan berfungsi dengan sempurna jika tidak
diikuti oleh langkah nyata dari pemerintah untuk menggunakan instrumen ini.
Sedikitnya perjanjian bilateral yang dilakukan Indonesia menunjukkan bahwa
pemerintah Indonesia belum menggunakan instrumen ini secara maksimal, jika
dibandingkan dengan negara-negara lain seperti AS, Filipina atau Thailand yang
telah membuat kurang lebih 50 perjanjian MLA. Selain itu, perjanjian bilateral
maupun multilateral yang sudah ditandangani pun masih ada yang belum
diratifikasi seperti perjanjian bilateral dengan Korea atau perjanjian multilateral di
tingkat ASEAN. Tanpa adanya ratifikasi tersebut, Indonesia tidak dapat meminta
bantuan kepada negara-negara di ASEAN seperti Singapura yang selama ini diduga
sebagai tempat penyimpanan aset-aset para koruptor. 57
Indonesia harus melihat pengalaman dari negara-negara berkembang lainnya
yang dihadapkan pada situasi yang sama dengan Indonesia. Negara-negara
seperti Filipina, Peru dan Nigeria telah berhasil mengambil kembali aset-aset
yang dicuri dengan menggunakan MLA sebagai instrumen utama dalam
prosesnya. Di samping itu perlu juga diperhatikan mengenai aspek cost sharing
dari proses pengambilan aset koruptor tersebut. Saat ini Indonesia belum
memiliki suatu pedoman yang jelas mengenai aspek pembiayaan atau pembagian
hasil, terutama karena tidak semua negara mempunyai ketentuan yang sama.
Oleh karena itu, perlu dibentuk regulasi yang mengatur tentang hal tersebut dan
penyiapan SDM untuk melakukan negosiasi kepada negara yang diminta agar
Indonesia dapat memperoleh hasil yang maksimal dari kerjasama tersebut. 58
Hal inilah yang perlu diperhatikan oleh pemerintah Indonesia. Sebaiknya
pemerintah mulai melakukan suatu upaya refocusing dalam pemberantasan
korupsi. Misalnya, daripada menghabiskan energi untuk mengejar para pelaku

54

Ibid.

55

Ibid.

56

Ibid.

57

Ibid.

58

Ibid.

AssetRecovery|27

koruptor melalui perjanjian ektradisi yang sangat bernuansa politis, maka


pemerintah dapat menggunakan instrumen hukum MLA untuk mengambil aset
para koruptor tersebut. Pengembangan penggunaan instrumen hukum MLA ini
juga sangat diperlukan terutama jika nantinya Indonesia mengadopsi rezim
perampasan aset tanpa pemidanaan yaitu Non-Conviction Base Asset Forfeiture
(NCBF). 59
Dapat diambil satu contoh kasus dalam penerapan MLA, misalnya seorang
penyidik di negara A tengah menyelidiki seorang pejabat publik senior yang diduga
menerima suap dari sebuah perusahaan konstruksi besar Eropa yang berbasis di
negara B. Karena waktu telah berlalu bertahun-tahun sehingga sulit menemukan dan
mengamankan bukti bahwa pejabat publik tersebut telah menerima suap dari
perusahaan konstruksi dimaksud, dan karena itu penyelidik mempertimbangkan
untuk menutup kasus tersebut. Namun dalam kasus ini bank pernah melaporkan
rekening perusahaan konstruksi yang melakukan transaksi mencurigakan dalam
jumlah besar dengan sebuah perusahaan lepas pantai, yang dalam penyelidikan
diduga adalah milik istri dari pejabat publik dimaksud. Dengan sepotong informasi
tersebut, dapatkah kasus suap itu dilanjutkan oleh penyidik?60
Dalam kasus ini, pertama sekali dibutuhkan peran dan kerjasama antar
sesama financial intelligence unit (FIU) yang ada di negara masing-masing.
Berdasarkan ketentuan The Egmont Group sebagai wadah FIU se-dunia,
kerjasama antar sesama FIU dapat dilakukan dengan mekanisme seperti yang
digambarkan dalam bentuk bagan berikut ini:61

59

Ibid.

60

Daniel Thelesklaf, Using the anti-money laundering framework to trace assets dalam Tracing Stolen
Assets: A Practitioners Handbook, (Switzerland: Basel Institute on Governance, International Centre for Asset
Recovery, 2009), hlm. 61.
61

Ibid.

28|EdiNasution

Bagan 1. Kerjasama antar sesama FIU


allegedly
Investigator

Investigates

incountry

Publicofficial

Company

fromcountryA

incountry

holds
account
for
company
canmake
information

Discoverssuspicious
transactionto
Bank
shellcompanyin
incountry
ofshoreinancial
center,heldby
reports
suspicous

FIU
incountry

sharesinformation

FIU
incountry

Sumber: Daniel Thelesklaf (2009)

Kerangka kerja (framework) dari Anti-Pencucian Uang (AML) Internasional


telah diperluas secara signifikan sekitar 20 tahun terakhir ini. Mulai dari
kelompok kecil seperti organisasi untuk kerjasama ekonomi dan pembangunan
(OECD) telah menerapkan standar-standar yang dapat berguna untuk menuntun
bagaimana negara-negara bisa melawan praktik pencucian uang. Standar-standar
ini sekarang sedang dilaksanakan di lebih dari 100 negara, termasuk semua
pusat-pusat keuangan utama di dunia.62

62

Ibid, hal. 62.

AssetRecovery|29

Bagan 2. 'Reverse' Mutual Legal Assistance

Sumber: Daniel Thelesklaf (2009)

Tujuan utama dari sejumlah besar tindakan kriminal adalah untuk


menghasilkan keuntungan bagi pelakunya. Di seluruh dunia, pelaku kriminal
tidak ingin lembaga penegak hukum dapat mendeteksi hasil dari aktivitas
kejahatan mereka. Dalam banyak kasus terlalu sedikit penegak hukum yang
berhasil mengidentifikasi hasil-hasil kejahatan, dan para penjahat tidak ingin
dikaitkan dengan aset-aset yang mereka miliki. Hal ini menjelaskan mengapa
pelaku, dan para profesional yang menawarkan jasa untuk mencuci hasil-hasil
kejahatan guna menyamarkan asalnya yang ilegal. Pencucian uang adalah,
secara ringkas, konversi atau transfer kekayaan dengan mengetahui bahwa
kekayaan tersebut berasal dari pelanggaran serius untuk tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal kekayaan yang tidak sah. Dalam hal
ini, tindak pidana korupsi termasuk dalam kategori kejahatan berat (serious crime)
yang harus dianggap sebagai pelanggaran serius, adalah kejahatan asal (predicate
crime) dari praktik pencucian uang, sesuai dengan standar internasional.63
Adapun langkah-langkah due diligence yang dilakukan terhadap lembaga
keuangan dan bisnis non-finansial meliputi: (a) identifikasi klien dan pelaksanaan
verifikasi; (b) identifikasi beneficial owner dan mengambil langkah-langkah yang
wajar untuk memverifikasi identitas dari beneficial owner; (c) informasi mengenai

63

Ibid.

30|EdiNasution

tujuan dan sifat dari hubungan bisnis; dan (d) melakukan due diligence yang
berlangsung dalam hubungan bisnis. Untuk itu, dokumen-dokumen dari lembaga
keuangan harus dikumpulkan guna memenuhi persyaratan bahwa informasi
tentang tujuan dan sifat yang diinginkan dari hubungan bisnis dapat diperoleh,
sehingga dapat menjadi sumber informasi yang sangat berharga bagi penyidik
dalam menelusuri hubungan bisnis yang belum terdeteksi sepanjang pelaksanaan
investigasi. Seringkali, dokumen-dokumen tersebut berupa ringkasan situasi
keuangan klien, berisi informasi tentang hubungan bisnis lain atau sebelumnya
dengan lembaga keuangan lain atau dokumen yang terkait dengan pengacara
atau akuntan.64 Potongan-potongan dari semua informasi itu mempunyai arti
penting dalam rangka penyelidikan dan penyidikan.
Seorang penyidik yang baik akan tahu persis persyaratan yang diwajibkan
lembaga keuangan berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan AML.
Pengetahuan ini memungkinkan penyidik untuk menanyakan pertanyaan yang
tepat sasaran, dan meminta dokumen yang diperlukan, seperti laporan latar
belakang dari hubungan bisnis individu. Biasanya lembaga keuangan besar hanya
dapat memenuhi kewajiban untuk melakukan deteksi terhadap hubungan bisnis
yang sedang berlangsung dengan menggunakan Teknologi Informasi (TI)
berbasis sistem pemantauan transaksi. Sistem ini dirancang untuk menandai
transaksi yang berpontensi mencurigakan sebagai bagian dari program AML
pada lembaga keuangan. Namun demikian, lembaga keuangan masih perlu
melakukan analisis transaksi untuk memastikan apakah transaksi itu
mencurigakan atau tidak. Dalam proses analisis sering membutuhkan tambahan
informasi yang diminta dari klien. Informasi tambahan ini akan, pada gilirannya,
memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai situasi keuangan klien dan
jenis usaha yang dilakukannya. Itu semua merupakan sumber informasi yang
cukup penting bagi penyidik.65
Kerangka kerja (frane work) AML internasional tersebut dapat diterapkan di
suatu negara, dan berpotensi besar bila digunakan oleh peneliti dan jaksa dalam
mencari dan melacak aset pidana asal. Namun, penyidik dan jaksa harus
menyadari persyaratan hukum AML yang relevan. Seorang penyidik atau jaksa
harus terlebih dahulu melakukan kontak yang intens dengan FIU yang ada di
negaranya dan semua badan-badan pengawas untuk memfasilitasi suksesnya
investigasi pelacakan aset dan proses pengadilan.66
Dalam hubungan ini, Pasal 2 huruf f UNCAC metetapkan, bahwa freezing
or seizure shall mean temporarily prohibiting the transfer, conversion, disposition or
movement of property or temporarily assuming custody or control of property on the basis
of an order issued by a court or other competent authority (pembekuan atau
penyitaan berarti pelarangan sementara transfer, konversi, pelepasan atau
pemindahan kekayaan, atau pengawasan sementara atau pengendalian kekayaan
berdasarkan suatu perintah yang dikeluarkan oleh pengadilan atau badan
berwenang lainnya).

64

Ibid, hal. 64-65.

65

Ibid.

66

Muhammad, Yusuf, Op.Cit. hal. 154.

AssetRecovery|31

Dalam konteks kerjasama internasional di bidang penegakan hukum, negaranegara Pihak yang telah menandatangani dan meratifikasi Konvensi PBB AntiKorupsi (UNCAC) 2003, sebagai negara korban praktik korupsi memiliki hak
untuk dapat mengembalikan hasil korupsi yang telah dikirim ke luar negeri. Pasal
53 UNCAC dirancang untuk memastikan bahwa setiap Negara Pihak mengakui
Negara Pihak lainnya memiliki legal standing yang sama dalam melakukan
tindakan sipil dan cara langsung lainnya untuk memulihkan properti (harta
kekayaan) yang diperoleh secara ilegal dan dilarikan ke luar negeri. Dalam hal
ini, antara lain termasuk:
(1) sebagai penggugat dalam gugatan perdata, dimana Negara Pihak harus
meninjau persyaratan untuk dapat mengakses Pengadilan bilamana
penggugat adalah sebuah negara asing, karena di banyak yurisdiksi hal
ini dapat memicu masalah yurisdiksi dan prosedural.
(2) sebagai negara yang harus dipulihkan dari kerusakan yang disebabkan oleh
tindak pidana (korupsi). Penerimaan dari korupsi harus dipulihkan hanya
dengan alasan penyitaan, dan Negara Pihak diwajibkan untuk
memungkinkan pengadilan mereka untuk mengenali hak-hak korban
Negara-negara Pihak untuk menerima kompensasi. Hal ini relevan dengan
pelanggaran (tindak pidana) yang telah menyebabkan kerugian di Negara
Pihak lain.
(3) sebagai pihak ketiga yang mengklaim hak kepemilikan dalam prosedur
penyitaan, baik secara perdata maupun pidana. Sebagai negara korban
mungkin saja tidak mengetahui secara pasti prosedur yang akan
dilakukan, maka Negara Pihak perlu memberitahu negara korban untuk
mengikuti prosedur yang berlaku dan membuktikan klaimnya.67
Bilamana aset hasil curian (korupsi) tersebut dapat diidentifikasi, maka aset
haram tersebut harus dikembalikan kepada negara korban. Namun untuk
mewujudkannya dibutuhkan kerjasama internasional yang efektif, adalah suatu
kebutuhan mendasar, sebagaimana tertulis dalam Pasal 54 UNCAC. Tantangannya
adalah pengakuan terhadap perintah penyitaan dari pihak asing. Secara tradisional,
elemen ekstra-teritorial seperti perintah penyitaan sering ditolak karena menyiratkan
nasionalisasi milik pribadi. Dan secara historis, hasil korupsi sangat erat kaitannya
dengan kasus pencucian uang dalam yurisdiksi tertentu dimana hasil-hasil kejahatan
dapat disembunyikan. Sehubungan dengan itu, Pasal 54 ayat 1 (b) UNCAC
mengharuskan setiap Negara Pihak untuk menjamin kemampuan mereka dalam
menyita hasil tindak pidana dari negara lain terkait kasus pencucian uang. Selain itu,
ayat ini juga membuka kemungkinan bagi setiap Negara Pihak untuk menetapkan
proses penyitaan aset secara in rem68. Untuk itu, UNCAC merekomendasikan
pengadopsian dengan perbaikan prosedur untuk kasus-kasus di mana keyakinan

67
Yara Esquitel, The United Nations Convention against Corruption and Asset Recovery: the Trail to
Repatriation, Basel Institute on Governance, (Steinenring 60, 4051 Basel, Switzerland, 2009), hlm. 121-122.

68
In rem maksudnya adalah suatu tindakan hukum untuk melawan aset (properti) itu sendiri, bukan
terhadap individu (in personam), misalnya, Negara vs. $100.000. NCB Asset Forfeiture ini adalah tindakan hukum
yang terpisah dari setiap proses pidana, dan membutuhkan bukti bahwa suatu aset (properti) tertentu
tercemar (ternodai) oleh tindak pidana. Lihat: World Bank, Non-Conviction Based Asset Forfeiture as a
Tool for Asset Recovery, http://www1.worldbank. org/finance/star_site/documents/non-conviction/
part_a_03.pdf, diakses tanggal 5 Agustus 2012.

32|EdiNasution

pidana tidak dapat diperoleh, yaitu ketika terdakwa telah meninggal dunia,
melarikan diri, dan karena hal-hal lainnya. Untuk kasus-kasus seperti ini,
penyusunan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Sipil (Asset Forfeiture)
merupakan solusi yang paling tepat.69
Sekarang ini, asset forfeiture70 merupakan sarana yang cukup penting penting
dalam upaya pengembalian aset (asset recovery). Di beberapa yurisdiksi, Asset
Forfeiture ini juga disebut sebagai civil forfeiture, in rem forfeiture, atau objective
forfeiture, adalah tindakan melawan aset itu sendiri (misalnya, Negara vs.
$100.000) dan bukan terhadap individu (in personam). Asset Forfeiture ini adalah
tindakan yang terpisah dari setiap proses pidana, dan membutuhkan bukti bahwa
suatu properti itu tercemar (ternodai) oleh tindak pidana. Sebagaimana
diketahui bahwa secara umum, tindak pidana harus ditetapkan pada
keseimbangan probabilitas standar pembuktian. Hal ini memudahkan beban
pemerintah (otoritas) bertindak dan itu berarti bahwa dimungkinkan untuk
mendapatkan denda apabila ada bukti yang cukup untuk mendukung keyakinan
pidana. Karena tindakan tersebut tidak melawan terdakwa individu, tetapi
terhadap properti, maka pemilik properti adalah pihak ketiga yang memiliki hak
untuk mempertahankan properti71 yang akan dilakukan tindakan perampasan.72
Asset forfeiture adalah penyitaan dan pengambilalihan suatu aset melalui
gugatan in rem atau gugatan terhadap aset. Konsep Asset Forfeiture didasarkan
pada taint doctrine dimana sebuah tindak pidana dianggap taint (menodai)
sebuah aset yang dipakai atau merupakan hasil dari tindak pidana tersebut.73
Walaupun mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk menyita dan
mengambilalih aset hasil kejahatan (proceeds of crime), akan tetapi Asset forfeiture

69

Yara Esquitel, Op.Cit., hlm. 121-122.

70

Asset Forfeiture (perampasan aset) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan penyitaan
aset, oleh Negara, baik yang (1) hasil kejahatan atau (2) instrumen kejahatan. Instrumen kejahatan adalah
properti yang digunakan untuk memfasilitasi kejahatan, untuk mobil misalnya digunakan mengangkut
narkotika ilegal. Terminologi asset forfeiture yang digunakan bervariasi dalam yurisdiksi yang berbeda. Lihat:
Asset Forfeiture, http://www.absoluteastronomy.com/ topics/Asset_forfeiture, diakses tanggal 12 Desember
2011. Lihat juga Brenda Grantland yang mengemukakan bahwa asset forfeiture adalah suatu proses di mana
pemerintah secara permanen mengambil properti dari pemilik, tanpa membayar kompensasi yang adil, sebagai
hukuman untuk pelanggaran yang dilakukan oleh properti atau pemilik, adalah salah satu senjata paling
kontroversial dalam hal penegakan hukum semasa Perang Melawan Narkotik. Meskipun telah datang
menjadi trend dalam beberapa tahun terakhir, tetapi asset forfeiture sebenarnya sudah ada sejak zaman Biblical
(Alkitab). Lihat: Brenda Grantland, Asset Forfeiture: Rules and Procedures, http://www.drugtext.
org/library/articles/grantland01.htm, diakses tanggal 12 Desember 2011.
71
World Bank, Non-Conviction Based Asset Forfeiture as a Tool for Asset Recovery,
http://www1.worldbank.org/finance/star_site/documents/non-conviction/part_a_03.pdf, diakses tanggal 12
Desember 2011. Pengertian properti menurut Pasal 2 huruf d UNCAC: adalah Kekayaan berarti aset
bentuk apa pun, baik korporasi atau nonkorporasi, bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud,
dan dokumen atau instrumen hukum yang membuktikan hak atas atau kepentingan dalam aset tersebut
(Property shall mean assets of every kind, whether corporeal or incorporeal, movable or immovable, tangible or intangible,
and legal documents or instruments evidencing title to or interest in such assets). Sedangkan di Pasal 2 angka 13 UU No.
8 Tahun 2010 (UU TPPU), istilah properti diterjemahkan sebagai harta kekayaan, adalah semua benda
bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik
secara langsung maupun tidak langsung.
72

Menurat Pasal 2 huruf g UNCAC, Perampasan yang meliputi pengenaan denda bilamana dapat
diberlakukan, berarti perampasan permanen atas kekayaan dengan perintah pengadilan atau badan berwenang
lainnya (Confiscation, which includes forfeiture where applicable, shall mean the permanent deprivation of property by
order of a court or other competent authority).
73
David Scott Romantz, Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of right and
The Judicial Response: The Guilt of the Res, 28 Suffolk University Law Review, 1994, hlm. 390.

AssetRecovery|33

berbeda dengan Criminal Forfeiture yang menggunakan gugatan in personam


(gugatan terhadap orang) untuk menyita dan mengambilalih suatu aset.74

PENUTUP

engan memperhatikan perkembangan hukum pidana internasional


sekarang ini, terlebih-lebih mengingat pemerintah Indonesia telah
meratifikasi sejumlah konvensi PBB terkait dengan extra ordinary crime,
maka perlu dirumuskan ketentuan-ketentuan konvensi PBB yang belum diatur
dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Di samping itu, apabila sudah
ada aturannya dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, maka perlu
disesuaikan dengan hukum pidana internasional dengan perluasan, penambahan
dan penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku saat ini di
Indonesia. Upaya untuk menekan tingkat extra ordinary crime melalui ketentuan
penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana pada dasarnya
sejalan dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan.
Dalam pada itu, pendekatan seperti itu akan memperbesar kemungkinan untuk
mengambil kembali hasil dan instrumen tindak pidana tanpa dipengaruhi oleh
keberhasilan atau kegagalan dalam penuntutan dan pemeriksaan dalam proses
persidangan di pengadilan.

Jakarta, 17 Juni 2013

74

Ibid, hlm. 389.

34|EdiNasution

REFERENSI
Buku
Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
____, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, Bandung: Pustaka, 1990.
____, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum Umum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
MA RI, Himpunan Tanya Jawab Rakerda, 1987-1962, Jakarta.
Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Nasution, Bismar, Anti Pencucian Uang: Teori dan Praktek, Bandung: Books Terrace & Library, 2010.
Saleh, K. Wantjik, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 9

Simanjuntak, P.N.H., Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2009


Soeparmono, R., Masalah Sita Jaminan (CB) Dalam Hukum Acara Perdata, Bandung: Mandar Maju, 1997.
Soesilo, R., RIB/HIR Dengan Penjelasan, Bogor: Politeia, 1995.
Subekti, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Bina Cipta, 1977.
____, Kumpulan Putusan MA, Bandung: Alumni, 1978.
Yusuf, Muhammad, Miskinkan Koruptor: Pembuktian Terbalik Solusi Yang Terabaikan, Jakarta: Pustaka Juanda
Tigalima, 2013.

Naskah Akademik
Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan UndangUndang Tentang Perampasan Aset Pidana, Badan Pembinaan Hukum Nnasional (BPHN), Kementerian
Hukum dan HAM RI. 2012.

Makalah
Nasution, Bismar, Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif HUkum Ekonomi di Indonesia, Makalah
disampaikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2007, Pengembalian Aset (Asset Recovery)
Melalui Instrumen Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative dan Perundang-Undangan Indonesia Hotel
Millenium Jakarta 28-29 November 2007.

Internet/artikel
Antaranews.com, PPATK susun UU Perampasan aset, 2 Januari 2013. [05-04-13]
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17781/3/Chapter%20II.pdf. [05-04-13]
Pikiran Rakyat, 80% Koruptor Kakap Kabur, Jumat, 27 April 2007, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/
2007/042007/27/0101.htm. [02-04-13].
Politik Indonesia, Lagi, Syamsul Nursalim Dikejar Interpol, 18 Juli 2003, http://www.politikindonesia.com/
readhead.php?id=333. [02-04-13].
United Nation, Launch of Asset Recovery Initiative, 17 September 2007 (http://go.worldbank.org/
U2ZCWCDKR0) diakses pada tanggal 15 November 2007.

Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Agung (MA) Tanggal 11 November 1976 No.607/K/Sip/1974.
Putusan Mahkamah Agung No. 3089 k/Pdt/1991.
Putusan Mahkamah Agung No. 996 k/Pdt/1989.

~o0o~

AssetRecovery|35

Anda mungkin juga menyukai