Persepsi yang selama ini dianut oleh sebagian yuris mengenai kewenangan
pengadilan (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama) dalam sengketa hak
milik atas tanah adalah menyatakan sertifikat hak milik tidak berkekuatan
hukum. Persepsi tersebut dikuatkan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung
nomor 383 K/Sip/1971 tanggal 3 Nopember 1971 yang pada pokoknya
menghasilkan kaidah hukum bahwa kewenangan pengadilan dalam hal ini
adalah menyatakan sertifikat tidak berkekuatan hukum. Hal tersebut perlu
ditinjau ulang karena esensi dari peradilan perdata adalah menilai siapa yang
berhak dan siapa yang tidak berhak atas sebidang tanah terperkara, bukan
menilai keabsahan administratif penerbitan sertifikat dimaksud. Selain itu,
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah juga menggariskan bahwa kewenangan menyatakan suatu
sertifikat tidak berkekuatan hukum adalah BPN dengan dasar putusan atau
penetapan dari pengadilan
A. Sengketa Hak Milik atas Tanah sebagai Domain Peradilan Perdata
1. Tinjauan umum tentang sengketa hak milik atas tanah
Sengketa hak milik atas tanah merupakan sengketa yang objeknya
adalah hak milik atas sebidang tanah terperkara. Sengketa hak milik ini
melibatkan minimal dua pihak yang saling mengklaim sebagai pemilik sah
atas sebidang tanah terperkara dimaksud.
1
2
yang
ditetapkan
oleh
suatu
kekuasaan
yang
berwenang
menetapkannya.3
Sementara itu, dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria disebutkan bahwa hak
milik atas tanah adalah turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa dari
sekian hak yang dapat melekat atas sebidang tanah, hak milik adalah hak
yang paling sempurna dan kuat yang dapat dimiliki oleh seseorang
maupun badan hukum tertentu.
Sengketa hak milik atas tanah termasuk dalam ranah hukum
perdata. Hal ini dapat dipahami karena sengketa hak milik mencakup
hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain
maupun
orang
dengan
benda
melalui
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 2006, h. 127.
Halaman 2 dari 14
Kewenangan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum mencakup perkara pidana dan
perdata. Akan tetapi, dalam tulisan ini, kewenangan dalam perkara perdata yang menjadi pokok
bahasan, sehingga kewenangan dalam perkara pidana tidak menjadi bahasan tulisan ini.
Halaman 3 dari 14
suatu
kasus
dengan
subjek,
objek,
dan
pokok
M Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama: UU No. 7 Tahun
1989 Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 173.
6
Proses peradilan tersebut masih merupakan dinamika penyelesaian sengketa di Peradilan
Agama sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undan-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, khususnya perubahan atas pasal 50
beserta penjelasannya.
Halaman 4 dari 14
mengadili,
memutus,
dan
menyelesaikan
sengketa
keperdataan, dalam hal ini sengketa hak milik atas tanah. Apa yang
diperiksa dalam memutus sengketa hak milik dalam peradilan perdata?
Yang diperiksa pada dasarnya adalah mengenai siapa yang berhak atas
tanah terperkara, bukan bagaimana legalitas administratif suatu sertifikat
Untuk mempersingkat penulisan tentang pengadilan, maka kata pengadilan dalam tulisan
ini dimaksudkan sebagai pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama.
Halaman 5 dari 14
hak milik atas tanah dikeluarkan, karena hal tersebut merupakan domain
dari peradilan administrasi atau tata usaha negara.
Pemeriksaan terhadap siapa yang paling berhak atas tanah
terperkara sebagaimana ditunjuk dalam SHM atas tanah tersebut meliputi
pemeriksaan tentang status dan riwayat tanah serta bagaimana perolehan
hak atas tanah dimaksud (apakah telah sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku atau tidak). Dari kerangka pikir demikian, maka dapat
dipahami bahwa esensi peradilan perdata pada dasarnya menelusuri
bagaimana suatu hak milik atas tanah melekat pada diri seseorang
sebagai subjek hukum. Pengadilan akan memeriksa dan meneliti secara
seksama bagaimana hak milik itu diperoleh dengan mengacu pada
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan berlaku.
B. Kewenangan Pengadilan dalam Sengketa Hak Milik atas Tanah
Seperti dikemukakan sebelumnya, bahwa esensi dari peradilan perdata
adalah memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa keperdataan. Apa yang
diperiksa dalam sengketa keperdataan tersebut mencakup:
1. Hubungan hukum antara seseorang atau badan hukum dengan
seseorang atau badan hukum lainnya lainnya;
2. Hubungan hukum antara seseorang atau badan hukum dengan
beberapa orang atau badan hukum lainnya;
Halaman 6 dari 14
Halaman 7 dari 14
objek hukum lainnya, maka pengadilan akan menetapkan siapa yang memiliki
hak dan kewenangan yang sah secara hukum. Kewenangan untuk
menyatakan suatu sertifikat tanah tidak berkekuatan hukum ataupun
membatalkan suatu sertifikat tanah merupakan kewenangan administratif,
karena kewenangan tersebut berkaitan dengan penilaian tentang bagaimana
legalitas administratif suatu sertifikat dikeluarkan. Dalam konteks ini,
pengadilan dalam lingkungan peradilan TUN dan instansi agraria yang
berwenang untuk itu.
Berkaitan dengan hal ini, Pasal 55 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan:
Pencatatan hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan dan hak milik
Pengadilan
mengenai
hapusnya
sesuatu
hak
harus
Halaman 8 dari 14
bukanlah
bagaimana
alur
administratif
sertifikat
tersebut
hak
keperdataan
atas
tanah
dimaksud,
misalnya
dengan
lebih
memperjelas
kewenangan
peradilan
agama
dalam
Adrian Sutedi, Sertifikat Hak Atas Tanah, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, h. 57.
Halaman 10 dari 14
(adik
membaliknamakan
kandung
sertifikat
B,
tanah
dan
tersebut
adalah
atas
ahli
namanya
waris
A)
dengan
mengajukan akta hibah yang telah dimanipulasi bahwa seluruh tanah A telah
dihibahkan kepada B, sehingga berdasar SHM tersebut, B merupakan pemilik
semua tanah A. C selaku anak bungsu A keberatan dengan hibah dan SHM
tanah tersebut, kemudian menggugat ke Pengadilan Agama agar Pengadilan
Agama tersebut membatalkan hibah sekaligus menyatakan C tidak berhak
atas tanah tersebut. Pengadilan Agama, setelah memeriksa secara seksama,
kemudian menetapkan batal 1/3 hibah yang dilakukan A terhadap B dan sah
1/3 sisanya hibah A kepada B. Pengadilan juga menetapkan bahwa 2/3 tanah
merupakan milik sah dari A serta menyatakan B tidak berhak atas 2/3 tanah
tersebut sebagaimana dimaksud dalam SHM yang disengketakan dan
menghukum B untuk menyerahkan 2/3 bagian dari tanah dimaksud kepada
para ahli waris.
C. Hubungan Kewenangan Pengadilan dengan Kewenangan Badan
Pertanahan Nasional dalam Pembatalan Suatu Sertifikat
Kewenangan pengadilan dalam sengketa hak milik atas tanah adalah
menetapkan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak atas tanah
terperkara, bukan menilai apakah sertifikat tanah berkekuatan hukum atau
Halaman 11 dari 14
D. Penutup
Sebagai penutup, penulis menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Kewenangan pengadilan (pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum dan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama) dalam
sengketa hak milik atas tanah adalah menetapkan siapa yang paling
berhak atas tanah terperkara (yang termuat dalam sertifikat tanah),
bukan menilai apakah sertifikat tanah dimaksud berkekuatan hukum
atau tidak karena hal demikian merupakan kewenangan administratif;
2. Dalam
kaitannya
dengan
pembatalan
suatu
sertifikat
atau
Halaman 13 dari 14
Adrian Sutedi, Sertifikat Hak Atas Tanah, Jakarta: Sinar Grafika, 2012
Halaman 14 dari 14