Anda di halaman 1dari 8

Situasi Umum

Anak jalanan adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menggunakan atau
menghabiskan seluruh waktunya dengan melakukan kegiatan di jalan untuk mendapatkan uang
atau mempertahankan hidupnya
Keberadaan anak jalanan telah menjadi fenomena global. Seorang pejabat UNICEF
memperkirakan ada sekitar 100 juta anak jalanan di dunia. Di Asia, menurut perkiraan Childhope
Asia, sebuah NGO yang berbasis di Philipina, memperkirakan ada sekitar 25-30 juta anak
jalanan (Chaturvedi, 1994). Di Indonesia, Anwar dan Irwanto (1998) dalam analisis situasi
mengenai anak jalanan, mengutip data Departemen Sosial yang menunjukkan ada sekitar 50,000
anak jalanan. Banyak pihak, termasuk keduanya meyakini besaran jumlah anak jalanan jauh di
atas perkiraan tersebut. Terlebih bila dikaitkan dengan terjadinya krisis ekonomi yang
menyebabkan jumlah anak jalanan di Indonesia meningkat sekitar 400% (Kompas, 4 Mei 1998).
Berbagai perkiraan yang dilansir berbagai pihak berkisar antara 50,000-170,000 anak jalanan.
Informasi mengenai kehidupan anak jalanan di manapun menggambarkan situasi buruk yang
harus dihadapi anak jalanan. Berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi hingga penghilangan
nyawa secara paksa menjadi bagian dari kehidupan mereka. Stigmatisasi publik menyebabkan
mereka terisolasi atau mengisolasi diri sehingga tumbuh nilai-nilai baru yang boleh jadi sangat
bertentangan dengan nilai-nilai umum. Pemerintah yang seharusnya berkewajiban
memberikan perlindungan hukum, menurut Nusa Putra (1994) justru meletakkan kegiatan anak
jalanan sebagai kegiatan yang melanggar hukum. Keseluruhan situasi yang dihadapi berakibat
terhambatnya perkembangan kapasitas anak baik secara fisik, mental, dan sosial.
Berdasarkan situasi yang dialami anak jalanan, UNICEF mengelompokkan anak jalanan ke
dalam kelompok anak yang mengalami situasi sulit atau anak yang membutuhkan perlindungan
khusus.
Upaya perlindungan terhadap anak menunjukkan perkembangan yang menggembirakan dengan
lahirnya Konvensi Hak-hak Anak yang diadposi oleh PBB pada tahun 1989. Indonesia diketahui
turut menandatangani dan meratifikasi KHA tersebut melalui Keppres No. 36 tahun 1990.
Dengan demikian, Indonesia terikat secara yuridis (dan politis) untuk mengimplementasikan
KHA. Namun sejauh mana efektivitas program pemerintah Indonesia untuk
mengimplementasikan KHA, masih menjadi bahan pertanyaan. Terlebih bila dispesifikkan untuk
kepentingan anak jalanan.
Selintas Anak Jalanan Semarang
Keberadaan anak jalanan di Semarang sudah bisa dijumpai sejak awal tahun 90-an. Pada saat itu
hanya ada tiga kawasan yang menjadi tempat kegiatan mereka yang kemudian berkembang
menjadi enam kawasan (Pasar Johar, Tugu Muda, Terminal Terboyo, Simpang Lima, Karang
Ayu, dan Stasiun Poncol). Pada masa awal terjadi krisis ekonomi, kawasan kegiatan anak jalanan
menjadi 20 kawasan (PSW Undip, 1998). Pemetaan yang dilakukan oleh Departemen Sosial dan

PKPM Atmajaya pada tahun 1999 menunjukkan kawasan kegiatan anak jalanan semakin tersebar
luas menjadi 208 titik.

Aksi menentang kekerasan terhadap anak jalanan di Balai Kota Semarang, Juli 1998. Aksi anak
jalanan yang didukung oleh Forum pembela dan Penegak Hak Anak (FPPHAN) yang merupakan
gabungan dari komponen masyarakat sipil. (Dok. Yayasan Setara)
Perkembangan lokasi kegiatan anak jalanan diakibatkan adanya peningkatan jumlah anak jalanan
yang pesat. Pendataan yang dilakukan PAJS pada tahun 1996 memperkirakan jumlah anak
jalanan sekitar 500 anak dan pada tahun 1997 telah meningkat menjadi 700 anak. Pada masa
krisis ekonomi, perkiraan jumlah anak jalanan berkisar antara 1,500-2,000 (lihat Tabloid
Manunggal, edisi V/thn XVII/April-Mei 1998 dan Depsos-PKPM Atmajaya, 1999)
Berdasarkan daerah asal, telah terjadi pergeseran yang perlu dicermati. Pada tahun 1994,
prosentase anak yang berasal dari luar kota masih lebih besar, yaitu 53%. Pada tahun-tahun
berikutnya, pertumbuhan anak jalanan dari dalam kota semakin besar dan menjadi dominan.
Berdasarkan data anak yang difasilitasi oleh Yayasan Setara pada tahun 2000, dari 223 anak di
tiga kawasan, 85% dari mereka berasal dari dalam kota Semarang sendiri dan 34% diantaranya
justru tinggal di jalanan. Tempat-tempat yang digunakan sebagai tempat tinggal yaitu; bangunan
kosong, los pasar, emperan toko, taman atau lapangan, gerbong, pos jaga, halte dan bus rusak.
Meningkatnya jumlah anak jalanan terutama yang berasal dari kota Semarang sendiri
menyebabkan terjadinya perubahan yang besar dalam kehidupan anak jalanan, yaitu;

Lokasi kegiatan anak jalanan semakin meluas

Mulai terjadi penguasaan wilayah

Anak jalanan yang berasal dari luar kota semakin tersisih dan cenderung pindah ke kota
lain

Proses inisiasi yang penuh nuansa kekerasan mulai muncul

Munculnya berbagai kegiatan baru untuk mendapatkan uang seperti lap mobil/ motor dan
dominannya kegiatan mengemis yang pada tahun sebelumnya menjadi bahan ejekan
sesama anak jalanan.

Meningkatnya tindakan kriminal

Mencermati perkembangan situasi anak jalanan beberapa tahun belakangan ini, Yayasan Setara
mengidentifikasikan beberapa masalah yang menonjol, yaitu
Kekerasan terhadap anak jalanan
Berbagai penelitian, laporan program, hasil monitoring dan pemberitaan media massa telah
banyak mengungkap situasi buruk yang dialami oleh anak jalanan Semarang. Monitoring PAJS
(1997) di kawasan Tugu Muda pada periode Juli-Desember 1996, mencatat dari 22 kasus
kekerasan terhadap anak jalanan 19 kasus (86,3%) dilakukan oleh petugas keamanan (kepolisian,
Satpol PP, dan TNI) yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap mereka. Hal senada
diungkap pula dalam laporan penelitian YDA (1997) yang menyatakan bahaya terbesar yang
paling sering dialami anak jalanan adalah dikejar polisi di mana 91% anak yang pernah
tertangkap mengaku mengalami penyiksaan (Permadi & Ardhianie peny.; 1997). Selain kasus
kekerasan yang dialami secara personal, kekerasan terhadap komunitas juga kerap terjadi. Warga
Semarang mungkin masih teringat kasus penyerangan dan pengrusakan rumah singgah di
kawasan Lemah Gempal pada tahun 1997 oleh sekelompok orang tak dikenal yang disusul
dengan teror-teror terhadap anak jalanan (Info Jalanan, edisi khusus, September 1997). Setelah
mengalami nasib buruk, anak-anak jalanan yang terhimpun dalam PAJS kembali menjadi korban
kekerasan oleh negara melalui pernyataan pejabat Pemerintah Daerah Kotamadya Semarang
yang melarang PAJS untuk beraktivitas karena dianggap organisasi liar (Wawasan, 4 April 1998).
Kasus kekerasan yang baru saja terjadi adalah pengusiran anak-anak jalanan dari rumah singgah
oleh ketua LSM pengelolanya sendiri dan penyerangan sekelompok orang terhadap anak jalanan
di Manggala di mana dua anak perempuan menjadi korban perkosaan kelompok tersebut
(Aliansi; 2000).
Kekerasan dan eksploitasi seksual
Kekerasan lainnya adalah kekerasan dan eksploitasi seksual. Hampir seluruh anak jalanan
perempuan pernah mengalami pelecehan seksual terlebih bagi anak yang tinggal di jalanan.
Ketika tidur, kerapkali mereka menjadi korban dari kawan-kawannya atau komunitas jalanan,
misalnya digerayangi tubuh dan alat vitalnya. Bentuk kekerasan lain adalah perkosaan. Yayasan
Setara (Shalahuddin, 2000b) dalam laporannya menyatakan bahwa 30% anak jalanan perempuan
mengalami hubungan seksual pertama akibat perkosaan. Tak jarang perkosaan dilakukan oleh
sekelompok orang yang dikenal dengan istilah pangris atau Jepang baris. Di kawasan Simpang
Lima, kasus-kasus semacam ini sering terjadi yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu.
Lalu belum lama ini kita dikejutkan oleh pemberitaan media massa mengenai dugaan kekerasan
dan eksploitasi terhadap puluhan anak jalanan yang justru dilakukan oleh pendampingnya sendiri
(lihat misalnya; Radar Semarang & Wawasan, 2 September 2000; Kompas, 4 September 2000).

Anak jalanan perempuan juga diketahui rentan menjadi korban eksploitasi seksual komersial
yang meliputi prostitusi, perdagangan untuk tujuan seksual dan pornografi. Pada tahun 1997,
YDA mencatat ada 8% anak jalanan di Semarang yang dilacurkan. Tahun berikutnya meningkat
menjadi 28% (PSW Undip; 1998) dan meningkat lagi menjadi 46,4% (Shalahuddin, 2000b).
Indikasi perdagangan anak untuk prostitusi dengan sasaran anak jalanan perempuan yang pernah
dikemukakan oleh Setara (1999), pada perkembangannya indikasi tersebut semakin kuat. Hasil
monitoring pada periode Januari-Juni 2000, Yayasan Setara mencatat ada 10 anak yang
diperdagangkan ke daerah Batam dan Riau (Shalahuddin, -peny.; 2000a). Kasus pornografi
terhadap anak jalanan diduga juga terjadi. Namun sejauh ini belum ada data-data yang
mengungkapkan hal tersebut.
Seks bebas dan Perilaku seksual usia dini
Seks bebas telah diketahui publik menjadi bagian dari kehidupan anak jalanan. Berbagai hasil
penelitian anak jalanan yang ada semakin memperkuat pandangan semacam itu. Di Semarang,
seks bebas sesama anak jalanan juga terjadi. YDA (1997) dalam penelitiannya melaporkan
bahwa 31% anak jalanan Semarang pernah melakukan hubungan seksual dan cenderung
berganti-ganti pasangan. Laporan penelitian Yayasan Setara (Shalahuddin, 2000b)
mengungkapkan bahwa dari 46 anak jalanan perempuan, 38 anak (67,8%) telah memiliki
pengalaman seksual. 27 anak diantaranya memiliki kecenderungan berganti-ganti pasangan dan
26 anak diindikasikan berada dalam prostitusi.
Berdasarkan pengalaman selama berinteraksi dengan anak jalanan biasanya anak yang memiliki
pengalaman seksual berumur 15 tahun ke atas. Namun, berdasarkan hasil monitoring dan
investigasi Yayasan Setara pada awal tahun 2001, di salah satu kawasan mulai muncul perilaku
seksual aktif pada usia dini, yaitu di bawah 14 tahun. Setara mencatat ada 12 pasangan, dan satu
pasangan diantaranya masih memiliki hubungan sedarah.
Perilaku seks bebas menyebabkan anak jalanan rentan terhadap ancaman terinveksi PMS dan
HIV/AIDS dan bagi anak jalanan perempuan resiko kehamilan menjadi tinggi. Pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh Yayasan Setara pada tahun 1999-2000 menjumpai 20 kasus anak
terkena PMS dan beberapa diantaranya sudah parah. Sedangkan tingkat kehamilan anak jalanan
perempuan cenderung mengalami peningkatan. Data yang tercatat, pada tahun 1999 diketahui 6
anak mengalami kehamilan dan pada tahun berikutnya meningkat menjadi 8 anak. Ada berbagai
cara yang dilakukan oleh anak untuk menggugurkan kandungannya seperti, minum pil, pijat,
jamu, dipukul-pukul perutnya dan berbagai cara yang tidak aman bagi mereka.
Penggunaan drugs
Sebagian besar anak jalanan telah mengkonsumsi minuman keras, pil dan zat-zat adiktif lainnya
secara rutin. Ini tidak terbatas pada anak jalanan laki-laki saja melainkan juga anak perempuan.
Penelitian Setara (2000) mengungkapkan 62,5% anak jalanan perempuan mengkonsumsi
minuman keras dan pil. Menurut Huijben (1999), hal yang mendorong mereka mengkonsumsi
karena dianggap sebagai jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Selain itu sebagian anak
menggunakannya untuk menumbuhkan keberanian saat melakukan kegiatan di jalanan.

Ada berbagai cara bagi mereka untuk mendapatkan drugs, seperti membeli, meminta, diberi dan
merampas. Pada beberapa kasus, anak mencoba mencari barang-barang yang murah, misalnya
mengkonsumsi kecubung dan menghisap lem aica aibon. Mengenai penggunaan lem,
berdasarkan pengamatan ini sesungguhnya sudah dimulai sejak awal tahun 1997 terutama di
kawasan Poncol. Dibandingkan dengan Bandung, jakarta dan Yogyakarta, yang menyebar
dengan cepat ke berbagai lokasi anak jalanan, penyebaran di Semarang tidak cepat meluas.
Hanya saja, sejak tahun 2000, penggunaan lem ini sudah menyebar di kawasan Simpang Lima
dan pada tahun 2001 menyebar ke kawasan Tugu Muda.
Tindakan kriminal
Tindakan kriminal yang dilakukan anak jalanan secara kuantitas tampaknya meningkat
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan bentuk yang lebih berani. Sebagai contoh, bila
sebelumnya mereka hanya melakukan pemerasan sesama anak jalanan, kini mereka sudah berani
melakukan pemerasan, penodongan dan pencopetan ke masyarakat. Mengamati pemberitaan
media massa, sejak tahun 2000 kerapkali diberitakan adanya anak jalanan yang ditangkap akibat
melakukan tindakan kriminal.
Kegiatan ini tampaknya dipengaruhi pula oleh tingkat persaingan yang tinggi sesama anak
jalanan untuk mendapatkan uang sehingga mereka lebih mudah terpengaruh untuk melakukan
kegiatan kriminal yang dinilai lebih banyak menghasilkan.
Respon yang Muncul
Sejauh informasi yang diketahui, respon terhadap anak jalanan Semarang untuk pertama kalinya
dilakukan oleh seorang pekerja sosial yang bekerja secara personal, Winarso, pada akhir tahun
1993. Program sistematis baru dilaksanakan pada tahun 1996 oleh tim pelaksana Semarang
Street Kids Project yang pada perkembangannya terlembagakan menjadi Yayasan Setara.
Melalui program ini berhasil terbentuk kelompok anak jalanan yang dikenal dengan nama
Paguyuban Anak Jalanan Semarang (PAJS).
Sejak tahun 1997, mulai bermunculan pihak-pihak yang peduli dengan anak jalanan, beberapa
diantaranya, sekedar menyebutkan nama, adalah Yayasan Duta Awam (YDA), Forum Kerjasama
Pemerhati Anak jalanan Semarang (FKPAJS), Kelompok Sosial Garam, Yayasan Sosial
Soegijopranoto (YSS), dan Kelompok sosial SOLID. Sedangkan lembaga perguruan tinggi
yang terlihat intensif memberikan perhatian kepada anak jalanan yaitu Pusat Studi Wanita dan
Gender Universitas Diponegoro. Pada saat ini tampaknya telah semakin banyak NGO, perguruan
tinggi, dan kelompok masyarakat sipil lainnya yang peduli dan melaksanakan program untuk
anak jalanan.
Sedangkan respon dari pemerintah bisa dikatakan sangat lambat. Ketika issue anak jalanan mulai
tumbuh di Semarang pada pertengahan tahun 1996, sikap pejabat negara justru menunjukkan
kecurigaan yang tinggi terhadap pihak-pihak yang bekerja bersama anak jalanan. Perubahan
mulai tampak ketika pada awal tahun 1998 Departemen Sosial melaksanakan proyek uji-coba
bagi penanganan anak jalanan di 12 kota, termasuk Semarang. Proyek ini mendapat dukungan
dana dari UNDP. Pada tahun 1999, ADB juga memberikan pinjaman untuk program anak

jalanan. Perkembangan lain, pemerintah dalam APBN dan APBD mulai mengalokasikan dana
untuk anak jalanan.
Secara umum, program-program yang dilaksanakan masih bersifat karitatif dengan
menempatkan anak sebagai obyek, seperti pemberian makan, bantuan kost untuk anak,
pemberian modal usaha, kursus ketrampilan, pelayanan kesehatan, pendidikan Paket A dan B,
pemberian beasiswa dan sebagainya. Model pendekatan semacam ini pada akhirnya tidak tepat
sasaran dan cenderung memunculkan ketergantungan anak. Pada sisi yang lain, sejauh ini
institusi yang bergerak dengan menggunakan perspektif hak-hak anak masih sedikit. Tentu saja
kenyataan ini belum mendukung penuh upaya penegakan hak-hak anak yang menempatkan anak
sebagai manusia utuh.
Selintas Pengalaman Bekerja Bersama Anak Jalanan
Program yang dilaksanakan Yayasan Setara merupakan kelanjutan dari kerja personal seorang
pekerja sosial sejak tahun 1993 yang kemudian berkembang menjadi tim kerja pada tahun 1996
melalui Semarang Street Kids Project yang mendapat dukungan dana dari Terre des Hommes
Germany. Sejak Agustus 2000, program ini dilengkapi dengan program Basic Sosial Services
yang dilaksanakan oleh 7 NGOatas dukungan dana dari NOVIB Netherland. Pengalaman yang
diungkap secara ringkas berupaya untuk mencakup kedua program tersebut.
Dasar kerja Yayasan Setara bersandarkan pada Konvensi Hak-hak Anak dan instrumen
internasional yang berhubungan dengan anak (jalanan). Dengan demikian, dalam setiap program
Yayasan Setara berupaya untuk melaksanakan prinsip dasar KHA, yaitu Memberikan yang
terbaik bagi anak, non-diskriminasi, Memberikan perlindungan dan Menghargai opini anak
(partisipasi).
Program diarahkan bagi upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan anak jalanan. Upaya
pencegahan dimaksudkan agar anak-anak yang dinilai rentan menjadi anak jalanan tidak
terdorong/didorong menjadi anak jalanan. Dalam konteks ini, sasaran yang dituju adalah anakanak di daerah perkampungan miskin Semarang yang menjadi basis anak jalanan.
Pendekatan yang digunakan adalah community based dengan prioritas utama melibatkan para
orangtua anak. Upaya perlindungan dimaksudkan agar anak tidak menjadi korban berbagai
bentuk kekerasan dan eksploitasi. Sasaran kegiatan adalah anak jalanan, komunitas jalanan, dan
publik. Sedangkan upaya pemulihan dimaksudkan agar anak dapat mengembangkan
kapasitasnya dan dapat keluar dari dunia jalanan.
Pendekatan program yang digunakan adalah street based, center based dan community based.
Sedangkan pola hubungan yang digunakan para pendamping dengan anak adalah pendekatan
informal yang menitikberatkan pada upaya membangun hubungan perkawanan sehingga tercipta
hubungan antar subyek dengan menjadikan masalah sebagai obyeknya. Para pendamping
berbaur dan turut merasakan dan melalui kehidupan bersama mereka.

Sejak July 1996-December 2000, total kumulatif anak yang terfasilitasi dalam program Yayasan
Setara sekitar 600 anakjalanan berumur di bawah 18 tahun yang berada di tiga kawasan yaitu
Kawasan Tugu Muda, Pasar Johar dan Simpang Lima.
Beberapa kegiatan yang dijalankan, diantaranya yaitu;

Pelayanan langsung

Fasilitasi rumah singgah dan shelter

Pendidikan hadap masalah, hak anak dan kesehatan

Mendorong anak pulang

Perlindungan

Pelayanan kesehatan

Mempersiapkan masa depan anak

Kampanye dan membangun support system

Penyelenggaraan diskusi/seminar

Dialog dengan Pemda, DPRD, dan pihak Kepolisian.

Membangun dialog antara anak jalanan, pemerintah, DPRD dan Kepolisian

Mengembangkan Forum Orangtua anak

Monitoring kekerasan terhadap anak jalanan

Penerbitan

Hambatan dan Tantangan


Niat baik belum tentu menghasilkan yang terbaik, demikian petikan puisi dari seorang kawan.
Perjalanan pelaksanaan program anak jalanan tidak bisa berlangsung mulus. Hambatan dan
tantangan terberat yang harus dihadapi justru sikap dan tindakan dari penyelenggara negara.
Ketika pertengahan tahun 1996 dibuka rumah untuk anak jalanan, berbagai teror harus dihadapi
oleh para pekerja sosial, anak-anak jalanan dan pemilik rumah yang disewa. Bentuk teror melalui
telpon gelap, penculikan terhadap seorang pekerja sosial, interogasi oleh pihak kepolisian,
datangnya orang-orang tak dikenal yang mengancam, hingga perusakan rumah oleh sekelompok
orang tak dikenal pada September 1997 yang menyebabkan untuk beberapa tahun diputuskan
agar tidak membuka open house/shelter dulu. Pada akhir 1997, ketika rumah sudah tidak
digunakan lagi dan ada beberapa orang tewas akibat minuman keras di sekitar bekas shelter,

Walikota saat itu langsung menuduh bahwa rumah anak jalanan digunakan untuk bermabukmabukan. Di tengah sulitnya melakukan kegiatan secara terbuka, muncul lagi pernyataan dari
seorang pejabat pemerintah kota yang melarang PAJS untuk melakukan kegiatan karena
dianggap sebagai organisasi liar (Wawasan, 4 April 1998).
Penutup
Demikian selintas situasi anak jalanan dan pengalaman penanganannya yang dilakukan oleh
Yayasan Setara. Semoga informasi ini dapat berguna dan dapat memunculkan inspirasi dari
Program Studi Psikologi Universitas Diponegoro untuk turut memikirkan upaya penanganan
anak jalanan dan mendorong keterlibatan para psikolog untuk bekerja bersama anak jalanan.
Saya yakin, tentunya itu akan sangat berguna bagi upaya transformasi kehidupan anak jalanan
khususnya di Semarang.
Semarang, 4 Mei 2001
Tulisan sebagai bahan sharing dalam acara Lokakarya Kurikulum Pendidikan Sarjana Psikologi
2001 dan Program Profesi Psikolog, Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Program Studi
Psikologi, Ungaran, 4-5 Mei 2001

Anda mungkin juga menyukai