Anda di halaman 1dari 3

Pentingnya Review Laporan Keuangan Daerah

Oleh : Drs. Mardi, MM


(Sekretaris Inspektorat Provinsi Sumbar)

Salah satu bentuk kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat baik
provinsi maupun kabupaten/kota saat ini adalah me-review laporan keuangan pemerintah
daerah (LKPD), berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006
tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, pasal 33 ayat (3)
menyatakan bahwa : Aparat Pengawasan Intern Pemerintah pada Kementrian
Negara/Lembaga/Pemerintah Daerah melakukan review atas Laporan Keuangan dan
Kinerja dalam rangka meyakinkan keandalan informasi yang disajikan sebelum
disampaikan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota kepada pihakpihak sebagaimana diatur dalam pasal 8 dan pasal 11. Adapun pihak-pihak yang
dimaksudkan dalam pasal 8 dan pasal 11 tersebut antara lain adalah Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, antara lain menetapkan bahwa Laporan Keuangan pemerintah pada
gilirannya harus diaudit oleh BPK sebelum disampaikan kepada pihak legislatif sesuai
dengan kewenangannya. Pemeriksaan BPK dimaksud adalah dalam rangka memberikan
pendapat (opini) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004
Kata kunci yang patut digarisbawahi disini adalah meyakinkan keandalan
informasi. Artinya adalah laporan keuangan yang begitu rumit menyangkut dengan
angka-angka, penjelasan dan perhitungan yang begitu teknis dalam jumlah yang relatif
besar, mustahil seorang kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) dapat meyakini sendiri
bahwa semua transaksi keuangan tersebut telah dicatat dan disajikan secara benar sesuai
dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005)
tanpa dibantu oleh perangkatnya dalam hal ini adalah inspektorat. Dalam rangka
memberikan keyakinan kepada kepala daerah itulah diperlukan inspektorat untuk
melakukan review atas LKPD dimaksud.
LKPD yang disampaikan kepada BPK tersebut oleh BPK akan dijadikan
bahan/dokumen untuk melakukan pemeriksaan LKPD. Kemudian berdasarkan hasil
pemeriksaannya, BPK harus memberikan pendapat (opini). Adapun opini yang diberikan

adalah salah satu dari 4 macam opini yaitu : (1) Tidak Wajar; (2) Tidak Memberikan
Pendapat (disclaimer); (3) Wajar Dengan Pengecualian (WDP); dan (4) Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP). Opini yang terakhir ini merupakan opini yang sangat diharapkan
oleh setiap pemerintah daerah maupun pusat. Kenapa ? Karena laporan keuangan yang
dinilai WTP oleh BPK merupakan indikator bahwa

pengelolaan keuangan telah

dilakukan dengan transparan dan akuntabel, meskipun hal itu belum menjamin bahwa
tidak adanya unsur tindak pidana korupsi atau perbuatan yang merugikan keuangan
daerah/negara dalam pelaksanaannya. Atau dengan kata lain, indikasi perbuatan korupsi
itu tetap ada meskipun laporan keuangannya mendapat opini WTP. Sampai saat ini belum
banyak pemerintah daerah yang memperoleh opini WTP tersebut. Untuk laporan
keuangan pemerintah daerah tahun 2007, dari 33 provinsi, hanya ada 1 provinsi yang
berhasil meraih opini WTP, sedangkan dari Pemerintah Kabupaten/Kota, hanya 2 kota
dan 1 kabupaten yang mendapat opini WTP tersebut, yaitu Provinsi Gorontalo, Kota
Banjar, Kota Tangerang, dan Kabupaten Aceh Tengah.
Review atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah adalah prosedur penelusuran
angka-angka, permintaan keterangan dan analitis yang harus menjadi dasar memadai bagi
Inspektorat untuk memberi keyakinan terbatas atas laporan keuangan bahwa tidak ada
modifikasi material yang harus dilakukan atas laporan keuangan agar laporan keuangan
tersebut disajikan berdasarkan Sistem Pengendalian Intern (SPI) yang memadai dan
sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Review atas LKPD pemerintah
provinsi

dilakukan

oleh

inspektorat

provinsi

sedangkan

LKPD

pemerintah

kabupaten/kota dilakukan oleh inspektorat kabupaten/kota.


Dalam praktiknya, pelaksanaan kegiatan review seringkali memiliki persamaan
dengan pelaksanaan kegiatan audit. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu
diberikan pemahaman mengenai batasan-batasan yang membedakan antara kegiatan
review dengan kegiatan audit. Berbeda dengan Audit, review tidak mencakup pengujian
terhadap sistim pengendalian intern (SPI), catatan akuntansi, dan pengujian atas respon
terhadap permintaan keterangan melalui perolehan bahan bukti, serta prosedur lainnya
seperti yang dilaksanakan dalam suatu audit. Sebagai contoh, dalam hal pengadaan
barang modal yang nilainya material, proses review hanya meyakinkan bahwa
pengadaan barang telah dicatat dalam aktiva tetap, sedang dalam audit, harus

dilakukan pengujian bahwa prosedur pengadaan barang tersebut telah dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Perbedaan lain juga dapat dilihat berdasarkan tujuan Audit yaitu untuk
memberikan dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat mengenai laporan
keuangan secara keseluruhan, sedangkan tujuan review hanya sebatas memberikan
keyakinan mengenai akurasi, keandalan, keabsahan informasi yang disajikan dalam
Laporan Keuangan. Review tidak mencakup suatu pengujian atas kebenaran substansi
dokumen

sumber

seperti

perjanjian

kontrak

pengadaan

barang/jasa,

bukti

pembayaran/kuitansi, serta berita acara fisik atas pengadaan barang/jasa, dan prosedur
lainnya yang biasanya dilaksanakan dalam sebuah audit.
Dengan demikian, jelaslah bahwa didalam review tidak akan mengemukakan
temuan-temuan yang berindikasi kerugian daerah/negara atau masalah-masalah yang
berkaitan dengan unsur tindak pidana korupsi, karena metodanya yang berbeda dengan
metoda audit. Jadi sekali lagi dapat dikatakan bahwa proses review tidak sama dengan
proses audit, demikian pula tujuannya juga tidak sama dan bentuk laporannya pun
berbeda.

Anda mungkin juga menyukai