Anda di halaman 1dari 9

Untuk memahami sistem sosial dan budaya Indonesia diperlukan

penguasaan teori karena fungsi teori adalah memberi makna terhadap realitas
sosial.
Dua pendekatan teoritis yang harus dikuasai adalah Pendekatan Struktur
Fungsional dan Pendekatan Konflik Dialektika.

1. Pendekatan Struktur Fungsional.


Pendekatan struktur fungsional memiliki asumsi dasar bahwa “ Masyarakat
terintegrasi atas dasar kata sepakat para anggotanya terhadap nilai dasar
kemasyarakatan yang menjadi panutannya.” Kesepakatan tersebut menjadi
pernyataan umum yang memiliki kemampuan mengatasi perbedaan – perbedaan
pendapat dan kepentingan dari pada anggotanya. Masyarakat sebagai suatu sistem
yang secara fungsional terintegrasi kedalam suatu bentuk equilibrium (seimbang).
Istilah lain untuk pendekatan struktur fungsional adalah :
 Integration approach
 Order approach
 Equilibrium approach
 Structur fungtional approach

Perlu kita maklumi bersama, bahwa fungsionalisme struktural mula-mula


sekali tumbuh dari cara masyarakat yang menganalogikan masyarakat dengan
organisme biologis, suatu pendekatan yang seringkali kita kenal sebagai
organismis approach.
Tokoh yang berkontribusi dalam memberikan pendapatnya dalam
pendekatan struktur fungsional :
 Plato ( membandingkan tiga kelas sosial yakni penguasa, militer, dan
kaum pekerja tangan, masing-masing dengan daya pikir, perasaan
atau semangat, dan nafsu1 )
1
Charles A.Eliwood Ph.D., L1.D.,History of Social Philosophy, Prentice-Hall, Inc.,New York, 1938: hlm.23.

1
 Aguste Comte
 Herbert Spencer
 Emile Durkheim
 Branislaw Malinowski
 Redcliffe Brown
 Talcot Parson

Anggapan dasar teori struktur fungsional2 :


 Masyarakat adalah suatu sistem dari bagian-bagian yang saling
berhubungan
 Hubungan dalam masyarakat bersifat ganda dan timbale balik
(saling mempengaruhi)
 Secara fundamental, sistem sosial cenderung bergerak kearah
equilibrium dan bersifat dinamis
 Disfungsi /ketegangan sosial / penyimpangan pada akhirnya akan
teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian dan proses
institusionalisasi
 Perubahan- perubahan dalam sistem sosial bersifat gradual melalui
penyesuaian. Bukan bersifat revolusioner
 Perubahan terjadi melalui tiga macam kemungkinan yaitu
penyesuaian sistem sosial terhadap perubahan dari luar ,
pertumbuhan melalui proses differensiasi struktural dan fungsional ,
dan penemuan baru oleh anggota masyarakat
 Faktor terpenting dalam integrasi adalah konsensus
Penilaian / kritik terhadap teori struktur fungsional adalah terlalu
menekankan anggapan dasarnya pada peranan unsur-unsur normatif dari tingkah

2
Pierre L.van den Berghe, “Dialectic and Functionalism : Towarda Synthesis” , dalam N.J. Demerath III et. Al., eds.,
System, Change, and Conflict, The Free Press, New York, Collier – Macmillan Limited, London,1967: hlm. 294-295.

2
laku sosial (pengaturan secara normatif terhadap hasrat seseorang untuk menjamin
stabilitas sosial.)
Menurut David Lockwood : Terdapat substratum yang berupa disposisi
disposisi yang mengakibatkan timbulnya perbedaan kesempatan hidup dan
kepentingan – kepentingan yang tidak normatif. Dalam setiap situasi sosial
terdapat 2 hal yaitu : Tata tertib yang bersifat normatif dan SubStratum yang
melahirkan konflik. Tumbuhnya tata tertib sosial atau sistem nilai yang
disepakati bersama oleh para anggota masyarakat, sama sekali tidak berarti
lenyapnya konflik didalam masyarakat. Sebaliknya, tumbuhnya tata tertib sosial
justru mencerminkan adanya konflik yang bersifat potensial dimasyarakat. Oleh
karena itu, apabila kita berbicara tentang stabilitas atau instabilitas dari suatu
sistem sosial, maka yang kita maksudkan adalah tidak lebih dari menyatakan
derajat keberhasilan atau kegagalan dari suatu tertib normatif di dalam mengatur
kepentingan –kepentingan yang saling bertentangan.3
Kenyataan yang diabaikan dalam pendekatan struktural fungsional4 :
1) Setiap struktur sosial mengandung konflik dan kontradiksi yang
bersifat internal dan menjadi penyebab perubahan
2) Reaksi suatu sistem sosial terhadap perubahan yang datang dari luar
(extra systemic change) tidak selalu bersifat Adjustive/tampak
3) Suatu sistem sosial dalam waktu yang panjang dapat mengalami
konflik sosial yang bersifat visious circle
4) Perubahan – perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual
melalui penyesuaian, tetapi dapat juga terjadi secara revolusioner

2. Teori konflik dialektika

3
David Lockwood, Some Remarks on The Social System, dalam N.J. Demerath III hlm.285
4
Pierre L. van den Berghe, op.cit., hlm.297

3
Memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses
penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya
konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi
semula.
Asumsi dasar teori konflik dialektika :
 Perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di setiap
masyarakat
 Konflik adalah gejala yang melekat di tiap masyarakat
 Setiap unsur didalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi
terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial
 Setiap masyarakat terintegrasi diatas penguasaan atau dominasi oleh
sejumlah orang atas sejumlah orang-orang yang lain
Unsur-unsur yang bertentangan dalam masyarakat atau kontradiksi intern
akibat pembagian kewenangan / otoritas yang tidak merata dapat menyebabkan
terjadinya perubahan sosial. Contoh : reformasi di Indonesia.
Menurut Dahrendoof , “ karena adanya assosiasi terkoordinasi secara
imperativ (impetaratively coordinated associations/ica) yang mewakili organisasi-
organisasi yang berperan penting di dalam masyarakat ”.
ICA / Asosiasi yang terkoordinasi secara imperatif terbentuk atas hubungan
– hubungan kekuasaan antara beberapa kelompok pemeran kekuasaan yang ada
dalam masyarakat masyarakat. Kekuasaan menunjukkan adanya faktor “paksaan”
oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain. Dalam ICA hubungan kekuasaan
menjadi “tersahkan” atau terlegitimasi.
Dalam pandangan teori konflik dialektika , kekuasaan (power) dan otoritas
(authority) merupakan sumber yang langka dan selalu diperebutkan dalam sebuah
ICA.

4
Realitas Sosial , menurut Karl Max :
 Sistem sosial selalu berada dalam konflik yang terus menerus
 Konflik tercipta karena kepentingan yang saling bertentangan dalam
struktur sosial
 Kepentingan yang saling bertentangan merupakan refleksi dari
perbedaan dalam distribusi kekuasaan antar kelompok yang
mendominasi dan terdominasi
 Kepentingan cenderung mempolarisasi kedalam dua kelompok
kepentingan
 Konflik bersifat dialektika (suatu konflik menciptakan suatu
kepentingan yang baru, yang dibawah kondisi tertentu akan
menurunkan konflik yang berikutnya)
 Perubahan sosial adalah ciri/karakter yang selalu berada dimanapun
(ubiquitos feature) dalam setiap sistem sosial dan akibat dari konflik.
 Konflik dapat diatasi oleh kekuasaan yang dihimpun di dalam ICA.
à ICA yang dominan dapat meredam konflik
Dalam tinjauan konflik dialektika, suatu kepentingan bisa dinegoisasikan
antar kelompok dalam ica jika sudah menjadi kelompok kepentingan yang bersifat

5
riil sehingga, bersatunya individu yang memiliki kepentingan yang sama dalam
sebuah kelompok yang terorganisir menjadi hal yang penting.
Kepentingan yang sama dari beberapa individu, jika tidak diorganisasi
secara formal kedalam suatu kelompok, merupakan kepentingan semu karena
tidak ada yang bisa mewakili / mengatasnamakan pemilik kepentingan
Prasyarat kelompok semu terorganisir menjadi kelompok kepentingan :
 Kondisi teknis dari suatu organisasi/ technical conditions of
organizations (sejumlah orang yang mampu mengorganisasikan dan
merumuskan latent interest menjadi manifest interest)
 Kondisi politis dari suatu organisasi/ political conditions of
organization (adanya kebebasan politik untuk berorganisasi yang
diberikan oleh masyarakat)
 Kondisi sosial bagi suatu organisasi/social conditions of
organizations (adanya sistem komunikasi yang memungkinkan para
anggota dari suatu kelompok semu berkomunikasi satu sama lain
dengan mudah)

6
Menurut penganut teori konflik , “ Konflik tidak dapat dilenyapkan tetapi
hanya bisa dikendalikan agar konflik latent tidak menjadi manifest dalam bentuk
kekerasan.”

Bentuk pengendalian konflik :

1) Konsiliasi (conciliation)
Adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan – keinginan
dari pihak Terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang
memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan
diantara pihak-pihak yang berkonflik.

Lembaga – lembaga berfungsi efektif jika :


 Bersifat otonom dengan wewenang untuk mengambil
keputusan tanpa campur tangan pihak lain
 Kedudukan lembaga tersebut dalam masyarakt bersifat
monopolistis (hanya lembaga tersebut yang berfungsi
demikian)
 Peran lembaga harus mampu mengikat kelompok
kepentingan yang berlawanan. Termasuk keputusan –
keputusan yang dihasilkan
 Harus bersifat demokratis

Prasyarat kelompok kepentingan untuk konsiliasi :

 Masing-masing kelompok sadar sedang berkonflik


 Kelompok-kelompok yang berkonflik terorganisir secara
jelas

7
 Setiap kelompok yang berkonflik harus patuh pada rule of
the game

2) Mediasi (mediation)
Pihak yang berkonflik sepakat menunjuk pihak ketiga untuk
memberi “nasehat-nasehat” penyelesaian konflik tujuannya
mengurangi irisionalitas kelompok yang berkonflik.

3) Arbitrasi (arbitration)
Dilakukan/terjadi jika pihak yang bersengketa bersepakat untuk
menerima atau “terpaksa” menerima hasilnya pihak ketiga yang
akan memberikan “keputusan-keputusan” tertentu untuk mengurangi
konflik.

Jika pengendalian konflik efektif maka konflik akan menjadi kekuatan


pendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial yang terus berlanjut.

8
Daftar Pustaka

1. Nasikun. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa. 1984
2. Soekanto , Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT.Raja Grafindo
Perkasa. 1982
3. www.scribd.com/sistemsosialbudayaindonesia diakses pada Sabtu, 1 Mei 2010

pukul 08.37
4. www.wikipedia.com diakses pada Sabtu, 1 Mei 2010 pukul 09.00

5. www.google.com/ssbi/untagsamarinda diakses pada Sabtu, 1 Mei 2010 pukul

09.51

Anda mungkin juga menyukai