Anda di halaman 1dari 49

ETIKA

TOPIK 3
HATI NURANI SEBAGAI FENOMENA MORAL

Kesadaran dan Hati Nurani

Hati nurani adalah penghayatan tentang baik atau


buruk berhubungan dengan tingkah laku konkret
seseorang.
Hati nurani ini memerintahkan atau melarang
seseorang untuk melakukan sesuatu kini dan di sini.
Hati nurani berbicara tentang situasi yang sangat
konkret, bukan umum.
Tidak mengikuti hati nurani berarti menghancurkan
pribadi dan mengkhianati martabat terdalam.
Hati nurani berkaiatan erat dengan kenyataan
bahwa manusia mempunyai kesadaran

Perbedaan pengenalan (knowledge)


dan kesadaran (consciousness

Pengenalan (knowledge)

Mengenal bila melihat,


mendengar atau merasa
(termasuk binatang)

Kesadaran (consciousness)
Kesadaran hanya dimiliki
manusia.
Kesadaran: kesanggupan
manusia untuk mengenal
dirinya sendiri dank arena itu
berefleksi tentang dirinya.
Seekor binatang tidak
berpikir atau berefleksi
tentang dirinya

Kesadaran, conscientia (latin): scire (v, mengetahui) dan


awalan con (bersama dengan, turut).
Conscentia: berarti turut mengetahui
Hal ini menjelaskan gejala penggandaan: bahwa sayalah
yang melihat pohon itu. Sambil melihat, saya sadar akan
diri saya sendiri sebagai subyek yang melihat..
Kata conscientia digunakan juga untuk menunjukkan hati
nurani.
Dalam hati nurani, menunjukkan bahwa: bukan saja
manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat
moral (baik atau buruk), tapi ada juga yang turut
mengetahui tentang perbuatan-perbuatan moral; adalah
sama dengan pengertian conscientia

Hati Nurani Retrospektif dan Hati Nurani


Prospektif

HN Retrospektif: Memberikan penilain tentang perbuatanperbuatan yang telah berlangsung di masa lampau.
HN Retrospektif menuduh atau mencela, bila
perbuatannya jelek (a bad conscience); dan sebaliknya,
memuji atau memberi rasa puas, bila perbuatannya
dianggap baik (a clear/good conscience).
Seseorang merasa puas melakukan sesuatu karena telah
melakukan apa yang harus dilakukan (kewajiban).
HN Retrospektif merupakan semacam instansi
kehakiman dalam batin manusia tentang perbuatan yang
telah berlangsung.

Ada pendapat filsuf bahwa hati nurani dalam


keadaan gelisah (a bad conscience) merupakan
yang paling mendasar, sebagai hati nurani yang
sebenarnya. Di sini tampak dengan paling jelas
dampak dan tuntutan moralias atas seseorang.
Filsuf Jerman-Amerika, Hanna Arendt (1906-1975)
berpendapat bahwa hati nurani dalam keadaan
tenang hanya berarti tiadanya hati nurani yang
gelisah. Hati nurani sebagai instansi yang menilai
terutama bertindak negative: mengecam dan
mencela. Hati nurani yang tenang dengan demikian
dihasilkan karena dibebaskan dari segala tuduhan.

Hati Nurani Prospektif

HN Prospektif melihat ke masa depan dan


menilai perbuatan-perbuatan seseorang yang
akan datang.
HN Prospektif mengajak seseorang untuk
melakukan sesuatu atau mengatakan
jangan dan melarang untuk melakukan
sesuatu.
HN Prospektif terkandung semacam ramalan.
HN retrospektif yang akan datang, jika
menjadi kenyataan.

Hati Nurani Saat Ini

Hati nurani dalam arti yang sebenarnya


justru menyangkut perbuatan yang
sedang dilakukan kini dan di sini.
Hati nurani terutama adalan conscience,
turut mengetahui, pada ketika
perbuatan itu berlangsung.

Hati Nurani Bersifat Personal dan


Adipersonal
Hati Nurani Personal:
Berkaitan dengan pribadi bersangkutan.
Hati nurani berbicara atas nama pribadi.
Norma-norma dan cita-cita yang diterima
seseorang dalam hidup sehari-hari dan
seolah-oleh melekat secara pribadi, akan
nampak dalam hati nuraninya.
Tidak ada hati nurani yang persis sama.
Hati nurani diwarnai oleh kepribadian
seseorang

HN Adipersonal
HN Adipersonal:
HN melebihi pribadi seseorang, seolah-olah
merupakan instansi di atas pribadi.
Hati Nurani: hati yang diterangi (nur= cahaya).
Seolah-olah ada cahaya dari luar yang menerangi budi
dan hati seseorang.
Bahasa Indonesia: hati nurani: suara hati, kata hati,
suar batin.
Menunjukkan seakan-akan membuka diri terhadap
suara yang datang dari luar.
Hati nurani mempunyai aspek transenden, artinya,
melebihi pribadi.

Sebagai orang beragama, hati nurani adalah suara Tuhan


(Tuhan bebicara melalui hati nurani).
Hati nurani memili dimensi religious.
Bagi orang beragama tidak ada cara lebih jelas untuk
menghayati hubungan erat antara moralitas dan agama
daripada justru pengalaman hati nurani ini.
Tetapi adalah naf sekali, bila orang berpikir bahwa
melalui hati nurani Tuhan berbisik-bisik dalam batin
seseorang. Bila melakukan kekerasan atas nama Tuhan.
Hati nurani tidak melepaskan seseorang dari kewajiban
untuk bersikap kritis dan mempertanggungjawabkan
perbuatan-perbuatan seseorang secara obyektif.

Hati Nurani sebagai Norma


Moral yang Subyektif

Hati nurani apakah termasuk perasaan, kehendak, atau


rasio?
Filsafat dewasa ini telah terbentuk keyakinan bahwa manusia
tidak bisa dipisahkan ke dalam pelbagai fungsi atau daya.
Harus bertolak dari kesatuan manusia, di mana pelbagai
fungsi dapat dibedakan tapi tidak bolah dipisahkan.
Hati nurani memainkan peranan perasaan, kehendak, dan
rasio.
Dalam filsafat ada tendensi kuat untuk mengakui bahwa nati
nurani secara khusus harus dikaitkan dengan rasio. Sebab
hati nurani memberikan penilaian, artinya, satu putusan
(judgement). Memutuskan merupakan fungsi dari rasio.

Rasio Teoritis dan Rasio Praktis

Rasio teoritis adalah


memberi jawaban atas
pertanyaan, apa yang
dapat saya ketahui? Atau
juga: bagaimana
pengetahuan saya dapat
diperluas.
Rasio sumber
pengetahuan (termasuk
ilmu pengetahuan).
Bersifat abstrak.

Rasio teoritis

Rasio Praktis: terarah pada


tingkah laku manusia.
Rasio praktis memberi
jawaban atas pertanyaan:
apa yang harus saya
lakukan?
Rasio praktis memberi
penyuluhan bagi perbuatanperbuatan seseorang.
Bersifat konkret.

Rasio Praktis

Hati nurani sangat konkret sifatnya dan mengatakan


apa yang harus dilakukan kini dan di sini.
Putusan hati nurani mengkonkretkan pengetahuan etis
seseorang yang umum.
Pengetahuan etis seseorang (prinsip-prinsip moral yang
seseorang pegang dan nilai-nilai yang seseorang akui)
hampir tidak pernah siap pakai dalam keadaan konkret.
Hati nurani seolah-olah merupakan jembatan yang
menghubungkan pengetahuan etis seseorang yang
umum dengan perilaku konkret.
Putusan hati nurani bersifat rasional, tetapi tidak
mengemukankan suatu penelaran logis (reasoning).

Ucapan hati nurani pada umumnya


bersifat intuitif, artinya langsung
menyatakan: ini baik dan terpuji atau itu
buruk dan tercela (bagaikan tembakan).
Kadang-kadang putusan hati nurani bisa
memiliki sifat-sifat yang mengingatkan
seseorang pada suatu argumentasi,
terutama hati nurani prospektif.

Mengikuti hati nurani merupakan suatu hak


dasar bagi setiap manusia.
Tidak ada orang lain yang berwenang untuk
campur tangan dalam putusan hati nurani
seseorang.
Tidak boleh terjadi, bahwa seseorang
dipaksa untuk bertindak bertentangan
dengan hati nuraninya: Deklarasi Universal
tentang HAM (1948) disebut hak atas
kebebasan hati nurani (pasal 18).

Hati nurani mempunyai kedudukan kuat


dalam hidup moral seseorang.
Dipandang dari sudut subyek, hati nurni
adalah norma terakhir untuk perbuatanperbuatan seseorang.
Putusan hati nurani adalah norma moral
yang subyektif bagi tingkah laku seseorang.
Tetapi belum tentu perbuatan yang dilakukan
atas desakan hati nurani adalah baik juga
secara objektif. Hati nurani bisa keliru.

Hati nurani memang membimbing seseorang dan menjadi


patokan untuk perilaku seseorang, tapi yang sebenarnya
diungkapkan oleh hati nurani bukan baik buruknya
perbuatan itu sendiri,melainkan bersalah tidaknya sipelaku.
Bila perbuatan secara obyektif baik, tapi suara hati
menyatakan bahwa perbuatan itu buruk, maka dengan
melakukan perbuatan itu orang bersangkutan toh secara
moral bersalah.
Dan sebaliknya, orang tidak bersalah bila suara hatinya
menyangka perbuatan tertentu baik, sedangkan secara
obyektif perbutan itu buruk.
Jadi Hati nurani adalah norma perbuatan seseorang
pertama-tama sejauh menyangkut soal kebersalahan.

Tidak boleh bertindak bertentangan dengan hati


nurani.
Hati nurani selaku harus diikuti, juga kalau
secara objektif sesat.
Akan tetapi manusia wajib juga mengembangkan
hati nurani dan seluruh kepribadian etisnya
sampai menjadi matang dan seimbang.
Pada orang yang sungguh-sungguh dewasa
dalam bidang etis, putusan subyektif dari hati
nurani akan sesuai dengan kualitas obyektif dari
perbuatannya.

Pembinaan Hati Nurani

Hati nurani bersifat subyektif.


Ditentang oleh para filsuf yang dipengaruhi oleh cara
berpikir ilmu pengetahuan empiris.
Ilmu pengetahuan empiris mempunyai sebagai citacita: obyektivitas sempurna, keadaan yang sedapat
mungkin dilepaskan dari setiap unsure subyektif.
Subyektivitas = kurang serius, tidak bisa diandalkan,
sewenang-wenang.
Hati nurani bertugas untuk menerjemahkan prinsipprinsip dan norma-norma moral yang umum ke dalam
situasi konkret.
Hati nurani yang berfungsi dengan semestinya.

Moral insanity: kelainan jiwa yang membuat


orang seolah-olah buta di bidang etis,
sehingga tidak bisa membedakan antara
baik dan buruk. Tidak normal, tidak memiliki
hati nurani. Hati nurani ini harus diobati.
Hati nurani harus dididik, seperti akal budi
membutuhkan pendidikan.
Pendidikan hati nurani bersama dengan
seluruh pendidikan moral jauh lebih
kompleks sifatnya.

Tempat yang serasi untuk pendidikan moral adalah


keluarga, bukan sekolah (Filsuf Prancis Gabriel Madinier
(1895-1958).
Seperti tujuan akhir pendidikan sebagai keseluruhan
adalah kemandirian serta otonomi anak didik, demikian
juga di bidang moral. Anak-anak harus belajar
menjalankan kewajiban mereka karena keyakinan, bukan
karena paksaan dari luar. Ketakukan akan sanksi yang
mewarnai permulaan kehidupan moral, lama kelamaan
harus diganti dengan cinta akan nilai-nilai.
Kewajiban terhadap hukum moral mengikat semua orang.
Pendidikan hati nurani tidak membutuhkan sistem
pendidikan formal (keluarga).

HATI NURANI DAN SUPEREGO

Istilah superego berasal dari Sigmund Freud (18561939), dokter ahli saraf Austria yang meletakkan
dasar untuk psikoanalisis, istilah itu digunakannya
dalam rangka teorinya tentang struktur kepribadian
manusia.
Struktur Kepribadian- pandangan Freud
Sebagaimana tubuh memiliki struktur (kepala, badan,
kaki, dll).
Psike juga mempunyai struktur yang meliputi tiga
instasi atau tiga sistem yang berbeda-beda: Id, Ego,
dan Superego.
Superego berhubungan erat dengan hati nurani

Id

Id adalah lapisan yang paling fundamental


dalam susunan psikis seorang manusia.
Id meliputi segala sesuatu yang bersifat
impersonal atau anonym, tidak disengaja
atau tidak disadari, dalam daya-daya
mendasar yang menguasai kehidupan
psikis manusia.
Dengan Id berlaku bukan aku (=subyek)
yang melakukan, melainkan ada yang
melakukan dalam diri aku.

Id dibuktikan dalam tiga cara:

Mimpi. Bukan sayalah yang bermimpi tapi ada yang bermimpi


dalam diri saya.
Bila bermimpi, si pemimpi sendiri seolah-olah hanya
merupakan penonton pasif. Tontonan itu disajikan kepadanya
oleh ketaksadaran.
Perbuatan keliru, salah ucap, keseleo lidah, lupa, dsb.nya.
Perbuatan-perbuatan seperti itu tidak kebetulan, tapi berasal
dari kegiatan psikis yang tak sadar.
Neurosis. Dari segi fisiologis pasien-pasien itu tidak mengidap
kalainan apa-apa, namun pada kenyataannya mereka
mempunyai bermacam-macam gejala yang aneh, yang
disebabkan oleh faktor-faktor tak sadar.
Pasien neurotis bisa sembuh dengan menggali kembali
trauma psikis yang terpendam dalam ketaksadarannya.

Id terdiri dari naluri-naluri bawaan, khususnya naluri-naluri seksual


serta agresif, keinginan-keinginan yang direpresi.
Hidup manusia pada awalnya terdiri dari Id saja (janin, bayi baru lahir,
hidup psikisnya 100% Id saja).
Id sebagai bahan dasar perkembangan psikis lebih lanjut.
Pada mulanya Id sama sekali tidak terpengaruh oleh control pihak
subyek.
Id hanya melakukan apa yang disukai.
Id dipimpin oleh prinsip kesenangan (the pleasure principle).
Id tidak mengenal waktu (timeless).
Id tidak berlaku hukum logika.
Walaupun faktor-faktor tak sadar memainkan peranan besar dalam
neurosi, namun perlu ditekankan bahwa Id atau ketaksadaran
merupakan suatu kenyataan psikologis yang normal dan universal.
Hidup psikis setiap manusia didasarkan atas Id itu.

Ego

Ego atau Aku mulai mekar dari Id melalui


kontaknya dengan dunia luar.
Aktivitas Ego bisa sadar, prasadar maupun tak
sadar. (Sebagaian besar ego bersifat sadar).
Aktivitas sadar: persepsi lahiriah (melihat
pohon); persepsi batiniah (merasa sedih).
Aktivitas prasadar: fungsi ingatan, lupa.
Aktivitas tak sadar: mekanisme-mekanisme
pertahanan (defence mechanisms).

Ego dikuasai oleh prinsip realitas (the reality principle):


sebagaimana tampak dalam pemikiran yang obyektif,
yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan sosial, yang
besifat rasional dan mengungkapkan diri melalui bahasa.
Prinsip kesenangan dari Id di sini diganti dengan prinsip
realitas.
Tugas Ego (bukan Id dan naluri-naluri) untuk
mempertahankan kepribadiannya sendiri dan menjami
penyesuaian dengan alam seseseorang. Ego
mengontrol apa yang mau masuk kesadaran dan apa
yang akan dikerjakan.
Ego menjamin kesatuan kepribadian, atau mengadakan
sintesis psikis.

Superego

Ada instansi lain yang melepaskan diri dari Ego, yaitu


superego.
Superego bagian dari Ego, dan mempunyai susunan
psikologis lebih kompleks, tetapi juga mempunyai
perkaitan sangat erat dengan Id.
Superego dapat menempatkan diri di hadapan Ego
serta memperlakukannya sebagai obyek dan caranya
kerap kali sangat keras.
Bagi Ego sama penting mempunyai hubungan baik
dengan Superego seperti dengan Id.
Ketidakcocokan antara Ego dan Superego
mempunyai konsekuensi besar bagi hidup psikis.

Superego adalah instansi yang melepaskan diri dari


ego dalam bentuk observasi diri-, kritik-diri,
larangan dan tindakan refleksi lainnya, pokoknya,
tindakan terhadap dirinya sendiri.
Superego dibentuk selama masa anak melalui jalan
internalisasi (pembatinan) dari faktor-faktor represif
yang dialami subyek sepanjang perkembangannya.
Aktivitas Superego menyatakan diri dalam konflik
dengan Ego, yang dirasakan dalam emosi-emosi
seperti rasa besalah, rasa menyesal, rasa malu,
dan sebagainya.

Hati Nurani dan


Superego

Hati nurani tidak sama dengan Superego.


Hati Nurani
Konteks etis.
Hati nurani berfungi pada taraf sadar. Taraf sadar merupakan
prasyarat supaya hati nurani bisa berfungsi dengan baik, karena
selama tidak sadar tidak mungkin ia menjadi penuntun dan
penyuluh di bidang moral.
Superego
Konteks psikoanalitis atau metapsikologis.
Aktivias bisa tak sadar: pada tahap Superego baik sumber rasa
bersalah maupun rasa bersalah itu sedniri biasanya tidak disadari

Hubungan hati nurani dan


superego

Superego dimengerti sebagai dasar psikologis


bagi fenomena etis yang seseorang sebut hati
nurani atau lebih tepat seseorang katakana,
sebagai dasar psikologis antara lain bagi fungsi
seperti hati nurani yang etis. Bagi Freud, Superego
bersifat leibh luas daripada hati nurani saja.
Fungsi-fungsi psikis manusia pada permulaaan
hidupnya praktis sama dengan nol dan dari situ
mengalami suatu perkembangan berbelit-belit
sampai akhirnya mencapai taraf kedewasaan.
Hati nurani juga demikian.

Lawrence Kohlberg (AS 1927-1988):


Perkembangan Kesadaran Moral

Dipengaruhi oleh psikolog Swiss, Jean


Piaget (1896-1980).
Penelitian kepada usia 6 sd 28 tahun
(menyelidiki orang yang sama dalam
jangka waktu tertentu, untuk mengetahui
perkembangan moralnya).
Penelitiannya juga berlaku secara
transkultural dan tidak terbatas pada
suatu kebudayaan tertentu saja.

Metode

Mengemukakan sejumlah dilemma moral


khayalan kepada subyek-subyek penelitian.
Untuk dilemma-dilema itu tidak tersedia
pemecahan dalam lingkungan anak-anak
itu, sehingga mereka harus mencari
pemecahannya sendiri. Jadi tidak mungkin
mereka melaporkan saja apa yang mereka
saksikan di seseseorangrnya; mereka
harus menyampaikan keputusan moral
mereka sendiri.

Hal yang ingin dicapai

Bagaimana anak-anak memecahkan


dilemma moral itu.
Menyangkut isi keputusan moral
Alasan-alasan apa dikemukakan untuk
membenarkan pemecahan itu.
Stuktur dan bentuknya.

Yang menarik bagi Kohlberg, bukan terutama


penilaian-penilaian moral yang berbeda-beda,
melainkan struktur atau bentuk perbedaanperbedaan itu bersama dengan perkembangannya.
Kohlberg menemukan bahwa perkembangan moral
seorang anak belangsung menurut tiga tingkat,
masing-masing tingkat terdiri dari dua taham.
Tidak setiap anak berkembang sama cepat,
sehingga tahap-tahap itu tidak dengan pasti dapat
dikaitkan dengan umur tertentu.

PRAKONVENSIONAL
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuahan
Anak mendasarkan perbutannya atas
otoritas konkret (orang tua, guru) dan
hukuman yang akan menyusul, bila ia tidak
patuh.
Prespektif si anak semata-mata egosentris.
Ketakutan untuk akibat perbuatan adalah
perasaan dominan yang menyertai motivasi
moralnya.

PRAKONVENSIOANAL

Tahap 2: Orientasi relativis instrumental


Perbuatan adalah baik, jika ibarat
instrumen (alat) dapat memenuhi
kebutuhan sendiri dan kadang-kadang
juga kebutuhan orang lain.
Hubungan dengan orang lain sbg
hubungan tukar menukar.
Belum ada rasa loyalitas, terima kasih
atau keadilan.

KONVENSIONAL
Tahap 3: Penyesuaian dengan kelompok
atau orientasi menjadi anak manis.
Anak cenderung mengarahkan diri kepada
keinginan serta harapan dari para anggota
keluarga atau kelompok lain (sekolah).
Ingin bertingkah laku secara wajar
menurut norma-norma yang berlaku.
Maksud dan perbuatan mulai disadari

KONVENSIONAL

Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban


(law and order).
Paham kelompok dengan mana anak
harus menyesuaikan diri di sini diperluas:
dari kelompok akrab ke kelompok yang
lebih abstrak (suku bangsa, negara, agama)
Perilaku yang baik adalah melakukan
kewajibannya, menghormai otoritas dan
mempertahankan ketertiban sosial yang
berlaku demi ketertiban itu sendiri.

PASCAKONVENSIONAL
Tingkan otonom/berprinsip.
Hidup moral dipandang sebagai penerimaan tanggung
jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang dianut dalam
batin.
Tahap 5: Orientasi kontrak-sosial legalistis.
Disadari relativisme nilai-nilai dan pendapat-pendapat
pribadi dan kebutuhan akan usaha-usaha untuk mencapai
konsensus.
Apa yang disetujui dengan cara demokratis baik buruknya
tergantung pada nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi.
Hukum ditekankan, persetujuan bebasan dan perjanjian
sbg unsur pengikat bagi kewajiban.

PASCAKONVENSIONAL

Tahap 6: Orientasi prinsip etika yang


universal.
Orang mengatur tingkah laku dan penilaian
moralnya berdasarkan hati nurani pribadi.
Prinsip-prinsip etis (keadilan, kesediaan
membantu satu sama lain, persamaan hak
manusia dan hormat untuk martabat
manusia sebagai pribadi), dan hati nurani
berlaku secara universal.

Ciri Khas Perkembangan Moral

Sifat pertama ialah bahwa perkembangan


tahap-tahap selalu berlangsung dengan
cara yang sama, dalam arti, si anak mulai
dengan tahap pertama, lalu pindah ke
tahap kedua, dan seterusnya. Semua
tahap harus dijalani menurut urutan itu.
Sifat kedua: orang hanya dapat mengerti
penalaran moral satu tahap di atas tahap
di mana ia berada.

Sifat ketiga: bahwa orang secara kognitif merasa


tertarik pada cara berpikir satu tahap di atas
tahapnya sendiri. Sebabnya, karena cara berpikir
tahap berikutnya dapat memecahkan dengan
memuaskan dilemma moral yang dialami.
Sifat keempat: bahwa perkembangan dari satu
tahap ke tahp berikutnya terjadi bila dialami
ketidakseimbangan kognitif dalam penilaian
moral, artinya, orang sudah tidak melihat jalan
keluar untuk menyelesaikan masalah atau
dilemma moral yang dihadapi

Menurut isi dan bentuknya tahap 6 akan


dinilai sebagai puncak perkembangan
moral.
Oleh sebab itu tahap 6 harus menjadi
tujuan pendidikan moral, biarpun pada
kenyataannya hanya sedikit orang
mencapai tahap ini.

SHAME CULTURE DAN GUILT


CULTURE

Shame culture: kebudayaan di mana pengertian-pengertian


seperti hormat, reputasi, nama baik, status, dan
gengsi sangat ditekankan.
Bila orang melakukan suatu kejahatan, hal itu tidak
dianggap sesuatu yang buruk begitu saja, melainkan
sesuatu yang harus disembunyikan untuk orang lain.
Bukan perbuatan jahat itu sendiri dianggap penting; yang
penting ialah bahwa perbuatn jahat tidak akan diketahui.
Bila perbuatan jahat diketahui, pelakukanya menjadi malu.
Sanksi datang dari luar, yaitu apa yang dipikirkan atau
dikatakan orang lain.
Dalam shame culture, tidak ada hati nurani.

Guilt culture: kebudayaan di mana pengertianpengertian seperti dosa (sin), kebersalahan (guilt),
dan sebagainya sangat dipentingkan.
Sekalipun suatu kejahatan tidak akan pernah diketahui
oleh orang lain, namun si pelaku merasa bersalah juga.
Menyesal dan meraka kurang tenang akan
perbuatanitu sendiri, bukan karena dicela atau dikutuk
orang lain (bukan tanggapan dari luar).
Sanksi tidak datang dari luar melainkan dari dalam: dari
batin orang bersangkutan.
Dalam guilt culture, hati nurani memegang peranan
sangat penting.

Kebanyakan kebudayaan primitive dan hampir semua


kebudayaan Asia adalah shame culture.
Kebudayaan di Eropa dan Amerika adalah guilt culture.
Shame culture bersifat statis, ketinggalan di bidang
ekonomi, tidak memiliki norma-norma moral yang
absolute, dan ditandai oleh psikolog massa.
Guilt culture, khususnya bilamana rasa bersalah
dihayati secara individual, sanggup untk mengadakan
perubahan progresif (termask fenomena seperti
industrialisasi), memiliki norma-norma moral yang
absolute, dan memperhatikan kesejahteraan serta
martabat individu.

Antropolog, Clifford Geertz: paham-paham shame dan guilt


terlaku dekat satu sama lain untuk dapat dibedakan dengan
jelas.
Milton Singer, antropolog dari Universitas Chicago:
membantah bahwa untuk rasa malu sanksinya sellau datang
dariluar. Ada juga rasa malu yang tak sadar dan Karena itu
terbatas pada keadaan batin seseorang.
Bersifat statis dan terbelakang tidak terdapat dalam
kebudayaan Jepang.
Singer: pada kenyataannya rasa malu dan rasa bersalah
terdapat dalam kebanyakan kebudayaan dan bahwa sejauh
rasa malu atau asa besalah lebih besar dalam suatu
kebudayaan hal itu tidak berarti sejauh itu juga kebudayaan
tersebut lebih terbelakang atau lebih maju.

Anda mungkin juga menyukai