Anda di halaman 1dari 13

REVISI

MODEL PENELITIAN POLITIK STUDI TENTANG PERCATURAN DALAM


KONSTITUANTE, ISLAM DAN MASALAH KENEGARAAN
AHMAD SYAFII MAARIF

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester (UAS)
Mata Kuliah Pendekatan Dalam Pengkajian Islam yang
Di Bimbing Oleh Bapak Dosen Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain.

NAMA

: HUSAIRI

NIM

: 1520420009

PROGRAM MAGISTER
KONSENTRASI GURU KELAS
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN 2015
1

MODEL PENELITIAN POLITIK STUDI TENTANG PERCATURAN DALAM


KONSTITUANTE, ISLAM DAN MASALAH KENEGARAAN
AHMAD SYAFII MAARIF
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia dikenal sebagai bangsa muslim terbesar di dunia. 1 Pada tahun 1980 sekitar 88
% rakyat Indonesia beragama Islam, sekalipun Islam tidak disebut dalam konstitusi sebagai
Negara Islam. 2 Dan agama telah menjadi kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan sosial manusia, selain itu agama juga diyakini tidak hanya
berbicara soal ritual semata melainkan juga berbicara tentang nilai-nilai yang harus
dikonkretkan dalam kehidupan sosial dan dalam ranah ketatanegaraan, sehingga muncul
tuntutan agar nilai-nilai agama diterapkan dalam kehidupan bernegara.3Agama dan politik
merupakan dua aspek fundamental dalam kehidupan manusia, dan persoalan hubungan
antara keduanya juga telah menjadi bahan pamikiran para ilmuwan, filsuf maupun teolog
sepanjang sejarah.Salah satu karakteristik Islam sebagai agama

pada awal-awal

perkembangannya adalah kejayaan di bidang politik. Islam tidak hanya menampilkan dirinya
sebagai perhimpunan kaum beriman yang mempercayai kebenaran yang satu dan yang sama,
melainkan juga sebagai masyarakat yang total dalam kehidupan bermasyarakat.4
Masyarakat islam menginginkan kepada islam cita-cita, yang merupakan gambaran
toalitas pandangan hidup umat muslim sebagai mana yang dikandung dan dilukiskan oleh AlQuran dan sunnah otentik dari Nabi Muhammad SAW. Islam cita-cita ini, sebagaimana
yang telah diterjemahkan kedalam realitas sejarah pada masa Nabi Muhammad SAW dan
beberapa tahun setelah itu, tetap merupakan sumber inspirasi yang tidak habis-habisnya bagi
umat islam sejak saat itu.
Perdebatan

tentang

hubungan

antara

agama

dan

negara

pasca kemerdekaan

Indonesia tahun 1945 tidak pernah lepas dari diskursus kelompok Islam Politik yang
menghendaki Islam menjadi dasar negara, dan gagasan kelompok Nasionalis-Sekular yang
1

Menurut Buku Statistik Indonesia, (Jakarta: Biro Pusat Statistik Indonesia, 1975 ), hal.3.
Mohammad Natsir, Some Observation Concerning The Role Of Islam In National And International
Affairs (Ithaca, New York: Depertement Of Far Eastern Studies, Cornell University, 1954), hal.1.
3
Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Negara dan Agama Merajut Hubungan Antar Umat. (Jakarta : Buku
Kompas.2002. ) hlm 34-35
4
Nurcholis Madjid, kata pengantar dalam Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Study
Tentang Percaturan dalam Konstituante.(Jakarta: LP3ES,1985), hlm.IX.
2

menghendaki

pembagian wilayah

politis

antara

kepercayaan

dan

ruang

publik.

Indonesia sebagai negara dengan dominasi kuantitatif penduduk beragama Islam


mengalami problematika dalam perihal menetapkan agama dalam kehidupan bernegara
pada masa-masa awal kemerdekaan.Dalam konteks kehidupan politik abad modern, arus
demokrasi dan nasionalisme sekuler turut mendapat perhatian negara-negara yang
sedang memperjuangkan kemerdekaannya awal abad 20, termasuk para intelektual Muslim
di Indonesia.
Gagasan tentang relasi Islam dan Negara selalu menjadi wacana aktual di Indonesia
meskipun telah diperdebatkan beberapa tahun yang lalu, Ketegangan dan perdebatan ini
muncul menjelang pemilu karena momen ini merupakan kesempatan besar bagi semua
golongan yang ingin memperjuangkan aspirasi politiknya, baik itu yang berideologikan
Nasionalisme sekuler , maupun Islam.Sejak Pancasila dijadikan dasar ideologi formal
Republik Indonesia pada tahun 1945 oleh Soekarno, Pancasila menjadi bagian perdebatan
politik yang tidak terelakan oleh politikus dan agamawan, khususnya Islam. 5Keinginan
sebagian kalangan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara bukanlah fenomena yang
baru, ini telah mencuat sejak Indonesia masih berumur belasan bulan, tepatnya ketika
penentuan dasar negara.Wacana negara Islam dan formalisasi Syariat Islam di Indonesia kian
merebak pasca tumbangnya rezim otoriter Orde Baru.
B. Rumusan Masalah
Salah satu hasil penelitian bidang politik yang dilakukan Ahmad Syafii Maarif tertuang
dalam bukunya berjudul Islam dan Masalah Kenegaraan, yang diterbitkan oleh LP3ES
Jakarta, tahun 1895.Dalam buku ini ahmad syafii maarif berusaha merumuskan permasalahan
penelitiannya, yaitu : Seberapa jauh perjuangan para pemikir islam untuk menjadikan Islam
sebagai falsafah atau dasar negara Indonesia
C. Telaah Hasil Penelitian terdahulu
Penelitian di bidang politik dengan menggunakan pendekatan historis normatif dilakukan
pula oleh Harry J. Benda, sebagaimana terlihat dalam bukunya berjudul Bulan Sabit dan
Matahari Terbit Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang.Dilihat dari segi
cakupannya, secara garis besar penelitian ini membawa perkembangan islam di pulau Jawa

Douglas E. Ramage, Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi, alih
bahasa Hartono Hadikusumo, (cet. ke-1. Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 2

saja. Batasan ruang lingkup yang patut disesalkan ini sebagian besar ditentukan oleh sumbersumber bahan yang bisa diperoleh.Terutama bagi masa Jepang, catatan-catatan tertulis dari
pulau-pulau lain, dengan beberapa pengecualian kecil, tidak dapat diperoleh penelitian.
Sedangkan efek-efek dari masa pendudukan Jepang terhadap islam Indonesia di Aceh, salah
satu daerah islam di Sumatera yang kokoh keislamannya, telah menjadi pembahasan yang
sangat bagus dari monograf Belanda, nasib masyarakat islam di daerah-daerah lain di
Nusantara, terutama di daerah pantai barat sumatera yang penting itu, masih harus dipelajari
secara terperinci.
Selanjutnya dikatakan dalam buku tersebut, karena aspek politik islam Indonesia
merupakan pokok utama dalam buku tersebut, generalisasi tidak dapat dihindarkan.
Pembahasan seperti ini terpaksa tidak memperdulikan adanya perbedaan regional yang
meliputi islam bahkan dalam konteks terbatas di pulau Jawa, dimana cabang-cabang
politiknya, teristimewa di Karesidenan Banten di Jawa Barat, dinilai harus mendapatkan
perhatian sendiri. Diantara kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian tersebut adalah
meskipun islam di daerah lain tak dapat disangkal telah memainkan peranan utama di dalam
perkembangan politik Indonesia, di Jawa menurut Benda telah mendapatkan perwujudan
organisatoris paling penting. Disanalah juga, kelompok-kelompok islam paling langsung
terlibat dalam membentuk politik Indonesia pada umumnya.
Dari uraian tersebut di atas, terlihat bahwa model penelitian yang dilakukan Harry J.
Benda mengambil bentuk penelitian kepustakaan dengan corak penelitian deskriptif, dengan
menggunakan pendekatan analisis sosio historis, sebagaimana penelitian yang dilakukan
Syafii Maarif tersebut di atas. 6
D. Metode Penelitian
Memahami berbagai pendekatan dalam masalah politik sangat diperlukan sebagai alat
untuk melakukan kajian dan untuk melakukan analisa terhadap model penelitian yang kita
lakukan dan yang dilakukan oleh orang lain.Dengan menggunakan metode penelitian
kepustakaan yang handal dan dengan pendekatan normatif historis, Syafii Maarif berhasil
mengeksplorasi perpolitikan umat Islam Indonesia pada abad ke-20.Terlihat dengan jelas
bahwa model penelitian politik yang dilakukan Syafii Maarif sangat baik untuk dijadikan
model
6

oleh

para

penelitian selanjutnya.Bentuk

penelitiannya

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam ( Jakarta : Raja Wali Pers, 2009), hlm.350

bercorak

deskriptif

analitis.Pendekatan dan analisis yang digunakannya bersifat normatif historis, sedangkan


data-dat yang digunakannya bersumber pada kajian kepustakaan.
E. Pembahasaan
Hubungan politik antara islam dan negara di Indonesia pada sebagian besar dalam sejarah
adalah kisah antagonism dan kecurigaan satu sama lain. Hubungan yang tidak mesra ini
terutama, tetapi tidak seluruhnya, disebabkan oleh perbedaan pandangan pada pendiri
republic ini, yang sebagian besarnya muslim, mengenai hendak dibawa kemanakah negara
yang baru merdeka ini. Salah satu yang menjadi pedebatan mengenai falsafah negara,
apakah negara ini bercorak islam atau nasionalis. Konstruk kenegaraan yang pertama
adalah mengharuskan agar islam, karena sifatnya yang holistik dan kenyataannya bahwa
agama itu dianut oleh sebagian besar penduduk, harus diakui dan diterima sebaagi dasar
negara. Tetapi atas dasara pertimbangan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang secara
sosial kegamaan bersifat heterogen, demi persatuan negara, maka bentuk kenegaraan yang
kedua mendesak agar negara ini didasarkan kepada pancasil. 7
Berbicara secara ideologis, perdebatan serius antara wakil-wakil golongan islam dan
kelompok nasionalis sekuler dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan) harus kita ikuti dengan cermat. Dalam perdebatan-perdebatan yang cukup
lama, gagasan negara berdasar islam muncul secara resmi buat pertama kali dalam sejarah
moderen Indonesia. Isyu yang paling krusial dalam perdebatan itu adalah pembicaraan
tentang dasar falsafah ideology negara bagi Indonesia setelah kemerdekaan. Pada 9 April
1945, BPUPKI dalam bahasa jepang dikenal dengan sebutan Dokoritsu zyunbi tyoosakai.
Panitia ini dilantik pada tanggal 28 mei, dan antara tanggal 29 mei dan 1 juni diadakan siding
yang pertama. Anggotanya mula-mula 62, kemudian ditambah 6 lagi hingga berjumlah 68.
Menurut pengamatan Prawoto mangkusasmito, pertimbangan kekuatan politik dalam
BPUPKI adalah sebagai berikut: dari 68 anggota hanyalah 15 saja yang benar-benar
mewakili aspirasi politik golongan islam. 8 Selebihnya sebagian besar dari kelompok
nasionalis sekuler sudah tegas-tegas menolak islam sebagai dasar negara. Wakil-wakil
golongan islam itu antara lain: K.H.A Sanusi, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Masjkur, Abdul
7

Bahtiar Efendy, Islam Dan Negara, Transformasi Gagasan Dan Praktik Politik Islam Di Indonesia
(Jakarta: Paramadina, 2009), hlm.62.
8
Prawoto Mangkusasmoto, Petumbuhan Hostoris Rumus Dasar Negara Dan Sebuah Projeksi (Jakarta:
Hudaya, 1970), hlm.12.

Kahar Muzakkir, K.H.A. Wachid Hasjim, Sukiman Wirasandjojo, Abikusno Tjokrosojoso,


Agus Salim, dan K.H. Abdul Halim. Ketua BPUPKI adalalh Dr. Radjiman Wedyoningrat,
seorang mistik jawa, menurut petimbangan politik sepeti di atas, sebenarnya sekitar 20 persn
saja yang mewakili apresiasi politik kelompok pendukung dasar islam bagi negara yang
hendak diciptakan. Tokoh-tokoh terkemuka dari pihak nasionalis adalah Dr Radjiman,
sukarno, mohammad hatta, professor supomo, Muhammad yamin, wongsonegoro, sartono,
R.p. suroso, dan Dr. Buntaran Martoatmojo.9Dari kelompok pembela dasar islam,juru bicara
terkemuka adalah Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Ahmad Sanusi, Kahar Muzakkir, dan K.H.A.
Wachid Hasjim. Perdebatan tentang dasar negara dalam siding-sidang BUPKI memang
tegang dan panas. Ada dua aliran politik yang muncul kepermukaan: paham pertama dibela
oleh ahli-ahli agama yang yang bertujuan menirikan suatu negara islam di Indonesia. Kedua
sebagaimana yang disarankan oleh hatta ialah paham pemisahan antara urusan negara dan
urusan islam. Pendeknya bukan suatu negara islam.
Isyu tentang

dasar negara telah memaksa para pendiri republic Indonesia untuk

menjalani masa-masa yang sulit dalam sejarah modern Indonesia. Tetapi akhirnya sebuah
kompromi politik dalam bentuk piagam Jakarta pada tanggal 22 juni 1945 dapat dicapai.
Piagam Jakarta adalah hasil kerja sebuah panitia kecil dari BPUPKI yang diketui oleh
sukarno dan ditanda tangani oleh Sembilan anggota terkemuka. Proklamasi kemrdekaan RI
tahun 1945 telah memeberi kesempatan yang sama kepada berbagai aliran politik di
Indonesia untuk dengan bebas membentuk parati politik sebagai sarana demokrasi.
Kesempetan ini tidak disia-siakan oleh umat islam. Maka pada tanggal 7/8 november 1945
melalui sebuah kongres umat islam di Yogyakarta dibentuklah sebuah partai politik islam
dengan nama masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia), dengan tujuannya ialah
terlaksananya ajaran dan hukum islam di dalam kehidupan orang-orang, masyarakat, dan
negara republic Indonesia, menuju keridhoan Ilahi. 10
Dalam kongres November 1945 itu para pemimpin umat telah mencapai suatu kata
sepakat tentang masyumi sebagai satu-satunya partai politik islam. Tetapi dalam
perkembangan sejarah pada tahun-tahun berikutnya, kesepakatan November itu baik dalam
teori ataupun dalam praktek tidak bertahan lama.Pada bulan juli 1947 PSSI keluar dari
9

Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar (Jakarta: Prapanca, 1959), hlm.61
Pimpinan Masyumi Bagian Keuangan, Pedoman Perjuangan Masyumi (Jakarta: P.P. Masyumi, 1955),
hlm.6.

10

masyumi dan pda tahun 1952 NU juag mengikuti jejak PSSI keluar dari masyumi. Apapun
interprestasi yang diberikan orang dalam membaca hubungan antara dua kelompok besar
umat islam Indonesia, yang penting adalah umat secara keseluruhan turut serta dalam
pemilihan umum tahun 1955 dengan kekuatan yang terpecah belah. Dan pada tanggal 29
September 1955 Pemilihan Umum pertama di Indonesia diselenggarakan dan di ikuti oleh
tidak kurang dari 28 partai politik.
No. Partai
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.

Jumlah Suara Persentase

Partai Nasional Indonesia (PNI)


8.434.653
Masyumi
7.903.886
Nahdlatul Ulama (NU)
6.955.141
Partai Komunis Indonesia (PKI)
6.179.914
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
1.091.160
Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
1.003.326
Partai Katolik
770.740
Partai Sosialis Indonesia (PSI)
753.191
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 541.306
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
483.014
Partai Rakyat Nasional (PRN)
242.125
Partai Buruh
224.167
Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)
219.985
Partai Rakyat Indonesia (PRI)
206.161
Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)
200.419
Murba
199.588
Baperki
178.887
Persatuan Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro 178.481
Grinda
154.792
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
149.287
Persatuan Daya (PD)
146.054
PIR Hazairin
114.644
Partai Persatuan Tharikah Islam (PPTI)
85.131
AKUI
81.454
Persatuan Rakyat Desa (PRD)
77.919
Partai Republik Indonesia Merdeka (PRIM)
72.523
Angkatan Comunis Muda (Acoma)
64.514
R.Soedjono Prawirisoedarso
53.306
7

22,32
20,92
18,41
16,36
2,89
2,66
2,04
1,99
1,43
1,28
0,64
0,59
0,58
0,55
0,53
0,53
0,47
0,47
0,41
0,40
0,39
0,30
0,22
0,21
0,21
0,19
0,17
0,14

Jumlah
Kursi
57
57
45
39
8
8
6
5
4
4
2
2
2
2
2
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

No. Partai

Jumlah Suara Persentase

29. Lain-lain

1.022.433
37.785.299

Jumlah

2,71
100,00

Jumlah
Kursi
257

Sekalipun pesertanya demikian banyak, namun secara ideologis mereka dapat


digolongkan secara kasar kedalam tiga aliran ideology yang memang telah ada sebelum
perang, yaitu: islam, sosialisme dan nasionalisme sekuler. 11Hasil pemilihan umum ternyata
tidak memuaskan pihak manapun. Hasil bersih menunjukkan bahwa partai-partai islam
memperoleh kurang dari 45 persen dari seluruh suara yang masuk. Perdebatan tentang
masalah dasar negara berlansung dengan sengitnya sampai majelis konstituante dibubarkan
oleh presiden Sukarno pada bulan juli 1959 dalam usahanya menciptakan suatu tatanan
politik baru yang dikenal dengan sebutan demokrasi terpimpin (1959-1965).
Dalam sejarah perjalanan Islam Indonesia, ada sebagian kalangan yang menginginkan
Islam sebagai dasar negara Indonesia dengan alasan bahwa mayoritas penduduk Indonesia
adalah Muslim. Tokoh Islam Indonesia yang dengan sangat antusias menginginkan
Indonesia sebagai negara Islam adalah Muhammad Natsir, dalam bukunya yang berjudul
islam sebagai idiologi12atau dalam bentuk sumbangan karangan dengan judul agama dan
Negara13dengan pemikiran persatuan negara dan agama. Dalam pidatonya didepan Majelis
Konstituante pada tahun 1957, Natsir mempertegas kembali dan menjelaskan lebih lanjut
pendiriannya tentang hubungan islam dan negara di Indonesia

dimana umat islam

merupakan pemeluk yang mayoritas.Natsir berdalil bahwa untuk dasar negara Indonesia
hanya mempunyai dua pilihan yakni paham sekularisme (La Diniyyah) dan paham agama
(Dini). 14
Bagi Natsir, Negara sebagai kekuatan dunia merupakan sesuatu yang mutlak dalam AlQuran dan hanya dengan kekuasaan politik (Negara) aturan-aturan dan ajaran-ajaran Islam
dapat terimplementasikan dalam kehidupan nyata, maka dari itu Natsir membela prinsip
11

buat mereka yang ingin mengikuti sepintas tentang tiga aliran ideology ini, lihat soedjatmoko, The Role
Of Political Parties In Indonesia dalam Philip W. Thayer (ed), Nationalism And Progress In Free Asia
(Baltimore: The Jhon Hopkins Press, 1956), hal.129.
12
Muhamma Natsir, Islam Sebagai Ideology (Jakarta: Pustaka Aida, 1951),
13
Muhammad Natsir, Agama Dan Negara, Dalam M Isa Anshari,Falsafah Perjuangan Islam (Medan:
Saiful,1951), hlm.285.
14
Muhmmad Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara (Bandung: Pimpinan Fraksi Masyumi Dalam
Konstituante, 1957), hlm.12.

persatuan negara dan agama. Menurut natsir mengapa partai-partai islm menguslulkan islam
senagai dsar negara adalah, bahwa islam punya sifat-sifat sempurna bagi kehidupan negara
dan masyarakat dan dapat menjamin keragaman hidup antara berbagai golongan dalam
negara dengan penuh toleransi. Sedangkan menurut Zainal Abidin Ahmad dalam pidatonya
di depan majelis kanstituante, ahmad mengajukan dua alasan pokok mengapa islam
dipilihnya sebagai dasar negara, pertama, kelompok penguasa harus mendapat persetujuan
darai golongan rakyat yang mayoritas, kedua, golongan minoritas haruslah terjaminhakhaknya. 15
Dari pihak yang menginginkan pancasila sebagai dasar negara Indonesia adalah Arnold
Mononutu, dia menganggap pancasila sebagai pancaran nilai-nilai agama Kristen, dan bukan
suatu perumusan belaka, akan tetapi pancasila merupakan satu bnetuk filsafat yang logis,
bersifat relegius monistis yang dapat kami terima sebagai orang Kristen untuk dijadikan
Dasar Negara Republic Indonesia. Mononutu menentang keras dasar Islam sebagai negara
Indonesia. Menurut pendapatnya ini akan mnejadi penjajahan spiritual bagi kelompok yang
minoritas.
Kritik Hatta terhadap dua kelompok yang bertentangan, terutama kelompok islam dalam
majelis konstituante menarik untuk dipetimbangan. Hatta menulis: Dua golongan besar
yang hebat berjuang dalam konstituante. Aliran yang berpegang dengan mulut kepada
pancasila yang berikutnya kira-kira 52 persen dalam konstituante, dan aliran negara islam
yang sekongannya dalam konstituante hanya 48 persen. Mneurut peraturan undang-undang
yang menjadi dasar konstituante, suatu usul dalam konstituante hanya dapat diterima dengan
suara 2/3 terbanyak, yaitu kira-kira 67 persen. Jadi aliran yang menuntut negara islam bagi
Indonesia tidak akan dapat mencapai cita-citanya. Sungguhpun demikian mereka terus
memperjuangkan tujuan mereka dalam konstituante.Alangkah baiknya apabila mereka
menunjukkan sikap toleransi.Setelah mereka berjuang sungguh-sungguh dan kalah suara,
mereka tidak merumuskan perjuangan itu dan secara demokrasi menerima kekalahan itu dan
mufakat dengan pancasila, sebagai bermula menjadi dasar negara. Tetapi karena terus
menerus mendesakkan negara islam dengan tiada kemungkinan untuk mendapatkan suara 2/3
terbanyak, Bung Karno membubarkan konstituante dan mendkritkan kembali UUD 1945.

15

Konstituante Republic Indonesia, Tentang Dasara Negara Republic Indonesia Dalam Konstituante
(Bandung: 1958), hlm. 373.

Tindakan itu disetujui oleh DPR yang dipilih pada Tahun 1955 dengan suara terbanyak dan
dengan itu tindakan diktatur disetujui oleh DPR yang berlandasan demokrasi.Tidak lama
sesudah itu karena berlainan pendapat Bung Karno membubarkan DPR dan menggatikanya
dengan Dewan Perwakilan baru, yang anggotanya ditunjuk sendiri. Dua kali dalam waktu
yang singkat ia berbuat bertentangan dengan pancasila. Tidak sedikit orang yang berkata
diwaktu itu, orang yang menggali pancasila menguburkan sendiri galiannya itu16
Perdebatan tentang dasar ideology negara dalam mejelis konstituante belangsung sampai
rapatnya yang terahir pada tanggal 2 juni 1959, tanpa suatu keputusan.Dengan demikian
pembuatan suatu undang-undang dasar permanen menjadi terbengkalai.Pihak pemerintah
membaca situasi ini sebagai suatu kemacetan konstitusional yang serius.Maka pada tanggal 5
juli 1959, presiden Sukarno dengan sokongan penuh dari pihak militer mengeluarkan dekrit
untuk kembali kepada UUD 1945 dan sekaligus membubarkan majelis konstituante yang
dipilih rakyat ini.
F. Sumbangan Keilmuan
Terlihat dengan jelas bahwa model penelitian politik yang dilakukan Syafii Maarif
sangat baik untuk dijadikan model oleh para penelitian selanjutnya.Bentuk penelitiannya
bercorak deskriptif analitis.Pendekatan dan analisis yang digunakannya bersifat normatif
historis,

sedangkan

data-dat

yang

digunakannya

bersumber

pada

kajian

kepustakaan.Berbagai aspek yang lainnya yang lazim ada dalam penelitian, yaitu latar
belakang pemikiran, tujuan, kerangka teori serta manfaat dari penelitian ini juga amat jelas.
Akhirnya, perlu dicatatahmad syafii maarif dalam kajian ini telah menyumbangkan
sebuah batu merah (keilmuan) tentang situasi relegius intelektual umat islam Indonesia yang
berkiatan dengan: Islam di Indonesia, usaha-usaha untuk mengubah Indonesia menjadi suatu
negara islam dan prospek islam di Indonesia nampaknya banayk tergantung pada
kemampuan intelektual muslim. Sejak kemerdekaan Indonesia telah memiliki tiga UUD
sementara, yaitu: UUD 1945, UUD 1949 dan UUD 1950. Dengan dekrit 5 Juli 1959, UUD
1945 berlaku kembali dan dinyatakan sbagai UUD permanen.Dalam tiga UUD itu pancasial
dijadikan dasar ideology negara.

16

Mohammad Hatta, Menuju Negara Hukum (Jakarta: Idayu Press, 1977), hal.16

10

G. Kesimpulan
Perbedaan pendapat dalam menentuka

dasar negara antara islam dan pancasila

berlangsung cukup lama karena tidak menemukan titik temu antara para pamikir islam
dengan para nasionalisme sekuler. Mulai dari awal pembentukan badan konstituante samape
dengan pembubaran oleh presiden Sukarno tidak menentukan titik terang dasar negara,
sehingga resmi majelis konstituante dibubarkan pada 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh
Presiden Indonesia yang pertama Soekarno. pada 5 Juli 1959 dikenal dengan sebutan dekkrit
presiden. Isi dekrit ini adalah pembubaran Badan Konstituante hasil Pemilu 1955 dan
penggantian undang-undang dasar dari UUD Sementara 1950 ke UUD 1945.
Dekrit Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk
menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950.Anggota konstituante mulai bersidang
pada 10 November 1956.Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958 belum berhasil
merumuskan UUD yang diharapkan.Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-pendapat
untuk kembali kepada UUD 1945 semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden
Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante pada 22 April 1959
yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945. Pada 30 Mei 1959 Konstituante
melaksanakan pemungutan suara.Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara
tidak setuju.

11

H. Daftar Pustaka
Nurcholis Madjid, kata pengantar dalam Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah
Kenegaraan, Study Tentang Percaturan dalam Konstituante.(Jakarta: LP3ES,1985)
Menurut Buku Statistik Indonesia, (Jakarta: Biro Pusat Statistik Indonesia, 1975 )
Mohammad Natsir, Some Observation Concerning The Role Of Islam In National And
International Affairs (Ithaca, New York: Depertement Of Far Eastern Studies, Cornell
University, 1954)
Buat mereka yang ingin mengikuti sepintas tentang tiga aliran ideology ini, lihat
soedjatmoko, The Role Of Political Parties In Indonesia dalam Philip W. Thayer
(ed), Nationalism And Progress In Free Asia (Baltimore: The Jhon Hopkins Press,
1956),
Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Negara dan Agama Merajut Hubungan Antar
Umat. (Jakarta : Buku Kompas.2002. )
Douglas E. Ramage, Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi
Toleransi, alih bahasa Hartono Hadikusumo, (cet. ke-1. Jogjakarta: Mata Bangsa,
2002)
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah
Refleksi Sejarah (Cet.I, Bandung : PT Mizan Pustaka)
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam ( Jakarta : Raja Wali Pers, 2009)
Philip Babcock Gove Et Al, Websters Third New International Dictionary Of The
English Language (Springfield, Massachusetts: Merriam Company, 1961)
Ahmad Manzuruddin, The Classical Muslim State, Islamic Studies (September 1962)
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara Studi tentang
Perdebatan dalam Konstituante. (Jakarta : Pustaka LP3ES, 2006)
Gibb, The Origin And Early Development Of Shia (London: Longman, 1979)
Muhamma Natsir, Islam Sebagai Ideology (Jakarta: Pustaka Aida, 1951)
Muhammad Natsir, Agama Dan Negara, Dalam M Isa Anshari,Falsafah Perjuangan
Islam (Medan: Saiful,1951)
12

Muhmmad Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara (Bandung: Pimpinan Fraksi Masyumi
Dalam Konstituante, 1957)
Konstituante Republic Indonesia, Tentang Dasara Negara Republic Indonesia Dalam
Konstituante (Bandung: 1958)
Bahtiar Efendy, Islam Dan Negara, Transformasi Gagasan Dan Praktik Politik Islam Di
Indonesia (Jakarta: Paramadina, 2009)
Prawoto Mangkusasmoto, Petumbuhan Hostoris Rumus Dasar Negara Dan Sebuah
Projeksi (Jakarta: Hudaya, 1970)

13

Anda mungkin juga menyukai