2011-1-00022-Ak 2
2011-1-00022-Ak 2
LANDAS AN TEORI
II.1
Pengantar Pajak
Definisi pajak yang terkenal dalam dunia akademik dikemukakan oleh Prof. Rochmat
Soemitro dalam buku M ardiasmo (2009:1) yaitu :
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Dari definisi di atas terlihat bahwa pajak harus berdasarkan Undang-undang yang
disusun dan dibahas bersama antara pemerintah dan DPR sehingga pajak merupakan
ketentuan berdasarkan kehendak rakyat, bukan kehendak penguasa semata. Pembayar
pajak tidak akan mendapat imbalan langsung. M anfaat dari pajak akan dirasakan oleh
seluruh masyarakat baik yang membayar pajak maupun yang tidak membayar pajak.
M enurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani dalam buku Surkadji (2005:9), pajak adalah
iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib pajak
membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan baik tidak mendapatkan prestasi
kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah membiayai
pengeluaran-pengeluaran
umum
berhubungan
dengan
tugas
negara
untuk
menyelenggarakan pemerintahan.
6
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Definisi versi Undang-undang Ketetapan Umum Perpajakan (KUP) Undangundang Nomor 28 Tahun 2007, ini nyaris hampir sama dengan definisi Rochmat
Soemitro. Kata-kata iuran diganti dengan kata kontribusi yang nadanya lebih
bersifat positif karena mengandung makna partisipasi masyarakat. Kemudian ada
tambahan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat yang membuat kata pajak lebih
bernilai positif karena untuk tujuan kemakmuran rakyat melalui penyediaan barang dan
jasa publik seperti pertahanan, keamanan, pendidikan, kesehatan, jalan raya, dan fasilitas
umum lainnya.
M enurut Erly, S (2009: 11) Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak
memiliki ciri-ciri:
M enurut Suhartono (2007: 75) Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh
negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk pengenaan pajak,
khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering
digunakan oleh negara sebagai landasan untuk pengenaan pajak adalah:
Asas domisili, atau disebut juga asas kependudukan berdasarkan asas ini negara
mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi
atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan
penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan
berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan darimana penghasilan
8
yang dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini,
dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduknya akan menggabungkan asas
domisli (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang
diperoleh Negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri.
Asas sumber, negara menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila
penghasilan yang dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau
badan yang bersangkutan dari sumber-sumber dari negara itu.
Dalam asas ini, tidak terjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang
atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan
pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu.
Contoh : Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang
didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
Asas kebangsaan, atau asas nasionalitas dan disebut juga asas kewarganegaraan.
Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan
dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah
menjadi persoalan darimana penghasilan yang dikenakan pajak berasal. Seperti halnya
dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdsarkan asas nasionalitas ini dilakukan
dengan cara menggabungan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas luar
negeri.
Perbedaan di Indonesia yaitu ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undangundang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
10 Tahun 1994, dan perubahan terakhir yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007
khususnya yang mengatur mengenai subjek pajak dan objek pajak, dapat disimpulkan
bahwa Indonesia menganut asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem
perpajakannya.
Pajak
Langsung
adalah
pajak
yang
beban
Pajak
yang
pajaknya
tidak
bisa
Pajak
Tidak
Langsung
adalah
beban
pajaknya
dapat
Sukardji (2006:25), dalam hal ini perbedaan pajak langsung dan pajak tidak
langsung, dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :
10
a. Penangung jawab pajak (taxpayer), adalah orang yang secara formil yuridis
diharuskan melunasi pajak, bila padanya terdapat faktor/kejadian yang
menimbulkan sebab dikenakan pajak.
b. Pemikul beban pajak adalah orang yang menurut maksud pembuat Undangundang harus memikul beban pajak (destinaris).
c. Penanggung pajak adalah orang yang dalam faktanya dalam arti ekonomis
memikul beban pajak.
Jika ketiga unsur tersebut terdapat pada seseorang atau badan, maka pajak
tersebut adalah pajak langsung. Kemudian jika terpisah, artinya unsure-unsur tersebut
terdapat dari lebih satu orang, maka pajak tersebut adalah pajak tidak langsung.
Tarif ini diterapkan dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 7 ayat 1
tentang tarif
yaitu10% (sepuluh persen), dan menurut Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 7
11
ayat 3 tetang tarif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat diubah menjadi paling
rendah 5 % (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan
tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Contoh tarif proporsional : Tuan Alex melakukan suatu transaksi (penjualan) suatu
Barang Kena Pajak (BKP) sebagai berikut :
Jumlah Penjualan
Tarif
BesarnyaPajak
Rp. 500.000
10%
Rp. 50.000
Rp. 1.000.000
10%
Rp. 100.000
Rp. 5.000.000
10%
Rp. 500.000
Rp. 10.000.000
10%
Rp. 1.000.000
barang,
pembiayaan
pemeliharaan,
pembangunan,
dan
uang
lain
sebagainya.
dikeluarkan
dari
Untuk
tabungan
Pemerintah
bisa
mengatur
pertumbuhan
ekonomi
melalui
Fungsi stabilitas
13
umum,
termasuk
juga untuk
Self Assesment
Adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wajib pajak menetukan sendiri
jumlah pajak yang terutang.
Contohnya : Dalam sistem ini masyarakat (Wajib Pajak) bersifat pasif dan
menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang
pajak seseorang baru dikeluarkan, misalnya Pajak Petambahan Nilai (PPN),
Pajak Penghasilan (PPh), dan Pajak Penjualan atas Barang mewah (PPnBM ).
14
Dalam sistem ini pihak fiskus masih cukup dominan untuk menghitung
dan menetapkan utang pajak. Sistem ini umumnya diterapkan terhadap jenis
pajak yang melibatkan masyarakat luas di mana masyarakat selaku subyek pajak
atau wajib pajak dipandang belum mampu disertahi tanggung jawab untuk
menghitung dan menetapkan pajak. Contoh pajak yang masih menggunakan
sistem ini adalah Pajak Bumi dan Bangunan.
Adalah system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga
(bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menetukan
besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Tanggung jawab ada pada pihak ketiga (hal ini dapat dilihat dalam Pajak
Penghasilan (PPh) dimana pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana
pensiun, dan sebagainya yang kepadanya diserahi tanggung jawab untuk
memotong pajak terhadap penghasilan yang mereka bayarkan).
15
II.2.
Pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam
peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST).
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya
pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau
dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung
pajak yang ia tanggung.
masukan. Pajak keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut ketika
Pengusaha Kena Pajak (PKP) menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dibayar ketika Pengusaha Kena Pajak (PKP)
membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN),
yaitu sebesar 10% (sepuluh persen) . Dasar hukum utama yang digunakan untuk
penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 8
Tahun 1983 berikut revisinya, yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 dan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, dan terakhir revisi Undang-undang Nomor 42
Tahun 2009.
Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penjualan eceran di mana
penjualan dilakukan kepada komsumen akhir yang tidak diketahui identitasnya dan
biasanya jumlah transaksinya banyak dengan volume kecil, maka sangat tidak efektif
untuk membuat faktur pajak sesuai ketentuan dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN di mana
faktur pajak paling sedikit harus memuat :
1. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan
Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP).
2. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli Barang Kena
Pajak / Jasa Kena Pajak (BKP/JKP).
3. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga
4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut.
5. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak.
17
Selama ini, Pengusaha Kena Pajak (PKP) pedagang pengecer ini bisa
menggunakan Faktur Pajak sederhana tanpa harus memuat semua informasi di atas. Nah,
mulai 1 April 2010 nanti tidak ada lagi Faktur Pajak sederhana dan PKP pedagang
eceran terpaksa membuat faktur pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat
(5) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Bagi pembeli, hal ini tidak ada
masalah karena pembeli dari pedagang eceran biasanya adalah konsumen akhir dan
bukan Pengusaha Kena Pajak (PKP) sehingga tidak perlu untuk mengkreditkan pajak
masukannya
2.
Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat
berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud.
3. Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang sebagaimana dimaksud dalam angka 2
yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
4.
5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan
hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang
karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk pemesanan.
6.
Jasa kena Pajak (JKP) adalah jasa yang dikenakan pajak berdasarkan Undangundang ini.
7.
8.
Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha M ilik
Negara atau daerah dengan nama dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi,
dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi
sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap.
9. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam
kegiatan usaha atau
19
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan
jasa di luar Daerah Pabean,
10. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak (BKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (PKP) yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.
11. M enghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk atau
sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya
guna baru, atau kegiatan mengolah sumber daya alam termasuk menyuruh orang
pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
12. Dasar Pengenaan Pajak adalah Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor,
Nilai Ekspor, atau nilai lainnya yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung
pajak yang terutang.
13. Pembeli adalah Orang Pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya
menerima penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan yang membayar atau
seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak (BKP) tersebut.
14. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena
Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau
penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).
20
II.2.5. Barang dan Jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
M enurut Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 4A :
Ayat (2) yaitu Jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah
barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut :
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil lansung dari
sumbernya
b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak
c. M akanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung,
dan sejenisnya, meliputi makan dan minuman baik yang dikonsumsi di temapt
22
maupun tidak, termasuk makan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa
boga atau catering
d. Uang, emas batangan, dan surat berharga.
Ayat (3) yaitu : Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah
jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut :
a. Jasa Pelayanan kesehatan medis.
b. Jasa Pelayanan sosial.
c. Jasa pengiriman surat dengan perangko.
d. Jasa keuangan.
e. Jasa Asuransi.
f. Jasa keagamaan.
g. Jasa pendidikan.
h. Jasa kesenian dan hiburan.
pajak
tersebut
sehingga memudahkan
fiskus
untuk
memungutnya.
24
II.3.
d. Penerima Jasa
Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau
seharusnya
menerima penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) dan yang membayar atau
seharusya membayar penggantian atas Jasa Kena Pajak (JKP).
e. Nilai Impor
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea
masuk ditambahkan pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang
Kena Pajak (BKP), tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang
dipungut Undang-undang.
f. Nilai Ekspor
Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atas
seharusya diminta oleh eksportir.
g. Nilai Lain
Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat ditetapkan dengan
Keputusan M enteri Keuangan hanya untuk menjamin rasa keadilan dalam
hal:
a. Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sukar
ditetapkan.
b. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang dibutuhkan oleh masyarakat
banyak,seperti air minum, listrik dan sejenisnya.
26
27
10. Untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen)
dari jumlah yang ditagih atau jumlah syang seharusnya ditagih atau
11. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa pariwisata adalah 10%
(sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah syang seharusnya
ditagih
Kantor Pos atau Bank Pemerintah atau Bank Swasta atau tempat pembayaran lain sesuai
dengan Keputusan Direktorat Jenderal Pajak, dan ditunjuk oleh M enteri Keuangan.
Berdasarkan
Peraturan
M enteri
Keuangan
Nomor
184/PM K.103/2007,
dalam suatu M asa Pajak. Surat Pemberitahuan M asa Pajak Pertambahan Nilai (SPT
M asa PPN) bentuk Formulir 1107 pada tahun 2007 dan 2008, namun pada tahun 2009
yang digunakan adalah sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER29/PJ/2008 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan M asa
Pajak Pertambahan Nilai (SPT M asa PPN) dalam Bentuk Formulir Kertas (Hard Copy)
29
dengan formulir 1108 bagi Pengusaha Kena Pajak yang Dikukuhkan di Kantor
Pelayanan Pajak Dalam Rangka Pengolahan Data dan Dokumen di Pusat Pengolahan
Data dan Dokumen Perpajakan, maka untuk PKP yang dikukuhkan di Kantor Pelayanan
Pajak sebagaimana diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, SPT M asa PPN
bentuk Formulir 1108 wajib digunakan bagi PKP yang menyampaikan SPT dalam
bentuk formulir kertas (hard copy).
adalah Bendaharawan Pemerintah, Badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh
M enteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak terutang oleh
Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa
Kena Pajak (JKP) kepada Bendaharawan Pemerintah, badan atau instansi pemerintah
tersebut.
II.4.
pemungutan Pajak
Pertambahan
menggunakan sarana Faktur Pajak. Faktur pajak merupakan bukti pungutan pajak atau
penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha
Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau
30
penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), bukti atau pungutan pajak karena impor Barang
Kena Pajak (BKP) yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai, dasar hukum
dari Faktur Pajak adalah Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pajak Pertambahan
Nilai Pasal 13 sebagai berikut :
Faktur Pajak dibedakan menjadi tiga jenis yaitu :
1. Faktur Pajak Sederhana
Faktur Pajak Sederhana diatur dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 42
Tahun 2009 Pajak pertambahan Nilai, dan Keputusan Direktorat jenderal Pajak
Nomor PER-159/PJ/2006 tentang saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan,
Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan faktur Pajak Sederhana.
Sesuai dengan Pasal 13 ayat 5 Faktur Pajak Standar memuat beberapa hal
yaitu :
a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan Barang
Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena pajak (JKP).
b. Nama. Alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli Barang Kena
Pajak (BKP) dan atau penerima Jasa Kena pajak (JKP).
c. Jenis barang dan jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut;
e. Pajak Penjualan barang M ewah (PPNBM ) yang dipungut;
f. Kode, Nomor Seri, dan tanngal pembuatan Faktur Pajak, dan
g. Nama, jabatan, dan tanda tangan, yang berhak menandatatangani Faktur Pajak.
Faktur Pajak harus diisi dengan lengkap, jelas, dan benar baik formal
maupun materiil dan ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pengusaha
Kena Pajak (PKP) untuk ditandatanganinya.
31
32
33
34
penyerahan kena pajak, dalam hal-hal tertentu tidak tertutup kemungkinan Pajak
M asukan tersebut tidak dapat dikreditkan, misalnya :
M asa pengkreditan Pajak M asukan telah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan
sejak berakhirnya M asa Pajak diterbitkannya Faktur Pajak.
Terdapat Pajak M asukan yang tidak dapat dikreditkan, Kriteria Pajak M asukan
yang tidak dapat dikreditkan diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal
9 ayat 8 dan pasal 16B ayat 3 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, rinciannya
sebagai berikut :
1. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
2. Perolehan barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha.
3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon,
dan van kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
35
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
5. Perolehan barang Kena Pajak atua Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya
berupa Faktur Pajak Sederhana.
6. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak ayng Faktur Pajaknya
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5)
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (Faktur Pajak Cacat).
7. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean dan Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pajak
Pertambahan Nilai Pasal 13 ayat 6 (Faktur Pajak Cacat).
8. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak M asukannya
ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak.
9. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak M asukannya
tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan M asa Pajak Pertambahan Nilai,
yang ditemukannya pada waktu pemeriksaan.
10. Pajak M asukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau
perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai
36
37