T e Tan U S
T e Tan U S
beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala
berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejangkejang.
Tetanolisin menyebabkan lisis dari selsel darah merah.
IV.EPIDEMIOLOGI
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah sangat
jarang dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik di
samping sanitasi lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang
berkembang termasuk Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini
disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi
kontaminasi, perawatan luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur. Di Amerika Serikat pada tahun
1915 dilaporkan bahwa kasus tetanus yang terbanyak pada umur 1:5 tahun, sesuai
dengan yang dilaporkan di Manado (1987) dan surabaya (1987) ternyata insiden
tertinggi pada anak di atas umur 5 tahun.
Perkiraan angka kejadian umur ratarata pertahun sangat meningkat sesuai
kelompok umur, peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 519 tahun dan
2029 tahun, sedangkan peningkatan 9 kali lipat pada kelompok umur 3039
tahun dan umur lebih 60 tahun. Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka
kejadian lebih banyak dijumpa pada anak lakilaki; dengan perbandingan 3:1.
V.PATOGENESIS
Chlostridium Tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka
yang terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya
spora ini melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk (oleh besi:
kaleng), luka bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis,
abortus, tali pusat, kadangkadang luka tersebut hampir tak terlihat.
Pandi dkk (1965) melaporkan bahwa 70% pada telinga sebagai port
dentree, sedangkan beberapa peneliti melaporkan bahwa porte d'entree melalui
telinga hanya 6,5%.
Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi
hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit yang mati,
bendabenda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian
berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka
dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin sangat
mudah mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai saraf melalui dua cara.
1. Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujungujung
saraf perifer atau motorik melalui axis silindrik kecornu anterior susunan
saraf pusat dan susunan saraf perifer.
2. Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk
seterusnya susunan saraf pusat.
Aktivitas tetanospamin pada motor end plate akan menghambat pelepasan
asetilkolin, tetapi tidak menghambat alfa dan gamma motor neuron sehingga
tonus otot meningkat dan terjadi kontraksi otot berupa spasme otot. Tetanospamin
juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang berat, sehingga terjadi
overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi, keringat yang
berlebihan dan meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urine.
Trismus berat
Disfagia berat.
Kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat
banyak dan takikardia.
Tetanus lokal
Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena
gambaran klinis tidak khas.
Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otototot pada bagian proksimal
dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka kematian 1%,
kadangkadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum.
Bentuk cephalic
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka
mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis media kronis dan
jarang akibat tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain: n. III,
IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendirisendiri maupun kombinasi dan
menetap dalam beberapa hari bahkan berbulanbulan.
Tetanus cephalic dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada
umumnya prognosa bentuk tetanus cephalic jelek.
VII.DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan :
-
4) Keracunan strichnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.
5) Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium
dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah
karpopedal spasme dan biasanya diikuti laringospasme, jarang dijumpai
trismus.
6) Retropharingeal abses
Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.
7) Tonsilitis berat
Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.
8) Efek samping fenotiasin
Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom
ekstrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot,
9) Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas,
miositis leher dan spondilitis leher.
IX.KOMPLIKASI
1) Pada saluran pernapasan
Oleh karena spasme otototot pernapasan dan spasme otot laring dan
seringnya kejang menyebabkan terjadi asfiksia. Karena akumulasi sekresi
saliva serta sukarnya menelan air liur dan makanan atau minuman
sehingga sering terjadi aspirasi pneumoni, atelektasis akibat obstruksi oleh
sekret. Pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat
dilakukannya trakeostomi.
2) Pada kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa
takikardia, hiperrtensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
3) Pada tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan
dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis akibat
kejang yang terusmenerus terutama pada anak dan orang dewasa.
Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans
sirkumskripta.
4) Komplikasi yang lain:
Laserasi lidah akibat kejang;
Dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja
Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar
luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
Penyebab
kematian
penderita
tetanus
akibat
komplikasi
yaitu:
2) Umur
Makin muda umur penderita seperti pada neonatus maka prognosanya
makin jelek.
3) Period of onset
Period of onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya
trismus sampai terjadi kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosa jelek.
4) Panas
Pada tetanus febris tidak selalu ada. Adanya hiperpireksia maka
prognosanya jelek.
5) Pengobatan
Pengobatan yang terlambat prognosa jelek.
6) Ada tidaknya komplikasi
7) Frekuensi kejang
Semakin sering kejang semakin jelek prognosanya.
XI.PENGOBATAN / PENATALAKSANAAN
1) Pengobatan Umum:
Isolasi penderita untuk menghindari rangsangan. Ruangan perawatan
harus tenang.
Perawatan luka dengan Rivanol, Betadin, H202.
Bila perlu diberikan oksigen dan kadangkadang diperlukan tindakan
trakeostomi untuk menghindari obstruksi jalan napas.
Jika banyak sekresi pada mulut akibat kejang atau penumpukan saliva
maka dibersihkan dengan pengisap lendir.
garam faali. Positif bila dalam 20 menit, tampak kemerahan dan bengkak pada
konjungtiva.
Tes kulit
Suntikan 0,1 cc larutan 1/1000 antitoksin tetanus dalam larutan faali secara
intrakutan. Reaksi positif bila dalam 20 menit pada tempat suntikan terjadi
kemerahan dan indurasi lebih dari 10 mm.
Bila tes mata dan kulit keduanya positif, maka antitoksin diberikan secara
bertahap (Besredka).
Dosis
Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Behrman (1987) dan
Grossman (1987) menganjurkan dosis 50.000100.000 u yang diberikan setengah
lewat intravena dan setengahnya intramuskuler. Pemberian lewat intravena
diberikan dengan cara melarutkannya dalam 100200 cc glukosa 5% dan
diberikan selama 12 jam. Di FKUI, ATS diberikan dengan dosis 20.000 u selama
2 hari. Di Manado, ATS diberikan dengan dosis 10.000 i.m, sekali pemberian.
b) Antikonvulsan dan sedatif
Obatobat ini digunakan untuk merelaksasi otot dan mengurangi kepekaan
jaringan saraf terhadap rangsangan. Obat yang ideal dalam penanganan tetanus
ialah obat yang dapat mengontrol kejang dan menurunkan spastisitas tanpa
mengganggu pernapasan, gerakangerakan volunter atau kesadaran.
Obatobat yang lazim digunakan ialah:
Diazepam
Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis
0,5 mg/kg.bb/kali i.v. perlahanlahan dengan dosis optimum 10
mg/kali diulangi setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian
diazepam peroral(sonde lambung) dengan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali
sehari diberikan 6 kali.
Fenobarbital
Dosis awal: 1 tahun 50 mg intramuskuler; 1 tahun 75 mg
intramuskuler. Dilanjutkan dengan dosis oral 59 mg/kg.bb/hari
dibagi dalam 3 dosis.
Largactil
Dosis yang dianjurkan 4 mg/kg.bb/hari dibagi dalam 6 dosis.
c) Antibiotik.
Penisilin Prokain
Digunakan untuk membasmi bentuk vegetatif Clostridium Tetani.
Dosis: 50.000 u/kg.bb/hari i.m selama 10 hari atau 3 hari setelah
panas turun. Dosis optimal 600.000 u/hari.
Tetrasiklin dan Eritromisin
Diberikan terutama bila penderita alergi terhadap penisilin.
Tetrasiklin : 3050 mg/kg.bb/hari dalam 4 dosis.
Eritromisin : 50 mg/kg.bb/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.
d) Oksigen: Bila terjadi asfiksia dan sianosis.
e) Trakeostomi
Dilakukan pada penderita tetanus jika terjadi:
-
XII.PENCEGAHAN
1) Perawatan luka
Terutama pada luka tusuk, kotor atau luka yang tercemar dengan spora
tetanus.
2) hnunisasi pasif
Diberikan antitoksin, pemberian antitoksin ada 2 bentuk, yaitu:
ATS dari serum kuda;
Tetanus Immunoglobulin Human (TIGH).
Dosis yang dianjurkan belum ada keseragaman pendapat
15003000 u i.m
30005000 u i.m.
Pemberian ini sebaiknya didahului dengan tes kulit dan mata.
Dosis TIHG: 250500 u i.m
Kapan kita memberikan ATS/TIGH atau Toksoid Tetanus maupun
antibiotik ? Hal ini tergantung dari kekebalan seseorang apakah orang
tersebut sudah pernah mendapat imunisasi dasar dan boosternya, berapa
lama antara pemberian toksoid dengan terjadinya luka.
3) Imunisasi aktif
Di Indonesia dengan adanya program Pengembangan Imunisasi (PPI)
selain menurunkan angka kesakitan juga mengurangi angka kematian tetanus.
Imunisasi tetanus biasanya dapat diberikan dalam bentuk DPT; DT dan TT.
DPT : diberikan untuk imunisasi dasar
DT: diberikan untuk booster pada usia 5 tahun; diberikan pada
anak dengan riwayat demam dan kejang
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams, E. B.; Holloway, R.; Thambiran, A. K.; Dessy, S. D.: Usefulness of
Intermittent Positive Pressure Respirations in The Treatment of Tetanus.
Lancet 1966;11761180.
2. Annonymous. Human Antitoxin for Tetanus Prophylaxis. Lancet 1974; i 51
52.
3. Asa, K. D.; Bertorini, T. E. Pinals, R. S. Case Report Myositis Ossificans
Circumscripta, a Complication of Tetanus. Am. J. Med. Sciences 1986; 292:
4043.
4. Atrakchi, S. A. and Wilson, D. H. Epidemiology. Br. Med. J. 1977; 1:179.
5. Barkin, R. M.; Pichichero, M. E. DiphteriaPertusisTetanus Vaccine
Teactogenicity of Cimmercial Products. Pediatricas 1979; 63:256260.