Anda di halaman 1dari 3

Memberikan Efek Jera Bagi Pelaku Kekerasan Seksual

Kita kembali dikejutkan dengan berita kekerasaan seksual yang dilakukan oleh
seorang pengasuh pondok pesantren di Ambulu Jember terhadap 11 santrinya. Yang
membuat kita semakin miris adalah kejadian itu dilakukan pada saat santri-santri yang
lain melakukan doa bersama. Pondok pesantren yang awalnya diangggap sebagai
tempat yang sakral dan paling aman untuk menjaga moralitas dan pengaruh buruk dari
luar, kinipun menjadi tempat yang tidak aman bagi anak-anak. Kasus kekerasan
seksual yang dialami 11 santri di Ambulu adalah satu dari sekian banyak kasus
kekersan seksual yang semakin marak terjadi akhir-akhir ini.
Bila kita membaca surat kabar misalnya, setiap hari akan kita jumpai berita tentang
kekerasan seksual. Dan kekerasan seksual bisa terjadi dimana saja, di ranah publik,
privat atau negara. Data yang dirilis Komnas perlindungan anak, pada tahun 2013
sebagian besar kekerasan seksual terjadi di rumah, namun pada tahun 2014,
sekolah/institusi pendidikan lah yang paling sering menjadi lokasi terjadi kekerasan
seksual. Lantas dimanakah tempat yang aman untuk anak-anak?
Mengenali Kekerasan sexual
Kekerasan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang mengarah kepada halhal seksual baik verbal, non-verbal atau fisik yang dilakukan secara sepihak dan tidak
diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan reaksi negatif
seperti malu, marah, benci, tersinggung, dan sebagainya pada diri individu yang
menjadi korban (Irfan, 2001)
Dari pemantauan Komnas Perempuan pada tahun 1998-2013, ada 15 jenis kekerasan
seksual yaitu: perkosaan, intimidasi seksual (ancaman atau percobaan perkosaan),
pelecehan seksual, Eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual,
prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawianan dan cerai gantung,
pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi,
penyiksaan seksual, penghukuman tidak amnusiawi dan bernuansa seksual, praktik
tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan,
kontrol seksual termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Data yang dirilies kemensos menyebutkan bahwa satu tahun terakhir ini paling tidak
1.5 juta anak menjadi korban kekerasan sexual. Dan yang paling rentan mengalami
kekerasan adalah perempuan. Sebagaimana disampaikan oleh Yuniyanti Chuzaifah,
Ketua Komnas Perempuan, bahwa tiap 2 jam sedikitnya ada 3 perempuan menjadi
korban kekerasan sexual. Sehingga tidak berlebihan jika komnas perempuan
menyebutkan bahwa Indonesia dalam kondisi darurat kekerasan seksual, namun
sayangnya dalam hal ini pemerintah kurang melakukan aksi nyata untuk mencegah
dan menangani maraknya kasus kekerasan seksual. Hal ini bisa dilihat dari minimnya
upaya perlindungan pemerintah terhadap perempuan baik itu dari peraturan atau
perundang undangan, serta dari upaya penegakan hukum.
Tindakan kekerasan seksual adalah tindakan terror, karena tindakan pelaku telah
mengakibatkan terror dan trauma bagi korban seumur hidupnya. Pelaku juga telah
menciptakan terror bagi perempuan, orang tua, anak-anak dan masyarakat pada
umumnya sehingga terus merasa tidak aman dan terancam, sehingga tidak berlebihan
jika kita melabeli pelaku kekerasan dan kejahatan seksual sebagai terrorist. Lantas
sanksi apa yang pantas buat mereka?
Sanksi dan memberi efek jera
Selama ini, pelaku kekerasan seksual sedikit sekali yang mendapat hukuman
maksimal. Masih lekat dalam ingatan kita kasus kekerasan seksual juga terjadi di
sebuah sekolah internasional dan sampai saat ini beberapa pelakunya, yang
merupakan guru disekolah tersebut belum mendapat putusan hukuman. Beberapa
tahun yang lalu, kasus kekerasan seksual dg pelaku seorang pengasuh pesantren juga
pernah terjadi di Jember. Dia mencabuli beberapa santrinya dan akhirnya divonis
penjara kurang dari 2 tahun. Dan kabarnya setelah keluar dari penjara, pengasuh ini
memiliki semakin banyak santri.
Ada dua ketentuan yang mengatur kasus kekerasan seksual, yaitu KUHP dan UU
perlindungan anak. Dalam KUHP, Pasal 289 mengatur tentang hukuman ancaman
maksimal sembilan tahun pidana penjara bagi pelaku. dan jika perbuatan ini dilakukan
lebih dari satu kali baik terhadap korban yang sama/berbeda, maka dapat diterapkan
aturan tentang gabungan tindak pidana untuk masing-masing pelaku seperti diatur di
dalam Pasal 65 KUHP dengan hukuman pidana penjara maksimal 20 tahun. Dan jika
dilakukan oleh lebih dari satu orang maka dapat diterapkan ajaran penyertaan sesuai

Pasal 55 dan/atau 56 KUHP, tergantung peranan masing-masing pelaku dalam tindak


pidana tersebut. Baik pelaku yang sudah teridentifikasi keterlibatannya dalam kasus
ini maupun yang belum.
Selain itu, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang
diamanatkan untuk dijadikan sebagai landasan hukum dalam memberikan
perlindungan kepada seluruh anak Indonesia, sebagaimana Pasal 82, memberikan
ancaman minimal 3 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara dengan denda
minimal 60 juta rupiah dan maksimal 300 juta Rupiah.
Sebenarnya dari dua ketentuan tersebut, baik KUHP dan UU perlindungan anak,
pelaku kekerasan seksual bisa dikenai hukuman maksimal yaitu sampai 20 tahun atau
15 tahun plus denda sampai 300 juta. Cuma sayangnya, selama ini hukuman yang
sering diberikan kepada pelaku kekerasan adalah hukuman minimal. Oleh karena itu
perlu dibuat aturan yang bisa mencegah dan memberikan efek jera bagi pelaku
kekerasan seksual.
Aturan itu misalnya disebutkan bahwa hukuman yang diberikan kepada pelaku adalah
harus hukuman maksimal dengan pertimbangan dampak yang dialami korban. Selain
itu, setelah pelaku divonis, maka foto dan identitas pelaku harus dirilis/dipublikasi di
media, ditempel di tempat publik seperti di kantor pemerintahan, kantor desa dan
kantor kecamatan, di pinggir jalan, di baliho dan sebagainya sehingga masyarakat luas
tahu bahwa dia adalah pelaku kekerasan seksual. Dan diharapkan pelaku menjadi jera
serta berfikir ulang jika ingin melakukan kekerasan seksual. hal ini juga sebagai
pengingat bagi masyarakat luas bahwa mereka akan dipermalukan dan disanksi secara
sosial jika melakukan kekerasan seksual. Dengan demikian masyarakat terus waspada
bahwa kekerasan seksual bisa terjadi dimana saja dan kepada siapa saja, dan siapa pun
punya potensi menjadi pelakunya.
Ditulis oleh:
Erwin Nur Rifah
Direktur Institute for Social Research and Empowerment (ISRE)
Staf pengajar Universitas Islam Jember
erwinnur@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai