PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada tahun 1999 telah lahir Undang-Undang perlindungan
B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan
kasus Klausula Baku Perlindungan Konsumen Parkir dan Prita Mulyasari, Hak
Konsumen Di Perlakukan Tidak Adil ;
b.
c.
analisis hukumnya.
D.
Manfaat
Agar kita bisa lebih mengetahui apa tanggunng jawab pelaku usaha
terhadap konsumen ;
b.
Agar kita bisa mengetahui apakah tanggung jawab pelaku usaha telah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
1.
Tinjaun Pustaka
barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan
kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi tidak
menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian
lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan.
B.
Kasus 1
Klausula Baku Perlindungan Konsumen Parkir
Bayangkan bila suatu saat anda memarkir kendaraan anda di lokasi
parkir yang resmi dan berkarcis, kemudian saat anda hendak meninggalkan
lokasi, ternyata kendaraan anda lenyap tak berbekas. Padahal karcis, kunci
dan STNK masih di tangan anda. Tindakan apakah pengelola yang akan anda
lakukan? Melapor ke pengelola parkir tentunya. Kemudian pihak pengelola
parkir akan menampung laporan anda dan membuatkan Surat Tanda Bukti
Lapor (STBL).
Sayangnya, bila anda tidak ngotot memperjuangkan hak anda, besar
kemungkinan laporan anda akan berakhir dengan pernyataan pelepasan
tanggung jawab oleh pihak parkir. Dasar yang mereka pakai biasanya adalah
klausula yang tercantum dalam (hampir semua) karcis parkir resmi. Klausula
itu umumnya berbunyi pengelola parkir tidak bertanggungjawab atas
kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan atau kehilangan kendaraan
berikut isinya.
Analisis kasus 1
Hubungan antara pemilik kendaraan yang diparkir dengan pihak
pengelola parkir sesungguhnya adalah hubungan antara konsumen dengan
produsen (jasa). Konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) pasal 1 butir 2 adalah setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
dan tidak untuk diperdagangkan.
Sebagaimana umum terjadi, hubungan antara konsumen dengan
pelaku usaha seringkali bersifat subordinat. Kedudukan produsen/pelaku
usaha yang lebih kuat salah satunya dilakukan dengan menetapkan syaratsyarat sepihak yang harus disetujui dan diikuti oleh konsumen.
Syarat sepihak ini dikenal pula dengan istilah klausula baku. Bisnis
perparkiran sendiri sebenarnya adalah bisnis yang menjanjikan keuntungan
besar bagi pengelolanya. Karena itu jaminan perlindungan hukum kepada
konsumen parkir harus lebih diseimbangkan.
Pengertian klausula baku terdapat dalam pasal 1 butir 10 UUPK yang
menyatakan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Sesungguhnya pencantuman klausula baku ini telah dilarang oleh
UUPK. Mengenai larangan pencantuman klausula baku, Pasal 18 UUPK
menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa
yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian, di
antaranya apabila klausula tersebut menyatakan pengalihan tanggungjawab
pelaku usaha dan menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berwujud sebagai aturan baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya. Pelaku usaha juga dilarang
mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau
tidak dapat dibaca secara jelas yang pengungkapannya sulit dimengerti.
Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan tersebut dinyatakan
batal demi hukum. Dalam penjelasan UUPK dinyatakan bahwa larangan ini
dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan
pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Asas kebebasan
berkontrak, di satu sisi, memang seolah-olah mengesahkan keberadaan
klausula baku tersebut.
Selama para pihak yang terlibat setuju-setuju saja maka tidak ada
yang perlu dipermasalahkan. Namun di sisi lain asas kebebasan berkontrak
tidaklah adil bila diterapkan pada dua pihak yang memiliki posisi tawar yang
tidak seimbang.
Dalam kasus ini kedudukan konsumen memang lebih rendah jika d
bandingkan pelaku usaha yang seharusnya adalah tidak demikian. Dalam
pasal 9 ayat 1 UUPK jelas di sebutkan bahwa Pelaku usaha bertanggung
jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
Kasus 2
Prita Mulyasari, Hak Konsumen Di Perlakukan Tidak Adil
Hari-hari ini kita disibukkan dengan kasus Prita Mulyasari, seorang ibu
berusia 32 tahun, yang semula dirawat inap di sebuah rumah sakit swasta
bertaraf internasional, namun pelayananannya tidak memuaskannya, karena
hasil lab yang memaksanya rawat inap itu tidak dapat dia peroleh. Maka dia
curhat ke teman-temannya melalui email, sayang email ini kemudian bocor
ke publik melalui milis, dan si ibu Prita ini lalu dituntut oleh Rumah Sakit itu
dengan tuduhan pencemaran nama baik, melanggar pasal 310 dan 311
KUHP, dan pasal 27 UU 11/2008 ttg Informasi dan Transaksi Elektronik
(Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik) yang dalam pasal 45 UU tersebut diancam dengan
penjara 6 tahun dan/atau denda 1 Milyar Rupiah. Karena ancaman
hukumannya lebih dari 5 tahun ini maka si ibu yang malang ini langsung
ditahan hingga 3 minggu, dan baru dilepas setelah kasusnya menjadi
perhatian publik, bahkan perhatian para capres yang sedang kampanye.
Si ibu yang malang ini semula hanya ingin mengadukan nasibnya
sebagai pasien, konsumen layanan medis. Jutaan pasien di negeri ini dalam
posisi lemah terhadap dokter dan rumah sakit yang jarang proaktif
memberikan informasi yang lengkap kepada pasien, apalagi pilihan tentang
jenis obat atau tindakan yang diperlukan pasien. Pasien hanya sekedar
menjadi objek, bukan subjek yang memiliki kehendak dan bisa diajak
kerjasama memulihkan kesehatannya. Perlakuan dokter atau rumah sakit ini
makin menggila jika pasien ditanggung oleh asuransi swasta. Dengan alasan
memberi layanan terbaik, maka obat yang termahal pun diberikan, sekalipun
mungkin tidak dibutuhkan oleh fisik pasien, atau bahkan dalam jangka
panjang bisa merusak organ vital pasien.
Ketika pasien diperlakukan semacam ini, kepada siapa dia akan
mengadu? Meski ada UU no 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan
telah dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) di
Departemen Perdagangan, namun faktanya tidak banyak masyarakat yang
tahu keberadaannya. Akibatnya orang lebih suka mengeluh ke mana saja
pihak yang dia percaya: ke LSM seperti Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI), ke Komnas HAM, ke DPR, atau menulis surat pembaca ke
media massa atau email ke dunia maya. Ini terjadi karena BPKN hanya
bertindak setelah ada pengaduan langsung kepadanya. BPKN tidak
diwajibkan bertindak proaktif dengan memonitor dunia perdagangan,
sekalipun hanya dari surat pembaca di media massa.
Masalahnya, begitu menjadi konsumsi publik, keluhan konsumen ini
dapat dengan mudah dibalikkan oleh yang merasa lebih kuat (yaitu
produsen) dengan tuduhan pencemaran nama baik. Polisi, Jaksa ataupun
Hakim yang menangani pun bisa bertindak tidak profesional, baik karena
alasan keyakinan tertentu (yang mungkin mitos), alasan politis maupun
alasan kepentingan lain yang terkait dengan pihak yang lebih kuat itu. Maka
sang konsumen yang malang tadi tertimpa tangga dua kali: diperlakukan
tidak adil dalam transaksi muamalahnya, lalu didzalimi oleh alat negara
ketika mencari keadilan.
Analisis kasus 2
Dalam kasus prita mulya sari di atas,terlihat jelas bahwa lagi lagi
kekuatan konsumen lebih lemah jika di bandingkan dangan kekuatan
produsen. Dalam kasus ini, prita sebenarnya telah di rugikan oleh produsen
(pelaku usaha) pelayan medis.karena dalam kasus ini prita mulya sari juga
merupakan sebagai konsumen,sesuai dengan pengertian konsumen pada
pasal 1 angka 2 Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Dan pihak rumah sakit adalah merupakan produse (pelaku
usaha) sesuai dengan pengertian pelaku usaha pada pasal 1 ayat 3 UUPK
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Jadi seharusnya prita mendapat perlindungan sebagai konsumen jika di
kaitkan dengan UUPK. Sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 19 UUPK
tentang kewajiban pelaku usaha bukan masalah sebaliknya pelaku usaha
dalam hal ini rumah sakit malah menuntut prita. Jadi jelas bahwa UUPK ini
belum bisa sejalan dengan kenyataan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan dari penulisan makalah ini adalah :
1.
a.
Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
hingga saat ini perlindungan konsumen masih menjadi hal yang harus
diperhatikan. Konsumen sering kali dirugikan dengan pelanggaranpelanggaran oleh produsen atau penjual. Pelanggaran- pelanggaran yang
terjadi saat ini bukan hanya pelanggaran dalam skala kecil, namun sudah
tergolong kedalam skala besar. Dalam hal ini seharusnya pemerintah lebih
siap dalam mengambil tindakan. Pemerintah harus segera menangani
masalah ini sebelum akhirnya semua konsumen harus menanggung kerugian
yang lebih berat akibat efek samping dari tidak adanya perlindungan
konsumen atau jaminan terhadap konsumen.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Johannes, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Dalam Seminar Nasional :
Antisipasi Pelaku Usaha Terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, Horison Hotel, Bandung. 8 April 2000.
Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.