dipahami juga bahwa orang yang beriman selalu bersyukur dalam menerima nikmat Allah, termasuk
tatkala makan. Sedang orang kafir mengingkari nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya.[5]
B.
1.
2.
1.
2.
3.
4.
5.
3.
Pada dasarnya, nash-nash syariat tidak mungkin saling bertentangan sebab kebenaran tidak
akan bertentangan dengan kebenaran. Karena itu, apabila diadakan dengan adanya pertentangan,
maka hal itu hanya dalam tampak luarnya saja . bukan dalam kenyataan yang hakiki.
Apabila penghilangan itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan
antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada, sehingga kedua-duanya dapat
diamalkan, maka yang demikian itu lebih utama dari pada harus mentarjihkan antara keduanya.
Sebab, pentarjihan berarti mengabaikan salah satu dari keduanya dan mengutamakan yang lain.[11]
Misalnya, hadis yang berisi larangan buang hajat menghadap kiblat ataupun
membelakanginya. Namun dalam hadis yang lain dinyatakan bahwa Nabi pernah membuang hajat
menghadap ke Baitul Maqdis, yang berarti membelakangi kiblat. Dengan demikian secara tekstual
petunjuk kedua hadis tampak bertentangan.
Menurut penelitian ulama hadis, petunjuk kedua hadis tersebut tidak bertentangan. Larangan
Nabi berlaku bagi yang membuang hajat di lapangan terbuka, sedang yang melakukan buang hajat di
tempat tertutup, misalnya WC, larangan tidak berlaku. Penyelesaian dalam hal ini ditempuh dengan
metode al-jamu.
Dengan demikian, secara kontekstual kedua hadis tersebut tidak bertentangan. Larangan dan
kebolehan yang dikemukakan oleh masing-masing hadis bersifat temporal ataupun lokal.[12]
4.
5.
()
Sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan yang paling dahsyat di hadirat Allah pada hari
kiamat kelak adalah pelukis.
Secara tekstual hadis tersebut memberikan pengertian larangan untuk melukis, bahkan dalam
hadis lain para pelukis hari kiamat kelak dituntut untuk memberikan nyawa kepada apa yang
dilukiskannya di dunia. Malaikat juga tidak akan masuk rumah yang didalamnya ada lukisannya.[13]
Larangan melukis dan memajang lukisan yang dikemukakan Nabi itu sesungguhnya
mempunyai latar belakang hukum (illat al-hukum). Pada zaman Nabi, masyarakat belum lama
terlepas dari kepercayaan menyekutukan Allah, yakni penyembahan patung dan semacamnya. Dalam
kepastianya sebagai Rasulullah, Nabi Muhammad berusaha keras agar umat islam telepas dari
kemusyrikan tersebut. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mengeluarkan larangan
memproduksi dan memajang lukisan.
Kalau illat al hukumnya demikian, maka pada saat umat islam tidak lagi dikhawatirkan
terjerumus kedalam kemusyrikan, khususnya dalam bentuk penyembahan terhadap lukisan, maka
membuat dan memajangnya diperbolehkan. Kaidah usul fiqih menyatakan, hukum itu ditentukan oleh
ilatnya (latar belakangnya), bila illatnya ada maka hukumnya ada. Dan bila illatnya sudah tidak ada,
maka hukumnya juga tidak ada.[14]
Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat majaz/kiasan
Ungkapan dalam bentuk majaz atau kiasan banyak sekali digunakan dalam bahasa Arab.
Dalam ilmu-ilmu balaghah dinyatakan bahwa ungkapan dalam bentuk majaz, lebih terkesan dari pada
ungkapan dalam bentuk biasa. Sedangkan Rasulullah SAW adalah seorang yang berbahasa arab yang
paling menguasai balaghah. Maka tak mengherankan apabila dalam hadis-hadisnya beliau banyak
menggunakan majaz, yang mengungkap maksud beliau dengan cara sangat mengesankan.[15]
Misalnya hadis
( )
Orang yang beriman terhadap orang yang beriman lainnya ibarat bangunan, bagian yang satu
memperkokoh bagian yang lainnya.
Hadis Nabi tersebut mengemukakan tamsil tasybih bagi orang-orang yang beriman sebagai
bangunan. Tasybih tersebut sangat berlaku tanpa terikat waktu dan tempat. Sebab setiap bangunan
pastilah bagiannya berfungsi memperkokoh bagian-bagian lainnya dan tidak berusaha saling
menjatuhkan.[16]
Tujuan dari tasybih dalam matan hadis tersebut adalah
1.
Menjelaskan keadaan musyabbah karena musyabbah tidak dikenal sifatnya sebelum dijelaskan
melalui tasybih (tamsil). Dengan demikian, tasybih itu memberikan pengertian yang sama dengan
sifat tersebut.
2.
Tasykhih (Personifikasi), yaitu penggambaran benda mati menjadi benda hidup seperti adanya
bangunan (benda mati) dapat saling memperkokoh yang seolah-olah memiliki tangan atau kekuatan
(personifikasi). Dengan adanya personifikasi ini, maka hadis menjadi menyentuh perasaan dan sangat
mendalam.[17]
6.
Memahami hadis nabi yang berupa ungkapan simbolik.
Sebagai mana halnya dalam Al-Quran, dalam hadis Nabi juga dikenal adanya ungkapan yang
berbentuk simbolik. Penetapan bahwa ungkapan satu ayat ataupun satu hadis berbentuk simbolik
adakalanya mengundang perbedaan pendapat. Bagi yang berpegang pada kenyataan secara tekstual,
maka ungkapan yang bersangkutan dinyatakan sebagai bukan simbolik.
Misalnya hadis yang berbunyi:
:
Tuhan kita (Allah) Tabaroka Wa Taala setiap malam turun ke langit dunia pada saat malam di
pertiga akhir (Allah) berfirman, Barang siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan
doanya itu, barang siapa meminta (sesuatu) kepada-Ku niscaya aku memberinya, (dan) barang siapa
minta ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya
7.
Ulama yang memahami petunjuk hadis secara tekstual berpendapat bahwa matan hadis
tersebut berkualitas lemah (dlaif) bahkan palsu sebab Allah digambarkan sebagai naik turun ke langit
dunia. Itu berarti, Allah disamakan dengan makhluk. Padahal matan hadis tersebut berkualitas sahih
bila dipahami secara kontekstual.
Maksud matan hadis yang menyebutkan bahwa Allah turun ke langit dunia adalah limpahan
rahmat-Nya. Malam pertiga akhir dipilih karena saat yang demikian itu adalah saat yang mudah untuk
memperoleh suasana khusyu dalam berdoa dan beribadah salat dalam keadaan yang penuh
kekhusyukan itu, maka kehadiran limpahan rahmat Allah mudah diperoleh.
Dengan pemahaman tersebut tidaklah berarti bahwa rahmat Allah tidak turun diluar waktu
malam pertiga akhir. Nabi menyebut waktu tertentu itu dengan maksud untuk menunjukkan
kekhususannya.[18]
Memahami hadis dengan mempertimbangkan sebab secara khusus, (asbabul wurud) jika ada.
Secara etimologis, asbabul wurud merupakan susunan idhafah yang berasal dari kata
asbab jamak dari sabab yang berarti segala sesuatu yang dapat menghubungkan kepada sesuatu
yang lain atau penyebab terjadinya sesuatu. Sedangkan wurud merupakan bentuk isim masdar
dari warada, yaridu, wurudan yang berarti datang atau sampai. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa asbabul wurud adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa atau pertanyaan atau lainnya
yang terjadi pada saat hadis itu disampaikan.[19]
Memahami hadis dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi
diucapkannya suatu hadis sangat penting.
Contoh:
( )
"Kamu sekalian lebih mengetahui tentang urusan duniamu
(Hadis Riwayat Muslim dari Anas)
Hadis tersebut memepunyai sebab wurud (sebab mendahului terjadinya hadis). Pada satu saat,
Nabi lewat dihadapan para petani yang sedang mengawinkan serbuk (kurma pejantan) ke putik
(kurma betina). Nabi berkomentar: Sekiranya kamu sekalian tidak melakukan hal itu, niscaya
kurmamu akan lebih baik. Mendengar komentar itu, para petani lalu tidak lagi mengawinkan kurma
mereka. Setelah beberapa lama, Nabi lewat kembali ketempat itu dan menegur para petani: Mengapa
pohon kurma itu? Para petani lalu melaporkan apa yang telah dialami kurma mereka, yakni banyak
yang tidak jadi. Mendengar keterangan mereka itu, Nabi lalu bersabda sebagai mana dikutip diatas.
Banyak kalangan yang memahami hadis tersebut secara tekstual. Mereka mengatakan bahwa
Nabi tidak mengetahui banyak tentang urusan dunia itu kepada para sahabat (umat islam). Adapun
yang berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis itu, maka islam membagi kegiatan hidup yakni
kegiatan dunia dan kegiatan agama. Padahal, dalam sejarah, Nabi telah berkali-kali memimpin
peperangan dan menang. Perang yang dilakukan Nabi adalah urusan dunia disamping sebagai urusan
agama. Nabi juga berdagang dan berhasil. Dan dagang adalah urusan dunia.
Jadi, hadis tersebut, sesungguhnya tidaklah menyatakan bahwa Nabi sama sekali buta tehadap
urusan dunia. Kata dunia yang termuat dalam hadis tersebut lebih tepat diartikan sebagai profesi atau
bidang keahlian. Dengan demikian, maksud hadis itu adalah bahwa Nabi tidak memiliki keahlian
sebagai petani, karena para petani lebih mengetahui tentang dunia pertanian dari pada Nabi.
Hadis tersebut dikemukakan oleh Nabi kepada para pedagang, para pasukan perang, dan para
pengembala kambing sebab dalam kegiatan-kegiatan dagang, perang, dan pengembala kambing. Nabi
memiliki keahlian. Dengan demikian, yang harus diterapkan terhadap hadis ini adalah pemahaman
secara kontekstual bukan secara tekstual.[20]