Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh :
Cintya
Maharani
SMT :
III.I
FAK U LTAS
HUKUM
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim,
Segala puji bagi Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik
dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana..
berkembang
selama
empat
belas
abad
lebih
menyimpan
banyak
masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran
keagamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca
untuk
memberikan
masukan-masukan
yang
bersifat
membangun
untuk
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat diterima oleh bapak.
Terima kasih
Daftar Isi
Kata pengantar................................................................................................................. i
Daftar isi........................................................................................................................... ii
Bab 1................................................................................................................................... 1
Pendahuluan....................................................................................................................... 1
Biografi.............................................................................................................................. 1
Bab 2 (Pembahasan)........................................................................................................ 20
1.1
1.2
1.3
Penutup............................................................................................................................... 26
Daftar Pustaka................................................................................................................. 27
BAB I
Pendahuluan
Al-Quran adalah sumber utama dan fundamental bagi agama Islam, ia di samping
berfungsi sebagai petunjuk (hudan) antara lain dalam persoalan-persoalan
akidah, Syari'ah, moral dan lain-lain juga berfungsi sebagai pembeda (furqn).
Sadar bahwa al-Quran menempati posisi sentral dalam studi keislaman, maka
lahirlah niatan di kalangan pemikir Islam untuk mencoba memahami isi kandungan
al-Quran yang dikenal dengan aktivitas penafsiran (al-tafsir).
Dalam kaitanya dengan penafsiran al-Qur'an, manusia memiliki kemampuan
membuka cakrawala atau perspektif, terutama dalam memberikan penafsiran
terhadap ayat-ayat yang mengandung zanni al-dilalah (unclear ststement). Dari
sini tidak dapat disangsikan terdapat penafsiran yang beragam terkait dengan
masalah politik antara lain: pertama, yang menyatakan bahwa al-Qur'an memuat
ayat-ayat yang menjadi landasan etik moral dalam membangun sistem sosial
politik. Kedua, al-Qur'an sebagai sumber paling otoritatif bagi ajaran Islam,
sepanjang terkait dengan masalah politik tidak menyediakan prinsip-prinsip yang
jelas, demikian pula dengan as-sunnah. Ketiga, terdapat penafsiran yang
menyatakan al-Qur'an mengandung aturan berbagai dimensi kehidupan umat
manusia di dalamnya termasuk mengatur sistem pemerintahan dan pembentukan
negara Islam.
Salah satu dari sekian banyak penafsir yang ada ialah Hamka, dengan karyanya
Tafsir al-Azhar. Bagaimana epistemologi Hamka dalam usahanya menemukan,
mengidentifikasi, dan menafsirkan prinsip-prinsip fundamental dari politik Islam
sebagaimana yang terkandung di dalam al-Qur'an adalah pertanyaan yang akan
dikaji disini.
Biografi Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah,
Pemilik nama
Raya, Kabupaten
di Nagari
Barat,17
Sungai
Batang, Tanjung
di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah seorang ulama dan
sastrawan Indonesia. Ia melewatkan waktunya sebagai wartawan, penulis, dan
pengajar. Ia terjun dalam politik melalui Masyumi sampai partai tersebut
dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif
dalam Muhammadiyah sampai
Azhar dan Universitas
Nasional
akhir
hayatnya. Universitas
Malaysiamenganugerahkannya
gelar
aldoktor
guru
besar.
Namanya
disematkan
untuk Universitas
Hamka milik
ulama
dan
sastrawan.
Kembali
ke
Medan
pada
1936
setelah
Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck , nama Hamka
melambung sebagai sastrawan.
Selama revolusi fisik, Hamka bergerilya dalam Barisan Pengawal Nagari
dan Kota (BPNK) menyusuri hutan pengunungan di Sumatera Barat untuk
2
keluarga
kecilnya
ke
Jakarta.
Meski
mendapat
pekerjaan
umum
1955,
Hamka
dicalonkan
Masyumi
sebagai
wakil
Azhar.
Seiring peralihan kekuasaan ke Suharto, Hamka dibebaskan pada Januari
1966.
Ia
mendapat
ruang
pemerintah,
mengisi
jadwal
tetap
ceramah
1.1Masa kecil
Museum Rumah Kelahiran Buya Hamkayang dijadikan museum sejak 2001, tempat
Hamka lahir, diasuh dan tinggal bersamaanduangnya selama di Maninjau
Abdul Malik, nama kecil Hamka lahir pada 17 Februari 1908 [Kalender Hijriyah:
13 Muharram 1362] di sebuah dusun Nagari Sungai Batang yang berada di
tepian Danau Maninjau, Sumatera Barat. Hamka adalah anak sulung dari empat
bersaudara dalam keluarga ulama Abdul Karim Amrullah dari istri keduanya Siti
Shafiah. Keluarga ayahnya adalah penganut agama yang taat. Abdul Karim
Amrullah yang berjulukan Haji Rasul dikenang sebagai ulama pembaru Islam di
Minangkabau, putra dari Muhammad Amrullah. Adapun keluarga ibunya lebih
terbuka kepada adat. Pandangan ayah Hamka yang berbenturan dengan tradisi
adat dan amalan tarekat mendapat penolakan masyarakattetapi tidak
melakukan pertentangan terbuka karena menaruh hormat kepada Muhammad
Amrullah yang disegani sebagai pemimpinTarekat Naqsyabandiyah. Setelah
Muhammad Amrullah meninggal, ayah Hamka pindah ke Padangpanjang.
Malik masih berusia empat tahun ketika orangtuanya pindah ke Padang. Ia
melewati masa kecil di rumah anduangnya, nenek dari garis ibu. Bersama temanteman sebaya, Hamka kecil menghabiskan waktu bermain di Danau Maninjau.
Mengikuti tradisi anak-anak laki-laki di Minangkabau, Malik belajar mengaji
di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal. [1] Pada usia enam tahun, Malik
diajak pindah ayahnya ke Padang Panjang, belajar mengaji pada ayahnya sendiri.
Malik sempat mendapatkan pengetahuan umum seperti berhitung dan membaca
4
saat masuk ke Sekolah Desa pada tahun 1915, tetapi berhenti setelah tamat
kelas dua. Lokasi Sekolah Desa berada di Guguk Malintang, menempati kawasan
tangsi militer sehingga memengaruhi pergaulan Malik. Hajir Rasul berencana
menyekolahkan Malik di Sekolah Gubernemen tetapi kelas telanjur penuh. Malik
kecil membawa perangai nakal karena sering menyaksikan perkelahian antara
murid kedua sekolahkarena murid Sekolah Gubernemen memandang rendah
murid Sekolah Desa.
Pada
1916, Zainuddin
Labay
El
Yunusy membuka
sekolah
agama Diniyah
School yang menerapkan sistem kelas di Pasar Usang. Sambil tetap belajar
setiap pagi di Sekolah Desa, ia belajar setiap sore di Diniyah School. Diniyah
School mengajarkan bahasa Arab dan materi yang diadaptasi dari buku-buku
sekolah rendah Mesir. Namun sejak dimasukkan keThawalib oleh ayahnya pada
tahun 1918, ia tidak dapat lagi mengikuti pelajaran di Sekolah Desa. Ia belajar di
Diniyah School setiap pagi, sementara sorenya belajar di Thawalib dan malamnya
kembali ke surau. Kebanyakan murid Thawalib adalah remaja yang lebih tua dari
Malik karena beratnya materi yang dihafalkan. Kegiatan Hamka kecil setiap hari
yang demikian diakuinya membosankan dan mengekang kebebasan masa kanakkanaknya.
Saat berusia 12 tahun, Malik menyaksikan perceraian orangtuanya. Haji Rasul
menceraikan Siti Shafiah dan membawa Malik tinggal di Padangpanjang. Harihari pertama setelah perceraian, Malik tak masuk sekolah, menghabiskan waktu
berpergian berkeliling kampung. Ketika berjalan di pasar, ia menyaksikan seorang
buta yang sedang meminta sedekah. Malik yang iba menuntun dan membimbing
peminta itu berjalan ke tempat keramaian untuk mendapatkan sedekah sampai
mengantarkannya pulang. Namun, ibu tirinya memarahinya saat mendapati Malik
di pasar hari berikutnya, "Apa yang awak lakukan itu memalukan ayahmu." Malik
pernah
pula
berjalan
kaki
jauhnya
40
km
dari
hari Malik meninggalkan sekolah, seorang guru dari Thawalib yang menyangka
Malik sakit datang ke rumah, menyampaikan ketidakhadiran Malik. Mengetahui
anaknya membolos, Abdul Karim Amrullah marah dan menampar anaknya; tetapi
segera memeluk Malik dan meminta maaf.
1.2Perceraian orangtua
Dibayang-bayangi ketakutan terhadap ayahnya, Malik kembali memasuki kelas
belajar seperti biasa. Pagi belajar di Sekolah Diniyah, pulang sebentar,
berangkat ke Thawalib dan kembali ke rumah menjelang Magrib untuk bersiap
pergi mengaji. Ketika ia menemukan bahwa gurunya Zainuddin Labay El
Yunusy baru saja membuka bibilotek, tempat penyewaan buku, Malik pergi
menyewa buku setiap hari. Setelah rampung membaca, biasanya Malik akan
menyalin versinya sendiri. Kadang Malik remaja mengirim surat cinta yang
disadurnya dari buku-buku kepada teman perempuan sebayanya. Karena
kehabisan uang untuk menyewa, Malik menawarkan diri kepada percetakan milik
Bagindo Sinaro tempat koleksi buku diberi lapisan karton sebagai pelindung untuk
mempekerjakannya. Ia membantu memotong karton, membuat adonan lem
sebagai perakat buku, sampai membuatkan kopi, tetapi sebagai upahnya, ia
meminta agar diperbolehkan membaca koleksi buku yang akan disewakan
tersebut. Dalam waktu tiga jam sepulang dari Diniyah sebelum berangkat ke
Thawalib, Malik mengatur waktunya agar punya waktu membaca. Karena hasil
kerjanya yang rapi, ia diperbolehkan membawa buku baru yang belum diberi
karton untuk dikerjakan di rumah. Ayahnya yang sering mendapati Malik
membaca buku cerita sempat memberi pilihan, "Apakah engkau akan menjadi
orang alim nanti atau menjadi orang tukang cerita?" Setiap mengetahui ayahnya
memperhatikan, Malik meletakkan buku cerita yang dibacanya, mengambil buku
agama dan berupra-pura membaca.
mukanya
degan
kapur,
7
Malik
berjalan
keluar
asrama
menyembunyikan badannya dalam selimut yang tak terlihat karena malam. Orangorang yang melihat dan ketakutan keesokan hari berencana membuat perangkap,
tetapi Malik segera memberi tahu teman seasramanya tentang kejailannya,
meyakinkan bahwa hantu tersebut tidak ada.
Selama berasrama, Malik memanfaatkan hari Sabtu yang dibebaskan untuk
keluar ke pasar membeli barang keperluan, pergi berkeliling kampung sekitar
Parabek. Waktu yang dinantikannya adalah menyaksikan perlombaan burung
balam di Kampung Durian. Sebelum perlombaan dimulai, diadakan pidato
sambutan dari setiap penghulu. Malik mendapati dirinya tertarik mendengar
pidato-pidato tersebut dan berikutnya mencari waktu saat pelantikan penghulu,
saat para tetua adat yang mahir berpidato adat berkumpul. Dari sana, Malik
mulai mencatat sambil menghafal petikan-petikan pantun dan diksi dalam pidato
adat. Demi mendalami minatnya, ia mendatangi beberapa penghulu untuk berguru
pidato adat. Kecenderungannya ini kelak membuat keluarga ibunya mewariskan
gelar pusaka yang sudah lama tak dipakai, Datuk Indomo kepada Malik.
1.3Perantauan
Malik sering menempuh perjalanan jauh sendirian, berkelana ke sejumlah tempat
di Minangkabau sehingga ayahnya memberi julukan "Si Bujang Jauh". Dalam usia
baru menginjak 15 tahun, Malik telah berniat pergi ke pulau Jawa. Ia kabur dari
rumah, pergi tanpa meminta izin ayahnya. Ia hanya pamit kepada anduangnya di
Maninjau. Dari sana Malik memulai perjalanan dengan bekal ongkos yang
diberikan andungnya. Ia menempuh perjalanan melalui darat dengan singgah
terlebih dahulu di Bengkulu, berencana menemui kerabat satu suku dari ibunya
untuk meminta tambahan ongkos. Ketika sampai di pelabuhan dekat Bengkulu,
Malik yang merasakan tubuhnya panas sempat bermalam sampai dua hari. Ia
mendapat pertolongan dari seorang saudagar yang mengantarnya sampai ke
Ketahun. Dalam kondisi sakit, Malik meneruskan perjalan ke Napal Putih dan
setelah itu diantarkan ke kerabatnya, sementara tubuhnya mulai diserang cacar.
8
kelas
belajar
kepada HOS
Tjokroaminoto, Fakhruddin,
dan Suryopranoto. Malik mengikuti kelas dengan tekun, sering bertanya dan
menyalin pelajaran yang didapatnya. Dari keterlibatannya dengan perserikatan
Islam, Malik melihat perhatian umat Islam di Jawa terhadap pendidikan,
berbeda dengan di Minangkabaukarena telah seragam memeluk Islamyang
saat itu memperdebatkan penyimpangan praktik Islam. Setelah melewatkan
waktu enam bulan di Yogyakarta, Malik meneruskan perjalanan kePekalongan,
memenuhi janjinya untuk bertemu kakak iparnya Ahmad Rasyid Sutan Mansur.
Dari kakak iparnya, Malik mendapatkan kesempatan mengikuti berbagai
9
kepada
Hamka
agar
kembali
ke
Padangpanjang
untuk
membantu
membendung penyebaran paham komunis. "Kamu harus terus berada di sini bagi
meneruskan tanggung jawab menjaga ummah," pesan ayahnya.
Saat kembali ke Padangpanjang, propoganda Partai Komunis Indonesia telah
memengaruhi murid-murid Thawalib. Malik menjalankan pesan ayahnya. Ia
menuangkan pengetahuannya ke dalam majalah Tabligh Muhammadiyah yang
dirintisnya. Gurunya Zainuddin dan pemilik percetakan Bagindo Sinaro ikut
membantu pembuatan dan distribusi majalah. Pada saat yang sama, Malik harus
membagi waktu untuk berpidato, bolak-balik dari Maninjau ke Padangpanjang.
Malik mengambil kesempatan untuk tampil berpidato setiap ayahnya usai
memberikan tausyiah. Malik rutin berpidato di Padangpanjang. Ia masih
menyempatkan waktunya untuk memberikan pelajaran berpidato. Beberapa orang
yang belajar kepada Malik, membuat materi pidato sendiri yang akan dikumpulkan
Malik
untuk
diterbitkan
dalam
sisipan
kumpulan
pidato
majalah Tabligh
mendapatkan
sambutan
baik
saat
kepulangannya,
penerimaan
masyarakat terhadap Malik adalah sebatas mubalig yang hanya berpidato. Dalam
membacakan ayat atau kalimat bahasa Arab, Malik tidak fasih karena tidak
memahami tata letak bahasa, ilmu nahu dan sharaf. Hal tersebut dikaitkan
karena Malik tidak pernah menyelesaikan pendidikannya di Thawalib. Ia pernah
dikatakan sebagai "tukang pidato yang tidak berijazah". Ayahnya mengakui
bahwa Malik masih belum cukup ilmu walaupun pandai berceramah dan berdebat
10
dalam hal agama. "Pidato-pidato saja adalah percuma, isi dahulu dengan
pengetahuan, barulah ada arti dan manfaatnya pidato-pidatomu itu." Malik
berasa kecil hati dengan sindiran ayahnya, merenung nasib dirinya yang tak
pernah
tamat
belajar
meski
telah
berpindah-pindah
sekolah.
Saat
Lindungan Ka'bah
Kepada andungnya, Malik sering menceritakan kesedihan dan perasaannya. Dari
andungnya, Malik teringat bahwa saat kelaharinnya ayahnya berjanji akan
mengirimnya belajar ke Mekkah, tetapi Malik tak mendapati persiapan ataupun
tanda-tanda dirinya akan diberangkatkan. Ketika itu, umur Malik menjelang 19
tahun, sedangkan ayahnya pergi ke Mekkah pada umur 16 tahun. Dari sana,
muncul keinginan Malik untuk pergi belajar ke Mekkah. Karena takut kepada
ayahnya, Malik menyampaikan niatnya kepada andungnya seorang. Dari hasil
11
untuk
surat
kabar Pembela
tahun
1928,
ia
menulis
romannya
yang
pertama
dalam bahasa
dan
Perempuan, Pembela
Islam, Adat
Minangkabau, Agama
halamannya,
ia
diterima
ayahnya
dengan
penuh
haru
hingga
menitikkan air mata. Ayahnya terkejut mengetahui Hamka telah berangkat haji
dan pergi dengan ongkos sendiri. Ayahnya bahkan berkata, "Mengapa tidak
engkau beri tahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu? Abuya (ayah) ketika itu
sedang susah dan miskin. Kalau itu maksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak
emas bungkal diasah." Mendapat sambutan sehangat itu, ia mulai sadar betapa
13
besar kasih ayahnya terhadap dirinya. Sejak saat itu, pandangan Hamka
terhadap ayahnya mulai berubah. Namun, setelah sekitar setahun menetap
diSungai Batang, ia kembali meninggalkan kampung halamannya.
Hamka pindah ke Medan pada tahun 1936. ] Di Medan, ia bekerja sebagai editor
sekaligus menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah pengetahuan Islam yang
didirikannya
bersama M.
Yunan
Nasution,
Masyarakat,
ia
yaitu
untuk
Majalah Pedoman
pertama
kalinya
Ilahi, Tuan
Direktur, Angkatan
Baru, Terusir, Di
Dalam
Lembah
Kehidupan, Ayahku, Tasawuf Modern, dan Falsafah Hidup. Namun pada tahun
1943, Majalah Pedoman Masyarakatyang dipimpinnya dibredel oleh Jepang, yang
ketika itu berkuasa di Indonesia. Pada masa penjajahan Jepang, Hamka diangkat
menjadi penasihat Jepang dalam hal agama Islam. Ia juga diangkat sebagai
anggota Syu Sangi Kai (semacam DPR) untuk masalah pemerintahan dan keislaman
pada tahun 1944. Ia menerima jabatan ini karena ia percaya dengan janji Jepang
yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Namun setelah menduduki
jabatan ini, ia justru dianggap sebagai kaki tangan penjajah oleh temantemannya. Ketika Jepang kalah lalu menyerah pada sekutu, Hamka menjadi
sasaran kritik yang tak berkesudahan. Inilah yang menyebabkan Hamka keluar
dari Medan kembali ke Minangkabau setelah perang revolusi pecah pada tahun
1945. Hamka juga turut berjuang mengusir penjajah. Ia pernah ikut menentang
kembalinya Belanda ke Indonesia dengan bergerilya di dalam hutan di Medan.
Karier dan kehidupan selanjutnya
14
2.1Muhammadiyah
Setelah perkawinannya dengan Sitti Raham, Hamka aktif dalam kepengurusan
Muhammadiyah
cabang
Minangkabau,
yang
cikal
bakalnya
bermula
dari
perkumpulan Sendi Aman yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1925 di Sungai
Batang. Selain itu, ia sempat menjadi pimpinan Tabligh School, sebuah sekolah
agama yang didirikan Muhammadiyah pada 1 Januari 1930.
Sejak menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun 1928, Hamka
tidak pernah absen menghadiri kongres-kongres Muhammadiyah berikutnya.
Sekembalinya dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, sampai akhirnya ia
diangkat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Seusai Muktamar
Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggipada tahun 1930, disusul dengan kongres
berikutnya di Yogyakarta, ia memenuhi undangan untuk mendirikan cabang
Muhammadiyah di Bengkalis. Selanjutnya pada tahun 1932, ia diutus oleh
Muhammadiyah ke Makassar dalam rangka mempersiapkan dan menggerakkan
semangat rakyat untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 di Makassar.
Selama di Makassar, ia sempat menerbitkan Al-Mahdi, majalah pengetahuan
Islam yang terbit sekali sebulan. Pada tahun 1934, setahun setelah menghadiri
Kongres Muhammadiyah di Semarang, ia diangkat menjadi anggota tetap Majelis
Konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Tengah.
Kariernya di Muhammadiyah kian menanjak sewaktu ia pindah ke Medan. Pada
tahun 1942, bersamaan dengan jatuhnya Hindia Belanda ke dalam tampuk
kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah
untuk wilayah Sumatera Timur menggantikan H. Mohammad Said. Namun pada
Desember 1945, ia memutuskan kembali ke Minangkabau dan melepaskan jabatan
tersebut. Pada tahun berikutnya, ia terpilih menjadi Ketua Majelis Pimpinan
Muhammadiyah Sumatera Barat menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto. Jabatan ini
ia rengkuh hingga tahun 1949.
15
Hidup Emil
Presiden Adam
Malik, Menteri
Perhubungan Azwar
Negara
Anas yang
Kusir,
Jakarta
Selatan,
dipimpin Menteri
Perwiranegara.
16
Agama Alamsjah
Ratoe
2.3 Politik
pihak
yang
paling
konsisten
memperjuangkan syariat
1959 dan, perjalanan politik Hamka dapat dikatakan berakhir setelah Masyumi
ikut dibubarkan oleh Presiden Soekarno.
Sikapnya yang konsisten terhadap agama, menyebabkannya acapkali berhadapan
dengan berbagai rintangan, terutama terhadap beberapa kebijakan pemerintah.
Keteguhan
sikapnya
ini
membuatnya
dipenjarakan
tahun
1977,
Hamka
dipilih
sebagai
ketua
umum Majelis
Ulama
kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan
pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas alAqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia
meneliti
karya
Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl
Marx, dan Pierre Loti.
Hamka
juga
banyak
menghasilkan
karya
ilmiah
Islam
dan
karya
lain
seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang
pertama dalam bahasa Minang dengan judul Si Sabariah. Kemudian, ia juga
menulis
buku-buku
lain,
baik
sosial
yang
berbentuk roman,
kemasyarakatan,
dan fiqih.
Karya
pemikiran
ilmiah
dan
terbesarnya
Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi
perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura.
Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional
maupun internasional.
Pada
tahun 1959,
Hamka
mendapat
anugerah
gelar Doktor
Honoris
Causa dari Universitas al-Azhar, Kairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama
Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali
ia
memperoleh
gelar
kehormatan
tersebut
dari Universitas
Nasional
19
BAB 2
PEMBAHASAN
orang tersebut, meskipun orang itu masih melaksanakan shalat lima waktu. Hal ini
tidak aneh, sebab tauhid bagi Hamka adalah pembentuk bagi tegak dan teguhnya
suatu bangsa.
Hamka ketika menafsirkan Qs: al-Baqarah (2): 283 menyimpulkan bahwa antara
Islam dan negara adalah satu kesatuan, tidak ada yang dapat memisahkan urusan
dunia dan agama bahkan dalam kaitannya dengan masalah urusan muamalah,
hubungan manusia dengan manusia yang lain (hukum perdata). Sebab, Islam
menghendaki hubungan yang lancar dalam segala urusan. Pendapatnya ini juga
ditemukan dalam tulisannya yang lain bahwa dalam sejarah Islam tidak pernah
ditemukan pemisahan antara agama dan negara.
1.3. ANALISIS
a. Masalah Syra
Istilah Syra berasal dari kata -( sya@wara-yusywiru) yang berarti
menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu.
(tasywara) berarti saling berunding, saling tukar pendapat. Secara Lugawi
Syra berarti permusyawaratan, hal bermusyawarah atau konsultasi. Sedang
menurut istilah berarti sarana dan cara memberi kesempatan pada anggota
komunitas yang mempunyai kemampuan membuat keputusan yang sifatnya
mengikat baik dalam bentuk peraturan hukum maupun kebijaksanaan politik.
Menurut Abu Faris syra adalah pemutarbalikan bernagai pendapat dan arah
pandangan yang terlempar tentang suatu masalah, termasuk pengujianya dari
kaum cendekiawan, sehingga mendapat gagasan yang benar, dan baik, sehingga
dapat mrncerminkan konklusi yang paling baik.
Konsep syra sendiri menurut Fazlur Rahman senyatanya merupakan suatu proses
di mana setiap orang harus saling berkonsultasi dan mendiskusikan persoalan
secara konstruktif dan kritis untuk mencapai tujuan bersama. Semua itu
diletakkan
dalam
kerangka
nilai
23
keadilan,
kesederajatan,
dan
Hamka
ini
menurut
penulis
24
dipengaruhi
oleh
teori
Theo-
memisahkan
urusan
agama
dan
25
urusan
negara
secara
diametral.
Berangkat dari teori ini, maka pandangan Hamka masuk dalam kategori paradigma
integralistik. Sebab, ia memiliki pandangan bahwa hubungan antara Islam dan
negara adalah satu kesatuan.
1.4 KESIMPULAN
Teori sosiologi menyebutkan, bahwa terdapat pengaruh nilai-nilai sosial terhadap
semua persepsi tentang realitas, teori ini juga menyatakan, bahwa tidak ada
praktik penafsiran (act of commong to understanding) dapat terhindar dari
kekuatan formatif latar belakang (background) dan komunitas paradigma yang
dianut oleh seorang penafsir.
Buya Hamka adalah seorang pujangga, ulama, pengarang, dia juga dikenal sebagai
politikus yang berseberangan dengan politik pemerintah waktu itu. Oleh karena
itu, Hamka ketika ia menziarahi ayat-ayat politik, ia berusaha menemukan,
mengidentifikasi, dan menafsirkan prinsip-prinsip fundamental dari al-Qur'an
dalam kaca mata politik Islam yang dianutnya, tentunya politik yang berbeda
dengan kebijakan politik pemerintah. Hal ini tampak dari pemikirannya tentang
Demokrasi Taqwa, dan hubungan antara agama dan negara yang menyatu.
26
DAFTAR PUSATAKA
1984.
Hamka, Tafsir al-Azha, Jakarta: Pembimbing Masa, 1973.
Harun Nasution (ed.), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Depag, 1993.
Ibn Manz}ur, Lisn al-Arab, Beiru@t: Dr S}adhr. Vol.V .t.t.
M. Abdul al-Manar, Pemikiran Hamka, Kajian Filsafat dan Tasawuf, Jakarta:
Prima Aksara, 1993.
M. Abdul al-Manar, Pemikiran Hamka, Kajian Filsafat dan Tasawuf, Jakarta:
Prima Aksara, 1993.
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, terj. Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq,
Yogyakarta: 1996.
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Hakikat Sistem Politik Islam, Yogyakarta:
PLP2M, 1987.
Muhammad Ibn Jari@r at-T{abri, Jmi al-Bayn an Tawi@l ayi al-Qur'n,
Beiru@t: Dr al-Fikr, 1984.
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran Sejarah dan Pemikiran,
Jakarta : UI Press, 1993.
Qamaruddin Khan, Al-Mawardi's Theory of the State, Delhi: Muhammad Ahmad
for Idarah Adabiyah, 2009, 1979.
Qamaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taymiyah, Delhi: Adam Publisher
& Distributions, 1992.
T.W. Arnold, Khalifa dalam M.TH. Houstma, (ed.), First Encyclopedia of Islam,
Leiden: E.J. Brill, 1987.
Tim, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichiar baru Van Hoeve, 1982.
Tim, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichiar baru Van Hoeve, 1982.
28