Anda di halaman 1dari 21

ANAFILAKSIS

Pendahuluan
Penyakit atopik adalah penyakit yang prosesnya dijalankan atau
berhubungan dengan

reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Beberapa

penyakit yang termasuk penyakit atopik antara lain adalah anafilaksis,


konjungtivitis alergik, urtikaria dan angioedema, asma bronkial, alergi
dermatitis atopik. Yang akan dibahas berikut ini adalah tentang
anafilaksis.
Reaksi anafilaktik merupakan keadaan gawat darurat medik yang
mengancam jiwa. Gejala klinis timbul segera setelah penderita terpajan
oleh allergen atau faktor pencetusnya lainnya. Reaksi anafilaktik
jarang dijumpai pada anak, tetapi gejala yang timbulsering kali berat,
tidak terduga dan dapat menyebabkan kematian.
Anafilaksis adalah suatu respons klinis hipersensitivitas yang
berat dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas
ini

merupakan

suatu

reaksi

hipersensitivitas

tipe

cepat

(reaksi

hipersensitivitas tipe I), yaitu reaksi antar antigen spesifik dan


antibodi spesifik yang terikat pada sel mast. Selain itu dikenal pula
istilah reaksi anafilaktoid yang secara klinis sama dengan anafilaksis,
akan tetapi tidak disebabkan oleh interaksi antara antigen dan antibodi.
Reaksi anaflaktoid disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada sel
mast sehingga menyebabkan terlepasnya mediator (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Rangsang sel mast yang menyebabkan pelepasan


mediator

REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE CEPAT


Sensitisasi dan reaksi atopik
Hipersensitivitas tipe cepat dari serangkaian mekanisme efektor
tubuh

yang

dijalankan

oleh

IgE

(lihat

bab

tentang

reaksi

hipersensitivitas). Secara ringkas reaksi berantai tersebut terdiri dari


sensitisasi atopik (gambar 2) dan reaksi atopik (gambar 3)

Gambar 2 ( Sensitisasi atopik)


Alergen
Imunogen adalah zat yang mampu menimbulkan respons imun spesifik
berupa bentukan antibodi atau kekebalan selular, atau keduanya.
Antigen adalah zat; mampu bereaksi dengan antibodi atau sel T yang
sudah sensitif. Imunogen selalu bersifat antigenik tapi antigen tidak
perlu imunogenik, misalnya hapten, kalau bergabung dengan protein.
Alergen

adalah

antigen

khusus

yang

yang

menginduksi

reaksi

hipersensitivitas tipe cepat dan dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu


alergen protein lengkap dan alergen dengan berat molekul rendah
(hapten).

Gambar 3. Reaksi atopik


Alergen protein lengkap
Alergen yang terdiri dari protein lengkap mampu merangsang
pembentukan IgE tanpa bantuan zat lain karena mempunyai determinan
antigen yang dikenal sel B dan gugus karier yang merangsang makrofag
dan sel T untuk mengembangkan aktivasi sel B (Gambar 4). Yang
termasuk kelompok ini misalnya tepung sari, bulu binatang, ATS
(serum antitetanus) dan ADS (serum antidifteri).

Alergen dengan berat molekul rendah


Kelompok ini tidak dapat menimbulkan respons antibodi berupa
IgE karena hanya berfungsi sebagai hapten. Biasanya hapten harus
berikatan

dengan

protein

jaringan

atau

protein

serum

in

vivo

membentuk kompleks hapten-karier untuk dapat menimbulkan respons


antibodi IgE.Yang termasuk kelompok ini misalnya adalah obatobatan.

Gambar 4 ( sensitisasi alergen)


Antibodi
Produksi antibodi IgE spesifik memerlukan kerja sama aktif
antara makrofag, sel T dan sel B. Alergen yang masuk melalui traktus
respiratorius, traktus gastrointensitas atau kulit akan difagosit oleh
makrofag untuk diproses dan dipresentasikan kepada sel T. Sel T yang
tersensitisasi akan merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma

yang mensintesis dan mensekresi IgE spesifik.


Sel plasma yang nemproduksi IgE terutama terdapat dalam
lamina propria traktus respiratorius dan traktus gastrointestinalis serta
jaringan limfoid bersangkutan. Kadar total IgE serum adalah jumlah
IgE yang dihasilkan oleh ketiga organ tersebut, yang secara pasif
berdifusi ke dalam kompartemen vaskular. IgE mempunyai sifat
biologik unik, yaitu dapat terikat pada sel mast untuk jangka waktu
panjang (6 minggu).
Pengikatan IgE oleh sel mast mempunyai konsekuensi penting.
Karena IgE terikat pada sel mast di seluruh tubuh maka sel mast di
bawah kulit lengan bawah juga sensitif terhadap alergen yang masuk
melalui traktus gastroentensitas atau traktus respiratorius. Disamping
itu mungkin sebagian besar sel mast telah sensitif terhadap alergen
tertentu, sehingga pajanan terhadap alergen tertentu. Sehingga pajanan
terhadap alergen tersebut dapat memacu sel mast secara sistemik yang
akan melibatkan sistem dan akan menimbulkan syok anafilaktik.
Pengikatan oleh sel mast menyebabkan IgE merupakan suatu fraksi
dengan masa paruh yang lebih panjang. Diperkirakan masa paruh IgE
adalah 2-3 hari. Walaupun mempunyai masa paruh yang lama, IgE tidak
dapat melewati plasenta sehingga hipersensitivitas ibu tidak dapat
ditransfer secara pasif kepada fetus.
Aktivasi penting lainnya adalah bila IgE berikatan dengan
alergen. Hal ini dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur
alternatif sehingga dihasilkan anafilaktoksin (C3 dan C5a) dan zat
kemotaktik lain yang penting pada respons inflamasi.
Sel mast
Yang termasuk sel mediator adalah sel mast, basofil dan
trombosit Sel mast diselimuti oleh IgE yang terikat pada reseptor

spesdfik untuk bagian Fc rantai epsilon. Setiap sel mast dapat mengikat
bermacam IgE spesifik sehingga sel mast da-pat bereaksi dengan
berbagai maram antigen. Jumlah IgE pada satu sel basofil sangat
bervariasi, dan diperkirakan berkisar di antara 5000-500.000 molekul
per selbasofil.
Walaupun penderita alergi mempunyai molekul IgE yang tinggi
pada basofilnya bila dibandingkan dengan orang orang yang tidak
alergi, terdapat suatu overlaping yang luas dalam jumlah IgE yang
terdapat pada kedua golongan ter sebut. Jumlah IgE yang terikat pada
sel merupakan refleksi kadar IgE dalam serum, akan tetapi banyaknya
molekul

IgE

pada

satu

sel

tidak

berhubungan

dengan

derajat

sensitivitas. Faktor yang menentukan perbedaan besar sensitivitas


seseorang sampai sekarang belum diketahui dengan pasti.
Sel mast dan basofil mengandung mediator kimia yang poten
untuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Mediator tersebut adalah
histamin,

SRS-A, ECF-A, PAF, dan heparin.

disimpan

dalam

lisosom

(heparin,

histamin)

Beberapa mediator
yang

berada

dalam

sitoplasma. sel mast, dan dilepaskan hila terdapat rangsangan yang


cukup. Rangsangan alergi dimulai dengan cross-linking dua atau lebih
IgE yang terikat pada sel mast atau basofil dengan alergen (lihat
Gambar 5). Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan sistem
nukleotida siklik yang meninggikan rasio cGMP terhadap cAMP dan
masuknya ion Ca ++ ke dalam sel. Peristiwa ini akan menyebabkan
pelepasan mediator lain.
Degranulasi sel mast dapat diatur oleh sejumlah zat. Zat yang
menurunkan cAMP atau menaikkan cGMP seperti adrenergik , zat
kolinergik atau prostagladin F2a, memperhebat degranulasi sel mast
Sebaliknya zat yang meningkatkan cAMP, seperti epinefiin, teofflin
dan prostaglandin El dan E2 menghalang1 degranulasi sel.

Gambar 5
ETIOLOGI
Berbagai macam etiologi, faktor pencetus dan mekanisme dapat
menyebabkan terjadinya reaksi anafilaktik.

Antibiotik

dapat

berupa

penisflin

dan

derivatnya,

basitrasin,

neomisin, tetrasildin, streptomisin, sulfonamid, dan lain lain.

Ekstrak alergen biasanya berupa rumput-rumputan atau jamur,


serum.

Obat-obatan lain seperti hidrokortissan, estradiol,tiopental, kurare,


Na-hidrokolat, dextran, Iron-dekstran, tiamin.

Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis


dan dapat menimbulkan anfilaksis misalnya adalah zat radioopak,
bromsulftalin,

benzilpenisiloil-polilisin.

Demikian

pula

dengan

anestetikum lokal seperti prokain atau lidokain.

Bisa yang dapat menimbulkan anafilaksis misalnya bisa

ular,

semut, dan sengatan lebah.

Darah lengkap atau produk darah seperti gamaglobulin dan dan


kriopresipitat dapat pula menyebabkan anafilaksis.

Makanan

telah

dikenal

sebagai

penyebab

anafilaksis

seperti

misalnya susu sapi, kerang, dan kacang-kacangan.

Faktor fisis, yaitu kegiatan jasmani, alergi dingin, dll.

Idiopatik

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi

anafilaksis

akan

lebih

jelas

kalau

kita

lihat

pengaruh mediator pada organ target seperti sistem kardiovaskular,


traktus respiratorius, traktus gastro-intestinalis, dan kulit.
Mediator anafilaksis
Rangsangan alergen pada sel mast menyebabkan dilepaskannya
mediator kimia yang sangat kuat yang memacu serangkaian peristiwa
fisiologik yang menghasilkan gejala anafilaksis.
Histamin
Aksi histidin dekarboksilase pada histidin akan menghasilkan
histamin. Dalam tubuh kita sel yang mengandung histamin dalam
jumlah besar adalah sel gaster, trombosit, sel mast, dan basofil. Pada
sel mast dan basofil, histamin disimpan dalam lisosom dan dilepaskan

melalui

degranulasi

setelah

perangsangan

yang

cukup.

Pengaruh

histamin biasanya berlangsung selama 10 menit dan inaktivasi histamin


in vivo oleh histaminase terjadi sangat cepat.
Histamin bereaksi pada banyak organ target melalui reseptor HI
dan H2. Reseptor HI terdapat terutama pada sel otot polos bronkiol dan
vaskular, sedang reseptor
Beberapa

tipe

H2 terdapat

antihistamin

menyukai

pada sel parietal


reseptor

H1

gaster.

(misalnya

klorfeniramin) dan antihistamin lain menyukai reseptor H2 (misalnya


simetidin). Reseptor histamin terdapat pada beberapa limfosit (teru tama Ts) dan basofil.
Pengaruh fisiologik histamin pada manusia dapat dilihat pada
berbagai organ. Histamin dapat menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular
menyebabkan dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh darah
yang lebih besar menyebabkan konstriksi karena kontraksi otot polos.
Selanjutnya histamin meninggikan permeabilitas kapiler dan venula
pasca kapiler. Perubahan vaskular ini menyebabkan respons whealflare (Triple respons dari Lewis), dan bila terjadi secara sistemik dapat
menimbulkan

hipotensi,

urtikaria,

dan

angioedema.

Pada

traktus

gastrointestinalis histamin jneninggikan sekresi mukosa lambung, dan


bila pelepasan histamin terjadi sistemik maka aktivitas polos usus
dapat meningkat menyebabkan diare dan hipermotilitas.
SRS-A
Berbeda dengan histamin, heparin dan ECF-A, SRS-A tidak
ditemukan sebelumnya dalam granula sel mast. Rangsangan degranulasi
sel mast memulai sintesis SRS-A, yang kemudian muncul dalam
lisosom sel mast dan selanjutnya dalam cairan paru sehingga terjadi
kontraksi otot bronkioli yang hebat dan lama. Pengaruh SRS-A tidak

10

dijalankan melalui reseptor histamin dan tidak dihambat oleh histamin.


Epinefiin

dapat

menghalangi

dan

mengembalikan

kontraksi

yang

disebabkan oleh SRS-A


ECF-A
ECF-A telah terbentuk sebelumnya dalam granula sel mast dan
dilepaskan segera degranulasi. ECF-A menarik eosinofil ke daerah
tempat

reaksi

anafilaksis.

Pada

daerah

tersebut

eosinofil

dapat

memecah kompleks antigen-antibodi yang ada dan menghalangi aksi


SRS-A dan histamin.
PAF
PAF

menyebabkan

permeabilitas pembululi h

bronkokonstriksi

dan

meninggikan

darah. PAF juga mengaktifkan faktor XII

dan faktor XII yang telah diaktifkan akan menginduksi pembuatan


bradikinin.
Bradikinin
Pradikinin tidak ditemukan dalam sel mast manusia, aktivitasnya
dapat menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular secara lambat,
lama

dan

hebat

Bradikinin

juga

menyebabkan

peningkatan

permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler yang menyebabkan


timbulnya

edema

menyebabkan

jaringan,

rasa nyeri.

serta

merangsang

serabut

saraf

dan

Selain itu bradikinin juga merangsang

peningkatan produksi mukus dalam traktus respiratorius dan lambung.


Bradikinin menjalankan pengaruhnya melalui reseptor pada sel yang
berbeda dengan reseptor histamin atau SRS-A

11

Serotinin
Serotinin tidak ditemukan dalam sel mast manusia tetapi dalam
trombosit dan dilepaskan waktu agregasi trombosit atau melalui
mekanisme lain. Serotonin juga menyebabkan kontraksi otot bronkus
tapi pengaruhnya hanya sebentar serotinin tidak begitu penting pada
anafilaksis.
Prostaglandin
Prostaglandin

memainkan

peranan

aktif

pada

anafilaksis

melebihi pengaruh nukleotida siklik sel mast. Prostaglandin A dan F


menyebabkan
permeabilitas

kontraksi

otot

polos

kapiler, sedangkan

dan

juga

prostaglandin

El

meningkatkan
da

E2

secara

langsung menyebabkan dilatasi otot polos bronkus.


Kalikrein
Kalikrein

basofil

menghasilkan

kinin

yang

mempengaruhi

permeabilitas pembuluh darah dan tekanan darah.


KLASIFIKASI
Secara imunopatologik reaksi anafilaksis dan reaksi anafilaktoid
dibagi menjadi
1. Reaksi anafilaksis yang diperankan oleh IgE atau IgG,
2.Reaksi anafilaktoid karena lepasnya mediator secara langsung
misalnya oleh obat, makanan, agregasi kompleks imun seperti
reaksi terhadap globulin , IgG antilgA,
3. Reaksi transfusi karena pembentukan antibodi terhadap eritrosit
atau leukosit,
4. Reaksi yang diinduksi prostaglandin oleh pengaruh aspirin atau
obat lain.

12

GAMRARAN KLINIS
Secara klinis gejala anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan
reaksi sistemik Reaksi lokal terdiri dan urtikaria dan angioedema pada
daerah yang kontak de ngan antigen. Reaksi lokal dapat berat tetapi
jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada oragan target seperti
traktus respiratorius, system kardiovaskular, traktus gastrointestinalis,
dan kulit. Reaksi ini biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah
kontak dengan penyebab. Tanda dan gejala utama anafilaksis dapat
dililiat pada Tabel ini.
GAMBARAN KLINIS ANAFILAKSIS
Sistem
Umum(prodormal)
Mulut

Kulit
Mukosa
Jalan nafas aas
Jalan nafas bawah
kardiovaskular
Gastrointestinal

Gejala dan tanda


Malaise, lemah, rasa sakit
Gatal pada bibir, lidah, dan palatal.
Edema bibir dan lidah, metallic taste
di mulut.
Gatal, flushing, urticaria, angioedema,
morbiliform rush,
Edema periorbita, hidung tersumbat
dan gatal, angioedema, pucat, sianosis
Bersin, pilek, dispnu, edema laring,
serak, edema lidah dan faring, stridor
Batuk,sesak, dispnu, emfisema akut,
asma, bronkospasme, bronkorea
Pingsan,
sakit
dada,
disaritmia,
hipotensi.
Peningkatan
peristaltik,
muntah,
disfagia, mual, kejang perut, diare

Susunan
saraf Gelisah, kejang
pusat
REAKSI SISTEMIK
Reaksi sistemik ringan

13

Mediator

Histamin
Histamin
Histamin

SRS-A,
hisamin
lain-lain
Tidak
diketahui

Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas di
bagian perifer tubuh, biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan
tenggorokan. Gejala permulaan ini dapat disertai dengan hidung
tersumbat dan pembengkakan peri orbita. Dapat juga disertai rasa gatal
pada. membran mukosa, keluarnya air mata dan bersin. Gejala ini
biasanya timbul dalam 2 jam sesudah kontak antigen. Lamanya gejala
bergantung pada pengobatan, umumnya berjalan 1-2 hari atau lebih
pada kasus kronik.
Reaksi sistemik sedang
Reaksi

sistemik sedang mencakup semua gejala dan tanda yang

ditemukan pada reaksi sistemik ringan ditambah dengan bronkospasme


dan

atau edema jalan nafas, dispneu, batuk dan mengi.

Dapat juga

terjadi angioedema, urtikaria umum, mual, dan muntah. Biasanya


penderita mengeluh gatal menyeluruh, me sa panas, dan gelisah. Masa
awitan dan lamanya reaksi sistemik sedang, hampir sama dengan reaksi
sistemik ringan.
Reaksi sistemik berat
Masa awitan biasanya pendek, timbul mendadak dengan tanda
dan gejala seperti reaksi sistemik ringan dan reaksi sistemik sedang,
kemudian dengan cepat dalam beberapa menit (terkadang tanpa gejala
permulaan) timbul bronkospasme hebat edema laring disertai serak,
stridor, dispnu berat, sianosis, dan kadangkala terjadi henti napas.
Edema

faring,

gastrointestinal

dan

hipermotilitas

menyebabkan

disfagia, kejang perut hebat. diare dan muntah. Kejang umum dapat
terjadi disebabkan oleh rangsangan sistem saraf pusat atau karena
hipoksia.

Kolaps

kardiovaskular

menyebabkan

jantung, syok dan koma.

14

hipotensi,

aritmia

Rangkaian peristiwa yang menyebabkan gagal napas dan kolaps


kadiovaskular sering sangat cepat dan mungkin merupakan gejala
objektif

pertama

pada

anafilaksis.

Beratnya

reaksi

berhubungan

langsung dengan cepatnya masa awitan. Reaksi fatal umunmya terjadi


pada orang dewasa. Pada anak penyebab kematian paling sering adalah
edema laring.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang dapat menolong untuk membedakan
kasus yang biasa atau menilai penatalaksanaan yang sedang dikerjakan.
Pemeriksaan

darah

lengkap

dapat

menemukan

hematokrit

yang

meningkat akibat hemokonsentrasi. Bila terjadi kerusakan miokard


maka pada pemeriksaan kimia darah dapat ditemukan peninggian enzim
SGOT, CPK (fosfokinase kreatin) dan LDH (dehidrogenase laktat).
Foto toraks mungkin memperlihatkan emfisema (hiperinflasi)
dengan tanpa atelektasis. Pada beberapa kasus dapat terlihat edema
paru. Pada peme riksaan elektrokardiografi (EKG) bila tidak terjadi
infark miokard maka perubahan EKG biasanya bersifat sementara
berupa depresi gelombang S-T, bundle branch block, fibrilasi atrium
dan berbagai aritmia ventrikular.
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Pada beberapa
keadaan dapat timbul keraguan terhadap penyebab lain sehingga perlu
dipikirkan diagnosis ban ding. Pada reaksi sistemik ringan dan sedang,
diagnosis bandingnya adalah urtikaria dan angioedema.
Bila ditemukan reaksi sistemik berat harus dipertimbangkan
semua

penyebab

distres

pemapasan,

15

kolaps

kardiovaskular

dan

hilangnya kesadaran, antara lain adalah reaksi vasovagal dan serangan


sinkop, infark miokard, reaksi atau reaksi histeris.
Reaksi vasovagal dan serangan sinkop sering terjadi sesudah
penyuntikan. Pada keadaan ini nadi teraba lambat dan biasanya tidak
terjadi sianosis. tekanan darah menurun biasanya masih dapat diukur.
Pucat dan diaforesis merupakan hal yang sering ditemukan.
Infark miokard disertai gejala yang menonjol seperti sakit dada
dengan atau. tanpa penjalaran. Kesukaran bernapas terjadi lebih lama
dan tanpa atau sumbatan bronkiol. Tidak tcrdapat edema atau sumbatan
jalan nafas.
Tidak terjadi sumbatan jalan napas ataupun distres pernapasan.
Tekanan biasanya sedikit menurun. Reaksi histeris tidak disertai bukti
distres pernafasan, hipotensi atau sianosis. Parestesia lebih sering dari
pada pruritus. dapat terjadi tapi kesadaran cepat kembali.
PENATALAKSANAAN
Yang

terpenting

pada

penatalaksanaan

anafilaksis

adalah

tindakan segera untuk membantu fungsi vital, melawan pengaruh


mediator, dan mencegah lepasnya mediator selanjutnya. Tindakan
tersebut mencakup evaluasi segera, pemberian pemasangan turniket,
pemberian oksigen, cairan intravena, difenhi-aminofilin, vasopresor,
intubasi dan trakeostomi, kortikosteroid, serla obatan suportif.
Evaluasi segera
Yang penting dievaluasi adalah keadaan jalan napas dan jantung.
Kalau

pasien

li

henti

jantung-paru

harus

dilakukan

resusitasi

kardiopulmonar.
Adrenalin
Larutan adrenalin (epinefrin) 1:1000 diberikan dengan

16

0,01

ml/kgBB (dosis maksimal pada anak 0,3ml) secara subkutan atau


intramuskular di lengan atas. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi
dengan jarak waktu 5-20 menit bila diperlukan. Kalau terdapat syok
atau kolaps vaskular, larutkan adrenalin (maksimun 0,25 ml) dalam 10
ml NaCl fisiologik lalu berikan secara intravena dengan kecepatan
lambat (1-2 menit).
Oksigen
Oksigen

harus

diberikan

kepada

penderita

penderita

yang

mengalami sianosis, dispneu yang jelas atau penderita dengan mengi.


Oksigen dengan aliran sedang tinggi (5-10 liter/menit) diberikan
melalui masker atau kateter hidung.
Antihistamin
Antihistamin diberikan bilamana kegawatan salurn napas dan
kardiovaskuler sudah teratasi. Difenhidramin dapat diberikan secara
intravena (lambat-lambat selama 5-10 menit), intramuskular atau oral
(1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai dosis tunggal,
tergantung dari beratnya reaksi.
Difenhidramin diteruskan secara oral setiap 6 jam selama 24 jam
untuk

mencegah

reaksi

berulang,

terutama

pada

urtikaria

dan

angioedema.
Turniket
Kalau

anafilaksis

terjadi karena

suntikan

pada ekstremitas

pasanglah turniket dari daerah suntikan tersebut. Setiap 10 menit


turniket ini diselang l selama 1-2 menit.
Cairan intravena
Untuk mengatasi syok pada anak dapat diberikan cairan NaCl

17

fisiologis dan glukosa 5% dengan perbandingan 1 : 4 sebanyak 30


ml/kgBB selama 1-2 jam pertama atau sampai syok teratasi. Kalau syok
sudah teratasi, cairan tersebut diteruskan dengan dosis sesuai dengan
berat badan dan umur anak.
Aminofilin
Kalau bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-6
mg/kgBB yangi dilarutkan dalam cairan intravena dengan jumlah
paling sedikit sama. Campuran ini diberikan intravena secara lambat
(15-20 menit). Tergantung dari tingkat bronkospasme, aminofilin dapat
diteruskan melalui infus dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5
mg/kg

BB

intravena

selama

20-30

menit

setiap

jam.

Kalau

memungkmkan, kadar aminofilin serum harus dimonitor.


Vasopresor
Kalau cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan
darah,

berikan

metaraminol

bitartrat

(Aramine)

0,01

mg/kgBB

(maksimun 5 mg) sebagai suntikan tunggal secara lambat dengan


memonitor aritmia jantung. Dosis ini dapat diulangi, kalau diperlukan,
untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan vasopresor lain
seperti levaterenol bitartrat (Levophed) atau dopamin (Intropine).
Intubasi dan trakeostomi
Intubasi

atau

trakeostomi

perlu

dikerjakan

kalau

terdapat

rumbatan jalan napas bagian alas oleh edema. Prosedur ini tidak boleh
ditunda kalau sudah terindikasi.
Kortikosteroid
Kortikosteroid tidak menolong pada penatalaksanaan akut suatu

18

reaksi anafifilaktik.
1.

Dexamethason,

dosis

initial

0.5-1mg/kgBB

IM

atau

IV.

Selanjutnya 0,5-1 mg/kgBB/ hari dibagi dalam 3 dosis, dapat


diberikan peroral ataupun parenteral selama 48 jam.
2. Methylprednisolone 1-2 mg/kgBB tiap 6 jam selama 48 jam.
Pengobatan suportif
Sesudah

keadaan

stabil,

penderita

harus

tetap

mendapat

pengobatan suportif dengan obat dan cairan selama diperlukan untuk


membantu memperbaiki fungsi vital

tergantung dari beratnya reaksi,

pengobatan suportif ini dapat diberikan beberapa jam sampai beberapa


hari.
PENCEGAHAN
Pencegahan

merupakan

aspek

yang

terpenting

pada

penatalaksanaan anafilaksis.
Anamnesis teliti
Anamnesis mengenai kemungkinan terdapatnya reaksi terhadap
antigen yang dicurigai, yang mungkin terjadi diwaktu yang lalu, harus
dikerjakan

sebelum

kita

memberikan

setiap

obat,

terutama

obat

suntikan.
Penggunaan antibiotik
antibiotik atau obat lainnya harus dengan indikasi khusus, dan l
per oral lebih baik, kalau hal ini memungkinkan.
Uji kulit dan konjungtiva
Uji kulit dan konjungtiva terhadap beberapa antitoksdan yang
berasal dari serum, dianjurkan untuk dikerjakan sebelum diberikan. Di
negara maju, setiap dapat diperoleh informasi dari badan tertentu yang
mempunyai catatan mengenai penderita yang telah pernah mengalami
reaksi anafilaksis.
DAFTAR PUSTAKA

19

1.

Rachman, Oscar dan Myrna Soepriadi. Anafilaksis. Dalam Buku


Ajar

Alergi-Imunologi

Anak.Ikatan

Dokter

Anak

Indonesia.

Jakarta. 1996. hal 139 153.


2.

Suyoko, E M Dadi. Reaksi Anafikaltik: patofiologi, diagnosis dan


penatalaksanaan. Dalam Hot Topics in Pediatrics II. PKB IKA
XLV. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.2002. hal 274-280.

3.

Sampson,A Hugh and Donald Y M Leung. Anaphylaxisin Nelson


Textbook of Pediatrics 17 th edition.Saunders. USA. 2003. p 781782.

4.

Austen,K

Frank.

Allergies,Anaphylaxis,

and

Mastocytosisin

Harrisons Principles of Internal Medicine Vol II. 16 t h edition,


McGraw-Hill Ccompanies. USA. 2005. p 1949-1951.
5.

Sampson,A

Hugh,

Anaphylaxsis

and

Emergency

Available on http://www.pediatrics.org .

ANAF I LAKTI K
20

Treatment.

DISUSUN OLEH

ROSMAULI HUTABARAT
98-105

PEMBIMBING

Dr. S M L TORUAN, SpA

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2005

21

Anda mungkin juga menyukai