Percobaan Pidana
Percobaan Pidana
yang dikehendaki, maka dengan sendirinya orang tersebut tidak memenuhi semua unsur
yang terdapat di dalam rumusan delik.[14] Dalam KUHP terdapat rumusan bahwa
percobaan untuk melakukan tindak pidana tertentu tidak dapat dihukum, antara lain:
a)Pasal 184 ayat (5) KUHP, percobaan melakukan perkelahian tanding antara seseorang
lawan seseorang,
b)Pasal 302 ayat (4) KUHP, percobaan melakukan penganiayaan ringan terhadap
binatang,
c)Pasal 351 ayat (5) KUHP dan pasal 352 ayat (2), percobaan melakukan penganiayaan
dan penganiayaan ringan,
d)Pasal 54 KUHP, percobaan melakukan pelanggaran, tidak boleh dihukum.[15]
C. Syarat-syarat Percobaan
Berdasarkan pasal 53 ayat (1) KUHP, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang
pelaku agar dapat dihukum karena telah melakukan suatu percobaan untuk melakukan
kejahatan adalah:
Adanya suatu maksud atau voornemen, artinya pelaku haruslah mempunyai suatu
maksud untuk melakukan suatu kejahatan tertentu.
Telah adanya suatu permulaan pelaksanaan atau suatu begin van uit veoring, artinya
maksud pelaku telah diwujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan
yang dikehendaki.
Pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang dikehendaki, kemudian tidak selesai
disebabkan oleh masalah-masalah yang tidak bergantung pada kemauannya.[16]
1.Pengertian Voornemen
Sejarah pembentukan pasal 53 KUHP ayat (1) tidak ditemukan penjelasan mengenai
definisi voornemen atau maksud. Berkenaan dengan berbagai pendapat di dalam doktrin
maka, Van Hattum berkata: SIMONS, van Hamel, ZEVENOERGEN en POMPE nemen aan
dat vootnemen geheel gelijk staat met opzet,[17] zodat van een voornemen des daders
kan worden gesproken wanneer de dader opzet had zoals door de delichtsomschrijving
gevorderd. Yang artinya: SIMONS, van HAMEL, ZEVENBERGEN, dan POMPE
berpendapat bahwa voornemen atau maksud itu adalah sama sekali sama dengan opzet,
sehingga orang hanya dapat berbicara mengenai suatu maksud dari seorang pelaku,
apabila perilaku tersebut mempunyai opzet sebagaimana yang telah di isyaratkan dalam
rumusan delik yan bersangkutan.[18]
Maksud atau niat tidak bisa disamakan dengan kesengajaan. Niat adalah sikap batin
yang memberi arah tertentu kepada perbuatan yang dilakukan. Suatu sikap batin yang
menunjuk kepada suatu arah tertentu, mungkin menjadi kesengajaan, jika mulai
dilakukan dengan perbuatan. Jadi menyakan isnya niat dengan kesengajaan adalah
benar, apabila ada percobaan selesai. Dalam hal percobaan yang tidak selesai, maka niat
adalah sama dengan kesengajaan mengenai perbuatan-perbuatan yang telah
dilaksanakan. Selanjutnya, mengenai perbuatan yang belum dilaksanakan niat
merupakan suatu sikap batin yang memberi arah tertentu kepada perbuatan yang
dilakukan itu. Dalam ilmu hukum pidana ini disebut melawan hukum yang subjektif.[19]
2.Pengertian Begin van uit voerings Handeling
Syarat kedua yang harus dipenuhi agar percobaan pidana dapat dihukum adalah
voornemen atau maksud pelaku telah di wujudkan dalam suatu Begin van uit voerings
Handeling atau dalam suatu permulaan suatu pelaksanaan. Dalam ilmu hukum pidana
timbul permasalahan apakah permulaan pelaksanaan tersebut diartikan sebagai
permulaan pelaksanaan dan maksud pelaku ataukah dari kejahatan yang telah di
maksud oleh pelaku telah dilakukannya.[20]
Sesuai pasal 53 ayat (1) KUHP di jelaskan:
a)Batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah
dapat di hukum terdapat pada apa yang disebut "voor bereidingshandelingen" atau
tindakan-tindakan persiapan dengan apa yang disebut uit veoringshandelingen atau
tindakan pelaksanaan.
b)Yang dimaksud dengan uitveoringshandelingen adalah tindakan-tindakan yang
mempunyai hubungan yang demikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk
dilakukan dan telah di mulai dengan pelaksanaannya.
yang tidak bergantung pada kemauan pelaku sebagai bagian khusus dari percobaan
yang dapat dipidana. Oleh karena itu harus disebutkan dalam dakwaan dan tidak selesai
kejahatan tidak ada hubungan. Makamah Agung memudahkan pembuktian dengan
menganggap cukup terbukti dengan adanya keadaan mengapa kejahatan tidak selesai.
Selain itu tidak ada tanda kerjasama sukarela dari pembuat untuk menghalangi apa
yang akan terjadi.[28]
D. Bentuk Hukuman Bagi Pelaku Percobaan Pidana.
Sanksi terhadap percobaan diatur dalam Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) yang berbunyi
sebagai berikut:
(2)Maksimal hukuman pokok atas kejahatan itu dalam hal percobaan dikurangi dengan
sepertiga.
(3)Kalau kejahatan itu diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka
dijatuhkan hukuman penjara paling lama lima belas tahun.
Hukuman bagi percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3)
KUHP dikuranggi sepertiga dari hukuman pokok maksimum dan paling tinggi lima belas
tahun penjara.[29]
Didalam ayat (2) dari Pasal 53 KUHP ditentukan bahwa hukuman yang dapat dikenakan
atas perbuatan percobaan ialah maksimum hukuman pokok atas suatu kejahatan
diancam hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka terhadap perbuatan
percobaannya diancamkan hukuman maksimum lima belas tahun penjara.[30]
Dalam hal percobaan maksimum ancaman hukuman (bukan yang dijatuhkan) pada
kejahatan dikurangkan dengan sepertiganya, ancaman hukuman mati atau penjara
seumur hidup diganti dengan hukuman penjara maksimum lima belas tahun, akan tetapi
mengenai hukuman tambahan sama saj halnya dengan kejahatan yang selesi dilakukan.
[31]
-------------------------------------1.Wijono Projodikoro, Aas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT. Eresco,
1989), hal. 97
2.R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Khusus, (Bandung:
PT. Karya, 1984), hal. 76
3.Van Hamel, Inleiding tot de studie van het Nederlandse Strafrecht, hal. 356
4.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Abadi Bakti,
1997), hal. 536
5.D. Schaffmeister, N. Keijzer, Sutorius, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hal.
215
6.Ibid, hal. 214
7.Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
hal. 94
8.R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Khusus, (Bandung:
PT. Karya, 1984), hal. 82
9.Ibid,
10.Mr. Roesian Saleh, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya,
(Jakarta: Aksara Baru, 1987), hal. 96-97
11.Ibid, hal. 97-98
12.Ibid, hal. 98
13.Ibid, hal. 98-100
14.Van Bemmelen, Ons Strafrecht I, hal. 250
15.Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
hal. 97
16.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Abadi Bakti,
1997), hal. 536
17.Van Hattum, Hand-en Leerboek van het Nederlandse Strafrecht I, hal. 491
18.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Abadi Bakti,
1997), hal. 537
19.Mr. Roesian Saleh, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan Penjelasnya,
(Jakarta: Aksara Baru, 1987), hal. 94
20.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Abadi Bakti,
1997), hal. 553
21.Ibid,
22.D. Schaffmeister, N. Keijzer, Sutorius, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hal
239-240
23.Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
hal. 95
24.R. Treslan, Asas-asas Hukum Pidana, (Yogjakarta: UNPAD, 1994), hal. 84
25.Ibid, hal. 84
26.Ibid, hal. 84-85
27.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Abadi Bakti,
1997), hal. 571
28.D. Schaffmeister, N. Keijzer, Sutorius, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hal
240
29.Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
hal. 97
30.R. Treslan, Asas-asas Hukum Pidana, (Yogjakarta: UNPAD, 1994), hal. 87
31R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Khusus, (Bandung:
PT. Karya, 1984), hal. 82
http://makalah-hukum-pidana.blogspot.co.id/2010/11/percobaanpidana.html
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
1.
juga
dengan
Concursus.
Secara
istilah
yang
dimaksud
dengan
perbarengan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang di
mana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau
antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi
oleh suatu keputusan hakim.
Sehubung dengan lebih dari satu tindakan pidana yang dilakukan oleh satu
orang, UTRECHT (1965:197) mengemukakan tentang 3 (tiga) kemungkinan yang
terjadi, yaitu:
a)
Terjadi perbarengan, dalam hal apabila dalam waktu antara dilakukannya dua
tindak pidana tidak telah di tetapkan satu pidana karena tindak pidana yang
paling awal di antara kedua tindak pidana itu. Dalam hal ini, dua atau lebih
tindak pidana itu akan diberkas dan diperiksa dalam satu perkara dan kepada si
pembuat akan dijatuhkan satu pidana, oleh karenanya praktis di sini tidak ada
pemberatan pidana, yang terjadi justru peringanan pidana. Misalnya dua kali
pembunuhan (pasal 338) tidaklah dipidana dua kali yang masing-masing dengan
pidana penjara maksimum 15 (lima belas) tahun, tetapi cukup dengan satu
pidana penjara dengan maksimum 20 tahun (15 tahun ditambah sepertiganya,
pasal 65).
b)
Apabila tindak pidana yang lebih awal telah diputus dengan mempidana pada
si pembuat oleh hakim dengan putusan yang telah menjadi tetap, maka disini
terdapat pengulangan. Pada pemidanaan si pembuat karena tindak pidana yang
kedua ini terjadi pengulangan, dan disini terdapat pemberatan pidana dengan
sepertiganya.
c)
Dalam hal tindak pidana yang dilakukan pertama kali telah dijatuhkan pidana
pada si pembuatnya, namun putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum
pasti, maka disini tidak terjadi perbarengan maupun pengulangan, melainkan
tiap-tiap tindak pidana itu dijatuhkan sendiri-sendiri sesuai dengan pidana
maksimum masing-masing yang diancamkan pada beberapa tindak pidana
tersebut.
Syarat-syarat
yang
harus
dipenuhi
untuk
dapat
menyatakan
adanya
perbarengan adalah:
a)
Sistem Absorbsi
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa
delik yang masing-masing diancam dengan pidana yang berbeda, maka menurut
sistem ini hanya dijatuhkan satu pidana saja, yaitu pidana yang terberat
walaupun orang tersebut melakukan beberapa delik.
delik dijatuhkan semuanya. Akan tetapi, jumlah pidana itu harus dibatasi, yaitu
jumlahnya tidak boleh melebihi dari pidana terberat ditambah 1/3 (sepertiga).
2.
1)
2)
3)
A.
1)
2)
3)
1)
perbuatan
berlanjut
ini
diatur
dalam
Pasal
64
yang
pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu
perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang akan
2)
3)
itu.
Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal-pasal 364,
373, 379, dan 470 ayat (1), sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan
jumlahnya melebihi dari dua ratus lima puluh rupiah, maka dikenakan aturan pidana tersebut
a.
b.
c.
C.
Yang dimaksud dengan Concursus Realis adalah: apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan-perbuatan mana berdiri sendiri dan masing-masing merupakan pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan pidana yang berupa kejahatan dan/atau pelanggaran terhadap kejahatan
dan/atau pelanggara mana belum ada yang dijatuhkan hukuman oleh pengadilan dan akan diadili
sekaligus oleh pengadilan.
Maka dalam concursus realis terdapat:
a)
b)
c)
d)
1)
Seorang pembuat;
Serentetan tindak pidana yang dilakukan olehnya;
Tindak pidana itu tidak perlu sejenis atau berhubungan satu sama lain;
Di antara tindak pidana itu tidak terdapat keputusan hakim.
Dan sistem pemberatan pidana bagi concursus realis itu sendiri terdiri beberapa macam,
yaitu:
Kejahatan yang diancam dengan hukuman pokok yang sejenis (pasal 65), penjatuhan pidananya
dengan menggunakan sistem absorbsi yang dipertajam, yaitu dijatuhi satu pidana saja (ayat 1)
dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat
ditambah sepertiganya (ayat 2). Contoh kasusnya, misalkan Firman melakukan tiga kejahatan
yang masing-masing diancam pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, dan 9 tahun, maka yang berlaku
adalah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara.
2)
Kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis (pasal 66), penjatuhan
pidananya dengan menggunakan sistem kumulasi diperlunak, artinya masing-masing kejahatan itu
diterapkan; yakni kepada si pembuatnya dijatuhi pidana sendiri-sendiri sesuai dengan kejahatankejahatan yang dibuatnya tetapi jumlahnya tidak boleh lebih berat dari maksimum pidana yang
terberat ditambah sepertiganya (pasal 1). Apabila kejahatan yang satu diancam dengan pidana
denda sedangkan kejahatan yang lain dengan pidana penjara atau kurungan, maka untuk pidana
denda dihitung dari lamanya kurungan pengganti denda (ayat 2). Contoh kasusnya, misalkan
Firman melakukan dua kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan 2
tahun penjara. Maka maksimum pidananya adalah 2 tahun + (1/3 x 2 tahun) = 2 tahun 8 bulan.
Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan, maka hakim misalnya memutuskan 2 tahun penjara 8
3)
bulan kurungan.
Concursus realis berupa pelanggaran, penjatuhan pidananya menggunakan sistem kumulasi
murni, yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan. Namun, jumlah semua pidana dibatasi
4)
5)
KESIMPULAN
2)
3)
1)
Sistem absorbsi;
2)
3)
4)
DAFTAR PUSTAKA
Prasetyo, Teguh. 2012. Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Chazawi, Adami. 2009. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hamzah, Andi. 2011. KUHP & KUHAP. Jakarta: PT Rineka Cipta.
http://sendhynugraha.blogspot.com/2013/04/perbarengan-concursus-dalam- tindak.html
http://riskyes2.blogspot.com/2012/04/pembarengan-tindakpidana.html
Pengertian Recidive
2.
a.
i.
ii.
iii.
Recidive Kejahatan
Recidive terhadap kejahatan dalam pasal : 137 (2), 144 (2), 155 (2), 161
(2), 163(2), 208 (2), 216 (3), 321 (2), 393 (2) dan 303 bis (2).
Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi alasan
pemeberat, perlu diingat bahewa mengenai tenggang waktu dalam
Recidive tersebut tidak sama mislanya :
Pasal : 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321 tenggang waktunya dua
tahun;
Pasal 154, 157, 161, 163 dan 393 tenggang waktunya lima tahun.
Sedangkan untuk Recidive yang diatur dalam pasal 486, 477 dan 488 KUHP
mensyaratkan bahwa tindak pidana yang di ulangi termasuk dalam
kelompok jenis tindak pidana tersebut.
b.
Recidive Pelanggaran
Recidive dalam pelangaran ada 14 jenis tindak pidana yaitu :
Pasal 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545,
549 KUHP
Syarat-syarat Recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing
pasal yang bersangkutan.
Tidak pidana narkotika (UU 22 / 1997), Pasal 78 s/d 85 dan Pasal 87;
tenggang waktu lima tahun. Ancaman pidana ditambah sepertiga.
Tindak pidana Pisikotropika (UU No 5/1997), Pasal 72, ancaman pidana
ditambah sepertiga
delneming
Pengertian Penyertaan (Deelneming)
Kata Deelneming berasal dari kata deelnemen (Belanda) yang diterjemahkan dengan kata
menyertai, dan deelneming diartikan menjadi penyertaan. Sedangkan pengertian dari
deelneming itu sendiri adalah suatu delik yang dilakukan lebih dari satu orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Deelneming dapat diartikan sebagai terwujudnya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
lebih dari satu orang, yang mana antara orang yang satu dengan yang lainnya terdapat
hubungan sikap batin dan/atau perbuatan yang sangat erat terhadap terwujudnya tindak
pidana tersebut.
B. Dasar Hukum dalam Penyertaan (Deelneming)
Penyertaan (Deelneming) diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.
Pasal 55 berbunyi:
Dipidana sebagai pembuat tindak pidana:
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut serta melakukan;
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan
perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan, yang sengaja diajurkan sajalah yang
diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 KUHP berbunyi:
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan yang dilakukan;
2.
mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan.
Dari kedua pasal tersebut (Pasal 55 dan 56) tersebut, dapat diketahui bahwa menurut KUHP
penyertaan
itu
dibedakan
dalam
kelompok.
1. pertama adalah kelompok yang disebut sebagai para pembuat (mededaer), (Pasal 55
KUHP) yaitu:
a. yang melakukan (plegen) orangnya (pleger)
b. yang menyuruh melakukan (doen plegen) orangnya (doen pleger)
c. yang turut serta melakukan (mede plegen) orangnya (mede pleger)
d. yang menganjurkan (uitlokken) orangnya (uitlokker).
2. kedua, yaitu orang yang disebut sebagai pembuat pembatu (medeplichtige) (Pasal 56
KUHP), yakni:
a. pemberian bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan; dan
b. pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.
Peran Peran Pelaku dalam Penyertaan (Deelneming)
Berdasarkan rumusan kedua pasal di atas (pasal 55 dan 56 KUHP), maka terdapat 5 peranan
pelaku tindak pidana dalam hukum pidana, yaitu :
a. Pleger atau Dader (orang yang melakukan)
Pleger adalah pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya sendiri, baik memakai alat
maupun dengan tidak memakai alat. Dengan kata lain Pleger adalah mereka yang secara
keseluruhan memenuhi unsur perumusan delik pidana dan yang dipandang paling
bertanggungjawab atas kejahatannya.
b. Doen Pleger (orang yang menyuruh melakukan)
Doenpleger adalah orang yang membuat sedemikian rupa sehingga orang lain melakukan
pebuatan yang mewujudkan delik yang tidak dapat dipidana karena tidak bersalah, sehingga
dapat dikatakan dalam doenplegen setidaknya ada 2 orang pihak yang terlibat, yaitu pembuat
langsung (manus ministra) dan pembuat tidak langsung (manus domina). Sesungguhnya
orang yang melakukan tindak pidana langsung adalah orang yang disuruh melakukan (manus
ministra), tetapi yang paling bertanggung jawab adalah orang yang menyuruh melakukan
(manus domina) karena dia yang menyebabkan orang lain melakukan tindak pidana. Dalam
hal ini manus ministra tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan. Orang yang
disuruh (manus ministra) mempunyai dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 KUH Pidana.
Contoh keadaan-keadaan yang membuat orang yang disuruh melakukan tidak dapat dijatuhi
pidana karena ada alasan penghapus kesalahan:
1.
Orang yang disuruh adalah orang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena Pasal 44
KUHP.
Orang yang disuruh melakukan perintah jabatan yang tidak sah tapi dengan itikad baik ia
mengira bahwa perintah itu sah.
Contoh keadaan dimana Orang tsb sama sekali tidak melakukan tindak pidana atau perbuatan
yang dilakukan tidak dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana:
1.
Seorang juru rawat yang sama sekali tidak mengetahui bahwa obat yang diberikan pada
pasien atas perintah seorang dokter adalah obat yang mengandung racun.
2. A meminta B untuk menukarkan uang palsu; sedangkan B tidak tahu bahwa uang itu palsu.
c.
....suatu bantuan yang tidak berarti tidak dapat dipandang sebagai bantuan yang dapat
dihukum.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimuat arti kata membantu, yaitu:
1. Tolong.....,
2. Penolong...., membantu, memberi songkongan.
Dengan demikian, perbuatan membantu tersebut sifatnya menolong atau memberi
sokongan. Dalam hal ini, tidak boleh merupakan perbuatan pelaksana. Jika telah melakukan
perbuatan pelaksanaan, pelaku sudah termasuk mededader, bukan lagi membantu.