Anda di halaman 1dari 20

Percobaan Pidana (Poging)

Posted by lisa on Friday, 26 November 2010


A. Pengertian Percobaan
Pada umumnya kata percobaan atau poging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan,
yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai. Dalam hukum pidana percobaan
merupakan suatu pengertian teknik yang memiliki banyak segi atau aspek. Perbedaan
dengan arti kata pada umumnya adalah apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal
percobaan, bebarti tujuan yang dikejar tidak tercapai. Unsur belum tercapai tidak ada,
namun tidak menjadi persoalan.[1]
Menurut kata sehari-hari yang disebut dengan percobaan yaitu menuju kesesuatu hal,
tetapi tidak sampai pada hal yang dituju, atau hendak berbuat sesuatu yang sudah
dimulai, tetapi tidak sampai selesai. Misalnya akan membunuh orang, telah menyerang
akan tetapi orang yang di serang itu tidak sampai mati, bermaksud mencuri barang,
tetapi barangnya tidak sampai terambil, dan sebagainya.[2]
Penjelasan lain mengenai definisi percobaan, berasal dari Memorie van Teolichting yaitu
sebuah kalimat yang berbunyi: poging tot misdrijf is dan de bengonnen maar niet
voltooide uitveoring van het misdrijf, of wel door een begin van uitveoring geopenbaarde
wil om een bepaald misdrijf te plegen[3] yang artinya: Dengan demikian, maka
percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu
kejahatan yang telah dimulai akan tetapi tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk
melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah di wujudkan di dalam suatu permulaan
pelaksanaan.[4]
Pompe mengatakan bahwa mencoba adalah berusaha tanpa hasil. Kalau syarat-syarat
percobaan ada, maka timbullah perbuatan pidana baru, meskipun dalam bentuk delik
tidak selesai tetapi dapat dipidana. Pemberian nama untuk percobaan oleh Pompe, yaitu
bentuk perwujudan dari perbuatan pidana, sebab deliknya timbul, menampakkan diri,
tetapi dalam bentuk belum selesai. Percobaan yang dapat dipidana mengandung arti
perluasan dapat dipidananya delik tampak jelas dalam tuntutan jaksa yang menyebutkan
rumusan Pasal nomor sekian juncto pasal 53 KUHP.[5]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa percobaan memiliki dua definisi yang pertama, percobaan
adalah pelaksanaan tindakan dari kejahatan yang telah dimulai tetapi tidak selesai. Yang
kedua, percobaan adalah suatu permulaan pelaksanaan tindakan dari niat yang
dinyatakan untuk melakukan suatu kejahatan tertentu.
B. Basis Epitimologis Hukuman Percobaan
1.Percobaan yang Terpidana
Dalam pasal 53 KUHP diterapkan: Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat
untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dengan tidak selesainya
pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Dapat
dipidananya percobaan berarti perluasan dapat dipidananya delik yaitu perbuatan baru
untuk sebagian dilaksanakan, seakan-akan masih ada unsur yang tersisa. Tetapi sudah
dapat dijadikan pidana meskipun dengan pengurangan sepertiga dari pidana maksimum.
Harga percobaan melakukan kejahatan yang dapat dipidana (pasal 53 KUHP).[6]
Pengenaan pidana pada percobaan memiliki dasar ancaman hukuman, dalam ilmu
hukum pidana ada dua teori yakni:
a)Teori subjektif
Menurut teori ini, kehendak berbuat jahat si pelaku itu merupakan dasar ancaman
hukuman. Si pelaku telah terbukti mempunyai kehendak jahat dengan memulai
melakukan kejahatan tersebut, maka pantaslah percobaan ini sudah dapat dikenakan
hukuman pidana.
b)Teori objektif
Menurut teori ini, dasar ancaman hukuman bagi pelaku percobaan adalah karena sifat
perbuatan pelaku telah membahayakan. Jadi, kehendak berbuat jahat belum cukup
untuk melakukan ancaman hukuman.[7]
Kebanyakan suatu tidak pidana terjadi oleh satu orang, tetapi dalam berbuat tindak
pidana mungkin juga tersangkut dua orang atau lebih. Mengingat akan kemungkinan ini

pembuat undang-undang telah mengadakan peraturan juga, dengan memasukkan soal


turut serta pada tindak pidana kedalam KUHP.8
Kerjasama beberapa orang dalam berbuat tindak pidana beranekaragam coraknya, baik
sebagai orang yang melakukan perbuatan (dader), sebagai orang yang bersama-sama
melakukan melakukan perbuatan (mededader), ataupun sebagai orang yang membujuk
melakukan perbuatan (uitlokker), maupun sebagai pembantu melakukan perbuatan
(medeplichtige).[9]
Sesuai dengan beranekaragamnya persekutuan itu mengenai tanggung jawab masingmasing, pembuat UU telah mengadakan aturan tentang tanggung jawab masing-masing.
Peraturan termuat dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Pasal 55:
(1)Dipidana sebagai pembuat suatu perbuatan pidana:
1.mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan
perbuatan pidana
2.mereka yang dengan memberi atau menjanjkan sesuatu, dengan menyalah gunakan
kekuasaan atau martabat, dengan memberi kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau
dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, dengan sengaja menganjurkan
orang lain suapaya melakukan perbuatan pidana.
(2)Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang
dipertanggung jawabkan, beserta akibat-akibatnya.[10]
Menyuruh melakukan terjadi sebelum dilakukannya perbuatan. Dalam praktek
pertanggungjawaban dari orang yang menyuruh melakukan dibatasi hanya sampai
kepada perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh pembuat materiil. Artinya, walaupun
orang yang melakukan itu bermaksud untuk menyuruh melakukan sesuatu yang lebih
jauh sifatnya, namun tanggung jawabnya hanya kepada perbuatan-perbuatan yang telah
dilakukan oleh pembuat materiil. Tetapi jika pembuat materiil telah melakukan lebih dari
apa yang telah disuruh melakukannya, maka orang yang menyuruh melakukannya itu
tidaklah betanggung jawab atas hal selebihnya itu.[11]
Pelaku yang turut serta melakukan perbuatan pidana adalah yang bekerja sama dengan
sengaja ikut serta dalam pelaksanaan perbuatan pidana. Untuk menentukan adanya
keikutsertaan tersebut, tidak dilihat dari masing-masing pelaku secara satu persatu,
terlepas dari hubungannya perbuatan pelaku lainnya. Tetapi dipandang sebagai kesatuan
antara pelaku satu dengan pelaku lainnya.[12]
Penganjur melakukan perbuatan pidana dengan perantaraan orang lain. Tetapi tidak
semua perbuatan yang dilakukan dengan perantaraan orang lain adalah penganjuran,
kecuali memenuhi beberapa syarat berikut:
a)Memberi atau menjanjikan sesuatu, maksudnya memberi atau menjanjikan suatu
barang, uang, dan segala keuntungan yang akan diterima oleh orang yang dianjurkan
melakukan perbuatan pidana.
b)Menyalah gunakan kekuasaan atau martabat, dimaksudkan dengan kekuasaan yang
baik berdasarkan hukum publik dan hukum privat. Yang pokok adalah hubungan
kekuasaan itu sungguh-sungguh ada pada saat dilakukannya perbuatan.
c)Memakai kekerasan, juga termasuk dalam hal menyuruh melakukan perbuatan pidana.
d)Memakai ancaman, maksudnya segala macam ancaman.
e)Memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Upaya ini juga disyaratkan dalam
pembantuan seperti yang tercakup dalam pasal 56 KUHP yang isinya:
Dipidana sebagai pembantu sesuatu kejahatan:
1)mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan
2)mereka sengaja memberi kesempatan sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan.[13]
2.Percobaan yang tidak dipidana
Pengenaan pidana pada percobaan terbatas hanya pada kejahatan. Tidak semua
percobaan melakukan kejahatan diancam dengan sanksi. Menurut Profesor van
Bemmelen, dengan menentukan bahwa seseorang yang melakukan suatu percobaan,
melakukukan suatu kejahatan itu dapat dihukum, maka sesungguhnya pembentuk
undang-undang telah memperluas pengertian dader atau pelaku, oleh karena sudahlah
jelas bahwa barangsiapa tidak berhasil melakukan suatu perbuatan yang terlarang
ataupun barangsiapa tidak berhasil menimbulkan suatu akibat yang terlarang seperti

yang dikehendaki, maka dengan sendirinya orang tersebut tidak memenuhi semua unsur
yang terdapat di dalam rumusan delik.[14] Dalam KUHP terdapat rumusan bahwa
percobaan untuk melakukan tindak pidana tertentu tidak dapat dihukum, antara lain:
a)Pasal 184 ayat (5) KUHP, percobaan melakukan perkelahian tanding antara seseorang
lawan seseorang,
b)Pasal 302 ayat (4) KUHP, percobaan melakukan penganiayaan ringan terhadap
binatang,
c)Pasal 351 ayat (5) KUHP dan pasal 352 ayat (2), percobaan melakukan penganiayaan
dan penganiayaan ringan,
d)Pasal 54 KUHP, percobaan melakukan pelanggaran, tidak boleh dihukum.[15]
C. Syarat-syarat Percobaan
Berdasarkan pasal 53 ayat (1) KUHP, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang
pelaku agar dapat dihukum karena telah melakukan suatu percobaan untuk melakukan
kejahatan adalah:
Adanya suatu maksud atau voornemen, artinya pelaku haruslah mempunyai suatu
maksud untuk melakukan suatu kejahatan tertentu.
Telah adanya suatu permulaan pelaksanaan atau suatu begin van uit veoring, artinya
maksud pelaku telah diwujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan
yang dikehendaki.
Pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang dikehendaki, kemudian tidak selesai
disebabkan oleh masalah-masalah yang tidak bergantung pada kemauannya.[16]
1.Pengertian Voornemen
Sejarah pembentukan pasal 53 KUHP ayat (1) tidak ditemukan penjelasan mengenai
definisi voornemen atau maksud. Berkenaan dengan berbagai pendapat di dalam doktrin
maka, Van Hattum berkata: SIMONS, van Hamel, ZEVENOERGEN en POMPE nemen aan
dat vootnemen geheel gelijk staat met opzet,[17] zodat van een voornemen des daders
kan worden gesproken wanneer de dader opzet had zoals door de delichtsomschrijving
gevorderd. Yang artinya: SIMONS, van HAMEL, ZEVENBERGEN, dan POMPE
berpendapat bahwa voornemen atau maksud itu adalah sama sekali sama dengan opzet,
sehingga orang hanya dapat berbicara mengenai suatu maksud dari seorang pelaku,
apabila perilaku tersebut mempunyai opzet sebagaimana yang telah di isyaratkan dalam
rumusan delik yan bersangkutan.[18]
Maksud atau niat tidak bisa disamakan dengan kesengajaan. Niat adalah sikap batin
yang memberi arah tertentu kepada perbuatan yang dilakukan. Suatu sikap batin yang
menunjuk kepada suatu arah tertentu, mungkin menjadi kesengajaan, jika mulai
dilakukan dengan perbuatan. Jadi menyakan isnya niat dengan kesengajaan adalah
benar, apabila ada percobaan selesai. Dalam hal percobaan yang tidak selesai, maka niat
adalah sama dengan kesengajaan mengenai perbuatan-perbuatan yang telah
dilaksanakan. Selanjutnya, mengenai perbuatan yang belum dilaksanakan niat
merupakan suatu sikap batin yang memberi arah tertentu kepada perbuatan yang
dilakukan itu. Dalam ilmu hukum pidana ini disebut melawan hukum yang subjektif.[19]
2.Pengertian Begin van uit voerings Handeling
Syarat kedua yang harus dipenuhi agar percobaan pidana dapat dihukum adalah
voornemen atau maksud pelaku telah di wujudkan dalam suatu Begin van uit voerings
Handeling atau dalam suatu permulaan suatu pelaksanaan. Dalam ilmu hukum pidana
timbul permasalahan apakah permulaan pelaksanaan tersebut diartikan sebagai
permulaan pelaksanaan dan maksud pelaku ataukah dari kejahatan yang telah di
maksud oleh pelaku telah dilakukannya.[20]
Sesuai pasal 53 ayat (1) KUHP di jelaskan:
a)Batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah
dapat di hukum terdapat pada apa yang disebut "voor bereidingshandelingen" atau
tindakan-tindakan persiapan dengan apa yang disebut uit veoringshandelingen atau
tindakan pelaksanaan.
b)Yang dimaksud dengan uitveoringshandelingen adalah tindakan-tindakan yang
mempunyai hubungan yang demikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk
dilakukan dan telah di mulai dengan pelaksanaannya.

c)Pembentuk UU tidak bermaksud menjelaskan lebih lanjut tntang batas-batas antara


voor bereidingshandelingen dengan uitveoringshandelingen seperti dimaksud di atas.
[21]
Ada beberapa teori yang menjelaskan permulaan pelaksanaan, atara lain:
a)Teoro subyektif (G. A. Van HAMEL)
Adanya permulaan pelaksanaan perbuatan jika dipandang dari sudut niat ternyata tetap
niatnya ini. Dalam ajaran yang berorientasikan mental ini, di anggap cukup kalau
pembuat di waktu melakukan perbuatan menunjukkan sikap berbahayanya dan bahwa
dia sanggup menyelesaikan kejahatan.
b)Teori obyektif (D. Simons)
Di isyaratkan bahwa pembuat harus melakukan segala sesuatu untuk menimbulkan
akibat tanpa campur tangan siapapun, kalau tidak dihalangi oleh kejadian yang bukan
karena kehendaknya.
c)Teori gabungan atau teori obyektif di perlunak (G. E. Lagemeijer)
Ada permulaan pelaksanaan kalau pembuat telah melakukan perbuatan yang
menjelaskan kepada siapapun bahwa dia harus dianggap sanggup menyelesaikan
niatnya.[22]
Perbuatan pelaksanaan harus dibedakan dengan dengan perbuatan persiapan. Perbuatan
pelaksanaan menurut Hoge Rand adalah perbuatan yang hanya menurut pengalaman
orang dengan tidak dilakukan perbuatan lagi, akan menimbulkan pembakaran, dapat
dipandang sebagai perbuatan pelaksana.23 Sedang perbuatan persiapan adalah segala
perbuatan yang mendahului perbuatan permulaan pelaksanaan, misalnya membeli
senjata yang akan dipakai membunuh orang. Perbuatan-perbuatan persiapan tidak
termasuk perbuatan pidana.[24]
Undang-undang tidak mengadakan perbedaan diantara macam-macam tingkatan
perbuatan permulaan pelaksanaan. Segala tindakan diantara permulaan pelaksanaan
dan selesainya pelaksanaan, termasuk pebuatan permulaan pelaksanaan. Teoritis segala
macam perbuatan permulaan pelaksana, mempunyai nilai yang sama buat berlakunya
hukum pidana, walaupun yang satu lebih dekat kepada saat terlaksananya kejahatan
daripada yang lain. Didalam mengnakan hukuman, hakim yang mempunyai kebebasan
didalam memberikan pernilaian hukuman itu dengan leluasa dapat memperhitungkan
dan mempertimbangkan sifat perbuatan permulaan itu dan hubungannya dengan
kejahatan yang dimaksud.[25]
Percobaan itu ada beberapa tingkatan, antara lain:
a)Percobaan melakukan kejahatan dinamakan orang percobaan yang sempurna, apabila
perbuatan permulaan pelaksanaan sudah hampir mendekati terlaksananya kejahatan.
Misalnya A menembak B, akan tetapi tembaannya tidak mengenai sasaran.
b)Percobaan disebut orang percobaan tertangguh, misalnya A bermaksud menembak B,
tetapi dikala ia sedang membidik sempat melepaskan tembakannya, senapannya direbut
orang lain.
c)Akhir percobaan dinamakan percobaan sejenis (gequalificeerde poging), jika
percobaan untuk melakukan kejahatan tidak berhasil, tetapi apa yang dilakukan itu
menghasilkan pula sesuatu kejahatan lain. Misalnya A membacok B dengan maksud
untuk membunuh B, tetapi tidak berhasil, meskipun demikian B luka parah dan tidak
terus mati. Selain A dapat dipersalahkan telah mencoba membunuh B, maka A dapat
dituntut juga karena melakukan penganiayaan terhadap B.[26]
3.Pengertian keadaan-keadaan yang tidak bergantung pada kemauan pelaku.
Percobaan melakukan kejahatan merupakan delik, jika pelaku tidak meneruskan
perbuatannya karena ada hambatan diluar kehendak pelaku. Tetapi apabila tidak
selesainya pelaksanaan kejahatan disebabkan keadaan yang bergantung pada kemauan
pelaku, maka menjadi tidak dapat dihukum. UU memberikan jaminan bahwa pelaku
menjadi tidak dapat dihukum, yaitu:
a)Apabila pelaku dapat membuktikan bahwa pada waktunya yang tepat, pelaku masih
mempunyai keingginan untuk membatalkan niatnya yang jahat
b)Karena jaminan semacam itu merupakan suatu sarana yang paling pasti untuk dapat
menghentikan pelaksanaan suatu kejahatan yang sedang berlangsung.[27]
Kemudian UU menjadikan tidak selesainya pelaksanaan kejahatan disebabkan keadaan

yang tidak bergantung pada kemauan pelaku sebagai bagian khusus dari percobaan
yang dapat dipidana. Oleh karena itu harus disebutkan dalam dakwaan dan tidak selesai
kejahatan tidak ada hubungan. Makamah Agung memudahkan pembuktian dengan
menganggap cukup terbukti dengan adanya keadaan mengapa kejahatan tidak selesai.
Selain itu tidak ada tanda kerjasama sukarela dari pembuat untuk menghalangi apa
yang akan terjadi.[28]
D. Bentuk Hukuman Bagi Pelaku Percobaan Pidana.
Sanksi terhadap percobaan diatur dalam Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) yang berbunyi
sebagai berikut:
(2)Maksimal hukuman pokok atas kejahatan itu dalam hal percobaan dikurangi dengan
sepertiga.
(3)Kalau kejahatan itu diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka
dijatuhkan hukuman penjara paling lama lima belas tahun.
Hukuman bagi percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3)
KUHP dikuranggi sepertiga dari hukuman pokok maksimum dan paling tinggi lima belas
tahun penjara.[29]
Didalam ayat (2) dari Pasal 53 KUHP ditentukan bahwa hukuman yang dapat dikenakan
atas perbuatan percobaan ialah maksimum hukuman pokok atas suatu kejahatan
diancam hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka terhadap perbuatan
percobaannya diancamkan hukuman maksimum lima belas tahun penjara.[30]
Dalam hal percobaan maksimum ancaman hukuman (bukan yang dijatuhkan) pada
kejahatan dikurangkan dengan sepertiganya, ancaman hukuman mati atau penjara
seumur hidup diganti dengan hukuman penjara maksimum lima belas tahun, akan tetapi
mengenai hukuman tambahan sama saj halnya dengan kejahatan yang selesi dilakukan.
[31]
-------------------------------------1.Wijono Projodikoro, Aas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT. Eresco,
1989), hal. 97
2.R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Khusus, (Bandung:
PT. Karya, 1984), hal. 76
3.Van Hamel, Inleiding tot de studie van het Nederlandse Strafrecht, hal. 356
4.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Abadi Bakti,
1997), hal. 536
5.D. Schaffmeister, N. Keijzer, Sutorius, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hal.
215
6.Ibid, hal. 214
7.Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
hal. 94
8.R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Khusus, (Bandung:
PT. Karya, 1984), hal. 82
9.Ibid,
10.Mr. Roesian Saleh, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya,
(Jakarta: Aksara Baru, 1987), hal. 96-97
11.Ibid, hal. 97-98
12.Ibid, hal. 98
13.Ibid, hal. 98-100
14.Van Bemmelen, Ons Strafrecht I, hal. 250
15.Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
hal. 97
16.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Abadi Bakti,
1997), hal. 536
17.Van Hattum, Hand-en Leerboek van het Nederlandse Strafrecht I, hal. 491
18.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Abadi Bakti,
1997), hal. 537
19.Mr. Roesian Saleh, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan Penjelasnya,
(Jakarta: Aksara Baru, 1987), hal. 94

20.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Abadi Bakti,
1997), hal. 553
21.Ibid,
22.D. Schaffmeister, N. Keijzer, Sutorius, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hal
239-240
23.Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
hal. 95
24.R. Treslan, Asas-asas Hukum Pidana, (Yogjakarta: UNPAD, 1994), hal. 84
25.Ibid, hal. 84
26.Ibid, hal. 84-85
27.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Abadi Bakti,
1997), hal. 571
28.D. Schaffmeister, N. Keijzer, Sutorius, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hal
240
29.Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
hal. 97
30.R. Treslan, Asas-asas Hukum Pidana, (Yogjakarta: UNPAD, 1994), hal. 87
31R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Khusus, (Bandung:
PT. Karya, 1984), hal. 82

http://makalah-hukum-pidana.blogspot.co.id/2010/11/percobaanpidana.html

Penggabungan Tindak Pidana (Samenloop)

BAB I
PENDAHULUAN

Perbarengan melakukan tindak pidana sering diistilahkan dengan concursus atau


samenloop. Perbarengan melakukan tindak pidana juga sering dipersamakan dengan gabungan
melakukan tindak pidana yaitu seseorang yang melakukan satu perbuatan yang melanggar
beberapa ketentuan hukum atau melakukan beberapa perbuatan pidana yang masing-masing
perbuatan itu berdiri sendiri yang akan diadili sekaligus, dimana salah satu dari perbuatan itu
belum mendapatkan keputusan tetap.
Perbarengan melakukan tindak pidana (concursus) diatur dalam KUHP mulai pasal 63
sampai 71 buku I Bab VI. Dari pasal-pasal tersebut nantinya dapat menghapus kesan yang selama
ini ada dalam masyarakat bahwa seseorang yang melakukan gabungan beberapa perbuatan
pidana, ia akan mendapatkan hukuman yang berlipat ganda sesuai dengan perbuatan yang
dilakukannya.

BAB II

PEMBAHASAN

1.

Pengertian Perbarengan Tindak Pidana (Concursus atau Samenloop)


Dalam Kamus Hukum, perbarengan juga disebut Samenloop (Belanda) atau
disebut

juga

dengan

Concursus.

Secara

istilah

yang

dimaksud

dengan

perbarengan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang di
mana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau
antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi
oleh suatu keputusan hakim.
Sehubung dengan lebih dari satu tindakan pidana yang dilakukan oleh satu
orang, UTRECHT (1965:197) mengemukakan tentang 3 (tiga) kemungkinan yang
terjadi, yaitu:
a)

Terjadi perbarengan, dalam hal apabila dalam waktu antara dilakukannya dua
tindak pidana tidak telah di tetapkan satu pidana karena tindak pidana yang
paling awal di antara kedua tindak pidana itu. Dalam hal ini, dua atau lebih
tindak pidana itu akan diberkas dan diperiksa dalam satu perkara dan kepada si
pembuat akan dijatuhkan satu pidana, oleh karenanya praktis di sini tidak ada
pemberatan pidana, yang terjadi justru peringanan pidana. Misalnya dua kali
pembunuhan (pasal 338) tidaklah dipidana dua kali yang masing-masing dengan
pidana penjara maksimum 15 (lima belas) tahun, tetapi cukup dengan satu
pidana penjara dengan maksimum 20 tahun (15 tahun ditambah sepertiganya,
pasal 65).

b)

Apabila tindak pidana yang lebih awal telah diputus dengan mempidana pada
si pembuat oleh hakim dengan putusan yang telah menjadi tetap, maka disini
terdapat pengulangan. Pada pemidanaan si pembuat karena tindak pidana yang
kedua ini terjadi pengulangan, dan disini terdapat pemberatan pidana dengan
sepertiganya.

c)

Dalam hal tindak pidana yang dilakukan pertama kali telah dijatuhkan pidana
pada si pembuatnya, namun putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum
pasti, maka disini tidak terjadi perbarengan maupun pengulangan, melainkan
tiap-tiap tindak pidana itu dijatuhkan sendiri-sendiri sesuai dengan pidana
maksimum masing-masing yang diancamkan pada beberapa tindak pidana
tersebut.

Syarat-syarat

yang

harus

dipenuhi

untuk

dapat

menyatakan

adanya

perbarengan adalah:

Ada dua atau lebih tindak pidana;


Bahwa dua atau lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang;
Bahwa dua atau lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili; dan
Bahwa dua atau lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus.
Selain keharusan untuk menyidangkan atau menyelesaikan perkara
beberapa tindak pidana (perbarengan) dalam satu majelis dengan menjatuhkan
satu pidana, hal yang terpenting kedua dalam perbarengan ialah mengenai
system penjatuhan pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
mengenal 4 (empat) sistem atau stelsel pemidanaan, yaitu:

a)

Sistem Absorbsi
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa
delik yang masing-masing diancam dengan pidana yang berbeda, maka menurut
sistem ini hanya dijatuhkan satu pidana saja, yaitu pidana yang terberat
walaupun orang tersebut melakukan beberapa delik.

b) Sistem Kumulasi Murni


Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa
delik yang diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut sistem ini tiaptiap pidana yang diancamkan terhadap delik-delik yang dilakukan oleh orang itu
semuanya dijatuhkan.
c) Sistem Absorbsi Dipertajam
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa
jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, menurut
stelsel ini pada hakikatnya hanya dapat dijatuhkan 1 (satu) pidana saja yakni
yang terberat, akan tetapi dalam hal ini diperberat dengan menambah 1/3
(sepertiga).
d) Sistem Kumulasi Diperlunak
Delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka
menurut stelsel ini, semua pidana yang diancamkan terhadap masing-masing

delik dijatuhkan semuanya. Akan tetapi, jumlah pidana itu harus dibatasi, yaitu
jumlahnya tidak boleh melebihi dari pidana terberat ditambah 1/3 (sepertiga).
2.

Bentuk-Bentuk Perbarengan Tindak Pidana


Gabungan perbuatan yang dapat dihukum mempunyai tiga bentuk,
concursus ini diatur dalam titel VI KUHP , yaitu sebagai berikut:

1)

Concursus idealis (pasal 63 KUHP);

2)

Perbuatan berlanjut (delik berlanjut Pasal 64 KUHP);

3)

Concursus realis (pasal 65 s/d 71 KUHP).

A.

Perbarengan satu perbuatan (Concursus Idealis atau eendaadsche


samenloop)
Concursus Idealis (Eendaadse Samenloop), yaitu suatu perbuatan yang
masuk ke dalam lebih dari satu aturan pidana. System pemberiaan pidana yang
dipakai dalam concursus idealis adalah system absorbs, yaitu hanya dikenakan
pidana pokok yang terberat. Misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka
pelaku telah melanggar dua aturan pidana dan dapat di ancam dengan pidana
penjara 12 tahun menurut Pasal 285 (memperkosa), dan pidana dengan penjara
2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281 (melanggar kesusilaan dimuka umum).
Dengan sistem arsorbsi, maka diambil yang terberat, yaitu 12 tahun penjara.
Satu wujud perbuatan (een feit) yang melaggar lebih dari satu aturan
pidana ini diebut juga dengan perbarengan peraturan atau gabungan satu
perbuatan. Gabungan satu perbuatan atau concursus idealis di atur dalam Pasal
63 ayat 1 KUHP yang berbunyi: jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari
satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturanaturan itu; dan jika berbeda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana
pokok yang paling berat.
Namun, apabila ditemui kasus tindak pidana yang diancam dengan
pidana pokok yang sejenis dan maksimumnya sama, maka menurut VOS
ditetapkan pidana pokok yang mempunyai pidana tambahan paling berat.
Sebaliknya, jika dihadapkan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana
pokok yang tidak sejenis, maka penentuan pidana terberat didasarkan pada
urutan jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP.
Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis
derogate legi generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan

yang umum). Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan aborsi/pengguguran


kandungan, maka dia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan
dengan pidana penjara 15 tahun . Namun, karena Pasal 341 telah mengatur
secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya, maka dalam
hal ini tidak berlaku sistem absorbsi. Ibu itu hanya diancam dengan Pasal 341.
B.

Perbuatan Berlanjut (Voortegezette Handeling)


Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan itu ada hubungan
sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut,
dengan syarat atau kriteria yang dikemukakan oleh MvT (Memorie van
Toelichting) sebagai berikut:

1)

Harus ada keputusan kehendak;

2)

Masing-masing perbuatan harus sejenis;

3)

Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.


mengenai

1)

perbuatan

berlanjut

ini

diatur

dalam

Pasal

64

yang

rumusannya adalah sebagai berikut:

Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau

pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu
perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang akan
2)

diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.


Demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan bersalah melakukan
pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak

3)

itu.
Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal-pasal 364,
373, 379, dan 470 ayat (1), sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan
jumlahnya melebihi dari dua ratus lima puluh rupiah, maka dikenakan aturan pidana tersebut

a.
b.
c.

dalam pasal-pasal 362, 372, 378, dan 406.


Delik berlanjut apabila:
Seseorang melakukan beberapa perbuatan;
Perbuatan itu merupakan kejahatan atau pelanggaran sendiri;
Antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang
sebagai perbuatan berlanjut.
Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absrobsi, yaitu
hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda, maka dikenakan
ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat.
Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata
uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatan
ringan yang terdapat dalam Pasak 364 (pencurian ringan), Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal
407 ayat (1) (perusakan barang ringan), yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.

C.

Perbarengan Perbuatan (Concursus Realis atau Merdaadse Samenloop)

Yang dimaksud dengan Concursus Realis adalah: apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan-perbuatan mana berdiri sendiri dan masing-masing merupakan pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan pidana yang berupa kejahatan dan/atau pelanggaran terhadap kejahatan
dan/atau pelanggara mana belum ada yang dijatuhkan hukuman oleh pengadilan dan akan diadili
sekaligus oleh pengadilan.
Maka dalam concursus realis terdapat:
a)
b)
c)
d)

1)

Seorang pembuat;
Serentetan tindak pidana yang dilakukan olehnya;
Tindak pidana itu tidak perlu sejenis atau berhubungan satu sama lain;
Di antara tindak pidana itu tidak terdapat keputusan hakim.
Dan sistem pemberatan pidana bagi concursus realis itu sendiri terdiri beberapa macam,
yaitu:
Kejahatan yang diancam dengan hukuman pokok yang sejenis (pasal 65), penjatuhan pidananya
dengan menggunakan sistem absorbsi yang dipertajam, yaitu dijatuhi satu pidana saja (ayat 1)
dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat
ditambah sepertiganya (ayat 2). Contoh kasusnya, misalkan Firman melakukan tiga kejahatan
yang masing-masing diancam pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, dan 9 tahun, maka yang berlaku
adalah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara.

2)

Kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis (pasal 66), penjatuhan
pidananya dengan menggunakan sistem kumulasi diperlunak, artinya masing-masing kejahatan itu
diterapkan; yakni kepada si pembuatnya dijatuhi pidana sendiri-sendiri sesuai dengan kejahatankejahatan yang dibuatnya tetapi jumlahnya tidak boleh lebih berat dari maksimum pidana yang
terberat ditambah sepertiganya (pasal 1). Apabila kejahatan yang satu diancam dengan pidana
denda sedangkan kejahatan yang lain dengan pidana penjara atau kurungan, maka untuk pidana
denda dihitung dari lamanya kurungan pengganti denda (ayat 2). Contoh kasusnya, misalkan
Firman melakukan dua kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan 2
tahun penjara. Maka maksimum pidananya adalah 2 tahun + (1/3 x 2 tahun) = 2 tahun 8 bulan.
Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan, maka hakim misalnya memutuskan 2 tahun penjara 8

3)

bulan kurungan.
Concursus realis berupa pelanggaran, penjatuhan pidananya menggunakan sistem kumulasi
murni, yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan. Namun, jumlah semua pidana dibatasi

4)

sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.


Concursus realis berupa kejahatan-kejahatan ringan yaitu Pasal 302 ayat (1) (penganiayaan
terhadap hewan), Pasak 352 (penganiayaan ringan) , Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 379
(penipuan ringan), dan Pasal 482 (penadahan ringan), maka penjatuhan pidananya berlaku system

5)

kumulasi dengan pembatasan maksimum pidana penjara 8 bulan.


Untuk concursus realis baik kejahatan maupun pelanggaran, yang diadili pada saat yang
berlainan, berlaku Pasal 71 yang berbunyi: jika seseorang setelah dijatuhi pidana, kemudian
dinyatakan bersalah lagi, karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan
pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan
menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai perkara-perkara diadili pada saat yang sama.

KESIMPULAN

Perbarengan perbuatan pidana (concursus atau samenloop) adalah perbuatan seseorang


yang melakukan beberapa perbuatan pidana sekaligus, atau melakukan satu perbuatan yang
diatur dalam beberapa ketentuan pidana. Hal ini terdapat pada KUHP Pasal 63-71. Yang dibagi
kedalam tiga bentuk, yaitu:
1)

Concursus idealis (pasal 63 KUHP)

2)

Perbuatan berlanjut (delik berlanjut Pasal 64 KUHP)

3)

Concursus realis (pasal 65 s/d 71 KUHP)


Concursus idealis adalah seseorang yang melakukan satu perbuatan dan ternyata satu
perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan hukum pidana. Sanksi pidana yang dikenakan
terhadap pelakunya adalah hukuman pidana pokok yang paling berat.
Selanjutnya Perbutan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan
perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu
perbuatan berlajut.
Concursus realis adalah seseorang yang melakukan beberapa perbuatan sekaligus. Apabila
hukuman pokok sejenis, maka satu hukuman saja yang dijatuhkan. Dan apabila hukuman pokoknya
tidak sejenis, maka setiap hukuman daring masing-masing perbuatan pidana itu dijatuhkan.
Ada empat macam system pemidanaanya, yaitu:

1)

Sistem absorbsi;

2)

Sistem kumulasi murni;

3)

Sistem absorbi dipertajam; dan

4)

Sistem kumulasi diperlunak.

DAFTAR PUSTAKA
Prasetyo, Teguh. 2012. Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Chazawi, Adami. 2009. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hamzah, Andi. 2011. KUHP & KUHAP. Jakarta: PT Rineka Cipta.

http://sendhynugraha.blogspot.com/2013/04/perbarengan-concursus-dalam- tindak.html

http://riskyes2.blogspot.com/2012/04/pembarengan-tindakpidana.html

RECIDIVE (PENGULANGAN TINDAK


PIDANA)
1.

Pengertian Recidive

Recidive atau pengulangan terjadi apabila seseorang yang melakukan


suatu tindak pidana dan telah dijatuhi tindak pidana dengan putusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau inkracht van
gewijsde, kemudian melakukan tindak pidana lagi.
Perbedaannya dengan Concursus Realis adalah pada Recidive sudah ada
putusan pengadilan berupa pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap atau inkracht van gewijsde sedangkan Concursus Realis
terdakwa melakukan perbuatan pidana dan antara perbuatan satu
denagan yang lain belum ada putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap atau inkracht van gewijsde, . Recidive
merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan.
Dalam ilmu hukum pidana dikenal adad dua sistem Recidive antara lain:
1.

Sistem Recidive Umum


Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana
apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk
memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis
tindak pidana dan tidak ada daluwarsa dalam residivnya.

2.

Sistem Recidive Khusus


Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulanagan merupakan alasan
pemberatan pidana. Pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan
yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan
dalam tenggang waktu yang tertentu pula.
MENURUT KUHP

Dalam KUHP ketentuan mengenai Recidive tidak diatur secara umum


tetapi diatur secara khusus untuk kelompok tindak pidana tertentu baik
berupa kejahatan maupun pelanggaran.
Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan syarat tegnggang waktu
pengulangan yang tertentu. Jadi denagan demikian KUHP termasuk
kedalam Recidive khusus.

a.

i.
ii.
iii.

Recidive Kejahatan
Recidive terhadap kejahatan dalam pasal : 137 (2), 144 (2), 155 (2), 161
(2), 163(2), 208 (2), 216 (3), 321 (2), 393 (2) dan 303 bis (2).
Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi alasan
pemeberat, perlu diingat bahewa mengenai tenggang waktu dalam
Recidive tersebut tidak sama mislanya :
Pasal : 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321 tenggang waktunya dua
tahun;
Pasal 154, 157, 161, 163 dan 393 tenggang waktunya lima tahun.
Sedangkan untuk Recidive yang diatur dalam pasal 486, 477 dan 488 KUHP
mensyaratkan bahwa tindak pidana yang di ulangi termasuk dalam
kelompok jenis tindak pidana tersebut.

b.

Recidive Pelanggaran
Recidive dalam pelangaran ada 14 jenis tindak pidana yaitu :
Pasal 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545,
549 KUHP
Syarat-syarat Recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing
pasal yang bersangkutan.

3. Recidive Di LUAR KUHP


Recidive diluar KUHP antara lain diatur di dalam Undang-undang :
i.
ii.

Tidak pidana narkotika (UU 22 / 1997), Pasal 78 s/d 85 dan Pasal 87;
tenggang waktu lima tahun. Ancaman pidana ditambah sepertiga.
Tindak pidana Pisikotropika (UU No 5/1997), Pasal 72, ancaman pidana
ditambah sepertiga

delneming
Pengertian Penyertaan (Deelneming)
Kata Deelneming berasal dari kata deelnemen (Belanda) yang diterjemahkan dengan kata
menyertai, dan deelneming diartikan menjadi penyertaan. Sedangkan pengertian dari

deelneming itu sendiri adalah suatu delik yang dilakukan lebih dari satu orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Deelneming dapat diartikan sebagai terwujudnya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
lebih dari satu orang, yang mana antara orang yang satu dengan yang lainnya terdapat
hubungan sikap batin dan/atau perbuatan yang sangat erat terhadap terwujudnya tindak
pidana tersebut.
B. Dasar Hukum dalam Penyertaan (Deelneming)
Penyertaan (Deelneming) diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.
Pasal 55 berbunyi:
Dipidana sebagai pembuat tindak pidana:
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut serta melakukan;
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan
perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan, yang sengaja diajurkan sajalah yang
diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 KUHP berbunyi:
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan yang dilakukan;
2.

mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan.
Dari kedua pasal tersebut (Pasal 55 dan 56) tersebut, dapat diketahui bahwa menurut KUHP
penyertaan

itu

dibedakan

dalam

kelompok.

1. pertama adalah kelompok yang disebut sebagai para pembuat (mededaer), (Pasal 55
KUHP) yaitu:
a. yang melakukan (plegen) orangnya (pleger)
b. yang menyuruh melakukan (doen plegen) orangnya (doen pleger)
c. yang turut serta melakukan (mede plegen) orangnya (mede pleger)
d. yang menganjurkan (uitlokken) orangnya (uitlokker).

2. kedua, yaitu orang yang disebut sebagai pembuat pembatu (medeplichtige) (Pasal 56
KUHP), yakni:
a. pemberian bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan; dan
b. pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.
Peran Peran Pelaku dalam Penyertaan (Deelneming)
Berdasarkan rumusan kedua pasal di atas (pasal 55 dan 56 KUHP), maka terdapat 5 peranan
pelaku tindak pidana dalam hukum pidana, yaitu :
a. Pleger atau Dader (orang yang melakukan)
Pleger adalah pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya sendiri, baik memakai alat
maupun dengan tidak memakai alat. Dengan kata lain Pleger adalah mereka yang secara
keseluruhan memenuhi unsur perumusan delik pidana dan yang dipandang paling
bertanggungjawab atas kejahatannya.
b. Doen Pleger (orang yang menyuruh melakukan)
Doenpleger adalah orang yang membuat sedemikian rupa sehingga orang lain melakukan
pebuatan yang mewujudkan delik yang tidak dapat dipidana karena tidak bersalah, sehingga
dapat dikatakan dalam doenplegen setidaknya ada 2 orang pihak yang terlibat, yaitu pembuat
langsung (manus ministra) dan pembuat tidak langsung (manus domina). Sesungguhnya
orang yang melakukan tindak pidana langsung adalah orang yang disuruh melakukan (manus
ministra), tetapi yang paling bertanggung jawab adalah orang yang menyuruh melakukan
(manus domina) karena dia yang menyebabkan orang lain melakukan tindak pidana. Dalam
hal ini manus ministra tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan. Orang yang
disuruh (manus ministra) mempunyai dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 KUH Pidana.
Contoh keadaan-keadaan yang membuat orang yang disuruh melakukan tidak dapat dijatuhi
pidana karena ada alasan penghapus kesalahan:
1.

Orang yang disuruh adalah orang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena Pasal 44
KUHP.

2. Orang yang disuruh berada dalam keadaan daya paksa (overmacht).


3.

Orang yang disuruh melakukan perintah jabatan yang tidak sah tapi dengan itikad baik ia
mengira bahwa perintah itu sah.

Contoh keadaan dimana Orang tsb sama sekali tidak melakukan tindak pidana atau perbuatan
yang dilakukan tidak dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana:
1.

Seorang juru rawat yang sama sekali tidak mengetahui bahwa obat yang diberikan pada
pasien atas perintah seorang dokter adalah obat yang mengandung racun.

2. A meminta B untuk menukarkan uang palsu; sedangkan B tidak tahu bahwa uang itu palsu.
c.

Medepleger atau Mededader (orang yang turut melakukan)


Medepleger adalah orang yang terlibat langsung turut berbuat bersama pelaku dalam
melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, kualitas dari masing-masing tindak pidana adalah
sama. Syarat adanya medepleger, yaitu pertama adanya kerjasama secara sadar dilakukan
dengan sengaja dan ditujukan kepada hal-hal yang dilarang Undang-undang. Kedua ada
pelaksanaan bersama secara fisik, yang menimbulkan selesainya delik.

d. Uitlokker (orang yang membujuk melakukan)


Uitlokker adalah setiap orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain untuk
melakukan suatu tindak pidana. Istilah "menggerakkan" atau "membujuk" ruang lingkup
pengertiannya sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian 1 KUH Pidana yaitu dengan cara
memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan
kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana dan keterangan. Berbeda
dengan "orang yang disuruh melakukan", "orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum, karena
dia masih tetap mempunyai kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan
kepadanya. Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada tindakan
dan akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung jawab yang dibujuk
sendiri.
e.

Medeplichtige (orang yang membantu melakukan)


Membantu melakukan kejahatan diatur dalam Pasal 56 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
Sebagai pembantu melakukan kejahatan dihukum:
1. Mereka yang dengan sengaja membantu saat kejahatan itu dilakukan.
2. Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk
melakukan kejahatan itu.
Dalam memahami pasal 56 KUHP, perlu diperhatikan terlebih dahulu rumusan pasal 57 ayat
(4) KUHP yang berbunyi: Untuk menentukan hukuman bagi pembantu, hanya diperhatikan
perbuatan yang dengan sengaja memudahkan atau diperlancar oleh pembantu itu serta
akibatnya.

....suatu bantuan yang tidak berarti tidak dapat dipandang sebagai bantuan yang dapat
dihukum.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimuat arti kata membantu, yaitu:
1. Tolong.....,
2. Penolong...., membantu, memberi songkongan.
Dengan demikian, perbuatan membantu tersebut sifatnya menolong atau memberi
sokongan. Dalam hal ini, tidak boleh merupakan perbuatan pelaksana. Jika telah melakukan
perbuatan pelaksanaan, pelaku sudah termasuk mededader, bukan lagi membantu.

Anda mungkin juga menyukai