Anda di halaman 1dari 75

Pendekatan Geograf ~ Melengkapi artikel sebelumnya yang membahas mengenai pengertian,

prinsip dan aspek-aspek geografi, pada kesempatan kali ini Zona Siswa mencoba menghadrikan
sebuah catatan mengenai pendekatan geografi. Loh ko, mesti ada pendekatannya segala untuk belajar
geografi? Untuk apa? Terus apa saja pendekatan-pendakatan dalam belajar geografi? Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, nyokkk kita lihat penjelasan berikut. Semoga
bermanfaat. Check
this
out!!!
Pendekatan

Geograf

Sebagai suatu disiplin ilmu, geografi mempelajari suatu sistem alam yang terdiri atas bagian-bagian
yang saling terkait. Aliran energi dalam suatu sistem menghasilkan perubahan. Perubahan yang
berkesinambungan
akan
menghasilkan
suatu
bentuk
keseimbangan
sistem.
Suatu sistem terdiri dari tiga bagian berbeda, input, output dan komponen. Kita ambil saja Tv sebagai
contoh. Kita bisa menonton tv tidak terlepas dari sistem yang berjalan didalam tv tersebut.
Berjalannya sistem tersebut karena ketiga bagian dalam sistem tersambung bersama; bagian input
yang merupakan listrik, bagian output yang berupa gambar dan suara, serta bagian komponen seperti
layar, speaker, remote, dan antena. Tanpa ketiga bagian dari sistem tersebut tersambung, kita tidak
bisa
menonton
tv.
Pada sistem yang berfungsi baik, seluruh komponen harus tersambung bersama. Planet Bumi yang
mempunyai banyak komponen dapat dilihat sebagai sistem yang kompleks dan sangat besar. Di
dalam sistem Bumi, input adalah energi yang datang dari Matahari dan juga energi yang berasal dari
dalam Bumi, seperti tenaga tektonik. Output adalah perubahan konstan yang dapat dilihat di sekitar
kita
dalam
lingkungan
fisik
dan
manusia,
seperti
panas
serta
hujan.
Sistem Bumi memang suatu sistem yang kompleks, sehingga cara terbaik untuk mempelajarinya
dengan memahami setiap komponen komponennya dengan berbagai pendekatan dalam geografi.
Inilah geografi dari sudut pendekatan sistem. Pendekatan ini terus mengalami perkembangan hingga
masa geografi modern. Dalam geografi modern yang dikenal dengan geografi terpadu (Integrated
Geography) digunakan tiga pendekatan atau hampiran. Ketiga pendekatan tersebut, yaitu analisis
keruangan,
kelingkungan
atau
ekologi,
dan
kompleks
wilayah.
1.

Pendekatan

Wilayah

Dari namanya dapat ditangkap bahwa pendekatan ini akan menekankan pada keruangan.
Pendekatan ini mendasarkan pada perbedaan lokasi dari sifat-sifat pentingnya seperti
perbedaan struktur, pola, dan proses. Struktur keruangan terkait dengan elemen pembentuk
ruang yang berupa kenampakan titik, garis, dan area. Sedangkan pola keruangan berkaitan
dengan lokasi distribusi ketiga elemen tersebut. Distribusi atau agihan elemen geografi ini akan
membentuk pola seperti memanjang, radial, dan sebagainya. Nah, proses keruangan sendiri
berkenaan dengan perubahan elemen pembentuk ruang. Ahli geografi berusaha mencari faktorfaktor yang menentukan pola penyebaran serta cara mengubah pola sehingga dicapai
penyebaran yang lebih baik, efisien, dan wajar. Analisis suatu masalah menggunakan
pendekatan ini dapat dilakukan dengan pertanyaan 5W 1H seperti berikut ini.
Pertanyaan What (apa), untuk mengetahui jenis fenomena alam yang terjadi.
Pertanyaan When (kapan), untuk mengetahui waktu terjadinya fenomena alam.
Pertanyaan Where (di mana), untuk mengetahui tempat fenomena alam berlangsung.
Pertanyaan Why (mengapa), untuk mengetahui penyebab terjadinya fenomena alam.
Pertanyaan Who (siapa), untuk mengetahui subjek atau pelaku yang menyebabkan terjadinya
fenomena alam.
Pertanyaan How (bagaimana), untuk mengetahui proses terjadinya fenomena alam.

2.

Pendekatan

Kelingkungan/

Ekologi

Pendekatan ini tidak hanya mendasarkan pada interaksi organisme dengan lingkungan, tetapi juga
dikaitkan dengan fenomena yang ada dan juga perilaku manusia. Karena pada dasarnya lingkungan
geografi mempunyai dua sisi, yaitu perilaku dan fenomena lingkungan. Sisi perilaku mencakup dua
aspek, yaitu pengembangan gagasan dan kesadaran lingkungan. Interelasi keduanya inilah yang
menjadi ciri khas pendekatan ini. Menggunakan keenam pertanyaan geografi, analisis dengan
pendekatan ini masih bisa dilakukan. Nah, perhatikan contoh analisis mengenai terjadinya banjir di
Sinjai berikut dan kamu akan menemukan perbedaannya dengan pendekatan keruangan. Untuk
mempelajari banjir dengan pendekatan kelingkungan dapat diawali dengan tindakan sebagai berikut.
Identifikasi kondisi fisik yang mendorong terjadinya bencana ini, seperti jenis tanah,
topografi, dan vegetasi di lokasi itu.
Identifikasi sikap dan perilaku masyarakat dalam mengelola alam di lokasi tersebut.
Identifikasi budi daya yang ada kaitannya dengan alih fungsi lahan.
Menganalisis hubungan antara budi daya dan dampak yang ditimbulkannya hingga
menyebabkan banjir.
Menggunakan hasil analisis ini mencoba menemukan alternatif pemecahan masalah ini.
3.

Kompleks

Wilayah

Analisis ini mendasarkan pada kombinasi antara analisis keruangan dan analisis ekologi. Analisis ini
menekankan pengertian areal differentiation yaitu adanya perbedaan karakteristik tiap-tiap
wilayah. Perbedaan ini mendorong suatu wilayah dapat berinteraksi dengan wilayah lain.
Perkembangan wilayah yang saling berinteraksi terjadi karena terdapat permintaan dan penawaran.
Contoh analisis kompleks wilayah diterapkan dalam perancangan kawasan permukiman. Langkah
awal, dilakukan identifikasi wilayah potensial di luar Jawa yang memenuhi persyaratan minimum,
seperti kesuburan tanah dan tingkat kemiringan lereng. Langkah kedua, identifikasi aksesibilitas
wilayah. Dari hasil identifikasi ini dirumuskan rancangan untuk jangka panjang dan jangka pendek
untuk
pengembangan
kawasan
tersebut.
Semoga artikel Geograf tersebut di atas tentang Pendekatan Geograf tersebut bisa
bermanfaat bagi sobat yang membutuhkan. Tidak lupa apa bila ada dari sobat yang menemukan

kesalahan dari artikel di atas baik dari segi penulisan maupun pembahasan, mohon kiranya kritik dan
saran yang membangun kemajuan bersama. Jangan lupa like dan share juga ya. Terima kasih...
^^Maju Terus Pendidikan Indonesia^^

STATUS TROFIK PERAIRAN DANAU OPI JAKABARING


DENGAN BERBAGAI PENDEKATAN
LAPORAN PRAKTIKUM

Semester 3 (Tiga)
Disusun Oleh :
Nama

: Angga Saputra

NIM

: 2011.512.010

Dosen Pembimbing

: 1. Dr. Ir. Husnah. M.Phil


2. Helfa Septinar, S.Pd

Mata Kuliah

: Praktikum Ekologi Perairan

Program Studi

: S1 Ilmu Perikanan

FAKULTAS PERIKANAN
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
2013
KATA PENGANTAR

Segala Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan pratikum ini. Shalawat serta salam tak lupa
kita panjatkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta para keluarga,

sahabat dan para umatnya yang insya allah setia sampai akhir zaman. Laporan praktikum ini
disusun guna melengkapi tugas Ekologi Perairan. Saya telah berusaha untuk dapat
memberikan serta mencapai hasil yang semaksimal mungkin dan sesuai dengan harapan.

Oleh sebab itu pada kesempatan ini, Saya sebagai mahasiswa ingin mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya khususnya kepada Dosen Pembimbing. Saya menyadari
bahwa dalam penulisan dan pembuatan penulisan laporan praktikum ini, masih terdapat
banyak kekurangan, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun sangat saya butuhkan
untuk dapat menyempurnakannya di masa yang akan datang. Semoga apapun yang
disajikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan teman-teman maupun
pihak lain yang lebih membutuhkannya.

Palembang, 24 Januari 2013

Hormat Saya,

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan-hubungan timbal balik antar
organisme hidup dengan lingkungannya. Salah satu kajian dari ekologi adalah ekosistem
tempat organism itu hidup. Ekosistem (satuan fungsi dasar dalam ekologi) adalah suatu
sistem yang didalamnya terkandung komunitas hayati dan saling mempengaruhi antara
komponen biotik dan abiotik. Berdasarkan salinitasnya ekosistem perairan dibedakan menjadi

tiga yaitu ekosistem perairan tawar, ekosistem perairan payau, dan ekosistem perairan laut
(E.P. Odum,1998).
Menurut Anggraini (2007), perairan permukaan diklasifikasikan menjadi dua
kelompok utama yaitu badan air tergenang (standing water atau lentik) dan badan air
mengalir (flowing water atau lotik). Perairan tergenang meliputi danau, kolam, waduk, rawa,
dan sebagainya. Danau atau situ memiliki karakteristik: arus yang stagnan atau tenang,
organisme yang hidup di dalamnya tidak membutukan adaptasi khusus, ada stratifikasi suhu,
substrat umumnya berupa lumpur halus, dan residence time-nya lama. Untuk mengenal
komponen penyusun ekosistem perairan menggenang baik unsur biotik maupun abiotiknya
serta mengetahui interaksi yang terjadi di dalamnya. Metode yang digunakan dalam
praktikum ini adalah penarikan sampel yang dilakukan di Danau Opi Jakabaring Pentingnya
mengenali ekosistem perairan tergenang beserta interaksi antar komponennya sebagai salah
satu ekosistem yang sangat peka terhadap adanya perubahan fisika, kimia, maupun biologi
(Effendi, 2004).
Danau atau situ merupakan satu dari tipe perairan darat dengan ciri utama
tergenangdalam waktu tinggal yang lama, sehingga memungkinkan biota untuk
hidup lebih lama dan berkembang. Perbedaan proses pembentukan dan ciri
fisiknya, memungkinkan perairan inimemiliki parameter kimia yang beragam. Zonasi
perairan tergenang terbagi menjadi dua, yaitu zona benthos dan zona kolom air.
Berdasarkan tingkat kesuburannya, perairan tergenang dapat dibedakan menjadi
oligotrofik (miskin hara), mesotrofik (haranya sedang), eutrofik (kaya unsur hara) (Lukman,
2007).
Danau merupakan kumpulan air yang seolah-olah berda dalam suatu baskom dan
tidak mempunyai hubungan dengan laut atau merupakan suatu badan air yang menggenang
dan luasnya mulai dari beberapa meter persegi hingga ratusan meter persegi. Di danau
terdapat pembagian daerah berdasarkan penetrasi cahaya matahari. Daerah yang dapat
ditembus cahaya matahari sehingga terjadi fotosintesis disebut daerah fotik. Daerah yang
tidak tertembus cahaya matahari disebut daerah afotik. Di danau juga terdapat daerah
perubahan temperatur yang drastis atau termoklin. Termoklin memisahkan daerah yang
hangat di atas dengan daerah dingin di dasar. Komunitas tumbuhan dan hewan tersebar di
danau sesuai dengan kedalaman dan jaraknya dari tepi. Setiap perairan memiliki karakteristik
yang berbeda, baik secara fisik maupun kimiawi. Pada ekosistem perairan tergenang tidak
terdapat arus atau bahkan cenderung stagnan. Residene time yang lama merupakan salah satu
faktor pembeda antara perairan tergenag dan perairan mengalir.
Status ekologis sumberdaya perairan merupakan gambaran keseimbangan hubungan
fungsional antara konponen-komponen ekosistem perairan yang mencakup komponen biotik
dan abiotik. Status ekologis sumber daya perairan juga diartikan sebagai gambaran tingkat

kualitas struktur dan fungsi ekosistem sumberdaya perairan tersebut. (European


Communities, 2005). Selanjutnya dikemukakan bahwa status ekologis yang baik maka
sumberdaya perairan tersebut harus memiliki karakteristik biologi dan kimia yang stabil
(sustainable).
Menurut Water Framework Direction (WFD) yang dikutip Sondergaard et al. (2005)
bahwa status ekologis harus didefinisikan secara relatif dari penyimpangannya terhadap
kondisi rujukan (reference condition) yakni lokasi yang kondisinya tidak ada pengaruh dari
aktivitas antropogenik. Pemilihan atau karakterisasi lokasi yang paling minim atau sedikit
mendapat gangguan atau tidak terganggu aktivitas manusia merupakan dasar mendefinisikan
kondisi rujukan (EPA, 2006).
Timbulnya permasalahan eutrofikasi pada danau dan waduk menyebabkan berbagai
dampak terhadap estetika, ekologi, kesehatan manusia serta dampak secara fisik dan
ekonomi. Dengan teridentifikasinya dampak permasalahan eutrofikasi, maka dapat dilakukan
upaya-upaya pengendaliannya. Upaya secara alami, secara fisika-kimia dan upaya terpadu
melalui pengelolaan DAS.

1.2 Rumusan Masalah


Perairan Danau OPI telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan masyarakat,
antara lain untuk aktivitas parawisata dan pemukiman warga sekitar. Aktivitas tersebut dapat
menimbulkan masalah dan juga mengganggu keseimbangan ekosistem Danau. Sejauh ini
belum diketahui kualitas air dan Status trofik perairan Danau OPI Jakabaring.
1.3 Tujuan
Penelitian ini dilakukan Untuk mengetahui kualitas air dan juga status trofik perairan
Danau OPI Jakabaring sebagai bahan untuk memantau guna menjaga kelestarian ekosistem
Danau OPI Jakabaring.
1.4 Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini dapat diperoleh suatu gambaran tentang kualitas air dan status trofik
pada Danau OPI Jakabaring. Dari data yang didapatkan dilapangan diharapkan dapat
memberikan informasi yang berguna bagi instansi yang memiliki kewenangan dalam
pengelolaan perairan Danau OPI Jakabaring.

1.5 Waktu dan Tempat

Kegiatan praktikum lapang ekologi perairan ini dilaksanakan pada hari minggu
tanggal 20 Januari 2013 pukul 08.00 WIB - 12.00 WIB yang bertempat di Danau OPI
Jakabaring Palembang Sumatra Selatan. Serta praktikum laboratorium pada hari selasa
tanggal 21 Januari 2013 pada pukul 08.50 WIB - 09.50 WIB Di Laboratorium Badan
Penelitian Perikanan Perairan Umum Mariana.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Perairan Danau


Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang mencakup semua organisme di dalam
suatu daerah, terdiri dari atas komponen-komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi
sehingga membentuk satu kesatuan (Odum, 1996). Ekosistem air yang menutupi 2/3 dari
permukaan bumi dimana dari 2/3 bagian tersebut hanya kurang dari 1 % yang dapat dimanfaatkan
oleh manusia sebagai sumber air minum dan berbagai kebutuhan lainnya, seperti pada Tabel 2
(Susan et al, 1985).
Tabel 1. Daftar Kuantitas Air di Dunia dalam Siklus Hidrologi
Menurut Barus (2004), diperkirakan bahwa air yang terdapat dibumi volumenya sebesar
1.348.000.000 km3. Ekosistem air yang terdapat di daratan secara umum dibagi atas 2(dua) yaitu :
(1) perairan lentik atau yang disebut juga perairan tenang misalnya danau, rawa, waduk, situ
telaga

dan

(2)

perairan lotik yaitu

perairan

berarus

deras

misalnya

sungai.

Perairan lentik mempunyai kecepatan arus yang lambat serta terjadi akumulasi massa air dalam
periode waktu yang lama, sementara perairan lotik umumnya memiliki kecepatan arus yang
tinggi disertai perpindahan massa air yang berlangsung dengan cepat.
Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan biotik (produsen,
konsumen dan pengurai) yang membentuk suatu hubungan timbal balik dan saling
mempengaruhi. Perairan danau merupakan salah satu bentuk ekosistem air tawar yang ada di
permukaan bumi. Secara fisik, danau merupakan suatu tempat yang luas, mempunyai air yang

tetap, jernih atau beragam dengan aliran tertentu dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya
pada daerah pinggir saja (Barus, 2004).
Danau yang berasal dari bencana alam, dalam zaman es atau periode aktivitas tektonik
dan vulkanik yang intensif, mencerminkan distribusi yang terlokasi pada lembah di atas daratan
(Odum, 1996). Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi 2(dua)
yaitu: danau alami dan danau buatan. Danau alami merupakan danau yang terbentuk sebagai
akibat dari kegiatan alamiah, misalnya bencana alam, kegiatan vulkanik dan kegiatan tektonik.
Sedangkan danau buatan adalah danau yang dibentuk dengan sengaja oleh kegiatan manusia
dengan tujuan-tujuan tertentu (Odum, 1996).
Ekosistem danau termasuk habitat air tawar yang memilki perairan tenang yang dicirikan
oleh adanya arus yang sangat lambat sekitar 0,1-1 cm/detik atau tidak ada arus sama sekali
(Wetzel, 2001). Berdasarkan kandungan hara (tingkat kesuburan), danau diklasifikasikan dalam 3
jenis yaitu : (1) danau oligotrofik, (2) danau mesotrofik dan (3) danau eutrofik. Danau eutrofik
merupakan danau yang memiliki kadar hara tinggi, memiliki perairan dangkal, tumbuhan litoral
melimpah, kepadatan plankton lebih tinggi, sering terjadi blooming alga dengan tingkat penetrasi
cahaya matahari umumnya rendah (Goldmen dan Horne, 1989 dalam Marganof, 2007).
Sementara itu, danau oligotrofik adalah danau dengan kadar hara rendah, biasanya memiliki
perairan yang dalam. Semakin dalam danau tersebut semakin tidak subur, tumbuhan litoral jarang
dan kepadatan plankton rendah, tetapi jumlah spesiesnya tinggi. Danau Mesotrofik merupakan
danau dengan kadar nutrien sedang, juga merupakan peralihan antara kedua sifat danau eutrofik
dan danau oligotrofik. (Odum, 1996, Browne et al, 2004).
Kriteria status Trofik Danau danau dapat dinyatakan pada Tabel 3 (UNEPILEC,
2001dalam KLH 2008).

2.2 Fosfor
Fosfor merupakan elemen yang terdapat dalam protein, dan dalam ekosistem air Fosfor
terdapat dalam bentuk organik terlarut (soluble organic), organik tidak terlarut (insoluble
organic) biasanya terdapat pada biota danau, dan anorganik yang tidak terlarut. Limbah Fosfor 10
% berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu sendiri, 7 % dari industri, 11 % dari detergen,
17 % dari pupuk pertanian, 23 % dari limbah manusia, dan yang terbesar, 32 % dari limbah
perikanan dan peternakan (http://id.wikipedia.org/wiki/Eutrofikasi Tahun 2010).
Zat-zat organik terutama protein mengandung gugus Fosfor yang terdapat dalam sel
makhluk hidup dan berperan penting dalam penyediaan energi. Dalam suatu ekosistem, Fosfor
akan membentuk suatu rangkaian interaksi yang kompleks seperti terlihat pada Gambar 1. Dalam
perairan Danau, keberadaan Fosfor dalam badan air ditentukan oleh 3(tiga) faktor yaitu : (1)
faktor eksternal yaitu yang berasal dari luar dimana masuknya Fosfor melalui aliran air ( water
inflow), (2) faktor internal yaitu yang berasal dari sedimen, (3) faktor siklus nutrien yaitu Fosfor
dilepas oleh biota danau (Sigee, 2004).

Walaupun dibutuhkan oleh organisme danau, keberadaan jumlah Fosfor dalam danau
sangat dibatasi, dimana jumlah Fosfor harus sangat kecil jika dibandingkan dengan keberadaan
jumlah Nitrogen.
Pembatasan keberadaan jumlah Fosfor di perairan danau diindikasikan oleh sejumlah
parameter berikut ini (Sigee, 2004) :
1. Konsentrasi Fosfor yang ideal di perairan danau diindikasikan dengan perbandingan antara
konsentrasi Fosfor dengan konsentrasi Nitrogen dalam badan air, dimana rasio N/P adalah >10 : 1
2. Konsentrasi Fosfor yang ideal di perairan danau diindikasikan dengan perbandingan antara
Partikulat Karbon (PC), Partikulat Fosfor (PP) dan Partikulat Nitrogen (PN), dimana pembatasan
jumlah konsentrasi Fosfor dalam badan air diindikasikan oleh rasio PC/PN > 106 dan PN/PP >
16.
Keberadaan Fosfor merupakan salah satu elemen kunci dalam penetapan status kualitas air
danau, karena keberadaan unsur ini pada air danau sangat sedikit, sehingga penambahan atau
masuknya Fosfor ke perairan danau sedikit saja akan dengan cepat mencetuskan terjadinya
penyuburan tanaman perairan (seperti Alga, Eceng Gondok), memperlambat terjadinya penetrasi
cahaya, menurunkan tingkat DO, juga akan menyebabkan penurunan nilai estetika perairan,
bahkan penyuburan tanaman perairan (algal bloom ) (Mylaparavu, 2008).

2.3 Status trofik


Menunjukkan dampak adanya beban limbah unsur hara yang masuk air danau. Kondisi
kualitas air danau dan waduk diklasifikasikan berdasarkan status proses eutrofikasi yang
disebabkan adanya peningkatan kadar unsur hara dalam air. Faktor pembatas sebagai penentu
eutrofikasi adalah unsur Phosphor (P) dan Nitrogen (N). Pada umumnya rata-rata tumbuhan
air mengandung Nitrogen dan Phosphor masing-masing 0,7% dan 0,09% dari berat basah.
Phosphor membatasi proses eutrofikasi jika kadar Nitrogen lebih dari delapan kali kadar
Phosphor, sementara Nitrogen membatasi proses eutrofikasi jika kadarnya kurang dari
delapan kali kadari Phosphor (UNEP-IETC/ILEC, 2001). Klorofil-a adalah pigmen tumbuhan
hijau yang diperlukan untuk fotosintesis. Parameter Klorofil-a tersebut mengindikasikan
kadar biomassa algae, dengan perkiraan rata-rata beratnya adalah 1% dari biomassa.
Eutrofikasi yang disebabkan oleh proses peningkatan kadar unsur hara terutama parameter
Nitrogen dan Phosphor pada air danau dan waduk. Proses tersebut diklasifikasikan dalam
empat kategori status trofik kualitas air danau dan waduk berdasarkan kadar unsur hara dan
kandungan biomasa atau produktivitasnya.
Oligotrof adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara
dengan kadar rendah, status ini menunjukkan kualitas air masih bersifat alamiah belum
tercemar dari sumber unsur hara Nitrogen dan Phosphor.
1.

Mesotrof adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara
dengan kadar sedang, status ini menunjukkan adanya peningkatan kadar Nitrogen dan
Phosphor namun masih dalam batas toleransi karena belum menunjukkan adanya indikasi
pencemaran air.
2.

Eutrof adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara dengan
kadar tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar oleh peningkatan kadar Nitrogen dan
Phosphor.
3.

Hipereutrofik/Hipertrof adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung
unsur hara dengan kadar sangat tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar berat oleh
peningkatan kadar Nitrogen dan Phosphor.
4.

Tingkat kesuburan perairan danau dan waduk dapat dihitung berdasarkan beberapa parameter
yang sangat berpengaruh terhadap kesuburan danau sesuai dengan perhitungan Indeks Status
Trofik atau Tropik Status Index (TSI) yaitu: total Phosphor, klorofil-a, dan kecerahan
menggunakan pengukuran cakram sechi.
Penentuan ketiga parameter tersebut berdasarkan adanya keterkaitan yang erat dari masingmasing parameter, dimana unsur pencemar yang masuk ke perairan danau yang berupa
Phosphor akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan fitoplankton di perairan tersebut yang
ditandai dengan adanya konsentrasi klorofil-a, akibat lebih lanjut dengan adanya kepadatan
klorofil-a tersebut akan menyebabkan terhambatnya cahaya yang masuk kedalam kolom
perairan danau yang ditandai dengan makin pendeknya kecerahan perairan.
Hubungan antara kadar Total Phosphor (TP) dengan konsentrasi klorofil-a ada korelasi
positip seperti ditunjukkan dalam rumus Jones dan Bachmann (1976) dalam Davis dan
Cornwell (1991).

BAB III
BAHAN DAN METODA
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di perairan Danau OPI Jakabaring. Penelitian dilakukan pada
tanggal 20 Januari 2013. Metode yang digunakan untuk mengetahui kualitas perairan
berdasarkan parameter fisika, kimia dan biologi serta untuk mengetahui tingkat kesuburan
berdasarkan perhitungan Trophic State Index (TSI) dari CARLSON (1977)

3.2 Alat dan Bahan


Adapun alat-alat yang digunakan dalam praktikum ekologi perairan adalah sebagai
berikut :
3.2.1 Alat dan Fungsinya

a. Parameter Fisika
1. Suhu
- Thermometer
: Sebagai alat pengukur suhu perairan.
2. Kedalaman
pth Sounder : Untuk mengukur kedalaman danau.
3. Kecerahan
ret Gelang
: Sebagai alat penanda d1 dan d2.
cchi Disk
: Sebagai alat untuk mengukur kecerahan perairan.
i
: Sebagai alat untuk mengikat Secchi Disk.
nggaris
: Untuk mengukur panjang tali (d1 dan d2) yang tercelup dalam air.
4. Substrat
kman grab
: Untuk mengambil substrat di kolam.
mba
: Untuk tempat substrat setelah diambil dari kolam.
mpan
: Untuk tempat substrat sehebis diambil dari eckman grab.

rameter Kimia
1. pH (Potensial Hidrogen)
tak Standar
: Sebagai alat pembanding nilai air sampel pada pH paper dan untuk mengukur derajat
keasaman dalam perairan.
- Stopwatch
: Sebagai timer pada saat mengukur pH.

tol DO
et Tetes

tif
ret
ang
mpan

2. Oksigen Terlarut (DO / Dissolved Oxygent)


: Sebagai alat untuk menyimpan sampel air yang akan di hitung nilai DO nya.
: Sebagai alat untuk mengambil larutan MnSO4, NaOH+ KI, H2SO4 pekat, amilum,
Na2S2O3.
: Sebagai alat penyangga buret.
: Sebagai alat untuk mengalirkan titran Na2S2O3.
: Sebagai alat untuk mengeluarkan larutan bening dari dalam botol DO.
: Sebagai alat untuk meletakkan alat-alat dan bahan praktikum.
3. Acidity
- Botol CO2 50 ml
- Pipet tetes
- Pipet ukur 1 ml
- Erlenmeyer 250 ml
- Beker gelas 100 ml
- Labu ukur 100:1000 ml
- Bubble bulb

4. Alkalinitas
Gelas ukur 100 ml
Erlenmeyer 250 ml
Beker gelas 250 ml
Pipet ukur 5 ml
Pipet tetes
Labu ukur 100:1000 ml
Bubble bulb

5. Kesadahan Total
Buret 25 ml
Erlenmeyer 250 ml
Labu ukur 100:250:1000 ml
Pipet volume 1:10:25 ml
Pipet tetes
Magnetic stirrer dan stirrer bar
Timbangan analis
Hot plate
Spatula
Bubble bulb
Media penyimpanan (botol borosilikat atau polyethylene)

6. Analisa Karbon Dioksida Bebas Dalam Air


Botol CO2 50 ml
Pipet tetes
Pipet ukuran 1 ml
Biuret 25 ml
Erlenmeyer 100 ml
Labu ukur 100:1000 ml
Bubble bulb

rameter Biologi
1. Benthos
kman grab
: Untuk mengambil bentos di kolam atau/perairan yang dasarnya berlumpur.
nset
: Untuk mengambil bentos di nampan.
mpan
: Untuk tempat mengoyak bentos.
tol film
: Untuk tempat bentos.

kroskop
ngkat jaring
ring
ject Glass

mba
tol film
ankton net
kroskop

r sampel

: Untuk alat bantu melihat bentos.


: Untuk mengambil bentos di perairan arus deras.
: Untuk menyaring bentos yang tertangkap tongkat jaring.
: Untuk membantu pengamatan benthos pada mikroskop.
2. Plankton
: Untuk mengambil air dan di tuang ke plankton net.
: Untuk tempat plankton.
: Untuk menyaring plankton dari timba.
: Untuk alat bantu melihat bentos.
3.2.2 Bahan dan Fungsinya
a. Parameter Fisika
1. Suhu
: Sebagai media yang diukur suhunya.

r sampel

2. Kedalaman
: Sebagai media yang diukur kedalamannya.
Kecerahan
: Sebagai media yang diukur kecerahannya.

r sampel

3. Kecepatan Arus
: Sebagai media yang diukur kecepatan arusnya.

r kolam

4. Substrat
: Untuk mengamati kolam yang akan diukur kedalamannya.

r sampel

rameter Kimia
1. pH (Potensial Hidrogen)
- pH meter
: Untuk mengukur nilai pH perairan.
- Air sampel
: Sebagai bahan dari media yang akan diamati.

r Sampel
nSO4
OH + KI

milum
2S2O3

2. Oksigen Terlarut (DO / Dissolved Oxygent)


: Sebagai bahan yang akan dihitung nilai DO nya.
: Sebagai bahan untuk mengikat O2 dalam air
: Sebagai bahan untuk melepaskan I2 Dn membentuk endapan coklat.
- O4 pekat
: Sebagai bahan untuk melarutkan endapan
dan
pengkondisian asam.
: Sebagai bahan untuk indikator warna ungu yang bereaksi dengan O2.
: Sebagai bahan titrasi dan mengikat I2 dan membentuk 2 NaI.

rtas Label
sue

: Sebagai bahan untuk penanda atau pemberi nama


: Sebagai bahan untuk membersihkan atau mengeringkan alat-alat yang telah digunakan.

suling bebas CO2


ikator Methyl Orange
ikator Phenolphthalein
ndard Asam Sufat
utan Titrant Sodium Hidroksida (0,02 N)

as
suling bebas CO2
utan Indicator Bromocresol Green
ndard Sodium Karbonat
ndard Titrant Asam Sufat

esadahan Total
- Larutan Buffer pH 100.1
- Indikkator Eriochrome Black T
- Larutan Standard Kalsium 0,010 M
- Larutan Standard EDTA

Analisa Karbon Dioksida Bebas Dalam Air


- Air suling bebas CO2
- Indikator Phenolphthalein
- Standard Asam Sufat
- Larutan Titran Sodium Hidroksida (0,02 N)

rameter Biologi
1. Benthos
r sampel
: untuk sampel yang akan diamati bentosnya.
rmalin 10%
: untuk mengawetkan bentos.
rtas label
: untuk memberi nama pada botol film.

r sampel
rtas label
gol
sue

2. Perifiton
: untuk bahan sampel danau yang berisi perifiton yang akan diamati.
: untuk memberi nama pada botol film.
: untuk mengawetkan Perifiton.
: untuk membersihkan alat.

3. Fitoplankton
r sampel
: untuk bahan sampel danau yang berisi fitoplankton yang akan diamati.
rtas label
: untuk memberi nama pada botol film.
gol
: untuk mengawetkan Fitoplankton.
sue
: untuk membersihkan alat
4. Zooplankton
r sampel
: untuk bahan sampel danau yang berisi perifiton yang akan diamati.
rtas label
: untuk memberi nama pada botol film.
rmalin 5 tetes : untuk mengawetkan Zooplankton.
- Tissue
: untuk membersihkan alat
3.3 Analisa Prosedur
a.

Parameter Fisika

3.3.1 Suhu
Pertama-tama yang harus dilakukan yaitu dengan menyiapkan alat dan bahan. Alat yang
digunakan pada pengukuran suhu yaitu Thermometer Hg. Thermometer Hg dimasukkan
kedalam perairan selama 2 menit sebagai asumsi bahwa dalam kurun waktu 2 menit suhu
dalam perairan tersebut telah mempengaruhi kenaikan raksa pada thermometer dan ditunggu
sampai air raksa konstan pada skala tertentu. Pengukuran ini dilakukan dengan
membelakangi sinar matahari agar tidak terpengaruh oleh suhu sinar matahari dan tidak boleh
tersentuh oleh tangan karena dapat mempengaruhi suhu Thermometer Hg tersebut.
Pembacaan Thermometer Hg dilakukan ketika Thermometer Hg masih didalam perairan
karena suhu lingkungan juga dapat mempengaruhi suhu Thermometer Hg. Kemudian dicatat
3.3.2 Kecerahan
Disiapkan alat yang akan digunakan yaitu secchi disk. Dimasukkan secchi disk kedalam
perairan sampai batas tidak tampak pertama kali dan itu dihitung sebagai D1. Kemudian,
masukkan kembali secchi disk sampai benar-benar tidak tampak kemudian ditarik secara
perlahan sampai batas tampak pertama kali dan dihitung sebagai D2. Kemudian catat dan
dihitung kecerahannya dengan rumus :
3.3.3 Kedalaman
Pertama-tama disiapkan tongkat skala dan dimasukkan ke dalam perairan hingga sampai
ke dasar perairan. Kemudian, diamati permukaan perairan yang menunjukkan skala batas

kedalaman perairan yang akan diamati. Setelah itu, diangkat tongkat skala dari perairan
kemudian dicatat hasilnya.
3.3.4 Kecepatan Arus
Disiapkan alat yang digunakan yaitu botol air mineral kosong dan tali rafia sepanjang 5
meter. Botol diikat dengan tali rafia lalu dilepaskan atau dihanyutkan ke perairan yang
terdapat arus. Ditunggu sampai tali rafia menegang lurus untuk dicatat waktunya. Lalu
dihitung kecepatan arus dengan rumus kecepatan.
3.3.5 Substrat
Disiapkan Eckman Grab, dicelupkan ekcman grab hingga mencapai dasar. Selanjutnya
pertama-tama diambil substrat dari dasar perairan / kolam, kemudian diambil tipe substratnya
dengan menggunakan eckman grab. Setelah itu, ditentukan tipe substratnya dan dicatat
hasilnya.

ameter Kimia
3.3.6 pH
Disiapkan kotak standart beserta pH paper. Kemudian diambil pH paper dan dimasukkan
kedalam perairan dan ditunggu 2 menit sebagai asumsi bahwa dalam kurun waktu 2 menit
senyawa mineral terlarut dalam perairan telah mempengaruhi pH paper lalu diangkat dan
dikibas-kibaskan agar kering dan terlihat jelas perubahan warna pH paper dan dicocokkan
dengan warna pada kotak standart lalu catat hasilnya.
3.3.7 DO (Dissolved Oxigen)
Disiapkan botol DO, kemudian diisi dengan air sampel. Pengambilan air dengan posisi
miring 45 agar tidak terdapat gelembung udara karena dapat berpengaruh terhadap nilai
kandungan oksigen yang diukur. Kemudian tutup botol DO saat masih didalam perairan agar
udara tidak masuk. Setelah itu buka tutup botol yang berisi sampel dan tambahkan 2 ml
MnSO4 untuk mengikat oksigen dan 2 ml NaOH+KI untuk membentuk endapan coklat dan
melepas I2. Lalu di bolak-balik sampai terbentuk endapan coklat kemudian buang filtrat cair
bening yang berada di atas endapan selang secara perlahan. Endapan coklat yang tersisa
diberi 1-2 ml H2SO4 pekat untuk mengikat I2 dan manjadikan 2 NaI. Lalu dihomogenkan
sampai endapan larut.setelah itu ditetesi 3-4 tetes amylum untuk pengkondisian suasana basa
dan dititrasi dengan Na-thiosulfat (N2S2O3) 0,025 N untuk mengikat I2 sampai jernih atau
tidak berwarna untuk pertama kali. Dicatat ml Na-thiosulfat yang terpakai dengan rumus DO
3.3.8 Acidity

a. Total Acidity
Pertama ambil contoh uji yang telah disiapkan, tambahkan 4-8 tetes indikator methyl
orange, titrasi dengan NaOH yg telah distandarkan sampai terjadi perubahan warna menjadi
orange tipis, catat mL titrant yang terpakai, hitung total acidity dengan menggunakan
persamaan.
b. Mineral acidity
Pertama ambill contoh uji yang telah disiapkan, tambahkan 2 tetes indicator
phenolphtlein, titrasi dengan NaOH sampai terjadi perubahan warna larutan menjadi merah
muda tipis, catat mL titrant yang terpakai, kemudian hitunglah mineral acidity dengan
persamaan.
3.3.9 Alkalinitas
Pertama ambil contoh uji yang telah disiapkan, tambahkan 4-8 tetes indicator
bromoeresol green, titrasi arutan dengan menggunakan asam sufat yang telah di standarisasi,
setelah itu catat mL volume titran yang terpakai

3.3.10 Kesadahan Total


Ambil sample yang telah kita siapkan, tambahkan 1 ml Buffer pH 100,1, tambahkan 2-4
tetes indicator eriochrome black T, homogenkan warna merah anggur yang terbentuk,
kemudian titrasi pellan dengan larutan standard Na-EDTA yang telah kita siapkan dengan
titik akhir normal bewarna biru, catat mL volume titran yang terpakai
3.3.11 Analisa Karbon Dioksida Bebas Dalam Air
Ambil contoh uji yang telah di siapkan, teteskan 4 tetes indikator Phenolphthalein jika
sampe berubah menjadi pink pH air berada di atas 8,34 dan CO2 bebas pada dasarnya tidak
ada, tetapi jika sample tidak bewarna berarti sample mengandung CO 2 bebas titrasi segera
sample menggunakan NaOH yang telah di standarisasi aduk merata hingga warna larutan
berubah menjadi warna merah muda tipis, dan terakhir catat volume titrant yang terpakai

c. Parameter Biologi
3.3.12 Benthos
a. Metode Kicking

Langkah awal yaitu menentukan lokasi pengambilan sampel bentos dan ditentukan jarak
pengambilan sampel bentos. Diambil jaring kicking/ jaring bentos lalu disiapkan tiang jala
dan dipegang tiang jala tersebut dengan arah melawan arus, lalu diaduk dasar perairan dengan
dua kaki secara bersama-sama untuk melepaskan organisme dari dasar perairan sehingga
organisme akan masuk kedalam jala. Setelah itu, diperiksa jala tersebut apakah ada
organisme didalamnya. Kemudian disaring dengan menggunakan saringan dengan pinset dan
dicuci organisme yang tersaring dengan air lalu dipindahkan ke wadah sampel. Diawetkan
dengan alkohol 96% dan diamati lalu dimasukkan tabel.

b. Metode Eckman Grab


Pertama-tama disiapkan eckman grab dibuka penutupnya. Lalu, dimasukkan kedalam
danau secara tegak lurus sampai ke dasar. Hal itu dimaksudkan agar pemberat mudah jatuh
kedalam perairan. Kemudian, dijatuhkan pemberatnya hingga berbunyi dan setelah itu ditarik
pelan-pelan ke permukaan. Lalu, dibuka penutupnya dan diletakkan sampel bentos yang
didapatkan ke dalam nampan. Setelah itu, diamati jenis bentos dengan lonp dan dimasukkan
botol film dan diberi alkohol 75 %. Kemudian benthos dikelompokkan berdasarkan jenis lalu
dihitung dan dhdapatkan hasil yang kemudian dimasukkan kedalam tabel l`poran
c. Identifikasi Jenis Benthos
Pertama-tama disiapkan objek glass dan dibersihkan dengan menggunakan tissue
secara searah agar tidak tergores. Kemudian diambil sampel benthos dengan piset dan
diletakkan pada objek glass. Lalu disiapkan mikroskop dan dinyalakan lampu dengan
perbesaran 400x. Kemudian, diletakkan preparat pada meja objek serta diamati setelah
ditemukan focus. Pada saat pengamatan, difoto untuk dilampirkan dan digambar. Setelah itu
diidentifikasi jenis dan spesies benthos yang ditemukan. Lalu dimasukkan tabel.

3.3.13 Plankton
a. Pengambilan Plankton (di Lapang)
Pertama-tama, siapkan alat dan bahan yang akan digunakan, yakni : timba, plankton net,
botol film, lugol. Sebelumnya, ikat botol film dengan plankton net bagian bawah untuk
menampung sampel plankton yang didapatkan untuk diamati di Laboratorium. Kemudian
pada perairan diambil air dengan timba sebanyak 5 liter air sebagai asumsi plankton tersaring
pada plankton net telah mewakili sampel yang akan diidentifikasi lalu diangkat ke
permukaan. Setelah itu tuangkan air sampel tersebut pada plankton net yang sudah terikat
botol fim tersebut dan diputar-putar searah plankton net. Lalu ditutup botol film setelah

plankton tersaring dan diberi bahan preservasi (lugol) sebanyak 3 tetes untuk mengawetkan
sampel sementara serta diberi label agar tidak tertukar.
b. Identifikasi Jenis Plankton (di Laboratorium)
Pertama-tama disiapkan objek glass dan cover glass dan dibersihkan dengan menggunakan
tissue secara searah agar tidak tergores. Kemudian ditutup objek glass dengan cover glass
pada bagian tengah. Setelah itu diambil sampel plankton dengan pipet tetes dan dituangkan
pada haemocytometer. Lalu disiapkan mikroskop dan dinyalakan lampu dengan perbesaran
400x. Kemudian, diletakkan preparat pada meja objek serta diamati setelah ditemukan focus.
Pada saat pengamatan, dibagi menjadi 5 bidang pandang dan dihitung jumlah plankton yang
terdapat pada tiap bidang pandang tersebut lalu dicatat dan digambar. Setelah itu
diidentifikasi dengan buku presscot untuk menentukan jenis dan spesies plankton yang
ditemukan. Lalu dimasukkan tabel.
3.4 Analisis Data
3.4.1 Metode PP dengan O2 dengan metode Trophic State Index (TSI) dari CARLSON
(1977)
analisis yang diperoleh kemudian digunakan untuk mengetahui tingkat kesuburan
berdasarkan perhitungan Trophic State Index (TSI) dari CARLSON (1977):
TSI-P
= 14,42 x Ln[TP] + 4,15 (g/l)
TSI-Cla
= 30,6 + 9,81 x Ln[Chlor-a] (g/l)
TSI-SD
= 60 14,41 x Ln[Secchi] (meter)
Rata-rata TSI = (TSI-P + TSI-Cla + TSI-SD)
3
Dimana TSI-P adalah hasil perhitungan Trophic State Indek untuk Phospat
TSI-Cla adalah hasil perhitungan Trophic State Indek untuk Chloropil-a
TSI- SD adalah hasil perhitungan Trophic State Indek untuk kedalaman sechii disk
3.4.2 Metode Metabolisme perairan
Untuk menghitung NPP, Maka
*NPP = Oksigen pada jam 06.00 sore Oksigen pada jam 06.00 pagi

Tabel 2. Konsentrasi hasil anlisis parameter-parameter untuk perhitungan TSI


CARLSON (1977) pada Danau OPI Jakabaring
Kelompo

Kedalama

Acidit

Hardnes

Suhu
k

DO

CO2

TP

TN

(mg/L

Alkalinitas

Kecerahan

PH

(mg/L

(mg/L

air

udara

(m)

(mg/L)

(mg/L)

(mL)

(Cm)

A1

28,7

26,5

3,3

4,75

0,1

0,257

0,15

130

A2

28,7

26,5

3,3

4,75

0,1

0,257

0,15

130

B1

28,7

27,3

2,8

4,5

0,1

0,257

0,35

B2

28,7

27,3

2,8

5,45

0,1

0,257

C1

29,5

30,2

3,25

5,05

0,1

0,098

C2

29,5

30,2

3,25

5,05

0,1

D1

28,1

29,4

3,4

4,3

D2

28,1

29,4

3,4

D3

29,4

31,8

28,8

28,7

Rata-rata

(dGH)

3,2

2,142

4,5

2,142

170

4,5

2,4

0,119

0,15

170

4,5

2,4

0,119

0,15

130

4,65

0,098

1,6

130

4,65

0,1

0,098

1,6

170

4,5

3,6

0,357

4,3

0,1

0,098

1,6

170

4,5

3,6

0,357

3,8

4,7

0,1

0,098

0,2

170

3,6

0,357

3,255556

4,76111

0,1

0,168667

0,66111

152,222

4,2778

3,4556

0,621

Untuk mengetahui tingkat kesuburan berdasarkan perhitungan Trophic State


Index (TSI) dari CARLSON (1977):
TSI-P
= 14,42 x Ln[TP] + 4,15 (g/l)
TSI-Cla
= 30,6 + 9,81 x Ln[Chlor-a] (g/l)
TSI-SD
= 60 14,41 x Ln[Secchi]
Rata-rata TSI = (TSI-P + TSI-Cla + TSI-SD)
3
Dimana TSI-P adalah hasil perhitungan Trophic State Indek untuk Phospat
TSI-Cla adalah hasil perhitungan Trophic State Indek untuk Chloropil-a
TSI- SD adalah hasil perhitungan Trophic State Indek untuk kedalaman sechii disk

TSI-P
TSI-Cla

Chl-a

= 14,42 x (-1,77983) + 4,15 (g/l)


= 30,6 + 9,81 x (-0,47571) (g/l)

= -21,5152
= 25,9333

TSI-SD
= 60 14,41 x (5,025341)
Rata-rata TSI = (TSI-P + TSI-Cla + TSI-SD)
3

= -12,4
= -7,98186
3
= -2,660622 -2,66

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis terhadap sampel air Danau OPI Jakabaring yang nantinya digunakan
dalam perhitungan tingkat kesuburan perairan dari indeks TSI CARLSON adalah seperti pada
Tabel 1. Hasil analisis seperti yang tersaji dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa kisaran
konsentrasi maupun nilai hasil pengukuran baik di badan air danau menunjukkan kemiripan
seperti suhu perairan danau berkisar antara 28 29 oC merupakan kondisi yang umum
dijumpai diperairan tropis, dimana kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di
perairan berkisar antara 20 30oC (HASLAM 1995).
Konsentrasi oksigen terlarut antara 5,1 6,63 mg/L, kecuali pada Stasiun
B1,D3 konsentrasinya 4,5 dan 4,7 mg/L, kondisi ini kemungkinan diakibatkan pengaruh dari
aktivitas masyarakat seperti adanya kegiatan parawisata dan pemukiman penduduk. Berbeda
konsentrasi yang diperoleh dari pengukuran di badan air yang masuk ke danau, dimana
konsentrasi di Stasiun D1 dan D2 berturut-turut sebesar 4,3 mg/L kondisi ini diduga akibat
dari masuknya bahan pencemar yang berasal dari limbah domestik seperti sampah di sekitar
ke danau, sedangkan pada saat pengambilan sampel debitnya relatif kecil yaitu berturut-turut
0,028 dan 0,092 m3/dt sehingga kondisinya nyaris tergenang.
Atau nyaris dalam kondisi jenuh dimana konsentrasi oksigen di perairan dan yang ada
di atmosfer berada dalam kesetimbangan, sehingga tidak ada pertukaran oksigen secara difusi
(MACKERETH et al. 1989). Menurut Mc NEELY et al. (1979) konsentrasi oksigen terlarut
perairan tawar adalah 8 mg/L dan di perairan laut sebesar 7 mg/L pada suhu 25 0C, pada
umumnya konsentrasi oksigen terlarut di perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/L.
Konsentrasi oksigen terlarut yang masih baik tersebut dikarenakan kondisi lokasi sampling
masih bagus, tidak banyak pemukiman. Konsentrasi oksigen terlarut di badan air danau masih
dalam batas yang mendukung kehidupan akuatik (perikanan), menurut ketentuan
UNESCO/WHO/UNEP (1992) bahwa konsentrasi oksigen terlarut kurang dari 4 mg/L dapat
menimbulkan efek yang kurang menguntungkan bagi hampir semua organisme akuatik, jika
kadar oksigen terlarut yang kurang dari 2 mg/L dapat menyebabkan kematian ikan.
Hasil pengukuran parameter pH dan konduktivitas memiliki kemiripan pada perairan
danau maupun sungai dengan kisaran 4 dengan rata-rata 4,2 (pH), kondisi ini masih dalam

kisaran yang tidak normal pada perairan alami dimana sebagian besar biota akuatik sensitif
terhadap perubahan pH dan menyukai pH berkisar antara 7 8,5 (NOVOTNY & OLEM
1992). Sedangkan nilai konduktivitas berkisar 0,21 0,48 mS/cm dengan rata-rata 0,29
mS/cm. Air suling (aquades) memiliki nilai konduktivitas sekitar 1 S/cm, sedangkan
perairan alami sekitar 20 1500 S/cm (BOYD 1988).
Konsentrasi TP di Stasiun A1, A2, B1 dan B2 (Pupelo) tinggi yaitu 0,257 mg/L,
kondisi ini berkaitan dengan adanya masukan nutrien dari lingkungan sekitar danau,
Sedangkan konsentrasi klorofil-a diperoleh dari lokasi Stasiun A1 dan A2 yaitu berturut-turut
sebesar 2,142 mg/L. Tingginya konsentrasi di dua lokasi ini karena lokasi ini merupakan
daerah paling rendah sehingga kedua lokasi ini banyak menerima masukan beban nutrien dari
luar badan air danau. Konsentrasi -PO4 dan N-NH4 pada badan air sungai lebih tinggi
dibandingkan dengan konsentrasi o-PO4 dan N-NH4 di badan air danau, hal ini diperkirakan
karena parit-parit kecil yang nantinya masuk ke danau menampung beban limbah langsung
dari aktivitas masyarakat disekitarnya.
Hasil analisis parameter untuk mengetahui status trofik suatu perairan dengan
menggunakan rumus perhitungan TSI (CARLSON 1977) diperoleh kisaran nilai untuk setiap
parameter seperti ditunjukkan pada Tabel 1 dan kisaran sebaran tingkat kesuburan perairan
Danau OPI Jakabaring pada setiap stasiun sampling.
Secara umum, berdasarkan nilai TSI yang diperoleh kondisi perairan Danau OPI
Jakabaring pada bulan Januari 2013 termasuk ke dalam kelompok oligotrofik -2,66. Dimana
menurut CARLSON (1977), kelompok ini ditandai dengan kadar oksigen dan chlorofil
dan makrofit (tumbuhan air) yang padat, hal ini berkaitan dengan konsentrasi fosfor (P) di
perairan Danau OPI Jakabaring.
Metode Metabolisme perairan
Untuk menghitung NPP, Maka
*NPP = Oksigen pada jam 06.00 sore Oksigen pada jam 06.00 pagi
NPP = 4,7- 4,35
= 0,35
*Nilai O2 mg/L/Hari 12 jam
NPP = 2 x 0,35 = 0,7
*Nilai CO2/L/Hari. 1 mg O2 = 0,375 mg
NPP = 0,7 x 0,375 = 0.2625
Maka
0,2625 mg C/L/Hari

1 Ha : 104 m2
1 Tahun : 365 hari
Jadi

= 0,2625 x 104 x 365


= 95812,5 mg C/Ha/Th
= 95,812 C/ m2/Th

Berdasarkan kedalamannya sistem perairan menggenang dibagi menjadi beberapa zona:


Zona littoral
Bagian perairan dangkal dengan penetrasi cahaya matahari efektif menembus sampai
ke dasar perairan. Secara alami zona ini biasanya dihuni oleh tumbuh tumbuhan berakar
seperti Azolla pinnata, Marsilea crenata, Nymphaea, Ceratophylum, Myriophylum, Najas,
Vallisneria dan juga beberapa phytoplankton seperti Spirogyra, Zygnema, Navicula,
Pinnularia, Anabaena, Oedogonium, Hydrodictyon, Cladophora, Gloeotrica, Oscillatoria,
Rivularia dll.
Konsumen zona ini hampir mencakup semua filum hewan perairan seperti
kelompok gastropoda,
Crutacea,
Bivalvia,
Odonata,
Zygopthera,
Rotifera,
larva Chyronomidae,
Anellida,
Ephemeroptera,
larva diptera,
Isopoda,
Coleoptera penyelam, Hemiptera, Hydrophylidae, Haliplidae dan Corixidae. Beberapa
zooplankton yang sering ditemukan pada zona ini antara lain adalah beberapa Cladocera,
Copepoda, Ostracoda, Crustacea, Rotifera, Gyrinidae, Gerridaem dan Vellidae.
Zona limnetik
Zona perairan terbukan dan cahaya matahari menembus sampai dasar
perairan. Komunitas pada zona ini sebagian sama dengan zona littoral. Phytoplankton terdiri
dari Euglena, Dinoflagellata dan Volvox dan beberapa genera sama dengan pada zona littoral.
Pada bagian perairan yang dalam pada kondisi tertentu sering terjadi adanya perubahan dan
perbedaan suhu yang ekstrim. Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya turbulensi
(pergerakan arus aii ke atas) yang membantu phytoplankton tetap berada dipermukaan
perairan pada siang hari.

Zona profundal
Berupa zona yang sangat dalam dan gelap gulita, karena cahaya matahari efektif tidak sampai
pada zona ini. Komunitas biota terdiri dari saprotrof atau pengurai yang hidup dalam lumpur
dan terdiri dari bakteri dan jamur. Sumber makanan dan oksigen zona ini sangat tergantung
dari zona diatasnya.

A.
B.
C.
D.

1.

2.
3.

4.

Status trofik berdasarkan NPP pada Metabolisme Perairan


Oligotropik < 100 g C/m2/Th
Mesotropik 150 300 g C/m2/Th
Eutropik 301 500 g C/m2/Th
Hyper eutropik > 500 g C/m2/Th
Berdasarkan kekayaan unsur haranya (nutrien), danau digolongkan sebagai berikut :
Danau Oligotrofik adalah perairan yang miskin unsur hara dan produktivitas primer dan
biomassa rendah, kadar nitrogen & fosfor rendah serta danau yang memiliki konsentrasi
kehidupan tumbuhannya rendah. Air danau biasanya jernih.
Danau Mesotrofik adalah perairan yang memiliki unsur hara dan produktivitas primer dan
biomassa sedang serta danau yang airnya cukup jernih.
Danau Eutrofik adalah perairan kaya unsur hara dan prodktivitas tinggi, kecerahan rendah
dan oksigen pada lapisan hypolimnion sedikit. Danau yang kaya akan nutrien sehingga
tumbuhan tumbuh dengan baik dan kemungkinan terjadi ledakan populasi alga (alga bloom).
Danau Hiper-eutrofik adalah danau yang telah mengalami pengayaan nutrien dalam tingkat
yang sangat hebat. Air danau ini kurang jernih dan seringkali terjadi alga bloom.
Danau OPI Jakabaring tergolong danau oligotropik karena memiliki nilai NPP sebesar
95,812 C/ m2/Th artinya Danau OPI Jakabaring adalah danau oligotropik yang miskin unsur
hara dan produktivitas primer dan biomassa rendah, kadar nitrogen & fosfor rendah serta
danau yang memiliki konsentrasi kehidupan tumbuhannya rendah. Air danau biasanya jernih.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Danau OPI Jakabaring tergolong danau oligotropik karena memiliki nilai NPP sebesar
95,812 C/ m2/Th artinya Danau OPI Jakabaring adalah danau oligotropik yang miskin unsur
hara dan produktivitas primer dan biomassa rendah, kadar nitrogen & fosfor rendah serta
danau yang memiliki konsentrasi kehidupan tumbuhannya rendah. Air danau biasanya jernih.

2. Mengacu pada PP RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air bahwa perairan Danau OPI Jakabaring tergolong mutu air
kelas 1.
5.2 SARAN
Perlunya dilakukan penelitian lanjutan oleh Dinas Balai Budidaya Perairan Umum
Palembang dari sisi yang berbeda, misalnya menganalisis tingkat produktivitas perairan
Danau OPI Jakabaring.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1992, Standard Methods for the Examination of the Water and Waste Water7th Edition,
APA-AWWAWPCF: 1100 p.
Arfiati, Diana. 2009. Strategi Peningkatan Kualitas Sumberdaya pada Ekosistem Perairan Tawar.
Universitas Brawijaya : Malang
Asmawi, Suhaili. 1986. Pemeliharaan Ikan Dalam Keramba. Penerbit PT. Gramedia: Jakarta
Carlson, R.E., 1977, A Ttrophic State Index for Lakes, Limnology and Oceanography, 22(2):361-369.
Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius: Yogyakarta

Effendi. 2003. Pengaruh Factor Biotik-Abiotik Organism Danau. Online.http://id.shvoong.com/exactsciences/earth-sciences/2074023 pengukuran-parameter-kualitas-dengan-bentos. Diakses 23
Januari 2013.

Irwan. 1992. Ekosistem Perairan. Online.http://rainadpa.blogspot.com/2010/01/pola-longitudinalekosistem-sungai.html. Diakses 23 Januari 2013.


Kembarawati.
2000. Penentuan
Faktor
Biotik-abiotik
lingkungan
perairan. Online. http://id.shvoong.com/exact-sciences/biology/2149486-ekosistem-faktorbiotik-dan-faktor. Diakses 23 Januari 2013
Purba, Michael. Sains Kimia .1994.Erlangga. Jakarta
Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. 4rd ed. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Suwigyo, Sugiarti. Widigdo, Bambang. Wardiatno, Yusli.
2005
Avertebrata Air. 1st ed. Penebar Swadaya. Jakarta

dan

Krisanti,

Majariana.

Makalah Hutan Rawa Gambut 6E

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Konsep Ekosistem Hutan Rawa Gambut


1.1.1

Defnisi Ekosistem
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan
timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Soemarwoto, 1983).
Tingkatan organisasi ini dikatakan sebagai suatu sistem karena memiliki

komponen-komponen dengan fungsi berbeda yang terkoordinasi secara baik


sehingga masing-masing komponen terjadi hubungan timbal balik. Hubungan
timbal balik terwujudkan dalam rantai makanan dan jaring makanan yang pada
setiap proses ini terjadi aliran tenaga dan materi.
Setiap
ekosistem
memiliki
enam
komponen
yaitu
produsen,
makrokonsumen, mikrokonsumen, bahan anorganik, bahan organik, dan kisaran
iklim. Perbedaan antar ekosistem hanya pada unsur-unsur penyusun masingmasing komponen tersebut. Masing-masing komponen ekosistem mempunyai
peranan dan mereka saling terkait dalam melaksanakan proses-proses dalam
ekosistem. Proses-proses dalam ekosistem meliputi aliran energi, rantai
makanan, pola keanekaragaman, siklus materi, perkembangan, dan
pengendalian (Elfs, 2010).
Ekosistem rnampu mengendalikan dirinya sendiri dan mampu menangkal
setiap gangguan terhadapnya. Kemampuan ini disebut homeostasis. Tetapi
kemampuan ini ada batasnya, bilamana batas kemampuan tersebut dilampaui,
ekosistem akan mengalami gangguan. Pencemaran lingkungan merupakan salah
satu bentuk gangguan ekosistem akibat terlampauinya kemampuan homeostasis
(Elfs, 2010).

1.1.2

Defnisi Hutan
Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat besar peranannya bagi
kepentingan hidup manusia dan lingkungan hidup. Berdasarkan pola
pemanfaatan lahan dari hasil rembugan Tata Guna Hutan Kesepakatan , tercatat
bahwa jumlah luas hutan di Indonesia adalah 143.970.615 ha, yang terdiri dari
hutan tetap 113.433.215 ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi
30.537.400 ha. Berdasarkan fungsinya, hutan tetap terdiri dari hutan lindung
seluas 30.316.100 ha, hutan suaka alam dan hutan wisata 18.725.215 ha, hutan
produksi terbatas 30.525.300 ha dan hutan produksi tetap 33.886.600 ha
(Dephut, 2004).
Berfokus pada pemanfaatan hutan produksi di hutan tetap pada mulanya
eksploitasi hutan melalui kegiatan pembalakan (logging) dimulai dari hutan yang
berpotensi tinggi pada lapangan bertopograf relatif ringan yang secara ekologis

tidak mudah terganggu keberadaanya. Akan tetapi karena tekanan permintaan


akan hasil hutan terus meningkat, maka kegiatan pembalakan dewasa ini sudah
mencapai tempat-tempat yang jauh dan sulit medannya, bahkan pada areal
dengan katagori hutan produksi terbatas (Dephut, 1998).
Peranan faktor lingkungan erat hubungannya dengan tindakan manusia
terhadap keseimbangan ekosistem sumber daya hutan. Gangguan berupa
eksploitasi hutan adalah gangguan yang cukup drastis terhadap keseimbangan
ekosistem hutan terutama di tempat-tempat yang ekologisnya rawan (Sist dan
Bertault, 1998; Shariff dan Miller, 1991; Soerianegera, 1992).
Akan tetapi di sisi lain, pemanfaatan hutan yang optimal juga penting untuk
pemenuhan kebutuhan masyarakat akan hasil hutan yang makin besar. Dengan
demikian, gangguan kegiatan eksploitasi terhadap ekosistem sumber daya hutan
masih dapat diperkenankan, asalkan terbatas pada intensitas dimana batas daya
dukung sumber daya hutan belum terlampaui. Batas-batas tersebut berupa
batas toleransi perubahan faktor-faktor lingkungan hutan yang masih
mencerminkan keseimbangan dinamis dari ekosistem sumber daya hutan.
Bertolak dari bagan sederhana tersebut, diperoleh gambaran bahwa
gangguan pada salah satu unsur ekosistem akan mengakibatkan gangguan pula
pada unsur lainnya karena adanya hubungan timbal balik diantara ketiga unsur
ekosistem tersebut. Gangguan terhadap lingkungan hutan dapat terjadi karena
adanya aplikasi satu atau lebih gatra pembalakan yang menyebabkan
kemampuan areal tersebut untuk berproduksi atau beregenerasi menjadi turun
atau hilang sama sekali. Gangguan tersebut dapat berupa menurunnya populasi
dan keanekaragaman jenis vegetasi dan satwa, berubahnya aliran mantap
(water yield) dan kualitas air, berubahnya kesuburan dan sifat fsik tanah serta
berubahnya iklim mikro sehingga menyebabkan ekosistem hutan berubah.
Perubahan ini sesuai dengan prinsip alam lingkungan holocoeonetik, yaitu bila
suatu faktor lingkungan berubah, maka perubahan ini akan mempengaruhi
faktor-faktor lainnya (Wenger, 1984; Soerianegara dan Indrawan, 1984;
Indrawan, 2000).
Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai
pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan dan pemeliharaan
tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya
(Dephut, 1998). Sistem silvikultur pada hakekatnya merupakan program
perlakuan untuk seluruh rotasi. Batasan ini membantu menjamin beberapa
keseragaman dan kontinuitas jangka panjang dari perlakuan yang diterapkan.
Berdasarkan hal tersebut, perhatian harus difokuskan pada langkah genting
(crucial step) dari regenerasi tegakan, oleh adanya pengertian yang keliru bahwa
sistem silvikultur adalah sama dengan metode penebangan regenerasi hutan

yang dapat menyebabkan tegakan menjadi hilang karenanya (Soerianegara dan


Indrawan, 1984; Dephut, 1998; Sist dan Bertault, 1998).
Perkembangan sistem silvikultur di Indonesia masih terus berlangsung
setelah Direktorat Jenderal Kehutanan berubah statusnya menjadi Departemen
Kehutanan pada tahun 1983. Dalam rangka penyempurnaan sistem silvikultur
untuk pengusahaan hutan produksi alam di Indonesia, sesuai dengan buku
Rencana Pengembangan Tahun Kelima (REPELITA V) 1989/1990 1993/1994,
Menteri Kehutanan telah mengeluarkan keputusan Nomor 485/Kpts/II/1989
tanggal 18 September 1989 tentang sistem silvikultur Pengelolaan Hutan
Produksi Alam di Indonesia. Dalam keputusan tersebut telah ditetapkan antara
lain bahwa pengelolaan hutan produksi alam dapat dilakukan dengan sistem
silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Habis dengan Permudaan
alami Alam (THPA) dan Tebang Habis dengan Permudaan alami Buatan (THPB)
(Dephut, 1998). Pelaksanaan sistim silvikultur TPTI di hutan rawa gambut
didasarkan pada Surat Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts/IVBPHH/1989. Penetapan sistim silvikultur TPTI yang ada harus diselaraskan
dengan tipe hutan yang bersangkutan. Hutan rawa gambut seperti halnya tipetipe hutan lainnya (kecuali hutan mangrove yang berstatus hutan produksi)
pengelolaannya masih berpedoman pada sistim silvikultur TPTI yang selama ini
diterapkan untuk hutan tanah darat/kering. Mengingat kondisi ekologisnya
berbeda maka perlu dibuat sistim silvikultur tersendiri (Sutisna, 1985;
Soerianegera dan Indrawan, 1984; Sist dan Bertault, 1998).
Penebangan hutan alam dengan sistem silvikultur TPTI jelas akan
menurunkan kelimpahan dan keragaman jenis dalam hutan alam sampai dalam
bentuk perubahan struktur, bentuk komunitas flora-fauna dan berakhir pada
gangguan terhadap ekosistem (Soenarno, 1996). Pada hutan alam, 50
cmpenebangan dengan sistim TPTI pada pohon-pohon yang berdiameter akan
berpengaruh
pada
struktur
tegakan
dan
komposisi
yang
meliputi
keanekaragaman jenis, indek kesamaan komunitas, kerapatan, frekuensi dan
dominasi. Struktur dan komposisi hutan sebelum ditebang akan mempengaruhi
struktur dan komposisi hutan bekas tebangan, makin banyak jumlah jenis pohon
yang hilang berarti tidak menguntungkan pada kelestarian jumlah jenis
tumbuhan di hutan alam (Soenarno, 1996; Indrawan, 2000; Siregar et al., 2000).

1.1.3

Defnisi Rawa Gambut


Menurut Noor, (2004), rawa adalah kawasan sepanjang pantai, aliran sungai,
danau atau lebak yang menjorok masuk kepedalaman sampai sekitas 100 km
atau sejauh dirasakanya pengaruh gerakan pasang. Jadi, lahan rawa dapat

dikatakan sebagai lahan yang mendapatkan pengaruh pasang surut air laut atau
sungai sekitarnya. Pada saat musim hujan lahan tergenang sampai satu
meter,tetapi pada musim kemarau menjadi kering bahkan sebagai muka air
tanah turun mencapai jeluk < 50 cm.
Dalam pengertian yang lebih luas rawa digolongkan sebagai lahan basah
atau lahan bawahan, tetapi tidak berarti bahwa lahan basah atau lahan bawahan
hanya rawa. Menurut konvensi Ramsar (1971) dalam Noor (2004) yang dimaksud
dengan lahan basah adalah daerah rawa, paya, gambut, atau badan perairan
lainnya, baik alami maupun buatan, yang airnya mengalir atau tergenang,
bersifat tawar, payau atau salin, termasuk kawasan laut yang mempunyai jeluk
air pada saat surut terendah tidak lebih dari 6 m. Jadi, batasan konvensi Ramsar
ini persawahan (irigasi), waduk, dan tambak termasuk lahan basah sehingga
pengelolaan yang terkait dengan pemanfaatan lahan sulfat masam untuk
keperluan pertanian, perikanan dapat mengacu pada pengertian dalam konteks
pengelolaan bahan basah.

1.1.4

Ekosistem Hutan Rawa Gambut


Ekosistem hutan rawa gambut merupakan ekosistem yang telah mantap
sebagai hasil saling tindak antara komponen biotik dan lingkunganya dalam
kurun waktu sangat lama. Pemanenan hutan gambut yang berlebihan dapat
menggangu atau bahkan mengubah ekosistem itu, sehingga terjadi perubahan
kearah keseimbangan baru.selam menuju proses keseimbangan baru itu akan
mengubah fungsi manfaat bagi manusia.
Menurut Indriyanto (2005), hutan gambut didefnisikan sebagai hutan
yang terdapat pada daerah bergambut ialah daerah yang digenangi air tawar
dalam keadaan asam dan di dalamnya terdapat penumpukan bahan bahan
tanaman yang telah mati. Ekosistem hutan gambut merupakan suatu tipe
ekosistem hutan yang cukup unik karena tumbuh di atas tumpukan bahan
organik yang melimpah.
Namun demikian, hutan rawa gambut merupakan suatu ekosistem yang
rentan dalam artian bahwa hutan ini sangat mudah terganggu atau rusak dan
sangat sulit untuk dapat kembali lagi seperti kondisi awalnya.Menyadari hal
tersebut, maka perlu sekali diusahakan upaya-upaya pencegahan atas segala
kemungkinan yang menyebabkan rusaknya hutan ini.

Gambar 1:

(Arsip 6E,

2014 )

1.2.Faktor Edaphis Dan Klimatologis Ekosistem Hutan Rawa Gambut


1.2.1.

Faktor Edaphis Ekosistem Hutan Rawa Gambut


Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik
dengan ketebalan bahan organik lebih dari 45 cm ataupun terdapat secara
berlapis bersama tanah mineral pada ketebalan penampang 80 cm serta
mempunyai tebal lapisan bahan organik lebih dari 50 cm (Suhardjo, 1983). Tanah
gambut tersebut pada umumnya mengandung lebih dari 60 % bahan organik
(Driessen, 1977). Tanah gambut atau tanah organik dimaksud dikenal juga
sebagai tanah organosol atau histosol (Suhardjo, 1983).
Berdasarkan kandungan bahan organik, dikenal dua golongan tanah yaitu
tanah mineral yang mengandung bahan organik berkisar antara 15 % sampai
dengan 20 % dan tanah organik yang mengandung bahan organik berkisar
antara 20 % sampai dengan 25 % bahkan kadang-kadang sampai 90 %
mengandung bahan organik (Buckman dan Brady, 1982).
Asian Wetland Beraue dan Ditjen PHPA (1993) dalam Koesmawadi (1996)
mengemukakan bahwa hutan rawa gambut merupakan statu ekosistem yang
unik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (a) selalu tergenang air, (b) komposisi
jenis pon beraneka ragam, mulai dari tegakan sejenis seperti jenis Calophyllum
inophyllum Mix. Sampai tegakan campuran, (c) terdapat lapisan gambut pada
lantai hutan, (d) mempunyai perakaran yang khas, dan (e) dapat tumbuh pada
tanah yang bersifat masam.
Menurut sistem kalsifkasi taksonomi tanah (USDA, 1975) tanah gambut
termasuk kedalam ordo histosol, yaitu tanah dengan kandungan bahan organik
lebih dari 20 % tekstur pasir atau lebih dari 30 % tekstur liat. Lapisan yang
mengandung bahan organik tinggi tersebut tebalnya lebih dari 40 cm. Menurut
sistem klasifkasi tersebut, ordo histosol berdasarkan bahan asal dan tingkat

perombakannya dibedakan menjadi empat sub-ordo, yaitu folist, fbrist, hemist


dan saprist. Sub-ordo tersebut berdasarkan kandungan atau ketebalan bahan
penciri dan temperaturnya dibedakan menjadi beberapa kelompok besar. Untuk
daerah tropika nama-nama kelompok besar antara lain : tropofolist, tropofbrist,
tropohemist dan troposaprist.
Kualitas tanah gambut sangat tergantung pada vegetasi yang
menghasilkan bahan organik pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang
berada di dawahnya, faktor lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan
proses pembentukan tanahnya. Vegetasi bahan pembentuk tanah gambut
dipengaruhi oleh keadaan iklim, kualitas dan tata air tempat pembentukannya.
Di daerah dataran tinggi dengan suhu yang dingin bahan organik yang terbentuk
lebih halus dan mudah melapuk daripada di dataran rendah atau pantai.
Vegetasi rawa atau air semula berupa rumput-rumputan yang membentuk bahan
organik lebih dahulu di lapisan bawah, untuk kemudian ditimbun oleh bahan
vegetasi yang lebih besar di atasnya. Oleh karena itu, tanah gambut mempunyai
lapisan-lapisan dengan perbedaan kualitas karena vegetasi yang memberikan
bahan organik berbeda (Suhardjo, 1983).
Susunan kimia dan kesuburan tanah gambut ditentukan oleh ketebalan
lapisan gambut dan tingkat kematangan lapisan-lapisannya, keadaan tanah
mineral di bawah lapisan gambut serta kualitas air sungai atau air pasang yang
mempengaruhi lahan gambut dalam proses pembentukan dan pematangannya
(Adhi, 1986). Sifat kimia tanah gambut dicirikan dengan nilai pH dan
ketersediaan unsur nitrogen, fosfor dan kalium rendah, kejenuhan kalsium dan
magnesium yang rendah, diikuti dengan pertukaran Al, Fe yang cukup tinggi
sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Hakim, 1986). Gambut
yang dipengaruhi air sungai, payau atau air laut lebih kaya unsur hara
dibandingkan dengan gambut yang hanya tergantung air hujan saja. Kualitas air
mempengaruhi kesuburan gambut yang terbentuk. Sedangkan tingkat kesuburan
tanah gambut ditentukan oleh kandungan N, K2O, P2O5, CaO dan kadar abu.
Semakin tinggi nilai-nilai tersebut semakin tinggi kesuburannya (Fleischer dalam
Supraptohardjo, 1974).
Menurut Hakim (1986) berdasarkan nilai-nilai tersebut menggolongkan
kesuburan tanah gambut menjadi tiga yaitu :
(1) Gambut eutropik yang subur
(2) Gambut mesotropik dengan kesuburan sedang
(3) Gambut oligotropik dengan kesuburan rendah

Tabel 1. Kriteria Penilaian Kesuburan Tanah Menurut Pusat Penelitian Tanah


(Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1993)

Ciri-ciri
tanah

Tingkatan
Sangat
rendah

Sangat
tinggi

Rendah

Sedang

Tinggi

< 1,00

1,002,00

2,013,00

3,015,00

>5,00

< 0,10

0,100,20

0,210,50

0,510,75

>0,75

<0,80

0,802,50

>2,50

5-10

11-15

16-25

>25

P2O5 Bray <10


1 (ppm)

10-15

16-25

26-35

>35

K
(me/100g)

<0,10

0,100,20

0,300,50

0,601,00

>1,00

Na
(me/100g)

< 0,10

0,100,30

0,400,70

0,801,00

>1,00

Mg
(me/100g)

<0,40

0,401,00

1,102,00

2,108,00

>8,0

Ca
(me/100g)

<2

2-5

6-10

11-20

>20

KTK
(me/100g)

<5

5-16

17-24

25-40

>40

Kejenuhan
basa (%)

<20

20-35

36-50

51-70

>70

<5

5-10

>10

C-organik
(%)
N-total (%)
a.

Mineral

b.

Gambut

Rasio C/N

<5

Kadar abu
(%)
Sangat
masam

Masa
m

Agak
masam

Netral

Agak
alkalis

Alkali
s

<4,5

4,55,5

5,6-6,5

6,67,5

7,6-8,5

>8,5

pH (H2O)
a.

Mineral

Sangatmasam

Sedang

Tinggi

<4,0

4-5

>5

pH (H2O)
b.

Gambut

Tabel 2. Kisaran Nilai dan Tingkat Penilaian Analisis Agregat Kimia Tanah Hutan
Rawa Gambut di Kecamatan Sungai Mandau Kabupaten Siak

Kedalaman lapisan contoh


Sifat
tanah

kimia 0-30

pH
Gambut

(H2O) 3,2-4,2

30-60

Nilai

Peringkat

Nilai

Peringka
t

SM

3,0-4,1

SM

C-organik (%)

22,2642,31

ST

19,2845,56

ST

N-total (%)

0,68-1,35

SR-S

0,38-0,93

SR-S

13,0-16,5

P2O5 Bray
(ppm)

1 13,5-13,6

Ca (me/100g)

2,01-7,21

R-S

1,37-2,69

SR-R

Mg (me/100g)

1,12-1,55

0,91-1,41

R-S

K (me/100g)

0,30-1,44

S-ST

0,44-0,72

S-T

Na (me/100g)

0,98-2,62

T-ST

0,98-1,73

T-ST

Total
Basa 7,19-10,04
(me/100g)
KTK (me/100g)

68,5-151,6

5,02-5,23
ST

67,5177,8

ST

Kejenuhan basa 4,7-14,7


(%)

SR

2,9-7,4

SR

Kadar abu (%)

ST

21,6466,83

ST

22,0661,71

Kadar
Air 181,6Lapang (%)
524,6

183,4453,3

Kadar Air Tanah 127,6(%)


336,9

89,2302,2

Keterangan :
SM = Sangat Masam
ST = Sangat Tinggi
rendah

T = Tinggi
S = Sedang

R = Rendah
SR = Sangat

Catatan : Diolah dari data analisis agregrat tanah oleh Laboratorium Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Riau

1.1.5

Faktor Klimatologis Ekosistem Hutan Rawa Gambut


Iklim adalah sintesis hasil pengamatan cuaca untuk memperoleh deskripsi
secara statistik mengenai keadaan atmosfer pada daerah yang sangat luas
(Barry, 1981 dalam Wenger, 1984). Berdasarkan batasan ruang dimana nilai-nilai
yang ada masih berlaku, maka iklim dibedakan kedalam iklim makro dan iklim
mikro.
Menurut Soerianegara dan Indrawan (1984) iklim makro adalah iklim yang nilainilainya berlaku untuk daerah yang luas, sedangkan iklim mikro hanya berlaku
untuk tempat atau ruang yang terbatas. Dikemukakan lebih lanjut bahwa iklim
makro dipergunakan untuk menentapkan tipe iklim, zona iklim, zona vegetasi
dan sebagainya, sedangkan iklim mikro berhubungan dengan habitat atau
lingkungan mikro. Menurut Kramer dan Kozlowski (1960) dalam Idris (1996),
faktor-faktor iklim yang penting bagi hidup dari pertumbuhan individu dan
masyarakat tumbuh-tumbuhan adalah cahaya, suhu, curah hujan, kelembaban
udara, gas udara dan angin.
Lingkungan radiasi di dalam sebuah hutan berbeda dengan daerah tidak
berhutan karena permukaan yang mengabsorbsi di dalam hutan umumnya
berbeda di atas tanah dengan jarak yang terlihat nyata. Pada kebanyakan tajuk,
permukaan aktif yaitu permukaan yang terbanyak menerima radiasi matahari
datang adalah lapisan vegetasi yang berada di atas, yaitu lapisan dengan tingkat
kerapatan daun maksimum. Lapisan ini mengintersepsi dan mengabsorbsi
radiasi matahari dan gerakan angin terbanyak dari udara di atasnya. Apabila
tajuk menjadi relatif lebih terbuka maka radiasi matahari dan angin akan masuk
lebih dalam ke dalam tajuk Nguyen and Sist. 1998; Noor dan Smith, 1987;
Sukadaryati et al., 2002).
Pada daerah terbuka permukaan aktif adalah bagian atas dari lapisan
serasah/humus, atau apabila tidak ada serasah maka permukaan aktif adalah
permukaan tanah. Pada daerah bekas pembalakan, permukaan itu adalah
permukaan tanah dan vegetasi yang tersisa. Kerapatan batang dan penutupan
tajuk menentukan bagian dari radiasi yang dapat mencapai lantai hutan (Grates,
1980 dalam Wenger, 1984). Jumlah cahaya yang mencapai lantai hutan
mengendalikan suhu tanah yang akan berpengaruh terhadap reproduksi dan
vegetasi bawah. Energi pancaran (radiasi) adalah energi yang berpindah dalam
bentuk gelombang elektromagnetik.
Menurut de Rozari (1987) suhu udara di dekat permukaan mempunyai arti
penting bagi kehidupan oleh karena selain kebanyakan bentuk kehidupan
terdapat di permukaan, juga ada kaitan erat antara beberapa proses kehidupan
dengan suhu. Dari segi biologi, profl suhu udara penting untuk diketahui karena
adanya perbedaan yang tajam antara suhu permukaan dengan udara di atasnya,

menyebabkan sebagaian organisme hidup berada seketika pada dua rejim suhu
yang sangat berlainan. Sebuah kecambah yang baru muncul, memperoleh
cekaman bahang luar biasa dibandingkan dengan cekaman yang akan
dialaminya kemudian.
Dalam sebuah hutan, suhu udara maksimum biasanya lebih rendah dan suhu
minimum lebih tinggi daripada di daerah yang terbuka. Selama siang hari, daundaun dalam tajuk menghalang-halangi masuknya radiasi matahari ke lantai
hutan. Suhu di dalam tajuk dipertahankan melalui transpirasi dari daun-daun.
Pengaruh ini mencegah suhu pada siang hari meningkat secara cepat; dengan
demikian ruangan di bawah tajuk lebih dingin daripada daerah terbuka selama
siang hari. Pada malam hari tajuk pohon mencegah kehilangan panas yang cepat
dari lapisan batang melalui radiasi ke angkasa. Oleh karena itu, suhu udara tetap
lebih tinggi dibadingkan dengan di luar hutan (Gates, 1980 dalam Wenger,
1984).
Menurut Wenger (1984) dan Sukadaryati et al., (2002) suhu maksimum di
dalam hutan adalah berada di bagian atas tajuk. Di bawah lapisan ini, suhu
biasanya tetap sampai ke lantai hutan, bahkan sedikit berkurang jika tajuknya
rapat. Apabila tajuk hutan jarang, suhu udara dekat lantai hutan dapat menjadi
lebih panas ketimbang suhu udara di dalam tajuk. Pada malam hari puncak tajuk
menjadi lebih dingin, yang mengakibatkan inversi sehingga dapat menjerat
debu, asap dan CO2 di dalam dan di bawah tajuk. Pada tajuk yang jarang, udara
yang dingin dapat turun dan berkumpul di atas permukaan lantai hutan.
Jumlah air atau uap air di udara berpengaruh secara langsung terhadap
tumbuhan sebagai cekaman lingkungan. Udara kering yang menyebabkan
pengeringan tanah yang sangat cepat dan transpirasi tanaman yang luar biasa
berpengaruh buruk terhadap tanaman itu sendiri. Kandungan air yang terlalu
banyak diudara menghalang-halangi pendinginan daun melalui evaporasi dan
dapat mengakibatkan cekaman suhu (thermal stress) (Gates, 1980 dalam
Wenger, 1984).
Kelembaban relatif sangat dipengaruhi oleh suhu. Perubahan suhu harian
mengakibatkan adanya variasi harian dari kelembaban nisbi. Jika suhu
meningkat selama jam-jam siang hari, maka kelembaban nisbi akan berkurang
sampai mencapai nilai terendah dekat tengah sore hari. Bilamana kelembaban
nisbi meningkat sampai mencapai nilai terttingginya sesaat sebelum matahari
terbut, maka pada saat itu suhu mencapai nilai terendah. Umumnya kelembaban
di dalam sebuah hutan adalah lebih tinggi daripada tempat terbuka dikarenakan
adanya transpirasi dari daun-daun dan suhu yang rendah. Selama siang hari,
tanah lantai hutan dan tajuk merupakan sumber kandungan air. Oleh karena itu
kelembaban nisbi selama siang hari adalah tertinggi di dekat tanah lantai hutan,

lebih rendah pada lapisan batang dan lebih tinggi dari daerah tajuk. Fenomena
ini disajikan Gates, (1980 dalam Wenger, 1984).
Kelembaban relatif hutan gambut cukup tinggi pada musim hujan, yakni
berkisar 90 % - 96 %, baik dalam hutan alami maupun hutan gundul atau lahan
kosong. Pada musim kemarau, kelembaban menurun menjadi 80 %, dan pada
bulan-bulan kering berkisar 0 % - 84 % Pada siang hari di muism kemarau,
kelembaban dapat mencapai 67 % - 69 %. Tetapi pada pai hari, kelembaban
pada musim kemarau lebih tinggi daripada musim hujan, yaitu dapat mencapai
90 % - 96 % (Rieley, et al., 1996).
Selanjutnya Wenger (1984) menyatakan bahwa kebanyakan tajuk-tajuk
hutan memang ada sedikit peningkatan kecepatan angin yang relatif di lapisan
batang pohon. Akan tetapi untuk kebanyakan tujuan praktis kecepatan angin di
lapisan tersebut, yaitu di bawah bagian paling rapat dari tajuk dianggap konstan
menurut ketinggian.
Buckman dan Brady (1982) mengemukakan, bahwa perubahan kimia dan
terutama biologi di dalam tanah, tidak akan berlangsung dengan cukup intensif
jika suhu tertentu tidak dipertahankan. Oleh karena itu, suhu tanah merupakan
faktor yang sangat penting. Lebih lanjut dikemukakan, bahwa efek suhu juga
bertanggung jawab terhadap pelapukan fsik yang terjadi di dalam tanah.
Pendinginan dan pemanasan yang berganti-ganti menimbulkan tekanan pada
agregat dan bongkah tanah yang akibatnya mengubah keadaan fsik tanah. Suhu
tanah yang sangat mempengaruhi aktivitas biotis awal dan pertumbuhan pohon
paling sedikit tergantung kepada tiga faktor, yaitu (1) jumlah bersih panas yang
diadsorbsi, (2) energi panas yang diperlukan yang membawa perubahan pada
suhu tanah dan (3) energi panas yang dibutuhkan untuk perubahan lain seperti
evaporasi (Buckman dan Bardy, 1982).
Menurut Gates (1980) dalam Wanger (1984), jumlah panas yang diadsorbsi oleh
tanah ditentukan oleh banyaknya radiasi matahari efektif yang mencapai bumi
dan faktor-faktor setempat seperti warna tanah, kemiringan dan vegetasi
penutup yang mengubah jumlah bersih panas yang masuk.
Dubenmire (1974) menyatakan bawa warna permukaan tanah
mempengaruhi jumlah radiasi yang dapat diadsorbsi dan mengatur jumlah panas
yang disimpan dan diradiasikan kembali ke atmosfr.
Menurut Noor (2001) suhu gambut sendiri lebih besar daripada suhu udara
antara hutan dan lahan kosong. Suhu permukaan gambut hampir tetap. Jika
keadaan tertutup hutan, suhu gambut berkisar 25,5 0C 29,0 0C dan jika
keadaan terbuka berkisar 40,0 0C 42,5 0C. Suhu yang tinggi pada keadaan
terbuka akan merangsang aktivitas mikro organisme sehingga perombakan
gambut lebih dipercepat dan intensif, sehingga mempercepat terjadinya

degradasi gambut, Oleh karena ruang gerak kehidupan tumbuh-tumbuhan dan


mahkluk lainnya terdapat di lapisan terbawah atmosfr, di dekat tanah, maka
apabila perhatian difokuskan iklim sebagai salah satu unsur ekosistem sumber
daya hutan, yang lebih sangat berkaitan untuk dikaji dalam konteks ini adalah
iklim mikro.
de Rozari (1987) menyatakan, iklim mikro sebagai keadaan udara dalam
zona yang dibatasi di bagian atas oleh arus yang dicapai tanaman tertinggi dan
di bagian bawah oleh tanah atau bagian terbawah dari tanah yang masih bisa
dicapai oleh infltrasi udara. Lebih lanjut dikemukakan bahwa lapisan terbawah
dari atmosfr ini penting karena pada lapisan inilah kebanyakan parameter cuaca
mengalami perubahan yang mencolok dalam satu kurun waktu.
Menurut Marsono dan Sastrosumarto (1981) dengan terbukanya tajuk dan
terjadinya kerusakan mekanis pada tumbuhan dan tanah hutan akibat kegiatan
penebangan dan penyaradan maka berubah pula iklim mikro hutan. Intensitas
cahaya, kelembaban, suhu, angin dan parameter iklim mikro lainnya adalah
faktor-faktor yang berubah akibat penebangan dan penyaradan. Perubahan iklim
mikro ini penting untuk dipantau karena akan mempengaruhi sebaran jenis lokal.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa kendatipun begitu banyak faktor lingkungan
yang berubah akibat penebangan dan penyaradan, namun ternyata hanya
intensitas cahaya, suhu udara dan kelembaban sajalah yang sangat nyata
menentukan pertumbuhan tingkat semai. Tingkat semai adalah yang pertama
kali yang menderita dengan adanya perubahan iklim mikro akibat pembukaan
hutan. Secara umum dapat dikatakan bahwa dengan adanya pembukaan hutan
intensitas cahaya yang mencapai lantai hutan akan meningkat, suhu udara dan
tanah meningkat dan kelembaban udara berkurang.
Peranan suhu yang penting dalam pertumbuhan pohon atau vegetasi
adalah suhu udara dan suhu tanah. Suhu pada tajuk pohon akan mempengaruhi
pertumbuhan karena suhu mempengaruhi kecepatan respirasi dan transpirasi.
Sedangkan meningkatnya suhu tanah dapat mematikan aktiftas metabolisme
(Spurr dan Barnes, 1980). Menurut Smith (1983) pada hutan tropis suhu
permukaan C karena sinar matahari tertahan olehtanah hampir tetap yaitu 27
vegetasi, sehingga hampir sama dengan suhu udara.
Sanchez dalam Bismark (1990) mengatakan bahwa bila pohon di hutan
banyak ditebang, C. Karena radiasi yangmaka suhu permukaan tanah dapat
meningkat 7 - 11 diberikan pada permukaan lebih tinggi. Secara tioritis suhu
yang meningkat di bawah tegakan akibat penebangan dan penyaradan memberi
petunjuk bahwa kelembabannya menurun.

Klimatologis Ekosistem Hutan Rawa Gambut Kecamatan Sungai Mandau


Pengukuran Iklim Periode April-Desember 2012 dan Januari- Maret 2013

Berdasarkan rekapitulasi data klimatologis sekunder CSR PT. Arara Abadi/Sinar


Mas
Tabel 3. Rata-rata intensitas radiasi matahari (Watt/m 2)
N
o

Bulan

Radiasi harian (Watt/m2)


9.00

10.00

11.00

12.00

13.00

14.00

15.00

April

76,27
92

67,99
21

99,02
76

104,7
974

116,9
920

112,99
92

112,9
992

Mei

200,0
469

174,9
276

176,9
499

117,4
492

174,2
446

169,07
70

169,0
770

Juni

179,0
429

194,0
762

192,1
641

124,2
261

127,9
464

127,94
21

127,9
421

Juli

99,97
21

112,7
721

124,6
421

142,6
429

124,7
627

122,76
24

122,7
624

Agustu
s

91,99
70

99,99
74

104,0
140

116,1
072

117,4
104

121,02
94

121,0
294

Septe
mber

74,76
62

79,24
97

99,77
24

110,4
491

119,7
776

117,97
77

117,9
777

Oktobe
r

76,27
92

67,99
21

99,02
76

104,7
974

116,9
920

112,99
92

112,9
992

Novem
ber

47,79
99

74,74
71

72,99
92

92,92
11

101,9
924

99,994
4

99,99
44

Desem
ber

91,99
70

99,99
74

104,0
140

116,1
072

117,4
104

121,02
94

121,0
294

1
0

Januari

74,76
62

79,24
97

99,77
24

110,4
491

119,7
776

117,99
777

117,9
777

1
1

Februar
i

76,27
92

67,99
21

99,02
76

104,7
974

116,9
920

112,99
92

112,9
992

1
2

Maret

47,79
99

74,74
71

72,99
92

92,92
11

101,9
924

99,994
4

99,99
44

Tabel
4.
Rata-rata
suhu udara
(oC)

Suhu udara harian (oC)

N
o

Bulan

9.00

10.00

11.0
0

12.0
0

13.00

14.0
0

15.00

April

25,7

29,6

31,6

31,5

31,9

31,7

29,7

Mei

28,3

29,7

31,5

29,7

29,1

31,9

31,9

Juni

29,2

31,4

29,6

31,6

31,3

29,7

29,2

Juli

29,4

31,9

29,9

31,5

31,4

31,1

29,7

Agustus

29,5

29,1

31,9

31,6

31,2

29,8

31,8

Septemb
er

28,7

29,8

31,7

31,4

29,9

29,3

31,6

Oktober

28,4

29,3

31,7

31,2

29,7

29,2

31,3

Novemb
er

28,1

29,2

31,4

29,6

29,1

31,5

29,9

Desemb
er

29,5

29,1

31,9

31,6

31,2

29,8

31,8

10

Januari

28,7

29,8

31,7

31,4

29,9

29,3

31,6

11

Februari

28,4

29,3

31,7

31,2

29,7

29,2

31,3

12

Maret

28,1

29,2

31,4

29,6

29,1

31,5

29,9

Tabel 5. Rata-rata kelembaban udara (%)


Kelembaban udara harian (%)
No

Bulan

9.00

10.0
0

11.0
0

12.00

13.0
0

14.0
0

15.00

April

86

84

81

84

86

85

85

Mei

75

71

69

73

89

69

69

Juni

79

78

75

69

69

75

76

Juli

78

76

75

71

71

69

69

Agustus

87

81

80

75

76

76

75

Septembe
r

80

78

75

75

75

76

76

Oktober

84

82

75

76

76

78

79

Novembe
r

85

81

78

79

78

78

79

Desembe
r

78

76

75

71

71

69

69

10

Januari

87

81

80

75

76

76

75

11

Februari

80

78

75

75

75

76

76

12

Maret

84

82

75

76

76

78

79

1.3.Jaring-Jaring Makanan
Didalam suatu ekosistem, terjadi interaksi antara komunitas dan komunitas
lainnya serta lingkungan abiotiknya. Interaksi ini dapat menyebabkan aliran
energi melalui peristiwa dimakan dan memakan (predasi). Pada peristiwa aliran

energi ini, komponen ekosistem, khususnya komponen biotik, memiliki tiga peran
dasar, yaitu sebagai produsen, konsumen dan dekomposer.
Proses makan dan dimakan pada serangkaian organisme disebut sebagai
rantai
makanan
atau
food
chains.Semua
makanan
berasal
dari
organisme autotrofk. Organisme yang langsung memakan tumbuhan disebut
herbivor (konsumen primer), yang memakan herbivor disebut karnivor
(konsumen sekunder), dan yang memakan konsumen sekunder disebut
konsumen tersier. Setiap tingkatan organisme dalam satu rantai makanan
disebut tingkatan trofk. Dalam ekosistem rantai makanan-rantai makanan itu
saling bertalian. Kebanyakan jenis hewan memakan yang beragam, dan makhluk
tersebut pada gilirannnya juga menyediakan makanan berbagai makhluk yang
memakannya, maka terjadi yang dinamakan jaring-jaring makanan ( food web),
dengan kata lain proses rantai makanan yang saling menjalin dan kompleks
tersebut dinamakan jaring-jaring makanan.
Peristiwa perpindahan energi terjadi melalui proses makan dan dimakan
didalam suatu rantai makanan. Peristiwa tersebut membentuk suatu trofk.
Struktur trofk terdiri atas tingkatan-tingkatan trofk. Setiap tingkatan trofk terdiri
atas kumpulan beberapa organisme. Tingkat trofk pertama ditempati oleh
produsen atau organisme autotrof. Pada tingkatan ini, produsen ekosistem darat
adalah tumbuhan sedangkan ekosistem perairan adalah ganggang dan
ftoplankton. Tingkat trofk kedua ditempati oleh organisme heterotrof atau
konsumen. Konsumen adalah organisme yang tergantung pada organisme lain
sebagai sumber makanannya. Konsumen pada tingkat trofk kedua ini adalah
herbivor. Konsumen juga terdiri atas tingkat trofk ketiga, ke empat dan
seterusnya.

Jaring- jaring makanan yaitu rantai-rantai makanan yang saling


berhubungan satu sama lain sedemikian rupa sehingga membentuk seperti
jaring-jaring. Jaring-jaring makanan terjadi karena setiap jenis makhluk hidup
tidak hanya memakan satu jenis makhluk hidup lainnya.

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Ekosistem Hutan Rawa Gambut


Sungai Mandau

Gambar 2

Peta Riau (Hutan Rawa Gambut)

2.1.1

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Ekosistem Hutan Rawa Gambut


Sungai Mandau

Sungai Mandau adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Siak, Riau, Indonesia.


Kecamatan Sungai Mandau berdiri tahun 2000, dan sebelumnya adalah bagian
dariKecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis. Nama Kecamatan Sungai Mandau
diambil dari nama sebuah sungai yang bernama Mandau. Tidak terdapat sejarah
yang pasti kenapa sungai tersebut dinamakan sungai mandau. Airnya yang
berwarna coklat kehitaman merupakan tipikal sungai yang ada di daerah
gambut.Sungai yang berhulu di daerah Mandau ini bermuara di Sungai Siak,

sehingga Sungai Mandau juga terpengaruh pasang surut sebagaimana Sungai


Siak.
Letak wilayah Kec. Mandau terletak antara : 101 derajat 2543 Lintang
Utara, 101 derajat 47 Lintang Utara, 01 derajat 55 24 Bujur Timur dan 02 01
derajat 41 Bujur Timur. Kecamatan Mandau berbatasan dengan : Sebelah Utara
berbatasan dengan Kec. Bukit Kapur Kodya Dumai, Sebelah Selatan berbatasan
dengan Kec Pinggir Kab Bengkalis, Sebelah Barat berbatasan dengan Kec. Tanah
Putih Kab Rokan Hilir dan Sebelah Timur berbatasan dengan Kec Bukit Batu Kab
Bengkalis.
Kec. Mandau merupakan hasil pemekaran Kab Bengkalis menjadi 3
kabupaten yaitu Kab Bengkalis, Kab Siak dan Kab Rohil serta 1 Kotamadya Dumai
berdasarkan UU No. 16 tahun 1999 dan Perda No. 01 tahun 2003 dengan luas
wilayah 937,47 Km2 , mengakibatkan tidak semua wilayah dapat diamankan
mengingat personil sangat terbatas dan sarana yang belum memadai. Kec.
Mandau terdiri dari 9 Kelurahan dan 6 Desa. Wilayah Kec. Mandau terletak 6 M
dari permukaan laut. Dengan ketinggian tersebut, maka pada umumnya Kec.
Mandau banyak tanah yang relatif datar apalagi bila diperhatikan fsiologinya
dimana tingkat kesuburan tanahnya sangat tinggi sehingga Perusahaan besar
maupun Masyarakat banyak yang melakukan kegiatan perkebunan khususnya
Kelapa sawit dan Karet.
Kec. Mandau sebagian wilayahnya merupakan daerah relativ datar dengan
ketinggian rata rata 6 sampai 35 Meter dari permukaan laut, Sedangkan akses
menuju Kelurahan / Desa dapat dilalui dengan transportasi darat. Kecamatan
Mandau hanya terdapat 1 ( satu ) anak sungai yaitu Sungai Rangau ( jembatan 2
). Tingkat kesuburan tanah di Kec. Mandau sangat tinggi, sehingga banyak
perusahaan HPH / HGU maupun masyarakat Lokal mengelolah lahan tersebut
untuk
perkebunan
Kelapa
sawit
,
Karet
dan
Hutan
tanaman
Industri. Dikarenakan Kec. Mandau memiliki tanah relativ datar sehingga
sebagian besar kondisinya daratan dan sebagian kecil rawa. Iklim equator
temperatur maksimum 35.oC dan minimum 25.oC, kelembaban rata-rata pada
musim hujan antara 80% sampai dengan 90 % dan pada musim kemarau 60 % 70%.
2.2 Gambut dan Pembentukannya
2.2.1

Gambut

Gambut adalah bahan tanah yang tidak mudah lapuk, terdiri dari bahan
organik yang sebagian besar belum terdekomposisi atau sedikit terdekomposisi
serta terakumulasi pada keadaan kelembaban yang berlebihan. Berdasarkan
kandungan bahan organik, dikenal dua golongan tanah yaitu tanah mineral yang

mengandung bahan organik berkisar antara 15-20% dan tanah organik yang
mengandung bahan organik berkisar antara 20-25% bahkan kadang-kadang
sampai 90% mengandung bahan organik (Buckman dan Brady, 1982)..
Tanpa memandang tingkat dekomposisinya, gambut dikelaskan sesuai
dengan bahan induknya menjadi tiga (Buckman dan Brady, 1982) yaitu :
(1). Gambut endapan; Gambut endapan biasanya tertimbun di dalam air yang
relatif dalam. Karena itu umumnya terdapat jelas di profl bagian bawah.
Meskipun demikian, kadang-kadang tercampur dengan tipe gambut lainnya jika
lebih dekat dengan permukaan. Gambut ini berciri kompak dan kenyal serta
bewarna hijau tua jika masih dalam keadaan aslinya. Kalau kering gambut ini
menyerap air sangat lambat dan bertahan tetap dalam keadaan sangat keras
dan bergumpal. Gambut ini tidak dikehendaki, karena sifat fsiknya yang tidak
cocok untuk pertumbuhan tanaman.
(2) Gambut berserat; Gambut ini mempunyai kemampuan mengikat air tinggi
dan dapat menunjukan berbagai derajat dekomposisi. Gambut berserat mungkin
terdapat dipermukaan timbunan bahan organik yang belum terdekomposisi,
sebagian atau seluruhnya terdapat dalam profl bawah, biasanya terlihat di atas
endapan.
(3) Gambut kayuan; Gambut kayuan biasanya terdapat dipermukaan timbunan
organik. Gambut ini bewarna coklat atau hitam jika basah, sesuai dengan sifat
humifkasinya. Kemampuan mengikat air rendah, oleh karena itu gambut kayuan
kurang sesuai digunakan untuk persemaian.
Menurut Darmawijaya (180) berdasarkan faktor pembentukannya, gambut
digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu :
(1) Gambut ombrogen; Gambut ombrogen terbentuk karena pengaruh curah
hujan yang tinggi, dengan air yang tergenang, tanpa perbedaan musim yang
mencolok dan pada daerah tropika yang lebat dengan curah hujan lebih dari
3000 mm tiap tahun. Bersifat sangat masam dengan pH 3,0 4,5.
(2) Gambut topogen; Gambut topogen terbentuk karena pengaruh topograf,
berasal dari tanaman paku-pakuan dan semak belukar dan mempunyai pH yang
relatif tinggi.
(3) Gambut pegunungan; Gambut ini terbentuk karena ketinggian tempat
gambut, di daerah katulistiwa hanya terbentuk di daerah pegunungan dan
iklimnya menyerupai iklim di daerh sedang dengan vegetasi utamanya
Sphagnum.
Bahan organik pada tanah gambut dibedakan atas tiga macam (Rosmarkam et
al., 1988) yaitu :

(1) Fibric yang tingkat dekomposisinya masih rendah, sehingga masih banyak
mengandung serabut, berat jenis sangat rendah (kurang dari 0,1), kadar air
banyak, berwarna kuning sampai pucat.
(2) Hemic merupakan peralihan dengan tingkat dekomposisi sedang, masih
banyak mengandung serabut, berat jenis antara 0,07 0,18, kadar air banyak,
berwarna coklat muda sampai coklat tua.
(3) Sapric yang dekomposisinya paling lanjut, kurang mengandung serabut,
berat jenis 0,2 atau lebih, kadar air tidak terlalu banyak dengan warna hitam dan
coklat kelam.
2.2.2

Pembentukan Gambut

Gambar 3
Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya pendangkalan danau
yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah
(Noor, 2001). Tanaman yang mati dan melapuk, secara bertahap membentuk
lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan
substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya
tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara
bertahap membentuk lapisan-lapisan gambut, sehingga danau tersebut menjadi
penuh (Gambar 1a dan 1b).
Bagian gambutyang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut dikenal
sebagai gambut topogen, karena proses pembentukannya disebabkan oleh
topograf daerah cekungan. Gambut topogen umumnya relatif subur (eutrofik)
karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya
jika ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan
gambut tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut
topogen. Tanaman yang tumbuh dan mati di atas gambut topogen akan
membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan membentuk kubah
(dome) gambut yang mempunyai permukaan cembung (Gambar 1c).

Gambut yang terbentuk di atas gambut topogen dikenal dengan gambut


ombrogen, yang proses pembentukannya dipengaruhi oleh air hujan. Gambut
ombrogen mempunyai kesuburan yang lebih rendah dibandingkan dengan
gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral.

2.3.Hutan Rawa Gambut dan Pembentukannya


2.3.1.Hutan Rawa Gambut
Asian Wetland Beraue dan Ditjen PHPA (1993) dalam Koesmawadi (1996)
mengemukakan bahwa hutan rawa gambut merupakan suatu ekosistem yang
unik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut selalu tergenang air, komposisi jenis
pohon beraneka ragam mulai dari tegakan sejenis seperti jenis Calophyllum
inophyllum Mix. sampai tegakan campuran, terdapat lapisan gambut pada lantai
hutan, mempunyai perakaran yang khas dan dapat tumbuh pada tanah yang
bersifat masam.
2.2.3

Pembentukan Hutan Rawa Gambut


Tanah gambut menempati cekungan diantar dua sungai besar. Bila
cekungan tersebut sempit, gambut yang terbentuk biasanya merupakan gambut
dangkal dengan ketebalan 0,5-1 m sedang dengan ketebalan 1-2 m. Jika jarak
horizontal kedua tersebut cukup jauh hingga beberapa kilometer tanah biasanya
membentuk kubah gambut (peat dome) yang cukup besar. Pada bentukan kubah
gambut seperti ini, semakin ketengah kubah gambut, ketebalan gambut akan
semakin
bertambah
sampai
mencapai
belasan
meter.
(wibisono,et
al 2005 dalam elfs 2006).

DTE menulis surat kepada menteri Inggris perihal


Nota Kesepahaman Inggris-Indonesia mengenai
perubahan Iklim

Keadilan iklim dan penghidupan yang berkelanjutan

Indonesia

Eropa/Inggeris

Surat

Bahan bakar nabati

Keadilan iklim

Energi

Hutan dan kebakaran hutan

Masyarakat Adat

Perkebunan skala besar

REDD

Surat berikut ditujukan kepada Ed Miliband, Menteri Energi dan Perubahan Iklim Inggris. Surat ini
mempertanyakan Nota Kesepahaman Inggris-Indonesia mengenai perubahan iklim yang
ditandatangani pada bulan Desember 2008.1

Kepada yang terhormat Mr. Miliband,


Kami menyambut baik upaya-upaya penting yang Anda lakukan bersama-sama dengan Bapak
Rachmat Witoeloar, Menteri Negara Lingkungan Hidup Indonesia dalam menangani permasalahan
lingkungan dan perubahan iklim, tetapi kami menulis surat ini untuk menyampaikan kekhawatiran
mengenai Nota Kesepahaman (MoU) yang Anda tandatangani di COP 14 di Poznan, pada bulan
Desember tahun lalu.

Sebagai organisasi yang berbasis di Inggris dan Indonesia yang mengadvokasikan cara-cara yang
berkelanjutan dalam menangani krisis perubahan iklim, kami prihatin karena beberapa prioritas
yang diidentifkasi dalam MoU itu menimbulkan pertanyaan serius mengenai hak-hak asasi
manusia, kemiskinan dan perlindungan lingkungan. Pada beberapa kasus, MoU itu
memprioritaskan hal-hal yang belum terbukti manfaat iklimnya dan bahkan dapat memperburuk
daripada meredakan perubahan iklim.
Kami khususnya prihatin dengan poin-poin berikut dan akan sangat berterima kasih apabila kami
dapat memperoleh informasi terinci yang menunjukkan bagaimana pemerintah Inggris menjamin
bahwa potensi masalah hak asasi manusia, kemiskinan, lingkungan dan iklim akan dapat dihindari
dalam kerjasama Anda dengan pemerintah Indonesia terkait dengan MoU itu.
1) REDD (MoU poin 2 a): berdasarkan riset kami sendiri dan riset lain mengenai persiapan
Indonesia atas REDD, kami sangat prihatin bahwa kebijakan fundamental dan langkah-langkah
hukum yang berhubungan dengan hak-hak atas sumber daya belum ada di Indonesia padahal
tanpa itu semua hak-hak masyarakat adat secara khusus tidak dapat dilindungi.
Menurut analisa kami, walaupun legislasi mengenai REDD yang dikeluarkan oleh Menteri
Kehutanan secara teori menetapkan komunitas masyarakat adat sebagai pelaku utama dalam
proyek-proyek REDD, tetapi pada praktiknya belum ada ketentuan hukum nasional yang memadai
yang memungkinkan hal ini terjadi. Ini berarti komunitas masyarakat adat, yang memiliki keahlian
dan pengetahuan utama yang berhubungan dengan usaha perlindungan hutan, dapat tersingkir
atau kepentingan mereka mungkin akan tangguhkanoleh para pelaku komersial lainnya dalam
demam REDD di masa mendatang.
Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Ras belum lama ini mengungkapkan keprihatinannya
terhadap Indonesia terkait dengan draft regulasi REDD. Komite juga mengecam keras Indonesia
karena gagal menghargai hak-hak masyarakat adat sehubungan dengan perkebunan kelapa sawit.
Oleh karena itu kami ingin mengetahui bagaimana aktivitas-aktivitas demonstrasi REDD yang
diajukan, yang disebutkan di dalam MoU, akan menangani isu legalitas ini dan bagaimana aktiviats
itu dapat menjamin bahwa komunitas masyarakat adat memberikan persetujuan atas dasar
informasi awal tanpa tekanan pada setiap proyek REDD yang mempengaruhi mereka.
Kami juga ingin mengetahui lebih lanjut mengenai proposal yang sedang dipertimbangkan tentang
pembiayaan REDD jangka panjang, yang disebutkan di dalam MoU. Kami mengharapkan jaminan
dari Anda bahwa pasar karbon tidak akan menjadi prioritas dalam pembiayaan proyek-proyek
REDD. Dalam pandangan kami, ketergantungan terhadap pasar karbon dalam menyediakan
pembiayaan untuk REDD harus dihindari. Ada pertanyaan serius yang perlu dijawab mengenai
perlindungan hak-hak dan kemiskinan serta dampak lingkungan dan iklim terhadap ilmu
pengetahuan, metodologi dan proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan
pembiayaan karbon, yang membuatnya menjadi pilihan yang tidak dapat dibenarkan. 2 Selain itu,
tidak seharusnya mengandalkan alat yang tak dapat diandalkan seperti pasar, untuk
menggerakkan sesuatu yang penting seperti perlindungan hutan: fakta bahwa harga karbon barubaru ini jatuh di bawah Skema Perdagangan Eropa menggarisbawahi ketidak-andalan ini.
2) Mempromosikan minyak kelapa sawit yang berkelanjutan (MoU poin 2 b): seperti yang
Anda ketahui, permintaan Inggris dan Eropa atas bahan bakar agro memiliki dampak nyata
terhadap industri minyak sawit di Indonesia. Hal ini berkontribusi dalam mempromosikan perluasan
perkebunan kelapa sawit ke dalam hutan-hutan, termasuk daerah-daerah di mana masyarakat
adat memiliki hak-hak adatnya.

Kami prihatin bahwa RSPO gagal menanggapi kebutuhan yang mendesak untuk menghentikan
pengrusakan atas mata pencaharian masyarakat adat dan hutan-hutan di Indonesia, sama seperti
kebijakan UE yang diadopsi pada bulan Desember yang juga gagal dalam menanggapi persoalan
ini dengan baik.
Pengrusakan hutan ini, terutama di daerah-daerah lahan gambut, yang sebagian terjadi karena
permintaan akan bahan bakar agro, juga memiliki dampak negatif yang sangat besar terhadap
iklim. Wetlands International memperkirakan emisi CO2 di Asia Tenggara dari pengrusakan hutan
dan oksidasi tanah gambut adalah sekitar 2 milyar ton per tahun, 90% diantaranya berasal dari
Indonesia.3 Namun, para anggota RSPO yang terkemuka seperti Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (GAPKI), menolak himbauan penangguhan dalam mengubah hutan menjadi perkebunan
kelapa sawit. Sama halnya dengan pemerintah Indonesia yang baru-baru ini mencabut larangan
atas pengunaan lahan gambut untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Maka kami ingin
mengetahui bagaimana pemerintah Inggris dan Indonesia menangani isu-isu ini dalam MoU dan
menjamin bahwa dengan mempromosikan minyak sawit yang berkelanjutan, mereka sebetulnya
tidak mempromosikan pengrusakan atas hutan/lahan gambut dan pelepasan lebih banyak CO 2 ke
atmosfr.
3) Kerjasama dalam mempelajari penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) (MoU
poin 2 h): ada dua hal yang diangkat dalam poin ini. Pertama, CCS yang berhubungan dengan
industri batu bara. Kami prihatin bahwa langkah-langkah untuk mempelajari CCS sebagai suatu
pilihan di masa mendatang yang memungkinkan bagi sektor energi yang menggunakan batu bara
di Indonesia akan berarti dukungan bagi industri yang berhubungan dengan konflik-konflik hak-hak
sumber daya yang serius, pengrusakan hutan dan polusi udara dan air di daerah-daerah
pertambangan batu bara di Indonesia, dan juga sebagai salah satu alat paling kotor dari
pembangkit tenaga listrik sehubungan dengan emisi GRK. Kami percaya upaya-upaya yang
sekarang perlu difokuskan adalah beralih dari pembangkit berbahan bakar fosil ke bahan bakar
alternatif yang terbaharui (baik di Indonesia maupun di Inggris), daripada mendukung industri ini
dengan harapan bahwa teknologi CCS yang belum terbukti pada akhirnya dapat membereskannya.
Kedua, CCS yang berhubungan dengan eksploitasi gas. Kami prihatin karena proyek-proyek yang
ada, yang terkait dengan perusahaan-perusahaan Inggris (contohnya proyek gas BP Tangguh di
Teluk Bintuni, Papua Barat) gagal menjalankan praktik-praktik yang mungkin dapat segera
membantu penurunan emisi dengan menggunakan teknologi injeksi ulang CO 2. Apakah kepastian
dilakukannya hal ini merupakan bagian dari agenda MoU?
4) Pengimbangan (ofset): kami ingin menghimbau Anda untuk memberi perhatian terhadap
keprihatinan kami bahwa MoU secara keseluruhan mencerminkan pihak Pemerintah Inggris dalam
mempromosikan pengimbangan - khususnya pengimbangan emisi Inggris di Indonesia - sebagai
alat untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca di Inggris.
Seperti yang Anda ketahui, pembahasan mengenai ofset belum selesai, walau pun ada indikasi
jelas bahwa pemerintah Inggris mendukung hal itu. Hukum perubahan iklim Inggris yang baru
menghendaki pemerintah agar "memperhatikan kebutuhan akan aksi domestik Inggris atas
perubahan iklim" saat mempertimbangkan bagaimana memenuhi target dan anggaran. Selain itu,
pemerintah perlu menetapkan batasan atas pembelian kredit pengimbangan untuk setiap masa
anggaran karbon, yang menurut perundang-undangan sekunder, memerlukan pembahasan di
kedua tingkat Parlemen dan memperhatikan saran Komite Perubahan Iklim (CCC). CCC sendiri telah
merekomendasikan agar pemerintah tidak merencanakan membeli kredit pengimbangan untuk
memenuhi anggaran 'interim' Inggris (kurang dari 10%), walaupun disebutkan bahwa sekitar 20%

penurunan emisi dapat dipenuhi oleh kredit pengimbangan di dalam anggaran yang
'dimaksudkan'.
Menurut pendapat kami - juga pendapat lain dalam masyarakat madani di Inggris dan di Indonesia
- penurunan emisi GRK yang nyata diperlukan di sini, di Inggris, dan juga di Indonesia (maksudnya
bukan hanya di salah satu negara) dalam mencapai hal seperti tingkat penurunan emisi yang
diperlukan untuk menjaga agar perubahan iklim berada dalam batasan yang aman. Melakukan
pengimbangan emisi yang dihasilkan di Inggris di Indonesia oleh karenanya tak seharusnya
menjadi bagian upaya nasional Inggris dalam mengatasi perubahan iklim.
Selain itu, memaksakan pilihan pengimbangan (seperti yang tampaknya sedang dilakukan oleh
pemerintah Inggris) sangat merusak prospek dalam menjamin kesepakatan global yang baik atas
pengurangan emisi di Kopenhagen pada bulan Desember 2009. Hal ini terjadi karena
pengimbangan secara luas dilihat (dan begitu juga dalam pandangan kami) sebagai upaya negaranegara industri untuk melanjutkan kegiatan mereka seperti yang selama ini mereka lakukan di
negara-negara mereka sendiri dengan membeli pengimbangan di Selatan, alih-alih melakukan
pekerjaan yang berat itu di negara mereka sendiri.
Pada pertemuan baru-baru ini di Jakarta dengan MEP, kelompok utama masyarakat madani
Indonesia yang berfokus pada isu-isu perubahan iklim, Forum Masyarakat Madani (CSF) atas
Perubahan Iklim4, meminta UE dan para negara anggota agar berkomitmen untuk menurunkan
emisi mereka sesuai dengan UNFCCC dan tidak mengkompromikan hal ini dengan segala macam
mekanisme perdagangan polusi. CSF menyatakan bahwa pengurangan emisi oleh bangsa-bangsa
industri di negara mereka sendiri merupakan suatu bentuk kompensasi yang tidak dapat
dinegosiasikan atas hutang ekologi mereka.
Kami berharap Anda akan mempertimbangkan poin-poin ini dalam komunikasi di masa mendatang
dengan Indonesia mengenai MoU dan dalam kesempatan lainnya dan berharap agar mendapat
kabar dari Anda dalam waktu dekat mengenai isu-isu penting ini.
Akhirnya, kami mengirimkan buku berjudul 'Hutan untuk Masa Depan', yang dibuat bsersama-sama
oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Down to Earth, yang menjelaskan secara
terinci bagaimana komunitas masyarakat adat di Indonesia dengan susah payah telah
mempertahankan sistem kehutanan agro yang menyokong hutan-hutan yang kaya akan karbon.
Buku ini dibuat dengan dukungan dana dari DFID, dan sebagian besar ditulis oleh komunitas
masyarakat adat sendiri. Kami percaya buku ini memberikan pelajaran berharga untuk para
pengambil keputusan perubahan iklim mengenai peranan penting yang dijalankan oleh komunitas
tersebut dalam mempertahankan hutan untuk kebaikan planet dan juga masyarakat mereka
sendiri. Dengan semangat ini, untuk negosiasi perubahan iklim yang masih berlangsung, kami
percaya tim Anda akan mendukung himbauan masyarakat adat untuk melindungi hak-hak mereka
dari semua inisiatif perubahan iklim yang mempengaruhi mereka. 4 Surat ditandatangani oleh
Carolyn Marr, Koordinator Inggris, DTE dan dikirim pada tanggal 26 Mei 2009

KAJIAN TEORI EKOLOGI LANSEKAP ARSITEKTUR KAJIAN TEORI EKOLOGI LANSEKAP


ARSITEKTUR Tumpang tindih antara teknologi infrastruktur (jalan-jalan, jembatan, rel kereta api)
dengan struktur alamiah seperti sungai, danau, lembah, dan punggung bukit, menciptakan halangan
bagi banyak proses ekologi. Seperti erosi tanah, aliran air, perpindahan hewan dan penyebaran
tanaman. Untuk itu di dalam membuat suatu perencanaan lansekap diperlukan pengetahuan tentang
alam dan skala, untuk membangun rancangan lansekap yang diminati dengan kapasitas yang
berbeda-beda, sehingga tercapai kenyamanan yang optimal. Adapun pertimbangan-pertimbangan
perencanaan lansekap meliputi bentang alam ekologi, sosial, dan ekonomi (Lovejoy, 1973). Di dalam
melaksanakan studi tersebut, perlu dilakukan identifikasi fakta di lapangan, mengkaji serta
menganalisa terhadap berbagai dampak dari berbagai faktor. Tujuannya adalah menggunakan hasil
penelitian dari studi dasar membuat perencanaan. Kapasitas dari ekologi lansekap untuk melacak
proses ekologis melalui suatu jarak ruang, skala waktu dan budaya, menghantar kita untuk mengerti
efek sebenarnya atau efek potensial dari penggunaan lahan dan perencanaan yang dilakukan untuk
manusia. Suatu hal yang penting adalah pada tahap perencanaan, kita harus memastikan bahwa di
dalam merencanakan kebutuhan fasilitas-fasilitas tidak merusak sumber daya yang ada.
PENGERTIAN EKOLOGI LANSEKAP ARSITEKTUR Tinjauan Lansekap Terdapat beberapa definisi
Lansekap, antara lain: Lansekap adalah karakter total dari suatu wilayah (von Humbolt dalam Ferina,
1998). Lansekap adalah konfigurasi partikel topografi, tanaman penutup, permukaan lahan dan pola
kolonisasi yang tidak terbatas, beberapa koherensi dari kealamian dan proses kultural dan aktifitas
(Green dalam Ferina1998) Harber membatasi lansekap sebagai sebuah potongan lahan yang diamati
seluruhnya, tanpa melihat dekat pada komponen-komponennya (Pers. Com dalam Ferina 1998).
Definisi terakhir ini lebih cocok untuk membatasi lansekap sebagai pengamatan seluruh organisme
dari tanaman sampai hewan. Hal yang paling penting dalam pengelolaan lansekap adalah evaluasi
nilai lansekap dan menemukan kriteria dengan cara mengevaluasi komponen-komponennya. Ekologi
Lansekap Arsitektur Ekologi Lansekap dapat berguna bagi konservasi alam karena menyangkut
pemikiran dari pengaturan habitat, pemikiran konsekuensi struktur dan proses untuk spesies yang
berbeda. Terdapat tiga (3) pandangan dalam ekologi lansekap (Ferina , Almo, 1998) antara lain:
Manusia : Pada perspektif manusia. Lansekap adalah dikelompokkan pada fungsi utama yang
mempunyai arti untuk kehidupan manusia. Geobotanical: Distribusi spatial dari komponen lingkungan
abiotik dan biotik, dari lansekap tanah sampai yang didekati oleh tanaman, dan pada distribusi
tanaman utama sebagai komunitas, tanah hutan dan sebagainya. Hewan: Pandangan akhir ini
konsepnya dihubungkan dengan pengamatan lansekap manusia, walaupun terdapat perbedaan
substantial dalam mendekati secara langsung. Penyatuan Teori Dan Model Pada Ekologi Lansekap
Keanekaragaman lansekap, kerumitan komponen-komponen suatu sistem, perubahan kelakuan
populasi yang hidup pada suatu lingkungan, dan tekanan terhadap asal suatu habitat, menimbulkan
efek yang sangat berpengaruh terhadap organisme-organisme yang ada pada lansekap (Ferina,
1998). Paling tidak teori hirarki dan model Metapo-pulasi, menempati tempat yang penting dalam
formulasi sebuah kerangka ekologi lansekap. Teori Hirarki Dan Struktur Lansekap Hirarki merupakan
teori yang sangat bermanfaat dalam ekologi lansekap, dimana paradigma hirarki menjelas-kan
bagaimana lokalisasi komponen-komponen yang berbeda pada suatu skala tertentu memiliki
hubungan dengan komponen-komponen lainnya yang terlihat pada skala resolusi yang berbeda.
Teori Hirarki mempertimbangkan sebuah sistem komponen dari sistem yang besar, dan
dikomposisikan dalam subsistem yang ada. Klasifikasi lansekap adalah suatu contoh sebuah
kerangka hirarki, mulai dari ekotipe, mikro, meso, makro dan megachore. .Aliran sungai merupakan
contoh dari suatu sistem hirarki, dan kompleks adalah bagian dasar dari komponen hirarki. Semakin
banyak komponen yang tercakup dalam sebuah sistem, akan semakin kompleks sistem tersebut
(Ferina, 1998). Metapopulasi Kalimat metapopulasi diperkenalkan pertamakali oleh Levins pada
tahun 1970, untuk menggambarkan sebuah populasi dalam sekelompok populasi (Gilpin dan Hanski
dalam Ferina, 1998). Metapopulasi adalah suatu sistem dimana tingkat rata-rata keberadaan serta
rekolonisasi yang mengakibatkan terjadinya perpindahan individu-individu yang menjamin terjadinya
hubungan secara genetis antara masing-masing sub populasi. Konsep metapopulasi sangat erat

hubungannya dengan pulau Biografi (Mac Arthur dan Wilson dalam Ferina, 1998), dengan
mempertimbangkan baik kolonisasi maupun tingkat keberadaan sebagai proses yang mendasarinya.
Secara khusus, hubungan antara konsep metapopulasi terhadap Ekologi Lansekap, mempengaruhi
sintesa yang kuat. Proses penyebaran menghasilkan faktor yang sangat penting, yang menentukan
daerah demografis serta struktur secara spesial dari metapopulasi tersebut. Hanson (dalam Ferina,
1998) mengatakan bahwa ada (tiga) faktor utama yang berpengaruh terhadap proses penyebaran
tersebut. Yaitu: Ambang batas ekonomi; Konflik yang terjadi pada penga-daan sumber daya;
Pembatalan pemeliharaan. APLIKASI TEORI EKOLOGI LANSEKAP ARSITEKTUR Salah satu
aplikasi Teori Ekologi Lansekap Arsitektur adalah munculnya berbagai ecotourism yang telah
merangsang kreativitas pengembangan wisata. Hal ini tidak lain diakibatkan karena kecemasan
terhadap nasib kondisi lingkungan global. Perencanaan ecotourism merupakan penerapan ekologi
lansekap arsitektur yang mengolah berbagai lahan dan lingkungan hijau menjadi lingkungan yang
berorientasi pada keseimbangan ekologis. Ecotourism tidak hanya hadir karena didasari oleh
pemahaman terhadap kondisi lingkungan yang berorientasi pada konservasi dan kepedulian terhadap
alam tetapi juga budaya serta peradaban penduduk setempat. Resort wisata Waka Di Ume yang
berlokasi di Ubud, Bali merupakan salah satu penerapan ecotourism ini. Pada dasarnya ecotourism
menekankan 2 prinsip yaitu keaslian dan keindahan. Keaslian di bidang arsitektur memiliki kaitan erat
dengan keindahan. Ini titik sentral perhatian ecotourism ini. Dengan pemahaman mendalam, hakekat
ecotourism ini adalah titik temu antara kepentingan estetika, konservasi, rekreasi, serta kontak
dengan alam (lingkungan ekologis). Sentuhan alami di kawasan wisata bagaimanapun akan
menciptakan paru-paru lingkungan yang dapat memberikan nafas kehidupan masyarakat, alam, dan
lingkungan setempat. Selain itu, salah satu konsep yang lebih menonjol adalah perancangannya
berpegang pada konsep arsitektur berwawasan lingkungan (ekologi lansekap arsitektur). Hal ini
tercermin dalam penggunaan materi batu alam (batu paras atau batu padas) yang lazim ditemui di
sungai-sungai di Bali secara terbatas (sangat minim). Dengan pertimbangan, jangan sampai merusak
tatanan alam (sungai), jika dieksploitasi secara besar-besaran. Oleh karena itu, sebagai antisipasi,
penggunaan materi batu alam hanya terbatas pada aksen tertentu saja. Meminimalkan penggunaan
materi plastik merupakan alternatif lain untuk menghindari kesan dominasi unsur modern. Kerajinankerajinan rakyat dari lingkungan setempat dimanfaatkan pula sebagai pilihan perangkat fasilitas resor,
seperti peralatan restoran, perlengkapan kamar, serta aksesori interior. Materi-materi bangunannya
sendiri pun sedapat mungkin senafas dengan spirit bangunan tradisional di lingkungan setempat,
yaitu atap alang-alang, marmer Citatah, serta menggunakan batu-bata lokal berupa paras dari desa
Tato dan paras dari desa Kerobokan. Warna alam yang menjadi ciri khas bangunan ini kian alami dan
nyaman dengan digunakannya sistem sirkulasi udara yang apa adanya, tanpa bantuan pendingin
ruangan (AC). Hal ini merupakan konsep arsitektur yang sehat, yang juga digunakan pada
penginapan ini. Di sisi lain, spirit kehidupan Pulau Dewata tersirat pula pada pemilihan beragam
aktivitas resor yang mengacu pada budaya setempat, seperti kegiatan belajar menulis, atau
pertunjukan musik-musik unik khas Bali. Dan pemilihan berbagai fasilitas resor lainnya pun notabene
sangat erat kaitannya dengan segala sesuatu yang berbau tradisi Indonesia, di antaranya berupa
ruang perpustakaan dengan sejumlah buku tentang alam dan kebudayaan Indonesia, serta fasilitas
perawatan tubuh (salon, sauna) dengan menggunakan ramuan-ramuan tradisional. Copy the BEST
Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu

Ekologi Desa terbentuk sebagai hasil interaksi panjang antara sekelompok


masyarakat tertentu dengan karakter kependudukan, sosial, ekonomi, dan
budaya tertentu, dengan lingkungan hidupnya.

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubun timbal balik antara


makhluk hidup dengan lingkungan. Kata ekologi diambil dari
kata oikos yang berarti rumah tangga, dan logos yang berarti ilmu.
Istilah ekologi sangatlah tidak asing bagi mahasiswa jurusan ilmu
hayat(i). Jika unsur manusia dan kemanusiaan dimasukkan akan
terjadi permasalahan kompleks mengenai hubungan timbal balik
tersebut. Beberapa disiplin ilmu pun akhirnya beririsan dan
berhimpun. Manusia sendiri yang katanya adalah salah satu
makhluk hidup tidak berbeda dengan organisme lainnya merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari lingkungannya. Dengan demikian,
semua kaidah (hukum ekologis) yang mengontrol makhluk hidup
juga berlaku bagi manusia, dan, manusia dengan lingkungan
hidupnya merupakan suatu sistem ekologi (ekosistem).
Desa diartikan suatu tempat daerah di mana penduduk berkumpul
dan hidup bersama, menggunakan lingkungan setempat, untuk
mempertahankan, melangsungkan dan mengembangkan
kehidupan mereka. Desa memiliki pola permukiman yang bersifat
dinamis, di mana para penghuninya senantiasa melakukan
adaptasi spasial dan ekologis. Banyak teori menerangkan bahwa
asal-usul kota berawal dari desa. Artinya, tidak ada satupun kota
yang lahir dengan tiba-tiba. Perspektif evolusionis selalu

menganggap bahwa kota lahir secara berangsur-angsur dari


wilayah pedesaan menjadi wilayah kota. Lewis Mumford salah satu
pendukung perspektif evolusionis merumuskan bahwa kota
berkembang dari eopolis (kota yang baru berdiri), polis (kota),
metropolis (kota besar), megalopolis (kota yang sudah amat besar),
tyranopolis (kota yang sudah ekspansif dan kejam), serta
nekropolis (kota mayat, kota yang telah runtuh). Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa kota terbentuk berbarengan dengan proses
perubahan ekologi, dari ekologi pedesaan ke ekologi perkotaan.
(ceuk barudaks planologi)
Ekosistem Desa
Ekosistem di desa terdiri dari komponen autotrof yang diperankan
oleh tumbuhan yang menyediakan makan untuk komponen
heterotrof seperti manusia, hewan, dekomposer dll. Semua
komponen-komponen tersebut hidup di dalam suatu lingkungan
yang terdiri dari tanah, air, udara, sinar matahari. Lingkungan hidup
di desa dekat dengan nuansa alam bebas yang ideal. Air berlimpah
dari mata air kemudian mengalir ke anak-anak sungai kemudian
dilanjutkan ke sawah-sawah. Keseimbangan ekosistem ini secara
alami dapat berlangsung karena beberapa hal, yaitu komponenkomponen yang ada terlibat dalam aksi-reaksi dan berperan sesuai
kondisi keseimbangan, pemindahan energi (arus energi), dan siklus
biogeokimia dapat berlangsung. Keseimbangan lingkungan dapat
terganggu bila terjadi perubahan berupa pengurangan fungsi dari

komponen atau hilangnya sebagian komponen yang dapat


menyebabkan putusnya mata rantai dalam ekosistem.
Namun seiring perkembangan zaman dimungkinkan terjadinya
perubahan lingkungan yang mungkin saja akan mengganggu
keseimbangan ekosistem desa yang disebabkan oleh perubahan
pola pikir masyarakatnya yang didukung oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Contoh, Pembangunan jalan kampung
dan desa dengan cara pembetonan mengakibatkan air sulit
meresap ke dalam tanah. Sebagai akibatnya, bila hujan lebat
memudahkan terjadinya banjir. Selain itu, tumbuhan di sekitamya
menjadi kekurangan air sehingga tumbuhan tidak efektif melakukan
fotosintesis. Akibat lebih lanjut, kita merasakan panas akibat
tumbuhan tidak secara optimal memanfaatkan CO2, peran
tumbuhan sebagai produsen terhambat.
Contoh lain pemilihan bibit unggul sehingga dalam satu kawasan
lahan hanya ditanami satu macam tanaman, disebut pertanian tipe
monokultur, dapat mengurangi keanekaragaman sehingga
keseimbangan ekosistem sulit untuk diperoleh. Ekosistem dalam
keadaan tidak stabil. Dampak yang lain akibat penerapan tipe ini
adalah terjadinya ledakan hama. Atau ketidak seimbangan
ekosistem juga disebabkan kondisi alam seperti gunung meletus,
banjir, kebakaran.

Diagram Dinamika Ekosistem antara waktu dan jasa ekosistem

Padahal berdasarkan arah pembangunan nasional, terutama dalam


pembangunan jangka panjang seperti ditetapkan GBHN adalah
bahwa pembangunan tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah,
seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan sebagainya.
Atau juga kepuasaan batiniah seperti pendidikan, rasa aman,
bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab, rasa
keadilan dan sebagainya. Melainkan keselarasan, keserasian dan
keseimbangan antara keduanya.
Hal tersebut kurang lebih sama dengan Konsideransi UU no. 4
Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UPPLH 1982) yang telah diubah dengan UU no.
23 Tahun 1977 yang pada prinsipnya mengatakan bahwa: untuk

menunjang pembangunan yang berkesinambungan dilaksanakan


dengan kebijaksanaan terpadu dan menyeluruh serta
memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan mendatang.
Jadi prinsip pokok pembangunan yang kita lakukan dalam segala
segi yang menyangkut lingkungan hidup, adalah bijaksana
bilamana sudah didasarkan pada sadar dan perencanaan, di
samping selalu bijaksana untuk mengelola lingkungan dengan
segala sumberdaya-sumberdayanya. Semua ini ditujukan untuk
peningkatan dan kelanggengan hidup (sustainabilty). Kuduna mah
mun ngilu aturan nyak nteu nenaon.
Kota dan Desa
Dalam hubungan dengan lingkungan hidupnya orang desa
umumnya mempunyai pandangan yang holistik/imanen. Manusia
desa dapat memisahkan dirinya dari sistem biofisiknya. Ada garis
batas yang nyata antara manusia dengan hewan, tumbuhan,
gunung, dan sungai. Akan tetapi mereka merasa adanya hubungan
fungsional antara dirinya dengan sistem biofisik. Kita bisa berkaca
dari suku sunda yang tinggal di desa percaya bahwa manusia
adalah bagian dalam dan dari suatu kesatuan besar, semua
mempunyai tempatnya dan tidak ada sesuatu yang berdiri sendiri.
Ekosistem biofisik manusia desa terilhat seperti gambar

Diagram hubungan Energi, materi, dan informasi


Walaupun sistem biofisik merupakan sumberdaya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, namun arus energi, materi dan informasi dari
sistem sosial ke sistem biofisik bukanlah semata-mata alat
eksploitasi, melainkan lebih penting adalah untuk menjaga
keserasian dalam ekosistem.
Aturan religius yang mengatur eksploitasi sumberdaya alam oleh
manusia, kemudian melahirkan tradisi-tradisi yang hakikatnya
adalah baik untuk menjaga kelestarian ekosistem. Hanya saja
tradisi tersebut tidak diberikan secara ilmiah, melainkan mitos.
Misal, perlindungan hutan untuk menjaga mata air, mencegah
banjir, dan sebagainya. Tidak naif, dalam tahap perkembangan
kebudayaan imanen, mistisme berkembang dengan baik
sedangkan ilmu pengetahuan belum dapat berkembang. Namun
demikian, tidak boleh a priori menganggap semua tradisi itu jelek,
sehingga salah satu kriteria kemajuan desa yang didasarkan pada
berkurangnya tradisi haruslah dilakukan dengan sangat hati-hati.
Jika dibandingkan dengan kota, mungkin kebalikan dari uraian yang
telah disampaikan diatas. Berdasarkan ukuran tertentu desa
merupakan ekosistem yang kurang berkembang daripada kota.

Karena itu secara alamiah desa akan dieksploitasi oleh kota.


Walaupun desa mengalami perkembangan juga karena adanya
arus energi, materi dan informasi dari kota, namun karena sifat
yang arus yang asimetris itu, kecepatan perkembangan desa akan
lebih kecil daripada kecepatan perkembangan kota.
Permasalah di desa dapat berimbas ke kota. Contohnya
ketersediaan lapangan kerja yang rendah di desa akan
menimbulkan arus urbanisasi penduduk ke kota. Urbanisasi yang
tidak terkendali akan menyebabkan terjadinya kepadatan penduduk
berlebih di kota. Pada akhirnya, ia akan menyebabkan terjadinya
sejumlah persoalan sosial di kota, seperti: kemacetan, kriminalitas,
pemukiman kumuh, dan lain sebagainya.
Demikian sebaliknya, permasalah di kota juga dapat berimbas ke
desa. Krisis ekonomi di kota dapat menyebabkan terjadinya
penurunan daya beli penduduk kota atas hasil pertanian,
perkebunan, perikanan dan peternakan masyarakat desa. Pada
akhirnya, ia berpotensi melahirkan sejumlah permasalaan sosial di
desa.

Dari grafik nampak perbedaan p1 antara kota dan desa pada t1


adalah lebih kecil daripada p2 dan seterusnya. Andaikan, pada t2
desa telah mencapai nilai ambang garis kemiskinan, apapun
ukurannya, sehingga setelah t2 desa sudah ada diatas garis
kemiskinan, akan tetapi karena perbedaan makin besar, keresahan
sosial makin besar pula. Sebab yang penting bukanlah nilai mutlak
suatu tingkat kemajuan, melainkan nilai relatif terhadap yang lain.
Apabila eksploitasi kota terhadap desa berjalan terlalu intensif,
sumber daya yang menjadi dasar perkembangan desa akan
mengalami eksploitasi berlebih sehingga menjadi rusak.
Perkembangan desa pun akan berhenti, kurva pertumbuhan desa
akan mendatar, jika kerusakan berjalan turun, kurva itu akan
menurun serta desa akan ambruk. Keambrukan desa cepat atau
lambat akan diikuti pula oleh keambrukan kota.
Salah satu contoh tentang eksploitasi desa oleh kota adalah sistem
perkebunan dan HTI (Hutan Tanaman Industri) yang menghasilkan
keuntungan tiap tahunnya, akan tetapi sedikit manfaatnya bagi
penduduk di daerah itu. Walaupun sudah ada usaha pendekatan

kemakmuran (properity approach) yang dilakukan oleh Perhutani,


namun perubahan yang prinsipil belumlah terjadi. Dan masih
banyak contoh-contoh lain eksploitasi desa.
Dengan penguasaan ilmu dan teknologi, orang kota dalam
berhadapan dengan orang desa menang dalam prinsip daya
maksimum (maximum power principle), yaitu sistem yang dapat
menang dalam kompetisi adalah yang dapat mengembangkan arus
energi lebih banyak ke dalam sistem itu. Arus energi yang lebih
besar itu, bekerja sebagai pompa yang memperbesar arus materi
dan informasi ke dalam sistem kota. Informasi yang lebih besar
selanjutnya akan bekerja sebagai umpan-balik (feedback loop)
yang lebih besar lagi arus energinya.

Misal sebuah sistem S1 akan mendapatkan suatu proyek.


Andaikan, biaya dan manfaat proyek tersebar dari S1 menurut
kurva normal seperi gambar diatas. Keputusan tidak diambil di S1
melainkan di S2, misal ibukota negara. Kurva manfaat seringnya
merupakan bayangan kaca kurva normal, yaitu garis manfaat2. Hal
ini dikarenakan orang desa tidak bisa memanfaatkan proyek

tersebut. Sebenarnya sistem S1 merugi, karena S1 nilai biaya lebih


besar daripada nilai manfaat, yaitu manfaat-biaya = P2 bernilai
negatif. Akan tetapi di S2, menurut kriteria yang dibuat oleh sistem
S2, nilai manfaat adalah lebih besar dari pada nilai biaya, yaitu P3.
Karena yang mengambil keputusan adalah S2 dan bukan S1,
proyek itu berjalan juga. Contohnya seperti pembangunan industri
dan pembangunan di pedesaan yang mana proyek-proyek ini
sering menciptakan masyarakat enklaf (enclave community),
komunitas yang makmur ditengah masyarakat yang melarat. Sifat
enklaf ini dapat sangat sempurna dengan dibangunnya pagar yang
menutup rapat perumahan proyel.
Utopisme Permakultur
Permakultur adalah kesadaran desain dan pemeliharaan ekosistem
pertanian produktif yang memiliki keragaman, stabilitas, dan
ketahanan ekosistem alam. Tujuan utama dari permakultur adalah
menjaga keharmonisan lingkungan (landscape) dengan manusia.
Elemen desain di dalam permakultur mencakup komponen site,
komponen energi, komponen abstrak, dan komponen sosial. Pada
komponen sosial, mencakup legal aids, people, culture, dan trade
and finance (Mollison, 1988).

Proses tersebut dapat digunakan untuk mendapatkan hasil yang


bervariasi. Di dalam batas-batas (zona permakultur), dapat
diakumulasikan sebagai sumber daya yang sangat kaya.
Masyarakat bergantung pada translator (penerjemah) seperti alam
yaitu pohon untuk menyimpan sumber daya yang tidak dapat
dirasakan dan menyimpannya untuk digunakan di dalam sistem
masyarakat. Ketergantungan terhadap sistem yang berkelanjutan,
yaitu berupa sistem yang saling memutar (circle), diterapkan pada
tiap zona konsep permakultur yang terdapat pada ekowisata.
Konsep permakultur terbagi menjadi lima zona, yaitu zona 1
sebagai zona inti. Semakin jauh dari inti maka frekuensi kunjungan
semakin jarang. Sehingga zona 5 merupakan zona yang terlindungi
untuk menghasilkan energi seperti hutan (pengembangan dan
pemeliharaannya tidak sepenuhnya dikontrol manusia).

Kesimpulan
Jelaslah modernisasi desa dengan memasukkan persepsi kualitas
kota ke desa akan mengakibatkan banyak masalah. Pembangunan
desa untuk memerangi kemiskinan haruslah memanfaatkan
pengetahuan dan teknologi tradisional. Jika tujuannya memang
produksi, maka pertumbuhan produksi dan konsumsi berada dalam
batas-batas kemampuan lingkungan memulihkan diri. Kearifan
ekologi orang harus tetap digali, kemudian disistematisasi menjadi
ilmu dan menggunakannya untuk membangun desa. Pendidikan di
desa haruslah lebih dikembangkan lagi untuk meningkatkan
kemampuan orang desa mengumpulkan, memproses dan
menggunakan informasi baru. Kebijaksanaan laisez faire pada
akhirnya akan menjerumuskan desa dalam eksploitasi kota.
Penulis merupakan mahasiswa S1 Rekayasa Kehutanan ITB.
Karena kehutanannya itu dia jadi akrab dengan alam liar. Suka
dengan filsafat dan kepenulisan. Dia adalah anggota Komune
Rakapare yang mengurusi bidang kaderisasi. Pernah dan masih
menjadi Kepala Sekolah Rakapare.
Referensi
[1] Peursen, Strategi Kebudayaan
[2] T. Odum. Energy Basis for Man and Nature
[3] Margalef, Perspective in Ecological Theory
[4] Lewis Mumford, The Culture of Cities, New York: Harcourt
Brace: 1938

[5] Mollison, Bill. 1979. PERMACULTURE: A Designers Manual


Second Edition. Australia: Tagari, 2002

Suatu diskursus pemberdayaan selalu akan dihadapkan pada fenomena ketidakberdayaan


sebagai titik tolak dari aktivitas pembedayaan. Ketidakberdayaan yang dialami oleh
sekelompok masyarakat telah menjadi bahan diskusi dan wacana akademis dalam beberapa
dekade terakhir ini. Di Indonesia, diskursus pemberdayaan semakin menguat berkaitan
dengan penguatan demokratisasi dan pemulihan (recovery) krisis ekonomi. Kieffer dalam Edi
Suharto (1998:211) mendeskripsikan secara konkrit tentang kelompok mana saja yang
mengalami ketidakberdayaan yaitu; kelompok-kelompok tertentu yang mengalami
diskriminasi dalam suatu masyarakat seperti masyarakat kelas ekonomi rendah; kelompok
miskin, usaha kecil, pedagang kaki lima, etnis minoritas, perempuan, buruh kerah biru, petani
kecil, umumnya adalah orang-orang yang mengalami ketidakberdayaan.
Keadaan dan perilaku tidak berdaya yang menimpa kelompok tersebut sering dipandang
sebagaideviant atau menyimpang, kurang dihargai dan bahkan dicap sebagai orang yang
malas dan lemah yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal ketidakberdayaan tersebut
merupakan akibat faktor struktural dari adanya kekurangadilan dan faktor kultural berupa
diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan tertentu.
Menurut Sennet & Cabb (1972) dan Conway (1979) dalam Suharto (1998:209);
ketidakberdayaan ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti ketiadaan jaminan ekonomi,
rendahnya akses politik, lemahnya akses informasi dan teknologi, ketiadaan dukungan
fnansial serta tidak tersedianya pendidikan dan pelatihan. Para teoritisi seperti Seeman
(1985), Seligman (1972), dan Learner (1986) yang dirangkum Suharto meyakini bahwa
ketidakberdayaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat merupakan akibat dari proses

internalisasi yang dihasilkan dari interaksi mereka dengan masyarakat. Kelompok masyarakat
yang kurang berdaya menganggap diri mereka lemah dan tidak berdaya karena masyarakat
menganggap demikian. Seeman menyebutnya dengan alienasi, Seligmen menyebutnya
dengan ketidakberdayaan dan Learner mengistilahkan dengan ketidakberdayaan surplus.
Berangkat dari fenomena ketidakberdayaan tersebut, maka muncul berbagai tindakan
pemberdayaan dengan berbagai pendekatan mulai dari program yang berkelanjutan sampai
pada aktivitas-aktivitas yang sporadis. Pengertian pemberdayaan sendiri menjadi perhatian
banyak pihak dari berbagai bidang, disiplin ilmu dan berbagai pendekatan. Menurut
Rappaport dalam Suharto (1998:3); pemberdayaan menunjuk pada usaha realokasi sumber
daya melalui pengubahan struktur sosial. Pemberdayaan adalah suatu cara yang diarahkan
kepada masyarakat, organisasi atau komunitas agar mampu menguasai (berkuasa atas)
kehidupannya. Torre (1985:18) mengemukakan bahwa pemberdayaan adalah:
A process through which people become strong enough to participate within, share in the
control of, and influence events and institutions affecting their lives, (and that in part)
empowerment necessitates that people gain particular skills, knowledge and sufficient power
to influence their lives and the live those they care about.
Jadi tujuan pemberdayaan pada hakekatnya seperti yang dijelaskan Ife
(1995:56): Empowerment aims to increase the power of disadvantage.
Lebih jauh Torre (1985) dalam Parson (1994:106) menjelaskan tentang dimensi
pemberdayaan yang terdiri dari 3 dimensi yaitu:
1.

A development process that begins with individual growth, and possibly culminates in
larger scope such as social change.

2.

A psychological state marked by heightened feelings of self-esteem, efficacy and


control.

3.

Liberation resulting from a social movement, which begins with education and
politization of powerless people and later involves collective attempts by the powerless to
gain power and to change those structure that remain oppressive.
Menurut beberapa penulis, seperti Solomon (1976), Rappaport (1981, 1984), Pinderhughes
(1983), Swift (1984), Weick, Rapp, Suliva & Kristhardt (1989) didapatkan kesamaan prinsipil
dalam pemahaman tentang pemberdayaan yaitu:

1.

a. Empowerment is a collaborative process, with the people and the practitioner


working together as a partner.

2.

b. The empowering process views society systems as competent and capable, given
access to resources and opportunities.

3.

c. Competence is acquired or refined through life experience, particularly experience


affirming efficacy, rather than from circumstances where one is told what to do.

4.
5.

d. Society must perceive them selves as casual agent, able to effect changes.
e. Solution, evolving from the particular situation, are necessarily diverse and
emphasize `complexities of multiple contributory factors in any problem situation (Solomon,
1976:27)

6.

f. Informal social networks are a significant sources of support for mediating stress
and increasing one`s competence and sense of control.

7.

g. People must participate in their own empowerment; goals, means, and outcomes
must be self defined.

8.

h. Level of awareness is a key issue in empowerment; knowledge mobilizes action for


change (Swift & Levin, 1987:81)

9.

i. Empowerment involves access to resources and the capacity to use those resources
in an effective way.

10.

j. The empowerment process is dynamic, synergistic, ever changing, and evolutionary;


problems always have multiple solution.

11.

Empowerment is achieve through the parallel structure of personal and


socioeconomic development. (Du Bois & Miley, 1992:212)
Menurut Ife (1995:61-64), pemberdayaan memuat dua pengertian kunci yakni kekuasaan dan
kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuatan politik
namun mempunyai arti luas yang merupakan penguasaan masyarakat atas:

1.

Power over personal choices and life chances. Kekuasaan atas pilihan-pilhan personal
dan kesempatan-kesempatan hidup, kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan
mengenai pilihan hidup, tempat tinggal dan pekerjaan dan sebagainya.

2.

Power over the definition of need. Kekuasaan atas pendefnisian kebutuhan,


kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginan.

3.

Power over ideas. Kekuasaan atas ide atau gagasan, kemampuan mengekspersikan
dan menyumbang gagasan dalam interaksi, forum dan diskusi secara bebas dan tanpa
tekanan.

4.

Power over institutions. Kekuasaan atas lembaga-lembaga, kemampuan menjangkau,


menggunakan dan mempengaruhi lembaga-lembaga masyarakat seperti; lembaga
pendidikan, kesehatan, keuangan serta lembaga-lembaga pemenuh kebutuhan hidup lainnya.

5.

Power over resources. Kekuasaan atas sumber daya, kemampuan memobilisasi


sumber daya formal dan informal serta kemasyarakatan dalam memenuhi kebutuhan hidup.

6.

Power over economic activity. Kekuasaan atas aktivitas ekonomi kemampuan


memamfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi serta pertukaran barang dan
jasa.

7.

Power over reproduction. Kekuasaan atas reproduksi, kemampuan dalam kaitannya


dengan proses reproduksi dalam arti luas seperti pendidikan, sosialisasi, nilai dan prilaku
bahkan kelahiran dan perawatan anak.
Pemberdayaan dapat diartikan sebagai tujuan dan proses. Sebagai tujuan, pemberdayaan
adalah suatu keadaan yang ingin dicapai, yakni masyarakat yang memiliki kekuatan atau
kekuasaan dan keberdayaan yang mengarah pada kemandirian sesuai dengan tipe-tipe
kekuasaan yang disebutkan sebelumnya. Menurut Edi Suharto (1985:205) Pemberdayaan
sebagai proses memiliki lima dimensi yaitu:

1.

Enabling; adalah menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi


masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan
masyarakat dari sekat-sekat struktural dan kultural yang menghambat.

2.

Empowering adalah penguatan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki


masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Pemberdayaan harus mampu menumbuhkembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan
diri masyarakat yang menunjang kemandirian.

3.

Protecting yaitu melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar


tidak tertindas oleh kelompok-kelompok kuat dan dominan, menghindari persaingan yang
tidak seimbang, mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap yang lemah.
Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi
yang tidak menguntungkan masyarakat kecil. Pemberdayaan harus melindungi kelompok
lemah, minoritas dan masyarakat terasing.

4.

Supporting yaitu pemberian bimbingan dan dukungan kepada masyarakat lemah agar
mampu menjalankan peran dan fungsi kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu
menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah
dan terpinggirkan.

5.

Fostering yaitu memelihara kondisi kondusif agar tetap terjadi keseimbangan


distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok masyarakat. Pemberdayaan harus mampu
menjamin keseimbangan dan keselarasan yang memungkinkan setiap orang memperoleh
kesempatan usaha.
Edi Suharto (1998:220) menjelaskan pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan
yaitu:

1.

Pendekatan mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap individu melalui bimbingan,


konseling, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih individu
dalam menjalankan tugas-tugas kesehariannya. Model ini sering disebut sebagai pendekatan
yang berpusat pada tugas (task centered approach)

2.

Pendetakatan mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap kelompok masyarakat,


pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kelompok sebagai media
intervensi. Pendidikan, pelatihan, dinamika kelompok biasanya digunakan sebagai strategi
dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan serta sikap-sikap kelompok agar
memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapi.

3.

Pendekatan makro. Pendekatan ini sering disebut dengan strategi sistem pasar (largesystem strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang luas.
Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini.
Berkaitan dengan tema pemberdayaan usaha kecil dalam program kemitraan. Beberapa
tokoh dan lembaga memberikan penjelasan dan pengertian tentang kemitraan. Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (1999:3) dalam program Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS), mengartikan kemitraan usaha adalah sebagai kerja
sama antara perusahaan besar dengan pengusaha kecil, menengah dan koperasi disertai
pembinaan dan pengembangan pengusaha kecil, menengah dan koperasi dengan
memperhatikan prinsip-prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling
menguntungkan. Sementara Yuyun Kartasasmita dalam Susanto (2000:15) menjelaskan
kemitraan adalah merupakan hubungan kerja sama antara pengusaha kecil dengan
pengusaha besar yang didasarkan adanya prinsip saling menguntungkan, dan juga dapat
disertai adanya bantuan pembinaan berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia,
pemasaran, teknik produksi, modal kerja, dan kredit bank. Pendapat serupa dikemukakan
Kartasasmita (1996:189) bahwa kemitraan adalah hubungan kerja sama antar usaha yang
sejajar dan dilandasi oleh prinsip saling menunjang dan saling menghidupi berdasarkan asas
kekeluargaan dan kebersamaan. Jafar (2000:93) mendefnisikan kemitraan sebagai suatu
strategis bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk
meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan.
Jika ditinjau berdasarkan perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang
usaha kecil mendefnisikan kemitraan usaha sebagai kerja sama usaha antara usaha kecil
dengan menengah atau dengan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling
memperkuat, saling memerlukan dan saling menguntungkan.
Tujuan kemitraan usaha menurut Jafar ( 2000; 63) yaitu :

1.

Meningkatkan pendapatan usaha kecil dan masyarakat.

2.

Meningkatkan perolehan nilai tambah tinggi bagi pelaku kemitraan.

3.

Meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil.

4.

Meningkatkan pertambahan ekonomi desa.

5.

Memperluas kesempatan kerja.

6.

Meningkatkan ketahanan nasional.


Manfaat kemitraan usaha menurut Muhammad Jafar (2000:54-61), yaitu :

1.

Produktiftas. Dengan adanya kemitraan usaha diharapkan adanya peningkatan


produktiftas dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang bermitra.

2.

Efsiensi. Penerapannya kemitraan bagi pengusaha besar dapat menghemat tenaga


dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja yang dimiliki oleh usaha
kecil. Sebaiknya usaha kecil yang umumnya relatif lemah dalam hal kemampuan teknologi
dan sarana produksi dengan bermitra akan menghemat waktu produksi melalui teknologi dan
sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar.

3.

Jaminan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas pada kegiatan kemitraan. Proses produksi
biasanya tidak dikuasai oleh satu pihak saja, maka pihak-pihak yang terlibat perlu
menerapkan suatu standar mutu yang disepakati sehingga pada akhir produksi dapat
diperoleh jaminan mutu yang berkesinambungan.

4.

Resiko. Setiap kegiatan bisnis/usaha selalu memiliki resiko, bahkan satu norma yang
dianut oleh dunia usaha bahwa keuntungan/kesuksesan yang besar biasanya mengandung
konsekwensi resiko yang besar pula. Dengan kemitraan diharapkan resiko yang besar dapat
ditanggung bersama. Tentunya pihak-pihak yang bermitra akan menanggung resiko yang
proposional sesuai dengan besarnya modal dan keuntungn yang diperoleh.

5.

Sosial. Kemitraan usaha bukan hanya memberikan dampak positif secara ekonomi. Di
samping itu, kemitraan dapat memberikan dampak sosial yang tinggi, dengan mengantisipasi
kecemburuan sosial yang bisa menjadi gejolak sosial akibat ketimpangan.
Menurut Elyas dalam Susanto (1997:4) pola kemitraan terdiri dari beberapa kategori yaitu :

1.

Pola Sub Kontrak yaitu usaha kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh
usaha besar sebagai bagian dari cara produksinya.

2.

Pola Waralaba yaitu pemberi waralaba memberikan hak penguasaan lisensi, merek
dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada usaha kecil penerima waralaba dengan
disertai bimbingan manajemen.

3.

Pola Keagenan (agen) yaitu usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang
dan jasa usaha besar.

4.

Pola Dagang Umum yaitu usaha besar menawarkan hasil produksi usaha kecil, atau
usaha kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh usaha besar.

5.

Pola Inti Plasma yaitu hubungan kemitraan antara usaha kecil sebagai plasma dengan
usaha besar sebagai inti. Perusahaan melakukan pembinaan yang terdiri dari sarana produksi,
bimbingan teknis, promosi, pemasaran.
Terdapat tahapan kegiatan yang dilakukan untuk menyiapkan pelaku-pelaku usaha agar siap
bermitra antara lain, yaitu (Susanto, 1997:4):

1.

Identifkasi dan pendekatan kepada pelaku usaha, baik pelaku usaha kecil, menengah,
maupun usaha besar. Dalam tahapan identifkasi ini dikumpulkan data dan informasi yang
berkaitan dengan jenis usaha dan komoditas, potensi sumber daya, kemampuan pelaku
usaha dalam berbagai bidang seperti penguasaan IPTEK, permodalan, sumber daya manusia,
maupun sarana-sarana lainnya. Dalam tahap ini diharapkan masing-masing pelaku usaha
dapat saling mengenal satu sama lain, sehingga dapat teridentifkasi pelaku usaha mana
yang paling potensial untuk dijadikan mitra usaha.

2.

Membentuk wadah organisasi ekonomi untuk memudahkan pengorganisasian,


komunikasi, koordinasi antara pengusaha menengah/besar dengan pengusaha kecil yang
belum berbadan hukum dalam jumlah yang banyak. Pengelompokan/pengorganiasian ini
dimaksudkan agar terbentuk skala ekonomi tertentu yang mempunyai aspek legalitas
(berbadan hukum) seperti misalnya koperasi, PD, CV ataupun PT.

3.

Menganalisis kebutuhan pelaku usaha. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui lebih
mendalam mengenai peluang-peluang usaha dan permasalahan-permasalahan mendasar

dalam pengembangan usaha yang dihadapi pelaku-pelaku usaha baik pelaku usaha kecil,
menengah, maupun koperasi.
4.

Merumuskan program. Setelah permasalahan dan peluang-peluang usaha dianalisa,


maka dapat disusun program yang dapat diaplikasikan dalam bentuk kegiatan seperti
pelatihan, magang, studi banding, pemberian konsultasi serta peningkatan koordinasi.

5.

Kesiapan bermitra. Adanya kemitraan harus disadari kedua belah pihak bahwa
bermitra merupakan hubungan kerja dan peluang, dan juga menjadi ajang untuk belajar dan
mengembangkan diri serta menimba kekuatan/kelebihan-kelebihan yang dimiliki mitra
usahanya. Selain itu pelaku-pelaku usaha yang akan bermitra perlu memahami adanya
keseimbangan yang jelas antara kontribusi, proses partisipasi yang melibatkan semua pihak
serta pembagian hasil yang sepadan sesuai dengan kontribusi.

6.

Temu usaha. Kegiatan ini mempunyai tujuan untuk mempertemukan pelaku-pelaku


usaha yang telah siap bermitra. Pada pertemuan ini kedua belah pihak mulai saling
mengetahui kebutuhan-kebutuhan yang akan diperlukan, pokok-pokok permasalahan yang
dihadapi dan harapan-harapan dari pihak-pihak yang akan terlibat. Target dari pertemuan
adalah kontrak kerja sama antara pelaku-pelaku usaha yang akan bermitra.
Berkembangnya suatu kemitraan tidak terlepas dari adanya dukungan iklim yang kondusif
untuk berkembangnya investasi dan usaha daerah. Dukungan fasilitas, kemudahan perizinan,
perangkat kebijakan perkreditan, tingkat suku bunga, peraturan daerah, dan iklim kondusif
lainnya sangat membantu proses kemitraan. Dalam perwujudan hal tersebut sangat
diperlukan adanya koordinasi dan persamaan persepsi antar lembaga terkait mulai dari
tingkat pusat (nasional) sampai tingkat daerah.
Beradasarkan Keputusan Direksi PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Nomor: KD 51/KU200/PUK00/2003 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) bahwa pemberdayaan
usaha kecil diimplememtasikan berbadasarakan 3 (tiga) indikator utama yaitu peningkatan
asset (modal), penjualan (omset), serta meningkatnya jumlah tenaga kerja dari mitra binaan.
Guna mengkaji ukuran-ukuran pemberdayaan usaha kecil, Suharto mengemukakan bahwa
pemberadayaan usaha kecil harus dilihat dari akar permasalahan yang dihadapai usaha kecil
yang terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Dengan begitu, suatu usaha
pemberadayaan khsusunya dalam program kemitraaan harus mengacu pada permasalahan
yang dihadapi usaha kecil. Berkaitan dengan pemberdayaan usaha kecil pada aspek eksternal
yang berhubungan dengan kemampuan (kapabilitas) usaha kecil diukur melalui seberap jauh
usaha kecil dapat bertahan dalam persaingan usaha dan iklim usaha, mampu tetap
mengakses berbagai sumber daya seperti informasi, teknologi, pasar dan akses pada
permodalan.
Di aspek lain, Erwan (74:2004) mengemukakan tentang aspek internal dari pemberdayaan
usaha kecil yang terdiri dari kuantitas dan kualitas sumber daya yang dimiliki usaha kecil
serta kompetensi usaha. Sedangkan menurut Erwan (80:2004) bahwa tujuan pemberadayaan
usaha kecil adalah membentuk usaha kecil yang mandiri sehingga dapat berkembang
menjadi usaha menengah. Kemandirin usaha ini diukur dari tingkat ketergantungan usaha
kecil terhadap faktor-faktor luar yang mempengaruhi usaha kecil seperti mitra usaha,
supplier, pemebri modal dan sebagainya.

Degradasi Lingkungan Danau


Proses terbentuknya Danau Tempe yang berasal dari proses pergeseran dan pengangkatan
batuan atau daratan, memberikan karakter terhadap sifat fisik lingkungan danau seperti
landai dari wilayah daratan sekitarnya serta elevasi yang rendah dari permukaan laut. Hal
menimbulkan bajir tahunan jika datang musim hujan. Karakter fisik ini diperparah lagi
oleh kondisi alam disekitarnya serta tindakan manusia yang tidak menjaga kelestarian
ekosistem lingkungan danau secara keseluruhan, mulai dari hulu sungai sampai ke dalam
danau. Beberapa degradasi lingkungan yang sedang terjadi di Danau Tempe dapat
dijelaskan seperti di bawah ini.
a. Sedimentasi
Pendangkalan merupakan permasalahan ekologis, setidaknya ada dua penyebab dari
permasalahan besar tersebut yang sangat kompleks dan terkait dengan masalah-masalah
lain di Danau Tempe yaitu sedimentasi dan pencemaran. Berdasarkan Laporan BAPEDAL
Regional III (2000) bahwa proses hidrologi langsung atau tidak langsung akan
mempengaruhi erosi dan sedimen serta aspek kualitas air danau. Ada beberapa sungai yang
bermuara dan menjadi sumber sedimen Danau Tempe yaitu 1) Sungai Bila dengan 3 Daerah
Aliran Sungai (DAS) pada 3 kabupaten yaitu Kab. Enrekang, Kab. Sidrap dan Kab.Wajo.
Besarnya sedimen daerah tangkapan air sungai Sungai Bila sebanyak 192.592 juta m3, 2)
Sungai Walennae dengan DAS mencakup 4 kabupaten yaitu Kab. Soppeng, Kab. Bone, Kab.
Maros dan Kab. Wajo. Sedimen yang terbawa dan masuk ke danau sebesar 786.066j uta
m3, 3) Sungai-sungai kecil seperti Sungai Wettee, Sungai Batu-Batu, Sungai Waronge,
Sungai Tancung dan lain-lain juga memberikan kontribusi sedimen sebesar 90.491 juta m3.

Total sedimen yang masuk ke Danau Tempe adalah 1.069.099 juta m3, sementara yang
dikeluarkan melalui Sungai Cenranae adalah 550.490 juta m3. Dengan demikian sisa
sedimen yang mengendap di dasar danau sebesar 518.609 juta m3. Jika setiap tahunnya
sedimen tidak keluar dan terus mengendap maka akan terjadi proses pendangkalan danau
setinggi 0,37 cm dari proses sedimentasi (Bapedal, 2000).
Sedimentasi yang terjadi 0,37 cm setiap tahun telah menyebabkan pendangkalan yang
menimbulkan dampak negatif bagi sumberdaya perikanan Danau Tempe. Danau Tempe
menjadi lebih dangkal dan volume air berkurang sehingga ruang perairan untuk habitat
ikan juga berkurang.
Sedimen yang masuk ke DAS merupakan akumulasi erosi dan buangan rumah tangga dan
industri sepanjang DAS. Erosi disebabkan oleh penebangan hutan di sekitar hulu dan
sepanjang DAS sehingga aliran air pada saat hujan mengikis lapisan tanah dan terbawa ke
sungai. Kemudian pada badan air danau terdapat banyak tanaman air baik yang tumbuh
dari dasar danau maupun yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bungka toddo.
Tanaman air ini menjadi perangkap sedimen dan mengendapkan sedimen ke dasar danau.
Menurut penelitian Nippon Koei (2003), bahwa sepanjang musim hujan 80 90 persen
permukaan danau ditutupi oleh tanaman air.
Suara Publik (2003) menulis bahwa akibat kerusakan lingkungan, telah terjadi
pendangkalan dan penyempitan danau. Di musim kemarau, danau hampir kering dengan
rata-rata kedalaman air hanya 0,5 1,0 meter. Sebaliknya, pada puncak musim hujan, air
banjir pemukiman penduduk dan menghanyutkan segalanya.
b. Pencemaran.
Air danau dan aliran-aliran sungai di sekitarnya dipergunakan oleh masyarakat sebagai
sumber air bersih, tetapi masyarakat tidak mengetahui tingkat pencemaran air dan juga
kebutuhan air bersih untuk MCK (Mandi, Cuci, Kakus) hanya bertumpu pada air sungai dan
danau. Laporan Bappedal (2000) menunjukkan bahwa setidaknya ada 3 sumber-sumber
pencemar air danau yaitu 1) Kegiatan Rumah Tangga yang menghasilkan bahan buangan
organik (dedaunan, bekas bungkusan kertas), buangan olahan bahan makanan (ikan,
daging), buangan zat kimia (dari sabun, detergen, shampoo, dan bahan pembersih lain), 2)
Kegiatan Pertanian seperti penggunaan pestisida (insektisida, herbisida, zat pengatur
tumbuh) dan pupuk (ZA, DAP, Urea, NPK dan lain-lain), 3) Kegiatan Industri dengan 4
golongan yaitu industri makanan dan tembakau, pertenunan sutera dan pakaian jadi,
industri kayu dan perabot, industri percetakan. Bahan buangan dari industri berupa
buangan padat, organik, olahan makanan dan zat kimia.
Hal yang juga menjadi perhatian utama adalah pencemaran perairan yang terjadi,
berdasarkan penelitian lembaga kami dan Bappedal Wil. III menunjukkan adanya indikator
bahwa perairan Danau Tempe mengalami pencemaran seperti perubahan suhu air, pH,
warna, bau, rasa, tingginya kekeruhan, logam berat (timbal dan arsen) dan meningkatnya
radioaktivitas air. Sumber utama yang membawa bahan pencemar keperairan adalah
aktivitas masyarakat yang semakin meningkat dalam bentuk kegiatan pertanian dan limbah
dari pemukiman yang padat di sekitar areal Danau Tempe. Masalah pencemaran ini
merupakan akibat dari aktivitas masyarakat di sekitar danau dan DAS yang kurang tertata.
Masyarakat belum memiliki kesadaran tentang pentingnya pelestarian perairan sungai dan
danau. Hal ini disebabkan umumnya masyarakat masih memiliki tingkat pendidikan rendah
dan keterampilan/pengetahuan yang kurang dalam mengelola (mengeksploitasi) danau
serta dalam melakukan aktivitas sekitar danau atau DAS.
Permasalahan sedimentasi dan pencemaran yang cenderung semakin tinggi memberikan
kontribusi terhadap proses pendangkalan di Danau Tempe. Hasil Penelitian JICA (1993)
menunjukkan bahwa setiap tahunnya terjadi pendangkalan berkisar 15 20 cm dan

cenderung meningkat setiap tahun. Berdasarkan kesimpulan Laporan BAPEDAL Regional III
(2000) menyatakan bahwa apabila laju sedimentasi terus meningkat setiap tahunnya
diperkirakan 100 200 tahun kemudian Danau Tempe akan menjadi suatu daerah dataran
yang subur karena adanya penumpukan sedimen yang banyak mengandung bahan organik.
c. Terjadi peningkatan gulma air
Tingginya produktifitas dan kesuburan Danau Tempe terlihat dari semakin meningkatnya
pertumbuhan gulma air pada perairan danau dimana luas penutupannya mencapai 40 %.
Hal ini dapat menjadi ancaman karena membantu mempercepat proses pendangkalan
Danau Tempe. Tanaman air yang menjadi gulma di danau adalah didominasi oleh eceng
gondok, akar tanaman ini dapat mencapai dasar danau dan menjadi perangkap sedimen
kemudian mengendapkan di dasar danau.
Menurut wawancara dengan nelayan dijelaskan bahwa pada akhir musim hujan, dimana
banyak nelayan yang memasang bungka toddo dari tanaman air khususnya eceng gondok
dan kangkung, sehingga akan menutupi sebagian besar permukaan danau dan menyulitkan
jalur nelayan yang menggunakan perahu. Kondisi biasanya dapat menimbulkan konflik
antara nelayan pemilik bungka toddo dengan nelayan yang menggunakan jaring. Pada saat
memasuki musim kering dimana danau semakin sempit karena air sudah turun, hal ini
menyebabkan permukaan danau akan tertutupi sampai 90 % oleh tanaman air.
d. Terancamnya satwa liar dan biota air di areal Danau Tempe
Menurunnya kualitas lingkungan perairan Danau Tempe mempengaruhi daya dukung
organisme didalamnya sehingga keberadan satwa liar dan biota air semakin terancam. Dan
terdapat indikasi menurunnya populasi beberapa satwa liar dan biota air, khususnya yang
jenis endemik. Berdasarkan survei dan wawancara dengan masyarakat sekitar danau
dijelaskan bahwa biota seperti burung (cawiwi, lawase) dan ikan endemik (bungo,
belanak, sidat/masafi) sudah jarang dijumpai di danau.

Anda mungkin juga menyukai