Pendekatan Geografi
Pendekatan Geografi
prinsip dan aspek-aspek geografi, pada kesempatan kali ini Zona Siswa mencoba menghadrikan
sebuah catatan mengenai pendekatan geografi. Loh ko, mesti ada pendekatannya segala untuk belajar
geografi? Untuk apa? Terus apa saja pendekatan-pendakatan dalam belajar geografi? Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, nyokkk kita lihat penjelasan berikut. Semoga
bermanfaat. Check
this
out!!!
Pendekatan
Geograf
Sebagai suatu disiplin ilmu, geografi mempelajari suatu sistem alam yang terdiri atas bagian-bagian
yang saling terkait. Aliran energi dalam suatu sistem menghasilkan perubahan. Perubahan yang
berkesinambungan
akan
menghasilkan
suatu
bentuk
keseimbangan
sistem.
Suatu sistem terdiri dari tiga bagian berbeda, input, output dan komponen. Kita ambil saja Tv sebagai
contoh. Kita bisa menonton tv tidak terlepas dari sistem yang berjalan didalam tv tersebut.
Berjalannya sistem tersebut karena ketiga bagian dalam sistem tersambung bersama; bagian input
yang merupakan listrik, bagian output yang berupa gambar dan suara, serta bagian komponen seperti
layar, speaker, remote, dan antena. Tanpa ketiga bagian dari sistem tersebut tersambung, kita tidak
bisa
menonton
tv.
Pada sistem yang berfungsi baik, seluruh komponen harus tersambung bersama. Planet Bumi yang
mempunyai banyak komponen dapat dilihat sebagai sistem yang kompleks dan sangat besar. Di
dalam sistem Bumi, input adalah energi yang datang dari Matahari dan juga energi yang berasal dari
dalam Bumi, seperti tenaga tektonik. Output adalah perubahan konstan yang dapat dilihat di sekitar
kita
dalam
lingkungan
fisik
dan
manusia,
seperti
panas
serta
hujan.
Sistem Bumi memang suatu sistem yang kompleks, sehingga cara terbaik untuk mempelajarinya
dengan memahami setiap komponen komponennya dengan berbagai pendekatan dalam geografi.
Inilah geografi dari sudut pendekatan sistem. Pendekatan ini terus mengalami perkembangan hingga
masa geografi modern. Dalam geografi modern yang dikenal dengan geografi terpadu (Integrated
Geography) digunakan tiga pendekatan atau hampiran. Ketiga pendekatan tersebut, yaitu analisis
keruangan,
kelingkungan
atau
ekologi,
dan
kompleks
wilayah.
1.
Pendekatan
Wilayah
Dari namanya dapat ditangkap bahwa pendekatan ini akan menekankan pada keruangan.
Pendekatan ini mendasarkan pada perbedaan lokasi dari sifat-sifat pentingnya seperti
perbedaan struktur, pola, dan proses. Struktur keruangan terkait dengan elemen pembentuk
ruang yang berupa kenampakan titik, garis, dan area. Sedangkan pola keruangan berkaitan
dengan lokasi distribusi ketiga elemen tersebut. Distribusi atau agihan elemen geografi ini akan
membentuk pola seperti memanjang, radial, dan sebagainya. Nah, proses keruangan sendiri
berkenaan dengan perubahan elemen pembentuk ruang. Ahli geografi berusaha mencari faktorfaktor yang menentukan pola penyebaran serta cara mengubah pola sehingga dicapai
penyebaran yang lebih baik, efisien, dan wajar. Analisis suatu masalah menggunakan
pendekatan ini dapat dilakukan dengan pertanyaan 5W 1H seperti berikut ini.
Pertanyaan What (apa), untuk mengetahui jenis fenomena alam yang terjadi.
Pertanyaan When (kapan), untuk mengetahui waktu terjadinya fenomena alam.
Pertanyaan Where (di mana), untuk mengetahui tempat fenomena alam berlangsung.
Pertanyaan Why (mengapa), untuk mengetahui penyebab terjadinya fenomena alam.
Pertanyaan Who (siapa), untuk mengetahui subjek atau pelaku yang menyebabkan terjadinya
fenomena alam.
Pertanyaan How (bagaimana), untuk mengetahui proses terjadinya fenomena alam.
2.
Pendekatan
Kelingkungan/
Ekologi
Pendekatan ini tidak hanya mendasarkan pada interaksi organisme dengan lingkungan, tetapi juga
dikaitkan dengan fenomena yang ada dan juga perilaku manusia. Karena pada dasarnya lingkungan
geografi mempunyai dua sisi, yaitu perilaku dan fenomena lingkungan. Sisi perilaku mencakup dua
aspek, yaitu pengembangan gagasan dan kesadaran lingkungan. Interelasi keduanya inilah yang
menjadi ciri khas pendekatan ini. Menggunakan keenam pertanyaan geografi, analisis dengan
pendekatan ini masih bisa dilakukan. Nah, perhatikan contoh analisis mengenai terjadinya banjir di
Sinjai berikut dan kamu akan menemukan perbedaannya dengan pendekatan keruangan. Untuk
mempelajari banjir dengan pendekatan kelingkungan dapat diawali dengan tindakan sebagai berikut.
Identifikasi kondisi fisik yang mendorong terjadinya bencana ini, seperti jenis tanah,
topografi, dan vegetasi di lokasi itu.
Identifikasi sikap dan perilaku masyarakat dalam mengelola alam di lokasi tersebut.
Identifikasi budi daya yang ada kaitannya dengan alih fungsi lahan.
Menganalisis hubungan antara budi daya dan dampak yang ditimbulkannya hingga
menyebabkan banjir.
Menggunakan hasil analisis ini mencoba menemukan alternatif pemecahan masalah ini.
3.
Kompleks
Wilayah
Analisis ini mendasarkan pada kombinasi antara analisis keruangan dan analisis ekologi. Analisis ini
menekankan pengertian areal differentiation yaitu adanya perbedaan karakteristik tiap-tiap
wilayah. Perbedaan ini mendorong suatu wilayah dapat berinteraksi dengan wilayah lain.
Perkembangan wilayah yang saling berinteraksi terjadi karena terdapat permintaan dan penawaran.
Contoh analisis kompleks wilayah diterapkan dalam perancangan kawasan permukiman. Langkah
awal, dilakukan identifikasi wilayah potensial di luar Jawa yang memenuhi persyaratan minimum,
seperti kesuburan tanah dan tingkat kemiringan lereng. Langkah kedua, identifikasi aksesibilitas
wilayah. Dari hasil identifikasi ini dirumuskan rancangan untuk jangka panjang dan jangka pendek
untuk
pengembangan
kawasan
tersebut.
Semoga artikel Geograf tersebut di atas tentang Pendekatan Geograf tersebut bisa
bermanfaat bagi sobat yang membutuhkan. Tidak lupa apa bila ada dari sobat yang menemukan
kesalahan dari artikel di atas baik dari segi penulisan maupun pembahasan, mohon kiranya kritik dan
saran yang membangun kemajuan bersama. Jangan lupa like dan share juga ya. Terima kasih...
^^Maju Terus Pendidikan Indonesia^^
Semester 3 (Tiga)
Disusun Oleh :
Nama
: Angga Saputra
NIM
: 2011.512.010
Dosen Pembimbing
Mata Kuliah
Program Studi
: S1 Ilmu Perikanan
FAKULTAS PERIKANAN
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
2013
KATA PENGANTAR
Segala Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan pratikum ini. Shalawat serta salam tak lupa
kita panjatkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta para keluarga,
sahabat dan para umatnya yang insya allah setia sampai akhir zaman. Laporan praktikum ini
disusun guna melengkapi tugas Ekologi Perairan. Saya telah berusaha untuk dapat
memberikan serta mencapai hasil yang semaksimal mungkin dan sesuai dengan harapan.
Oleh sebab itu pada kesempatan ini, Saya sebagai mahasiswa ingin mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya khususnya kepada Dosen Pembimbing. Saya menyadari
bahwa dalam penulisan dan pembuatan penulisan laporan praktikum ini, masih terdapat
banyak kekurangan, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun sangat saya butuhkan
untuk dapat menyempurnakannya di masa yang akan datang. Semoga apapun yang
disajikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan teman-teman maupun
pihak lain yang lebih membutuhkannya.
Hormat Saya,
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan-hubungan timbal balik antar
organisme hidup dengan lingkungannya. Salah satu kajian dari ekologi adalah ekosistem
tempat organism itu hidup. Ekosistem (satuan fungsi dasar dalam ekologi) adalah suatu
sistem yang didalamnya terkandung komunitas hayati dan saling mempengaruhi antara
komponen biotik dan abiotik. Berdasarkan salinitasnya ekosistem perairan dibedakan menjadi
tiga yaitu ekosistem perairan tawar, ekosistem perairan payau, dan ekosistem perairan laut
(E.P. Odum,1998).
Menurut Anggraini (2007), perairan permukaan diklasifikasikan menjadi dua
kelompok utama yaitu badan air tergenang (standing water atau lentik) dan badan air
mengalir (flowing water atau lotik). Perairan tergenang meliputi danau, kolam, waduk, rawa,
dan sebagainya. Danau atau situ memiliki karakteristik: arus yang stagnan atau tenang,
organisme yang hidup di dalamnya tidak membutukan adaptasi khusus, ada stratifikasi suhu,
substrat umumnya berupa lumpur halus, dan residence time-nya lama. Untuk mengenal
komponen penyusun ekosistem perairan menggenang baik unsur biotik maupun abiotiknya
serta mengetahui interaksi yang terjadi di dalamnya. Metode yang digunakan dalam
praktikum ini adalah penarikan sampel yang dilakukan di Danau Opi Jakabaring Pentingnya
mengenali ekosistem perairan tergenang beserta interaksi antar komponennya sebagai salah
satu ekosistem yang sangat peka terhadap adanya perubahan fisika, kimia, maupun biologi
(Effendi, 2004).
Danau atau situ merupakan satu dari tipe perairan darat dengan ciri utama
tergenangdalam waktu tinggal yang lama, sehingga memungkinkan biota untuk
hidup lebih lama dan berkembang. Perbedaan proses pembentukan dan ciri
fisiknya, memungkinkan perairan inimemiliki parameter kimia yang beragam. Zonasi
perairan tergenang terbagi menjadi dua, yaitu zona benthos dan zona kolom air.
Berdasarkan tingkat kesuburannya, perairan tergenang dapat dibedakan menjadi
oligotrofik (miskin hara), mesotrofik (haranya sedang), eutrofik (kaya unsur hara) (Lukman,
2007).
Danau merupakan kumpulan air yang seolah-olah berda dalam suatu baskom dan
tidak mempunyai hubungan dengan laut atau merupakan suatu badan air yang menggenang
dan luasnya mulai dari beberapa meter persegi hingga ratusan meter persegi. Di danau
terdapat pembagian daerah berdasarkan penetrasi cahaya matahari. Daerah yang dapat
ditembus cahaya matahari sehingga terjadi fotosintesis disebut daerah fotik. Daerah yang
tidak tertembus cahaya matahari disebut daerah afotik. Di danau juga terdapat daerah
perubahan temperatur yang drastis atau termoklin. Termoklin memisahkan daerah yang
hangat di atas dengan daerah dingin di dasar. Komunitas tumbuhan dan hewan tersebar di
danau sesuai dengan kedalaman dan jaraknya dari tepi. Setiap perairan memiliki karakteristik
yang berbeda, baik secara fisik maupun kimiawi. Pada ekosistem perairan tergenang tidak
terdapat arus atau bahkan cenderung stagnan. Residene time yang lama merupakan salah satu
faktor pembeda antara perairan tergenag dan perairan mengalir.
Status ekologis sumberdaya perairan merupakan gambaran keseimbangan hubungan
fungsional antara konponen-komponen ekosistem perairan yang mencakup komponen biotik
dan abiotik. Status ekologis sumber daya perairan juga diartikan sebagai gambaran tingkat
Kegiatan praktikum lapang ekologi perairan ini dilaksanakan pada hari minggu
tanggal 20 Januari 2013 pukul 08.00 WIB - 12.00 WIB yang bertempat di Danau OPI
Jakabaring Palembang Sumatra Selatan. Serta praktikum laboratorium pada hari selasa
tanggal 21 Januari 2013 pada pukul 08.50 WIB - 09.50 WIB Di Laboratorium Badan
Penelitian Perikanan Perairan Umum Mariana.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
dan
(2)
perairan
berarus
deras
misalnya
sungai.
Perairan lentik mempunyai kecepatan arus yang lambat serta terjadi akumulasi massa air dalam
periode waktu yang lama, sementara perairan lotik umumnya memiliki kecepatan arus yang
tinggi disertai perpindahan massa air yang berlangsung dengan cepat.
Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan biotik (produsen,
konsumen dan pengurai) yang membentuk suatu hubungan timbal balik dan saling
mempengaruhi. Perairan danau merupakan salah satu bentuk ekosistem air tawar yang ada di
permukaan bumi. Secara fisik, danau merupakan suatu tempat yang luas, mempunyai air yang
tetap, jernih atau beragam dengan aliran tertentu dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya
pada daerah pinggir saja (Barus, 2004).
Danau yang berasal dari bencana alam, dalam zaman es atau periode aktivitas tektonik
dan vulkanik yang intensif, mencerminkan distribusi yang terlokasi pada lembah di atas daratan
(Odum, 1996). Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi 2(dua)
yaitu: danau alami dan danau buatan. Danau alami merupakan danau yang terbentuk sebagai
akibat dari kegiatan alamiah, misalnya bencana alam, kegiatan vulkanik dan kegiatan tektonik.
Sedangkan danau buatan adalah danau yang dibentuk dengan sengaja oleh kegiatan manusia
dengan tujuan-tujuan tertentu (Odum, 1996).
Ekosistem danau termasuk habitat air tawar yang memilki perairan tenang yang dicirikan
oleh adanya arus yang sangat lambat sekitar 0,1-1 cm/detik atau tidak ada arus sama sekali
(Wetzel, 2001). Berdasarkan kandungan hara (tingkat kesuburan), danau diklasifikasikan dalam 3
jenis yaitu : (1) danau oligotrofik, (2) danau mesotrofik dan (3) danau eutrofik. Danau eutrofik
merupakan danau yang memiliki kadar hara tinggi, memiliki perairan dangkal, tumbuhan litoral
melimpah, kepadatan plankton lebih tinggi, sering terjadi blooming alga dengan tingkat penetrasi
cahaya matahari umumnya rendah (Goldmen dan Horne, 1989 dalam Marganof, 2007).
Sementara itu, danau oligotrofik adalah danau dengan kadar hara rendah, biasanya memiliki
perairan yang dalam. Semakin dalam danau tersebut semakin tidak subur, tumbuhan litoral jarang
dan kepadatan plankton rendah, tetapi jumlah spesiesnya tinggi. Danau Mesotrofik merupakan
danau dengan kadar nutrien sedang, juga merupakan peralihan antara kedua sifat danau eutrofik
dan danau oligotrofik. (Odum, 1996, Browne et al, 2004).
Kriteria status Trofik Danau danau dapat dinyatakan pada Tabel 3 (UNEPILEC,
2001dalam KLH 2008).
2.2 Fosfor
Fosfor merupakan elemen yang terdapat dalam protein, dan dalam ekosistem air Fosfor
terdapat dalam bentuk organik terlarut (soluble organic), organik tidak terlarut (insoluble
organic) biasanya terdapat pada biota danau, dan anorganik yang tidak terlarut. Limbah Fosfor 10
% berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu sendiri, 7 % dari industri, 11 % dari detergen,
17 % dari pupuk pertanian, 23 % dari limbah manusia, dan yang terbesar, 32 % dari limbah
perikanan dan peternakan (http://id.wikipedia.org/wiki/Eutrofikasi Tahun 2010).
Zat-zat organik terutama protein mengandung gugus Fosfor yang terdapat dalam sel
makhluk hidup dan berperan penting dalam penyediaan energi. Dalam suatu ekosistem, Fosfor
akan membentuk suatu rangkaian interaksi yang kompleks seperti terlihat pada Gambar 1. Dalam
perairan Danau, keberadaan Fosfor dalam badan air ditentukan oleh 3(tiga) faktor yaitu : (1)
faktor eksternal yaitu yang berasal dari luar dimana masuknya Fosfor melalui aliran air ( water
inflow), (2) faktor internal yaitu yang berasal dari sedimen, (3) faktor siklus nutrien yaitu Fosfor
dilepas oleh biota danau (Sigee, 2004).
Walaupun dibutuhkan oleh organisme danau, keberadaan jumlah Fosfor dalam danau
sangat dibatasi, dimana jumlah Fosfor harus sangat kecil jika dibandingkan dengan keberadaan
jumlah Nitrogen.
Pembatasan keberadaan jumlah Fosfor di perairan danau diindikasikan oleh sejumlah
parameter berikut ini (Sigee, 2004) :
1. Konsentrasi Fosfor yang ideal di perairan danau diindikasikan dengan perbandingan antara
konsentrasi Fosfor dengan konsentrasi Nitrogen dalam badan air, dimana rasio N/P adalah >10 : 1
2. Konsentrasi Fosfor yang ideal di perairan danau diindikasikan dengan perbandingan antara
Partikulat Karbon (PC), Partikulat Fosfor (PP) dan Partikulat Nitrogen (PN), dimana pembatasan
jumlah konsentrasi Fosfor dalam badan air diindikasikan oleh rasio PC/PN > 106 dan PN/PP >
16.
Keberadaan Fosfor merupakan salah satu elemen kunci dalam penetapan status kualitas air
danau, karena keberadaan unsur ini pada air danau sangat sedikit, sehingga penambahan atau
masuknya Fosfor ke perairan danau sedikit saja akan dengan cepat mencetuskan terjadinya
penyuburan tanaman perairan (seperti Alga, Eceng Gondok), memperlambat terjadinya penetrasi
cahaya, menurunkan tingkat DO, juga akan menyebabkan penurunan nilai estetika perairan,
bahkan penyuburan tanaman perairan (algal bloom ) (Mylaparavu, 2008).
Mesotrof adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara
dengan kadar sedang, status ini menunjukkan adanya peningkatan kadar Nitrogen dan
Phosphor namun masih dalam batas toleransi karena belum menunjukkan adanya indikasi
pencemaran air.
2.
Eutrof adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara dengan
kadar tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar oleh peningkatan kadar Nitrogen dan
Phosphor.
3.
Hipereutrofik/Hipertrof adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung
unsur hara dengan kadar sangat tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar berat oleh
peningkatan kadar Nitrogen dan Phosphor.
4.
Tingkat kesuburan perairan danau dan waduk dapat dihitung berdasarkan beberapa parameter
yang sangat berpengaruh terhadap kesuburan danau sesuai dengan perhitungan Indeks Status
Trofik atau Tropik Status Index (TSI) yaitu: total Phosphor, klorofil-a, dan kecerahan
menggunakan pengukuran cakram sechi.
Penentuan ketiga parameter tersebut berdasarkan adanya keterkaitan yang erat dari masingmasing parameter, dimana unsur pencemar yang masuk ke perairan danau yang berupa
Phosphor akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan fitoplankton di perairan tersebut yang
ditandai dengan adanya konsentrasi klorofil-a, akibat lebih lanjut dengan adanya kepadatan
klorofil-a tersebut akan menyebabkan terhambatnya cahaya yang masuk kedalam kolom
perairan danau yang ditandai dengan makin pendeknya kecerahan perairan.
Hubungan antara kadar Total Phosphor (TP) dengan konsentrasi klorofil-a ada korelasi
positip seperti ditunjukkan dalam rumus Jones dan Bachmann (1976) dalam Davis dan
Cornwell (1991).
BAB III
BAHAN DAN METODA
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di perairan Danau OPI Jakabaring. Penelitian dilakukan pada
tanggal 20 Januari 2013. Metode yang digunakan untuk mengetahui kualitas perairan
berdasarkan parameter fisika, kimia dan biologi serta untuk mengetahui tingkat kesuburan
berdasarkan perhitungan Trophic State Index (TSI) dari CARLSON (1977)
a. Parameter Fisika
1. Suhu
- Thermometer
: Sebagai alat pengukur suhu perairan.
2. Kedalaman
pth Sounder : Untuk mengukur kedalaman danau.
3. Kecerahan
ret Gelang
: Sebagai alat penanda d1 dan d2.
cchi Disk
: Sebagai alat untuk mengukur kecerahan perairan.
i
: Sebagai alat untuk mengikat Secchi Disk.
nggaris
: Untuk mengukur panjang tali (d1 dan d2) yang tercelup dalam air.
4. Substrat
kman grab
: Untuk mengambil substrat di kolam.
mba
: Untuk tempat substrat setelah diambil dari kolam.
mpan
: Untuk tempat substrat sehebis diambil dari eckman grab.
rameter Kimia
1. pH (Potensial Hidrogen)
tak Standar
: Sebagai alat pembanding nilai air sampel pada pH paper dan untuk mengukur derajat
keasaman dalam perairan.
- Stopwatch
: Sebagai timer pada saat mengukur pH.
tol DO
et Tetes
tif
ret
ang
mpan
4. Alkalinitas
Gelas ukur 100 ml
Erlenmeyer 250 ml
Beker gelas 250 ml
Pipet ukur 5 ml
Pipet tetes
Labu ukur 100:1000 ml
Bubble bulb
5. Kesadahan Total
Buret 25 ml
Erlenmeyer 250 ml
Labu ukur 100:250:1000 ml
Pipet volume 1:10:25 ml
Pipet tetes
Magnetic stirrer dan stirrer bar
Timbangan analis
Hot plate
Spatula
Bubble bulb
Media penyimpanan (botol borosilikat atau polyethylene)
rameter Biologi
1. Benthos
kman grab
: Untuk mengambil bentos di kolam atau/perairan yang dasarnya berlumpur.
nset
: Untuk mengambil bentos di nampan.
mpan
: Untuk tempat mengoyak bentos.
tol film
: Untuk tempat bentos.
kroskop
ngkat jaring
ring
ject Glass
mba
tol film
ankton net
kroskop
r sampel
r sampel
2. Kedalaman
: Sebagai media yang diukur kedalamannya.
Kecerahan
: Sebagai media yang diukur kecerahannya.
r sampel
3. Kecepatan Arus
: Sebagai media yang diukur kecepatan arusnya.
r kolam
4. Substrat
: Untuk mengamati kolam yang akan diukur kedalamannya.
r sampel
rameter Kimia
1. pH (Potensial Hidrogen)
- pH meter
: Untuk mengukur nilai pH perairan.
- Air sampel
: Sebagai bahan dari media yang akan diamati.
r Sampel
nSO4
OH + KI
milum
2S2O3
rtas Label
sue
as
suling bebas CO2
utan Indicator Bromocresol Green
ndard Sodium Karbonat
ndard Titrant Asam Sufat
esadahan Total
- Larutan Buffer pH 100.1
- Indikkator Eriochrome Black T
- Larutan Standard Kalsium 0,010 M
- Larutan Standard EDTA
rameter Biologi
1. Benthos
r sampel
: untuk sampel yang akan diamati bentosnya.
rmalin 10%
: untuk mengawetkan bentos.
rtas label
: untuk memberi nama pada botol film.
r sampel
rtas label
gol
sue
2. Perifiton
: untuk bahan sampel danau yang berisi perifiton yang akan diamati.
: untuk memberi nama pada botol film.
: untuk mengawetkan Perifiton.
: untuk membersihkan alat.
3. Fitoplankton
r sampel
: untuk bahan sampel danau yang berisi fitoplankton yang akan diamati.
rtas label
: untuk memberi nama pada botol film.
gol
: untuk mengawetkan Fitoplankton.
sue
: untuk membersihkan alat
4. Zooplankton
r sampel
: untuk bahan sampel danau yang berisi perifiton yang akan diamati.
rtas label
: untuk memberi nama pada botol film.
rmalin 5 tetes : untuk mengawetkan Zooplankton.
- Tissue
: untuk membersihkan alat
3.3 Analisa Prosedur
a.
Parameter Fisika
3.3.1 Suhu
Pertama-tama yang harus dilakukan yaitu dengan menyiapkan alat dan bahan. Alat yang
digunakan pada pengukuran suhu yaitu Thermometer Hg. Thermometer Hg dimasukkan
kedalam perairan selama 2 menit sebagai asumsi bahwa dalam kurun waktu 2 menit suhu
dalam perairan tersebut telah mempengaruhi kenaikan raksa pada thermometer dan ditunggu
sampai air raksa konstan pada skala tertentu. Pengukuran ini dilakukan dengan
membelakangi sinar matahari agar tidak terpengaruh oleh suhu sinar matahari dan tidak boleh
tersentuh oleh tangan karena dapat mempengaruhi suhu Thermometer Hg tersebut.
Pembacaan Thermometer Hg dilakukan ketika Thermometer Hg masih didalam perairan
karena suhu lingkungan juga dapat mempengaruhi suhu Thermometer Hg. Kemudian dicatat
3.3.2 Kecerahan
Disiapkan alat yang akan digunakan yaitu secchi disk. Dimasukkan secchi disk kedalam
perairan sampai batas tidak tampak pertama kali dan itu dihitung sebagai D1. Kemudian,
masukkan kembali secchi disk sampai benar-benar tidak tampak kemudian ditarik secara
perlahan sampai batas tampak pertama kali dan dihitung sebagai D2. Kemudian catat dan
dihitung kecerahannya dengan rumus :
3.3.3 Kedalaman
Pertama-tama disiapkan tongkat skala dan dimasukkan ke dalam perairan hingga sampai
ke dasar perairan. Kemudian, diamati permukaan perairan yang menunjukkan skala batas
kedalaman perairan yang akan diamati. Setelah itu, diangkat tongkat skala dari perairan
kemudian dicatat hasilnya.
3.3.4 Kecepatan Arus
Disiapkan alat yang digunakan yaitu botol air mineral kosong dan tali rafia sepanjang 5
meter. Botol diikat dengan tali rafia lalu dilepaskan atau dihanyutkan ke perairan yang
terdapat arus. Ditunggu sampai tali rafia menegang lurus untuk dicatat waktunya. Lalu
dihitung kecepatan arus dengan rumus kecepatan.
3.3.5 Substrat
Disiapkan Eckman Grab, dicelupkan ekcman grab hingga mencapai dasar. Selanjutnya
pertama-tama diambil substrat dari dasar perairan / kolam, kemudian diambil tipe substratnya
dengan menggunakan eckman grab. Setelah itu, ditentukan tipe substratnya dan dicatat
hasilnya.
ameter Kimia
3.3.6 pH
Disiapkan kotak standart beserta pH paper. Kemudian diambil pH paper dan dimasukkan
kedalam perairan dan ditunggu 2 menit sebagai asumsi bahwa dalam kurun waktu 2 menit
senyawa mineral terlarut dalam perairan telah mempengaruhi pH paper lalu diangkat dan
dikibas-kibaskan agar kering dan terlihat jelas perubahan warna pH paper dan dicocokkan
dengan warna pada kotak standart lalu catat hasilnya.
3.3.7 DO (Dissolved Oxigen)
Disiapkan botol DO, kemudian diisi dengan air sampel. Pengambilan air dengan posisi
miring 45 agar tidak terdapat gelembung udara karena dapat berpengaruh terhadap nilai
kandungan oksigen yang diukur. Kemudian tutup botol DO saat masih didalam perairan agar
udara tidak masuk. Setelah itu buka tutup botol yang berisi sampel dan tambahkan 2 ml
MnSO4 untuk mengikat oksigen dan 2 ml NaOH+KI untuk membentuk endapan coklat dan
melepas I2. Lalu di bolak-balik sampai terbentuk endapan coklat kemudian buang filtrat cair
bening yang berada di atas endapan selang secara perlahan. Endapan coklat yang tersisa
diberi 1-2 ml H2SO4 pekat untuk mengikat I2 dan manjadikan 2 NaI. Lalu dihomogenkan
sampai endapan larut.setelah itu ditetesi 3-4 tetes amylum untuk pengkondisian suasana basa
dan dititrasi dengan Na-thiosulfat (N2S2O3) 0,025 N untuk mengikat I2 sampai jernih atau
tidak berwarna untuk pertama kali. Dicatat ml Na-thiosulfat yang terpakai dengan rumus DO
3.3.8 Acidity
a. Total Acidity
Pertama ambil contoh uji yang telah disiapkan, tambahkan 4-8 tetes indikator methyl
orange, titrasi dengan NaOH yg telah distandarkan sampai terjadi perubahan warna menjadi
orange tipis, catat mL titrant yang terpakai, hitung total acidity dengan menggunakan
persamaan.
b. Mineral acidity
Pertama ambill contoh uji yang telah disiapkan, tambahkan 2 tetes indicator
phenolphtlein, titrasi dengan NaOH sampai terjadi perubahan warna larutan menjadi merah
muda tipis, catat mL titrant yang terpakai, kemudian hitunglah mineral acidity dengan
persamaan.
3.3.9 Alkalinitas
Pertama ambil contoh uji yang telah disiapkan, tambahkan 4-8 tetes indicator
bromoeresol green, titrasi arutan dengan menggunakan asam sufat yang telah di standarisasi,
setelah itu catat mL volume titran yang terpakai
c. Parameter Biologi
3.3.12 Benthos
a. Metode Kicking
Langkah awal yaitu menentukan lokasi pengambilan sampel bentos dan ditentukan jarak
pengambilan sampel bentos. Diambil jaring kicking/ jaring bentos lalu disiapkan tiang jala
dan dipegang tiang jala tersebut dengan arah melawan arus, lalu diaduk dasar perairan dengan
dua kaki secara bersama-sama untuk melepaskan organisme dari dasar perairan sehingga
organisme akan masuk kedalam jala. Setelah itu, diperiksa jala tersebut apakah ada
organisme didalamnya. Kemudian disaring dengan menggunakan saringan dengan pinset dan
dicuci organisme yang tersaring dengan air lalu dipindahkan ke wadah sampel. Diawetkan
dengan alkohol 96% dan diamati lalu dimasukkan tabel.
3.3.13 Plankton
a. Pengambilan Plankton (di Lapang)
Pertama-tama, siapkan alat dan bahan yang akan digunakan, yakni : timba, plankton net,
botol film, lugol. Sebelumnya, ikat botol film dengan plankton net bagian bawah untuk
menampung sampel plankton yang didapatkan untuk diamati di Laboratorium. Kemudian
pada perairan diambil air dengan timba sebanyak 5 liter air sebagai asumsi plankton tersaring
pada plankton net telah mewakili sampel yang akan diidentifikasi lalu diangkat ke
permukaan. Setelah itu tuangkan air sampel tersebut pada plankton net yang sudah terikat
botol fim tersebut dan diputar-putar searah plankton net. Lalu ditutup botol film setelah
plankton tersaring dan diberi bahan preservasi (lugol) sebanyak 3 tetes untuk mengawetkan
sampel sementara serta diberi label agar tidak tertukar.
b. Identifikasi Jenis Plankton (di Laboratorium)
Pertama-tama disiapkan objek glass dan cover glass dan dibersihkan dengan menggunakan
tissue secara searah agar tidak tergores. Kemudian ditutup objek glass dengan cover glass
pada bagian tengah. Setelah itu diambil sampel plankton dengan pipet tetes dan dituangkan
pada haemocytometer. Lalu disiapkan mikroskop dan dinyalakan lampu dengan perbesaran
400x. Kemudian, diletakkan preparat pada meja objek serta diamati setelah ditemukan focus.
Pada saat pengamatan, dibagi menjadi 5 bidang pandang dan dihitung jumlah plankton yang
terdapat pada tiap bidang pandang tersebut lalu dicatat dan digambar. Setelah itu
diidentifikasi dengan buku presscot untuk menentukan jenis dan spesies plankton yang
ditemukan. Lalu dimasukkan tabel.
3.4 Analisis Data
3.4.1 Metode PP dengan O2 dengan metode Trophic State Index (TSI) dari CARLSON
(1977)
analisis yang diperoleh kemudian digunakan untuk mengetahui tingkat kesuburan
berdasarkan perhitungan Trophic State Index (TSI) dari CARLSON (1977):
TSI-P
= 14,42 x Ln[TP] + 4,15 (g/l)
TSI-Cla
= 30,6 + 9,81 x Ln[Chlor-a] (g/l)
TSI-SD
= 60 14,41 x Ln[Secchi] (meter)
Rata-rata TSI = (TSI-P + TSI-Cla + TSI-SD)
3
Dimana TSI-P adalah hasil perhitungan Trophic State Indek untuk Phospat
TSI-Cla adalah hasil perhitungan Trophic State Indek untuk Chloropil-a
TSI- SD adalah hasil perhitungan Trophic State Indek untuk kedalaman sechii disk
3.4.2 Metode Metabolisme perairan
Untuk menghitung NPP, Maka
*NPP = Oksigen pada jam 06.00 sore Oksigen pada jam 06.00 pagi
Kedalama
Acidit
Hardnes
Suhu
k
DO
CO2
TP
TN
(mg/L
Alkalinitas
Kecerahan
PH
(mg/L
(mg/L
air
udara
(m)
(mg/L)
(mg/L)
(mL)
(Cm)
A1
28,7
26,5
3,3
4,75
0,1
0,257
0,15
130
A2
28,7
26,5
3,3
4,75
0,1
0,257
0,15
130
B1
28,7
27,3
2,8
4,5
0,1
0,257
0,35
B2
28,7
27,3
2,8
5,45
0,1
0,257
C1
29,5
30,2
3,25
5,05
0,1
0,098
C2
29,5
30,2
3,25
5,05
0,1
D1
28,1
29,4
3,4
4,3
D2
28,1
29,4
3,4
D3
29,4
31,8
28,8
28,7
Rata-rata
(dGH)
3,2
2,142
4,5
2,142
170
4,5
2,4
0,119
0,15
170
4,5
2,4
0,119
0,15
130
4,65
0,098
1,6
130
4,65
0,1
0,098
1,6
170
4,5
3,6
0,357
4,3
0,1
0,098
1,6
170
4,5
3,6
0,357
3,8
4,7
0,1
0,098
0,2
170
3,6
0,357
3,255556
4,76111
0,1
0,168667
0,66111
152,222
4,2778
3,4556
0,621
TSI-P
TSI-Cla
Chl-a
= -21,5152
= 25,9333
TSI-SD
= 60 14,41 x (5,025341)
Rata-rata TSI = (TSI-P + TSI-Cla + TSI-SD)
3
= -12,4
= -7,98186
3
= -2,660622 -2,66
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis terhadap sampel air Danau OPI Jakabaring yang nantinya digunakan
dalam perhitungan tingkat kesuburan perairan dari indeks TSI CARLSON adalah seperti pada
Tabel 1. Hasil analisis seperti yang tersaji dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa kisaran
konsentrasi maupun nilai hasil pengukuran baik di badan air danau menunjukkan kemiripan
seperti suhu perairan danau berkisar antara 28 29 oC merupakan kondisi yang umum
dijumpai diperairan tropis, dimana kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di
perairan berkisar antara 20 30oC (HASLAM 1995).
Konsentrasi oksigen terlarut antara 5,1 6,63 mg/L, kecuali pada Stasiun
B1,D3 konsentrasinya 4,5 dan 4,7 mg/L, kondisi ini kemungkinan diakibatkan pengaruh dari
aktivitas masyarakat seperti adanya kegiatan parawisata dan pemukiman penduduk. Berbeda
konsentrasi yang diperoleh dari pengukuran di badan air yang masuk ke danau, dimana
konsentrasi di Stasiun D1 dan D2 berturut-turut sebesar 4,3 mg/L kondisi ini diduga akibat
dari masuknya bahan pencemar yang berasal dari limbah domestik seperti sampah di sekitar
ke danau, sedangkan pada saat pengambilan sampel debitnya relatif kecil yaitu berturut-turut
0,028 dan 0,092 m3/dt sehingga kondisinya nyaris tergenang.
Atau nyaris dalam kondisi jenuh dimana konsentrasi oksigen di perairan dan yang ada
di atmosfer berada dalam kesetimbangan, sehingga tidak ada pertukaran oksigen secara difusi
(MACKERETH et al. 1989). Menurut Mc NEELY et al. (1979) konsentrasi oksigen terlarut
perairan tawar adalah 8 mg/L dan di perairan laut sebesar 7 mg/L pada suhu 25 0C, pada
umumnya konsentrasi oksigen terlarut di perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/L.
Konsentrasi oksigen terlarut yang masih baik tersebut dikarenakan kondisi lokasi sampling
masih bagus, tidak banyak pemukiman. Konsentrasi oksigen terlarut di badan air danau masih
dalam batas yang mendukung kehidupan akuatik (perikanan), menurut ketentuan
UNESCO/WHO/UNEP (1992) bahwa konsentrasi oksigen terlarut kurang dari 4 mg/L dapat
menimbulkan efek yang kurang menguntungkan bagi hampir semua organisme akuatik, jika
kadar oksigen terlarut yang kurang dari 2 mg/L dapat menyebabkan kematian ikan.
Hasil pengukuran parameter pH dan konduktivitas memiliki kemiripan pada perairan
danau maupun sungai dengan kisaran 4 dengan rata-rata 4,2 (pH), kondisi ini masih dalam
kisaran yang tidak normal pada perairan alami dimana sebagian besar biota akuatik sensitif
terhadap perubahan pH dan menyukai pH berkisar antara 7 8,5 (NOVOTNY & OLEM
1992). Sedangkan nilai konduktivitas berkisar 0,21 0,48 mS/cm dengan rata-rata 0,29
mS/cm. Air suling (aquades) memiliki nilai konduktivitas sekitar 1 S/cm, sedangkan
perairan alami sekitar 20 1500 S/cm (BOYD 1988).
Konsentrasi TP di Stasiun A1, A2, B1 dan B2 (Pupelo) tinggi yaitu 0,257 mg/L,
kondisi ini berkaitan dengan adanya masukan nutrien dari lingkungan sekitar danau,
Sedangkan konsentrasi klorofil-a diperoleh dari lokasi Stasiun A1 dan A2 yaitu berturut-turut
sebesar 2,142 mg/L. Tingginya konsentrasi di dua lokasi ini karena lokasi ini merupakan
daerah paling rendah sehingga kedua lokasi ini banyak menerima masukan beban nutrien dari
luar badan air danau. Konsentrasi -PO4 dan N-NH4 pada badan air sungai lebih tinggi
dibandingkan dengan konsentrasi o-PO4 dan N-NH4 di badan air danau, hal ini diperkirakan
karena parit-parit kecil yang nantinya masuk ke danau menampung beban limbah langsung
dari aktivitas masyarakat disekitarnya.
Hasil analisis parameter untuk mengetahui status trofik suatu perairan dengan
menggunakan rumus perhitungan TSI (CARLSON 1977) diperoleh kisaran nilai untuk setiap
parameter seperti ditunjukkan pada Tabel 1 dan kisaran sebaran tingkat kesuburan perairan
Danau OPI Jakabaring pada setiap stasiun sampling.
Secara umum, berdasarkan nilai TSI yang diperoleh kondisi perairan Danau OPI
Jakabaring pada bulan Januari 2013 termasuk ke dalam kelompok oligotrofik -2,66. Dimana
menurut CARLSON (1977), kelompok ini ditandai dengan kadar oksigen dan chlorofil
dan makrofit (tumbuhan air) yang padat, hal ini berkaitan dengan konsentrasi fosfor (P) di
perairan Danau OPI Jakabaring.
Metode Metabolisme perairan
Untuk menghitung NPP, Maka
*NPP = Oksigen pada jam 06.00 sore Oksigen pada jam 06.00 pagi
NPP = 4,7- 4,35
= 0,35
*Nilai O2 mg/L/Hari 12 jam
NPP = 2 x 0,35 = 0,7
*Nilai CO2/L/Hari. 1 mg O2 = 0,375 mg
NPP = 0,7 x 0,375 = 0.2625
Maka
0,2625 mg C/L/Hari
1 Ha : 104 m2
1 Tahun : 365 hari
Jadi
Zona profundal
Berupa zona yang sangat dalam dan gelap gulita, karena cahaya matahari efektif tidak sampai
pada zona ini. Komunitas biota terdiri dari saprotrof atau pengurai yang hidup dalam lumpur
dan terdiri dari bakteri dan jamur. Sumber makanan dan oksigen zona ini sangat tergantung
dari zona diatasnya.
A.
B.
C.
D.
1.
2.
3.
4.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Danau OPI Jakabaring tergolong danau oligotropik karena memiliki nilai NPP sebesar
95,812 C/ m2/Th artinya Danau OPI Jakabaring adalah danau oligotropik yang miskin unsur
hara dan produktivitas primer dan biomassa rendah, kadar nitrogen & fosfor rendah serta
danau yang memiliki konsentrasi kehidupan tumbuhannya rendah. Air danau biasanya jernih.
2. Mengacu pada PP RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air bahwa perairan Danau OPI Jakabaring tergolong mutu air
kelas 1.
5.2 SARAN
Perlunya dilakukan penelitian lanjutan oleh Dinas Balai Budidaya Perairan Umum
Palembang dari sisi yang berbeda, misalnya menganalisis tingkat produktivitas perairan
Danau OPI Jakabaring.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1992, Standard Methods for the Examination of the Water and Waste Water7th Edition,
APA-AWWAWPCF: 1100 p.
Arfiati, Diana. 2009. Strategi Peningkatan Kualitas Sumberdaya pada Ekosistem Perairan Tawar.
Universitas Brawijaya : Malang
Asmawi, Suhaili. 1986. Pemeliharaan Ikan Dalam Keramba. Penerbit PT. Gramedia: Jakarta
Carlson, R.E., 1977, A Ttrophic State Index for Lakes, Limnology and Oceanography, 22(2):361-369.
Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius: Yogyakarta
Effendi. 2003. Pengaruh Factor Biotik-Abiotik Organism Danau. Online.http://id.shvoong.com/exactsciences/earth-sciences/2074023 pengukuran-parameter-kualitas-dengan-bentos. Diakses 23
Januari 2013.
dan
Krisanti,
Majariana.
BAB I
PENDAHULUAN
Defnisi Ekosistem
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan
timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Soemarwoto, 1983).
Tingkatan organisasi ini dikatakan sebagai suatu sistem karena memiliki
1.1.2
Defnisi Hutan
Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat besar peranannya bagi
kepentingan hidup manusia dan lingkungan hidup. Berdasarkan pola
pemanfaatan lahan dari hasil rembugan Tata Guna Hutan Kesepakatan , tercatat
bahwa jumlah luas hutan di Indonesia adalah 143.970.615 ha, yang terdiri dari
hutan tetap 113.433.215 ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi
30.537.400 ha. Berdasarkan fungsinya, hutan tetap terdiri dari hutan lindung
seluas 30.316.100 ha, hutan suaka alam dan hutan wisata 18.725.215 ha, hutan
produksi terbatas 30.525.300 ha dan hutan produksi tetap 33.886.600 ha
(Dephut, 2004).
Berfokus pada pemanfaatan hutan produksi di hutan tetap pada mulanya
eksploitasi hutan melalui kegiatan pembalakan (logging) dimulai dari hutan yang
berpotensi tinggi pada lapangan bertopograf relatif ringan yang secara ekologis
1.1.3
dikatakan sebagai lahan yang mendapatkan pengaruh pasang surut air laut atau
sungai sekitarnya. Pada saat musim hujan lahan tergenang sampai satu
meter,tetapi pada musim kemarau menjadi kering bahkan sebagai muka air
tanah turun mencapai jeluk < 50 cm.
Dalam pengertian yang lebih luas rawa digolongkan sebagai lahan basah
atau lahan bawahan, tetapi tidak berarti bahwa lahan basah atau lahan bawahan
hanya rawa. Menurut konvensi Ramsar (1971) dalam Noor (2004) yang dimaksud
dengan lahan basah adalah daerah rawa, paya, gambut, atau badan perairan
lainnya, baik alami maupun buatan, yang airnya mengalir atau tergenang,
bersifat tawar, payau atau salin, termasuk kawasan laut yang mempunyai jeluk
air pada saat surut terendah tidak lebih dari 6 m. Jadi, batasan konvensi Ramsar
ini persawahan (irigasi), waduk, dan tambak termasuk lahan basah sehingga
pengelolaan yang terkait dengan pemanfaatan lahan sulfat masam untuk
keperluan pertanian, perikanan dapat mengacu pada pengertian dalam konteks
pengelolaan bahan basah.
1.1.4
Gambar 1:
(Arsip 6E,
2014 )
Ciri-ciri
tanah
Tingkatan
Sangat
rendah
Sangat
tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
< 1,00
1,002,00
2,013,00
3,015,00
>5,00
< 0,10
0,100,20
0,210,50
0,510,75
>0,75
<0,80
0,802,50
>2,50
5-10
11-15
16-25
>25
10-15
16-25
26-35
>35
K
(me/100g)
<0,10
0,100,20
0,300,50
0,601,00
>1,00
Na
(me/100g)
< 0,10
0,100,30
0,400,70
0,801,00
>1,00
Mg
(me/100g)
<0,40
0,401,00
1,102,00
2,108,00
>8,0
Ca
(me/100g)
<2
2-5
6-10
11-20
>20
KTK
(me/100g)
<5
5-16
17-24
25-40
>40
Kejenuhan
basa (%)
<20
20-35
36-50
51-70
>70
<5
5-10
>10
C-organik
(%)
N-total (%)
a.
Mineral
b.
Gambut
Rasio C/N
<5
Kadar abu
(%)
Sangat
masam
Masa
m
Agak
masam
Netral
Agak
alkalis
Alkali
s
<4,5
4,55,5
5,6-6,5
6,67,5
7,6-8,5
>8,5
pH (H2O)
a.
Mineral
Sangatmasam
Sedang
Tinggi
<4,0
4-5
>5
pH (H2O)
b.
Gambut
Tabel 2. Kisaran Nilai dan Tingkat Penilaian Analisis Agregat Kimia Tanah Hutan
Rawa Gambut di Kecamatan Sungai Mandau Kabupaten Siak
kimia 0-30
pH
Gambut
(H2O) 3,2-4,2
30-60
Nilai
Peringkat
Nilai
Peringka
t
SM
3,0-4,1
SM
C-organik (%)
22,2642,31
ST
19,2845,56
ST
N-total (%)
0,68-1,35
SR-S
0,38-0,93
SR-S
13,0-16,5
P2O5 Bray
(ppm)
1 13,5-13,6
Ca (me/100g)
2,01-7,21
R-S
1,37-2,69
SR-R
Mg (me/100g)
1,12-1,55
0,91-1,41
R-S
K (me/100g)
0,30-1,44
S-ST
0,44-0,72
S-T
Na (me/100g)
0,98-2,62
T-ST
0,98-1,73
T-ST
Total
Basa 7,19-10,04
(me/100g)
KTK (me/100g)
68,5-151,6
5,02-5,23
ST
67,5177,8
ST
SR
2,9-7,4
SR
ST
21,6466,83
ST
22,0661,71
Kadar
Air 181,6Lapang (%)
524,6
183,4453,3
89,2302,2
Keterangan :
SM = Sangat Masam
ST = Sangat Tinggi
rendah
T = Tinggi
S = Sedang
R = Rendah
SR = Sangat
Catatan : Diolah dari data analisis agregrat tanah oleh Laboratorium Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Riau
1.1.5
menyebabkan sebagaian organisme hidup berada seketika pada dua rejim suhu
yang sangat berlainan. Sebuah kecambah yang baru muncul, memperoleh
cekaman bahang luar biasa dibandingkan dengan cekaman yang akan
dialaminya kemudian.
Dalam sebuah hutan, suhu udara maksimum biasanya lebih rendah dan suhu
minimum lebih tinggi daripada di daerah yang terbuka. Selama siang hari, daundaun dalam tajuk menghalang-halangi masuknya radiasi matahari ke lantai
hutan. Suhu di dalam tajuk dipertahankan melalui transpirasi dari daun-daun.
Pengaruh ini mencegah suhu pada siang hari meningkat secara cepat; dengan
demikian ruangan di bawah tajuk lebih dingin daripada daerah terbuka selama
siang hari. Pada malam hari tajuk pohon mencegah kehilangan panas yang cepat
dari lapisan batang melalui radiasi ke angkasa. Oleh karena itu, suhu udara tetap
lebih tinggi dibadingkan dengan di luar hutan (Gates, 1980 dalam Wenger,
1984).
Menurut Wenger (1984) dan Sukadaryati et al., (2002) suhu maksimum di
dalam hutan adalah berada di bagian atas tajuk. Di bawah lapisan ini, suhu
biasanya tetap sampai ke lantai hutan, bahkan sedikit berkurang jika tajuknya
rapat. Apabila tajuk hutan jarang, suhu udara dekat lantai hutan dapat menjadi
lebih panas ketimbang suhu udara di dalam tajuk. Pada malam hari puncak tajuk
menjadi lebih dingin, yang mengakibatkan inversi sehingga dapat menjerat
debu, asap dan CO2 di dalam dan di bawah tajuk. Pada tajuk yang jarang, udara
yang dingin dapat turun dan berkumpul di atas permukaan lantai hutan.
Jumlah air atau uap air di udara berpengaruh secara langsung terhadap
tumbuhan sebagai cekaman lingkungan. Udara kering yang menyebabkan
pengeringan tanah yang sangat cepat dan transpirasi tanaman yang luar biasa
berpengaruh buruk terhadap tanaman itu sendiri. Kandungan air yang terlalu
banyak diudara menghalang-halangi pendinginan daun melalui evaporasi dan
dapat mengakibatkan cekaman suhu (thermal stress) (Gates, 1980 dalam
Wenger, 1984).
Kelembaban relatif sangat dipengaruhi oleh suhu. Perubahan suhu harian
mengakibatkan adanya variasi harian dari kelembaban nisbi. Jika suhu
meningkat selama jam-jam siang hari, maka kelembaban nisbi akan berkurang
sampai mencapai nilai terendah dekat tengah sore hari. Bilamana kelembaban
nisbi meningkat sampai mencapai nilai terttingginya sesaat sebelum matahari
terbut, maka pada saat itu suhu mencapai nilai terendah. Umumnya kelembaban
di dalam sebuah hutan adalah lebih tinggi daripada tempat terbuka dikarenakan
adanya transpirasi dari daun-daun dan suhu yang rendah. Selama siang hari,
tanah lantai hutan dan tajuk merupakan sumber kandungan air. Oleh karena itu
kelembaban nisbi selama siang hari adalah tertinggi di dekat tanah lantai hutan,
lebih rendah pada lapisan batang dan lebih tinggi dari daerah tajuk. Fenomena
ini disajikan Gates, (1980 dalam Wenger, 1984).
Kelembaban relatif hutan gambut cukup tinggi pada musim hujan, yakni
berkisar 90 % - 96 %, baik dalam hutan alami maupun hutan gundul atau lahan
kosong. Pada musim kemarau, kelembaban menurun menjadi 80 %, dan pada
bulan-bulan kering berkisar 0 % - 84 % Pada siang hari di muism kemarau,
kelembaban dapat mencapai 67 % - 69 %. Tetapi pada pai hari, kelembaban
pada musim kemarau lebih tinggi daripada musim hujan, yaitu dapat mencapai
90 % - 96 % (Rieley, et al., 1996).
Selanjutnya Wenger (1984) menyatakan bahwa kebanyakan tajuk-tajuk
hutan memang ada sedikit peningkatan kecepatan angin yang relatif di lapisan
batang pohon. Akan tetapi untuk kebanyakan tujuan praktis kecepatan angin di
lapisan tersebut, yaitu di bawah bagian paling rapat dari tajuk dianggap konstan
menurut ketinggian.
Buckman dan Brady (1982) mengemukakan, bahwa perubahan kimia dan
terutama biologi di dalam tanah, tidak akan berlangsung dengan cukup intensif
jika suhu tertentu tidak dipertahankan. Oleh karena itu, suhu tanah merupakan
faktor yang sangat penting. Lebih lanjut dikemukakan, bahwa efek suhu juga
bertanggung jawab terhadap pelapukan fsik yang terjadi di dalam tanah.
Pendinginan dan pemanasan yang berganti-ganti menimbulkan tekanan pada
agregat dan bongkah tanah yang akibatnya mengubah keadaan fsik tanah. Suhu
tanah yang sangat mempengaruhi aktivitas biotis awal dan pertumbuhan pohon
paling sedikit tergantung kepada tiga faktor, yaitu (1) jumlah bersih panas yang
diadsorbsi, (2) energi panas yang diperlukan yang membawa perubahan pada
suhu tanah dan (3) energi panas yang dibutuhkan untuk perubahan lain seperti
evaporasi (Buckman dan Bardy, 1982).
Menurut Gates (1980) dalam Wanger (1984), jumlah panas yang diadsorbsi oleh
tanah ditentukan oleh banyaknya radiasi matahari efektif yang mencapai bumi
dan faktor-faktor setempat seperti warna tanah, kemiringan dan vegetasi
penutup yang mengubah jumlah bersih panas yang masuk.
Dubenmire (1974) menyatakan bawa warna permukaan tanah
mempengaruhi jumlah radiasi yang dapat diadsorbsi dan mengatur jumlah panas
yang disimpan dan diradiasikan kembali ke atmosfr.
Menurut Noor (2001) suhu gambut sendiri lebih besar daripada suhu udara
antara hutan dan lahan kosong. Suhu permukaan gambut hampir tetap. Jika
keadaan tertutup hutan, suhu gambut berkisar 25,5 0C 29,0 0C dan jika
keadaan terbuka berkisar 40,0 0C 42,5 0C. Suhu yang tinggi pada keadaan
terbuka akan merangsang aktivitas mikro organisme sehingga perombakan
gambut lebih dipercepat dan intensif, sehingga mempercepat terjadinya
Bulan
10.00
11.00
12.00
13.00
14.00
15.00
April
76,27
92
67,99
21
99,02
76
104,7
974
116,9
920
112,99
92
112,9
992
Mei
200,0
469
174,9
276
176,9
499
117,4
492
174,2
446
169,07
70
169,0
770
Juni
179,0
429
194,0
762
192,1
641
124,2
261
127,9
464
127,94
21
127,9
421
Juli
99,97
21
112,7
721
124,6
421
142,6
429
124,7
627
122,76
24
122,7
624
Agustu
s
91,99
70
99,99
74
104,0
140
116,1
072
117,4
104
121,02
94
121,0
294
Septe
mber
74,76
62
79,24
97
99,77
24
110,4
491
119,7
776
117,97
77
117,9
777
Oktobe
r
76,27
92
67,99
21
99,02
76
104,7
974
116,9
920
112,99
92
112,9
992
Novem
ber
47,79
99
74,74
71
72,99
92
92,92
11
101,9
924
99,994
4
99,99
44
Desem
ber
91,99
70
99,99
74
104,0
140
116,1
072
117,4
104
121,02
94
121,0
294
1
0
Januari
74,76
62
79,24
97
99,77
24
110,4
491
119,7
776
117,99
777
117,9
777
1
1
Februar
i
76,27
92
67,99
21
99,02
76
104,7
974
116,9
920
112,99
92
112,9
992
1
2
Maret
47,79
99
74,74
71
72,99
92
92,92
11
101,9
924
99,994
4
99,99
44
Tabel
4.
Rata-rata
suhu udara
(oC)
N
o
Bulan
9.00
10.00
11.0
0
12.0
0
13.00
14.0
0
15.00
April
25,7
29,6
31,6
31,5
31,9
31,7
29,7
Mei
28,3
29,7
31,5
29,7
29,1
31,9
31,9
Juni
29,2
31,4
29,6
31,6
31,3
29,7
29,2
Juli
29,4
31,9
29,9
31,5
31,4
31,1
29,7
Agustus
29,5
29,1
31,9
31,6
31,2
29,8
31,8
Septemb
er
28,7
29,8
31,7
31,4
29,9
29,3
31,6
Oktober
28,4
29,3
31,7
31,2
29,7
29,2
31,3
Novemb
er
28,1
29,2
31,4
29,6
29,1
31,5
29,9
Desemb
er
29,5
29,1
31,9
31,6
31,2
29,8
31,8
10
Januari
28,7
29,8
31,7
31,4
29,9
29,3
31,6
11
Februari
28,4
29,3
31,7
31,2
29,7
29,2
31,3
12
Maret
28,1
29,2
31,4
29,6
29,1
31,5
29,9
Bulan
9.00
10.0
0
11.0
0
12.00
13.0
0
14.0
0
15.00
April
86
84
81
84
86
85
85
Mei
75
71
69
73
89
69
69
Juni
79
78
75
69
69
75
76
Juli
78
76
75
71
71
69
69
Agustus
87
81
80
75
76
76
75
Septembe
r
80
78
75
75
75
76
76
Oktober
84
82
75
76
76
78
79
Novembe
r
85
81
78
79
78
78
79
Desembe
r
78
76
75
71
71
69
69
10
Januari
87
81
80
75
76
76
75
11
Februari
80
78
75
75
75
76
76
12
Maret
84
82
75
76
76
78
79
1.3.Jaring-Jaring Makanan
Didalam suatu ekosistem, terjadi interaksi antara komunitas dan komunitas
lainnya serta lingkungan abiotiknya. Interaksi ini dapat menyebabkan aliran
energi melalui peristiwa dimakan dan memakan (predasi). Pada peristiwa aliran
energi ini, komponen ekosistem, khususnya komponen biotik, memiliki tiga peran
dasar, yaitu sebagai produsen, konsumen dan dekomposer.
Proses makan dan dimakan pada serangkaian organisme disebut sebagai
rantai
makanan
atau
food
chains.Semua
makanan
berasal
dari
organisme autotrofk. Organisme yang langsung memakan tumbuhan disebut
herbivor (konsumen primer), yang memakan herbivor disebut karnivor
(konsumen sekunder), dan yang memakan konsumen sekunder disebut
konsumen tersier. Setiap tingkatan organisme dalam satu rantai makanan
disebut tingkatan trofk. Dalam ekosistem rantai makanan-rantai makanan itu
saling bertalian. Kebanyakan jenis hewan memakan yang beragam, dan makhluk
tersebut pada gilirannnya juga menyediakan makanan berbagai makhluk yang
memakannya, maka terjadi yang dinamakan jaring-jaring makanan ( food web),
dengan kata lain proses rantai makanan yang saling menjalin dan kompleks
tersebut dinamakan jaring-jaring makanan.
Peristiwa perpindahan energi terjadi melalui proses makan dan dimakan
didalam suatu rantai makanan. Peristiwa tersebut membentuk suatu trofk.
Struktur trofk terdiri atas tingkatan-tingkatan trofk. Setiap tingkatan trofk terdiri
atas kumpulan beberapa organisme. Tingkat trofk pertama ditempati oleh
produsen atau organisme autotrof. Pada tingkatan ini, produsen ekosistem darat
adalah tumbuhan sedangkan ekosistem perairan adalah ganggang dan
ftoplankton. Tingkat trofk kedua ditempati oleh organisme heterotrof atau
konsumen. Konsumen adalah organisme yang tergantung pada organisme lain
sebagai sumber makanannya. Konsumen pada tingkat trofk kedua ini adalah
herbivor. Konsumen juga terdiri atas tingkat trofk ketiga, ke empat dan
seterusnya.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1
Gambar 2
2.1.1
Gambut
Gambut adalah bahan tanah yang tidak mudah lapuk, terdiri dari bahan
organik yang sebagian besar belum terdekomposisi atau sedikit terdekomposisi
serta terakumulasi pada keadaan kelembaban yang berlebihan. Berdasarkan
kandungan bahan organik, dikenal dua golongan tanah yaitu tanah mineral yang
mengandung bahan organik berkisar antara 15-20% dan tanah organik yang
mengandung bahan organik berkisar antara 20-25% bahkan kadang-kadang
sampai 90% mengandung bahan organik (Buckman dan Brady, 1982)..
Tanpa memandang tingkat dekomposisinya, gambut dikelaskan sesuai
dengan bahan induknya menjadi tiga (Buckman dan Brady, 1982) yaitu :
(1). Gambut endapan; Gambut endapan biasanya tertimbun di dalam air yang
relatif dalam. Karena itu umumnya terdapat jelas di profl bagian bawah.
Meskipun demikian, kadang-kadang tercampur dengan tipe gambut lainnya jika
lebih dekat dengan permukaan. Gambut ini berciri kompak dan kenyal serta
bewarna hijau tua jika masih dalam keadaan aslinya. Kalau kering gambut ini
menyerap air sangat lambat dan bertahan tetap dalam keadaan sangat keras
dan bergumpal. Gambut ini tidak dikehendaki, karena sifat fsiknya yang tidak
cocok untuk pertumbuhan tanaman.
(2) Gambut berserat; Gambut ini mempunyai kemampuan mengikat air tinggi
dan dapat menunjukan berbagai derajat dekomposisi. Gambut berserat mungkin
terdapat dipermukaan timbunan bahan organik yang belum terdekomposisi,
sebagian atau seluruhnya terdapat dalam profl bawah, biasanya terlihat di atas
endapan.
(3) Gambut kayuan; Gambut kayuan biasanya terdapat dipermukaan timbunan
organik. Gambut ini bewarna coklat atau hitam jika basah, sesuai dengan sifat
humifkasinya. Kemampuan mengikat air rendah, oleh karena itu gambut kayuan
kurang sesuai digunakan untuk persemaian.
Menurut Darmawijaya (180) berdasarkan faktor pembentukannya, gambut
digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu :
(1) Gambut ombrogen; Gambut ombrogen terbentuk karena pengaruh curah
hujan yang tinggi, dengan air yang tergenang, tanpa perbedaan musim yang
mencolok dan pada daerah tropika yang lebat dengan curah hujan lebih dari
3000 mm tiap tahun. Bersifat sangat masam dengan pH 3,0 4,5.
(2) Gambut topogen; Gambut topogen terbentuk karena pengaruh topograf,
berasal dari tanaman paku-pakuan dan semak belukar dan mempunyai pH yang
relatif tinggi.
(3) Gambut pegunungan; Gambut ini terbentuk karena ketinggian tempat
gambut, di daerah katulistiwa hanya terbentuk di daerah pegunungan dan
iklimnya menyerupai iklim di daerh sedang dengan vegetasi utamanya
Sphagnum.
Bahan organik pada tanah gambut dibedakan atas tiga macam (Rosmarkam et
al., 1988) yaitu :
(1) Fibric yang tingkat dekomposisinya masih rendah, sehingga masih banyak
mengandung serabut, berat jenis sangat rendah (kurang dari 0,1), kadar air
banyak, berwarna kuning sampai pucat.
(2) Hemic merupakan peralihan dengan tingkat dekomposisi sedang, masih
banyak mengandung serabut, berat jenis antara 0,07 0,18, kadar air banyak,
berwarna coklat muda sampai coklat tua.
(3) Sapric yang dekomposisinya paling lanjut, kurang mengandung serabut,
berat jenis 0,2 atau lebih, kadar air tidak terlalu banyak dengan warna hitam dan
coklat kelam.
2.2.2
Pembentukan Gambut
Gambar 3
Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya pendangkalan danau
yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah
(Noor, 2001). Tanaman yang mati dan melapuk, secara bertahap membentuk
lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan
substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya
tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara
bertahap membentuk lapisan-lapisan gambut, sehingga danau tersebut menjadi
penuh (Gambar 1a dan 1b).
Bagian gambutyang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut dikenal
sebagai gambut topogen, karena proses pembentukannya disebabkan oleh
topograf daerah cekungan. Gambut topogen umumnya relatif subur (eutrofik)
karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya
jika ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan
gambut tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut
topogen. Tanaman yang tumbuh dan mati di atas gambut topogen akan
membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan membentuk kubah
(dome) gambut yang mempunyai permukaan cembung (Gambar 1c).
Indonesia
Eropa/Inggeris
Surat
Keadilan iklim
Energi
Masyarakat Adat
REDD
Surat berikut ditujukan kepada Ed Miliband, Menteri Energi dan Perubahan Iklim Inggris. Surat ini
mempertanyakan Nota Kesepahaman Inggris-Indonesia mengenai perubahan iklim yang
ditandatangani pada bulan Desember 2008.1
Sebagai organisasi yang berbasis di Inggris dan Indonesia yang mengadvokasikan cara-cara yang
berkelanjutan dalam menangani krisis perubahan iklim, kami prihatin karena beberapa prioritas
yang diidentifkasi dalam MoU itu menimbulkan pertanyaan serius mengenai hak-hak asasi
manusia, kemiskinan dan perlindungan lingkungan. Pada beberapa kasus, MoU itu
memprioritaskan hal-hal yang belum terbukti manfaat iklimnya dan bahkan dapat memperburuk
daripada meredakan perubahan iklim.
Kami khususnya prihatin dengan poin-poin berikut dan akan sangat berterima kasih apabila kami
dapat memperoleh informasi terinci yang menunjukkan bagaimana pemerintah Inggris menjamin
bahwa potensi masalah hak asasi manusia, kemiskinan, lingkungan dan iklim akan dapat dihindari
dalam kerjasama Anda dengan pemerintah Indonesia terkait dengan MoU itu.
1) REDD (MoU poin 2 a): berdasarkan riset kami sendiri dan riset lain mengenai persiapan
Indonesia atas REDD, kami sangat prihatin bahwa kebijakan fundamental dan langkah-langkah
hukum yang berhubungan dengan hak-hak atas sumber daya belum ada di Indonesia padahal
tanpa itu semua hak-hak masyarakat adat secara khusus tidak dapat dilindungi.
Menurut analisa kami, walaupun legislasi mengenai REDD yang dikeluarkan oleh Menteri
Kehutanan secara teori menetapkan komunitas masyarakat adat sebagai pelaku utama dalam
proyek-proyek REDD, tetapi pada praktiknya belum ada ketentuan hukum nasional yang memadai
yang memungkinkan hal ini terjadi. Ini berarti komunitas masyarakat adat, yang memiliki keahlian
dan pengetahuan utama yang berhubungan dengan usaha perlindungan hutan, dapat tersingkir
atau kepentingan mereka mungkin akan tangguhkanoleh para pelaku komersial lainnya dalam
demam REDD di masa mendatang.
Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Ras belum lama ini mengungkapkan keprihatinannya
terhadap Indonesia terkait dengan draft regulasi REDD. Komite juga mengecam keras Indonesia
karena gagal menghargai hak-hak masyarakat adat sehubungan dengan perkebunan kelapa sawit.
Oleh karena itu kami ingin mengetahui bagaimana aktivitas-aktivitas demonstrasi REDD yang
diajukan, yang disebutkan di dalam MoU, akan menangani isu legalitas ini dan bagaimana aktiviats
itu dapat menjamin bahwa komunitas masyarakat adat memberikan persetujuan atas dasar
informasi awal tanpa tekanan pada setiap proyek REDD yang mempengaruhi mereka.
Kami juga ingin mengetahui lebih lanjut mengenai proposal yang sedang dipertimbangkan tentang
pembiayaan REDD jangka panjang, yang disebutkan di dalam MoU. Kami mengharapkan jaminan
dari Anda bahwa pasar karbon tidak akan menjadi prioritas dalam pembiayaan proyek-proyek
REDD. Dalam pandangan kami, ketergantungan terhadap pasar karbon dalam menyediakan
pembiayaan untuk REDD harus dihindari. Ada pertanyaan serius yang perlu dijawab mengenai
perlindungan hak-hak dan kemiskinan serta dampak lingkungan dan iklim terhadap ilmu
pengetahuan, metodologi dan proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan
pembiayaan karbon, yang membuatnya menjadi pilihan yang tidak dapat dibenarkan. 2 Selain itu,
tidak seharusnya mengandalkan alat yang tak dapat diandalkan seperti pasar, untuk
menggerakkan sesuatu yang penting seperti perlindungan hutan: fakta bahwa harga karbon barubaru ini jatuh di bawah Skema Perdagangan Eropa menggarisbawahi ketidak-andalan ini.
2) Mempromosikan minyak kelapa sawit yang berkelanjutan (MoU poin 2 b): seperti yang
Anda ketahui, permintaan Inggris dan Eropa atas bahan bakar agro memiliki dampak nyata
terhadap industri minyak sawit di Indonesia. Hal ini berkontribusi dalam mempromosikan perluasan
perkebunan kelapa sawit ke dalam hutan-hutan, termasuk daerah-daerah di mana masyarakat
adat memiliki hak-hak adatnya.
Kami prihatin bahwa RSPO gagal menanggapi kebutuhan yang mendesak untuk menghentikan
pengrusakan atas mata pencaharian masyarakat adat dan hutan-hutan di Indonesia, sama seperti
kebijakan UE yang diadopsi pada bulan Desember yang juga gagal dalam menanggapi persoalan
ini dengan baik.
Pengrusakan hutan ini, terutama di daerah-daerah lahan gambut, yang sebagian terjadi karena
permintaan akan bahan bakar agro, juga memiliki dampak negatif yang sangat besar terhadap
iklim. Wetlands International memperkirakan emisi CO2 di Asia Tenggara dari pengrusakan hutan
dan oksidasi tanah gambut adalah sekitar 2 milyar ton per tahun, 90% diantaranya berasal dari
Indonesia.3 Namun, para anggota RSPO yang terkemuka seperti Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (GAPKI), menolak himbauan penangguhan dalam mengubah hutan menjadi perkebunan
kelapa sawit. Sama halnya dengan pemerintah Indonesia yang baru-baru ini mencabut larangan
atas pengunaan lahan gambut untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Maka kami ingin
mengetahui bagaimana pemerintah Inggris dan Indonesia menangani isu-isu ini dalam MoU dan
menjamin bahwa dengan mempromosikan minyak sawit yang berkelanjutan, mereka sebetulnya
tidak mempromosikan pengrusakan atas hutan/lahan gambut dan pelepasan lebih banyak CO 2 ke
atmosfr.
3) Kerjasama dalam mempelajari penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) (MoU
poin 2 h): ada dua hal yang diangkat dalam poin ini. Pertama, CCS yang berhubungan dengan
industri batu bara. Kami prihatin bahwa langkah-langkah untuk mempelajari CCS sebagai suatu
pilihan di masa mendatang yang memungkinkan bagi sektor energi yang menggunakan batu bara
di Indonesia akan berarti dukungan bagi industri yang berhubungan dengan konflik-konflik hak-hak
sumber daya yang serius, pengrusakan hutan dan polusi udara dan air di daerah-daerah
pertambangan batu bara di Indonesia, dan juga sebagai salah satu alat paling kotor dari
pembangkit tenaga listrik sehubungan dengan emisi GRK. Kami percaya upaya-upaya yang
sekarang perlu difokuskan adalah beralih dari pembangkit berbahan bakar fosil ke bahan bakar
alternatif yang terbaharui (baik di Indonesia maupun di Inggris), daripada mendukung industri ini
dengan harapan bahwa teknologi CCS yang belum terbukti pada akhirnya dapat membereskannya.
Kedua, CCS yang berhubungan dengan eksploitasi gas. Kami prihatin karena proyek-proyek yang
ada, yang terkait dengan perusahaan-perusahaan Inggris (contohnya proyek gas BP Tangguh di
Teluk Bintuni, Papua Barat) gagal menjalankan praktik-praktik yang mungkin dapat segera
membantu penurunan emisi dengan menggunakan teknologi injeksi ulang CO 2. Apakah kepastian
dilakukannya hal ini merupakan bagian dari agenda MoU?
4) Pengimbangan (ofset): kami ingin menghimbau Anda untuk memberi perhatian terhadap
keprihatinan kami bahwa MoU secara keseluruhan mencerminkan pihak Pemerintah Inggris dalam
mempromosikan pengimbangan - khususnya pengimbangan emisi Inggris di Indonesia - sebagai
alat untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca di Inggris.
Seperti yang Anda ketahui, pembahasan mengenai ofset belum selesai, walau pun ada indikasi
jelas bahwa pemerintah Inggris mendukung hal itu. Hukum perubahan iklim Inggris yang baru
menghendaki pemerintah agar "memperhatikan kebutuhan akan aksi domestik Inggris atas
perubahan iklim" saat mempertimbangkan bagaimana memenuhi target dan anggaran. Selain itu,
pemerintah perlu menetapkan batasan atas pembelian kredit pengimbangan untuk setiap masa
anggaran karbon, yang menurut perundang-undangan sekunder, memerlukan pembahasan di
kedua tingkat Parlemen dan memperhatikan saran Komite Perubahan Iklim (CCC). CCC sendiri telah
merekomendasikan agar pemerintah tidak merencanakan membeli kredit pengimbangan untuk
memenuhi anggaran 'interim' Inggris (kurang dari 10%), walaupun disebutkan bahwa sekitar 20%
penurunan emisi dapat dipenuhi oleh kredit pengimbangan di dalam anggaran yang
'dimaksudkan'.
Menurut pendapat kami - juga pendapat lain dalam masyarakat madani di Inggris dan di Indonesia
- penurunan emisi GRK yang nyata diperlukan di sini, di Inggris, dan juga di Indonesia (maksudnya
bukan hanya di salah satu negara) dalam mencapai hal seperti tingkat penurunan emisi yang
diperlukan untuk menjaga agar perubahan iklim berada dalam batasan yang aman. Melakukan
pengimbangan emisi yang dihasilkan di Inggris di Indonesia oleh karenanya tak seharusnya
menjadi bagian upaya nasional Inggris dalam mengatasi perubahan iklim.
Selain itu, memaksakan pilihan pengimbangan (seperti yang tampaknya sedang dilakukan oleh
pemerintah Inggris) sangat merusak prospek dalam menjamin kesepakatan global yang baik atas
pengurangan emisi di Kopenhagen pada bulan Desember 2009. Hal ini terjadi karena
pengimbangan secara luas dilihat (dan begitu juga dalam pandangan kami) sebagai upaya negaranegara industri untuk melanjutkan kegiatan mereka seperti yang selama ini mereka lakukan di
negara-negara mereka sendiri dengan membeli pengimbangan di Selatan, alih-alih melakukan
pekerjaan yang berat itu di negara mereka sendiri.
Pada pertemuan baru-baru ini di Jakarta dengan MEP, kelompok utama masyarakat madani
Indonesia yang berfokus pada isu-isu perubahan iklim, Forum Masyarakat Madani (CSF) atas
Perubahan Iklim4, meminta UE dan para negara anggota agar berkomitmen untuk menurunkan
emisi mereka sesuai dengan UNFCCC dan tidak mengkompromikan hal ini dengan segala macam
mekanisme perdagangan polusi. CSF menyatakan bahwa pengurangan emisi oleh bangsa-bangsa
industri di negara mereka sendiri merupakan suatu bentuk kompensasi yang tidak dapat
dinegosiasikan atas hutang ekologi mereka.
Kami berharap Anda akan mempertimbangkan poin-poin ini dalam komunikasi di masa mendatang
dengan Indonesia mengenai MoU dan dalam kesempatan lainnya dan berharap agar mendapat
kabar dari Anda dalam waktu dekat mengenai isu-isu penting ini.
Akhirnya, kami mengirimkan buku berjudul 'Hutan untuk Masa Depan', yang dibuat bsersama-sama
oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Down to Earth, yang menjelaskan secara
terinci bagaimana komunitas masyarakat adat di Indonesia dengan susah payah telah
mempertahankan sistem kehutanan agro yang menyokong hutan-hutan yang kaya akan karbon.
Buku ini dibuat dengan dukungan dana dari DFID, dan sebagian besar ditulis oleh komunitas
masyarakat adat sendiri. Kami percaya buku ini memberikan pelajaran berharga untuk para
pengambil keputusan perubahan iklim mengenai peranan penting yang dijalankan oleh komunitas
tersebut dalam mempertahankan hutan untuk kebaikan planet dan juga masyarakat mereka
sendiri. Dengan semangat ini, untuk negosiasi perubahan iklim yang masih berlangsung, kami
percaya tim Anda akan mendukung himbauan masyarakat adat untuk melindungi hak-hak mereka
dari semua inisiatif perubahan iklim yang mempengaruhi mereka. 4 Surat ditandatangani oleh
Carolyn Marr, Koordinator Inggris, DTE dan dikirim pada tanggal 26 Mei 2009
hubungannya dengan pulau Biografi (Mac Arthur dan Wilson dalam Ferina, 1998), dengan
mempertimbangkan baik kolonisasi maupun tingkat keberadaan sebagai proses yang mendasarinya.
Secara khusus, hubungan antara konsep metapopulasi terhadap Ekologi Lansekap, mempengaruhi
sintesa yang kuat. Proses penyebaran menghasilkan faktor yang sangat penting, yang menentukan
daerah demografis serta struktur secara spesial dari metapopulasi tersebut. Hanson (dalam Ferina,
1998) mengatakan bahwa ada (tiga) faktor utama yang berpengaruh terhadap proses penyebaran
tersebut. Yaitu: Ambang batas ekonomi; Konflik yang terjadi pada penga-daan sumber daya;
Pembatalan pemeliharaan. APLIKASI TEORI EKOLOGI LANSEKAP ARSITEKTUR Salah satu
aplikasi Teori Ekologi Lansekap Arsitektur adalah munculnya berbagai ecotourism yang telah
merangsang kreativitas pengembangan wisata. Hal ini tidak lain diakibatkan karena kecemasan
terhadap nasib kondisi lingkungan global. Perencanaan ecotourism merupakan penerapan ekologi
lansekap arsitektur yang mengolah berbagai lahan dan lingkungan hijau menjadi lingkungan yang
berorientasi pada keseimbangan ekologis. Ecotourism tidak hanya hadir karena didasari oleh
pemahaman terhadap kondisi lingkungan yang berorientasi pada konservasi dan kepedulian terhadap
alam tetapi juga budaya serta peradaban penduduk setempat. Resort wisata Waka Di Ume yang
berlokasi di Ubud, Bali merupakan salah satu penerapan ecotourism ini. Pada dasarnya ecotourism
menekankan 2 prinsip yaitu keaslian dan keindahan. Keaslian di bidang arsitektur memiliki kaitan erat
dengan keindahan. Ini titik sentral perhatian ecotourism ini. Dengan pemahaman mendalam, hakekat
ecotourism ini adalah titik temu antara kepentingan estetika, konservasi, rekreasi, serta kontak
dengan alam (lingkungan ekologis). Sentuhan alami di kawasan wisata bagaimanapun akan
menciptakan paru-paru lingkungan yang dapat memberikan nafas kehidupan masyarakat, alam, dan
lingkungan setempat. Selain itu, salah satu konsep yang lebih menonjol adalah perancangannya
berpegang pada konsep arsitektur berwawasan lingkungan (ekologi lansekap arsitektur). Hal ini
tercermin dalam penggunaan materi batu alam (batu paras atau batu padas) yang lazim ditemui di
sungai-sungai di Bali secara terbatas (sangat minim). Dengan pertimbangan, jangan sampai merusak
tatanan alam (sungai), jika dieksploitasi secara besar-besaran. Oleh karena itu, sebagai antisipasi,
penggunaan materi batu alam hanya terbatas pada aksen tertentu saja. Meminimalkan penggunaan
materi plastik merupakan alternatif lain untuk menghindari kesan dominasi unsur modern. Kerajinankerajinan rakyat dari lingkungan setempat dimanfaatkan pula sebagai pilihan perangkat fasilitas resor,
seperti peralatan restoran, perlengkapan kamar, serta aksesori interior. Materi-materi bangunannya
sendiri pun sedapat mungkin senafas dengan spirit bangunan tradisional di lingkungan setempat,
yaitu atap alang-alang, marmer Citatah, serta menggunakan batu-bata lokal berupa paras dari desa
Tato dan paras dari desa Kerobokan. Warna alam yang menjadi ciri khas bangunan ini kian alami dan
nyaman dengan digunakannya sistem sirkulasi udara yang apa adanya, tanpa bantuan pendingin
ruangan (AC). Hal ini merupakan konsep arsitektur yang sehat, yang juga digunakan pada
penginapan ini. Di sisi lain, spirit kehidupan Pulau Dewata tersirat pula pada pemilihan beragam
aktivitas resor yang mengacu pada budaya setempat, seperti kegiatan belajar menulis, atau
pertunjukan musik-musik unik khas Bali. Dan pemilihan berbagai fasilitas resor lainnya pun notabene
sangat erat kaitannya dengan segala sesuatu yang berbau tradisi Indonesia, di antaranya berupa
ruang perpustakaan dengan sejumlah buku tentang alam dan kebudayaan Indonesia, serta fasilitas
perawatan tubuh (salon, sauna) dengan menggunakan ramuan-ramuan tradisional. Copy the BEST
Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Kesimpulan
Jelaslah modernisasi desa dengan memasukkan persepsi kualitas
kota ke desa akan mengakibatkan banyak masalah. Pembangunan
desa untuk memerangi kemiskinan haruslah memanfaatkan
pengetahuan dan teknologi tradisional. Jika tujuannya memang
produksi, maka pertumbuhan produksi dan konsumsi berada dalam
batas-batas kemampuan lingkungan memulihkan diri. Kearifan
ekologi orang harus tetap digali, kemudian disistematisasi menjadi
ilmu dan menggunakannya untuk membangun desa. Pendidikan di
desa haruslah lebih dikembangkan lagi untuk meningkatkan
kemampuan orang desa mengumpulkan, memproses dan
menggunakan informasi baru. Kebijaksanaan laisez faire pada
akhirnya akan menjerumuskan desa dalam eksploitasi kota.
Penulis merupakan mahasiswa S1 Rekayasa Kehutanan ITB.
Karena kehutanannya itu dia jadi akrab dengan alam liar. Suka
dengan filsafat dan kepenulisan. Dia adalah anggota Komune
Rakapare yang mengurusi bidang kaderisasi. Pernah dan masih
menjadi Kepala Sekolah Rakapare.
Referensi
[1] Peursen, Strategi Kebudayaan
[2] T. Odum. Energy Basis for Man and Nature
[3] Margalef, Perspective in Ecological Theory
[4] Lewis Mumford, The Culture of Cities, New York: Harcourt
Brace: 1938
internalisasi yang dihasilkan dari interaksi mereka dengan masyarakat. Kelompok masyarakat
yang kurang berdaya menganggap diri mereka lemah dan tidak berdaya karena masyarakat
menganggap demikian. Seeman menyebutnya dengan alienasi, Seligmen menyebutnya
dengan ketidakberdayaan dan Learner mengistilahkan dengan ketidakberdayaan surplus.
Berangkat dari fenomena ketidakberdayaan tersebut, maka muncul berbagai tindakan
pemberdayaan dengan berbagai pendekatan mulai dari program yang berkelanjutan sampai
pada aktivitas-aktivitas yang sporadis. Pengertian pemberdayaan sendiri menjadi perhatian
banyak pihak dari berbagai bidang, disiplin ilmu dan berbagai pendekatan. Menurut
Rappaport dalam Suharto (1998:3); pemberdayaan menunjuk pada usaha realokasi sumber
daya melalui pengubahan struktur sosial. Pemberdayaan adalah suatu cara yang diarahkan
kepada masyarakat, organisasi atau komunitas agar mampu menguasai (berkuasa atas)
kehidupannya. Torre (1985:18) mengemukakan bahwa pemberdayaan adalah:
A process through which people become strong enough to participate within, share in the
control of, and influence events and institutions affecting their lives, (and that in part)
empowerment necessitates that people gain particular skills, knowledge and sufficient power
to influence their lives and the live those they care about.
Jadi tujuan pemberdayaan pada hakekatnya seperti yang dijelaskan Ife
(1995:56): Empowerment aims to increase the power of disadvantage.
Lebih jauh Torre (1985) dalam Parson (1994:106) menjelaskan tentang dimensi
pemberdayaan yang terdiri dari 3 dimensi yaitu:
1.
A development process that begins with individual growth, and possibly culminates in
larger scope such as social change.
2.
3.
Liberation resulting from a social movement, which begins with education and
politization of powerless people and later involves collective attempts by the powerless to
gain power and to change those structure that remain oppressive.
Menurut beberapa penulis, seperti Solomon (1976), Rappaport (1981, 1984), Pinderhughes
(1983), Swift (1984), Weick, Rapp, Suliva & Kristhardt (1989) didapatkan kesamaan prinsipil
dalam pemahaman tentang pemberdayaan yaitu:
1.
2.
b. The empowering process views society systems as competent and capable, given
access to resources and opportunities.
3.
4.
5.
d. Society must perceive them selves as casual agent, able to effect changes.
e. Solution, evolving from the particular situation, are necessarily diverse and
emphasize `complexities of multiple contributory factors in any problem situation (Solomon,
1976:27)
6.
f. Informal social networks are a significant sources of support for mediating stress
and increasing one`s competence and sense of control.
7.
g. People must participate in their own empowerment; goals, means, and outcomes
must be self defined.
8.
9.
i. Empowerment involves access to resources and the capacity to use those resources
in an effective way.
10.
11.
1.
Power over personal choices and life chances. Kekuasaan atas pilihan-pilhan personal
dan kesempatan-kesempatan hidup, kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan
mengenai pilihan hidup, tempat tinggal dan pekerjaan dan sebagainya.
2.
3.
Power over ideas. Kekuasaan atas ide atau gagasan, kemampuan mengekspersikan
dan menyumbang gagasan dalam interaksi, forum dan diskusi secara bebas dan tanpa
tekanan.
4.
5.
6.
7.
1.
2.
3.
4.
Supporting yaitu pemberian bimbingan dan dukungan kepada masyarakat lemah agar
mampu menjalankan peran dan fungsi kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu
menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah
dan terpinggirkan.
5.
1.
2.
3.
Pendekatan makro. Pendekatan ini sering disebut dengan strategi sistem pasar (largesystem strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang luas.
Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini.
Berkaitan dengan tema pemberdayaan usaha kecil dalam program kemitraan. Beberapa
tokoh dan lembaga memberikan penjelasan dan pengertian tentang kemitraan. Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (1999:3) dalam program Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS), mengartikan kemitraan usaha adalah sebagai kerja
sama antara perusahaan besar dengan pengusaha kecil, menengah dan koperasi disertai
pembinaan dan pengembangan pengusaha kecil, menengah dan koperasi dengan
memperhatikan prinsip-prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling
menguntungkan. Sementara Yuyun Kartasasmita dalam Susanto (2000:15) menjelaskan
kemitraan adalah merupakan hubungan kerja sama antara pengusaha kecil dengan
pengusaha besar yang didasarkan adanya prinsip saling menguntungkan, dan juga dapat
disertai adanya bantuan pembinaan berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia,
pemasaran, teknik produksi, modal kerja, dan kredit bank. Pendapat serupa dikemukakan
Kartasasmita (1996:189) bahwa kemitraan adalah hubungan kerja sama antar usaha yang
sejajar dan dilandasi oleh prinsip saling menunjang dan saling menghidupi berdasarkan asas
kekeluargaan dan kebersamaan. Jafar (2000:93) mendefnisikan kemitraan sebagai suatu
strategis bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk
meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan.
Jika ditinjau berdasarkan perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang
usaha kecil mendefnisikan kemitraan usaha sebagai kerja sama usaha antara usaha kecil
dengan menengah atau dengan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling
memperkuat, saling memerlukan dan saling menguntungkan.
Tujuan kemitraan usaha menurut Jafar ( 2000; 63) yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.
2.
3.
Jaminan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas pada kegiatan kemitraan. Proses produksi
biasanya tidak dikuasai oleh satu pihak saja, maka pihak-pihak yang terlibat perlu
menerapkan suatu standar mutu yang disepakati sehingga pada akhir produksi dapat
diperoleh jaminan mutu yang berkesinambungan.
4.
Resiko. Setiap kegiatan bisnis/usaha selalu memiliki resiko, bahkan satu norma yang
dianut oleh dunia usaha bahwa keuntungan/kesuksesan yang besar biasanya mengandung
konsekwensi resiko yang besar pula. Dengan kemitraan diharapkan resiko yang besar dapat
ditanggung bersama. Tentunya pihak-pihak yang bermitra akan menanggung resiko yang
proposional sesuai dengan besarnya modal dan keuntungn yang diperoleh.
5.
Sosial. Kemitraan usaha bukan hanya memberikan dampak positif secara ekonomi. Di
samping itu, kemitraan dapat memberikan dampak sosial yang tinggi, dengan mengantisipasi
kecemburuan sosial yang bisa menjadi gejolak sosial akibat ketimpangan.
Menurut Elyas dalam Susanto (1997:4) pola kemitraan terdiri dari beberapa kategori yaitu :
1.
Pola Sub Kontrak yaitu usaha kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh
usaha besar sebagai bagian dari cara produksinya.
2.
Pola Waralaba yaitu pemberi waralaba memberikan hak penguasaan lisensi, merek
dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada usaha kecil penerima waralaba dengan
disertai bimbingan manajemen.
3.
Pola Keagenan (agen) yaitu usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang
dan jasa usaha besar.
4.
Pola Dagang Umum yaitu usaha besar menawarkan hasil produksi usaha kecil, atau
usaha kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh usaha besar.
5.
Pola Inti Plasma yaitu hubungan kemitraan antara usaha kecil sebagai plasma dengan
usaha besar sebagai inti. Perusahaan melakukan pembinaan yang terdiri dari sarana produksi,
bimbingan teknis, promosi, pemasaran.
Terdapat tahapan kegiatan yang dilakukan untuk menyiapkan pelaku-pelaku usaha agar siap
bermitra antara lain, yaitu (Susanto, 1997:4):
1.
Identifkasi dan pendekatan kepada pelaku usaha, baik pelaku usaha kecil, menengah,
maupun usaha besar. Dalam tahapan identifkasi ini dikumpulkan data dan informasi yang
berkaitan dengan jenis usaha dan komoditas, potensi sumber daya, kemampuan pelaku
usaha dalam berbagai bidang seperti penguasaan IPTEK, permodalan, sumber daya manusia,
maupun sarana-sarana lainnya. Dalam tahap ini diharapkan masing-masing pelaku usaha
dapat saling mengenal satu sama lain, sehingga dapat teridentifkasi pelaku usaha mana
yang paling potensial untuk dijadikan mitra usaha.
2.
3.
Menganalisis kebutuhan pelaku usaha. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui lebih
mendalam mengenai peluang-peluang usaha dan permasalahan-permasalahan mendasar
dalam pengembangan usaha yang dihadapi pelaku-pelaku usaha baik pelaku usaha kecil,
menengah, maupun koperasi.
4.
5.
Kesiapan bermitra. Adanya kemitraan harus disadari kedua belah pihak bahwa
bermitra merupakan hubungan kerja dan peluang, dan juga menjadi ajang untuk belajar dan
mengembangkan diri serta menimba kekuatan/kelebihan-kelebihan yang dimiliki mitra
usahanya. Selain itu pelaku-pelaku usaha yang akan bermitra perlu memahami adanya
keseimbangan yang jelas antara kontribusi, proses partisipasi yang melibatkan semua pihak
serta pembagian hasil yang sepadan sesuai dengan kontribusi.
6.
Total sedimen yang masuk ke Danau Tempe adalah 1.069.099 juta m3, sementara yang
dikeluarkan melalui Sungai Cenranae adalah 550.490 juta m3. Dengan demikian sisa
sedimen yang mengendap di dasar danau sebesar 518.609 juta m3. Jika setiap tahunnya
sedimen tidak keluar dan terus mengendap maka akan terjadi proses pendangkalan danau
setinggi 0,37 cm dari proses sedimentasi (Bapedal, 2000).
Sedimentasi yang terjadi 0,37 cm setiap tahun telah menyebabkan pendangkalan yang
menimbulkan dampak negatif bagi sumberdaya perikanan Danau Tempe. Danau Tempe
menjadi lebih dangkal dan volume air berkurang sehingga ruang perairan untuk habitat
ikan juga berkurang.
Sedimen yang masuk ke DAS merupakan akumulasi erosi dan buangan rumah tangga dan
industri sepanjang DAS. Erosi disebabkan oleh penebangan hutan di sekitar hulu dan
sepanjang DAS sehingga aliran air pada saat hujan mengikis lapisan tanah dan terbawa ke
sungai. Kemudian pada badan air danau terdapat banyak tanaman air baik yang tumbuh
dari dasar danau maupun yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bungka toddo.
Tanaman air ini menjadi perangkap sedimen dan mengendapkan sedimen ke dasar danau.
Menurut penelitian Nippon Koei (2003), bahwa sepanjang musim hujan 80 90 persen
permukaan danau ditutupi oleh tanaman air.
Suara Publik (2003) menulis bahwa akibat kerusakan lingkungan, telah terjadi
pendangkalan dan penyempitan danau. Di musim kemarau, danau hampir kering dengan
rata-rata kedalaman air hanya 0,5 1,0 meter. Sebaliknya, pada puncak musim hujan, air
banjir pemukiman penduduk dan menghanyutkan segalanya.
b. Pencemaran.
Air danau dan aliran-aliran sungai di sekitarnya dipergunakan oleh masyarakat sebagai
sumber air bersih, tetapi masyarakat tidak mengetahui tingkat pencemaran air dan juga
kebutuhan air bersih untuk MCK (Mandi, Cuci, Kakus) hanya bertumpu pada air sungai dan
danau. Laporan Bappedal (2000) menunjukkan bahwa setidaknya ada 3 sumber-sumber
pencemar air danau yaitu 1) Kegiatan Rumah Tangga yang menghasilkan bahan buangan
organik (dedaunan, bekas bungkusan kertas), buangan olahan bahan makanan (ikan,
daging), buangan zat kimia (dari sabun, detergen, shampoo, dan bahan pembersih lain), 2)
Kegiatan Pertanian seperti penggunaan pestisida (insektisida, herbisida, zat pengatur
tumbuh) dan pupuk (ZA, DAP, Urea, NPK dan lain-lain), 3) Kegiatan Industri dengan 4
golongan yaitu industri makanan dan tembakau, pertenunan sutera dan pakaian jadi,
industri kayu dan perabot, industri percetakan. Bahan buangan dari industri berupa
buangan padat, organik, olahan makanan dan zat kimia.
Hal yang juga menjadi perhatian utama adalah pencemaran perairan yang terjadi,
berdasarkan penelitian lembaga kami dan Bappedal Wil. III menunjukkan adanya indikator
bahwa perairan Danau Tempe mengalami pencemaran seperti perubahan suhu air, pH,
warna, bau, rasa, tingginya kekeruhan, logam berat (timbal dan arsen) dan meningkatnya
radioaktivitas air. Sumber utama yang membawa bahan pencemar keperairan adalah
aktivitas masyarakat yang semakin meningkat dalam bentuk kegiatan pertanian dan limbah
dari pemukiman yang padat di sekitar areal Danau Tempe. Masalah pencemaran ini
merupakan akibat dari aktivitas masyarakat di sekitar danau dan DAS yang kurang tertata.
Masyarakat belum memiliki kesadaran tentang pentingnya pelestarian perairan sungai dan
danau. Hal ini disebabkan umumnya masyarakat masih memiliki tingkat pendidikan rendah
dan keterampilan/pengetahuan yang kurang dalam mengelola (mengeksploitasi) danau
serta dalam melakukan aktivitas sekitar danau atau DAS.
Permasalahan sedimentasi dan pencemaran yang cenderung semakin tinggi memberikan
kontribusi terhadap proses pendangkalan di Danau Tempe. Hasil Penelitian JICA (1993)
menunjukkan bahwa setiap tahunnya terjadi pendangkalan berkisar 15 20 cm dan
cenderung meningkat setiap tahun. Berdasarkan kesimpulan Laporan BAPEDAL Regional III
(2000) menyatakan bahwa apabila laju sedimentasi terus meningkat setiap tahunnya
diperkirakan 100 200 tahun kemudian Danau Tempe akan menjadi suatu daerah dataran
yang subur karena adanya penumpukan sedimen yang banyak mengandung bahan organik.
c. Terjadi peningkatan gulma air
Tingginya produktifitas dan kesuburan Danau Tempe terlihat dari semakin meningkatnya
pertumbuhan gulma air pada perairan danau dimana luas penutupannya mencapai 40 %.
Hal ini dapat menjadi ancaman karena membantu mempercepat proses pendangkalan
Danau Tempe. Tanaman air yang menjadi gulma di danau adalah didominasi oleh eceng
gondok, akar tanaman ini dapat mencapai dasar danau dan menjadi perangkap sedimen
kemudian mengendapkan di dasar danau.
Menurut wawancara dengan nelayan dijelaskan bahwa pada akhir musim hujan, dimana
banyak nelayan yang memasang bungka toddo dari tanaman air khususnya eceng gondok
dan kangkung, sehingga akan menutupi sebagian besar permukaan danau dan menyulitkan
jalur nelayan yang menggunakan perahu. Kondisi biasanya dapat menimbulkan konflik
antara nelayan pemilik bungka toddo dengan nelayan yang menggunakan jaring. Pada saat
memasuki musim kering dimana danau semakin sempit karena air sudah turun, hal ini
menyebabkan permukaan danau akan tertutupi sampai 90 % oleh tanaman air.
d. Terancamnya satwa liar dan biota air di areal Danau Tempe
Menurunnya kualitas lingkungan perairan Danau Tempe mempengaruhi daya dukung
organisme didalamnya sehingga keberadan satwa liar dan biota air semakin terancam. Dan
terdapat indikasi menurunnya populasi beberapa satwa liar dan biota air, khususnya yang
jenis endemik. Berdasarkan survei dan wawancara dengan masyarakat sekitar danau
dijelaskan bahwa biota seperti burung (cawiwi, lawase) dan ikan endemik (bungo,
belanak, sidat/masafi) sudah jarang dijumpai di danau.