Anda di halaman 1dari 17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
A. Hasil Belajar
Belajar merupakan kegiatan berproses dan merupakan unsur yang
sangat fundamental dalam setiap jenjang pendidikan. Dalam keseluruhan
proses pendidikan, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok
dan penting dalam keseluruhan proses pendidikan. Menurut Abdillah dalam
Aunurrahman (2010: 35) belajar adalah suatu usaha sadar yang dilakukan
oleh individu dalam perubahan tingkah laku baik melalui latihan dan
pengalaman

yang

menyangkut

aspek-aspek

kognitif,

afektif,

dan

psikomotorik untuk memperoleh tujuan tertentu.


Belajar merupakan proses atau usaha yang dilakukan tiap individu
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku baik dalam bentuk
pengetahuan, keterampilan maupun sikap dan nilai yang positif sebagai
pengalaman untuk mendapatkan sejumlah kesan dari bahan yang telah
dipelajari. Kegiatan belajar tersebut ada yang dilakukan di sekolah, di rumah,
dan di tempat lain seperti di museum, di laboratorium, di hutan dan dimana
saja. Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai
tindakan maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri dan akan menjadi
penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar.
Berdasarkan pengertian belajar di atas, dapat dimaknai bahwa hasil
belajar merupakan tujuan akhir dilaksanakannya kegiatan belajar. Sejalan
dengan pendapat Sudjana (2010: 22) hasil belajar adalah kemampuan yang
dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajar. Warsito dalam
Depdiknas (2006: 125) mengemukakan bahwa hasil dari kegiatan belajar
ditandai dengan adanya perubahan perilaku kea rah positif yang relatif
permanen pada diri orang yang belajar. Sedangkan Wahidmurni, dkk. (2010:
18) menjelaskan bahwa seseorang dapat dikatakan telah berhasil dalam
belajar jika ia mampu menunjukkan adanya perubahan dalam dirinya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
hasil belajar merupakan prestasi belajar yang dicapai siswa dalam kegiatan
belajar mengajar dengan membawa suatu perubahan dan pembentukan
tingkah laku seseorang.

Macam-macam hasil belajar menurut Gagne dalam Suprijono (2010: 5


6) antara lain sebagai berikut.
1. Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam
bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan merespons
secara spesifik terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan tersebut
tidak memerlukan manipulasi symbol, pemecahan masalah maupun
penerapan aturan.
2. Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep
dan lambing. Keterampilan intelektual terdiri dai kemampuan
mengategorisasi, kamampuan analitis-sintetis faktaa-konsep dan
mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan. Keterampian intelektual
merupakan kemampuan melakukan aktivtas kognitif bersifat khas.
3. Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan
aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan mengarahkan ini meliputi
penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.
4. Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian
gerak jasmani dalam urusan dalam koordinasi, sehingga terwujud
otomatisme gerak jasmani.
5. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan
penilaian terhadap objek tersebut. Sikap berupa kemampuan
menginternalisasika dan eksternalisasi nilai-nilai. Sikap merupakan
kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai standar perilaku.
Aspek hasil belajar menurut Benjamin S. Bloom diklasifiksikan ke
dalam 3 ranah yaitu:
1. Ranah kognitif
Dimyati dan Mudjiono (2009: 27) menjelaskan ranah kognitif
merupakan segi kemampuan yang berkaitan dengan aspek-aspek
pengetahuan, penalaran, atau pikiran. Bloom membagi ranah kognitif
menjadi

enam

tingkatan,

meliputi

pengetahuan,

pemahaman,

penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.


2. Ranah afektif
Dimyati dan Mudjiono (2009: 298) menjelaskan ranah afektif
merupakan kemampuan yang mengutamakan perasaan, emosi, dan
reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran. Ranah afektif disusun
oleh Bloom dan David Krathwol meliputi penerimaan, partisipasi,

penilaian atau penentuan sikap, organisasi, dan pembentukan pola


hidup.
3. Ranah Psikomotorik
Ranah psikomotorik berisi tentang perilaku-perilaku yang
menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan,
mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
B. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) mendasarkan
pada teori pendidikan matematika yang dikembangkan di Belanda yang
terkenal dengan nama Realistics mathematics Educations (RME).
1. Hakikat PMRI
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan
pendekatan dalam pembelajaran matematika yang sesuai dengan
paradigma pendidikan sekarang. Realistik dalam hal ini dimaksudkan
tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan
oleh siswa (Slettenhaar, 2000).
PMRI menginginkan adanya perubahan dalam paradigma
pembelajaran, yaitu dari paradigma mengajar menjadi paradigma belajar
(Marpaung, 2004).
Realistic Mathematics Education (RME) adalah pendekatan
pengajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang real bagi siswa,
menekankan ketrampilan proses of doing mathematics, berdiskusi dan
berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehinggga mereka
dapat menemukan sendiri (student inventing sebagai kebalikan dari
teacher telling) dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk
menyelesaikan masalah baik secara individu maupun secara kelompok.
(Zulkardi, 2009)
2. Karakteristik PMRI
Menurut Jan de Lange (1987); Treffers (1991); dan Gravemeijer
(1994) dalam Zulkardi (2005: 9) PMRI mempunyai lima karakteristik
a.

yaitu sebagai berikut:


Menggunakan masalah kontekstual (masalah kontekstual sebagai
aplikasi dan sebagai titik tolak dari mana matematika yang
diinginkan dapat muncul).

10

b.

Menggunakan model yang menekankan penyelesaian secara


informal sebelum menggunakan cara formal atau rumus.(Perhatian
diarahkan pada pengembangan model, skema dan simbolisasi
daripada hanya mentransfer rumus atau matematika secara

c.

langsung).
Menghargai ragam jawaban dan kontribusi siswa (Kontribusi yang
besar pada proses belajar mengajar diharapkan dari kontribusi siswa
sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal kearah yang

d.

lebih formal).
Interaktivitas (negoisasi secara eksplisit, intervensi, kooperatif dan
evaluasi sesama siswa dan guru adalah faktor penting dalam proses
belajar secara konstruktif dimana strategi informal siswa digunakan

e.

sebagai jantung untuk mencapai yang formal).


Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya (Pendekatan holistic,
menunjukan bahwa unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara
terpisah tetapi keterkaitan dan keterintegrasian haris dieksploitasi
dalam pemecahan masalah).

3. Langkah-langkah PMRI
Menurut Zulkardi (2002) langkah-langkah pendekatan PMRI adalah
sebagai berikut:
a. Persiapan
1) Menentukan masalah kontekstual yang sesuai dengan pokok
bahasan yang akan diajarkan
2) Mempersiapkan model atau alat peraga yang dibutuhkan
b. Pembukaan
1) Memperkenalkan masalah kontekstual kepada siswa.
2) Meminta siswa menyelesaikan masalah dengan cara mereka
sendiri
3) Proses Pembelajaran
4) Memperhatikan kegiatan siswa baik secara individu ataupun
kelompok.
5) Memberi bantuan jika diperlukan.
6) Memberi kesempatan kepada siswa untuk menyajikan hasil kerja
mereka dan mengomentari hasil kerja temannya.
7) Mengarahkan siswa untuk mendapatkan strategi terbaik untuk
menyelesaikan masalah.

11

8) Mengarahkan siswa untuk menemukan aturan atau prinsip yang


bersifat umum atau formal.
c. Penutup
1) Mengajak siswa menarik kesimpulan tentang apa yang telah
mereka lakukan dan pelajari.
2) Memberi evaluasi berupa soal matematika dan pekerjaan rumah.
3) Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik
4. Kelebihan PMRI
Menurut Suwarsono (dalam Evi Luthvia, 2009) terdapat beberapa
kelebihan dari pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) antara
lain sebagai berikut.
a. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa
tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari
(kehidupan dunia nyata) dan tentang kegunaan matematika pada
umumnya bagi manusia.
b. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa
bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan
dikembangkan sendiri oleh siswa, tidak hanya oleh mereka yang
disebut pakar dalam bidang tersebut.
c. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa
bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal,
dan tidak harus sama antara orang yang satu dengan orang yang lain.
Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan caranya sendiri,
asalkan orang itu bersungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau
masalah

tersebut.

Selanjutnya

dengan

membandingkan

cara

penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa
diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan
dari penyesaian soal atau masalah tersebut.
d. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa
bahwa

dalam

mempelajari

matematika,

proses

pembelajaran

merupakan sesuatu yang utama, dan untuk mempelajari matematika


orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan
sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang
sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani

12

sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan


terjadi.
C. Matematika
1. Hakikat Matematika
Matematika merupakan salah satu jenis dari enam
materi ilmu yaitu matematika, fisika, biologi, psikologi, ilmu-ilmu
social dan linguistik. Didasarkan pada pandangan konstruktivisme,
hakikat matematika yakni anak yang belajar matematika dihadapkan
pada masalah tertentu berdasarkan konstruksi pengetahuan yang
diperolehnya

ketika

belajar

dan

anak

berusaha

memecahkannya. (Hamzah, 2007: 126)


Belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan
struktur struktur matematika yang terdapat dalam materi-materi yang
dipelajari serta menjalankan hubungan antara konsep-konsep dan
struktur-struktur itu. Lain dari itu peserta didik lebih mudah mengingat
matematika itu, bila yang dipelajari merupakan pola yang terstruktur.
Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar matematika mempunyai
empat aspek yaitu fakta, konsep, prinsip dan skill.
Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif yaitu kebenaran
suatu konsep atau pernyataan yang diperoleh sebagai akibat logis dari
kebenaran

sebelumnya.

Namun

demikian,

dalam

pembelajaran

pemahaman konsep sering diawali secara induktif melalui pengalaman


peristiwa nyata. Proses induktif-deduktif dapat digunakan untuk
mempelajari konsep matematika. Selama mempelajari matematika di
kelas, aplikasi hasil rumus atau sifat yang diperoleh dari penalaran
deduktif maupun induktif sering ditemukan meskipun tidak secara formal
hal ini disebut dengan belajar bernalar.
2. Tujuan Pembelajaran Matematika
Tujuan

pembelajaran

matematika

adalah

melatih

dan

menumbuhkan cara berfikir sistematis, logis, kritis, kreatif, dan

13

konsisten, serta mengembangkan sikap gigih dan percaya diri dalam


menyelesaikan masalah. (Prihandoko, 2006: 21)
Menurut

Depdiknas

(2004)

tujuan

umum

diberikannya

matematika di jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah sebagai


berikut.
a. Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan
di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkambang, melalui
latihan bertindak atas dasar pemikiran logis, rasional, kritis, cermat,
jujur, efektif dan efisien.
b. Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematila dan pola
pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari., dan dalam
mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Dengan demikian tujuan
umum pendidikan matematika pada jenjang pendidikan dasar dan
pendidikan menengah memberi tekanan pada penataan nalar dan
pembentukan sikap siswa serta juga memberi tekanan pada
keterampilan dan penerepan matematika.
Menurut Depdiknas (2004) tujuan pengajaran matematika di SD
sebagai berikut.
a. Menumbuhkan

dan

mengembangkan

keterampilan

berhitung

(menggunakan bilangan sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari).


b. Menumbuhkan kemampuan siswa, yang dapat dialihgunakan,
melalui kegiatan matematika.
c. Mengembangkan pengetahuan dasar matematika sebagai bekal
belajar lebih lanjut di Sekolah Menengah Pertama (SMP).
d. Membentuk sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin.
Selain itu tujuan mata pelajaran matematika yang tercantum
dalam KTSP pada SD/MI adalah agar peserta didik memiliki
kemampuan:
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar
konsep dan mengaplikasikan konsep atau logaritma secara secara
luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah.

14

b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi


matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami,
merancang

model

matematika,

menyelesaikan

model

dan

menafsirkan solusi yang diperoleh.


d. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa siswa-siswa SD
setelah selesai mempelajari matematika bukan saja diharapkan memiliki
sikap kritis, jujur, cermat, dan cara berpikir logis dan rasional dalam
menyelesaikan suatu masalah, melainkan juga harus mampu menerapkan
matematika dalam kehidupan sehari-hari, serta memiliki pengetahuan
matematika yang cukup kuat sebagai bekal untuk mempelajari
matematika lebih lanjut dan dalam mempelajari ilmu-ilmu lain.
3. Ciri-ciri Pembelajaran Matematika di SD
Menurut Suwangsih dan Tiurlina (2006) ciri-ciri pembelajaran
matematika di SD yaitu sebagai berikut:
a. Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral
Pendekatan

spiral

dalam

pembelajaran

matematika

merupakan pendekatan dimana pembelajaran konsep atau suatu topik


matematika selalu mengaitkan atau menghubungkan dengan topik
sebelumnya. Topik sebelumnya dapat menjadi prasyarat untuk dapat
memahami dan mempelajari suatu topic matematika. Topik baru
yang dipelajari merupakan pendalaman dan perluasan dari topik
sebelumnya. Konsep diberikan dimulai dengan bentuk pemahaman
yang lebih abstrak dengan menggunakan notasi yang lebih umum
digunakan dalam matematika.
b. Pembelajaran matematika bertahap
Materi pelajaran matematika diajarkan secara bertahap yaitu
dimulai dari konsep-konsep yang sederhana, menuju konsep yang
lebih sulit. Selain itu pembelajaran matematika dimulai dari yang

15

konkret, ke semi konkret dan akhirnya kepada konsep abstrak. Untuk


mempermudah siswa memahami objek matematika maka bendabenda konkrit digunkan pada tahap konkrit, kemudian ke gambargambar pada tahap semi konkrit dan akhirnya ke simbol-simbol pada
tahap abstrak.

c. Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif


Matematika merupakan ilmu deduktif. Namun karena sesuai
tahap perkembangan mental siswa maka pada pembelajaran
matematika di SD digunakan pendekatan induktif. Contoh:
Pengenalan bangun-bangun ruang tidak dimulai dari definisi, tetapi
dimulai dengan memperhatikan contoh-contoh dari bangun tersebut
dan mengenal namanya. Menentukan sifat-sifat yang terdapat pada
bangun ruang tersebut sehingga didapat pemahaman konsep bangunbangun ruang itu.
d. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi
Kebenaran

matematika

merupakan

kebenaran

yang

konsistensi artinya tidak ada pertentangan antara kebenaran yang


satu dengan kebenaran yang lain. Suatu penyataan dianggap benar
jika didasarkan kepada pernyataan-pernyataan sebelumnya yang
telah diterima kebenarannya. Meskipun di SD pembelajaran
matematika dilakukan dengan cara indukti tetapi pada jenjang
selanjutnya generalisasi suatu konsep harus secara deduktif
e. Pembelajaran matematika hendaknya bermakna
Pembelajaran

secara

bermakna

merupakan

cara

mengajarkan materi pelajaran yang mengutamakan pengertian dari


pada hafalan. Dalam belajar bermakna aturan-aturan, sifat-sifat, dan
dalil-dalil tidak diberikan dalam bentuk jadi, tetapi sebaliknya
aturan-aturan, sifat-sifat dan dalil-dalil ditemukan oleh siswa melalui
contoh-contoh secara induktif di SD kemudian dibuktikan secara
deduktif pada jenjang selanjutnya.

16

4. Ruang Lingkup Matematika


Permendiknas No. 22 Tahun 2006 menjelaskan mata pelajaran
Matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek-aspek sebagai
berikut.
a. Bilangan
b. Geometri dan pengukuran
c. Pengolahan data.
Berdasarkan ruang lingkup tersebut, peneliti menerapkan materi
jaring-jaring kubus di kelas IV yang menyangkut ruang lingkup kedua,
yaitu geometrid an pengukuran. Materi tersebut terdapat pada Standar
Kompetensi 8 yaitu Memahami sifat bangun ruang sederhana dan
hubungan antarbangun dan Kompetensi Dasar 8.2 yaitu Menentukan
jaring-jaring balok dan kubus. Penjelasan lebih lanjut materi akan
dijelaskan pada pembahasan berikutnya.
5. Konsep Jaring-jaring Kubus di SD
Jaring-jaring adalah sebuah kubus yang terbuat dari karton diiris
menurut rusuk-rusuknya, sehingga terdapat enam daerah persegi yang
membentuk suatu bangun geometri.
Kubus adalah bangun ruang yang dibatasi oleh enam bidang
persegi yang masing-masing dinamakan bidang sisi. Balok memiliki 6
sisi, 12 rusuk, dan 8 titik sudut.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jaring-jaring
kubus adalah bentuk benda atau bangun ruang tiga dimensi yang dapat
dilipat dan dibentuk menjadi kubus, atau terdiri dari enam persegi yang
memliki ukuran sama.
Untuk membuat jaring-jaring kubus sangatlah mudah, yang perlu
diperhatikan adalah posisi dari masing-masing sisi. Cara menemukan
rangkaian yang merupakan jarig-jaring sebuah kubus dengan cara
memotong sebuah rusuk-rusuknya. Langkahnya yaitu dengan cara
memotong model kubus pada rusuk-rusuk tertentu, maka akan
menghasilkan sebuah jaring-jaring kubus. Cara pemotongan yang sama

17

apabila dimulai dari sisi yang berbeda akan menghasilkan bentuk jaringjaring yang berbeda pula.
a. Indikator Keberhasilan Meningkatkan pemahaman siswa dalam
membuat jaring-jaring kubus
Keberhasilan siswa membuat jaring-jaring kubus adalah hasil
akhir belajar yang dicapai siswa dalam membuat jaring-jaring secara
konsisten sesuai dengan tata cara pembuatan jaring-jaring kubus
dengan benar, cepat, dan tepat. Adapun indikator dari keberhasilan
belajar siswa dalam membuat jaring-jaring kubus adalah:
1) Berhasil menggambar dan membuat berbagai macam model
jaring-jaring kubus.
2) Berhasil melipat dan membentuk jaring-jaring kubus sehingga
membentuk bangun ruang (kubus).
3) Berhasil menentukan atau membedakan bentuk-bentuk jaringjaring kubus.
4) Berhasil membuktikan jaring-jaring dari kubus tertentu yang
didapat

dari

proses

memecah

kubus,

dan

mengembalikan kembali menjadi bangun kubus.


b. Aspek yang dikuasai siswa
Dalam membuat jaring-jaring kubus ada beberapa aspek
pengetahuan, kemampuan, dan sikap yang harus dikuasai oleh siswa
diantaranya adalah:
1) Pengetahuan siswa tentang konsep bangun datar empat persegi
panjang.
2) Kemampuan siswa dalam menggunakan alat ukur penggaris
untuk menentukan ukuran dengan tepat.
3) Kemampuan siswa dalam menggunakan mistar untuk membuat
garis lurus.
4) Kemampuan siswa dalam menggunakan alat gunting.
5) Kemampuan siswa untuk melipat sesuai alur/garis.
6) Sikap teliti, hati-hati dan konsisten dalam menggambar bangun
datar empat persegi panjang.
7) Sikap ulet untuk menghasilkan karya yang berkwalitas.
8) Sikap kerja keras dan disiplin sehingga dapat membuat karya
sesuai waktu yang disediakan.

18

D. Karakteristik Peserta Didik


Ada beberapa karakteristik anak di usia Sekolah Dasar yang perlu
diketahui para guru, agar lebih mengetahui keadaan peserta didik khususnya
ditingkat Sekolah Dasar. Sebagai guru harus dapat menerapkan metode
pengajaran yang sesuai dengan keadaan siswanya maka sangatlah penting
bagi seorang pendidik mengetahui karakteristik siswanya. Selain karakteristik
yang perlu diperhatikan kebutuhan peserta didik. Anak SD merupakan anak
dengan katagori banyak mengalami perubahan yang sangat drastis baik
mental maupun fisik. Kebutuhan Siswa SD antara lain sebagai berikut:
1. Anak SD senang bermain
Karakteristik ini menuntut guru SD untuk melaksanakan kegiatan
pendidikan yang bermuatan permainan lebih lebih untuk kelas rendah.
Guru

SD

seyogyanya

merancang

model

pembelajaran

yang

memungkinkan adanya unsur permainan di dalamnya. Guru hendaknya


mengembangkan model pengajaran yang serius tapi santai. Penyusunan
jadwal pelajaran hendaknya diselang saling antara mata pelajaran serius
seperti IPA, Matematika, dengan pelajaran yang mengandung unsure
permainan seperti pendidikan jasmani, atau Seni Budaya dan
Keterampilan (SBK).
2. Anak SD senang bergerak
Orang dewasa dapat duduk berjam-jam, sedangkan anak SD dapat
duduk dengan tenang paling lama sekitar 30 menit. Oleh karena itu, guru
hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak
berpindah atau bergerak. Menyuruh anak untuk duduk rapi untuk jangka
waktu yang lama, dirasakan anak sebagai siksaan.
3. Anak usia SD senang bekerja dalam kelompok
Anak usia SD dalam pergaulannya dengan kelompok sebaya,
mereka belajar aspek-aspek yang penting dalam proses sosialisasi,
seperti: belajar memenuhi aturan-aturan kelompok, belajar setia kawan,
belajar tidak tergantung pada diterimanya di lingkungan, belajar

19

menerimanya tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang lain secara


sehat (sportif), mempelajarai olah raga dan membawa implikasi bahwa
guru harus merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak
untuk bekerja atau belajar dalam kelompok, serta belajar keadilan dan
demokrasi.
Karakteristik ini membawa implikasi bahwa guru harus
merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak untuk bekerja
atau belajar dalam kelompok. Guru dapat meminta siswa untu
membentuk kelompok kecil dengan anggota 34 orang untuk
mempelajari atau menyelesaikan suatu tugas secara kelompok.
4. Anak SD senang merasakan atau melakukan/memperagakan sesuatu
secara langsung
Ditinjau dari teori perkembangan kognitif, anak SD memasuki
tahap operasional konkret. Dari apa yang dipelajari di sekolah, ia belajar
menghubungkan konsep-konsep baru dengan konsep-konsep lama.
Berdasar pengalaman ini, siswa membentuk konsep-konsep tentang
angka, ruang, waktu, fungsi-fungsi badan, peran jenis kelamin, moral,
dan sebagainya. Bagi anak SD, penjelasan guru tentang materi pelajaran
akan lebih dipahami jika anak melaksanakan sendiri, sama halnya dengan
memberi contoh bagi orang dewasa. Dengan demikian guru hendaknya
merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat
langsung dalam proses pembelajaran. Sebagai contoh anak akan lebih
memahami tentang arah mata angin, dengan cara membawa anak
langsung keluar kelas, kemudian menunjuk langsung setiap arah angin,
bahkan dengan sedikit menjulurkan lidah akan diketahui secara persis
dari arah mana angina saat itu bertiup.
Implikasi karakteristik peserta didik terhadap penyelenggaraan
pendidikan bagi anak usia Sekolah Dasar yaitu:
1. Karakteristik anak usia SD adalah senang bermain, senang bergerak,
senang bekerja dalam kelompok, serta senang merasakan/ melakukan
sesuatu

secara

langsung.

Oleh

karena

itu,

guru

hendaknya

20

mengembangkan pembelajaran yang mengandung unsur permainan,


memungkinkan siswa berpindah atau bergerak dan bekerja atau belajar
dalam kelompok, serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk
terlibat langsung dalam pembelajaran.
2. Menurut Havighurst tugas perkembangan anak usia SD adalah sebagai
berikut :
a. menguasai keterampilan fisik yang diperlukan dalam permainan dan
b.
c.
d.
e.

aktivitas fisik,
Membangun hidup sehat mengenai diri sendiri dan lingkungan.
Belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok sebaya,
Belajar menjalankan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin
Mengembangkan keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan

berhitung agar mampu berpartisipasi dalam masyarakat,


f. Mengembangkan konsepkonsep hidup yang perlu dalam lehidupan.
g. Mengembangkan kata hati, moral, dan nilainilai sebagai pedoman
perilaku.
h. Mencapai kemandirian pribadi.
E. Penelitian yang Relevan
1. Hasil penelitian Nila Kurniasih (2014) dengan judul Peningkatan
Keaktifan dan Hasil Belajar Siswa melalui Pendekatan Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Berdasarkan hasil penelitian
ini diperoleh kesimpulan bahwa pembelajaran matematika melalui
pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) dapat
meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa kelas V SD Negeri 2
Waluyorejo. Hal tersebut dapat terlihat dari peningkatan pada rata-rata
keaktifan dan hasil belajar siswa pada tes siklus I dan tes siklus II. Pada
tes siklus I rata-rata keaktifan siswanya adalah 69,32% sedangkan pada
tes siklus II meningkat menjadi 81,83%, Untuk peningkatan hasil belajar
siswa dapat terlihat pada siklus I ketuntasan klasikal mencapai 62,96%
dan pada siklus II meningkat menjadi 77,78%, dan untuk nilai rata-rata
kelas adalah 64,81 meningkat menjadi 72,22.
2. Hasil penelitin Sri Sumiyati (2008) dengan judul Peningkatan Aktivitas
dalam Pembelajaran Matematika pada Pokok Bahasan Bangun Ruang
melalui Pendekatan Matematika Realistik Indonesia. Hasil penelitian

21

menyimpulkan bahwa aktivitas siswa mengalami peningkatan yaitu 1)


aktivitas siswa dalam maju kedepan sebelum tindakan 21,62% pada akhir
putaran meningkat menjadi 75,67%; 2) aktivitas bertanya tentang hal-hal
yang belum jelas sebelum tindakan 13,51% pada akhir putaran
meningkat menjadi 70,27%; 3) aktivitas siswa mengerjakan pr sebelum
tindakan 40,54% pada akhir putaran meningkat menjadi 81,08%; 4)
aktivitas siswa dalam mengeluarkan ide/gagasan sebelum tindakan
24,32% pada akhir putaran meningkat menjadi 67,56% . Jumlah siswa
dalam mengerjakan soal sebelum tindakan 15,625% pada akhir putaran
meningkat menjadi 78,125%. Kesimpulan penelitian ini adalah aktivitas
dan hasil belajar siswa dapat ditingkatkan melalui pendekatan
Matematika Realistik Indonesia.
3. Hasil penelitian Wulandari (2015) dengan judul Peningkatan Minat dan
Hasil Belajar Matematika dengan Pendekatan Pendidikan Matematika
Realistik Indonesia (PMRI). Hasil penelitian menunjukan bahwa hasil
nilai persentase minat belajar mengalami peningkatan yaitu persentase
minat belajar pada siklus I sebesar 40,625% dengan kategori kurang baik
dan pada siklus II mencapai 71,875% dengan kategori baik. Selain itu
hasil belajar juga meningkat, pada siklus I persentase ketuntasan belajar
sebesar 44% dengan rata-rata 73,01 sedangkan pada siklus II persentase
ketuntasan belajar sebesar 78% dengan rata-rata 80,67.
Jadi dari beberapa penelitian yang sudah dilakukan di atas, maka
disimpulkan bahwa pendekatan PMRI dapat meningkatkan hasil belajar,
minat, aktivitas, serta keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika. Oleh
karena itu, penelitian-penelitian tersebut dijadikan sebagai landasan dari
perbaikan pembelajaran ini.
F. Kerangka Berpikir
Pada kondisi awal guru kelas IV SDN 3 Kamolan dalam mengajar
belum menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI). Guru hanya menjelaskan materi secara ceramah dan tanya jawab.

m memanfaat pendekatan PMRI


belajaran STAD secara berkelompok kecil (tiap kelompok 3 siswa)
22

Hanya beberapa siswa yang aktif menjawab pertanyaan guru, sedangkan


siswa yang belum paham materi akan semakin ketinggalan. Guru belum
melibatkan

siswa

secara

aktif

ketika

pembelajaran.

Hal

tersebut

mengakibatkan hasil belajar siswa menjadi rendah.


Masalah tersebut dapat ditangani dengan cara menciptakan suasana
belajar yang menarik dan mampu memfokuskan perhatian siswa. Siswa harus
terlibat aktif pada saat mengikuti pembelajaran. Dalam hal ini, peneliti akan
melakukan

perbaikan

pembelajaran

dengan

menerapkan

pendekatan

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Melalui pendekatan ini,


siswa akan lebih terlibat aktif dalam menentukan jaring-jaring kubus.
Sehingga siswa akan menyukai pelajaran matematika dan hasil belajarnya
juga akan meningkat.
Gambaran dari penerapan pendekatan Pendidikan Matematika
Realistik
Indonesia
(PMRI) dapat
dituangkan dalam
belajar matematika siswa
dalam
menentukan
jaring-jaring
kubuskerangka
rendahberpikir berikut
ini:

Penerapan Pendekatan PMRI

Kondisi Akhir

G. Hipotesis Tindakan

23

Berdasarkan kajian teori, hasil penelitian yang relevan, dan kerangka


berpikir dapat diambil hipotesis bahwa melalui pendekatan Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia (PMRI) dapat meningkatkan hasil belajar
Matematika materi jaring-jaring kubus pada siswa kelas IV semester 2 SDN 3
Kamolan tahun pelajaran 2015/2016.

Anda mungkin juga menyukai