Anda di halaman 1dari 18

ASPEK AGRARIA / PERTANAHAN DALAM PEMBANGUNAN /

PENYELENGARAAN PROYEK KONSTRUKSI

Oleh :
H. Djoko Mulyono
Pendahuluan

Mengapa Pelaku Pembangunan harus mengetahui tentang pertanahan,


jawabannya jelas karena segala macam Pembangunan pasti membutuhkan
tanah sebagai sarananya, baik itu untuk pembangunan rumah/gedung, jalan,
pertanian, perkebunan dan Pembangunan untuk sarana lainnya, semua itu
tidak mungkin terlepas dari kebutuhan tanah sebagai sarananya, sehingga
bagi siapa saja yang nantinya akan menggeluti pembangunan sudah
sewajarnya

harus

mengerti

tentang

aturan-aturan

yang

menyangkut

pertanahan.

Tulisan ini akan menguraikan sedikit mengenai peraturan dasar pertanahan


yaitu UU No. 5 tahun 1960 yang kita kenal dengan Undang-undang Pokok
Agraria (UUPA), dimana Undang-undang ini mengatur tentang aturan main
dibidang Pertanahan, dan termasuk untuk memperhatikan, menjaga dan
melestarikan lingkungan dan lain-lain.

UU No. 5 tahun 1960 (UUPA)

Sebelum ada UUPA, Penjajah Belanda memberlakukan Undang-Undang


yang mengatur mengenai Agraria di Indonesia dengan dua aturan yaitu:
1.

Aturan yang berlaku terhadap golongan yang ikut dan tunduk pada
hukum Barat yaitu golongan Eropa, Cina, India dan Timur Asing
dimana jenis Hak atas tanah yang dipunyai dan yang telah terdaftar
adalah Eigendom Verponding, Erfach, Opstal dan lain-lain.

2.

Aturan terhadap golongan pribumi/golongan asli Indonesia dimana


jenis Hak atas tanah yang dipunyainya dan telah terdaftar adalah
Verponding Indonesia dan ada juga yang mempunyai Eigendom
1

Verponding, sedangkan terhadap tanah yang baru dikenakan pajak


dan belum didaftarkan di Kantor Agraria (Kadaster), diberi nama
Girik/Kikitir, Petuk.

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah melihat bahwa susunan kehidupan


rakyatnya termasuk perekonomiannya masih mengutamakan dan bercorak
agraria di mana bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun
masyarakat yang adil dan makmur sesuai cita-cita bangsa, Tetapi Hukum
Agraria yang berlaku pada waktu itu justru terasa menghambat tercapainya
cita-cita bangsa ini, sehingga Pemerintah Indonesia yang setelah menggodok
sebuah Undang-Undang semenjak masa Kemerdekaan, maka pada tanggal
24 September 1960 Pemerintah RI mengundangkan UU No. 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang kemudian kita kenal
dengan nama UUPA.

Undang-Undang tentang Agraria ini menjadi Sangat penting untuk segera


diundangkan mengingat:
1.

Hukum Agraria yang ada (Hukum Belanda) tersusun berdasarkan


tujuan

dan

sendi-sendi

dari

pemerintah

penjajahan,

sehingga

bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara Indonesia


didalam melaksanakan pembangunannya.

2.

Bahwa sebagai akibat dari kepentingan politik pemerintah penjajahan


itu maka hukum agraria yang ada dibuat mempunyai sifat dualisme,
yaitu disamping berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat, ada
juga peraturan-peraturan yang didasari dari hukum barat, dimana hal
tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah antar golongan dan
dapat menimbulkan perpecahan yang membahayakan perkembangan
pembangunan bangsa.

3.

Hukum Agraria penjajahan tidak menjamin kepastian hukum.

Dengan alasan tersebut diatas maka segera diundangkan UUPA yang tidak
bersifat dualisme, dibuat sederhana, serta menjamin kepastian hukum
sehingga pada pokoknya tujuan UUPA adalah:
a.

Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional,


yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,
kebahagiaan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam
rangka masyarakat adil dan makmur.

b.

Meletakkan

dasar-dasar

untuk

memberikan

kepastian

hukum

mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada UUPA pasal 1 ayat 1 meletakkan dasar-dasar kenasionalan bahwa


Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh
rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Ini berarti
bahwa bumi, air dan ruang angkasa didalam wilayah Republik Indonesia tidak
semata-mata menjadi hak dari pemiliknya melainkan milik seluruh bangsa
Indonesia dan juga tanah-tanah didaerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah
semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang
bersangkutan tetapi juga merupakan milik seluruh bangsa Indonesia karena
hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa merupakan
semacam hubungan hak rakyat yang diangkat pada tingkatan yang paling
atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara Indonesia.

Adapun hubungan antar bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa bersifat
abadi dengan syarat selama rakyat Indonesia masih bersatu sebagai bangsa
didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dijelaskan dalam UUPA pasal 2 ayat 1 UUPA menyatakan bahwa Bumi, air
dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya,
pada tingkatkan tertinggi dikuasai oleh Negara. Perkataan Dikuasai
dalam pasal ini bukanlah berarti dimiliki akan tetapi adalah pengertian yang
memberi kewenangan kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari
Bangsa Indonesia untuk pada tingkatan tertinggi:

a.

Mengatur

dan

menyelenggarakan

peruntukan,

penggunaan,

persediaan dan pemeliharaannya.


b.

Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian


dari) bumi, air dan ruang angkasa.

c.

Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.

Tanah dikuasai oleh negara dan hak-hak menguasai dari negara memberi
wewenang untuk mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunan,
persedian dan pemeliharaan tanah dengan tujuan mencapai sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan bagi
masyrakat hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.

UUPA Pasal 3 menentukan bahwa Pelaksana hak rakyat dan hak-hak yang
serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, dapat diakui sepanjang
menurut kenyataannya tanah dan masyarakat adat tersebut masih ada dan
hukum adat mash berlaku, Namun hal tersebut juga harus sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan
yang lebih tinggi.

UUPA Pasal 4 menyatakan bahwa atas dasar hak menguasai dari Negara
maka Negara dimana hal ini adalah pemerintah dapat memberikan macammacam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan
dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dan
badan-badan hukum.

UUPA Pasal 6 menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial. Ini berarti bahwa hak apapun diatas tanah tersebut yang diberikan
kepada perorangan ataupun badan hukum tidak dibenarkan bahwa tanahnya
4

dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata hanya untuk kepentingan


pribadinya,

apalagi

kalau

hal

tersebut

menimbulkan

kerugian

bagi

masyarakat.

Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari pada
haknya sehingga sudah sewajarnya bahwa tanah tersebut harus dipelihara
dengan baik-baik agar bertambah kesuburannya dan jangan ditelantarkan
yang

dapat

menjadikan

kerusakan

bagi

tanah

atau

menyebabkan

penyerobotan dari pihak-pihak lain yang membutuhkannya.

Tanah dikuasai oleh negara dan hak-hak menguasai dari negara memberi
wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan tanah dengan tujuan mencapai sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan bagi
masyarakat hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.

UPA Pasal 16 menentukan macam-macam hak yang dapat dipunyai oleh


perorangan maupun badan hukum yaitu :
a. Hak Milik (HM)
b. Hak Guna Bangunan (HGB)
c. Hak Guna Usaha (HGU)
d. Hak Pakai (HP)
e. Hak Sewa
f. Hak Membuka Tanah
g. Hak Memungut Hasil Hutan
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang
akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara sebagaimana yang disebut dalam UUPA pasal 5.3 yaitu
hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah
pertanian.

Hak Milik: adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan semua hak atas
tanah mempunyai fungsi social, dan yang dapat mempunyai hak milik adalah
Warga Negara Indonesia secara pribadi-pribadi (Badan Hukum tidak
diperkenankan mempunyai hak milik).

HGU: Adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara. Hak ini diberikan bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang
pertanian, perikanan, atau perternakan. Jangka waktu yang diberikan adalah
25 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun lagi.

HGB: adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas


tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu 30 tahun dan dapat
diperpanjang 20 tahun. Hak ini diberikan kepada Warga Negara Indonesia
dan

Badan

Hukum

yang

didirikan

menurut

Hukum

Indonesia

dan

berkedudukan di Indonesia.

Hak Pakai: adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang. Hak ini dapat diberikan kepada
Warga Negara Indonesia ataupun orang asing yang berkedudukan di
Indonesia, Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia atau Badan Hukum Asing yang mempunyai
perwakilan di Indonesia.

Hak-hak tersebut diatas hapus dan menjadi tanah negara karena:


1.

Karena dicabut haknya oleh Negara karena tanah tersebut akan


digunakan untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa
dan Negara namun akan diberikan ganti rugi yang layak dan menurut
aturan Undang-Undang yang berlaku.

2.

Kecuali hal milik maka tanah tersebut hapus setelah masa berlaku
habis dan tidak diperpanjang.

3.

Hak tanah tersebut diserahkan kepada Negara secara suka rela oleh
pemilik tanah.

4.

Tanah tersebut ditelantarkan sesuai dengan aturan mengenai tanah


yang ditelantarkan.

5.

Tanah tersebut musnah.

Dengan berlakunya UUPA, maka Hak-Hak Barat maupun Hak-Hak Adat yang
berlaku menurut Hukum Agraria yang lama harus dikonversi menjadi hak-hak
yang telah diciptakan sesuai UUPA pasal 16.

Khusus untuk tanah bekas Hak-Hak Barat pendaftaran konversinya bagi


perorangan yang pada tanggal 24 September 1960 dapat menunjukkan bukti
kewarganegaraan Warga Negara Indonesia dikonversi menjadi Hak Milik
(HM), sedangkan yang tidak bisa menunjukkan bukti kewarganegaraan
Warga Negara Indonesia, pendaftarannya dikonversi menjadi Hak Guna
Bangunan selama 20 tahun dan berakhir tanggal 24 September 1980.

Sedangkan bagi tanah bekas Hak Adat maka pendaftarannya dikonversi


menjadi Hak Milik hanya terhadap bidang tanah yang pada tanggal 24
September 1960 sudah dikenakan pajak tanah yang biasa disebut Girik,
Kikitir atau Petuk. Sehingga untuk yang baru dikenakan pajak sesudah
tanggal tersebut diatas tidak dapat dikonversi menjadi Hak Milik dan tanahnya
dinyatakan sebagai Tanah yang dikuasai oleh Negara atau umumnya
masyarakat menyebutnya dengan Tanah Negara.

Tanah bekas Hak Barat yang pemiliknya bukan Warga Negara Indonesia,
diberi kesempatan sejak 24 September 1960 untuk selama satu tahun untuk
mengalihkan tanahnya kepada Warga Negara Indonesia dan apabila tidak

dilakukan maka tanahnya akan menjadi tanah dengan status dikuasai


Negara. Demikian juga tanah yang walaupun dikonvensi menjadi HGB namun
setelah haknya berakhir tidak diperpanjang lagi maka tanahnya menjadi tanah
yang dikuasai oleh Negara.

Tanah yang dikuasai Negara atau biasanya kita kenal dengan Tanah
Negara ini berasal dari 3 kategori :
1.

Tanah yang secara murni/belum pernah mendapat Hak atas Tanah


baik menurut Hukum Agraria Penjajah maupun UUPA termasuk
didalamnya adalah tanah yang pengelolaannya diserahkan kepada
Departemen Kehutanan (tanah hutan).

2.

Tanah yang haknya (HM, HGU, HGB dan HP) sudah gugur baik
karena dicabut/dibatalkan atau daluarsa (kecuali Hak Milik yang tidak
ada batas waktunya melainkan dicabut/dibatalkan.

3.

Tanah adat yang tidak bisa dibuktikan dengan surat pajak (girik) pada
tanggal 24 September 1960.

Bagi kita sebagai pelaku pembangunan rumah/gedung pada umumnya


memanfaatkan tanah-tanah dengan Hak milik, Hak Guna Bangunan, Hak
Guna Usaha dan Hak Pakai serta tanah-tanah negara yang telah dapat
dikuasai secara fisik dengan membayar ganti rugi kepada para para
penggarap apabila ada penggarap.

Hal-hal yang harus diperhatikan bagi siapa saja untuk memulai usahanya
sebagai Pengembang adalah :
1. Apabila pengembang tersebut berbentuk suatu Badan Hukum, maka
hak atas tanah yang nantinya dimiliki bukan Hak Milik (HM) tetapi
Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) maupun Hak

Pakai (HP), karena Badan Hukum tidak diperbolehkan mempunyai


Hak Milik.

2. Badan Hukum yang dimilikinya harus mempunyai Anggaran Dasar


dan Anggaran Rumah Tangga yang sesuai dengan usaha yang akan
dikembangkannya, sudah disahkan oleh Departemen Hukum dan
Hak

Asasi

Manusia,

mempunyai

NPWP,

Surat

Ijin

Usaha

Perdagangan (SIUP), ijin sebagai pemborong dan lain-lain.

3. Kalau hal ini sudah siap, maka pengembang mengurus ijin Prinsip
dari Instansi Pemda yang berwenang. Ijin ini perlu dilakukan karena
kita perlu menunjukkan kepada PEMDA bahwa usaha yang akan
dikembangkan didaerahnya secara prinsip mendukung rencana
pengembangan daerah itu sendiri.

4. Mengurus Ijin Lokasi (di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta namanya
Surat Ijin Penunjukan Penggunaan Tanah/SIPPT). Ijin Lokasi ini pada
dasarnya ijin yang diajukan kepada Pemda setempat untuk
membebaskan lahan tempat usaha yang akan dikembangkan dimana
lokasi tersebut telah sesuai dengan tata ruang daerah tersebut.
Waktu yang di ijinkan untuk melakukan pembebasan adalah 1 tahun
dan dapat diperpanjang selama 1 tahun lagi. Apabila setelah 2 tahun
maka ijin Lokasi akan dievaluasi dimana bagi pengembang yang bisa
membebaskan diatas 60% dari luas lahan yang disetujui untuk
dibebaskan dalam Ijin Lokasi maka kepada pengembang tersebut
masih diijinkan untuk diperpanjang 1 tahun lagi tapi apabila hasil
evaluasi menunjukkan luas yang dibebaskan kurang dari 60% maka
Ijin Lokasi tidak dapat diperpanjang lagi dan Pengembang tersebut
harus tetap menyelesaikan pembangunan dengan luas lahan yang
telah dibebaskan.
5. Ijin Lokasi telah banyak disalah artikan. Bagi sebagian Pengembang
yang nakal Ijin Lokasi dinyatakan sebagai ijin untuk memiliki lahan
9

dengan semena-mena dan digunakan alat untuk menakut-nakuti


pemilik lahan untuk menekan dengan harga semurah mungkin. Dan
pemilik lahan yang tidak mengetahui menganggap bahwa hal
tersebut benar dan pasrah dengan harga yang ditawarkan oleh
pengembang,

6. Setelah pengembang mempunyai ijin lokasi maka selanjutnya


dilakukan kegiatan pembebasan lahan yang sesuai aturan berlaku,
adil dan wajar sesuai dengan hak atas tanahnya, maka mungkin
dapat dalam bentuk Jual Beli, Tukar Menukar, Pelepasan Hak Atas
Tanah dan bentuk lain yang dimungkinkan oleh hukum. Dalam
pembebasan ini mungkin saja diikut sertakan aparat PEMDA
(Lurah/Camat), POLRI, RW, RT, Tokoh Masyarakat serta Badan
Pertanahan Nasional (BPN). Yang sangat penting agar pembebasan
berjalan lancar, aman dan semua pihak merasa mendapat manfaat
yang wajar/adil serta tidak diintimidasi, ditipu atau diperlakukan tidak
manusiawi (yang dimaksud disini pihak Pengembang/ Developer).

7. Setelah pengembang menguasai sepenuhnya atas tanah akan


digunakan untuk pembangunan, selanjutnya Pengembang harus
berurusan dengan Badan Pertanahan setempat untuk mengurus
proses sertifikat bagi tanah-tanah yang belum bersetifikat untuk
kemudian dibuatkan sertifikat induk atas nama Perusahaan dengan
cara penggabungan dari sertifikat-sertifikat atas tanah yang sudah
dibebaskan. Sementara apabila dalam pembebasan tanah ada
Sertifikat Hak Milik maka status hak tersebut haruslah diturunkan
menjadi HGB agar dapat digabungkan.

8. Setelah pengembang mempunyai Sertifikat induk maka segera dibuat


site plan dimana pada umumnya walaupun pembebasan belum
selesai sudah dibuatkan site plan hal ini dapat menimbulkan banyak
masalah karena apabila site plan tersebut tidak dapat dibebaskan.

10

9. Langkah berikutnya mengurus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) Induk


Kepala Dinas Tata Kota yang merupakan bagian dari PEMDA. Disini
tentu tidak hanya menyangkut soal bangunan/rumah saja tapi aspek
keindahan, kesehatan, kebersihan, fasilitas drainage, sampah,
keamanan, fasilitas umum, fasilitas social, penerangan, air bersih,
dan lain-lain juga menjadikan pertimbangan untuk dberikannya IMB
Induk.

10. Setelah mempunyai IMB maka dapat dimulailah pembangunan


dengan membangun pematangan infrastruktur dan membuat rumah
contoh. Rumah contoh harus sudah ada sehingga dapat dimulai
promosi kepada konsumen yang tentu ingin melihat rumah contoh
tersebut disamping brosur-brosur penawaran dengan informasi yang
seluas-luasnya. Dalam praktek yang ada dengan adanya Rumah
Contoh tersebut biasanya calon pembeli mulai tertarik untuk
membicarakan banyak hal, misalnya bentuk transaksi apa yang
dapat dilakukan bila calon pembeli tersebut telah secara relatif puas
dan

yakin

dengan

Rumah

Contoh

tersebut

dengan

segala

kelengkapannya.

11. Apabila sudah ada transaksi biasanya dimulai dengan melakukan


transaksi dalam bentuk pengikatan untuk melakukan jual beli (PJB)
dengan

persyaratan-persyaratan

tertentu,

kemudian

setelah

persyaratan tersebut dipenuhi kedua belah pihak antara lain sudah


Akta Jual Beli di hadapan Notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) diwilayah mana PPAT tersebut berwenang, Seorang PPAT
dapat dijabat oleh seseorang yang memang profesinya semata-mata
hanya sebagai PPAT atau dapat dirangkap oleh seorang PPAT yang
juga sebagai Notaris atau Camat (Ex officieo/karena pejabat).

11

Dalam pembangunan ini, kita harus juga bijaksana dalam pengelolaan,


dan penataan sumber daya alam baik dalam lingkungan lahan/tanah
diatas rumah/Bangunan tersebut dibangun dan juga dilingkungan
sekitarnya. Misalnya persoalan air, air kini merupakan barang yang
biasa saja atau sepele lagi, yang tentunya membutuhkan penataan
yang serius, untuk itu haruslah dilakukan suatu kebijakan yang serius
dan hati-hati dalam mengelola barang yang satu ini, antara lain:
menjaga

jangan

sampai

kekeringan

dan

kebanjiran,

sebagai

konsekuensinya merancang dengan baik soal drainage, tempat


resapan air, water catchment, jenis tumbuh-tumbuhan yang ditanam,
penggunaan pompa air tanah (terutama pompa air tanah dalam atau
lazim disebut deep well pump) dan policy lain dalam mengelola air.

Dalam skala yang lebih besar ini dapat mendorong kerja sama yang luas,
misal bekerja sama dalam mengelola bendungan, pantai, sungai, air terjun,
perkebunan, tambak ikan/udang, air panas dari gunung atau dari dalam bumi
dan lain-lainnya.

Penjualan Strata Title (Rumah Susun)

Aturan main Strata Title atau Rumah Susun diatur dalam Undang-Undang
Rumah Susun (UURS) yaitu UU No. 16 tahun 1985.

UURS ini memuat XII Bab dimana secara ringkas Bab-bab ini menjelaskan
sebagai berikut:

Bab I adalah ketentuan Umum dimulai dari Pasal I yang memuat 12 ayat dan
menjelaskan mengenai arti Rumah Susun, satuan rumah susun, lingkungan,
bagian bersama, tanah bersama, hipotik, fidusia, pemilik, penghuni,
perhimpunan penghuni dan badan pengelola.

Bab II adalah Landasan dan Tujuan terdiri dari pasal 2 dan 3 yang
menjelaskan mengenai landasan pembangunan rumah susunnya

adalah

12

kesejahteraan umum, keadilan dan pemerataan serta keserasian dan


keseimbangan dalam peri kehidupan sedangkan tujuannya adalah memenuhi
kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan yang
berpenghasilan rendah, meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah
didaerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam
dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap, sersi dan seimbang
dan juga menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya.

Bab III adalah Pengaturan dan Pembinaan Rumah Susun memuat satu pasal
yaitu pasal 4 yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Pemerintah yang dapat
diserahkan kepada Pemerintah Daerah.

Bab IV adalah Pembangunan Rumah Susun terdiri atas pasal 5, 6 dan 7 yang
menjelaskan mengenai kapan, kenapa, oleh siapa Rumah Susun dibangun,
syarat-syarat teknis yang harus dipenuhi, diatas hak atas tanah apa saja
Rumah Susun didirikan dan kewajiban apa saja yang harus dipenuhi, oleh
penyelenggara pembangunan Rumah Susun.

Bab V adalah Pemilik Satuan Rumah Susun terdiri atas pasal 8, 9, 10 dan 11
yang menjelaskan hak-hak yang dapat dipunyai oleh Pemilik Satuan Rumah
Susun, bagian-bagian Rumah Susun yang merupakan pemilikan bersama
maupun hak atas tanahnya serta sertifikat hak atas satuan rumah susun atau
disebut sertifikat hak milik atas satuan rumah susun (HM Sarususun)

Bab VI adalah Pembebanan dengan Hipotik dan Fidusia terdiri atas pasal
12,13,14,15,16 dan 17 dimana dijelaskan bahwa Rumah Susun berikut tanah
tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan satukesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan hutang dengan
dibebani Hipotik jika tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan dan dibebani
Fidusia jika tanahnya tanah Hak Pakai atas Tanah Negara. Juga diatur
mengenai tata cara pembebanan tersebut yaitu harus dilakukan dengan akta
yang dibuat oleh PPAT dan juga tata cara pendaftaran di kantor pertanahan
serta pemberian sertifikat Hipotik dan tata cara penghapusan Hipotik apabila
pinjaman telah dilunasi.
13

Bab VII adalah penghunian dan pengelolaan Rumah Susun terdiri atas pasal
18 dan 19 dimana dijelaskan bahwa Rumah Susun tersebut baru bisa dijual
apabila pembangunannya telah selesai dan mendapat ijin kelayakan untuk
dihuni dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Juga dijelaskan kewajiban
bagi penghuni Rumah Susun untuk membentuk Perhimpunan Penghuni
dimana Perhimpunan Penghuni diberi kedudukan sebagai Badan Hukum
berdasarkan UURS ini.

Bab VIII adalah Pengawasan yang terdiri atas pasal 20 mengenai


pengawasan yang sepenuhnya ditugaskan kepada Pemerintah.

Bab IX adalah ketentuan Pidana yang terdiri atas pasal 21, 22 dan 23 yang
dikenakan kepada siapa saja yang melanggar ketentuan pasal 17 dan pada
18 dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun
atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,- (seratus juta Rupiah).

Bab X adalah Ketentuan lain, Bab XI adalah Peralihan dan Bab XII adalah
ketentuan Penutup.

Dari UURS kita mendapatkan beberapa hal yang sangat perlu diperhatikan
oleh para usahawan yang akan membangun Rumah Susun (Strata Title)
yaitu:

1.

Tujuan dibangunnya Rumah Susun adalah untuk memenuhi kebutuhan


perumahan yang layak bagi rakyat yang berpenghasilan rendah.

2.

Rumah Susun hanya dapat dibangun diatas tanah dengan status Hak
Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan.

Khusus

untuk

status

tanah

hak

pengelolaan,

pengembang wajib menyelesaikan status tanahnya menjadi Hak Guna


Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan.

14

3.

Pembangunannya wajib memisahkan Rumah Susun atas satuan dan


bagian bersama dalam bentuk gambar dan uraian yang disahkan oleh
instansi pemerintah yagn berwenang dan memberi kejelasan batas
satuan yang dapat dipergunakan secara terpisah untuk perseorangan,
batas dan usuran atas bagian bersama dan benda bersama yang
menjadi haknya masing-masing satuan dan batas dan uraian tanah
bersama dan besarnya bagian yang menjadi haknya masing-masing
satuan.

4.

Rumah Susun berikut tanahnya oleh pengembang dapat dijaminkan


hutang dengan Hipotik apabila status tanahnya Hak Milik atau Hak
Guna Bangunan dan Fidusia apabila status tanahnya adalah Hak
Pakai atas Tanah Negara. Demikian juga terhadap bagian bangunan
yang telah diterbitkan sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
(HM Sarususun) milik perorangan dapat dijadikan jaminan hutang
dengan Hipotik apabila status tanahnya Hak Milik atau Hak Guna
Bangunan dan Fidusia apabila status tanahnya Hak Pakai atas Tanah
Negara.

5.

Rumah Susun tidak bisa dijual sebelum bangunannya selesai


dibangun dan mendapat ijin kelayakan untuk dihuni dari pemerintah
daerah yang bersangkutan.

6.

Penghuni Rumah Susun wajib membentuk Perhimpunan Penghuni


yang berkewajiban mengurus kepentingan bersama para pemilik dan
penghuni Rumah Susun, untuk itu perlu menunjukan badan pengelola
yang bertugas menyelenggarakan pengelolaan dan pengawasan
terhadap bagian bersama, benda bersama, tanah bersama dan
pemeliharaan serta perbaikannya

7.

Pengembangan yang lalai dalam melaksanakan butir 5 diatas menurut


UURS akan dikenakan sanksi pidana penjara selama-lamanya 10
(sepuluh) tahun atau denda setinggi-tingginya 100.000.000,- (seratus
juta Rupiah)
15

Dengan memperhatikan apa yang telah diuraikan diatas maka kita perlu
menyikapi UURS ini dengan seksama sehingga hal-hal yang tidak diinginkan
dalam pembangunan dan penjualan Rumah Susun tidak akan terjadi.

Proses penjualan Strata Title pada awal mempunyai 2 (dua) pendapat


hubungannya dengan UURS (Undang-Undang Rumah Susun) yang disusun
pada tahun 1985. Satu sisi berpendapat penjualan Strata Tittle melanggar
ketentuan UURS karena penjualan setiap satuan Rumah Susun hanya boleh
dilakukan bila seluruh unit sudah selesai dibangun, sisi lain menyatakan
penjualan tersebut tidak melanggar ketentuan UURS karena pengutipan
pembayaran yang dilakukan dalam proses penyelesaian atau dalam rencana,
yang dilakukan bukan jual-beli tetapi ikatan jual beli dan jual beli riil baru akan
dilaksanakan sesuai dengan UURS.

Pendapat yang menyatakan melanggar UURS adalah jual beli secara yuridis
keharusan adanya sertifikat hak milik atas satuan rusun dan ijin layak huni
sehingga pelayanan kewajiban penjual diberikan secara tuntas serta manfaat
lainnya memungkinkan pemilik mengagunkan Rumah Susunnya.

Untuk menyikapi ini perlu adanya pengaturan tentang pengelolaan Rumah


Susun, mengingat bahwa dalam pemilikan satuan Rumah Susun yang
bersifat perorangan dan terpisah meliputi hak atas tanah bersama, bagian
bersama dan benda bersama. Sehingga pemilik satuan Rumah Susun dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya terhadap milik perseorangan maupun
milik bersama.

Pembangunan Subway yang multi-aspek.

Sehubungan adanya rencana pemerintah membuat pembangunan Subway,


maka pada tulisan ini akan disampaikan sedikit mengenai pembangunan
Subway.

16

Dari berbagai rumusan pemikiran pakar hukum tanah/agraria terdapat 2


(dua) opini tentang pembangunan subway yang dihubungkan dengan UUPA
pasal 4 yaitu:

1.

Perlu dikembangkan pengaturan tentang aspek teknis pembangunan


subway beserta kelengkapannya dan peraturan lain yang revelan
mengingat dampak social-ekonomi yang dapat ditimbulkan.

2.

Pasal tersebut sudah dapat mengakomodasi pemberian hak terhadap


ruang bawah tanah.

Karena pembangunan subway ditujukan untuk keamanan dan kenyamanan


para penggunanya maka sejak awal proses pembangunannya semua aspek
perlu diperhatikan seperti;
-

menampung

keluhan

warga

(kebisingan),

pencemaran

yang

udara

terkena

(debu)

pencemaran

pada

saat

suara

pengalian

terowongan.
-

Jaminan penggantian kerusakan bangunan, isnstalasi.

Relokasi sementara para waraga diarea pembangunan

Penggantian ganti rugi dan berbagai aspek lainnya.

Mengenai penguasaan hak dibawah tanah dengan penguasaan hak


diatasnya ada beberapa kemungkinan yang dapat dijadikan alternatif:
1.

Bila subway dibangun, dimiliki dan dioperasikan oleh pemerintah


maka dapat diberikan hak pengelolaan/HPL bawah tanan (BT).

2.

Bila subway dibangun, dimiliki dan dioperasikan oleh pihak swasta


maka pemerintah mempunyai HPL (BT), dan di atas HPL ini dapat
diberikan HGB (BT) kepada pihak swasta.

3.

Bila

subway

dibangun

oleh

pemerintah

tetapi

dikelola

dan

dioperasikan oleh pihak swasta, maka pemerintah mempunyai HPL


(BT) pada pihak swasta
4.

Untuk pengunaan lain dapat diberikan HGB (BT), Hak Pakai (BT), Hak
Sewa (BT) bahkan mungkin juga Hak Milik (BT).

17

Melihat tujuan pembangunan subway adalah kemanfaatan bagi masyarakat


maka

proses

pembangunannya

harus

sesuai

dengan

prinsip-prinsip

keterbukaan, kompetisi, pertanggung-jawaban, transparan dan dukungan


peraturan yang jelas agar hanya mereka yang unggul dalam memenuhi
prinsip-prinsip diatas dipercaya membangun subway.

Akhirnya, marilah membangun tidak saja dalam arti kata yang seluas-luasnya
tapi juga sebaik-baiknya untuk semuanya.

18

Anda mungkin juga menyukai