Anda di halaman 1dari 14

TINDAK PIDANA PERTANGGUNGJAWABAN

KORPORASI

MAKALAH HUKUM PIDANA KHUSUS

OLEH :
CONIGIYA SIMARMATA

8111413133

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar belakang
Perubahan terjadi terus menerus dalam masyarakat. Salah satu bentuk dari
perubahan adalah perubahan sosiologis. Selo Soemardjan sebagaimana dikutip Soerjono
Soekanto mendefinisikan perubahan sosial sebagai, perubahan perubahan pada
lembaga lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang memengaruhi
sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai nilai, sikap, pola perilaku diantara
kelompok kelompok masyarakat.1
Korporasi kehadirannya memang diperlukan. Mulai dari sebelum lahir hingga
berakhirnya kehidupan seorang manusia dibumi, setidaknya korporasi telah mengambil
adil dalam setiap fase tersebut. Kehadiran korporasi tidak bisa dipungkiri lagi. Usaha
mendorong pertumbuhan dan perkembangan korporasi ini sejalan dengan tuntutan
dalam memenuhi tahapan-tahapan pembangunan yakni dengan meletakan dasar-dasar
pembangunan industri dalam menyonsong era pembangunan jangka panjang.
Kejahatan korporasi (corporate crime) merupakan salah satu wacana yang
timbul dengan semakin majunya kegiatan perekenomian dan teknologi. Corporate
crime bukanlah barang baru, melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan.
Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan
peradaban dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan berserta
kompleksitasnya. Di sisi lain, ketentuan Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia
belum dapat menjangkaunya dan senantiasa ketinggalan untuk merumuskannya. Salah
satu contohnya adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) yang baru
dikriminalisasi secara resmi pada tahun 2002. Contoh lain adalah kejahatan dunia maya
atau cyber crime yang sampai dengan saat ini pengaturannya masih mengundang tanda
tanya. Akibatnya, banyak bermunculan tindakan-tindakan atau kasus-kasus illegal,
namun tidak dapat dikategorikan sebagai crime.2

1 Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, PT RajaGrafindo Perkasa,


2007, hlm.263.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia memang hanya menetapkan


bahwa yang menjadi subjek tindak pidana adalah orang persorangan (legal persoon).
Pembuat undang-undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa
manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum
keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai
satu kesatuan dan karena itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum
atau korporasi. Berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada
pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu.
Seringkali masyarakat tidak menyadari dan kurang mengenal kejahatan
korporasi. Padahal bisa dikatakan kejahatan ini sangat dekat dengan kita. Penyebab
ketidaktahuan masyarakat, bisa jadi disebabkan oleh ketidak-nampakan kejahatan
korporasi yang disebabkan oleh kompleksnya, kecanggihan perencanaan dan
pelaksanaannya, lemahnya pelaksanaan dan penegakan hukum, lenturnya sanksi hukum
dan sanksi sosial sehingga gagal dalam menguatkan dan menegakan sentimen kolektif
ikatan moral.3
1.2.

Rumusan masalah
1.2.1. Bagaimana bentuk kejahatan korporasi?
1.2.2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia?
1.3.

Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui dan menyampaikan bagaimana bentuk kejahatan
korporasi.
1.3.2. Untuk mengetahui dan menyampaikan bagaimana pertanggungjawaban
pidana korporasi di Indonesia.

2 Singgih, Kejahatan Korporasi yang Mengerikan, Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas
Hukum Universitas Pelita Harapan, Tangerang, 2005, hlm. 9.
3 I. S. Susanto, Kriminologi, Genta Publishing, Yokyakarta, 2011, hal. 126.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.

Kejahatan Korporasi
Kejahatan korporasi merupakan suatu bentuk kejahatan lama yang saat ini

melanda hampir seluruh negara di dunia, yang menimbulkan kerugian secara meluas di
masyarakat. Karakteristik kejahatan korporasi berbeda dengan kejahatan konvensional
lainnya. Secara umum karakteristik kejahatan korporasi sebagai berikut:
1. Kejahatan tersebut sulit dilihat (low visibility), karena biasanya tertutup oleh kegiatan
pekerjaan yang normal dan rutin, melibatkan keahlian profesional dan sistem
organsiasi yang kompleks;
2. Kejahatan tersebut sangat kompleks (complexity) karena selalu berkaitan dengan
kebohongan, penipuan dan pencurianserta seringkali berkaitang dengan sebuah yang
ilmiah, teknologis, financial, legal, terorganisirkan, dan melibatkan banyak orang dan
berjalan bertahun-tahun;
3. Terjadinya penyebaran tanggungjawab (diffusion of responsibility) yang semakin luas
akibat kompleksitas organisasi;
4. Penyebaran korban yang sangat luas (diffusion of victimization) seperti polusi dan
penipuan;
5. Hambatan dalam penditeksian dan penuntutan (detection and prosecution) sebagai
akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak hukum dengan
pelaku kejahatan;
6. Peraturan yang tidak jelas (ambiguitas law) yang sering menimbulkan kerugian dalam
penegakan hukum;
7. Sikap mendua status pelaku tindak pidana. Harus diakui bahwa pelaku tindak pidana
pada umumnya tidak melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi perbuatan
tersebut illegal.4

4 Agus Budianto, Delik Suap Korporasi Di Indonesia, Karya Putra Darwati, Bandung,
2012, hal. 57.

Seiring dengan itu, Steven Box mengemukakan bahwa ada lima faktor yang
potensial mempengaruhi korporasi melakukan pelanggaran hukum dalam mencapai
tujuan, yaitu:
a. Persaingan, seperti penemuan teknologi baru, tenik pemasaran, struktur merger dapat
menghasilkan perbuatan memata-matai, pembajakan, penyuapan, dan korupsi untuk
memperoleh pasaran, merger dan mencaplok;
b. Pemerintah, yakni melalui peraturan-peraturan baru atau pelaksanaan yang lebih
tegas dari peraturan yang ada dapat menghasilkan tindakan manipulasi pajak,
pemberian dana kampanye pemilihan umum yang bersifat illegal dan penyuapan
kepada pejabat-pejabat pemerintah untuk memperoleh proyek;
c. Buruh, yakni aktifitas yang dapat membuat ketegangan oleh gerakan buruh yang
militan dan radikal terhadap masalah upah dan kondisi kerja sebagai akibat dari
pemabayaran buruh di bawah ketentuan minimal, kondisi tempat kerja yang tidak
memperhatikan keselamatan kerja;
d. Konsumen, seperti permintaan produk yang elastis, terutama sebagai akibat adanya
perubahan-perubahan atau perlindungan terhadap konsumen mendapat perhatian,
sehingga praktek korporasi yang meragukan menjadi tampak. Misalnya iklan yang
menyesatkan, label yang tidak sesuai, produk yang tidak diuji, dan menjual produk
yang telah daluwarsa atau produk palsu; dan
e. Publik, khususnya yang berhubungan dengan pengaruh meningkatkan-nya kesadaran
lingkungan seperti konservasi udara bersih, lingkungan pemukiman serta sumbersumber alam yang lain. Tindakan-tindakan korporasi yang merugikan publik dapat
berupa polusi udara, polusi air dan tanah, penyuapan dan korupsi.5
Dalam corporate crime dikenal beberapa istilah:
1. Corporate Criminal

5 Sahuri Lasmadi, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Persfektif kebijakan Hukum


Pidana Indonesia, Disertasi Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya,
2003, hal. 107.

Dalam hal ini, dibentuknya korporasi memang ditujukan untuk melakukan kejahatan.
Jadi, tindak pidana adalah tujuan utama dari didirikannya korporasi.
2. Cime of Corporation
Berbeda dengan kategori pertama, crime for corporation merupakan tindak pidana
yang dilakukan oleh pengurus-pengurus korporasi yang secara langsung atau tidak
langsung menguntungkan korporasi.
Disamping itu, dikenal istilah crime against corporation. Jenis terakhir ini bukan
merupakan corporate crime, karena justru merugikan korporasi yang bersangkutan.6
Secara garis besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi
meliputi:
1. Kerugian dibidang ekonomi/materi
Meski sulit mengukur secara tepat jumlah kerugian yang ditimbul-kan oleh
kejahatankorporasi terutama karena tidak adanya badan yang secara khusus bertugas
mencatat kejahatan korporasi berbeda dengan kejahatan warungan yaitu kepolisian
namun berbagai peristiwa menunjukan bahwa tingkat kerugian ekonomi yang
ditimbulkan oleh kejahatan ini luar biasa besarnya, khususnya bila dibandingkan dengan
kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan warungan, seperti perampokan, pencurian,
penipuan. Misalnya perkiraan yang dilakukan oleh Subcommittee on Antitrust and
Monopoly of the US Senate Judiciary Committee yang diketuai oleh Senator Philip Hart
memperkirakan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi antara 174-231
miliar dolar pertahun, jauh bila dibandingkan dengan kejahatan warungan yang berkisar
sekitar 3-4 miliar.
2. Kerugian di bidang kesehatan dan keselamatan jiwa
Pembicaraan mengenai kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi
umumnya ditujukan pada kerugian di bidang ekonomi, sedangkan kerugian dibidang
kesehatan dan keselamatan jiwa pada kenyataanya sangat serius. Menurut Geis,
misalnya setiap tahunnya korporasi bertanggung jawab terhadap ribuan kematian dan
cacat tubuh yang terjadi di seluruh dunia.
6 Lihat: Muladi, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kerugian Keuangan Negara
dalam BUMN Berdasarkan UU Tentang Tindak Pidanan Korupsi, makalah bebas.

Resiko kematian dan cacat yang disebabkan oleh korporasi dapat diakibatkan,
baik oleh produk yang dihasilkan oleh korporasi maupun dalam proses produksi,
sehingga yang menjadi korban korporasi adalah masyarakat luas, khususnya konsumen
dan mereka yang bekerja pada korporasi. Dengan membandingkan besarnya kerugian
yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi terhadap buruh (mereka yang bekerja pada
korporasi) dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan warungan melalui data
statistik kriminal yang dibuat oleh F.B.I, dan data dari The President Report on
Occupational Safety and Health tahun 1973. Reiman menyimpulkan bahwa kematian
maupun kerugian fisik yang diakibatkan oleh kejahatan korporasi luar biasa besarnya
dibandingkan dengan kejahatan warungan, yaitu 100.000 dibandingkan dengan 9.235
untuk kematian dan 390.000 berbanding dengan 218.385 untuk kerugian fisik.
Sementara dalam hubungannya dengan besarnya ancaman kejahatan yang dibuat oleh
F.B.I. melalui gambaran crime of clocks, bahwasanya crime of clocks bagi pembunuhan
terjadi setiap 26 menit pada tahun 1974 bila dibandingkan dengan kematian yang terjadi
di bidang industri adalah setiap 4,5 menit. Lebih lanjut dinyatakan oleh Reiman: In
other words, in the time it take for one murder on the crime clock, six workers have
died. Just from trying to make a living.
Kematian atau cacat yang diakibatkan oleh industri ini bukanlah karena
kecelakaan di tempat kerja semata, akan tetapi sebagian besar disebabkan oleh
penyakit yang pada umumnya karena kondisi-kondisi diluar kontrol pekerja, seperti
kadar coal dust (yang menyebabkan sakit black lung) atau debu tekstil (yang
menyebabkan byssinosis atau brown lung) atau serat asbestos (yang dapat menyebabkan
kanker).
3. Kerugian di bidang sosial dan moral
Di samping kerugian ekonomi, kesehatan dan jiwa, kerugian yang tidak kalah
pentingnya yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah kerugian dibidang sosial
dan moral. Dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah merusak
kepercayaan masyarakat terhadap perilaku bisnis, seperti pernyataan dari The
Presidents Commission on Law Enforcement and Administratiton of Justice bahwa
kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang paling mencemaskan, bukan saja karena
kerugian yang sangat besar, akan tetapi karena akibat yang merusak terhadap ukuran-

ukuran moral perilaku bisnis orang Amerika. Kejahatan bisnis (korporasi) merongrong
kepercayaan publik terhadap sistem bisnis, sebab kejahatan demikian diintegrasikan ke
dalam struktur bisnis yang sah.7
Kerugian yang ditimbulakan oleh kejahatan korporasi di bidang nilai-nilai sosial
lainnya menurut penulis adalah merusak nilai-nilai demokrasi dan karenanya
menghambat proses demokrasi. Kolusi antara korporasi dan pejabat pemerintahan
dilakukan secara tertutup dan karenanya diupayakan untuk tidak transparan, sementara
keterbukaan (transparansi) merupakan hal yang penting bagi demokratisasi.
Meskipun bentuk kerugian yang begitu hebat dan meluas, corporate crime
jarang sekali muncul ke permukaan dalam proses penegakan hukum. Andai kan ada, itu
pun dapat dihitung dengan jari. Hal ini karena: belum adanya perhatian serius terhadap
kejahatan korporasi, adanya sejumlah kekurangan sempurnaan pengaturan korporasi
dalam produk undang-undang, masyarakat kurang memahami/mengetahui jenis
kejahatan korporasi, dan seringnya masyarakat yang dirugikan tidak merasa bahwa
dirinya telah menjadi korban dari adanya corporate crime.8
2.2.

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia


Korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum

tersendiri. Identitas hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas
hukum para pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah
hukum perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum
merukapan subjek hukum perdata dapat melakukan aktivitas jual beli, dapat membuat
perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di
pengadilan dalam hubungan keperdataan.
Namun sampai saat ini, konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi
sebagai pribadi merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang
tidak mendukung pandangan bahwa suatu korporsi yang wujudnya semu dapat
7 I.S. Susanto, Ibid, hlm. 163-167
8 Ali Masyhar, Pergulatan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Rana Tatanan Sosial,
UNNES PRESS, Semarang, 2008, hlm. 74

melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal intent yang melahirkan
pertanggungjawaban pidana. Disamping itu, mustahil untuk dapat menghadirkan di
korporasi dengan fisik yang sebenarnya dalam ruang pengadilan dan duduk di kursi
terdakwa guna menjalani proses peradilan.
Pertanggungjawaban korporasi yang telah melakukan suatu tindak pidana
merupakan bahasan yang masih debatable, terutama menyangkut kapan dan apa
ukurannya agar korporasi dapat dipertanggungjawabkan.9
Minimal ada tiga teori untuk dapat dipertanggungjawabkannya korporasi,
yaitu:10
1. Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung (Direct liability ddoctrine) atau teori
identifikasi (Identification theory).
Berdasarkan doktrin ini, perbuatan/kesalahan pejabat senior (senior officer)
diidentifikasi sebagai perbuatan/kesalahan korporasi. Namun ada dua arti dalam
doktrin ini yaitu:
a. Arti sempit (inggris): :hanya perbuatan pejabat senior (otak korporasi) yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada korporasi.
b. Arti luas (USA): tidak hanya pejabat senior/direktur, tetapi juga agen
dibawahnya.
2. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Pengganti (Vicarious Liability). Teori ini
berdasarkan pada pameo repondeat superior rule:let the master answer. Menurut
teori ini, bahwa majikan (employer) adalah penanggungjawab utama dari perbuatan
pada buruh/karyawan.
3. Doktrin Pertanggungjawaban Ketat menurut UU (Strict Liability). Doktrin ini berlaku
dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi kewajiban/kondisi/situasi tertentu
oleh Undang-udang. Pelanggaran kewajiban/kondisi/situasi tertentu oleh korporasi ini
dikenal dengan istilah company offence, situational offence atau strict liability
offences.
2.2.1. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana belum kita temui, hal ini
berbeda dengan negeri belanda yang sudah sejak tahun 1976, korporasi sudah menjadi
9 Ali Masyhar, Ibid, hlm. 76
10 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti,
2003, hlm. 233-238

subjek tindak pidana dam dimasukkan dalam Buku I KUHP tentang ketentuan umum.
Sebab dalam Pasal 59 KUHP (Indonesia) masih menganut suatu pandangan bahwa
perbuatan pidana hanya dapat dilakukan oleh orang atau manusia pribadi.11
Dalam KUHP juga terdapat pasal lain yang kelihatannya juga menyangkut
korporasi sebagai subjek hukum, tetapi disinipun ,yang diancam pidana adalah orang,
bukan korporasi. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 169 KUHP tentang turut serta
dalam perkumpulan terlarang, Pasal 398 dan Pasal 399 KUHP tentang pengurus atau
komisaris Perseroan Terbatas, Maskapai Andil Indonesia atau perkumpulan koperasi
yang dinyatakan dalam keadaan pailit merugikan perseroannya. Dengan demikian
dalam KUHP belum dikenal pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh
korporasi.12
Filosofi pertanggungjawaban pidana individual lebih ditujukan sebagai akibat
perbuatan individu yang mengakibatkan matinya orang lain. Kepada korporasi lebih
ditujukan untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan dalam kerangka menciptakan
rasa keadilan bagi masyarakat yang hak-haknya telah terkorbankan.13
Pertama, tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan
bukan mustahil menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya pegawainya yang
dituntut karena telah melakukan tindak pidana.14
Sedangkan yang menjadi asas legalitas sebagai dasar penegakan hukum dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana belum diadopsi sebagaimana dalam Pasal 59
yang sebagai berikut:
Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap
pengurus, amggota badan pengurus, atau komisaris-komisaris, maka

11 Asep Supriadi, Kecelakaan Lalu Lintas dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam


Perspektif Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT. Alumni Bandung, 2014, hlm. 126
12 Asep Supriadi, Ibid, hlm 126
13 Asep Supriadi, Ibid, hlm 128
14 Asep Supriadi, Ibid, hlm 128

pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak


ikut campur melakukan pelanggaran tindak pidana.15

2.2.2. Diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)


Perkembangan
korporasi
sebagai
subjek
hukum
dan

dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana, dapat ditelusuri melalui tahap-tahap:16


1. Tahap pertama
Pada tahap ini hukum pidana belum mengenal korporasi sebagai pelaku tindak
pidana. Hal ini karena adanya penolakan terhadap collective responsibility yang
sewenang-sewenang sebelum revolusi Perancis tahun1789, sehingga muncullah
societas delinquere non potest.
2. Tahap kedua
Pada tahap ini korporasi sudah dikenal sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini karena
pengaruh konsep pelaku fungsional (functioneel daderschap). Namun pada tahap ini,
merskipun korporasi dapat melakukan tindak pidana, tetapi yang dapat
dipertanggungjawabkan hanyalah anggota pengurus, asal dengan tegas dinyatakan
demikian dalam peraturan itu.
3. Tahap ketiga
Tahap ini merupakan perkembangan

dari

tahap

kedua.

Permintaan

pertanggungjawaban disamping dapat dikenakan kepada pengurus, juga dapat secara


langsung dikenakan kepada korporasi yang bersangkutan.
Perkembangan pengaturan pertanggungjawaban korporasi dalam undang-undang
pidana khusu tersebut dapat dikelompokkan dalam dua kategori:17
1. Undang-undang yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana,
tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanya pengurusnya. Termasuk
dalam kategori ini adalah perundang-undangan antara lain dibawah ini:
15 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 59
16 Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana
(Bandung: Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991), hlm 35-37
17 Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 223-224

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

UU No. 1 Tahun 1951 (Undang-Undang Kerja)


UU No. 2 Tahun 1951 (Undang-Undang Kecelakaan)
UU No. 3 Tahun 1951 (Undang-Undang Pengawasan Perburuhan)
UU No. 12 Tahun 1951 (Undang-Undang Senjata Api)
UU No. 3 Tahun 1958 (Undang-Undang Pembukaan Apotek)
UU No. 22 Tahun 1957 (Undang-Undang Penyelesaian Perburuhan)
UU No. 3 Tahun 1958 (Undang-Undang Penempatan Tenaga Asing)
UU No. 83 Tahun 1958 (Undang-Undang Penerbangan)
UU No. 5 Tahun 1964 (Undang-Undang Telekomunikasi;berubah menjadi UU

j.
k.
l.
m.

No. 5 Tahun 1989)


UU No. 2 Tahun 1981 (Undang-Undang Metrologi Legal)
UU No. 7 Tahun 1992 (Undang-Undang Wajib Lapor Ketenagakerjaan)
UU No. 3 Tahun 1982 (Undang-Undang Wajib Lapor Perusahaan)
UU No.7 Tahun 1992 (Undang-Undang Perbankan diganti UU No. 10 Tahun
1998)
2. Undang-Undang yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana,

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

dan dapat dipertanggungjawabkan. Termasuk dalam kategori ini antara lain:


UU No. 7/Drt. Tahun 1955 (Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi)
UU No. 5 Tahun 1984 (Undang-Undang Perindustrian)
UU No. 6 Tahun 1984 (Undang-Undang Pos)
UU No. 9 Tahun 1985 (Undang-Undang Perikanan)
UU No. 8 Tahun 1995 (Undang-Undang Pasar Modal)
UU No. 5 Tahun 1997 (Undang-Undang Psikotropika)
UU No. 22 Tahun 1997 (Undang-Undang Narkotika, menggantikan UU No. 9

Tahun 1976)
h. UU No. 23 Tahun 1997 (Undang-Undang Lingkungan Hidup)
i. UU No. 5 Tahun 1999 (Undang-Undang Larangan Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat)
j. UU No. 8 Tahun 1999 (Undang-Undang Perlindungan Konsumen)
k. UU No. 31 Tahun 1999 (Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi)
l. UU No. 15 Tahun 2002 (Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang)

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan

1. Bahwa didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dianggap sebagai


subjek hukum tetapi tidak dapat diancam pidana, melainkan orang.
2. Dalam kepustakaan hukum pidana dapat dimintainya pertanggungjawaban
korporasi dikenal dengan beberapa doktrin, diantaranya adalah: a. Direct
Liability Doctrine; b. Vicarious Liability; c. Strict Liability.
3. Bahwa dengan adanya diatur Undang-Undang diluar Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana dan
dapat dipertanggungjawabkan maka korporasi dapat diancam pidana oleh
Undang-Undang yang mengaturnya.
3.2. Saran
1. Bahwa dalam perkembangan tindak pidana korupsi pada saat ini justru yang
paling banyak merupakan berasal dari hasil kejahatan korporasi sehingga para
penegak hukum kita terutama Polisi, Jaksa dan Komisi Pemberantasan Korupsi
harus lebih berani lagi dalam mengungkap tindak pidana korupsi menyangkut
korporasi. Jadi tidak hanya pengurus dan pembuat korporasi saja yang dapat di
tangkap tetapi juga bisa korporasinya juga dapat dijatuhi hukuman administrasi
seperti berupa pencabutan izin usaha ataupun yang lainnya yang berhubungan
dengan sanksi administrasi dan bisa juga dengan hukuman non konvensional
yang telah dijelaskan diatas.
2. Harus diatur secara rinci dalam peraturan perundang-undangan yang menentukan
korporasi sebagai subjek tindak pidana mengenai kapan suatu korporasi dapat
dikatakan melakukan tindak pidana. Demikian juga halnya dengan ketentuan
mengenai siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana atas kejahatan yang
dilakukan korporasi harus diatur secara tegas, agar supaya korporasi tidak dapat
mengelak atas kejahatan yang dilakukannya dengan berlindung dibalik pengurus
korporasi.

DAFTAR PUSTAKA
Budianto, Agus, 2014. Delik Suap Korporasi Di Indonesia, Bandung: Karya Putra
Darwati.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 59


Lasmadi, Sahuri, 2003. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Persfektif kebijakan
Hukum Pidana Indonesia, Surabaya: Disertasi Doktor Pascasarjana Universitas
Airlangga.
Masyhar, Ali, 2008. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Rana Tatanan Sosial, Semarang:
UNNES PRESS.
Muladi dan Dwija Priyatno, 1991. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum
Pidana, Bandung : Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Hukum Bandung.
Nawawi Arief, 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Singgih, 2005. Kejahatan Korporasi yang Mengerikan, Tangerang: Pusat Studi Hukum
Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.
Soekanto, Soerjono, 2007. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Perkasa.
Supriadi, Asep, 2014. Kecelakaan Lalu Lintas dan Pertanggungjawaban Korporasi
Dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Alumni Bandung.
Susanto, I.S, 2011. Kriminologi, Yogyakarta: Genta Publishing.

Anda mungkin juga menyukai