KORPORASI
OLEH :
CONIGIYA SIMARMATA
8111413133
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang
Perubahan terjadi terus menerus dalam masyarakat. Salah satu bentuk dari
perubahan adalah perubahan sosiologis. Selo Soemardjan sebagaimana dikutip Soerjono
Soekanto mendefinisikan perubahan sosial sebagai, perubahan perubahan pada
lembaga lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang memengaruhi
sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai nilai, sikap, pola perilaku diantara
kelompok kelompok masyarakat.1
Korporasi kehadirannya memang diperlukan. Mulai dari sebelum lahir hingga
berakhirnya kehidupan seorang manusia dibumi, setidaknya korporasi telah mengambil
adil dalam setiap fase tersebut. Kehadiran korporasi tidak bisa dipungkiri lagi. Usaha
mendorong pertumbuhan dan perkembangan korporasi ini sejalan dengan tuntutan
dalam memenuhi tahapan-tahapan pembangunan yakni dengan meletakan dasar-dasar
pembangunan industri dalam menyonsong era pembangunan jangka panjang.
Kejahatan korporasi (corporate crime) merupakan salah satu wacana yang
timbul dengan semakin majunya kegiatan perekenomian dan teknologi. Corporate
crime bukanlah barang baru, melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan.
Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan
peradaban dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan berserta
kompleksitasnya. Di sisi lain, ketentuan Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia
belum dapat menjangkaunya dan senantiasa ketinggalan untuk merumuskannya. Salah
satu contohnya adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) yang baru
dikriminalisasi secara resmi pada tahun 2002. Contoh lain adalah kejahatan dunia maya
atau cyber crime yang sampai dengan saat ini pengaturannya masih mengundang tanda
tanya. Akibatnya, banyak bermunculan tindakan-tindakan atau kasus-kasus illegal,
namun tidak dapat dikategorikan sebagai crime.2
Rumusan masalah
1.2.1. Bagaimana bentuk kejahatan korporasi?
1.2.2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia?
1.3.
Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui dan menyampaikan bagaimana bentuk kejahatan
korporasi.
1.3.2. Untuk mengetahui dan menyampaikan bagaimana pertanggungjawaban
pidana korporasi di Indonesia.
2 Singgih, Kejahatan Korporasi yang Mengerikan, Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas
Hukum Universitas Pelita Harapan, Tangerang, 2005, hlm. 9.
3 I. S. Susanto, Kriminologi, Genta Publishing, Yokyakarta, 2011, hal. 126.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Kejahatan Korporasi
Kejahatan korporasi merupakan suatu bentuk kejahatan lama yang saat ini
melanda hampir seluruh negara di dunia, yang menimbulkan kerugian secara meluas di
masyarakat. Karakteristik kejahatan korporasi berbeda dengan kejahatan konvensional
lainnya. Secara umum karakteristik kejahatan korporasi sebagai berikut:
1. Kejahatan tersebut sulit dilihat (low visibility), karena biasanya tertutup oleh kegiatan
pekerjaan yang normal dan rutin, melibatkan keahlian profesional dan sistem
organsiasi yang kompleks;
2. Kejahatan tersebut sangat kompleks (complexity) karena selalu berkaitan dengan
kebohongan, penipuan dan pencurianserta seringkali berkaitang dengan sebuah yang
ilmiah, teknologis, financial, legal, terorganisirkan, dan melibatkan banyak orang dan
berjalan bertahun-tahun;
3. Terjadinya penyebaran tanggungjawab (diffusion of responsibility) yang semakin luas
akibat kompleksitas organisasi;
4. Penyebaran korban yang sangat luas (diffusion of victimization) seperti polusi dan
penipuan;
5. Hambatan dalam penditeksian dan penuntutan (detection and prosecution) sebagai
akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak hukum dengan
pelaku kejahatan;
6. Peraturan yang tidak jelas (ambiguitas law) yang sering menimbulkan kerugian dalam
penegakan hukum;
7. Sikap mendua status pelaku tindak pidana. Harus diakui bahwa pelaku tindak pidana
pada umumnya tidak melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi perbuatan
tersebut illegal.4
4 Agus Budianto, Delik Suap Korporasi Di Indonesia, Karya Putra Darwati, Bandung,
2012, hal. 57.
Seiring dengan itu, Steven Box mengemukakan bahwa ada lima faktor yang
potensial mempengaruhi korporasi melakukan pelanggaran hukum dalam mencapai
tujuan, yaitu:
a. Persaingan, seperti penemuan teknologi baru, tenik pemasaran, struktur merger dapat
menghasilkan perbuatan memata-matai, pembajakan, penyuapan, dan korupsi untuk
memperoleh pasaran, merger dan mencaplok;
b. Pemerintah, yakni melalui peraturan-peraturan baru atau pelaksanaan yang lebih
tegas dari peraturan yang ada dapat menghasilkan tindakan manipulasi pajak,
pemberian dana kampanye pemilihan umum yang bersifat illegal dan penyuapan
kepada pejabat-pejabat pemerintah untuk memperoleh proyek;
c. Buruh, yakni aktifitas yang dapat membuat ketegangan oleh gerakan buruh yang
militan dan radikal terhadap masalah upah dan kondisi kerja sebagai akibat dari
pemabayaran buruh di bawah ketentuan minimal, kondisi tempat kerja yang tidak
memperhatikan keselamatan kerja;
d. Konsumen, seperti permintaan produk yang elastis, terutama sebagai akibat adanya
perubahan-perubahan atau perlindungan terhadap konsumen mendapat perhatian,
sehingga praktek korporasi yang meragukan menjadi tampak. Misalnya iklan yang
menyesatkan, label yang tidak sesuai, produk yang tidak diuji, dan menjual produk
yang telah daluwarsa atau produk palsu; dan
e. Publik, khususnya yang berhubungan dengan pengaruh meningkatkan-nya kesadaran
lingkungan seperti konservasi udara bersih, lingkungan pemukiman serta sumbersumber alam yang lain. Tindakan-tindakan korporasi yang merugikan publik dapat
berupa polusi udara, polusi air dan tanah, penyuapan dan korupsi.5
Dalam corporate crime dikenal beberapa istilah:
1. Corporate Criminal
Dalam hal ini, dibentuknya korporasi memang ditujukan untuk melakukan kejahatan.
Jadi, tindak pidana adalah tujuan utama dari didirikannya korporasi.
2. Cime of Corporation
Berbeda dengan kategori pertama, crime for corporation merupakan tindak pidana
yang dilakukan oleh pengurus-pengurus korporasi yang secara langsung atau tidak
langsung menguntungkan korporasi.
Disamping itu, dikenal istilah crime against corporation. Jenis terakhir ini bukan
merupakan corporate crime, karena justru merugikan korporasi yang bersangkutan.6
Secara garis besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi
meliputi:
1. Kerugian dibidang ekonomi/materi
Meski sulit mengukur secara tepat jumlah kerugian yang ditimbul-kan oleh
kejahatankorporasi terutama karena tidak adanya badan yang secara khusus bertugas
mencatat kejahatan korporasi berbeda dengan kejahatan warungan yaitu kepolisian
namun berbagai peristiwa menunjukan bahwa tingkat kerugian ekonomi yang
ditimbulkan oleh kejahatan ini luar biasa besarnya, khususnya bila dibandingkan dengan
kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan warungan, seperti perampokan, pencurian,
penipuan. Misalnya perkiraan yang dilakukan oleh Subcommittee on Antitrust and
Monopoly of the US Senate Judiciary Committee yang diketuai oleh Senator Philip Hart
memperkirakan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi antara 174-231
miliar dolar pertahun, jauh bila dibandingkan dengan kejahatan warungan yang berkisar
sekitar 3-4 miliar.
2. Kerugian di bidang kesehatan dan keselamatan jiwa
Pembicaraan mengenai kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi
umumnya ditujukan pada kerugian di bidang ekonomi, sedangkan kerugian dibidang
kesehatan dan keselamatan jiwa pada kenyataanya sangat serius. Menurut Geis,
misalnya setiap tahunnya korporasi bertanggung jawab terhadap ribuan kematian dan
cacat tubuh yang terjadi di seluruh dunia.
6 Lihat: Muladi, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kerugian Keuangan Negara
dalam BUMN Berdasarkan UU Tentang Tindak Pidanan Korupsi, makalah bebas.
Resiko kematian dan cacat yang disebabkan oleh korporasi dapat diakibatkan,
baik oleh produk yang dihasilkan oleh korporasi maupun dalam proses produksi,
sehingga yang menjadi korban korporasi adalah masyarakat luas, khususnya konsumen
dan mereka yang bekerja pada korporasi. Dengan membandingkan besarnya kerugian
yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi terhadap buruh (mereka yang bekerja pada
korporasi) dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan warungan melalui data
statistik kriminal yang dibuat oleh F.B.I, dan data dari The President Report on
Occupational Safety and Health tahun 1973. Reiman menyimpulkan bahwa kematian
maupun kerugian fisik yang diakibatkan oleh kejahatan korporasi luar biasa besarnya
dibandingkan dengan kejahatan warungan, yaitu 100.000 dibandingkan dengan 9.235
untuk kematian dan 390.000 berbanding dengan 218.385 untuk kerugian fisik.
Sementara dalam hubungannya dengan besarnya ancaman kejahatan yang dibuat oleh
F.B.I. melalui gambaran crime of clocks, bahwasanya crime of clocks bagi pembunuhan
terjadi setiap 26 menit pada tahun 1974 bila dibandingkan dengan kematian yang terjadi
di bidang industri adalah setiap 4,5 menit. Lebih lanjut dinyatakan oleh Reiman: In
other words, in the time it take for one murder on the crime clock, six workers have
died. Just from trying to make a living.
Kematian atau cacat yang diakibatkan oleh industri ini bukanlah karena
kecelakaan di tempat kerja semata, akan tetapi sebagian besar disebabkan oleh
penyakit yang pada umumnya karena kondisi-kondisi diluar kontrol pekerja, seperti
kadar coal dust (yang menyebabkan sakit black lung) atau debu tekstil (yang
menyebabkan byssinosis atau brown lung) atau serat asbestos (yang dapat menyebabkan
kanker).
3. Kerugian di bidang sosial dan moral
Di samping kerugian ekonomi, kesehatan dan jiwa, kerugian yang tidak kalah
pentingnya yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah kerugian dibidang sosial
dan moral. Dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah merusak
kepercayaan masyarakat terhadap perilaku bisnis, seperti pernyataan dari The
Presidents Commission on Law Enforcement and Administratiton of Justice bahwa
kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang paling mencemaskan, bukan saja karena
kerugian yang sangat besar, akan tetapi karena akibat yang merusak terhadap ukuran-
ukuran moral perilaku bisnis orang Amerika. Kejahatan bisnis (korporasi) merongrong
kepercayaan publik terhadap sistem bisnis, sebab kejahatan demikian diintegrasikan ke
dalam struktur bisnis yang sah.7
Kerugian yang ditimbulakan oleh kejahatan korporasi di bidang nilai-nilai sosial
lainnya menurut penulis adalah merusak nilai-nilai demokrasi dan karenanya
menghambat proses demokrasi. Kolusi antara korporasi dan pejabat pemerintahan
dilakukan secara tertutup dan karenanya diupayakan untuk tidak transparan, sementara
keterbukaan (transparansi) merupakan hal yang penting bagi demokratisasi.
Meskipun bentuk kerugian yang begitu hebat dan meluas, corporate crime
jarang sekali muncul ke permukaan dalam proses penegakan hukum. Andai kan ada, itu
pun dapat dihitung dengan jari. Hal ini karena: belum adanya perhatian serius terhadap
kejahatan korporasi, adanya sejumlah kekurangan sempurnaan pengaturan korporasi
dalam produk undang-undang, masyarakat kurang memahami/mengetahui jenis
kejahatan korporasi, dan seringnya masyarakat yang dirugikan tidak merasa bahwa
dirinya telah menjadi korban dari adanya corporate crime.8
2.2.
tersendiri. Identitas hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas
hukum para pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah
hukum perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum
merukapan subjek hukum perdata dapat melakukan aktivitas jual beli, dapat membuat
perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di
pengadilan dalam hubungan keperdataan.
Namun sampai saat ini, konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi
sebagai pribadi merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang
tidak mendukung pandangan bahwa suatu korporsi yang wujudnya semu dapat
7 I.S. Susanto, Ibid, hlm. 163-167
8 Ali Masyhar, Pergulatan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Rana Tatanan Sosial,
UNNES PRESS, Semarang, 2008, hlm. 74
melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal intent yang melahirkan
pertanggungjawaban pidana. Disamping itu, mustahil untuk dapat menghadirkan di
korporasi dengan fisik yang sebenarnya dalam ruang pengadilan dan duduk di kursi
terdakwa guna menjalani proses peradilan.
Pertanggungjawaban korporasi yang telah melakukan suatu tindak pidana
merupakan bahasan yang masih debatable, terutama menyangkut kapan dan apa
ukurannya agar korporasi dapat dipertanggungjawabkan.9
Minimal ada tiga teori untuk dapat dipertanggungjawabkannya korporasi,
yaitu:10
1. Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung (Direct liability ddoctrine) atau teori
identifikasi (Identification theory).
Berdasarkan doktrin ini, perbuatan/kesalahan pejabat senior (senior officer)
diidentifikasi sebagai perbuatan/kesalahan korporasi. Namun ada dua arti dalam
doktrin ini yaitu:
a. Arti sempit (inggris): :hanya perbuatan pejabat senior (otak korporasi) yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada korporasi.
b. Arti luas (USA): tidak hanya pejabat senior/direktur, tetapi juga agen
dibawahnya.
2. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Pengganti (Vicarious Liability). Teori ini
berdasarkan pada pameo repondeat superior rule:let the master answer. Menurut
teori ini, bahwa majikan (employer) adalah penanggungjawab utama dari perbuatan
pada buruh/karyawan.
3. Doktrin Pertanggungjawaban Ketat menurut UU (Strict Liability). Doktrin ini berlaku
dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi kewajiban/kondisi/situasi tertentu
oleh Undang-udang. Pelanggaran kewajiban/kondisi/situasi tertentu oleh korporasi ini
dikenal dengan istilah company offence, situational offence atau strict liability
offences.
2.2.1. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana belum kita temui, hal ini
berbeda dengan negeri belanda yang sudah sejak tahun 1976, korporasi sudah menjadi
9 Ali Masyhar, Ibid, hlm. 76
10 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti,
2003, hlm. 233-238
subjek tindak pidana dam dimasukkan dalam Buku I KUHP tentang ketentuan umum.
Sebab dalam Pasal 59 KUHP (Indonesia) masih menganut suatu pandangan bahwa
perbuatan pidana hanya dapat dilakukan oleh orang atau manusia pribadi.11
Dalam KUHP juga terdapat pasal lain yang kelihatannya juga menyangkut
korporasi sebagai subjek hukum, tetapi disinipun ,yang diancam pidana adalah orang,
bukan korporasi. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 169 KUHP tentang turut serta
dalam perkumpulan terlarang, Pasal 398 dan Pasal 399 KUHP tentang pengurus atau
komisaris Perseroan Terbatas, Maskapai Andil Indonesia atau perkumpulan koperasi
yang dinyatakan dalam keadaan pailit merugikan perseroannya. Dengan demikian
dalam KUHP belum dikenal pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh
korporasi.12
Filosofi pertanggungjawaban pidana individual lebih ditujukan sebagai akibat
perbuatan individu yang mengakibatkan matinya orang lain. Kepada korporasi lebih
ditujukan untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan dalam kerangka menciptakan
rasa keadilan bagi masyarakat yang hak-haknya telah terkorbankan.13
Pertama, tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan
bukan mustahil menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya pegawainya yang
dituntut karena telah melakukan tindak pidana.14
Sedangkan yang menjadi asas legalitas sebagai dasar penegakan hukum dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana belum diadopsi sebagaimana dalam Pasal 59
yang sebagai berikut:
Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap
pengurus, amggota badan pengurus, atau komisaris-komisaris, maka
dapat
dari
tahap
kedua.
Permintaan
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Tahun 1976)
h. UU No. 23 Tahun 1997 (Undang-Undang Lingkungan Hidup)
i. UU No. 5 Tahun 1999 (Undang-Undang Larangan Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat)
j. UU No. 8 Tahun 1999 (Undang-Undang Perlindungan Konsumen)
k. UU No. 31 Tahun 1999 (Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi)
l. UU No. 15 Tahun 2002 (Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang)
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Budianto, Agus, 2014. Delik Suap Korporasi Di Indonesia, Bandung: Karya Putra
Darwati.