Anda di halaman 1dari 38

TUGAS MATAKULIAH FARMAKOTERAPI

SEMESTER GENAP TAHUN AJARAN 2015/2016

FARMAKOTERAPI DIABETES MELLITUS

Disusun oleh:
Nama

NPM

JIMMY CHAN WEI KIT

260110132003

VIKNESWARAN A/L MUTAYAH

260110132004

ROSHINI MARIAPPAN

260110132006

TARRSINEY MARIAPPAN

260110132007

NISHANTINI SOMALU

260110132008

Dosen: Dr. Ahmad Muhtadi, MS., Apt


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2016

KATA PENGANTAR

Pertama-tama, kami ingin mengambil kesempatan ini untuk berterima kasih


kepada mereka yang telah membantu kami dalam berhasil menyelesaikan makalah
kami. Kata-kata tidak cukup untuk mengungkapkan rasa terima kasih kami atas
bantuan dan dukungan yang datang tanpa harapan apapun selama selama
penyelesaian makalah.
Keduanya, kami ingin berterima kasih kepada Tuhan yang memberi kami
kekuatan dan energi untuk pergi melalui proyek makalah ini dan menyelesaikannya
dengan sukses. Kami ingin mengambil kesempatan ini untuk menyampaikan
penghargaan saya kepada Dr. Ahmad Muhtadi, MS., Apt untuk memberikan kami
kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan baru dengan memungkinkan kita untuk
melakukan proyek makalah ini.
Terima kasih tulus kami kepada semua teman-teman kita dan rekan-rekan
untuk keceriaan dan menyenangkan. Terima kasih untuk saat-saat besar yang kita
telah berbagi bersama-sama.

ii

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....i
KATA PENGANTAR......ii
DAFTAR ISI....iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........1
1.2 Identifikas Masalah......1
1.3 Metode Penulisan.....2
1.4 Tujuan..2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Diabetes Mellitus.....3
2.2 Patofisiologi Diabetes Mellitus ...3
2.3 Manifestasi klinik terhadap Diabetes Mellitus.....6
2.4 Diagnosa terhadap Diabetes Mellitus.........11
2.5 Hasil terapi yang diinginkan terhadap Diabetes Mellitus...13
2.6 Penanganan terapi non farmakologi dan terapi farmakologi terhadap
Diabetes Mellitus ...................................13
2.7 Contoh kasus dan solusinya....25
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan........28
DAFTAR PUSTAKA..30
LAMPIRAN....33

iii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) yang umum dikenal sebagai kencing manis adalah
penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia (peningkatan kadar gula darah) yang
terus-menerus dan bervariasi, terutama setelah makan. Diabetes mellitus
merupakan keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik
akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada
mata, ginjal, dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dalam
pemeriksaan dengan mikroskop elektron (Bilous, 2002) [1].
Jumlah penduduk dunia yang sakit diabetes mellitus cenderung meningkat
dari tahun ke tahun. Hal ini karena dengan jumlah populasi meningkat, pola
hidup, prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik kurang(Smeltzer & Bare,
2002)[22]. Angka kesakitan dan kematian akibat DM di Indonesia cenderung
berfluktuasi setiap tahun sejalan dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang
mengarah pada makanan siap saji dan sarat karbohidrat (Depkes RI, 2006) [4].
Distribusi penyakit ini juga menyebar pada semua tingkatan masyarakat dari
tingkat sosial ekonomi rendah sampai tinggi, pada setiap ras, golongan etnis dan
daerah geografis. Gejala DM yang bervariasi yang dapat timbul secara perlahanlahan sehingga penderita tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum
yang lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang
menurun, gejala tersebut berlangsung lama tanpa memperhatikan diet, olah raga,
pengobatan sampai orang tersebut memeriksakan kadar gula darahnya. DM jika
tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada
berbagai organ tubuh seperti mata, jantung, ginjal, pembuluh darah kaki, syaraf
dan lain-lain.
1.2 Identifikasi Masalah.
Berdasarkan apa yang dikemukakan dalam latar belakang maka penulis menarik
suatu identifikasi masalah sebagai berikut:
1

1.2.1

Apa pengertian Diabetes Mellitus?

1.2.2

Apa patofisiologi Diabetes Mellitus?

1.2.3

Apa manifestasi klinik terhadap Diabetes Mellitus?

1.2.4

Apa diagnosa terhadap Diabetes Mellitus?

1.2.5

Apa hasil terapi yang diinginkan terhadap Diabetes Mellitus?

1.2.6

Apa penanganan terapi non farmakologi dan terapi farmakologi terhadap


Diabetes Mellitus?

1.2.7

Apakah contoh kasus terhadap Diabetes Mellitus dan solusinya?

1.3 Metode Penulisan


Metode penelitian yang digunakan dalam pembuatan makalah ini ialah
melalui metode studi internetan dan buku. Kita telah mendapat informasi dating
dari sumber-sumber seperti:
1) Jurnal
2) Artikel
3) Buku
1.4 Tujuan
Tujuan dari pembuat makalah ini adalah selain untuk memenuhi tugas kuliah juga
agar kita mengetahui apa saja yang berhubungan dengan Diabetes Mellitus, serta
bagaimana cara mencegah, diagnose, hasil yang diinginkan dan penanganan terapi
secara non farmakologi dan farmakologi. Mahasiswa dapat mengerti dan memahami
sehingga dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dalam bidang
farmasi.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Diabetes Mellitus
2.1.1

Definisi Diabetes Mellitus


Diabetes mellitus adalalah gangguan metabolisme yang secara genetik dan
klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi
karbohidrat, jika telah berkembang penuh secara klinis maka diabetes mellitus
ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerosis dan
penyakit vascular mikroangiopati (Guyton, 2008) [11].
Diabetes mellitus adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
akibat kadar glukosa darah yang tinggi yang disebabkan jumlah hormone
insulin kurang atau jumlah insulin cukup bahkan kadang-kadang lebih, tetapi
kurang efektif (Pearce, 1992) [17].
WHO menyatakan Diabetes mellitus adalah keadaan hiperglikemia kronis
yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan keturunan secara bersama-sama,
mempunyai karakteristik hyperglikemia kronis tidak dapat disembuhkan
tetapi dapat dikontrol dan menurut American Diabetes Association (ADA)
Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya (WHO, 2011) [27].
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Diabetes
Mellitus adalah suatu keadaan dimana terjadinya peningkatan kadar gula
dalam darah yang mengakibatkan gangguan metabolisme dan berkembang
menjadi gangguan multisistem karena keterbatasan insulin di dalam tubuh
seseorang.

2.2 Patofisiologi Diabetes Mellitus


1. Diabetes Tipe 1
Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel
pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang berasal dari
3

makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap dalam darah dan
menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi
glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali
semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut dieksresikan
dalam urin (glukosuria). Eksresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan
elekrolit yang berlebihan, keadaan ini disebut diuresis osmotik. Pasien
mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi)
(Brunner and Suddarth, 2002) [2].
2.

Diabetes Tipe II
Terdapat 2 masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu:
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat
dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin
dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme
glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan
penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif
untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan (Brunner and
Suddarth, 2002) [2].
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan.
Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi
insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat
yang normal atau sedikit meningkat. Namun, jika sel-sel tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan
meningkat dan terjadi diabetes tipe II (Brunner and Suddarth, 2002) [2].
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas
diabetes tipe II, namun terdapat jumlah insulin yang adekuat untuk mencegah
pemecahan lemak dan produksi badan keton. Oleh karena itu, ketoasidosis
diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe
II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang
4

dinamakan

sindrom

hiperglikemik

hiperosmoler

nonketotik.

Akibat

intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan progresif, maka awitan


diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi, gejalanya sering bersifat ringan
dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, pilidipsia, luka pada kulit
yang tidak sembuh-sembuh, infeksi dan pandangan yang kabur (Brunner and
Suddarth, 2002) [2].
3. Diabetes Gestasional
Didefenisikan sebagai permulaan intoleransi glukosa atau pertama
sekali didapat selama kehamilan (Michael F. Greenean dan Caren G.
Solomon, 2005) [16].
Aktivitas insulin yang rendah akan menyebabkan;
a.

Penurunan penyerapan glukosa oleh sel-sel, disertai peningkatan pengeluaran


glukosa oleh hati melalui proses glukoneogenesis dan glikogenolisis. Karena
sebagian besar sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa tanpa bantuan
insulin, timbul keadaan ironis, yakni terjadi kelebihan glukosa ekstrasel
sementara terjadi defisiensi glukosa intrasel - kelaparan di lumbung padi.

b. Kadar glukosa yang meninggi ke tingkat dimana jumlah glukosa yang

difiltrasi melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan reabsorpsi akan


menyebabkan glukosa muncul pada urin, keadaan ini dinamakan glukosuria.
c. Glukosa pada urin menimbulkan efek osmotik yang menarik H2O

bersamanya. Keadaan ini menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai oleh


poliuria (sering berkemih).
d. Cairan yang keluar dari tubuh secara berlebihan akan menyebabkan dehidrasi,

yang pada gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer karena


volume darah turun mencolok. Kegagalan sirkulasi, apabila tidak diperbaiki
dapat menyebabkan kematian karena penurunan aliran darah ke otak atau
menimbulkan gagal ginjal sekunder akibat tekanan filtrasi yang tidak adekuat.
e. Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat

perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang hipertonik.
5

Akibatnya timbul polidipsia (rasa haus berlebihan) sebagai mekanisme


kompensasi untuk mengatasi dehidrasi.
f.

Defisiensi glukosa intrasel menyebabkan sel kelaparan akibatnya nafsu


makan (appetite) meningkat sehingga timbul polifagia (pemasukan makanan
yang berlebihan).

g. Efek defisiensi insulin pada metabolisme lemak menyebabkan penurunan

sintesis trigliserida dan peningkatan lipolisis. Hal ini akan menyebabkan


mobilisasi besar-besaran asam lemak dari simpanan trigliserida. Peningkatan
asam lemak dalam darah sebagian besar digunakan oleh sel sebagai sumber
energi alternatif karena glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel.
h. Efek insulin pada metabolisme protein menyebabkan pergeseran netto kearah

katabolisme protein. Penguraian protein-protein otot menyebabkan otot


rangka lisut dan melemah sehingga terjadi penurunan berat badan (Sherwood,
2001) [21].
2.3 Manifestasi Klinik terhadap Diabetes Mellitus
Kejadian DM diawali dengan kekurangan insulin sebagai penyebab utama. Di
sisi lain timbulnya DM bisa berasal dengan kekurangan insulin yang bersifat
relatif yang disebabkan oleh adanya resistensi insulin (insuline resistance).
Keadaan

ini

ditandai

dengan

ketidakrentanan/ketidakmampuan

organ

menggunakan insulin, sihingga insulin tidak bisa berfungsi optimal dalam


mengatur metabolisme glukosa. Akibatnya, kadar glukosa darah meningkat
(hiperglikemia)(Ben, 2006) [9].
Gejala awal berhubungan dengan efek langsung dari kada gula darah yang
tinggi. Jika kadar gula darah lebih dari 160-180 mg/dL maka glukosa akan sampai
ke air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan
untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal
menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan maka penderita sering
berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuri). Akibat poliuri maka penderita
merasa haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi). Sejumlah besar
6

kalori hilang ke dalam air kemih, penderita mengalami penurunan berat badan.
Hal ini menyebabkan penderita sering kali merasakan lapar yang luar biasa
sehingga banyak makan (polifagi)(Anderson, 2005) [18].
Selain itu, menurut Hans Tandra (2008)[26], manifestasi klinis Diabetes
Melitus yaitu:
1. Berat Badan Turun Sebagai kompensasi dari dehidrasi dan banyak minum,
seseorang akan mulai banyak makan. Memang pada mulanya berat badan
makin meningkat, tetapi lama kelamaan otot tidak mendapat cukup
glukosa untuk tumbuh dan mendapatkan energi. Maka jaringan otot dan
lemak harus dipecah untuk memenuhi kebutuhan energi. Berat badan
menjadi turun, meskipun banyak makan. Keadaan ini makin diperburuk
oleh adanya komplikasi yang timbul kemudian (Ben, 2006) [9].
2. Lemah Keluhan diabetes dapat berupa rasa capek, lemah, dan nafsu
makan menurun. Pada diabetes, gula bukan lagi sumber energi karena
glukosa tidak dapat diangkut kedalam sel untuk menjadi energi.
3. Mata kabur Glukosa darah yang tinggi akan menarik pula cairan dari
dalam lensa mata sehingga lensa menjadi tipis. Mata seseorang pun
mengalami kesulitan untuk fokus dan penglihatan jadi kabur. Apabila
seseorang bisa mengontrol glukosa darah dengan baik, penglihatan bisa
membaik karena lensa kembali normal (Patrick, 2005) [3].
4. Luka yang sukar sembuh Penyebab luka yang sukar sembuh adalah:
a. infeksi yang hebat, kuman, atau jamur yang mudah tumbuh pada
kondisi gula darah yang tinggi;
b. kerusakan dinding pembuluh darah, aliran darah yang tidak lancar
pada kapiler (pembuluh darah kecil) yang menghambat penyembuhan
luka; dan
c. kerusakan saraf dan luka yang tidak terasa menyebabkan penderita
diabetes tidak menaruh perhatian pada luka dan membiarkannya
makin membusuk (Patrick, 2005) [3].
7

5. Rasa kesemutan Kerusakan saraf yang disebabkan oleh glukosa yang


tinggi merusak dinding pembuluh darah dan akan mengganggu nutrisi
pada saraf. Karena yang rusak adalah saraf sensoris, keluhan yang paling
sering muncul adalah rasa semutan atau tidak berasa, terutama pada
tangan dan kaki. Selanjutnya bisa timbul rasa nyeri pada anggota tubuh,
betis, kaki, tangan, dan lengan (Marilynn, 2000) [6].
6. Gusi merah dan bengkak Kemampuan rongga mulut seseorang menjadi
lemah untuk melawan infeksi. Maka gusi membengkak dan menjadi
merah, muncul infeksi, dan gigi tampak tidak rata dan mudah tanggal
(Anderson, 2005) [18].
7. Kulit terasa kering dan gatal Kulit terasa kering, sering gatal, infeksi.
Keluhan ini biasanya menjadi penyebab seseorang datang memeriksakan
diri ke dokter kulit, lalu baru ditemukan adanya diabetes (Anderson, 2005)
[18]

8. Mudah kena infeksi Leukosit (sel darah putih) yang biasa dipakai untuk
melawan infeksi tidak dapat berfungsi dengan baik jika glukosa darah
tinggi (Anderson, 2005) [18].
9. Gatal pada kemaluan Infeksi jamur juga menyukai suasana glukosa
tinggi. Vagina mudah terkena infeksi jamur, mengeluarkan cairan kental
putih kekuningan, serta timbul rasa gatal (Anderson, 2005) [18].
2.3.1

Diabetes Mellitus Type 1


Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya bisa timbul secara tiba-tiba dan
berkembang dengan cepat kedala suatu keadaan yang disebut dengan
ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di dalam darah tinggi, tapi karena
sebgaian besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin maka sel-sel
ini mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan
menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia yang beracun yang bisa
menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosi). Gejala awal dari ketoasidosis
diabetikum adalah rasa haus dan berkemih yang berlebihan, mual, muntah,
8

lelah, dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernapasan menjadi dalam
dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau
napas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis
diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam beberapa jam
setelah gejala muncul. Bahkan, setelah menjalani terapi insulin, penderita
diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali
penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakaan atau
penyakit yang serius (Ben, 2006) [9].
Dalam keadaan yang normal insulin mengendalikan glikogenolisis
(pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan
glukosa baru dari asam-asam amino dan substansi lain), namun pada penderita
defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut
menimbulkan hiperglikemia. Di samping itu akan terjadi pemecahan lemak
yang meningkatkan produksi bahan keton yang merupakan produk samping
pemecahan lemak (Marilynn, 2000) [6].
Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala-gejala selama
beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah maka timbullah gejala
berupa sering berkemih dan sering merasa haus. Jarang terjadi ketoasidosis.
Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya
terjadi akibat stres, misalnya infeksi atau obat-obatan) maka penderita akan
mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental,
pusing, kejang, dan suatu keadaan yang disebut koma hiperglikemikhiperosmolar nonketotik (Patrick, 2005) [3]
2.3.2

Diabetes Mellitus Type 2


Seseorang yang menderita DM tipe II biasanya mengalami peningkatan
frekuensi buang air (poliuri), rasa lapar (polifagia), rasa haus (polidipsi), cepat
lelah, kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit, kelelahan yang berkepanjangan
dan tidak ada penyebabnya, mudah sakit berkepanjangan, biasanya terjadi

pada usia di atas 30 tahun, tetapi prevalensinya kini semakin tinggi pada
golongan anak-anak dan remaja (Arif, 2007) [13].
Gejala-gejala tersebut sering terabaikan karena dianggap sebagai keletihan
akibat kerja, jika glukosa darah sudah tumpah kesaluran urin dan urin tersebut
tidak disiram, maka dikerubuti oleh semut yang merupakan tanda adanya gula
(Aru, 2007) [23].
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin, yaitu : resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel.
Sebagai akibat terikatnya insulin pada reseptor tersebut, terjadi suatu
rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi
insulinpada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini.
Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulus
pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan
mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan
jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita teloransi glukosa terganggu,
keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa
akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun
demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan
akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II
(Anderson, 2005) [18].
Meskipun terhjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas
diabetes tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat
untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang
menyertainya, karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe
II. Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat
menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemih
hiperosmoler nonketotik (HHNK) (Hans,2008) [26].

10

2.4 Diagnosa terhadap Diabetes Mellitus


A. Tes urine
Tes urine digunakan untuk mengetahui kandungan gula di dalam urine. Tes
ini meliputi uji Benedict dan uji Dipstick. Uji Benedict digunakan untuk
menentukan adanya glikogen dalam urine. Mula-mula sampel urine dari penderita
diabetes diambil. Kemudian ambillah 8 tetes urine tersebut ke dalam tabung
reaksi. Selanjutnya sampel tersebut ditetesi dengan pereaksi Benedict sebanyak 5
tetes. Kemudian sampel tersebut dipanaskan sampai terbentuk warna. Sifat warna
inilah yang memberikan petunjuk kadar gula dalam urine. Pada hasil uji Benedict,
jika warna yang dihasilkan adalah merah bata, maka urine tersebut mengandung
lebih dari 2% glukosa, yang artinya orang tersebut menderita penyakit diabetes.
Pada dasarnya uji Benedict untuk mengetahui kandungan senyawa aldehida. Oleh
karena itu, pada uji benedict akan memberikan warna bahkan jika ada gula-gula
lain yang terdapat dalam urine, seperti maltosa, galaktosa, sukrosa fruktosa, dan
lain-lain. Uji Benedict tidak dapat digunakan untuk penderita hipogleikimia.
Sedangkan pada uji Dipstick digunakan untuk memastikan adanya gula dalam
urine. Pada dasarnya Dipsticks merupakan strip kertas yang mengandung zat
kimia tertentu dan akan berubah warna jika bereaksi dengan gula. Perubahan
warna yang terjadi tergantung pada bahan kimia yang digunakan dalam
pembuatan dipstick tersebut. Pada uji Dipstick warna yang dihasilkan kemudian
dibandingkan dengan warna yang terdapat pada buku manual (Suyono, 2006) [25].
B. Tes Darah
Tes darah mengandung beberapa kelebihan dibandingkan dengan tes urine,
yaitu dapat mengetahui hipogleikimia. Mula-mula sampel darah penderita
diabetes diambil dengan menggunakan alat khusus yang ditusukkan ke jari. Darah
yang menetes keluar, kemudian diletakkan pada sebuah strip khusus. Strip yang
mengandung zat kimia tersebut, selanjutnya bereaksi dengan gula yang terdapat
dalam darah. Setelah ditunggu beberapa menit, strip tersebut akan mengering dan
menunjukkan warna tertentu. Kemudian warna yang dihasilkan strip tersebut
11

dibandingkan dengan skala warna pengukuran. Tes darah juga dapat dilakukan
dengan alat photometer. Dengan alat ini proses diagnosis diabetes dapat diketahui
dengan cepat dan tepat. Tes ini dilakukan sesudah puasa (minimal selama 10 jam)
dan 2 jam sesudah makan. Berdasarkan hasil tes, jika seseorang mempunyai kadar
gula darah puasa lebih dari 110mg% dan kadar gula darah 2 jam sesudah makan
lebih dari 200 mg% maka dapat disimpulkan bahwa orang tersebut menderita
diabetes (Foster, 1996) [8].
C. Tes puasa glukosa plasma (FPG)
Uji FPG digunakan untuk mendiagnosis diabetes dan pradiabetes yang
biasanya dilakukan pada pagi hari. Berdasarkan hasil tes, jika seseorang
mempunyai kadar glukosa puasa 100 sampai 125 mg/dL berarti orang tersebut
memiliki gangguan glukosa puasa (IFG) atau disebut juga dengan gejala
pradiabetes. Selanjutnya jika seseorang mempunyai kadar glukosa puasa lebih
dari 126 mg/dL maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut mengidap penyakit
diabetes (Gustaviani, 2006) [10].
D.Uji toleransi glukosa oral (OGTT)
Dalam mendiagnosis penderita pradiabetes uji OGTT lebih diandalkan karena
lebih sensitif dibandingkan dengan uji FPG, Sebelum dilakukan uji OGTT,
terlebih dahulu pasien berpuasa minimal 8 jam. Selanjutnya pasien diukur kadar
glukosa plasma. Kemudian pasien minum cairan yang mengandung 75 gram
glukosa telah dilarutkan dalam air. Selang 2 jam kemudian pasien diukur kembali
kadar glukosa plasmanya. Berdasarkan hasil tes, jika seseorang memiliki kadar
glukosa darah antara 140 dan 199 mg/dL 2 jam setelah minum cairan tersebut,
maka dapat dikatakan orang tersebut memiliki gangguan toleransi glukosa (IGT)
atau disebut juga dengan gejala pradiabetes. Selanjutnya jika seseorang memiliki
kadar glukosa lebih dari 200 mg/dL, maka dapat dikatakan orang tersebut
mengidap penyakit diabetes (Suwitra, 2006) [24].

12

E. Uji glukosa plasma secara acak


Pada kondisi akut yang ditandai dari besarnya nilai hasil tes FPG dan uji
OGTT, yaitu lebih dari 200 mg/dL dan ditambah adanya gejala seperti sering
buang air kecil, rasa haus berlebihan dan terjadinya penurunan berat badan, maka
perlu dilakukan uji glukosa plasma secara acak. Pada uji ini dokter akan
memeriksa kadar glukosa darah orang tersebut pada hari lain dengan
menggunakan uji FPG atau OGTT untuk mengkonfirmasikan diagnosis.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa cara diagnosis diabetes
masing-masing tes memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Oleh
karena itu berbagai tes diagnosis diabetes di atas bersifat melengkapi antara satu
sama lain. Dengan semakin lengkapnya data yang diperoleh dari hasil pengujian
diagnosis diabetes, maka semakin tepat dan akurat terapi yang akan diberikan
oleh dokter (Suwitra,2006) [24].
2.5 Hasil Terapi Yang Diinginkan Terhadap Diabetes Mellitus
1.

Mengurangi resiko makrovaskuler dan mikrovaskular

2.

Mengurangi gejala

3.

Mengurangi angka kematian

4.

Meningkatkan kualitas hidup pasien


(Saseen dan Carter, 2005) [20]

2.6 Penanganan Terapi Non Farmakologi dan Terapi Farmakologi Terhadap


Diabetes Mellitus
2.6.1

Terapi Non Farmakologi

2.6.1.1 Pola Makan dan Diet


Terapi nutrisi medis direkomendasikan untuk semua orang dengan DM.
Paramount untuk semua terapi nutrisi medis adalah pencapaian yang optimal
hasil metabolisme dan pencegahan dan pengobatan komplikasi. Untuk
individu dengan DM tipe 1, fokusnya adalah pada mengatur pemberian
insulin dengan diet seimbang untuk mencapai dan memelihara berat badan
yang sehat . Meski masih diperdebatkan, sebagian besar orang dengan
13

diabetes memerlukan rencana makan yang moderat di karbohidrat dan rendah


lemak jenuh, dengan fokus pada makanan seimbang. Sangat penting bahwa
pasien memahami hubungan antara karbohidrat dan glukosa kontrol. Selain
itu, pasien dengan DM tipe 2 sering membutuhkan kalori Pembatasan untuk
meningkatkan berat badan. Daripada diet diabetes ditetapkan, menganjurkan
diet menggunakan makanan yang berada dalam jangkauan keuangan dan
lingkungan budaya pasien. Waktu tidur dan di antara jam makan makanan
ringan biasanya tidak diperlukan jika manajemen farmakologis sesuai
(Eroschenko, 2003) [7].
2.6.1.2 Aktivitas Olahraga
Secara umum, kebanyakan pasien dengan DM dapat manfaat dari
peningkatan aktivitas. Latihan aerobik meningkatkan resistensi insulin dan
gula darah mengontrol di sebagian besar individu, dan mengurangi risiko
kardiovaskular faktor, memberikan kontribusi untuk penurunan berat badan
atau pemeliharaan, dan meningkatkan kesejahteraan. Pasien harus memilih
kegiatan yang dia atau dia mungkin untuk melanjutkan. Mulai latihan
perlahan pada pasien yang sebelumnya menetap. Pasien yang lebih tua, pasien
dengan penyakit lama ( usia > 35 tahun, atau > 25 tahun dengan DM10
tahun ), pasien dengan beberapa kardiovaskular faktor risiko, adanya penyakit
mikrovaskuler, dan pasien dengan bukti sebelumnya penyakit aterosklerosis
harus memiliki kardiovaskular evaluasi, mungkin termasuk tes latihan dinilai
dengan pencitraan, sebelum memulai moderat untuk intens latihan. Selain itu,
beberapa komplikasi (otonom neuropati, mati rasa kaki, dan retinopati )
mungkin memerlukan pembatasan pada kegiatan direkomendasikan (Sudoyo,
2009) [23].
2.6.2

Terapi Farmakologi
Sampai tahun 1995, hanya dua pilihan untuk pengobatan farmakologis
yang tersedia untuk pasien dengan diabetes; sulfonilurea (untuk tipe 2 DM
saja) dan insulin (untuk tipe 1 atau 2). Setelah tahun 1995, sejumlah agen
14

lisan baru dan insulin telah diperkenalkan di Amerika Serikat. Saat ini, lima
kelas dari agen oral disetujui untuk pengobatan diabetes tipe 2: -glukosidase
inhibitor,

biguanides,

proliferator

agonis

meglitinides,

(yang

reseptor

juga

sering

diaktifkan

Peroksisom

diidentifikasi

sebagai

thiazolidinediones atau glitazones), dan sulfonilurea. Agen oral diindikasikan


untuk digunakan dalam tipe 2 pasien DM yang tidak mampu mencapai tujuan
kontrol glikemik meskipun diet dan olahraga. Agen antidiabetik oral sering
dikelompokkan

menurut

mekanisme

aksi

mereka

penurun

glukosa.

Biguanides dan thiazolidinediones sering dikategorikan sebagai sensitizer


insulin karena mereka kemampuan untuk mengurangi resistensi insulin.
Sulfonilurea dan meglitinides sering dikategorikan sebagai secretagogues
insulin karena mereka meningkatkan endogen pelepasan insulin. Pilihan baru
untuk pelaksanaan terapi insulin yang tersedia. Cepat insulin (lispro dan
aspart) tersedia dalam insulin campuran (Humalog Mix 75/25 dan Novolog
Mix 70/30), dan long-acting basal insulin glargine telah meningkatkan
kemudahan implementasi terapi insulin intensif bagi banyak pasien. Glulisine,
analog

lain

insulin

kerja-cepat,

telah

menerima

Food

and

Drug

Administration (FDA) persetujuan untuk pengobatan tipe 1 dan 2 DM, dan


diharapkan akan dipasarkan pada tahun 2005. Penelitian pada pengiriman
alternative insulin melalui inhalasi atau lisan rute terus, meskipun informasi
terbaru menargetkan 2005 atau 2006 sebagai kerangka waktu kemungkinan
untuk persetujuan FDA awal dari suatu produk. Bagian selanjutnya
menjelaskan antidiabetes saat obat yang tersedia untuk mengobati tipe 1 dan
diabetes tipe 2 mellitus (Prince, 2005) [19].
Insulin
Farmakologi : Insulin adalah anabolik dan hormon anticatabolic. Hal ini
memainkan peran utama dalam protein, karbohidrat, dan metabolisme lemak.
Sebagai ringkasan lengkap aksi insulin dapat digambarkan dengan endogen
diproduksi insulin dibelah dari lebih besar proinsulin peptida dalam sel
15

untuk peptida aktif insulin dan C-peptida, yang dapat digunakan sebagai
penanda untuk insulin endogen produksi. Semua persiapan insulin yang
tersedia secara komersial mengandung hanya aktif peptida insulin (DiPiro,
2008) [5].

[Tabel 1]
Selain itu, insulin dapat dicirikan sebagai analog, didefinisikan sebagai
insulin yang memiliki asam amino dalam molekul insulin dimodifikasi untuk
memberikan tertentu physiochemical dan farmakokinetik keuntungan. Tabel 1
merangkum persiapan insulin yang tersedia(DiPiro, 2008) [5].
.
Farmakokinetik :

Kinetika injeksi subkutan tergantung pada onset,

puncak, dan durasi kerja, dan dirangkum dalam Tabel 2.


16

[Tabel 2]
Penyerapan insulin dari depot subkutan tergantung pada beberapa faktor,
termasuk: sumber insulin, konsentrasi insulin, aditif untuk persiapan insulin
(misalnya, seng, protamin, dll), alian darah ke daerah (menggosok daerah
injeksi, kulit meningkat suhu, dan latihan pada otot di dekat tempat suntikan
dapat meningkatkan penyerapan), dan tempat suntikan. Insulin umumnya
disuntikkan di (dari yang paling cepat untuk penyerapan paling lambat):
lemak perut, posterior lengan atas, daerah paha lateral, dan daerah bokong
superior. Insulin analog, seperti persiapan lainnya insulin, muncul untuk
mempertahankan profil kinetika di semua situs injeksi. U-500 insulin reguler
memiliki tertunda onset dan membutuhkan dosis yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan U-100 insulin. Penambahan protamine (NPH, NPL, dan
ASPART protamine suspensi) atau kelebihan seng (lente atau ultralente
insulin) akan menunda onset, puncak, dan durasi efek insulin. Variabilitas
dalam penyerapan, suspensi tidak konsisten insulin oleh pasien atau
perawatan kesehatan penyedia ketika menyusun dosis, dan tindakan insulin
yang melekat berdasarkan pada farmakokinetik dari semua produk dapat
berkontribusi pada labil respon glukosa. Semua suspensi insulin harus terbalik
atau digulung lembut setidaknya 10 kali untuk sepenuhnya resuspend insulin.
Waktu paruh dari (IV) injeksi intravena insulin regular adalah sekitar 9 menit.
Sehingga durasi efektif tindakan injeksi IV tunggal pendek, dan perubahan IV

17

tarif insulin akan mencapai stabil negara dalam sekitar 45 menit.


farmakokinetik intravena insulin larut lainnya (lispro, ASPART, glulisine, dan
bahkan glargine) muncul mirip dengan IV insulin biasa, tetapi mereka tidak
memiliki keunggulan dibandingkan IV insulin reguler dan lebih mahal.
Insulin terdegradasi dalam hati, otot, dan ginjal. penonaktifan hati adalah 20%
sampai 50% dalam sebuah bagian tunggal. Sekitar 15% sampai 20% insulin
metabolisme terjadi di ginjal. Ini sebagian dapat menjelaskan persyaratan
dosis insulin yang lebih rendah pada pasien dengan stadium akhir ginjal
penyakit (DiPiro, 2008) [5].
Sulfonilurea

[Tabel 3]

18

[Tabel 4]
Sulfonylureas mengerahkan aksi hipoglikemik dengan merangsang sekresi
pankreas insulin. Semua sulfonilurea sama-sama efektif dalam menurunkan
darah glukosa bila diberikan dalam dosis equipotent. Rata-rata, A1C yang
akan jatuh 1,5% sampai 2% dengan penurunan FPG dari 60 sampai 70 mg/dL
(3,3-3,9mmol / L). Efek samping yang paling umum adalah hipoglikemia,
yang lebih bermasalah dengan obat paruh panjang. Individu yang berisiko
tinggi termasuk orang tua, orang-orang dengan insufisiensi ginjal atau
penyakit hati lanjut, dan orang-orang yang melewatkan makanan, latihan
dengan penuh semangat, atau kehilangan sejumlah besar berat badan.
Peningkatan berat badan adalah umum; kurang efek samping umum termasuk
ruam kulit, hemolitik anemia, GI marah, dan kolestasis. Hiponatremia adalah
yang paling umum dengan klorpropamid tetapi juga telah dilaporkan dengan
tolbutamid. Dosis yang dianjurkan mulai (lihat Tabel 3) harus dikurangi di
pasien tua yang mungkin telah dikompromikan ginjal atau fungsi hati. Dosis
dapat dititrasi setiap 1 sampai 2 minggu (selang lagi dengan klorpropamid)
untuk mencapai tujuan glikemik (DiPiro, 2008) [5].

19

Short- Bertindak sekretagog Insulin (Meglitinides)


Mirip dengan sulfonilurea, meglitinides glukosa lebih rendah dengan
merangsang pancreatic sekresi insulin, tetapi pelepasan insulin adalah glukosa
tergantung dan berkurang pada konsentrasi glukosa darah rendah. Risiko
hipoglikemik tampaknya kurang dengan meglitinides daripada dengan
sulfonilurea. Rata-rata penurunan A1C adalah sekitar 0,8 % sampai 1%. Agen
ini dapat digunakan untuk memberikan peningkatan sekresi insulin saat
makan (jika diperlukan) pada pasien yang dekat untuk tujuan glikemik.
Mereka

harus

diberikan

sebelum

makan

(sampai

dengan

30menit

sebelumnya). Jika makan dilewati, obat juga harus dilewati.


Repaglinide (Prandin) dimulai pada 0,5-2 mg dengan dosis maksimum 4
mg per makan (sampai empat kali per hari atau 16 mg / hari).
Nateglinida (Starlix) dosis 120 mg tiga kali sehari sebelum makan. Dosis
dapat diturunkan sampai 60 mg per makan pada pasien yang dekat gawang
A1C ketika terapi dimulai (Michael, 2005) [15].
Biguanides
Metformin adalah satu-satunya biguanide tersedia di Amerika Serikat. Hal
ini meningkatkan sensitivitas insulin baik hati dan perifer (otot) jaringan. Ini
memungkinkan untuk meningkatkan penyerapan glukosa ke dalam jaringan
sensitif terhadap insulin ini. Metformin konsisten mengurangi tingkat A1C
1,5% menjadi 2%, tingkat FPG oleh 60 sampai 80 mg / dL, dan
mempertahankan kemampuan untuk mengurangi tingkat FPG ketika mereka
sangat tinggi (> 300 mg / dL). Ini mengurangi trigliserida plasma dan lowdensity lipoprotein (LDL) kolesterol sebesar 8% menjadi 15% dan sederhana
meningkatkan highdensity lipoprotein (HDL) kolesterol (2%). Itu tidak
menyebabkan hipoglikemia ketika digunakan sendiri. Metformin harus
dimasukkan dalam terapi untuk semua pasien DM tipe 2 (jika ditoleransi dan
tidak kontraindikasi) karena merupakan satu satunya antihyperglycemic lisan
obat terbukti mengurangi risiko kematian total dan kardiovaskular kematian.
20

Efek samping yang paling umum adalah sakit perut, perut marah, diare,
anoreksia, dan rasa logam. Efek ini dapat diminimalkan dengan mentitrasi
dosis perlahan dan mengambil dengan makanan(Guyton, 2008) [11].
Extended release metformin (Glucophage XR) dapat mengurangi beberapa
sisi GI efek. Asidosis laktat jarang terjadi dan dapat diminimalkan dengan
menghindarinya menggunakan pada pasien dengan insufisiensi ginjal
(kreatinin serum 1,4 mg / dL atau lebih besar pada wanita dan 1,5 mg / dL
atau lebih besar pada pria), jantung kongestif kegagalan, atau kondisi
predisposisi hipoksemia atau asidosis laktat yang melekat. Metformin harus
dihentikan 2 sampai 3 hari sebelum radiografi IV pewarna Studi dan ditahan
sampai fungsi ginjal normal telah didokumentasikan poststudy(Guyton, 2008)
[11]

.
Metformin Rapid-release biasanya dimulai pada 500 mg dua kali sehari

dengan makanan terbesar dan meningkat 500 mg mingguan sampai tujuan


glisemik atau 2.000 mg / hari tercapai. Metformin 850 mg dapat tertutup
sekali sehari dan kemudian meningkat setiap 1 sampai 2 minggu untuk
maksimal 850 mg tiga kali harian (2.550 mg / hari) (Guyton, 2008) [11].
Metformin Extended-release (Glucophage XR) dapat dimulai dengan
500mg dengan makan malam dan meningkat 500 mg mingguan untuk
maksimum dosis 2.000 mg / hari. Administrasi dua sampai tiga kali sehari
dapat membantu meminimalkan efek samping GI dan meningkatkan kontrol
glikemik. 750-mg tablet dapat dititrasi mingguan untuk dosis maksimal 2.250
mg / hari (Guyton, 2008) [11].
Thiazolidinediones (glitazones)
Agen-agen ini mengaktifkan PPAR-, faktor transkripsi nuklir penting di
diferensiasi sel lemak dan metabolisme asam lemak. PPAR- agonis
meningkatkan insulin sensitivitas dalam jaringan otot, hati, dan lemak secara
tidak langsung. Insulin seharusnya hadir dalam jumlah yang signifikan untuk
tindakan ini terjadi. Ketika diberikan selama 6 bulan, pioglitazone dan
21

rosiglitazone mengurangi nilai A1C sekitar 1,5% dan tingkat FPG oleh sekitar
60 sampai 70 mg /dL pada dosis maksimal. Efek glikemik penurun maksimal
mungkin tidak terlihat sampai 3 sampai 4 bulan terapi. Monoterapi sering
tidak efektif kecuali obat yang diberikan pada awal perjalanan penyakit saat
yang cukup -sel fungsi dan hiperinsulinemia yang hadir (Kumar, 2007) [12].
Pioglitazone menurunkan trigliserida plasma sebesar 10% sampai 20%,
sedangkan rosiglitazone cenderung tidak berpengaruh. Pioglitazone tidak
menyebabkan signifikan meningkatkan kolesterol LDL, sedangkan kolesterol
LDL dapat meningkatkan oleh 5% sampai 15% dengan rosiglitazone(Kumar,
2007) [12].
Retensi cairan dapat terjadi, mungkin sebagai akibat dari vasodilatasi
perifer dan / atau ditingkatkan sensitisasi insulin dengan peningkatan resultan
ginjal retensi natrium dan air. Sebuah anemia dilutional bisa terjadi, yang
tidak tidak memerlukan pengobatan. Edema dilaporkan di 4% sampai 5% dari
pasien saat glitazones digunakan sendiri atau dengan obat oral lainnya(Kumar,
2007) [12].
Pioglitazone (Actos) dimulai pada 15 mg sekali sehari . Dosis maksimum
adalah 45 mg/hari (Kumar, 2007) [12].
Rosiglitazone (Avandia) dimulai dengan 2 sampai 4 mg sekali sehari. Itu
dosis maksimum adalah 8mg/hari. Sebuah dosis 4 mg dua kali sehari dapat
mengurangi A1C oleh 0,2 % ke 0,3 % lebih dari dosis 8 mg diminum sekali
sehari (Kumar, 2007) [12].
Inhibitor glukosidase
Agen-agen ini mencegah pemecahan sukrosa dan kompleks karbohidrats
di usus kecil, sehingga memperpanjang penyerapan karbohidrat. Efek bersih
adalah pengurangan glukosa postprandial konsentrasi (40 sampai 50 mg/dL)
saat puasa kadar glukosa relative tanpa perubahan (Pengurangan sekitar 10
%). Khasiat pada kontrol glikemik sederhana, dengan Rata-rata penurunan
A1C 0,3 % menjadi 1 %. Kandidat yang baik untuk ini narkoba adalah pasien
22

yang dekat tingkat target A1C dengan mendekati normal FPG tingkat tetapi
tingkat postprandial tinggi. Efek samping yang paling umum adalah perut
kembung , kembung , perut tidak nyaman, dan diare , yang dapat
diminimalkan dengan lambat dosis titrasi. Jika hipoglikemia terjadi bila
digunakan dalam kombinasi dengan agen hipoglikemik (Sulfonylurea atau
insulin), glukosa oral atau parenteral (dextrose) produk atau glukagon harus
diberikan karena obat akan menghambat kerusakan dan penyerapan molekul
gula yang lebih kompleks (misalnya, sukrosa) (Sudoyo, 2009) [23].
Acarbose (Precose) dan Miglitol (Glyset) yang agak mirip sama. Terapi
ini dimulai dengan dosis yang sangat rendah (25 mg dengan satu kali sehari)
dan meningkat sangat bertahap (selama beberapa bulan) sampai maksimal 50
mg tiga kali setiap hari untuk pasien dengan berat 60 kg atau lebih, atau 100
mg tiga kali sehari selama pasien di atas 60 kg. Obat-obatan yang harus
diambil dengan gigitan pertama makan sehingga obat ini hadir untuk
menghambat aktivitas enzim (Sudoyo, 2009) [23].
Inhibitor dipeptidyl peptidase IV
Dipeptidyl peptidase-IV inhibitor memperpanjang waktu paruh dari
endogen diproduksi (GLP-1) Glucagon-Like-Peptide-1. Agen ini sebagian
mengurangi tidak tepat ditinggikan glukagon postprandially dan merangsang
glucose dependent sekresi insulin. Rata-rata penurunan A1C adalah sekitar 0,7
% sampai 1% pada dosis 100 mg / hari. Obat-obatan yang ditoleransi dengan
baik, berat badan netral, dan tidak menyebabkan sisi GI efek. Hipoglikemia
ringan tampaknya menjadi satu-satunya efek samping yang signifikan, namun
data keamanan jangka panjang terbatas (Dipiro, 2008) [5].
Sitagliptin (Januvia) biasanya tertutup pada 100 mg per oral sekali sehari.
pada pasien dengan gangguan ginjal , dosis harian harus dikurangi sampai 50
mg (kreatinin cukai 30-50 mL / menit) atau 25 mg (kreatinin < 30 mL / menit)
(Dipiro, 2008) [5].

23

Glycemic control algorithm for type 2 DM in children and adults

24

2.7 Contoh Kasus

A.B. is a retired 69-year-old man with a 5-year history of type 2 diabetes. Patients are
self-care management/lifestyle deficits,

limited exercise, high carbohydrate intake, no

SMBG program and poor understanding of diabetes.

Weight: 178 lb; height: 5'2";

Body mass index (BMI): 32.6 kg/m

Fasting capillary glucose: 166 mg/dl

25

Blood pressure: lying, right arm 154/96 mmHg; sitting, right arm 140/90
mmHg

Pulse: 88 bpm; respirations 20 per minute

Eyes: corrective lenses, pupils equal and reactive to light and accommodation,
Fundi-clear, no arteriolovenous nicking, no retinopathy

Heart: Rate and rhythm regular, no murmurs or gallops

Lab Results
Results of laboratory tests (drawn 5 days before the office visit) are as follows:
Glucose (fasting): 178 mg/dl (normal range: 65109 mg/dl)
Creatinine: 1.0 mg/dl (normal range: 0.51.4 mg/dl)
Blood urea nitrogen: 18 mg/dl (normal range: 730 mg/dl)
Sodium: 141 mg/dl (normal range: 135146 mg/dl)
Potassium: 4.3 mg/dl (normal range: 3.55.3 mg/dl)
Lipid panel
Total cholesterol: 162 mg/dl (normal: <200 mg/dl)
HDL cholesterol: 43 mg/dl (normal: 40 mg/dl)
LDL cholesterol (calculated): 84 mg/dl (normal: <100 mg/dl)
Triglycerides: 177 mg/dl (normal: <150 mg/dl)
Cholesterol-to-HDL ratio: 3.8 (normal: <5.0)
AST: 14 IU/l (normal: 040 IU/l)
ALT: 19 IU/l (normal: 540 IU/l)
Alkaline phosphotase: 56 IU/l (normal: 35125 IU/l)
A1C: 8.1% (normal: 46%)
Urine microalbumin: 45 mg (normal: <30 mg)
Assessment
Based on A.B.s medical history, records, physical exam, and lab results, he is
assessed as follows:
Uncontrolled type 2 diabetes (A1C >7%)
Obesity (BMI 32.4 kg/m2)
26

Hyperlipidemia (controlled with atorvastatin)


Peripheral neuropathy (distal and symmetrical by exam)
Hypertension (by previous chart data and exam)
Elevated urine microalbumin level
Self-care management/lifestyle deficits
Limited exercise
High carbohydrate intake
No SMBG program
Poor understanding of diabetes
Therapy
Patient should be given a brief and detailed counseling on the non-pharmacology
therapy methods such as glucose monitoring, exercise, diet and etc). A first-line
medication for this patient had to be targeted to improving glucose control without
contributing to weight gain. After reviewing these options and discussing the need for
improved glycemic control, the NP prescribed metformin, 500 mg twice a day.
Possible GI side effects and the need to avoid alcohol were of concern to A.B., but he
agreed that medication was necessary and that metformin was his best option. The NP
advised him to take the medication with food to reduce GI side effects. Increased the
dosage to 1,000 mg twice a day over a 4-week period. A.B. drew the line at starting
an antihypertensive medicationthe angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor
enalapril (Vasotec), 5 mg daily

27

BAB III
PENUTUP
Diabetes Mellitus adalah Suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh adanya peningkatan kadar glukosa dalam darah akibat
kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Klasifikasi Etiologis Diabetes
Melitus Menurut ADA 2003 terdriri atas Diabetes Melitus Tipe 1, Diabetes Melitus
Tipe 2 dan Diabetes Melitus Tipe Lain.
Secara epidemiologi DM seringkali tidak terdeteksi. Berbagai faktor genetik,
lingkungan dan cara hidup berperan dalam perjalanan penyakit diabetes. Ada
kecenderungan penyakit ini timbul dalam keluarga. Disamping itu juga ditemukan
perbedaan kekerapan dan komplikasi diantara ras, negara dan kebudayaan. DM tipe 2
akan meningkat menjadi 5 10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku ruraltradisional menjadi urban. Faktor resiko yang berubah secara epidemiologis adalah
bertambahnya usia, jumlah dan lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya
aktivitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan
beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2.
Tanpa intervensi yang efektif, kekerapan DM tipe 2 akan meningkat
disebabkan oleh berbagai hal misalnya bertambahnya usia harapan hidup,
berkurangnya kematian akibat infeksi dan meningkatnya faktor resiko yang
disebabkan oleh karena gaya hidup yang salah seperti kegemukan, kurang gerak/
aktivitas dan pola makan tidak sehat dan tidak teratur.
Kejadian DM diawali dengan kekurangan insulin sebagai penyebab utama. Di
sisi lain timbulnya DM bisa berasal dari kekurangan insulin yang bersifat relatif yang
disebabkan oleh adanya resistensi insulin (insuline recistance). Keadaan ini ditandai
dengan ketidakrentanan/ ketidakmampuan organ menggunakan insulin, sehingga
insulin tidak bisa berfungsi optimal dalam mengatur metabolisme glukosa.
Akibatnya, kadar glukosa darah meningkat (hiperglikemi).
Baik pada DM tipe 1 maupun pada DM tipe 2 kadar glukosa darah jelas
meningkat dan bila kadar itu melewati batas ambang ginjal, maka glukosa itu akan
28

keluar melalui urin. Mungkin inilah sebabnya penyakit ini disebut juga penyakit
kencing manis.
Diagnosa DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, tidak
dapat ditegakan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menentukan
diagnosa DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan
yang dipakai. Untuk diagnosa DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah kapiler.
Apabila glukosa darah tidak terkontrol dengan baik, beberapa tahun kemudian
hampir selalu akan timbul komplikasi. Komplikasi akibat diabetes dapat dibagi dalam
dua kelompok besar: a).Komplikasi akut dan b). Komplikasi kronis. Sedangkan,
prinsip pemberian obat/ pengobatan terhadap pasien DM terdiri atas 2 yaitu:
a. Pengobatan dengan insulin dan,
b. Pengobatan dengan Obat Hipoglikemik Oral.

29

DAFTAR PUSAKA
1

Bilous. 2002. Seri kesehatan bimbingan dokter pada diabetes. Jakarta : Dian
Rakyat.

Brunner and Suddarth. 2002. Patofisiologi Diabetes Melitus. Dalam: Cyber


Nurse. 2009. Konsep Diabetes Melitus.

Davey, Patrick. At a Galance Medicine. Jakarta : Erlangga. 2005. 266-269

Depkes RI, 2007. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit


Diabetes Mellitus. Jakarta. Departeman Kesehatan RI.

DiPiro J. Pharmacotherapy. New York: McGraw-Hill Medical; 2008.

Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Kepeawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta:
EGC. 2000.

Eroschenko V.P. Atlas Histologi di Fiore Edisi 9. Jakarta: EGC; 2003.

Foster DW. Diabetes Mellitus in Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit


Dalam. 13 ed. Jakarta: EGC; 1996

Greenstein, Ben. Endocrynology At a Galance. New York : Blackwell


Publishing. 2006. 85-86

10

Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. IV ed. Jakarta: balai penerbit FKUI; 2006

11

Guyton A. C., Hall J.E. Buku ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta:EGC; 2008

12

Kumar, Vinay, Cotran, R.S, & Stanley, S.L. Buku Ajar Patologi edisi 7 jilid 2.
Jakarta: EGC; 2007.

13

Mansjoer, Arif. Kapita Selekta kedokteran. Jakarta : Aesculapius. 2007.380387

14

Maulana Mirza. Mengenal Diabetes Melitus. Jogjakarta: Katahati. 2009.

30

15

Michael Brown, Andrew Hall, Karen G. Edmonson, and Peter J. Boyle.


Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Sixth Edition. United States
of America: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005.

16

Michael F. Greene, Caren G. Solomon dkk. 2005. Gestasional Diabetes


Melitus -- Time to Treat. Copyright 2005 Massachusetts Medical Society. .
[Accessed 4 Mei 2010]. Available from: http//www.nejm.org Newsroom,
2009. Diagnosa dan Medis Diabetes Melitus. . [Diakses pada tanggal 20
March 2016]

17

Pearce C.C. Anatomi dan Fisiologi untuk paramedis. Jakarta: Gramedia


PustakaUtama; 1992.

18

Price,

Sylvia

Anderson. Patofisologi

Konsep

Klinis

Proses-

ProsesPenyakit. Jakarta : EGC. 2005.1259-1268.


19

Prince, Sylvia A., Lorraine M.W. Patofisiologi edisi 6 jilid 2. Jakarta: EGC;
2005.

20

Sassen, J.J., dan Carter, B.L. 2005. Hypertension. Pharmacotherapy: A


Phatophysiologic Approach. Editor: Joseph Dipiro, Robert Talbert, Gary Yee,
Gary Matzke, Barbara Wells, dan Michael Posey. Edisi 8. New York:
Appleton and Lange. Hal: 186-217.

21

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia;dari Sel ke Sistem. Edisi 2.


Jakarta;EGC.

22

Smeltzer, S.C & Bare, B.G, 2002, Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume
2, Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk, EGC, Jakarta.

23

Sudoyo, Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta :


Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2007.1852-1865.

24

Suwitra K. Penyakit Ginjal kronik. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Pusat penerbitan Ilmu Penyakit dalam FK UI 2006.

25

Suyono S. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. IV


ed. Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu Penyakit dalam FK UI; 2006.

31

26

Tandra Hans. Segala Sesuatu Yang Harus Anda Ketahui Tentang Diabetes
Melitus. Jakarta: PT gramedia pustaka utama. 2008.

27

World Health Organization, 2011. Diabetes Mellitus. Available from:


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/index.html
Diakses: 18 March 2016

32

(Tanggal

LAMPIRAN

33

34

35

Anda mungkin juga menyukai