Disusun oleh:
Nama
NPM
260110132003
260110132004
ROSHINI MARIAPPAN
260110132006
TARRSINEY MARIAPPAN
260110132007
NISHANTINI SOMALU
260110132008
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....i
KATA PENGANTAR......ii
DAFTAR ISI....iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........1
1.2 Identifikas Masalah......1
1.3 Metode Penulisan.....2
1.4 Tujuan..2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Diabetes Mellitus.....3
2.2 Patofisiologi Diabetes Mellitus ...3
2.3 Manifestasi klinik terhadap Diabetes Mellitus.....6
2.4 Diagnosa terhadap Diabetes Mellitus.........11
2.5 Hasil terapi yang diinginkan terhadap Diabetes Mellitus...13
2.6 Penanganan terapi non farmakologi dan terapi farmakologi terhadap
Diabetes Mellitus ...................................13
2.7 Contoh kasus dan solusinya....25
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan........28
DAFTAR PUSTAKA..30
LAMPIRAN....33
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) yang umum dikenal sebagai kencing manis adalah
penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia (peningkatan kadar gula darah) yang
terus-menerus dan bervariasi, terutama setelah makan. Diabetes mellitus
merupakan keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik
akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada
mata, ginjal, dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dalam
pemeriksaan dengan mikroskop elektron (Bilous, 2002) [1].
Jumlah penduduk dunia yang sakit diabetes mellitus cenderung meningkat
dari tahun ke tahun. Hal ini karena dengan jumlah populasi meningkat, pola
hidup, prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik kurang(Smeltzer & Bare,
2002)[22]. Angka kesakitan dan kematian akibat DM di Indonesia cenderung
berfluktuasi setiap tahun sejalan dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang
mengarah pada makanan siap saji dan sarat karbohidrat (Depkes RI, 2006) [4].
Distribusi penyakit ini juga menyebar pada semua tingkatan masyarakat dari
tingkat sosial ekonomi rendah sampai tinggi, pada setiap ras, golongan etnis dan
daerah geografis. Gejala DM yang bervariasi yang dapat timbul secara perlahanlahan sehingga penderita tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum
yang lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang
menurun, gejala tersebut berlangsung lama tanpa memperhatikan diet, olah raga,
pengobatan sampai orang tersebut memeriksakan kadar gula darahnya. DM jika
tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada
berbagai organ tubuh seperti mata, jantung, ginjal, pembuluh darah kaki, syaraf
dan lain-lain.
1.2 Identifikasi Masalah.
Berdasarkan apa yang dikemukakan dalam latar belakang maka penulis menarik
suatu identifikasi masalah sebagai berikut:
1
1.2.1
1.2.2
1.2.3
1.2.4
1.2.5
1.2.6
1.2.7
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Diabetes Mellitus
2.1.1
makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap dalam darah dan
menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi
glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali
semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut dieksresikan
dalam urin (glukosuria). Eksresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan
elekrolit yang berlebihan, keadaan ini disebut diuresis osmotik. Pasien
mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi)
(Brunner and Suddarth, 2002) [2].
2.
Diabetes Tipe II
Terdapat 2 masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu:
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat
dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin
dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme
glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan
penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif
untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan (Brunner and
Suddarth, 2002) [2].
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan.
Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi
insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat
yang normal atau sedikit meningkat. Namun, jika sel-sel tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan
meningkat dan terjadi diabetes tipe II (Brunner and Suddarth, 2002) [2].
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas
diabetes tipe II, namun terdapat jumlah insulin yang adekuat untuk mencegah
pemecahan lemak dan produksi badan keton. Oleh karena itu, ketoasidosis
diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe
II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang
4
dinamakan
sindrom
hiperglikemik
hiperosmoler
nonketotik.
Akibat
perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang hipertonik.
5
ini
ditandai
dengan
ketidakrentanan/ketidakmampuan
organ
kalori hilang ke dalam air kemih, penderita mengalami penurunan berat badan.
Hal ini menyebabkan penderita sering kali merasakan lapar yang luar biasa
sehingga banyak makan (polifagi)(Anderson, 2005) [18].
Selain itu, menurut Hans Tandra (2008)[26], manifestasi klinis Diabetes
Melitus yaitu:
1. Berat Badan Turun Sebagai kompensasi dari dehidrasi dan banyak minum,
seseorang akan mulai banyak makan. Memang pada mulanya berat badan
makin meningkat, tetapi lama kelamaan otot tidak mendapat cukup
glukosa untuk tumbuh dan mendapatkan energi. Maka jaringan otot dan
lemak harus dipecah untuk memenuhi kebutuhan energi. Berat badan
menjadi turun, meskipun banyak makan. Keadaan ini makin diperburuk
oleh adanya komplikasi yang timbul kemudian (Ben, 2006) [9].
2. Lemah Keluhan diabetes dapat berupa rasa capek, lemah, dan nafsu
makan menurun. Pada diabetes, gula bukan lagi sumber energi karena
glukosa tidak dapat diangkut kedalam sel untuk menjadi energi.
3. Mata kabur Glukosa darah yang tinggi akan menarik pula cairan dari
dalam lensa mata sehingga lensa menjadi tipis. Mata seseorang pun
mengalami kesulitan untuk fokus dan penglihatan jadi kabur. Apabila
seseorang bisa mengontrol glukosa darah dengan baik, penglihatan bisa
membaik karena lensa kembali normal (Patrick, 2005) [3].
4. Luka yang sukar sembuh Penyebab luka yang sukar sembuh adalah:
a. infeksi yang hebat, kuman, atau jamur yang mudah tumbuh pada
kondisi gula darah yang tinggi;
b. kerusakan dinding pembuluh darah, aliran darah yang tidak lancar
pada kapiler (pembuluh darah kecil) yang menghambat penyembuhan
luka; dan
c. kerusakan saraf dan luka yang tidak terasa menyebabkan penderita
diabetes tidak menaruh perhatian pada luka dan membiarkannya
makin membusuk (Patrick, 2005) [3].
7
8. Mudah kena infeksi Leukosit (sel darah putih) yang biasa dipakai untuk
melawan infeksi tidak dapat berfungsi dengan baik jika glukosa darah
tinggi (Anderson, 2005) [18].
9. Gatal pada kemaluan Infeksi jamur juga menyukai suasana glukosa
tinggi. Vagina mudah terkena infeksi jamur, mengeluarkan cairan kental
putih kekuningan, serta timbul rasa gatal (Anderson, 2005) [18].
2.3.1
lelah, dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernapasan menjadi dalam
dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau
napas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis
diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam beberapa jam
setelah gejala muncul. Bahkan, setelah menjalani terapi insulin, penderita
diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali
penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakaan atau
penyakit yang serius (Ben, 2006) [9].
Dalam keadaan yang normal insulin mengendalikan glikogenolisis
(pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan
glukosa baru dari asam-asam amino dan substansi lain), namun pada penderita
defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut
menimbulkan hiperglikemia. Di samping itu akan terjadi pemecahan lemak
yang meningkatkan produksi bahan keton yang merupakan produk samping
pemecahan lemak (Marilynn, 2000) [6].
Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala-gejala selama
beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah maka timbullah gejala
berupa sering berkemih dan sering merasa haus. Jarang terjadi ketoasidosis.
Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya
terjadi akibat stres, misalnya infeksi atau obat-obatan) maka penderita akan
mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental,
pusing, kejang, dan suatu keadaan yang disebut koma hiperglikemikhiperosmolar nonketotik (Patrick, 2005) [3]
2.3.2
pada usia di atas 30 tahun, tetapi prevalensinya kini semakin tinggi pada
golongan anak-anak dan remaja (Arif, 2007) [13].
Gejala-gejala tersebut sering terabaikan karena dianggap sebagai keletihan
akibat kerja, jika glukosa darah sudah tumpah kesaluran urin dan urin tersebut
tidak disiram, maka dikerubuti oleh semut yang merupakan tanda adanya gula
(Aru, 2007) [23].
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin, yaitu : resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel.
Sebagai akibat terikatnya insulin pada reseptor tersebut, terjadi suatu
rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi
insulinpada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini.
Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulus
pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan
mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan
jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita teloransi glukosa terganggu,
keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa
akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun
demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan
akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II
(Anderson, 2005) [18].
Meskipun terhjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas
diabetes tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat
untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang
menyertainya, karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe
II. Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat
menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemih
hiperosmoler nonketotik (HHNK) (Hans,2008) [26].
10
dibandingkan dengan skala warna pengukuran. Tes darah juga dapat dilakukan
dengan alat photometer. Dengan alat ini proses diagnosis diabetes dapat diketahui
dengan cepat dan tepat. Tes ini dilakukan sesudah puasa (minimal selama 10 jam)
dan 2 jam sesudah makan. Berdasarkan hasil tes, jika seseorang mempunyai kadar
gula darah puasa lebih dari 110mg% dan kadar gula darah 2 jam sesudah makan
lebih dari 200 mg% maka dapat disimpulkan bahwa orang tersebut menderita
diabetes (Foster, 1996) [8].
C. Tes puasa glukosa plasma (FPG)
Uji FPG digunakan untuk mendiagnosis diabetes dan pradiabetes yang
biasanya dilakukan pada pagi hari. Berdasarkan hasil tes, jika seseorang
mempunyai kadar glukosa puasa 100 sampai 125 mg/dL berarti orang tersebut
memiliki gangguan glukosa puasa (IFG) atau disebut juga dengan gejala
pradiabetes. Selanjutnya jika seseorang mempunyai kadar glukosa puasa lebih
dari 126 mg/dL maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut mengidap penyakit
diabetes (Gustaviani, 2006) [10].
D.Uji toleransi glukosa oral (OGTT)
Dalam mendiagnosis penderita pradiabetes uji OGTT lebih diandalkan karena
lebih sensitif dibandingkan dengan uji FPG, Sebelum dilakukan uji OGTT,
terlebih dahulu pasien berpuasa minimal 8 jam. Selanjutnya pasien diukur kadar
glukosa plasma. Kemudian pasien minum cairan yang mengandung 75 gram
glukosa telah dilarutkan dalam air. Selang 2 jam kemudian pasien diukur kembali
kadar glukosa plasmanya. Berdasarkan hasil tes, jika seseorang memiliki kadar
glukosa darah antara 140 dan 199 mg/dL 2 jam setelah minum cairan tersebut,
maka dapat dikatakan orang tersebut memiliki gangguan toleransi glukosa (IGT)
atau disebut juga dengan gejala pradiabetes. Selanjutnya jika seseorang memiliki
kadar glukosa lebih dari 200 mg/dL, maka dapat dikatakan orang tersebut
mengidap penyakit diabetes (Suwitra, 2006) [24].
12
2.
Mengurangi gejala
3.
4.
Terapi Farmakologi
Sampai tahun 1995, hanya dua pilihan untuk pengobatan farmakologis
yang tersedia untuk pasien dengan diabetes; sulfonilurea (untuk tipe 2 DM
saja) dan insulin (untuk tipe 1 atau 2). Setelah tahun 1995, sejumlah agen
14
lisan baru dan insulin telah diperkenalkan di Amerika Serikat. Saat ini, lima
kelas dari agen oral disetujui untuk pengobatan diabetes tipe 2: -glukosidase
inhibitor,
biguanides,
proliferator
agonis
meglitinides,
(yang
reseptor
juga
sering
diaktifkan
Peroksisom
diidentifikasi
sebagai
menurut
mekanisme
aksi
mereka
penurun
glukosa.
lain
insulin
kerja-cepat,
telah
menerima
Food
and
Drug
untuk peptida aktif insulin dan C-peptida, yang dapat digunakan sebagai
penanda untuk insulin endogen produksi. Semua persiapan insulin yang
tersedia secara komersial mengandung hanya aktif peptida insulin (DiPiro,
2008) [5].
[Tabel 1]
Selain itu, insulin dapat dicirikan sebagai analog, didefinisikan sebagai
insulin yang memiliki asam amino dalam molekul insulin dimodifikasi untuk
memberikan tertentu physiochemical dan farmakokinetik keuntungan. Tabel 1
merangkum persiapan insulin yang tersedia(DiPiro, 2008) [5].
.
Farmakokinetik :
[Tabel 2]
Penyerapan insulin dari depot subkutan tergantung pada beberapa faktor,
termasuk: sumber insulin, konsentrasi insulin, aditif untuk persiapan insulin
(misalnya, seng, protamin, dll), alian darah ke daerah (menggosok daerah
injeksi, kulit meningkat suhu, dan latihan pada otot di dekat tempat suntikan
dapat meningkatkan penyerapan), dan tempat suntikan. Insulin umumnya
disuntikkan di (dari yang paling cepat untuk penyerapan paling lambat):
lemak perut, posterior lengan atas, daerah paha lateral, dan daerah bokong
superior. Insulin analog, seperti persiapan lainnya insulin, muncul untuk
mempertahankan profil kinetika di semua situs injeksi. U-500 insulin reguler
memiliki tertunda onset dan membutuhkan dosis yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan U-100 insulin. Penambahan protamine (NPH, NPL, dan
ASPART protamine suspensi) atau kelebihan seng (lente atau ultralente
insulin) akan menunda onset, puncak, dan durasi efek insulin. Variabilitas
dalam penyerapan, suspensi tidak konsisten insulin oleh pasien atau
perawatan kesehatan penyedia ketika menyusun dosis, dan tindakan insulin
yang melekat berdasarkan pada farmakokinetik dari semua produk dapat
berkontribusi pada labil respon glukosa. Semua suspensi insulin harus terbalik
atau digulung lembut setidaknya 10 kali untuk sepenuhnya resuspend insulin.
Waktu paruh dari (IV) injeksi intravena insulin regular adalah sekitar 9 menit.
Sehingga durasi efektif tindakan injeksi IV tunggal pendek, dan perubahan IV
17
[Tabel 3]
18
[Tabel 4]
Sulfonylureas mengerahkan aksi hipoglikemik dengan merangsang sekresi
pankreas insulin. Semua sulfonilurea sama-sama efektif dalam menurunkan
darah glukosa bila diberikan dalam dosis equipotent. Rata-rata, A1C yang
akan jatuh 1,5% sampai 2% dengan penurunan FPG dari 60 sampai 70 mg/dL
(3,3-3,9mmol / L). Efek samping yang paling umum adalah hipoglikemia,
yang lebih bermasalah dengan obat paruh panjang. Individu yang berisiko
tinggi termasuk orang tua, orang-orang dengan insufisiensi ginjal atau
penyakit hati lanjut, dan orang-orang yang melewatkan makanan, latihan
dengan penuh semangat, atau kehilangan sejumlah besar berat badan.
Peningkatan berat badan adalah umum; kurang efek samping umum termasuk
ruam kulit, hemolitik anemia, GI marah, dan kolestasis. Hiponatremia adalah
yang paling umum dengan klorpropamid tetapi juga telah dilaporkan dengan
tolbutamid. Dosis yang dianjurkan mulai (lihat Tabel 3) harus dikurangi di
pasien tua yang mungkin telah dikompromikan ginjal atau fungsi hati. Dosis
dapat dititrasi setiap 1 sampai 2 minggu (selang lagi dengan klorpropamid)
untuk mencapai tujuan glikemik (DiPiro, 2008) [5].
19
harus
diberikan
sebelum
makan
(sampai
dengan
30menit
Efek samping yang paling umum adalah sakit perut, perut marah, diare,
anoreksia, dan rasa logam. Efek ini dapat diminimalkan dengan mentitrasi
dosis perlahan dan mengambil dengan makanan(Guyton, 2008) [11].
Extended release metformin (Glucophage XR) dapat mengurangi beberapa
sisi GI efek. Asidosis laktat jarang terjadi dan dapat diminimalkan dengan
menghindarinya menggunakan pada pasien dengan insufisiensi ginjal
(kreatinin serum 1,4 mg / dL atau lebih besar pada wanita dan 1,5 mg / dL
atau lebih besar pada pria), jantung kongestif kegagalan, atau kondisi
predisposisi hipoksemia atau asidosis laktat yang melekat. Metformin harus
dihentikan 2 sampai 3 hari sebelum radiografi IV pewarna Studi dan ditahan
sampai fungsi ginjal normal telah didokumentasikan poststudy(Guyton, 2008)
[11]
.
Metformin Rapid-release biasanya dimulai pada 500 mg dua kali sehari
rosiglitazone mengurangi nilai A1C sekitar 1,5% dan tingkat FPG oleh sekitar
60 sampai 70 mg /dL pada dosis maksimal. Efek glikemik penurun maksimal
mungkin tidak terlihat sampai 3 sampai 4 bulan terapi. Monoterapi sering
tidak efektif kecuali obat yang diberikan pada awal perjalanan penyakit saat
yang cukup -sel fungsi dan hiperinsulinemia yang hadir (Kumar, 2007) [12].
Pioglitazone menurunkan trigliserida plasma sebesar 10% sampai 20%,
sedangkan rosiglitazone cenderung tidak berpengaruh. Pioglitazone tidak
menyebabkan signifikan meningkatkan kolesterol LDL, sedangkan kolesterol
LDL dapat meningkatkan oleh 5% sampai 15% dengan rosiglitazone(Kumar,
2007) [12].
Retensi cairan dapat terjadi, mungkin sebagai akibat dari vasodilatasi
perifer dan / atau ditingkatkan sensitisasi insulin dengan peningkatan resultan
ginjal retensi natrium dan air. Sebuah anemia dilutional bisa terjadi, yang
tidak tidak memerlukan pengobatan. Edema dilaporkan di 4% sampai 5% dari
pasien saat glitazones digunakan sendiri atau dengan obat oral lainnya(Kumar,
2007) [12].
Pioglitazone (Actos) dimulai pada 15 mg sekali sehari . Dosis maksimum
adalah 45 mg/hari (Kumar, 2007) [12].
Rosiglitazone (Avandia) dimulai dengan 2 sampai 4 mg sekali sehari. Itu
dosis maksimum adalah 8mg/hari. Sebuah dosis 4 mg dua kali sehari dapat
mengurangi A1C oleh 0,2 % ke 0,3 % lebih dari dosis 8 mg diminum sekali
sehari (Kumar, 2007) [12].
Inhibitor glukosidase
Agen-agen ini mencegah pemecahan sukrosa dan kompleks karbohidrats
di usus kecil, sehingga memperpanjang penyerapan karbohidrat. Efek bersih
adalah pengurangan glukosa postprandial konsentrasi (40 sampai 50 mg/dL)
saat puasa kadar glukosa relative tanpa perubahan (Pengurangan sekitar 10
%). Khasiat pada kontrol glikemik sederhana, dengan Rata-rata penurunan
A1C 0,3 % menjadi 1 %. Kandidat yang baik untuk ini narkoba adalah pasien
22
yang dekat tingkat target A1C dengan mendekati normal FPG tingkat tetapi
tingkat postprandial tinggi. Efek samping yang paling umum adalah perut
kembung , kembung , perut tidak nyaman, dan diare , yang dapat
diminimalkan dengan lambat dosis titrasi. Jika hipoglikemia terjadi bila
digunakan dalam kombinasi dengan agen hipoglikemik (Sulfonylurea atau
insulin), glukosa oral atau parenteral (dextrose) produk atau glukagon harus
diberikan karena obat akan menghambat kerusakan dan penyerapan molekul
gula yang lebih kompleks (misalnya, sukrosa) (Sudoyo, 2009) [23].
Acarbose (Precose) dan Miglitol (Glyset) yang agak mirip sama. Terapi
ini dimulai dengan dosis yang sangat rendah (25 mg dengan satu kali sehari)
dan meningkat sangat bertahap (selama beberapa bulan) sampai maksimal 50
mg tiga kali setiap hari untuk pasien dengan berat 60 kg atau lebih, atau 100
mg tiga kali sehari selama pasien di atas 60 kg. Obat-obatan yang harus
diambil dengan gigitan pertama makan sehingga obat ini hadir untuk
menghambat aktivitas enzim (Sudoyo, 2009) [23].
Inhibitor dipeptidyl peptidase IV
Dipeptidyl peptidase-IV inhibitor memperpanjang waktu paruh dari
endogen diproduksi (GLP-1) Glucagon-Like-Peptide-1. Agen ini sebagian
mengurangi tidak tepat ditinggikan glukagon postprandially dan merangsang
glucose dependent sekresi insulin. Rata-rata penurunan A1C adalah sekitar 0,7
% sampai 1% pada dosis 100 mg / hari. Obat-obatan yang ditoleransi dengan
baik, berat badan netral, dan tidak menyebabkan sisi GI efek. Hipoglikemia
ringan tampaknya menjadi satu-satunya efek samping yang signifikan, namun
data keamanan jangka panjang terbatas (Dipiro, 2008) [5].
Sitagliptin (Januvia) biasanya tertutup pada 100 mg per oral sekali sehari.
pada pasien dengan gangguan ginjal , dosis harian harus dikurangi sampai 50
mg (kreatinin cukai 30-50 mL / menit) atau 25 mg (kreatinin < 30 mL / menit)
(Dipiro, 2008) [5].
23
24
A.B. is a retired 69-year-old man with a 5-year history of type 2 diabetes. Patients are
self-care management/lifestyle deficits,
25
Blood pressure: lying, right arm 154/96 mmHg; sitting, right arm 140/90
mmHg
Eyes: corrective lenses, pupils equal and reactive to light and accommodation,
Fundi-clear, no arteriolovenous nicking, no retinopathy
Lab Results
Results of laboratory tests (drawn 5 days before the office visit) are as follows:
Glucose (fasting): 178 mg/dl (normal range: 65109 mg/dl)
Creatinine: 1.0 mg/dl (normal range: 0.51.4 mg/dl)
Blood urea nitrogen: 18 mg/dl (normal range: 730 mg/dl)
Sodium: 141 mg/dl (normal range: 135146 mg/dl)
Potassium: 4.3 mg/dl (normal range: 3.55.3 mg/dl)
Lipid panel
Total cholesterol: 162 mg/dl (normal: <200 mg/dl)
HDL cholesterol: 43 mg/dl (normal: 40 mg/dl)
LDL cholesterol (calculated): 84 mg/dl (normal: <100 mg/dl)
Triglycerides: 177 mg/dl (normal: <150 mg/dl)
Cholesterol-to-HDL ratio: 3.8 (normal: <5.0)
AST: 14 IU/l (normal: 040 IU/l)
ALT: 19 IU/l (normal: 540 IU/l)
Alkaline phosphotase: 56 IU/l (normal: 35125 IU/l)
A1C: 8.1% (normal: 46%)
Urine microalbumin: 45 mg (normal: <30 mg)
Assessment
Based on A.B.s medical history, records, physical exam, and lab results, he is
assessed as follows:
Uncontrolled type 2 diabetes (A1C >7%)
Obesity (BMI 32.4 kg/m2)
26
27
BAB III
PENUTUP
Diabetes Mellitus adalah Suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh adanya peningkatan kadar glukosa dalam darah akibat
kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Klasifikasi Etiologis Diabetes
Melitus Menurut ADA 2003 terdriri atas Diabetes Melitus Tipe 1, Diabetes Melitus
Tipe 2 dan Diabetes Melitus Tipe Lain.
Secara epidemiologi DM seringkali tidak terdeteksi. Berbagai faktor genetik,
lingkungan dan cara hidup berperan dalam perjalanan penyakit diabetes. Ada
kecenderungan penyakit ini timbul dalam keluarga. Disamping itu juga ditemukan
perbedaan kekerapan dan komplikasi diantara ras, negara dan kebudayaan. DM tipe 2
akan meningkat menjadi 5 10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku ruraltradisional menjadi urban. Faktor resiko yang berubah secara epidemiologis adalah
bertambahnya usia, jumlah dan lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya
aktivitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan
beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2.
Tanpa intervensi yang efektif, kekerapan DM tipe 2 akan meningkat
disebabkan oleh berbagai hal misalnya bertambahnya usia harapan hidup,
berkurangnya kematian akibat infeksi dan meningkatnya faktor resiko yang
disebabkan oleh karena gaya hidup yang salah seperti kegemukan, kurang gerak/
aktivitas dan pola makan tidak sehat dan tidak teratur.
Kejadian DM diawali dengan kekurangan insulin sebagai penyebab utama. Di
sisi lain timbulnya DM bisa berasal dari kekurangan insulin yang bersifat relatif yang
disebabkan oleh adanya resistensi insulin (insuline recistance). Keadaan ini ditandai
dengan ketidakrentanan/ ketidakmampuan organ menggunakan insulin, sehingga
insulin tidak bisa berfungsi optimal dalam mengatur metabolisme glukosa.
Akibatnya, kadar glukosa darah meningkat (hiperglikemi).
Baik pada DM tipe 1 maupun pada DM tipe 2 kadar glukosa darah jelas
meningkat dan bila kadar itu melewati batas ambang ginjal, maka glukosa itu akan
28
keluar melalui urin. Mungkin inilah sebabnya penyakit ini disebut juga penyakit
kencing manis.
Diagnosa DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, tidak
dapat ditegakan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menentukan
diagnosa DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan
yang dipakai. Untuk diagnosa DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah kapiler.
Apabila glukosa darah tidak terkontrol dengan baik, beberapa tahun kemudian
hampir selalu akan timbul komplikasi. Komplikasi akibat diabetes dapat dibagi dalam
dua kelompok besar: a).Komplikasi akut dan b). Komplikasi kronis. Sedangkan,
prinsip pemberian obat/ pengobatan terhadap pasien DM terdiri atas 2 yaitu:
a. Pengobatan dengan insulin dan,
b. Pengobatan dengan Obat Hipoglikemik Oral.
29
DAFTAR PUSAKA
1
Bilous. 2002. Seri kesehatan bimbingan dokter pada diabetes. Jakarta : Dian
Rakyat.
10
11
Guyton A. C., Hall J.E. Buku ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta:EGC; 2008
12
Kumar, Vinay, Cotran, R.S, & Stanley, S.L. Buku Ajar Patologi edisi 7 jilid 2.
Jakarta: EGC; 2007.
13
14
30
15
16
17
18
Price,
Sylvia
Anderson. Patofisologi
Konsep
Klinis
Proses-
Prince, Sylvia A., Lorraine M.W. Patofisiologi edisi 6 jilid 2. Jakarta: EGC;
2005.
20
21
22
Smeltzer, S.C & Bare, B.G, 2002, Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume
2, Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk, EGC, Jakarta.
23
24
Suwitra K. Penyakit Ginjal kronik. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Pusat penerbitan Ilmu Penyakit dalam FK UI 2006.
25
31
26
Tandra Hans. Segala Sesuatu Yang Harus Anda Ketahui Tentang Diabetes
Melitus. Jakarta: PT gramedia pustaka utama. 2008.
27
32
(Tanggal
LAMPIRAN
33
34
35