Anda di halaman 1dari 7

REYNOLD SIBURIAN

04011281520142
ALPHA 2015
DEFISIENSI ZAT BESI SEBAGAI PENYEBAB ANEMIA
Reynold Siburian
Zat besi (ferrum) merupakan mineral esensial yang berfungsi sebagai konstituen dari
hemoglobin, komponen sel darah merah. Sekitar 70% zat besi dalam tubuh kita berada
dalam bentuk senyawa heme seperti hemoglobin dan myoglobin, 29% dalam bentuk
ferritin dan hemosiderin, <1% dalam enzim yang mengandung heme, dan <0.2%
ditemukan terikat pada transferrin di dalam plasma. Zat besi di dalam hemoglobin
mempunyai sifat kimia yang memungkinkannya membawa oksigen dan melepaskannya
ke jaringan yang berada di seluruh tubuh. Setelah oksigen diberikan kepada sel-sel di
dalam jaringan, sel darah merah akan dibawa menuju paru-paru dimana karbon dioksida
akan bertukar dengan oksigen dan menghasilkan konsentrasi oksigen yang tinggi di
dalam sel darah merah. Sel darah merah yang berada di dalam darah lalu akan
melepaskan oksigennya lagi ke jaringan di seluruh tubuh. Besi di dalam haemoglobin
berada di tengah cincin porphyrin yang merupakan pembentuk gugus heme. Dikarenakan
terdapat empat gugus heme yang membentuk hemoglobin, ini berarti ada empat oksigen
yang dapat diikat oleh zat besi. Sekitar 70% dari zat besi ditemukan di gugus heme
hemoglobin dan 25% disimpan di dalam tubuh sebagai cadangan zat besi yang dusebut
dengan ferritin 3. Ferritin ini terbentuk jika ada kelebihan zat besi daripada yang
dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin 4. Pria dewasa memiliki sekitar 1000 mg ferritin,
yang cukup untuk tiga tahun, sedangkan wanita memiliki 300 mg cadangan zat besi yang
hanya cukup untuk enam bulan. Saat cadangan zat besi turun, kondisi ini dikenal dengan
nama deplesi zat besi. Jika zat besi turun lebih jauh lagi, kondisi ini disebut dengan
eriyhropoesis defisiensi besi dan jika turun lebih jauh lagi maka akan mengalami anemia
defisiensi besi. Penyebab utama kehilangan zat besi adalah kehilangan darah.
Khususnnya pada wanita yang mengalami menstruasi, maka perlu untuk meningkatkan
asupan zat besi. Pada pria dan wanita postmenopause, penyebab defisiensi zat besi
umumnya pendarahan gastrointestinal. Penyebab lain seperti pendarahan genitourinari
dan pendarahan traktus respiratorius juga meningkatkan kebutuhan akan zat besi.

Zat besi merupakan unsur yang berpartisipasi dalam banyak fungsi metabolik.
Zat besi berpartisipasi dalam pembentukan elemen esensial tubuh, seperti myoglobin,
cytochrome, peroksidase dan katalase. Maka dari itu penting untuk mengerti bagaimana
zat besi digunakan dalam tubuh. Zat besi di dalam tubuh orang dewasa berkisar 3-4 g.
Besi termasuk salah satu substansi yang sulit penyerapannya di dalam tubuh. Makanan
kaum barat umumnya mengandung sekitar 7mg zat besi per 1000kcal; namun hanya 1-2
mg yang diabsorbsi. Hal ini dikarenakan efisiensi zat besi dalam penyerapan tubuh
hanya 10%. Karena tubuh kita membutuhkan zat besi sekitar 1.5 mg, berarti kita harus
mengonsumsi makanan yang mengandung zat 15 mg zat besi. Efisiensi dari zat besi
sangat rendah bila kita bandingkan dengan vitamin A, D, dan K yang penyerapannya
cukup tinggi yaitu 50-80% (Boron,2012) 1. Tentunya hal ini masuk akal karena zat besi
dalam kadar eksesif dapat membentuk radikal bebas yang berbahaya bagi tubuh
(Abbaspour,et.al., 2014)2. Maka dari itu regulasi zat besi sangat ketat agar terhindar dari
defisiensi zat besi maupun kelebihan zat besi. Makanan umumnya memiliki dua jenis zat
besi yaitu zat besi heme dan non heme. Zat besi heme didapatkan dari daging dan ikan
dengan tingkat bioavaibilitas yang tinggi. Enzim-enzim pankreas akan mencerna heme
untuk melepaskannya dari molekul globin di dalam lumen usus. Zat besi lalu diserap
kedalam enterosit sebagai metalloporpyrin dan didegradasi oleh heme oxygenase-1 untuk
melepaskan zat besi nonheme. Selanjutnya, zat besi diekspor oleh ferroportin yang
terletak di basolateral enterosit. Zat besi non heme, yang ditemukan di sereal, buncis, dan
beberapa sayur-sayuran lebih susah untuk diserap dan bioavaibilitasnya rendah. Zat besi
nonheme berada dalam bentuk ferri (Fe3+) atau ferro (Fe2+). Bentuk ferro merupakan
bentuk yang dapat diserap oleh usus. Penyerapan zat besi umumnya terjadi diduodenum
dan jejenum proksimal. Pada brush border dari vili-vili usus, yaitu pada sel absorbtif
(apical cell), besi ferri diubah menjadi bentuk yang dapat diserap usus, yaitu ferro, oleh
enzim ferrireduktase. Transpor membran difasilitasi oleh divalent metal transporter.
Setelah memasuki sitoplasma, barulah zat bsi diubah dalam bentuk ferritin sebagai
cadangan zat besi, dan sebagian lagi dilewatkan melalui basolateral transporter ke dalam
kapiler usus. Lalu akan terjadi konversi dari ferri ke ferro oleh enzim ferooksidase. Dan
akhirnya diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus. Besi non heme pada sisi lain akan
berikatan dengan apotransferin membentuk transferin besi yang akan masuk ke dalam sel

mukosa. Besi non heme akan dilepaskan ke dalam lumen usus dan apotransferin akan
kembali dalam lumen usus
Anemia defisiensi zat besi merupakan jenis anemia yang paling umum dijumpai.
World Health Organization (WHO) melaporkan anemia defisiensi zat besi terjadi pada
30% penduduk dunia. Sekitar 5% dan 2% masing-masing pria dan wanita Amerika,
memiliki anemia defisiensi zat besi. Penyebabnya dapat berupa rendahnya asupan besi,
gangguan absorbsi, serta kehilangan zat besi akibat pendarahan menahun. Dikarenakan
zat besi merupakan komponen pembentuk hemoglobin yang berfungsi membawa oksigen
pada darah, anda akan menemukan penderita anemia defisiensi zat besi untuk cepat lelah
dan pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan dibawah kuku. Selain itu gejala khas
dari anemia defisiensi zat besi adalah koilonychia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis,
dan disfagia 5. Anemia defisiensi zat besi juga memiliki karakteristik umum seperti sel
darah merah hipokromik. Sel darah merah hipochromik merupakan sel darah merah yang
memiliki kadar hemoglobin kurang dari normal sehingga warnanya agak pucat. Eritrosit
hypochrommic terjadi karena tidak adekuatnya transferrin di dalam darah. Normalnya,
transferrin dibentuk oleh apotransferrin, yaitu gabungan zat besi dengan beta globulin
yang terdapat dalam plasma darah. Lalu transferrin dengan zat besinya akan masuk ke
erythroblast secara endositosis dan memberikan suplai zat besi ke mitokondira dimana
heme disintesis. Namun zat besi yang tidak adekuat menyebabkan transferrin yang
dibentuk tidak adekuat. Sehingga heme yang dibentuk oleh mitokondria, sebagai salah
satu unsur hemoglobin, tidak terbentuk cukup dan menyebabkan kurangnya hemoglobin
di dalam darah. Selain itu, karekteristik lain dari anemia defisiensi zat besi adalah sel
darah merah microcytic. Eritrosit microcytic atau disebut juga dengan microeritrosit
memiliki diameter yang kecil dibandingkan dengan sel eritrosit normal. Penyebab anemia
defisiensi zat besi pada negara-negara berkembang adalah biovaibilitas zat besi yang
rendah. Namun, pada negara maju, penyebab paling masuk akal adalah penurunan
absorbsi besi dan kehilangan darah. Penurunan absorbsi besi dapat disebabkan oleh
atrophic gastritis.
Anemia defisiensi zat besi dapat dideteksi dengan dua cara, yaitu berdasarkan
pemeriksaan laboratorium dan sumsum tulang. Deteksi anemia yang dilakukan

dengan pemeriksaan laboratorium didasarkan pada konsentrasi hemoglobin, penentuan


indeks eritrosit, pemeriksaan hapusan darah perifer, luas distribusi sel darah merah,
eritrosit protoporfirin, besi serum, serum transferrin, saturasi transferrin dan serrum
feritin. Beberapa diantaranya akan dijelaskan pada kalimat selanjutnya. Pemeriksaan
yang paling umum dilakukan adalah pemeriksaan hemoglobin. Pemeriksaan ini
mengecek kadar hemoglobin yang merupakan protein pembawa oksigen dan dilakukan
dengan menggunakan alat sederhana seperti HB sachli. Konsentrasi hemoglobin normal
bervariasi pada tiap orang dewasa. Namun, secara umum disetujui bahwa kadar normal
hemoglobin berkisar antara 13.8-17.2 g/dl untuk pria dan 12.1-15.1g/dl untuk wanita.
Keadaan anemia menurut World Health Organization baru terjadi jika kadar hemoglobin
kurang dari 7.7 mmol/l (13g.dl) pada pria dan 7.4 mmol/l (12g/dl) pada wanita.
Pemeriksaaan sumsum tulang, yaitu pemeriksaan yang dianggap standar emas (gold
standard) dalam mengecek zat besi, didasarkan oleh ada tidaknya sel darah merah
retikuler yang ditemukan.5 Sel darah merah retikuler merupakan sel darah merah imatur
yang dikeluarkan jika kekurangan sel darah merah 4. Namun, kekurangan zat besi
menyebabkan sel darah merah jenis ini tidak dapat diproduksi. Iron studies diagnostic
untuk anemia defisiensi zat besi terdiri atas kadar rendah hemoglobin (< 7.7 mmol/l
(13g/dl) pada pria dan <7.4 mmol/l (12g/dl) pada wanita.), rendahnya serum zat besi
(<7.1 g/l). remdahnya serum ferritin (<30ng.l), saturasi transferrin yang rendah (<15%),
dan tingginya kapasitas total pengikatan zat besi (>13.1 mol/l). Mekanisme pemeriksaan
lain seperti pemeriksaan dengan penentuan indeks eritrosit menggunakan flowcytometri
atau rumus mean corpusculer volume, mean corpuscle haemoglobin dan mean
corpuscular hemoglobin concentration. Pemeriksaan dengan hapusan perifer dilihat
dengan menggunakan perbesaran 100 kali pada mikroskop dengan memperhatikan
ukuran, inti, dan sitoplasma sel. Pemeriksaan eritrosit protoporfirin menggunakan alat
yaitu fluorometer. Sedangkan pemeriksaan serum feritin, merupakan paramater
terpercaya dalam menentukan cadangan zat besi. Walaupun begitu, pemeriksaan ini
menunjukkan variabilitas yang tinggi sehingga tidak dapat digunakan untuk menentukan
derajat keparahan kekurangan zat besi.

Ada beberapa cara yang digunakan sebagai pencegahan anemia defisiensi besi,
seperti suplementasi dan fortifikasi. Suplementasi oral merupakan yang paling populer
karena aman, murah, dan efektif dalam mengembalikan keseimbangan zat besi.
Suplementasi dibagi atas dua kategori, yaitu suplemen dengan zat besi ferro dan zat besi
ferri. Dikarenakan ferro merupakan bentuk zat besi yang mudah diabsorbsi oleh tubuh,
maka suplemen mengandung ferro paling sering diberikan. Suplemen ferro dibagi
menjadi tiga yaitu ferrous fumarate, ferrous sulfate, dan ferrous gluconate, dan
mengandung masing-masing 33%, 20% dan 12% zat besi (NIH, 2010)7. Rekomendasi
dosis yang direkomendasikan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
berkisar antara 150 mg. hari sampai 180mg/hari (CDC,1998) 8. Suplementasi zat besi
secara oral umumnya dilakukan pada bayi, anak- anak dan remaja. Lansia tidak
menggunakan supplementasi zat besi karena sering kali mereka mengalami intoleransi
terhadap supplemen zat besi. Namun suplementasi zat besi memiliki efek samping seperti
mual, pusing, muntah dan tidak nyaman pada perut dengan frekuensi yang meningkat
seiring penambahan dosis. Dalam kasus menghadapi pasien dengan zat besi hilang
melebihi kemampuan absorbsi usus, suplemen oral zat besi saja tidak cukup. Maka pada
saat ini klinisi yang mengobati mungkin dapat beralih pada terapi zat besi intravenous.
Namun kelemahan dari terapi zat besi intravenous ini adalah kurangnya detail seperti
berapa dosis yang diberikan dan berapa frekuensinya. Hal ini membuat klinisi yang
menghadapi pasien dengan kehilangan zat besi melebihi kemampuan absorbsi ususnya,
seperti pada pendarahan gastrointestinal, ragu-ragu dalam memberikan terapi ini.
Akibatnya banyak pasien dengan pendarahan gastrointestinal ini mengalami kerusakan
pada organ karena anemia kronis. Fortifikasi makanan dapat dilakukan dengan
menambahkan Sodium iron ethylenediaminetetraacetic acid (NaFeEDTA) atau lebih
dikenal dengan nama iron-EDTA. Dibandingkan dengan zat lain, iron EDTA lebih mudah
diserap tubuh serta tidak mudah dihalangi oleh inhibitor zat besi seperti kalsium yang
banyak terdapat pada susu. Selain itu, iron EDTA juga stabil secara kimiawi, sehingga
mampu bertahan walaupun pada penyimpanan panjang. Kekhawatiran bawha iron EDTA
dapat menghambat bioavaibilitas mineral lain ternyata tidak tepat. Pada suatu studi, kadar
zat bsi dalam darah malah naik setelah 30 minggu mengonsumsi gula fortifikasi ironEDTA.

Peta teori
Anemia defisiensi besi adalah penyakit paling umum dijumpai yang dapat diketahui dengan dua
metode pemeriksaaan, disebabkan oleh kekurangan zat besi yang memiliki banyak fungsi
penting didalam tubuh, serta dapat diobati dengan suplemen atau fortifikasi.

mineral esensial
fungsi metabolik
efisiensi zat besi
zat besi heme dan non heme.
Bioavaibilitas
Anemia defisiensi zat besi
pemeriksaan laboratorium dan sumsum tulang.
hemoglobin
Pengobatan anemia defisiensi besi

pencegahan anemia defisiensi besi


suplementasi
fortifikasi

karakteristik umum anemia defisiensi besi

Daftar Pustaka

1. Boron, Walter F., Boulpaep, Emile L. 2012. Medical Physiology. Elsevier: Philadelphia
2. Abbaspour, Nazanin., Hurrel, Richard., 2014., Kelishad, Roya. Review on Iron and Its
Importance on Health. US National Library of Medicine
3. World Health Organization. 2001. Iron Deficiency Anaemia Assesment, Prevention, and
Control. online@http://www.who.int/ (diakses 17 Maret 2016)
4. Silverthorn, Dee Unglaub. 2013. Human Physiology. Pearson.
5. Ganie, RA. 2012. Anemia Defisiensi Zat Besi. Universitas Sumatera Utara
6. Schrier, Stanley L, dkk. Treatment of Iron Deficiency Anemia in Adults. online@
http://www.uptodate.com/contents/treatment-of-iron-deficiency-anemia-in-adults
(diakses 17 Maret 2016)
7. National Instittues of Health (NIH). 2010. Dietary Supplement Fact Sheet: Iron.
Betsheda, MD: Office of Dietary Supplements. National Institutes of Health
8. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 1998. Recommendations to prevent
and control iron deficiency in the United States. PubMed

Anda mungkin juga menyukai