Anda di halaman 1dari 147

Pengelolaan Kawasan

Konservasi Laut
(Bunga Rampai)
Editor:
Jamaluddin Jompa
Natsir Nessa
Muhammad Lukman

Kontributor:
Andriani|Dining|Jamaluddin Jompa |Muhammad
Lukman | Naomi| Natsir Nessa Rahmi | Sudirman |
Syamsu Alam Ali |
Yusran Nur Indar dkk

Daftar Isi
Daftar Isi .......................................................................................................................................... i
URGENSI KONSERVASI LAUT (KAWASAN DAN JENIS) DALAM
PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI INDONESIA .............................................. 1
Natsir Nessa, Jamaluddin Jompa, Muhammad Lukman1
PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI YANG EFEKTIF DAN ADAPTIF ... 7
Yusran Nur Indar dan Jamaluddin Jompa ............................................................................... 7
KONEKTIVITAS KAWASAN KONSERVASI ................................................................... 35
Jamaluddin Jompa et al. ............................................................................................................ 35
STATUS KEBERLANJUTAN PENYU LAUT DI PULAU KAPOPOSANG .............. 14
Syamsu Alam Ali dan Deasy Ariani ........................................................................................ 14
MODEL-MODEL PENGELOLAAN KONSERVASI ....................................................... 33
Dining, Jamaluddin Jompa dkk ............................................................................................... 33
PERIKANAN DAN KONSERVASI: SINERGIS ATAU KONTRADIKTIF ? ............. 54
Sudirman dan Natsir Nessa ..................................................................................................... 54
KAWASAN KONSERVASI LAUT DAN PEMULIHAN KEANEKARAGAMAN
LARVA ........................................................................................................................................... 68
Muhammad Lukman, Andriani Nasir. ................................................................................... 68
KAWASAN KONSERVASI LAUT DAN PREVALENSI PENYAKIT KARANG DI
INDONESIA ................................................................................................................................. 83
Rahmi, Jamaluddin Jompa dkk. .............................................................................................. 83

URGENSI KONSERVASI LAUT (KAWASAN DAN JENIS)


DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI
INDONESIA
Natsir Nessa, Jamaluddin Jompa, Muhammad Lukman

Pendahuluan

Memimpikan Indonesia di tahun 2020 memiliki kawasan konservasi dengan luas


20 Jt Ha merupakan sebuah keniscayaan yang akan segera terwujud. Hingga akhir
tahun 2012, KKP telah merilis 10,7 Jt Ha kawasan konservasi (KKP, 2012). Luas
KKP itu sudah menjadi 1.84% dari luas lautannya, 580 Jt Ha (KKP, 2009).
Indonesia dengan kawasan konservasi itu menjadi cita-cita besar bagi sebuah
negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau 17,540 dan panjang garis
pantai 95,000 Km yang membentang dari ujung barat ke timur. Ini yang
mendapat apresiasi dari berbagai stakeholder baik . dalam negeri maupun
komunitas luar negeri. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia
dengan jumlah pulau 17.540 dan panjang garis pantai 95 ribu kilometer yang
membentang dari ujung barat ke timur. Karunia sumber daya alam yang
melimpah dan keanekaragaman hayati yang besar membuat Indonesia menjadi
bangsa yang diperhitungkan di dunia. Indonesia menjadi Center of Excellent
keanekaragaman sumber daya hayati. Hal tersebut didukung oleh potensi kelautan
dan perikanan, pertambangan, perhubungan laut, industri maritime, ekowisata,
jasa kelautan dan energy sumber daya mineral yang yang melimpah. Sumber
daya hayati terumbu karang mencapai 500 jenis spesies dan spesies ikan 2000
jenis, budidaya (12,4 juta hektar), perikanan tangkap (6,8 juta ton), cadangan
minyak bumi (9,1 milyar barel), cekungan minyak dan gas/migas sampai 70
persen. Potensi tersebut akan memberi manfaat jika dibarengi dengan
pengembangan konservasi sumber daya ikan, wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil
Pendayagunaan potensi sumber daya laut terus berkembang. Berbagai kegiatan
dilakukan untuk mengeksplorasi sumber daya laut tersebut. Data BPS 2014
menyebutkan bahwa potensi kelautan memberikan kontribusi terhadap Produk
Domesti Bruto tahun 2013 sebesar 3,21 % atau 291,799 trilliun rupiah. Upaya
peningkatan pendapatan dari sector kelautan terus ditingkatkan dan akan
memberi dampak positif terhadap akses pertumbuhan ekonomi di bidang

kelautan. Disisi lain, pembukaan lapangan pekerjaan akan meningkatkan


penyerapan tenaga kerja di sector kelautan.
Tabel 1. Jenis dan Luas Kawasan Konservasi Perairan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

Lokasi/ Nama KKP


KKPN/TNP Laut Sawu, NTT
KKPN/TWP Gili Matra, NTB
KKPN/TWP Laut Banda, Maluku
KKPN/TWP P. Pieh, Sumbar
KKPN/TWP Padaido
KKPN/TWP Kapoposang, Sulsel
KKPN/SAP Aru Tenggara, Maluku
KKPN/SAP Raja Ampat, Papua
Barat
KKPN/SAP Waigeo, Papua Barat
KKPD/Raja Ampat, Papua Barat
KKPD/Sukabumi, Jawa Barat
KKPD/Berau, Kaltim
KKPD/Pesisir Selatan, Sumbar
KKPD/Bonebolango, Gorontalo
KKPD/Batang, Jawa Barat
KKPD/Lampung Barat, Lampung
KKPD/Alor, NTT
KKPD/Indramayu, Jawa Barat
KKPD/Batam, Kepri
KKPD/Bintan, Kepri
KKPD/Natuna, Kepri
KKPN/Anambas, Kepri
KKP Lainnya (54-12=42 KKPD)
Jumlah

Luas (Ha)
3,521,130.01
2,954.00
25,000.00
39,900.00
183,000.00
50,000.00
114,000.00
60,000.00
271,630.00
970,900.00
1,771.00
1,271,749.00
733.00
2,460.00
6,800.00
14,866.87
400,008.30
720.00
66,867.00
472,905.00
142,997.00
1,842,960.27
1,262,686.20
10,703,537.65

Keterangan
KKJI+UPT
KKJI+UPT
KKJI+UPT
KKJI+UPT
KKJI+COREMAP+UPT
KKJI+COREMAP+UPT
KKJI+UPT
KKJI+COREMAP+UPT
KKJI+COREMAP+UPT
KKJI+COREMAP+UPT+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA

Sumber. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, 2012


Mendorong pertumbuhan ekonomi dari sector kelautan seperti pisau bermata
dua. Pemanfaatan sumber daya yang tidak mengacu pada prinsip keberlanjutan
dan mengabaikan asas pelestarian menjadi ancaman serius. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Menurut Selig and Bruno (2010) bahwa segala kegiatan
manusia akhirnya mempengaruhi struktur bangunan terumbu karang. Aktivitas

manusia pada akhirnya akan menghasilkan pencemaran dan berdampak pada


kerusakan sumber daya hayati laut. Sumber pencemaran bersumber dari
pembangunan kawasan pemukiman, pertambangan, pelayaran, industri perikanan,
budidaya. Selain itu, aktivitas masyarakat pesisir yang melakukan alih fungsi lahan
mangrove menjadi lahan tambak dan kawasan pemukiman membuat kawasan
pesisir makin terdegradasi.
Penyebab kerusakan sumber daya hayati laut juga
akibat dari penangkapan ikan yang berlebihan (over-exploitation). Laju penangkapan
ikan yang berlebihan mengakibatkan stok populasi ikan menurun. Kehidupan
nelayan akan mengalami kerugian akibat sumber daya ikan yang makin berkurang.
Berkurangnya sumber pendapatan ekonomi akan mengakibatkan nelayan mencari
ikan di wilayah lain. Sumber daya yang makin berkurang itu membuat nelayan
memilih jalan singkat menangkap ikan. Penangkapan secara destruktif menjadi
pilihan yang cepat dan menghasilkan ikan yang banyak. Namun demikan, cara
tersebut mengakibatkan kerusakan habitat ikan dan lingkungan laut semakin
meningkat.
Lemahnya peran pemerintah mendorong kebijakan pemanfaatan sumber daya
alam menjadi celah bertambahnya tingkat kerusakan. Apalagi masyarakat pesisir
yang makin terhimpit secara ekonomi. Keadaan ini membuat kesadaran
mengelola lingkungan pesisir semakin rendah. Situasi itu kemudian mendorong
masyarakat pesisir terjebak pada ruang kemiskinan. Hasil kajian Kementerian
Kelautan dan Perikanan menyebutkan bahwa penduduk miskin di Indonesia
kebanyakan di wilayah pesisir dengan jumlah 7,9 juta atau 25 persen dari
penduduk miskin di Indonesia. (Kabarbisnis.com, 30 Mei 2014). Pada saat
bersamaan, kerusakan lingkungan pesisir dan laut juga terus meningkat. Hasil
kajian Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan sekitar 30,4 persen
kondisi terumbu karang mengalami kerusakan. Hanya 5,29 persen yang berada
dalam kondisi baik. (Koran Sindo, 16 April 2014).
Membumikan Konservasi Laut Upaya penyelamatan ekosistem dan konservasi
laut sudah dilakukan sejak dahulu. Melalui program Marine and Coastal
Resources Managemen Program (MCRMP), pemerintah mendorong pengelolaan
sumber daya alam yang bertujuan pada pelestarian ekosistem dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat pesisir. Setelah program MCRMP, pemerintah
Indonesia kemudian memprakarsai program COREMAP (Coral Reef
Rehabilitation and Management Program), atau Program Rehabilitasi dan
Pengelolaan Terumbu Karang. Program Coremap I dan Coremap II dilaksanakan
untuk mendorong peningkatan rehabilitasi, melindungi dan mengelola terumbu
karang secara lestari. Program Coremap menggambarkan peningkatan
perlindungan kawasan yang cukup signifikan. Seiring dengan itu, nilai manfaat
program Coremap secara ekonomi dirasakan oleh masyarakat pesisir. Walhasil

masyarakat semakin menyadari pentingnya upaya perlindungan terhadap


ekosistem laut. Meski demikian, ancaman kerusakan ekosistem laut juga makin
serius. Melihat dampak yang akan ditimbulkan membuat Indonesia dan negaranegara yang berkepentingan dengan laut menginisiasi pertemua kelautan dunia.
Indonesia kemudian mejadi tuan rumah World Ocean Conference dan Coral
Triangle Initiative (CTI) Summit 2009. Dukungan dunia internasional dibuktikan
dengan hadirnya 121 negara. Sementara CTI Summit secara khusus dilakukan
oleh negara negara yang mencakup segitiga terumbu karang dunia yakni Filipina.
Indonesia, Papua Nugini, Malaysia, Timor Leste, Kepulauan Solomon, utusan
khusus pemerintah Australia dan Amerika Serikat. CTI merupakan upaya kerja
sama negara-negara di segitiga karang dunia untuk melakukan pengelolaan
sumber daya laut yang berkelanjutan dengan mewujudkan kawasan Kawasan
Perlindungan Laut (Marine Protected Area-MPA). Kawasan ini merupakan pusat
keanekaragaman hayati di dunia yang memiliki pengaruh terhadap keseimbangan
ekosistem secara global. Setiap negara sangat berkepentingan agar kawasan ini
tetap lestari, dengan 500 spesies karang, 3.000 spesies ikan dan kawasan hutan
mangrove yang paling besar di dunia, kawasan CTI menjadi harapan manusia di
masa mendatang. Dukungan internasional untuk meningkatkan pengelolaan laut
yang berkelanjutan melalui penetapan kawasan konservasi laut terus berkembang.
Harapannya konservasi laut mampu memberikan manfaat secara ekonomi kepada
masyarakat pesisir. Untuk mencapai hal itu, pemerintah bersama bersama Deputy
Administrator of United States Agency for International Development (USAID),
secara resmi menyatakan dimulainya program Marine Protected Areas
Governance (MPAG) di Indonesia.
MPA bukan hanya tentang melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati
laut, tetapi juga untuk mendukung perikanan berkelanjutan, ekowisata bahari, dan
keperluan lainnya untuk kesejahteraan masyarakat pesisir. Dukungan terhadap
MPA cukup kuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, dan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.17 / MEN / 2008 yang
mengatur kawasan konservasi daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 60/ 2007
tentang Konservasi Sumber Daya Perikanan menjadi dasar program MPA. Hal
tersebut mengatur sistem zonasi perairan yang dibutuhkan dalam MPA. Sistem
Zonasi yang digunakan dalam mengelola MPA terbagi atas empat zona yakni
zona inti, zona pemanfaatan, zona perikanan berkelanjutan, dan zona lainnya.
Pembagian zona tersebut merupakan satu kesatuan kawasan yang dikelola secara
efektif, dengan harapan mampu memajukan industri kelautan dan perikanan.

Solusi Pengelolaan Terumbu Karang


Pendekatan kawasan konservasi laut sangat signifikan dalam mengurangi arus
kerusakan terumbu karang. Secara perlahan terumbu karang mampu melakukan
recovery dengan berkembangnya konsep pengelolaan kawasan konservasi. Pilar
pengelolaan kawasan konservasi yakni perlindungan, pelestarian dan pengelolaan
yang berkelanjutan menjadi faktor yang cukup menentukan dalam pengelolaan
terumbu karang. Untuk mendukung target pencapaian 20 juta Ha Luas Kawasan
Konservasi di tahun 2020, sesuai dengan Konferensi Biodiversity yang
menyatakan bahwa target Marine Protected Area (MPA) sebesar 10% dari luas
Perairan Dunia. Olehnya itu, pemerintah Indonesia menetapkan pola jejaring
kawasan konservasi. Aturan pelaksanaan tersebut telah diatur dalam Pasal 19
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2007 Tentang
Konservasi Sumber Daya Ikan yang menyebutkan bahwa Dalam pengelolaan
kawasan konservasi perairan dapat dibentuk jejaring kawasan konservasi perairan,
baik pada tingkat lokal, nasional, regional, maupun global. Pembentukannya
berdasarkan keterkaitan biofisik antar kawasan konservasi perairan disertai
dengan bukti ilmiah yang meliputi aspek oceanografi, limnologi, bioekologi
perikanan, dan daya tahan lingkungan. Tahun 2013, Kawasan Konservasi
perairan di Indonesia telah mencapai 15.764.210.85 Hektar yang berjumlah 131
kawasan, diantaranya terdiri dari Kawasan Konservasi Perairan Daerah, Taman
nasional, Taman Wisata Perairan, Cagar Alam dan Suaka Alam Perairan. Sulawesi
Selatan memiliki empat kawasan Konservasi yang semuanya terletak di Selat
Makassar dan memanjang kearah selatan selat dengan luas kawasan Konservasi
mencapai 757,020 Ha atau +5% dari total luas Kawasan Konservasi saat ini di
Indonesia. (Direktorat Konservasi Kawasan Dan Jenis Ikan, 2014).
Mengembangkan kawasan MPA mejadi tanggung jawab secara social semua
pihak. Pemerintah, masyarakat, NGO, perusahaan swasta mesti memiliki visi yang
sama tentang MPA. Sehingga tahun 2020 target pencapaian 20 juta Ha bisa
tercapai.
Menembus Dimensi Kawasan Konservasi Laut Buku ini membahas gambaran
konservasi laut dari berbagai dimensi. Sebagai bahan bacaan yang disajikan secara
ilmiah namun tetap renyah untuk dibaca. Setiap Bab membahas tema berbeda
yang mendukung pengelolaan kawasan konservasi laut. Bab II, dibahas bagaimana
mengevaluasi efektivitas pengelolaan kawasan taman wisata perairan dan kawasan
konservasi laut khususnya di daerah Kabupaten Pangkep.
Bab
III memaparkan aspek hubungan dan keterkaitan secara biofisik antar kawasan
konservasi untuk mendukung jalinan jejaring kawasan konservasi. Pada Bab IV
dan V secara khusus mengupas pengelolaan kawasan konservasi jenis penyu. Dari
5

Bab ini akan diperoleh status keberlanjutan setiap dimensi dalam pengelolaan
penyu di Pulau Kapoposang. Bab V membahasa berbagai macam Bagan yang
perannya dianggap menjadi ancaman dalam pengelolaan MPA. Sementara itu Bab
VII dan Bab VIII secara khusus membahas konservasi laut kaitannya dengan
pemulihan keanekaragaman larva dan perevelnsi terhadap penyakit karang.

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI YANG


EFEKTIF DAN ADAPTIF

Pendahuluan

Yusran Nur Indar dan Jamaluddin Jompa

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dikelilingi oleh konfigurasi


pulau-pulau yang berjumlah 17.480 terbentang sepanjang 3.977 mil di antara
Samudra Hindia dan Samudra Pasifik dengan panjang garis kurang lebih 95.186
km yang merupakan garis pantai tropis terpanjang di dunia setelah Kanada. Luas
daratan Indonesia sebesar 1.922.570 km2 dan luas perairannya 3.257.483 km2. Di
dalam wilayah tersebut terkandung berbagai potensi perikanan tangkap lestari
sebesar 6,4 juta ton, lahan budidaya sekitar 1,1 juta ha, dan potensi lain baik dari
udang-udangan, kerang-kerangan, maupun mamalia laut. Sekitar 80% industri dan
75% kota besar di Indonesia berada di wilayah pesisir. Potensi lain yang tidak
kalah pentingnya adalah jasa transportasi laut, industri maritim, wisata bahari,
industri alternatif dan sumber obat-obatan (Ruchimat, 2012).
Sumber daya alam pulau-pulau kecil bila dipadukan dengan sumber daya manusia
yang handal serta di dukung dengan iptek yang di tunjang dengan kebijakan
pemanfaatan dan pengelolaan yang tepat bisa menjadi modal yang besar bagi
pembangunan nasional. Peluang yang dimiliki adalah kekayaan sumber daya alam
dan sumber daya manusianya yang potensial untuk ditumbuhkembangkan
pendayagunaannya. Sumber daya alam pulau-pulau kecil mempunyai arti penting
bagi kegiatan perikanan, konservasi dan preservasi lingkungan, wisata bahari dan
kegiatan jasa lingkungan lain yang terkait.
Kawasan konservasi perairan di Indonesia tidak kurang dari 16 juta hektar
(Ruchimat dalam Pedoman Teknis E-KKP3K, 2012) yang kini menghadapi
ancaman dan persoalan pengelolaan yang sangat berat. Ancaman tersebut dapat
berupa ancaman langsung maupun tidak langsung. Ancaman langsung meliputi
praktik penebangan liar, penyerobotan dan konversi lahan, penangkapan hewan
langka, pengeboman ikan, maupun yang disebabkan oleh faktor-faktor alam
seperti kebakaran hutan dan fenomena pemanasan global yang mengakibatkan
terjadinya perubahan iklim. Ancaman tidak langsung meliputi hal-hal yang
disebabkan oleh adanya kebijakan yang berkonotasi dua (ambiguity), ketidakjelasan
akan hak-hak dan akses masyarakat, peraturan perundang-undangan yang kurang
memadai dan tumpang tindih, serta penegakan hukum yang lemah sehingga
7

pengelolaan kawasan konservasi termasuk yang berkategori taman wisata alam


laut tidak efektif.
Pada pertemuan internasional Convention on Biological Diversity pada tahun 2006 di
Brazil, pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk memperluas kawasan
konservasi laut seluas 10 juta hektar pada tahun 2010 dan berkomitmen
memperluasnya menjadi 20 juta hektar pada tahun 2020 (UNEP-WCMC, 2008).
Komitmen didasarkan selain pada tingginya kebutuhan untuk mendukung
pembangunan berkelanjutan juga untuk menghadapi ancaman tekanan terhadap
sumberdaya laut. Kepulauan Spermonde memiliki keragaman ekosistem dan
keanekaragaman jenis biota laut yang tinggi. Kepulauan ini terbentuk dan muncul
di atas dangkalan Spermonde (Spermonde Shelf) yang terletak di pesisir barat
Propinsi Sulawesi Selatan (Selat Makassar) membentang dari utara ke selatan
sepanjang kurang lebih 300 km dengan luas 16.000 km2. Kabupaten Pangkep
dicirikan oleh wilayah perairan lautnya yang luas dengan taburan 117 pulau-pulau
merupakan ekosistem dengan keragaman hayati yang sangat tinggi terutama pada
habitat terumbu karang (Ditjen KP3K http://kkji.kp3k.kkp.go.id/, diakses pada
tanggal 25 Desember 2013).
Wilayah pesisir dan laut Kabupaten Pangkep dicirikan dengan produktivitas
ekosistem yang tinggi sehingga dapat mendukung kegiatan perekonomian.
Ekosistem pesisir utama Kabupaten Pangkep adalah terumbu karang, mangrove,
dan padang lamun. Salah satu upaya dalam menyelamatkan ekosistem wilayah
pesisir di Kabupaten Pangkep adalah dengan membetuk Daerah Perlindungan
Laut (DPL) yang telah diinisiasi oleh COREMAP II. DPL merupakan wilayah
perlindungan laut yang dibentuk berdasarkan aspirasi masyarakat. Hingga saat ini
hampir di setiap desa kecamatan pesisir memiliki DPL. Akan tetapi, permasalahan
kerusakan ekosistem pesisir tidak secara otomatis telah terpecahkan dengan
terbetuknya DPL tersebut.
Selain itu, kemampuan resistensi dan resiliensi dari setiap DPL belum teruji
karena belum ada mekanisme konektivitas antar DPL yang dijadikan
pertimbangan dalam pemilihan lokasi tersebut. Oleh karena itu, dibentuklah
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep berdasarkan
Surat Keputusan Bupati No. 180 Tahun 2009 tentang Penetapan Kawasan
Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep dan Peraturan Bupati Pangkajene
Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Kawasan
Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan untuk menjamin
daya resistensi dan resiliensi dari setiap lokasi terpilih melalui mekanisme
konektivitas antar habitat, biota, dan kondisi ekologinya. Berdasarkan SK Bupati
tersebut, KKLD Pangkep mencakup wilayah administrasi Kecamatan Liukang
Tupabbiring dan Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara.
8

Kepulauan Kapoposang merupakan bagian dari Kepulauan Spermonde dan


secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Pangkajene Kepulauan
(Pangkep) Provinsi Sulawesi Selatan. SK Menteri Kehutanan No. 588/KPTSVI/1996 tanggal 12 September 1996 menetapkan Kepulauan Kapoposang
sebagai Taman Wisata Alam Laut dengan luas sebesar 50.000 hektar dan memiliki
panjang batas 103 km. Saat ini Pengelolaan Kepulauan Kapoposang dan perairan
sekitarnya telah diserahkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan sesuai
dengan Berita Acara Serah Terima No. BA.108/MEN.KP/III/2009 pada tanggal
4 Maret 2009. Kawasan ini lalu ditetapkan sebagai Taman Wisata Perairan
Kepulauan Kapoposang (TWP Kepulauan Kapoposang) sesuai dengan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.66/MEN/2009
(Haslindah, 2012).
Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan terjadinya
tekanan ekologis terhadap sumberdaya pesisir dan laut. Setiap tahunnya terjadi
penurunan kualitas dan daya dukung ekosistem pesisir dan laut terutama akibat
dari penangkapan ikan secara destruktif. Demikian halnya terjadi di wilayah
kawasan konservasi TWP Kapoposang maupun KKLD Kabupaten Pangkep
dimana Tingkat PITRaL masih sering terjadi (Saleh. A, 2010). Oleh karenanya,
pengelolaan kawasan konservasi bertujuan untuk mendapatkan bentuk penataan
ruang dan arah pengelolaan kawasan konservasi yang optimal sehingga dapat
meningkatkan fungsi dari kawasan konservasi itu sendiri serta untuk mencegah
timbulnya kerusakan lingkungan.
Keputusan Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil nomor
KEP/44/KP3K/2012 tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan
Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K) adalah
pedoman teknis yang diterbitkan untuk menilai capaian kinerja pengelolaan
kawasan konservasi di Indonesia, tujuannya adalah untuk mendukung komitmen
pemerintah dalam proses perluasan kawasan konservasi sampai 20 juta hektar
pada tahun 2020.
Taman Wisata Perairan Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah
Kabupaten Pangkep adalah kawasan konservasi yang dikelola oleh Pemerintah
untuk menjamin ketersediaan sumberdaya laut. Pengelolaan kawasan konservasi
tersebut ditujukan untuk menselaraskan kepentingan perlindungan sumberdaya
laut dan kepentingan pemanfaatan sumberdaya sehingga proses pemanfaatan
sumberdaya dapat berlangsung secara berkelanjutan. Proses pengelolaan kedua
kawasan konservasi tersebut tentunya harus terus ditingkatkan sehingga pada
akhirnya pengelolaan secara mandiri dan berkelanjutan dapat segera terwujud.
Untuk mendorong percepatan kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP
Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep
9

tentunya harus dievaluasi agar upaya peningkatan kinerja pengelolaannya


didasarkan pada hasil-hasil evaluasi tersebut dan dengan berdasarkan hal tersebut
sehingga penelitian ini ditujukan untuk Mengkaji capaian kinerja pengelolaan
Kawasan Konservasi Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang dan Kawasan
Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep dengan menggunakan
Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan,
Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K) sesuai keputusan Kementerian
Kelautan Perikanan melalui Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil nomor 44 /KP3K/2012 serta mengetahui persepsi nelayan setempat
terhadap keberadaan kawasan TWP Kapoposang dan KKLD Kabupaten
Pangkep.
Gambaran Umum
Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang
Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang pada awalnya berada dalam
pengelolaan Kementerian Kehutanan dimana berdasarkan keputusan Menteri
Kehutanan No. 588/KPTS-VI/1996 tanggal 12 September 1996 ditetapkan
Kepulauan Kapoposang sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) seluas 50.000
ha. Kemudian TWAL Kapoposang diserahterimakan pengelolaannya dari
Kementerian Kehutanan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan
Berita Acara nomor 01/Menhut-IV/2009 dan BA 108/MEN.KP/III/2009 pada
tanggal 4 Maret 2009. Nomen klaturnya kemudian berubah menjadi Taman
Wisata Perairan (TWP) Kepulauan Kapoposang dan Laut di Sekitarnya melalui
keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 66/MEN/2009 tentang
penetapan kawasan konservasi perairan nasional Kepulauan Kapoposang dan
Laut di sekitarnya di Propinsi Sulawesi Selatan (Ditjen KP3K
http://kkji.kp3k.kkp.go.id , diakses pada tanggal 12 Mei 2014).

10

Gambar 6 : Peta Zonasi Taman Wisata Perairan Kapoposang. Sumber :


Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kota Kupang (2014)
Secara geografis Kawasan konservsi TWP Kepulauan Kapoposang terletak pada
koordinat 437 sampai 452 Lintang Selatan dan 1185400 sampai
1191000 Bujur Timur. Secara administratif, Kepulauan Kapoposang termasuk
dalam wilayah Kecamatan Liukang Tupabbiring dengan batas-batas wilayah
administrasinya adalah sebagai berikut:

Sebelah utara berbatasan dengan Selat Makasar


Sebelah timur berbatasan dengan Desa Mattiro Walie
Sebelah selatan berbatasan dengan Perairan Kota Makasar
Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Liukang Kalmas dan Selat
Makasar.

Pada TWP Kapoposang terdapat 2 desa yaitu Desa Mattiro Ujung yang meliputi
Pulau Kapoposang dan Pulau Papandangan dan Desa Mattiro Matae yang
meliputi Pulau Gondongbali, Pulau Pamanggangan, Pulau Tambakulu dan Pulau
Suranti. Dari keenam pulau tersebut, 3 diantaranya berpenduduk yaitu Pulau
Kapoposang, Pulau Papandangan dan Pulau Gondongbali (Rencana Pengelolaan
dan Zonasi TWP Kapoposang, 2013).

11

Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep


Kawasan Konservasi laut daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep baru diekspose
dengan adanya program COREMAP II, namun sesungguhnya beberapa kawasan
di kabupaten ini telah lama di tetapkan oleh masyarakat sebagai kawasan yang
tidak boleh dijamah oleh manusia, Kawasan seperti ini dapat ditemukan di daerah
Kecamatan Liukang Tupabbiring misalnya daerah terumbu karang Kalaroang
yang dikenal sejak tahun 60an yang tidak bisa dijamah oleh masyarakat disekitar
tersebut karena dikeramatkan (Management Plan KKLD Kab.Pangkep, 2010).
Bila mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.02/MEN/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan,
maka status KKLD Kabupaten Pangkep masih bersifat pencadangan kawasan
oleh Pemerintah Daerah dimana belum mendapatkan pengesahan secara resmi
oleh Menteri mengingat beberapa persyaratan yang dibutuhkan belum terpenuhi.
Dalam hal penataan batas kawasan dimana luasan dan batas-batas titik koordinat
kawasan sudah ditentukan namun saat ini belum ada penandaan dan penempatan
batas kawasan berdasarkan zona yang telah ditentukan. Selain itu, status Kawasan
Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan yang masih
dalam status pencadangan kawasan Konservasi juga ditetapkan melalui Peraturan
Bupati
Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan
Kepulauan.

12

Gambar 7 : Peta Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah


Kabupaten Pangkep. Sumber : Dinas Kelautan Dan Perikanan
Kabupaten Pangkep (2014).
Berdasarkan Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan Nomor 32 Tahun
2010 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten
Pangkajene Dan Kepulauan bahwa kewenangan Pengelolaan KKLD dilaksanakan
oleh Pemerintah Kabupaten Pangkep dimana kewenangan pengelolaannya
dilaksanakan oleh instansi terkait yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan.
Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Taman Wisata Perairan
Kapoposang Dan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep
Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Taman Wisata Perairan
(TWP) Kapoposang
Berdasarkan hasil perhitungan capaian kinerja pengelolaan kawasan
konservasi TWP Kapoposang dengan menggunakan rumus E-KKP3K diperoleh
nilai persentase yang variatif menurun dari setiap peringkat. Pada peringkat merah
(kawasan konservasi diinisiasi) diperoleh persentase capaian kinerja senilai 100 %,
peringkat kuning (kawasan konservasi didirikan) dengan capaian 100 %, peringkat
hijau (kawasan konservasi dikelola minimum) dengan capaian 76,19 %, peringkat
biru (kawasan konservasi dikelola optimum) dengan capaian 57,14 % dan
peringkat emas (kawasan konservasi mandiri) dengan capaian 33,33 %.
13

Pada peringkat hijau, kinerja pengelolaan baru mencapai 76,19 %, hal ini
disebabkan karena unit pengelola memiliki SDM yang fungsinya belum sesuai
dengan fungsi pengelolaan dimana fungsi yang dimaksud berupa fungsi
pengawasan, monitoring sumberdaya dan penguatan sosial ekonomi budaya.
Selain dokumen rencana pengololaan belum disahkan, juga belum ada dokumendokumen tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) pengelolaan administrasi
perkantoran, SOP sarana-prasarana minimum dan SOP yang mengatur tentang
penguatan kelembagaan, patroli bersama, pengelolaan sumberdaya kawasan, dan
penguatan sosial ekonomi dan budaya.
Pada peringkat biru, kinerja pengelolaan baru mencapai 57,14 %, hal ini
disebabkan karena kualifikasi SDM pada unit organisasi pengelola belum sesuai
dengan kompetensi yang ada dalam artian bahwa sejumlah SDM belum pernah
mengikuti pelatihan pengelolaan kawasan konservasi. Selain itu, anggaran
pengelolaan kawasan konservasi belum terpenuhi sesuai kebutuhan perencanaan
pengelolaan sehingga kebutuhan terhadap sarana dan prasarana pengelolaan juga
belum terpenuhi. Persoalan lain yang timbul akibat dari keterbatasan anggaran
pengelolaan adalah belum adanya inisiasi kegiatan pengawasan kawasan
konservasi berbasis masyarakat. Unit pengelola TWP Kapoposang sampai saat ini
juga belum menetapkan data ekologis mana yang akan digunakan sebagai garis
dasar (t0) untuk melakukan pemantauan secara berkala perubahan-perubahan
kondisi habitat, kualitas fisika, kimia, biologi dan goelogi, kondisi populasi ikan,
dan dampak kawasan konservasi TWP Kapoposang terhadap peningkatan hasil
tangkapan ikan sehingga belum dapat dinilai perubahan-perubahannya. 1
Pada peringkat emas, kinerja pengelolaan TWP baru mencapai 33,33 %, hal ini
disebabkan karena unit pengelola TWP Kapoposang belum pernah melakukan
kegiatan-kegiatan pengkajian berupa pengkajian tentang dampak kegiatan
pariwisata terhadap kawasan konservasi, kajian dampak kegiatan budidaya
terhadap kawasan konservasi, kajian dampak kegiatan perikanan terhadap
kawasan konservasi, kajian peningkatan pendapatan masyarakat sebagai dampak
dari pengelolaan, dan kajian tentang kesadaran masyarakat dalam mendukung
pelestarian sumberdaya kawasan. Selain itu, sistem pendanaan berkelanjutan yang
melibatkan stakeholder juga belum ada.
Dalam upaya melakukan pengelolaan kawasan konservasi yang efektif, unit
pengelola juga telah melakukan banyak hal dalam memenuhi persyaratanpersyaratan yang telah ditetapkan. Diantaranya mengusulkan dokumen
pencadangan calon kawasan konservasi kepada Kementerian Kelautan dan
1Keterangan

lisan Koordinator Unit Pengelola TWP Kapoposang.

14

Perikanan sesuai Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia


nomor PER.02/MEN/2009 tentang tata cara
Penetapan kawasan konservasi perairan, identifikasi, inventarisasi, sosialisasi dan
konsultasi publik calon kawasan konservasi perairan. Hasil dari upaya inisiasi
pencadangan kawasan kawasan konservasi tersebut adalah diterbitkannya
Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia nomor
KEP.66/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional
Kepulauan Kapoposang Dan Laut Di Sekitarnya Di Provinsi Sulawesi Selatan
pada tanggal 3 September 2009 dengan luas kawasan 50.000 ha. Sebagai tindak
lanjut dari Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia
nomor KEP.66/MEN/2009 adalah mengumumkan dan mensosialisasikan
kawasan konservasi TWP Kapoposang kepada masyarakat.
Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten
Pangkep
Hasil perhitungan capaian kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep
dengan menggunakan rumus E-KKP3K diperoleh nilai persentase capaian kinerja
pengelolaan yang tidak jauh berbeda dengan hasil perhitungan E-KKP3K TWP
Kapoposang pada setiap peringkat. Pada peringkat merah (kawasan konservasi
diinisiasi) diperoleh persentase capaian kinerja senilai 100 %, peringkat kuning
(kawasan konservasi didirikan) dengan capaian 81,81 %, peringkat hijau (kawasan
konservasi dikelola minimum) dengan capaian 61,90 %, peringkat biru (kawasan
konservasi dikelola optimum) dengan capaian 35,71 % dan peringkat emas
(kawasan konservasi mandiri) dengan capaian 0 % (tidak ada pencapaian kinerja).
Pada peringkat kuning, kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep baru
mencapai 81,81 %, hal ini disebabkan karena Dinas Kelautan Perikanan
Kabupaten Pangkep sebagai unit organisasi pengelola memiliki jumlah SDM yang
belum memadai untuk melakukan pengelolaan kawasan konservasi. Selain itu,
dokumen rencana pengelolaan masih dalam bentuk draft tentative dan masih
dalam proses penyusunan, belum memadainya sarana dan prasarana pengelolaan
minimum seperti alat monitoring dan alat komunikasi.
Pada peringkat hijau, kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep baru
mencapai 61,90 %, hal ini disebabkan karena dokumen rencana pengelolaan
belum disahkan, belum adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) sarana
prasarana standar minimum dan SOP penguatan kelembagaan, patroli bersama,
pengelolaan sumberdaya kawasan, dan penguatan sosial ekonomi budaya.
Pada peringkat biru, kinerja pengelolaan baru mencapai 35,71 %, hal ini
disebabkan karena kapasitas SDM pengelola belum sesuai dengan kompetensi
15

yang dibutuhkan seperti SDM dengan kualifikasi perencanaan, monitoring


sumberdaya, evaluasi, pengawasan, penelitian, dan SDM yang memiliki kualifikasi
untuk mengkaji kondisi sosial ekonomi budaya. Selain itu, dukungan terhadap
pembiayaan pengelolaan juga masih sangat minim, belum adanya dokumendokumen SOP misalnya SOP penelitian dan pendidikan, SOP pelaksanaan
kegiatan pariwisata, SOP pelaksanaan kegiatan budidaya, dan SOP pelaksanaan
kegiatan perikanan tangkap. Dalam hal pengelolaan sumberdaya kawasan, unit
pengelola KKLD Kabupaten Pangkep juga belum menetapkan data ekologis
mana yang akan digunakan sebagai garis dasar (t0) untuk melakukan pemantauan
secara berkala perubahan-perubahan kondisi habitat, kualitas fisika, kimia, biologi
dan goelogi, kondisi populasi ikan, dan dampak kawasan konservasi TWP
Kapoposang terhadap peningkatan hasil tangkapan ikan sehingga belum dapat
dinilai perubahan-perubahannya.
Pada peringkat emas, kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep tidak
menunjukkan capaian kinerja apapun (0 %), hal ini disebabkan karena belum
tersedianya data tentang peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai dampak
dari adanya pengelolaan KKLD dan peningkatan kesadaran masyarakat dalam
mendukung pelestarian sumberdaya kawasan, serta belum adanya sistem
pendanaan berkelanjutan yang melibatkan stakeholder dalam mendukung
pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep.
Meskipun masih banyak yang belum dilakukan oleh unit pengelola KKLD
Kabupaten Pangkep dalam meningkatkan level/peringkat pengelolaan KKLD
namun layak mendapatkan apresiasi karena kinerja pengelolaan telah mencapai
peringkat merah dengan status pencadangan kawasan konservasi. Hal ini
dibuktikan dengan terbitnya Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan
nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan
Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan. Hal
yang paling mendasar yang harus dilakukan oleh unit pengelola KKLD
Kabupaten Pangkep adalah menginisiasi penetapan dokumen Rencana
Pengelolaan KKLD.
Perbandingan Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi TWP
Kapoposang Dengan KKLD Kabupaten Pangkep
Kawasan Konservasi TWP Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah
(KKLD) Kabupaten Pangkep adalah kawasan konservasi yang dikelola oleh
pemerintah namun dalam proses inisiasi pencadangan kawasan tersebut dilakukan
dengan proses yang berbeda. Inisiasi pencadangan Kawasan Konservasi TWP
16

Kapoposang dilakukan dengan perencanaan kebijakan secara top-down sedangkan


Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep inisiasi
pencadangan kawasannya dilakukan secara kolaboratif antara masyarakat dan
pemerintah dengan melalui proses perencanaan kebijakan secara bottom-up. Selain
itu, pengelolaan Kawasan Konservasi TWP Kapoposang dikelola langsung oleh
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional
(BKKPN) Kota Kupang lingkup Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan sedangkan
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep pengelolaan
kawasannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep yang melekat
pada Bidang Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Pangkep.
Pada grafik yang divisualisasikan di bawah terlihat kedua kawasan konservasi yaitu
TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep telah mencapai kinerja pengelolaan
100 % namun pada peringkat kuning hanya TWP Kapoposang yang telah
mencapai kinerja pengelolaan 100 % sedangkan kinerja pengelolaan KKLD
Kabupaten Pangkep baru mencapai 81,81 %.
Pada Peringkat hijau, kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang
mencapai 76,19% dan kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep mencapai
61,90 %. Pada peringkat biru, kinerja pengelolaan kawasan konservasi mencapai
57,14 % dan kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep mencapai 35,71 %,
dan pada peringkat emas kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP
Kapoposang mencapai 33,33 % dan kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten
Pangkep belum ada capaian apapun (0 %).

17

Gambar 12 : Grafik Perbandingan Presentase Capaian Kinerja


Pengelolaan Kawasan Konservasi Berdasarkan Analisis E-KKP3K
.Pengelola TWP Kapoposang : BKKPN Kota Kupang. Pengelola KKLD Kab.
Pangkep : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab.Pangkep. Peringkat : (1) Merah
kawasan konservasi diinisiasi; (2) Kuning: kawasan konservasi didirikan; (3)
Hijau: kawasan konservasi dikelola minimum; (4) biru : kawasan konservasi
dikelola optimum; dan (5) Emas : kawasan konservasi yang dikelola secara efektif
dan berfungsi penuh atau disebut mandiri. Diolah berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Nomor KEP. 44
/KP3K/2012 Tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan
Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K).
Adanya perbedaan capaian kinerja pengelolaan kedua kawasan konservasi
tersebut dimana kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang
memiliki capaian kinerja dengan persentase yang lebih besar dibanding capaian
kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep pada peringkat kuning, hijau,
biru dan emas diduga disebabkan karena porsi anggaran pengelolaan TWP
Kapoposang lebih besar dari pada KKLD Kabupaten Pangkep. Hipotesis
pendugaan ini didasarkan pada kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi
dimana proses pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang berada di
bawah naungan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Kawasan Konservasi Perairan
Nasional (BKKPN) Kota Kupang lingkup Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) yang anggaran pengelolaannya melekat pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sedangkan pengelolaan
KKLD Kabupaten Pangkep berada di bawah naungan Bidang Kelautan, Pesisir
Dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep yang

18

anggaran pengelolaannya hanya melekat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja


Daerah (APBD) Kabupaten Pangkep dan APBD Propinsi Sulawesi Selatan.
Status Efektifitas Pengelolaan Kawasan Konservasi TWP Kapoposang Dan
KKLD Kabupaten Pangkep
Berdasarkan hasil Evaluasi Efektifitas Efektivitas Pengelolaan Kawasan
Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K) untuk kawasan
konservasi Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang yang telah dilakukan oleh
Kementerian Kelautan Perikanan pada tahun 2012 diperoleh status efektif
(100%) pada peringkat merah (Ditjen KP3K http://kkji.kp3k.kkp.go.id diakses
pada tanggal 12 Mei 2014) sedangkan berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh
kemajuan capaian kenerja pengelolan kawasan konservasi dengan persentase
tertinggi 100 % pada peringkat merah dan peringkat kuning.

PERINGKAT
MERAH
(1)
KUNING
(2)
HIJAU
(3)
BIRU
(4)
EMAS (5)

KAWASAN
KONSERVASI
DIINISIASI
KAWASAN
KONSERVASI
DIDIRIKAN
KAWASAN
KONSERVASI
DIKELOLA MINIMUM
KAWASAN
KONSERVASI
DIKELOLA OPTIMUM
KAWASAN
KONSERVASI MANDIRI

KINERJA PENGELOLAAN
TWP Kapoposang
KKLD Kab. Pangkep
Capaian
Capaian (%)
Ket
Ket
(%)
100

Efektif

100

Efektif

100

Efektif

81,81

Belum
Efektif

76,19

Belum
Efektif

61,90

Belum
Efektif

57,14

Belum
Efektif

35,71

Belum
Efektif

33,33

Belum
Efektif

Belum
Efektif

Tabel 1 : Status Efektifitas Pengelolaan Kawasan Konservasi TWP


Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep.
Diolah berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir Dan PulauPulau Kecil Nomor KEP. 44 /KP3K/2012 Tentang Pedoman Teknis Evaluasi
Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil (E-KKP3K).

19

Berbeda dengan capaian kenerja pengelolan kawasan Kawasan Konservasi Laut


Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep yang baru mencapai kinerja pengelolaan
100 % pada peringkat merah. Hasil E-KKP3K tersebut membuktikan bahwa
kinerja pengelolaan TWP Kapoposang telah mencapai pengelolaan efektif pada
peringkat kuning dengan status kawasan konservasi didirikan sedangkan kinerja
pengelolaan KKLD Kab.Pangkep baru mencapai pengelolaan efektif pada
peringkat merah dengan status telah dicadangkan.
Capaian kinerja pengelolaan TWP Kapoposang pada peringkat hijau, biru, emas
dan capaian kinerja pengelolaan KKLD Kab.Pangkep pada peringkat kuning,
hijau, biru, emas masih berada di bawah 100 % sehingga dapat dikategorikan
belum efektif. Hal ini disebabkan karena belum sempurnanya aktivitas
pelaksanaan rencana pengelolaan, penguatan kelembagaan, dan belum adanya
pendanaan yang mandiri dan berkelanjutan.
Persepsi Nelayan Terhadap Keberadaan Kawasan Konservasi
Menurut Walgito (2000), Persepsi merupakan aktivitas yang integrated, maka
seluruh apa yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman,
kemampuan berpikir, kerangka acuan dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri
individu masyarakat akan ikut berperan dalam persepsi tersebut, sehingga
berdasarkan hal tersebut menjadi penting untuk menggambarkan pengetahuan
nelayan terhadap keberadaan TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep yang
kemudian dapat dijadikan pertimbangan kebijakan khususnya dalam proses
pengelolaan menuju kawasan konservasi laut yang mandiri dan berkelanjutan.
Persepsi responden disampaikan melalui wawancara yang terbagi dalam 2 lokasi
penelitian, yaitu kawasan konservasi Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang
dan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep. Untuk
mengetahui persepsi nelayan setempat terhadap keberadaan Taman Wisata
Perairan maka ditentukan Desa Mattiro Matae (Pulau Gondongbali) sebagai
lokasi penelitian sedangkan untuk mengetahui persepsi nelayan setempat terhadap
keberadaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep
maka ditetapkan Desa Mattiro Uleng (Pulau Kulambing), Desa Mattiro Walie
(Pulau Samatellu Lompo), dan Desa Mattiro Dolangeng (Pulau Pala) sebagai
lokasi penelitian.

20

Gambar 13 : Peta Lokasi Penelitian. Keterangan : (a) Lokasi Penelitian di


wilayah TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali); (b) Lokasi Penelitian di wilayah
KKLD Kab. Pangkep (Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo, Pulau Pala).
Pengetahuan Terhadap Keberadaan Kawasan Konservasi.
Pada umumnya responden (91,4%) di Pulau Gondongbali sudah mengetahui
keberadaan Kawasan Konservasi TWP Kapoposang. Berbeda dengan tingkat
pengetahuan responden di Pulau Samatellu Lompo dan Pulau Pala dimana tidak
ada yang mengetahui keberadaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD)
Kabupaten Pangkep dan hanya 2,9% responden di Pulau Kulambing yang
mengetahui keberadaan KKLD Kabupaten Pangkep. Pada kasus ini responden
lebih banyak mengetahui keberadaan Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang
dikelola oleh Coremap dari pada KKLD Kab.Pangkep. Hal ini diduga karena
tidak adanya atribut sosialisasi KKLD Kab. Pangkep seperti atribut sosialisasi
TWP Kapoposang yang ada di Pulau Gondongbali. Dugaan lain terkait
rendahnya pengetahuan responden terhadap keberadaan KKLD Pangkep adalah
karena sosialiasi mengenai KKLD Pengkep yang difasilitasi oleh Dinas Kelautan
dan Perikanan hanya dilakukan sekali pada tahun 2010 dan hanya melibatkan
stakeholder tertentu saja. 2
Berdasarkan keterangan lisan staf unit pengelola KKLD Kab.Pangkep bahwa sosialisasi KKLD
Kab.Pangkep baru sekali dilaksanakan pada tahun 2010 setelah diterbitkannya Peraturan Bupati
Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi

21

Menurut keterangan lisan mantan ketua LPSTK Desa Mattiro Uleng bahwa unit
pengelolaa KKLD Kab.Pangkep tidak pernah melakukan sosialisasi edukatif
terkait keberadaan KKLD Kab. Pangkep sehingga nelayan sebagai entitas yang
menerima manfaat langsung sumberdaya laut tidak mengetahui keberadaan
KKLD Kab.Pangkep. 3
Pengetahuan Tentang Aturan Di Kawasan Konservasi
Tingkat pengetahuan responden terhadap aturan pemanfaatan sumberdaya di
kawasan konservasi cukup bervariasi namun umumnya respoden baik di wilayah
TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) maupun wilayah KKLD Kab.Pangkep
(Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo) sudah mengetahui aturan
pemanfaatan sumberdaya berupa larangan penggunaan bom dan racun/bius.
Nelayan yang berada di TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) dan KKLD Kab
Pangkep (Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo) yang masing-masing
sebanyak 88,6%; 97,1%; 91,4%; dan 91,4% sudah mengetahui adanya aturan
termasuk aturan pelarangan aktivitas Penangkapan Ikan Tidak Ramah
Lingkungan (PITRaL).
Sanksi Atas Pelanggaran Yang Terjadi di Kawasan Konservasi
Persepsi responden (Pulau Gondongbali) terhadap sanksi atas pelanggaran yang
terjadi di kawasan konservasi di kawasan TWP Kapoposang seperti yang terlihat
pada gambar di bawah dimana umumnya menyatakan bahwa sanksi terhadap
pelanggaran pemanfaatan sumberdaya laut hanya berupa peringatan lisan (82,9),
namun sebanyak 5,7% responden menyatakan bahwa sanksi terhadap
pelanggaran pemanfaatan sumberdaya laut pernah sampai pada proses hukum
penjara, namun penegakan aturan yang lebih berat tersebut pernah dilakukan oleh
Lantamal VI Wilayah Makassar.
Berbeda dengan persepsi responden yang ada di KKLD Kab. Pangkep dimana
umumnya menyatakan tidak ada pemberian sanksi terhadap pelanggaran
pemanfaatan sumberdaya laut dan peringatan lisan hanya disampaikan oleh kepala
desa atau nelayan setempat yang melihat praktek destructive fishing.
Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan dan karena keterbatasan anggaran sehingga
hanya mengundang beberapa tokoh-tokoh masyarakat pada spot desa tertentu. Sosialisasi ini
sekaligus ditujukan untuk mengetahui gambaran umum resistensi masyarakat terhadap keberadaan
KKLD Kab. Pangkep. Dari hasil sosialisasi ini ditemukan banyak tanggapan unlinear dari
masyarakat terkait luasan zona inti sehingga akan diupayakan untuk dilakukan pengurangan zona
inti KKLD Kab.Pangkep.
3 Keterangan lisan mantan ketua Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK)
Desa Mattiro Uleng.

22

Persepsi Terhadap Aktivitas Penangkapan Ikan Tidak


Lingkungan (PITRaL) di Sekitar Wilayah Kawasan Konservasi.

Ramah

Penangkapan ikan tidak ramah lingkungan (PITRaL) merupakan aktivitas


penangkapan yang sifatnya eksploitatif dan tidak memperhatikan kaidah-kaidah
konservasi (Saleh, 2010). Alat PITRaL yang paling sering dipergunakan adalah
racun sianida (bius), bahan peledak (bom ikan), trawl, bubu tindis, dan muroami.
Berdasarkan laporan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia (2003) dalam
Saleh (2010), untuk kepulauan Spermonde diperkirakan 64,88% nelayannya
adalah pelaku PITRaL.
Persepsi nelayan terhadap aktivitas Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan
(PITRaL) menggambarkan bahwa aktivitas PITRaL masih terjadi baik di wilayah
TWP Kapoposang maupun di wilayah KKLD Kab.Pangkep meski intensitasnya
sudah menurun. Indikasinya terlihat dimana sebanyak 17,1% responden di
wilayah TWP Kapoposang menyebutkan aktivitas PITRaL pernah terjadi sekali
dalam kurun waktu 6 bulan; dan 11,4% menyatakan aktivitas PITRaL sering
terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan.
Demikian hanya di wilayah KKLD Pangkep dimana tergambarkan masih ada
indikasi terjadinya aktivitas PITRaL. Responden di Pulau Kulambing sebanyak
74,3% menyatakan aktivitas PITRaL pernah terjadi sekali dalam kurun waktu 6
bulan dan sebanyak 20% menyatakan aktivitas PITRaL masih terjadi lebih dari 3
kali dalam kurun waktu 6 bulan. Sebanyak 14,3% responden di Pulau Samatellu
Lompo menyatakan aktivitas PITRaL pernah terjadi sekali dalam kurun waktu 6
bulan dan sebanyak 20% menyatakan aktivitas PITRaL masih terjadi lebih dari 3
kali dalam kurun waktu 6 bulan. Responden di Pulau Pala umumnya (80%)
menyatakan aktivitas PITRaL pernah terjadi sekali dalam kurun waktu 6 bulan
dan 8,6% aktivitas PITRaL masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6
bulan.
Laporan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang Kecamatan Liukang
Tupabbiring Kabupaten Pangkep 2006 (Coremap II, 2006) menjustifikasi bahwa
nelayan yang berada di kepulauan Kab.Pangkep terutama nelayan yang berasal
dari Pulau Karanrang masih melakukan aktivitas PITRaL dalam proses
pemanfaatan sumberdaya laut. Senada dengan itu, Saleh (2010) mengungkapkan
bahwa nelayan yang berada di kepulauan Kab.Pangkep terutama nelayan
penangkap ikan sunu menggunakan alat tangkap pancing sunu yang selalu
berbarengan dengan penggunaan sianida. Hal ini disebabkan pancing sunu
dimaksudkan untuk mendapatkan target dalam keadaan hidup, sedang ikan target
sendiri berada di dalam celah karang, sehingga untuk dapat ditangkap target harus
dipaksa keluar dari lubang persembunyiannya dengan cara menyemprotkan
sianida (bius).
23

Persepsi Terhadap Eksploitasi Kima


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa menjustifikasi perlindungan terhadap
berbagai jenis Bivalvia, diantaranya Kima Tapak Kuda (Hippopus hippopus), Kima
Cina (Hippopus porcellanus), Kima kunia (Tridacna crocea), Kima selatan (Tridacna
derasa), Kima raksasa (Tridacna gigas), dan Kima sisik (Tridacna squamosa).
Berdasarkan hal tersebut sehingga menjadi penting untuk menggambarkan
aktivitas eksploitasi Kima di wilayah TWP Kapoposang dan KKLD Kab,
Pangkep.
Talibo adalah nama local (local common name) untuk jenis biota Kima bagi
masyarakat kepulauan di Kab. Pangkep. Sudah menjadi tradisi masyarakat
kepulauan di Kab. Pangkep untuk menyajikan hidangan Kima pada saat acaraacara hajatan dan atau pesta pernikahan. Meski belum ada data tentang
menurunnya tingkat populasi Kima yang digambarkan dalam deret waktu, namun
masyarakat kepulauan di Kab.Pangkep cukup merasakan berkurangnya hasil
tangkapan Kima.
Baik di Wilayah TWP Kapoposang maupun di wilayah KKLD Kab. Pangkep
tergambarkan masih adanya indikasi eksploitasi Kima meski intensitasnya sudah
menurun. Responden di wilayah TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali)
sebanyak 20% masih melihat adanya aktivitas eksploitasi Kima sekali dalam kurun
waktu 6 bulan dan sebanyak 17,1% responden menyatakan eksploitasi Kima
masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan.
Demikian halnya juga di wilayah KKLD Kab.Pangkep (Pulau Kulambing, Pulau
Samatellu Lompo) dimana terindikasi masih adanya eksploitasi Kima. Responden
di Pulau Kulambing sebanyak 17,1% masih melihat adanya aktivitas eksploitasi
Kima sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 11,4% responden
menyatakan aktivitas eksploitasi Kima masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun
waktu 6 bulan.
Di Pulau Samatellu Lompo, 14,3% responden menyatakan masih melihat adanya
aktivitas eksploitasi Kima sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 22,9%
menyatakan aktivitas eksploitasi Kima masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun
waktu 6 bulan. Responden di Pulau Pala sebanyak 14,3% juga masih melihat
aktivitas eksploitasi Kima sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 8,6%
responden menyatakan aktivitas eksploitasi Kima masih terjadi lebih dari 3 kali
dalam kurun waktu 6 bulan. Masih adanya indikasi eksploitasi Kima di wilayah
kawasan konservasi laut diduga kemungkinan disebabkan karena pengawasan
terhadap sumberdaya laut masih belum terlalu ketat.

24

Persepsi Terhadap Aktivitas Penambangan Karang.


Penambangan karang adalah aktivitas yang dilarang apalagi dilakukan di wilayah
kawasan konservasi laut. Kebanyakan masyarakat yang berada di daerah
kepulauan di Indonesia yang wilayahnya jauh dari daratan dimana sulit untuk
mendapatkan material bahan bangunan untuk pembangunan sementara
kebutuhan untuk mendapatkan atau membangun rumah semakin tinggi sehingga
kadang secara terpaksa melakukan penambangan karang yang biasanya ditujukan
untuk membangun fondasi bangunan. Tak terkecuali masyarakat yang berada di
wilayah TWP Kapoposang dan KKLD Kab. Pangkep seperti yang
tervisualisasikan pada grafik di bawah menggambarkan masih adanya aktivitas
penambangan karang meski responden umumnya menyatakan sudah tidak ada
lagi atau sudah tidak pernah melihat lagi aktivitas penambangan karang.
Sebanyak 17,1% responden di Pulau Gondongbali menyatakan pernah melihat
aktivitas penambangan karang lebih dari 3 kali selama kurun waktu 1 tahun. Di
Pulau Kulambing, sebanyak 14,3% responden pernah melihat aktivitas
penambangan karang dengan aktivitas kurang dari 3 kali selama kurun waktu 1
tahun dan sebanyak 11,4% responden pernah melihat aktivitas penambangan
karang lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 1 tahun terakhir. Sebanyak 8,6%
respoden di Pulau Samatellu Lompo pernah melihat aktivitas penambangan
kurang dari 3 kali dalam setahun terakhir dan 20% menyatakan aktivitas
penambangan karang lebih dari 3 kali dalam setahun terakhir. Demikian halnya di
Pulau Pala bahwa sebanyak 31,4% responden menyatakan aktivitas penambangan
karang terjadi kurang dari 3 kali dalam setahun dan 8,6% responden menyatakan
aktivitas penambangan karang terjadi lebih dari 3 kali dalam setahun terakhir.
Terlepas dari rendahnya pendapatan nelayan dalam hal memenuhi kebutuhan,
terutama dalam hal pembangunan pemukiman.
Persepsi Tentang Dampak Setelah Adanya Zonasi Kawasan Konservasi
Pengelolaan kawasan konservasi laut mengharuskan adanya penataan zonasi yang
ditujukan untuk mengantisipasi terjadinya konflik kepentingan dalam hal
pemanfaatan sumberdaya laut. Selain itu, pengelolaan kawasan konservasi laut
juga ditujukan untuk menselaraskan antara kepentingan pemanfaatan sumberdaya
laut dengan kepentingan perlindungan sumberdaya laut sehingga sumberdaya laut
dapat memberikan manfaat kepada nelayan dalam jangka waktu yang panjang dan
berkelanjutan (sustainable use).
TWP Kapoposang telah dicadangkan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian
Kelautan Perikanan melalui Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan
Republik Indonesia Nomor KEP.66/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan
Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Kapoposang Dan Laut Di Sekitarnya
25

Di Provinsi Sulawesi Selatan dan KKLD Kabupaten Pangkep juga telah


dicadangkan melalui Peraturan Bupati Pangkajene Dan
Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut
Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan. Setelah dicadangkannya TWP
Kapoposang pada tahun 2009 dan KKLD Kab. Pangkep pada tahun 2010, kedua
kawasan konservasi ini tentunya harus dikelola efektif agar dapat memberikan
manfaat banyak kepada nelayan setempat.
Secara umum responden baik responden yang berada di kawasan TWP
Kapoposang (Pulau Gondongbali) maupun yang berada di wilayah KKLD Kab.
Pangkep (Pulau Kulambbing, Pulau Samatellu Lompo, dan Pulau Pala )
menyatakan bahwa sejak ditetapkannya kawasan konservasi TWP Kapoposang
dan KKLD Kab.Pangkep hasil tangkapan tidak mengalami perubahan
peningkatan atau sama saja. Pendugaan sementara kemungkinan disebabkan oleh
faktor daya jangkauan trip armada tangkap nelayan yang hanya sebagian besar
hanya menjangkau daerah-daerah yang dekat dengan pulau. Menurut kepala desa
Mattiro Dolangeng 4 bahwa daerah fishing ground nelayan sebagian besar berada
di sekitar pulau yang kaya akan karang dikarenakan armada tangkap nelayan hanya
mampu menjangkau wilayah perairan dangkal yang dekat dengan pulau sehingga
ekosistem karang semakin rusak dikarenakan aktivitas PITRaL.
Di saat ekosistem karang sudah banyak yang rusak, nelayan mulai merasakan
bahwa semakin hari ikan hasil tangkapan tidak meningkat bahkan dirasakan
semakin berkurang, sementara nelayan secara ekonomi tidak mampu
meningkatkan kapasitas armada tangkap yang lebih besar untuk menjangkau
wilayah fishing ground yang lebih jauh
Dugaan kedua kemungkinan disebabkan oleh sejak ditetapkannya TWP
Kapoposang dan KKLD Kabupaten Pangkep oleh Pemerintah sampai sekarang
belum ada penataan tapal batas zona-zona yang ada dalam wilayah kawasan
konservasi sehingga kegiatan-kegiatan ekstraktif tetap dilakukan oleh nelayan
pada daerah-daerah yang kaya akan karang. Kegiatan ekstraktif tersebut secara
teoritis akan memberikan dampak negative yaitu terganggunya rekrutmen ikan
karang sehingga kestabilan rantai makanan, aliran energi dan siklus materi dalam
ekosistem terumbu karang tidak terjadi secara optimal. Menurut staf unit
pengelola KKLD Kab. Pangkep 5 bahwa isu pengurangan luasan zona inti KKLD
Kab.Pangkep sedang bergulir dikarenakan beberapa stakeholder (Pengusaha
Bisnis Perikanan) yang mengetahui keberadaan KKLD Kab.Pangkep merasa
wilayah fishing groundnya semakin terbatasi.
4
5

Keterangan lisan Kepala Desa Mattiro Dolangeng


Keterangan lisan staf Unit Pengelola KKLD Kab. Pangkep

26

Stakeholder yang dekat dengan kekuasaan dan memiliki ketergantungan politik


secara vertikal menggulirkan isu tersebut secara vertikal. Resistensi beberapa
stakeholder tersebut dikarenakan kekhawatiran akan berkurangnya penghasilan
akibat berkurangnya hasil tangkapan karena terlalu luasnya zona inti KKLD
Kab.Pangkep. Karena adanya resistensi dari stakeholder tersebut sehingga
penataan tapal batas KKLD Kab.Pangkep belum bisa dilakukan. Hal inilah yang
mendasari sehingga dinamika otonomi daerah dirasakan sangat berpengaruh
terhadap proses pengelolaan kawasan konservasi laut. Kepentingan stakeholder
yang bertabrakan diupayakan untuk disinkronisasi secara harmonis agar tidak
terjadi konflik kepentingan. Disadari atau tidak, sistem demokrasi politik di
Indonesia belum dewasa sehingga kebijakan selalu disandarkan pada kepentingan
sebagian kecil orang yang memiliki kekuatan ekonomi politik meski harus
mengorbankan kepentingan perlindungan sumberdaya laut.
Persepsi Responden Terhadap Kondisi Terumbu Karang di Sekitar
Wilayah Kawasan Konservasi
Sebanyak 62,9% responden di Pulau Gondongbali menjawab mulai terdapat
kerusakan terumbu karang di sekitar TWP Kapoposang, demikian halnya dengan
responden yang berada di sekitar wilayah KKLD Kab. Pangkep dimana
responden di Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo, dan Pulau Pala yang
masing-masing sebanyak 65,7%, 65,7%, dan 68,6% menyatakan mulai terdapat
kerusakan terumbu karang di sekitar wilayah KKLD Kab. Pangkep. Hal ini bisa
digeneralisasikan bahwa baik di sekitar wilayah
TWP Kapoposang maupun di sekitar wilayah KKLD Kabupaten Pangkep sudah
terjadi kerusakan terumbu karang.
Berdasarkan laporan monitoring tren kondisi terumbu karang Kabupaten
Pangkep tahun 2012 yang direlease oleh Dinas Kelautan dan Perikanan
menunjukkan bahwa persentase terumbu karang dengan kondisi rusak
berfluktuasi meningkat. Pada tahun 2008 kondisi karang yang rusak sebesar 18,60
% meningkat menjadi 48,84 % pada tahun 2010 kemudian menurun menjadi
41,86 % pada tahun 2011 sementara kondisi terumbu karang yang sangat baik
persentasenya sangat sedikit dimana pada tahun 2008 hanya sebesar 4,65 % dan
mengalami sedikit peningkatan pada tahun 2011 sebesar 9,30 %. Pada laporan
tersebut juga disebutkan bahwa meningkatnya persentase kerusakan terumbu
karang pada tahun 2010 disebabkan oleh fenomena pemutihan karang (Bleaching)
dan aktivitas antropogenik yang destruktif seperti penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan peledak.

27

Persepsi Terhadap Manfaat Terumbu Karang Sebagai Daerah Tempat


Tinggal (Nursery Ground), Tempat Mencari Makan (Feeding Ground)
dan tempat Beregenerasi Berbagai Macam Ikan Laut (Spawning Ground).
Responden yang ada di kawasan konservasi laut Kab. Pangkep baik di wilayah
TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) maupun di wilayah KKLD Kab.
Pangkep (Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo, Pulau Pala) pada umumnya
adalah adalah nelayan dengan armada tangkap yang sederhana sehingga hanya
bisa mengakses fishing ground yang dekat dimana sebagian besar daerah fishing
groundnya adalah perairan dangkal daerah ekosistem karang tumbuh
berkembang. Coremap telah memberikan banyak pelajaran dan pengetahuan
kepada nelayan tentang manfaat terumbu karang sebagai Nursery Ground, Feeding
Ground, dan Spawning Ground. Sehingga dengan demikian dapat menjustifikasi
bahwa responden baik di wilayah TWP Kapoposang maupun KKLD Kab.
Pangkep pada umumnya sudah mengetahui manfaat terumbu karang sebagai
Nursery Ground, Feeding Ground, dan Spawning Ground.
Hal ini tergambarkan dimana sebanyak 77,1% responden di TWP Kapoposang
(Pulau Gondongbali) menjawab bahwa terumbu karang bermanfaat sebagai
Nursery Ground, Feeding Ground, dan Spawning Ground. Demikian halnya wilayah
KKLD Pangkep dimana sebanyak 68,6% responden di Pulau Kulambing, 60%
responden di Pulau Samatellu Lompo dan 54,3% responden di Pulau Pala sudah
mengetahui manfaat terumbu karang sebagai Nursery Ground, Feeding Ground, dan
Spawning Ground. Hal ini dapat digeneralisasi bahwa masyarakat nelayan di baik di
wilayah TWP Kapoposang maupun di KKLD Kab.
Pangkep sudah mengetahui manfaat terumbu karang sebagai Nursery Ground,
Feeding Ground, dan Spawning Ground.
Persepsi Terhadap Perlunya Aturan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (SDI)
Wilayah Terumbu Karang
Pada dasarnya pengelolaan kawasan konservasi perairan ditujukan untuk
menselaraskan kepentingan pemanfaatan sumberdaya laut dengan kepentingan
perlindungan laut sehingga pemanfaatan sumberdaya laut dapat berkelanjutan.
Nelayan di kepulauan Kabupaten Pangkep mayoritas adalah nelayan kecil yang
memanfaatkan terumbu karang sebagai daerah fishing ground karena jarak
aksesnya yang dekat. Modernisasi yang mengejar pertumbuhan telah
mengakselerasi pemanfaatan pengggunaan teknologi penangkapan ikan yang tidak
memberikan keadilan secara merata kepada nelayan dalam hal pemanfaatan
sumberdaya laut sementara tingkat kepentingan pemanfaatan sumberdaya laut
semakin meningkat. Semakin meningkatnya pemanfaatan sumberdaya laut
tentunya harus diharmonisasikan dengan penegakan aturan. Olehnya itu,
28

pengelolaan kawasan konservasi adalah juga merupakan upaya penegakan aturan


(hukum) yang diharapkan dapat memberikan keadilan kepada seluruh nelayan
dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut. Upaya penegakan aturan pemanfaatan
sumberdaya laut tersebut harus disandarkan pada kepentingan mayoritas nelayan
dengan tetap mempertimbangkan keseimbangan ekosistem.
Dari hasil penelitian menggambarkan tingginya harapan mayoritas nelayan
terhadap perlunya mensegerakan optimalisasi penegakan aturan pemanfaatan
sumberdaya laut, baik di wilayah TWP Kapoposang maupun di wilayah KKLD
Kab. Pangkep. Sebanyak 68,6% responden di wilayah TWP Kapoposang (Pulau
Gondongbali) menganggap perlu ada aturan pemanfaatan sumberdaya di wilayah
terumbu karang dan sebanyak 20% menyatakan sangat perlu ada aturan
pemanfaatan sumberdaya. Responden yang berada di wilayah KKLD kabupaten
pangkep, yaitu Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo, dan Pulau Pala
masing-masing sebanyak 62.9%, 62.9% dan 57.1% mengharapkan perlu ada
aturan pemanfaatan sumberdaya dan masing-masing sebanyak 28.6%, 14.3%, dan
25.7% menyatakan sangat perlu adanya aturan dalam hal pemanfaatan
sumberdaya laut. Berdasarkan hal tersebut sehingga dapat menjustifikasi bahwa
secara umum responden berharap adanya penegakan aturan secara optimal agar
dapat memberikan keadilan dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut.
Issue Discussion ; Problematika Silang Singkarut Pengelolaan Kawasan
Konservasi Laut di Wilayah Perairan Kab. Pangkep
Dari hasil E-KKP3K ditemukan bahwa kinerja pengelolaan TWP Kapoposang
telah mencapai pengelolaan efektif pada peringkat kuning dengan status kawasan
konservasi didirikan sedangkan kinerja pengelolaan KKLD Kab.Pangkep baru
mencapai pengelolaan efektif pada peringkat merah dengan status telah
dicadangkan. Status kawasan konservasi TWP Kapoposang ditetapkan melalui
Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia nomor
KEP.66/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional
Kepulauan Kapoposang Dan Laut Di Sekitarnya Di Provinsi Sulawesi Selatan.
Demikian halnya dengan KKLD Kab. Pangkep dimana status pencadangannya
diterbitkan melalui Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32
Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten
Pangkajene Dan Kepulauan.
Hasil wawancara dengan staf unit pengelola TWP Kapoposang menyatakan
bahwa management plan TWP Kapoposang masih sementara dalam proses
pengusulan untuk ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Namun,
dalam proses upaya penetapan managemen plan tersebut ditemukan kekeliruan
dalam penentuan titik koordinat kawasan dimana konsekuensi dari kekeliruan
29

tersebut menyebabkan luasan kawasan menjadi 90.000 hektar sementara dalam


Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia nomor
KEP.66/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional
Kepulauan Kapoposang Dan Laut Di Sekitarnya Di Provinsi Sulawesi Selatan
tercantum luasan kawasan 50.000 hektar. Hal ini memungkinkan akan dilakukan
peninjauan kembali Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan tersebut. 6
Demikian halnya dengan management plan KKLD Kab. Pangkep masih belum
ditetapkan karena masih dalam proses sinkronisasi dengan Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Propinsi Sulawesi Selatan.
Selain itu, pertimbangan lain sehingga management plan KKLD Kab. Pangkep
masih belum ditetapkan adalah karena luas zona inti (no take zone) KKLD
Kab.Pangkep masih ingin dikurangi. Hipotesis sementara terkait rencana
pengurangan luas zona inti KKLD Kab.Pangkep adalah diduga sedikit banyaknya
terkait dengan dinamika otonomi daerah.
Lambatnya progresifitas pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang dan
KKLD Kab. Pangkep yang dikarenakan oleh belum ditetapkannya Management
Plan TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep menyebabkan lemahnya
pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya laut di wilayah perairan
Kab.Pangkep sehingga memberi ruang kepada para pemanfaat sumberdaya laut
untuk tetap melakukan aktivitas PITRaL, penambangan karang dan eksploitasi
biota dilindungi (Kima). Sejak tahun 2006-2011 melalui pengelolaan Daerah
Perlindungan Laut (DPL), Coremap telah banyak memberikan pengetahuan dan
pembelajaran kepada masyarakat nelayan di wilayah Kepulauan Kab.Pangkep
sehingga masyarakat nelayan umumnya mengetahui manfaat terumbu karang
namun realitas menunjukkan kondisi yang un-linear dimana masih ada indikasi
terjadinya pelanggaran pemanfaatan sumberdaya laut yang terindikasi dengan
masih adanya aktivitas PITRaL, penambangan karang, eksploitasi biota dilindungi
(Kima). Hipotesis sementara kemungkinan disebabkan oleh : (1) rendahnya
pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya laut yang dikarenakan belum
ditetapkannya Management Plan kawasan konservasi laut TWP Kapoposang dan
KKLD Kab.Pangkep; (2) Rendahnya dukungan Pemerintah dalam hal
meningkatkan kapasitas (teknologi dan daya tampung hasil tangkapan) armada
tangkap nelayan untuk menjangkau fishing ground yang lebih jauh sehingga sebagian
besar nelayan secara determinan melakukan penangkapan ikan di wilayah
terumbu karang sekitar pulau; (3) Rendahnya dukungan pemerintah dalam upaya
mengembangkan mata pencaharian alternative bagi masyarakat nelayan. Dugaan
ini masih perlu dikaji lebih jauh agar dapat menjadi landasan ilmiah dalam proses
6

Keterangan lisan Koordinator Pengelola TWP Kapoposang.

30

pengambilan keputusan untuk mewujudkan pemanfaatan sumberdaya laut secara


berkeadilan dan berkelanjutan.
Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian, penulis merekomendasikan beberapa hal,
yaitu : (1) Segera menetapkan dan mensosialisasikan management plan TWP
Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep; (2) Untuk mempercepat pencapaian
efektifitas kinerja pengelolaan pada peringkat emas, diperlukan keseriusan dari
masing-masing pengelola untuk memenuhi persyaratan-persyaratan dokumen
pengelolaan sesuai dengan Pedoman Teknis E-KKP3K; (3) Meningkatkan
kapasitas (teknologi dan daya tampung hasil tangkapan) armada tangkap nelayan
untuk menjangkau fishing ground yang lebih jauh serta meningkatkan kapasitas
teknologi pasca panen untuk menjaga kualitas hasil tangkapan; (4)
Mengembangkan mata pencaharian alternative dan memberikan jaminan pasar
terhadap hasil produksi mata pencaharian alternative bagi masyarakat nelayan di
kepulauan Kab.Pangkep; (5) Diperlukan penelitian lanjutan tentang partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang dan
KKLD Kab. Pangkep sebagai landasan teoritis dalam pengelolaan kawasan
konservasi perairan berbasis masyarakat.

31

DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, S., 2000. Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Berwawasan
Lingkungan. Seminar Nasional Fakultas Teknik dalam rangka Dies
Natalis Universitas Diponegoro ke 43. Universitas Diponegoro.
Semarang.
Anggoro, S. 2006. Modul Matrikulasi Pengelolaan Pesisir dan Laut. Universitas
Diponegoro, Semarang.
Budiharsono, S., Asbar., E Triwibowo., F Sutopo. 2003. Strategi Pengembangan
Konservasi Laut. Dalam Lokakarya Nasional Strategi Pengembangan
dan Pengelolaan Konservasi Laut. Bogor, Oktober 2003. Direktorat
Konservasi dan Taman Nasional Laut, Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil, DKP. Jakarta.
Bengen, D.G.. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut
serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Bengen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta
Prinsip Pengelolaannya. PKSPL. IPB. Bogor.
Bengen D dan A. Retraubun . 2006. Menguak Realitas Dan Urgensi Pengelolaan
Berbasis Eko-Sosial Sistem Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. Bogor :
Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L).
Coremap II. 2006. Rencana Pengelolaan Terumbu Karang Kecamatan Liukang
Tupabbiring Kabupaten Pangkep Tahun 2006.
Coremap II. 2011. Dokumen Percontohan Perikanan Berkelanjutan di TWP
Kapoposang Tahun 2011.
Clark, J.R.1996. Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publisher, Boca
Raton , FL.
Daerah Dalam Angka. 2012. Kabupaten Pangkep Dalam Angka 2012. BPS
Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar.
Dahuri, R. 1996. An analysis of Enviromental Threath to Marine Fisheries in
Indonesia. Paper Submited for Asia Pasific Fisheries Commision
APFIC) Symposium on Enviromental Aspects of Responsible
Fisheries, Soul Republic of Korea. 15-18 Oct 1996.
Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting., M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan. Jakarta : Penerbit Pradnya Paramita.
Dian Ayunita dan Trisnani Dwi Hapsari. 2012. Analisis Persepsi Dan Partisipasi
Masyarakat Pesisir Pada Pengelolaan KKLD Ujungnegoro
Kabupaten Batang. Jurnal SEPA : Vol. 9 No.1 September 2012 : 117
124. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas
Diponegoro.

32

Ditjen KP3K. 2012. Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan


Konservasi Perairan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K).
Keputusan
Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil nomor
KEP.44/KP3K/12. Jakarta.
Ditjen KP3K. Basis Data Kawasan Konservasi. http://kkji.kp3k.kkp.go.id/
(Diakses pada tanggal 25 Desember 2013)
Ditjen KP3K. Eksotisme Kapoposang. Publikasi Kementerian Kelautan dan
Perikanan seri Kawasan Konservasi Perairan Nasional. Jakarta Pusat.
http://kkji.kp3k.kkp.go.id (Diakses pada tanggal 12 Mei 2014)
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Pedoman Tata Ruang Pesisir dan
Laut. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 34 tahun
2002, tanggal 4 September 2002. Jakarta.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Pedoman Penetapan Kawasan
Konservasi Laut Daerah. Direktorat Konservasi dan Taman laut
Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2003. Jakarta
Elida, F. 2005. Pola Pengembangan Pariwisata Yang Berbasis Masyarakat Di
Kepulauan Karimunjawa. Tesis. Program Pasca Teknik
Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro Semarang.
Gay,L.R. and Diehl, P.L. 1992. Research Methods for Business and Management.
Macmillan Publishing Co., NewYork
Gubbay, S. 1995. Marine Protected Areas. Chapman & hall. London-GlssgowWeinheim-New York-Tokyo-Melbourne-Madras.
Ghofar, A., 2004, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara Terpadu dan
Berkelanjutan, Cipayung-Bogor.
Haslindah. 2012. Valuasi Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang Taman Wisata
Perairan Kapoposang Kabupaten Pangkep. Tesis. PPs Universitas
Hasanuddin.
Hockings, M., S. Stolton, F. Leverington, N. Dudley, J. Courrau. 2006. Evaluating
Effectiveness : A Framework For Assessing Management
Effectiveness of Protected Area 2nd Edition. IUCN, Gland,
Switzerland and Cambridge, UK.
IUCN, 1994. Guidelines for Protected Area Management Categories CNPPA
with assistance of WC,WM, IUCN,.Gland, Switzerland and
Cambridge, UK.
Kartono, Kartini & Gulo, Dali. 1987. Kamus Psikologi. Pionir Jaya. Bandung
Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil nomor
KEP. 44 /KP3K/2012 Tentang Pedoman Teknis Evaluasi
Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan
Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K)

33

Latupapua, Y. 2011. Persepsi Masyarakat terhadap Potensi objek daya tarik wisata
Pantai di kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara. Jurnal
Agroforestri Volume VI Nomor 2 Juni 2011. Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura Ambon Locally-Managed
Marine Management Area. www.Lmmanetwork.org
Mackinnon, J. dan Mackinnon, K. 1990. Pengelolaan Kawasan yang dilindungi di
Daerah Tropika. Terjemahan. Yogyakarta:Gajahmada University
Press.
Mardijono. 2008. Persepsi Dan Partisipasi Nelayan Terhadap Pengelolaan
Kawasan Konservasi Laut Kota Batam. Tesis. Program Pasca Sarjana
Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro Semarang.
McNeely, J.A., 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati. Mengembangkan
dan Memanfaatkan Perangsang Ekonomi Untuk Melestarikan
Sumberdaya Hayati. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Nawawi, H.H. 2005. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University
Press. Bulaksumur. Yogyakarta
National Research Council., 1999. Sustaining Marine Fisheries. National
Academy Press. Washington D.C.
Ruchimat, Dkk. 2012. Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil di Indonesia ; Paradigma, Perkembangan dan Pengelolaannya.
Publikasi Ditjen KP3K KKP. Jakarta. http://kkji.kp3k.kkp.go.id
(Diakses pada tanggal 12 Mei 2014)
Robbins, Stephen P. (2003). Perilaku organisasi. PT. Indeks Kelompok
Gramedia. Jakarta
Saleh, A. 2010. Strategi Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD)
Perairan Kecamatan Liukang Tuppabiring Kabupaten Pangkep.
Tesis. PPs Universitas Hasanuddin. Makassar.
Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah
Pesisir Tropis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
___________.2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati Di Wilayah
Pesisir Dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Susanto, H. A. 2011. Progres Pengembangan Sistem Kawasan Konservasi
Perairan Indonesia: A Consultancy Report. Kerjasama Kementerian
Kelautan dan Perikanan dengan Coral Triangle Support Partnership
(CTSP). Jakarta.
UNEP-WCMC. 2008. Nasional and Regional Networks of Marine Protected
Areas : A Review of Pregress. Cambridge: UNEP-WCMC
Walgito, Bimo. 2001. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Andi Offset.
Yogyakarta.

34

KONEKTIVITAS KAWASAN KONSERVASI

Pendahuluan

Jamaluddin Jompa et al.

Jejaring Konservasi diperkenalkan oleh IUCN yang menyatakan bahwa Jaringan


MPA merupakan kumpulan Kawasan Konservasi individu atau daerah
Pencadangan sinergis pada berbagai skala spasial, dan dengan kisaran tingkat
perlindungan yang dirancang untuk memenuhi tujuan dimana perlindungan
kawasan tidak cukup pada tingkatan yang lebih kecil (IUCN-WCPA, 2008). Saat
ini Jejaring Konservasi juga dikembangkan di Indonesia guna mengejar target 20
juta Ha Luas Kawasan Konservasi di tahun 2020, sebagaimana hasil Konferensi
Biodiversity yang menyarankan akan target Marine Protected Area (MPA) sebesar
10% dari luas Perairan Dunia.
Tahun 2013 luas
Kawasan
Konservasi perairan di Indonesia telah mencapai 15.764.210.85 Hektar yang
berjumlah 131 kawasan. Sulawesi Selatan memiliki empat kawasan Konservasi
yang semuanya terletak di Selat Makassar dan memanjang kearah selatan selat
dengan luas kawasan Konservasi mencapai 757,020 Ha atau +5% dari total luas
Kawasan Konservasi saat ini di Indonesia. Peluang untuk mencapai target
kawasan konservasi sebagaimana yang disyaratkan 20 juta Ha ditahun 2020 yang
saat ini masih kurang 4,215,870.48 masih dapat dilakukan. Kekurangan tersebut
dapat ditambahkan salah satunya dengan membuat jejaring kawasan konservasi di
Ecoregion Selat Makassar.
Kebutuhan
untuk
peningkatan
kawasan
konservasi, kepentingan dalam menjamin berkembangnya diversitas biologi dan
keberlansungan proses ekologi di Perairan, maka dilakukan pengkajian
pembentukan Jejaring Konservasi di Kepulauan Spermonde dan Kabupaten
Selayar. Selain itu, kesiapan pembentukan Jejaring konservasi juga perlu mendapat
perhatian dari sisi Kelembagaan, hal ini menjadi factor dalam berjalannya
pengelolaan kawasan serta dinamika kelembagaan sosial yang berpengaruh dalam
pengembangan Jejaring Konservasi. Oleh karenanya keterkaitan biofisik dan
kelembagaan menjadi kajian dalam Penelitian ini.
Peningkatan Luas Kawasan Konservasi dan berkembangnya diversitas biologi
melalui Jejaring Konservasi memerlukan langkah penilaian biofisik dan penilaian
kelembagaan dalam inisiasi dan pengelolaan kawasan. Penelitian ini akan melihat
(1) Bagaimana Kondisi dan Keterkaitan Biofisik Perairan Kepulauan Spermonde
dan Perairan Kabupaten Selayar sebagai daerah pembentukan Jejaring Kawasan
Konservasi Perairan (2) Apakah terdapat wilayah penting untuk perlindungan di
Perairan Kepulauan Spermonde dan Perairan Kabupaten Selayar (3) Bagaimana
35

aspek Ekologi dan Kelembagaan dalam Pembentukan Jejaring Kawasan


Konservasi Perairan di Kepulauan Spermonde dan Perairan Kabupaten Selayar
Adapun Tujuan Penelitian adalah (a) Mengetahui Kondisi dan Keterkatian
Biofisik Perairan Kepulauan Spermonde dan Kabupaten Selayar sebagai daerah
Pembentukan Jejaring Kawasan Konservasi Peraian (b) Menghasilkan Wilayah
penting untuk perlindungan di Perairan Kepulauan Spermonde dan Perairan
Kabupaten Selayar (c) Mengetahui aspek Ekologi dan Kelembagaan dalam
Pembentukan Jejaring Kawasan Konservasi Peraian,
Sementara itu manfaat penelitian ini yakni (a) Mengetahui keadaan Kondisi
Biofisik Perairan Kepulauan Spermonde dan Kabupaten Selayar, (b) Dapat
menjadi pertimbangan dalam perencanaan dalam mengelola Kawasan Konservasi
Perairan, (c) Tersedianya kajian ilmiah dalam perencanaan pembentukan Jejaring
Konservasi di Kepulauan Spermonde dan Kabupaten Selayar
Ecoregion Laut Sulawesi
Selat Makassar memiliki kelimpahan organisme dari proses pencampuran air dari
Samudra pasifik melewati Laut Sulawesi dan masuk ke Selat Makassar. Dari hasil
penelitian G Allen (Huffard, Erdmann, & Gunawan, 2012), Ecoregion Laut
Sulawesi Selat Makassar memiliki kelimpahan jenis ikan karang tertinggi diantara
ecoregion lainnya yaitu 1785 jenis ikan karang, namun tidak ditemukan ikan
karang endemic di perairan tersebut.
Untuk
jenis
karang
keras
ditemukan 511 jenis karang keras (khusus ecoregion Karang Selat Makassar), jenis
fungi memiliki 46 spesies, Stomatopod yang berasosiasi dengan Karang 37 jenis
spesies, 23 jenis vegetasi mangrove dan 2 spesies Penyu. Komposisi yang
melimpah di Selat Makassar ini menjadi saluran air dari samudra pasifik.
Ecoregion ini juga memfasilitasi penyebaran larva sehingga memiliki nilai
konservasi yang sangat tinggi dan berpotensi tinggi sebagai konektivitas koridor
masa depan yang mendistribusikan varian genetic yang telah mentolelir berbagai
kondisi lingkungan seperti dengan perubahan iklim global(Huffard, Erdmann, &
Gunawan, 2012).
Kelimpahan spesies mangrove di Selat Makassar
juga memberikan kontribusi bagi berkembangnya larva dengan ketersediaan
serasah dalam jumlah banyak. Hal ini juga diikuti dengan jumlah spesies burung
laut yang mencari makan dan berkembang di hutan mangrove. Di kepulauan
Spermonde baru baru ini juga telah ditemukan lamun dengan spesies baru yaitu
Halophila Sulawesii(Huffard, Erdmann, & Gunawan, 2012).

36

Gambar.2.1Pembagian Ecoregion Laut (MEOW) di Indonesia (Huffard,


Erdmann, & Gunawan, 2012).
Pendekatan Biofisik dan Pembentukan Kawasan Konservasi
Jenis Penelitian adalah Kuantitatif dengan pendekatan Penilaian terhadap
Keadaan Wilayah Perairan terhadap komponen biotic dan abiotic pada habitat
laut dangkal kedalaman kurang dari 200 meter. Diharapkan bahwa dengan data
sekunder juga mampu tergambarkan daerah spesifik seperti daerah dengan
keanekaragaman tinggi ikan karang, daerah lamun, terumbu karang, mangrove,
daerah pemijahan dan migrasi, daerah peneluran penyu, jalur migrasi, daerah
upwelling dan lainnya. Untuk data sebaran mangrove, lamun dan karang
didapatkan dari hasil data sekunder dan pengolahan Citra Landsat ETM yang
telah ada.
Untuk pengambilan data Primer, maka titik yang telah ditentukan dilakukan
pengecekan di lapangan untuk kebutuhan data biotic dan abiotic, Kawasan
Konservasi Perairan yang telah ada dan pengambilan data kelembagan. Setelah
masing masing wilayah tergambarkan dengan kondisi tersebut, maka selanjutnya
dilakukan pengelompokan data untuk dianalisis. Dengan tergambarnya keadaan
perairan selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan terhadap wilayah penting
perlindungan sebagai calon daerah Konservasi. Pengambilan data primer untuk
Kelembagaan dilakukan di masing masing Wilayah Kawasan Perairan Spermonde
dan Perairan Selayar. Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Spermonde dan
Kabupaten Selayar. Kepulauan Spermonde meliputi wilayah perairan dari
Kabupaten Takalar hingga Kabupaten Barru. Lokasi pengambilan data ditentukan
berdasarkan informasi data sekunder terhadap daerah yang melimpah

37

keanekaragaman hayatinya. Waktu penelitian akan dilakukan dari Bulan Februari


Hingga April. Pengambilan data dilakukan pada Bulan Februari 2014
Biofisik Kawasan Perlindungan
Kesamaan biofisik menjadi factor penting dalam kegiatan dalam perlindungan. Di
perairan Selayar dan Spermonde, salah satu indikasi untuk melihat kesamaan
biofisik di kedua perairan ini data jenis terumbu karang. Data jenis terumbu
karang yang digunakan adalah data tahun 1984 7 yang merupakan data hasil
identifikasi jenis karang di beberapa daerah bagian Indonesia timur. Data tersebut
digunakan karena menunjukkan adanya tingkat biodiversitas yang tinggi di kedua
perairan dibandingkan dengan hasil identifikasi karang saat ini. Dari hasil
perbandingangan sebelumnya dimana hasil identifikasi jenis karang saat ini
mengalami penurunan jenis karang. Sebagaimana hasil penelitian Edinger,
Jurek Kolasa, & Michael J. Risk, (2000) dimana ditemukan genera 25% lebih
sedikit dibandingkan hasil studi tahun 1980 (Moll, 1983). Kesamaan biofisik ini
dibagi menjadi tiga yakni kesamaan jenis karang, konektivitas dan keterwalikan
wilayah.
Jumlah jenis karang yang ditemukan di kedua peraian berbeda, dimana
Spermonde lebih banyak dibanding dengan Selayar dan Takabonerate. Jenis yang
ditemukan di ketiga perairan tersebut Faviidae dengan 43 jenis, Fungiidae dengan
25 jenis, Acroporidae dengan 22 jenis dan total jenis yang ditemukan untuk
seluruh family 138 jenis. Jenis karang yang tidak ditemukan di Selayar tetapi
ditemukan di Spermonde sebanyak 31 jenis karang. Jenis karang ini seperti
Acroporidae Jenis Montipora informis Bernard, Fungiidae Halomitra spec. nov. Fungiidae
Halomitra spec.nov.Sekitar 25 spesies hanya ditemukan di Selayar. Sementara Semua
spesies lain juga ditemukan di perairan Spermonde (MOLL, 1983). Di perairan
Takabonerate daerah identifikasi Taka Garlarang, Taka Lamungan dan karang di
sekitar Tinanja terumbu ditemukan sekitar 200 jenis karang dan ditemukan
spesies Spesies langka atau baru (Montipora spec. 1, Acropora spec. 2 dan Acropora spec.
6). Phy-sophyllia patula Hodgson & Ross, sejauh ini hanya dijelaskan dari Filipina,
juga ditemukan di daerah ini(Best, et al., 1989).

7M.

Borel Best et all, Recent Scleractinian Coral Species Collected During The Snellius-Ii
Expedition In Eastern Indonesia (1984)Netherlands Journal of Sea Research 23 (2): 107-115
(1989)

38

Gambar 4.4 Trend tutupan karang hidup di Perairan Spermonde dan


SelayarSesuai dengan tabel 5.1, berdasarkan data kehadiran dan ketidakhadiran
jenis karang pada ketiga perairan tersebut, didapatkan tingkat kesamaan jenis
karang diatas 70% dengan tingkat kesamaan tertinggi yaitu Selayar-Takabonerate.
Perbedaan tingkat kesamaan jenis karang dipengaruhi oleh factor jarak dan isolasi
perairan. Jarak yang semakin jauh maka tingkat kesamaan akan rendah
sebagaimana antara Spermonde dan Takabonerate..
Tabel 5.1 Analisis persentase kesamaan jenis karang di Selayar dan Spermonde
(A)
(A) SepermondeSpermonde(B)Takabonerate
(B)Selayar
No. of spp. Area A
241
241
No. of spp. Area B
200
202
Common sp.
165
160
No. of spp. Area A only 56
81
No. of spp. Area B only
32
50
Percentage similarity
75%
72%
Sumber Data : Hasil Analisis dan data Sekunder Best, et al., (1989)

Perbandingan

(A)
Selayar(B)Takabonerate
200
202
159
29
43
79%

Selain jenis karang, factor fisik perairan juga memiliki hubungan dimana adanya
aliran arus yang mentransport, nutrient dan element lainnya yang berasal dari
utara ke selatan perairan maupun sebaliknya. Hal ini sebagaimana kedua perairan
39

ini pada bulan Maret dimana arus dari Spermonde dari utara menuju keselatan
yaitu ke perairan Selayar dan bercampur dengan arus yang berasal dari Laut Jawa.
Arah arus bergerak menjauhi pesisir takalar dan bergerak Ke arah barat.
Sementara pada bulan Juli arus bergerak dari Selatan yaitu dari laut flores menuju
perairan selayar dan kemudian menyisir pesisir pulau Sulawesi dan menuju ke
Spermonde dengan kecepatan hingga 60 cm/det, factor perubahan ini terkait
dengan perubahan Musim. Kedua perairan ini menujukkan adanya hubungan
keterkaitan karena factor arus yang bolak balik sepanjang tahun, dan kedua daerah
ini tidak terhalangi oleh daratan dan juga tidak terisolasi, sehingga memungkinkan
rekruitmen/transper larva dapat terjadi diantara keduanya.
Konektivitas di perairan dipengaruhi oleh factor massa air, namun untuk melihat
apakah kedua perairan memiliki konektivitas salah satunya dengan mengetahui
sebaran larva dan kemiripan secara genetic antara populasi. Sebaran larva
Heliofungia actiniformis (Scleractinia:Fungiidae) rata rata tersebar hingga jarak 52
Km di Kepulauan Spermonde (Knittweis, Kraemer, Timm, & Kochzius, 2009),
sementara Seriatopora hystrix memiliki diferensiasi genetic hingga 90 km di Great
BarrierReef(Ayreand Dufty 1994).

Gambar 4.3 Pola Pergerakan Arus Bulan Juli (diatas ) dan Agustus (bawah)
Sumber Data : Hasil Analisis
Faktor oceanography di perairan Spermonde dan Selayar yang terjadi pada bulan
Juli memperlihatkan adanya arah arus dominan dari utara keselatan. Hal ini juga
didukung dengan tingkat kesamaan jenis karang semakin rendah seiring dengan
jarak yang makin jauh dari perairan Spermonde. Diantara daerah Spermonde dan
40

Selayar seperti pesisir Jeneponto, Bantaeng jarang ditemukan daerah terumbu


karang, hal bisa saja mendapat pengaruh local seperti sedimentasi dan arus. Arus
yang bergerak dari Spermonde menuju selayar, tidak melalui perairan tersebut,
melainkan menjauh kearah bagian luar jauh dari pesisir, kemudian berbelok
menuju perairan selayar. Selain pergerakan biota laut jenis karang, pergerakan
penyu juga telah diketahui bahwa penyu merupakan hewan dengan kemampuan
bergantung tinggi terhadap habitat peneluran, dan migrasi. Spermonde dan
selayar merupakan dua tempat habitat peneluran dan habitat migrasi penyu hijau.
Pergerakan penyu yang memanfaatkan habitat tersebut menujukkan adanya
konektivitas habitat yang memberi ketergantungan tinggi terhadap penyu hijau.
Oleh karena karakteristik migrasi yang panjang dengan jarak ribuan kilometer
(Raja Ampat- Kalimantan) maka migrasi ini akan menunjukkan jalur maupun
tujuan yang relatif konsisten.
KKPD Pangkep dan TWP Kapoposang berada di satu gugusan kepulauan yaitu
Spermonde, sebagian besar pulaupulaunya terdapat karang tepi (fringing reefs)
dengan rataan terumbu karang umumnya memiliki lebar 100 200 meter.
Bilamana mengacu pada rekomendasi perlindungan 20-30% pada berbagai level
komunitas di daerah no take area(Zona inti), maka spermonde sebagai satu
kesatuan sterumbu karang yang saling berhubungan belum mencapai persentase
tersebut yang baru 5% perlindungan untuk terumbu karang. Hal ini juga sama di
Perairan Selayar dimana perlindungan habitat terumbu karang yang mencapai
7.0% di daerah Zona inti.
Di dalam kawasan yang telah ada, replikasi telah dilakukan seperti di TNBT, dan
KKPD Pangkep. TWP Kapoposang, luas zona inti hanya 2% dari luas kawasan
dan tersebar dalam dua lokasi zona inti, untuk kawasan tersebut maka terlihat
bahwa replikasi perlindungan habitat masih rendah sehingga memiliki ancaman
terhadap gangguan pemanfaatan dan pemulihan habitat. Selain factor zona inti,
untuk pengembangan jejaring, replikasi menjadi hal yang penting. Replikasi atau
melindungi lebih dari satu habitat yang sama. Replikasi perlindungan
meminimalkan risiko ketika habitat mengalami gangguan yang sama. Jika
beberapa daerah habitat yang dilindungi bertahan terhadap dampak, maka daerah
tersebut dapat bertindak sebagai sumber larva untuk pemulihan bagi daerah lain.
Kelembagaan Kawasan Konservasi
Perkembangan kelembagaan pengelola kawasan ditunjukkan dengan
meningkatnya tingkatan kelembagaan pengelola seiring dengan perubahan
tingkatan kawasan konservasi. KKPD yang ada di Pankep dan Selayar juga
demikian berawal dari kawasan konservasi yang dikelola dan dibentuk tingkat
41

desa yaitu DPL kemudian dari kawasan ini berkembang menjadi KKPD yang
dilanjutkan dengan kajian inisiatif pembentukan KKPD. Perkembangan tingkatan
kelembagaan menunjukkan adanya upaya untuk mengefektifkan pengelolaan
dengan melakukan penyelenggaraan konservasi secara otonom sebagaimana pada
TNBTR hal ini tentunya berdampak pada alokasi anggaran yang juga semakin
tinggi. Dari hasil laporan lakip TNBTR 2013, menunjukkan bahwa anggaran yang
tinggi untuk pengelolaan telah menghasilkan kinerja yang baik sebagaimana target
pengelolaan. Permasalahan juga masih terdapat didalam kawasan TNBTR,
misalnya aktivitas Illegal fishing dan destructive fishing masih terjadi, dan
kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Permasalahan tersebut
merupakan pengaruh external kelembagaan yang muncul sebagai akibat dari usaha
perikanan yang tidak terkontrol, juga melibatkan berbagai stakeholder lain.
Khusus di Perairan Selayar, usaha perikanan melibatkan banyak pihak dan politik
local sehingga TNBTR perlu meningkatkan dan menjalin komitmen dan kemitraan
yang kuat dengan instansi terkait.
Hasil evaluasi E-KKP3K tahun 2013 menunjukkan bahwa rapor merah untuk
KKPD Pangkep dan Selayardan TWP Kapoposang Kuning. Kesimpulan merah
berarti berarti kawasan telah memiliki SK pencadangan, dan kuning atau tingkat 2
berarti lembaga pengelola telah terbentuk dan rencana pengelolaan tersedia. TWP
Kapoposang dengan pencapaian tingkat dua,memiliki permasalahan anggaran dan
kapasitas pengawasan kawasan yang masih minim. Permasalahan untuk KKPD,
dengan hasil rapor merah, Kelembagaan pengelola KKPD Selayar belum
memiliki SK Bupati, namunmemilikiLembaga pengelola (SK Kepala
Organisasi).Saat ini Baik KKPD Selayar maupun Pangkep telah memasuki 4
tahun masa pencadangan.
Penguatan Kapasitas Kelembagaan
Konsekuensi dari besarnya permasalahan kelembagaan yang dimana faktornya
adalah internal terutama di KKPD dan TWP, maka pilihannya adalah
meningkatkan kapasitas kelembagaan. Pilihan untuk peningkatan kapasitas salah
satunya dengan peningkatan tipe kelembagaan karena kelembagaan dengan tipe
yang tinggi juga memiliki kewenangan mengelola anggaran yang lebih besar. Oleh
karenanya, kelembagaan perlu ditingkatkan. Misalnya kelembagaan dapat
berbentuk Unit Pelaksana Teknis yang di ditetapkan oleh Bupati. Sementara
untuk TWP Kapoposang maka dapat ditingkatkan menjadi UPT Pengelola untuk
memperkuat penyelenggaraan konservasi di Perairan Spermonde.

42

Tabel
5.2 Hasil Analisis Upgrading Kelembagaan Pengelola Kawasan
Perlindungan Perairan di Selayar dan Spermonde
Kawasan

KKPD Sel.

KKPD Pangkep

TWP Kap

Bentuk
Lembaga

Lembaga
Pengelola

Seksi Pengawasan Satker BKKPN


dan Konservas

Upgrading

UPT

UPT

UPT

Alasan dan Mendorong Alokasi Anggaran Dapat mengelola anggaran


yang rutin
dan
menyelenggarakan
Peluang
kegiatan konservasi secara
Kesempatan
untuk
baik tanpa harus kordinasi
mendapatkan pendapatan di
dengan BKKPN Kupang
dalam kawasan
Dapat
mengembangkan Memiliki kesempatan untuk
meningkatkan anggaran dan
kegiatan
peningkatan infrastruktur dan
Peluang membuka kerjasama
SDM
lebih mudah
Peningkatan
SDM
dan Peluang membuka kerjasama
lebih mudah
Kapasitas

Sumber Data : Hasil Analisis


Tabel 5.3 Hasil Analisis pengembangan Jejaring Konservasi Perairan Kawasan Perlindungan
Perairan di Selayar dan Spermonde
Kawasan
KKPD Sel.
KKPD Pangkep
TWP Kap
Bentuk Lembaga Lembaga Pengelola
Jejaring
Konservasi

Seksi Pengawasan Satker BKKPN


dan Konservas

Jejaring Tata kelola Jejaring Tata Kelola Perairan


bersama
dengan melibatkan TWP, KKPD (Pangkep,
TNBTR
Takalar, Makassar, Barru)

Spermonde

Bentuk Lembaga Forum

Forum

Alasan
Peluang

Pengembangan program berorientasi pada satu


ecoregion dan kawasan yang saling
berhubungan. Spermonde merupakan satu
kesatuan terumbu di lima kabupaten.
Memiliki kesempatan untuk meningkatkan
Luas Kawasan perlindungan
Memberikan
Kemudahan
terhadap
pembentukan kawasan baru di kabupaten lain,
dimana jejaring biofisik spermonde sebagai
rujukan.
Memperluas daerah cakupan pengawasan

dan Meningkatkan
kerjasama
penguatan
penegakan
hukum perairan
Dapat mengelola
perencanaan
pariwisata bahari
secara bersama
Membuka
peluang
untuk

mengembangkan
Kawasan yang
lebih luas.

Dasar Biofisik

Kesamaan jenis
karang
yang
tinggi
Sebagai habitat
Penyu
Memiliki biota
lindung
yang
sama
seperti
Kima, Napoleon

sehingga mengurangi Aktifitas Destructive


fishing dan illegal fishing yang melibatkan
pelaku antar daerah
Meningkatkan pendanaan bagi Pengelola
KKPD
Peluang membuka kerjasama lebih mudah dan
efektif dalam berbagai monitoring habitat
Melindungi lebih banyak daerah migrasi dan
daerah pemijahan
Peluang untuk Restorasi habitat dapat
berkembang pada tingkat yang lebih luas

Spermonde melingkupi perairan 5 kab, dan


merupakan satu kesatuan hamparan terumbu
beserta pulau pulanya
Diferensiasi Genetik Heliofungia actiniformis
hingga jarak 65 Km
Merupakan daerah kritis seiring dengan
penurunan jumlah jenis karang 25%
Arus Lintas Indonesia yang melewati Kep.
Spermonde memperkaya keragaman genetic

dan lain lain


Sasaran Jejaring Penguatan
Kapasitas
Konservasi
Kelembagaan
Pengelola
Kawasan
Peningkatan
Penegakan
Hukum
di
Kawasan
Konservasi
Memperkuat
Tujuan
positioning
penyelenggara
perlindungan
perairan agar dapat
mendorong
penegakan hukum
yang sinegis serta
mengasimilasi
pemahaman
konservasi kedalam
budaya dan sosial

berbagai spesies karang dan biota lainnya.


Peningkatan Kawasan Perlindungan yang
mewakili habitat di Kep. Spermonde
Restorasi habitat di Perairan Spermonde
Peningkatan Penyelenggaraan Konservasi di
Kep. Spermonde

Mendorong peningkatan perlindungan dan


pengelolaan biodiversitas habitat komunitas,
spesies dengan kapasitas pengelola yang juga
meningkat untuk mencapai restorasi habitat yang
seimbang antara pemanfaatan dan pelestarian

masyarakat
Selayar.

di

Sumber Data : Hasil Analisis

KKPD Selayar mengalami hambatan dalam penyelenggaran konservasi oleh


karena kelembagaan yang belum memadai (lembaga pengelola), akan tetapi
kegiatan pengawasan terbantu dengan dukungan dari TNBTR dan Kapolres yang
juga aktif dalam pengawasan. Kondisi ini menunjukkan adanya peluang untuk
menyelenggarakan jejaring kerjasama dalam pengelolaan kawasan di Perairan
Selayar karena memiliki sasaran perlindungan biofisik yang relative sama yaitu
terumbu karang dan berada dalam satu wilayah ekoregion. Kegiatan kerjasama
saat ini baru sebatas dalam kegiatan pengawasan, akan tetapi dalam bentuk non
formal juga terlibat kegiatan kegiatan seperti kegiatan pariwisata bahari (Festival
Takabonerate), kampanye perlindungan biota lindung dan lain lain.
Dari kondisi tersebut, maka Peluang untuk membentuk jejaring tata kelola di
perairan selayar dapat lebih mudah dan dapat dikembangkan untuk memperkuat
kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia melalui pertukaran informasi
dan penguatan terhadap kinerja kelembagaan. Kondisi ini mungkin didapatkan
karena dengan adanya TNBTR yang sudah memiliki kapasitas pengelolaan
kawasan yang baik dan proses pembelajaran yang panjang dalam mengelola
kawasan. Khusus untuk penegakan hukum, maka jejaring dapat dibentuk lebih
luas dengan melibatkan unsur Kejaksaan, TNI Angkatan laut untuk memperkuat
penegakan hukum. Pembentukan jejaring telah dijelaskan Laumann, Knoke, &
Kim, 1985; Provan & Milward, 1995; Knoke et aL, 1996), dalam Weible& Paul A.
Sabatier, 2005),alasan untuk membentuk jaringan adalah untuk bertukar berbagai
sumber daya, seperti uang, staf, atau layanan.
Kesatuan biofisik perairan di beberapa kabupaten yang berada dalam kepulauan
Spermonde, sepatutnya juga menyediakan daerah untuk perlindungan. KKPD
pangkep lahir karena difasilitasi melalui project Coremap II, dimana kegiatan ini
hanya dilakukan di satu kabupaten di Spermonde yaitu di pangkep. Hal ini dirasa
sebagai kekurangan, dimana sedapat mungkin program didorong untuk
mencakup Kepulauan Spermonde agar dapat mendorong perlindungan kawasan
dengan kesatuan biofisik yang saling berhubungan. Factor kesatuan biofisik ini
dapat menjadi pertimbangan dalam pembentukan jejaring perlindungan. Namun
melihat dari belum tersedianya kawasan konservasi di Kab. Makassar, Maros, dan
Takalar maka, dasar berfikir jejaring ekologi dapat menjadi rujukan dalam
pembentukan kawasan konservasi di daerah tersebut. Sebenarnya di Kota
Makassar dengan 12 pulau pulau kecil dan rataan terumbu, telah menginventaris
data biofisik dan sosial ekonomi untuk menjadi daerah rencana perlindungan,
namun dari hasil kajian tersebut belum menggambarkan kompleksitas data yang
kuat untuk menjadi daerah rujukan sebagai daerah rencana pencadangan.

Membangun Jejaring Pengelolaan Kawasan Perlindungan


Keterkaitan dan kesamaan biofisik di perairan selayar dan spermonde,
menempatkan Spermonde sebagai daerah supply atau sebagai hulu dikarenakan
arus dominan bergerak dari utara ke selatan, dan dengan jenis spesies karang yang
lebih melimpah dibandingkan dengan Selayar dan Takabonerate. Kondisi ini
menunjukkan bahwa keterkaitan biofisik kedua perairan dipengaruhi oleh Arus
local dan Arus lintas Indonesia yang keduanya dominan menuju Selatan,
walaupun jarak antara spermonde dan selayar cukup jauh (+ 150 Km TanakekeSelayar). Kondisi ini dapat menjadi dasar dalam menetapkan jejaring ekologi.
Khususnya untuk pengembangan kerangka Konservasi di Provinsi Sulawesi
Selatan dapat dikembangkan dengan menambahkan gugusan terumbu karang di
teluk Bone terutama di perairan bone dan sinjai sebagai satu kesatuan pengelolaan
jejaring ekologi terumbu karang. Yaitu Kep. Spermonde sebagai satu jejaring dan
Kep. Selayar-Perairan Bone-Sinjai juga sebagai jejaring karena perbedaan
ecoregion. Sementara untuk kerangka penguatan perairan, jejaring ekologi
ditingkat kepulauan yang sama dalam satu ecoregion dapat dibentuk yaitu jejaring
kawasan konservasi tingkat lokal di kepulauan Spermonde, dimana daerah ini
terdiri atas 5 kabupaten dalam satu hamparan daerah terumbu karang yaitu Barru,
Pangkep, Maros, Makassar dan Takalar
Aspek keterkaitan biofisik menjadi dasar pembentukan jejaring, seperti
Oseanography, limnology, bioekologi perikanan, daya tahan lingkungan dan daya
lenting lingkungan. Kondisi biofisik dan keterkaitan ecologi didalam kawasan
Spermonde menjadi pertimbangan untuk penyelenggaraan konservasi dengan
model Jejaring Konservasi lokal, namun masalah terbesar adalah kesamaan
pandangan pelaku dan pentingnya jejaring bagi para pemangku kepentingan di
wilayah tersebut. Di beberapa daerah ada yang mengerti dan memahami secara
baik, namun ada yang belum memahami dan bahkan tidak mengetahui manfaat
tersebut. Komitmen para pelaku untuk berjejaring juga ditunjukkan, namun
bagaimana komitmen tersebut dapat diukur dan terimplementasi akan banyak
variabel dan faktor yang mempengaruhinya. Oleh karenanya dalam mendorong
konsep penyelenggaran perlindungan perairan dengan model jejaring perairan
lokal Spermonde sangat perlu dilakukan dengan kehati hatian melalui kajian
kelembagaan, ecologi, sosial dan ekonomi yang saling terkait dan interdisplin agar
tiap sistem dan subsistem tersebut dapat mencapai tujuannya .
Dalam mendorong penyelenggaran konservasi berbasis kawasan di perairan
spermonde, maka perhatian terhadap manfaat yang didapatkan bagi daerah dapat
terukur sehingga tiap pelaku memiliki kemauan untuk berkoalisi atau berjejaring
guna mendapatkan yang lebih, terutama pada desan kelembagaan. Permen KKP
13 tahun 2014 tentang Jejaring Kawasan Konservasi Perairan mengisyaratkan
2

bahwa kelembagaan untuk Jejaring kawasan konservasi lokal dapat dibentuk


forum atau sekretariat yang dibentuk melalui kerjasama satuan pengelola
organisasi.Perbedaan mendasar tentang forum dan sekertariat, tergambar pada
tujuan pembentukan kelembagaan apakah hanya berfungsi sebagai media
kordinasi antara para pengelola atau menjadi pendorong percepatan pengelolaan
yang efektif (tata kelola, ecology, dan sosial ekonomi) secara bertanggungjawab.
Di Spermonde, kebutuhan kelembagaan adalah mendorong peningkatan
perlindungan dan pengelolaan biodiversitas habitat komunitas, spesies dengan
kapasitas pengelola yang juga meningkat untuk mencapai restorasi habitat yang
seimbang antara pemanfaatan dan pelestarian. Sementara di Selayar kebutuhan
kelembagaan adalah saling memperkuat positioning penyelenggara perlindungan
perairan agar dapat mendorong penegakan hukum yang sinegis serta mengasimilasi
pemahaman konservasi kedalam budaya dan sosial masyarakat di Selayar. Untuk
mengakomodasi tujuan tersebut, baik di selayar maupun di spermonde,
kelembagaan untuk jejaring tidak hanya sebatas mengelola program jangka
pendek atau pusat informasi, sebagaimana pada kelembagaan sekertariat, hal ini
berbeda dengan forum. Forum menjadi pilihan dalam pengelolaan jejaring
konservasi, oleh karena keanggotaan dalam forum memiliki tanggung jawab
dalam pencapaian tujuan kelembagaan tersebut. Sejumlah ruang lingkup tentang
jejaring telah dijabarkan dalam Peraturan Menteri, seperti kegiatan restorasi,
pengelolaan perikanan berkelanjutan, perlindungan biota bermigrasi dan
terancam, hingga pada pembiayaan.
Kelembagaan forum sangat baik dalam hal perencanaan, namun implementasnya
mendapat sejumlah masalah(Saptana, 2004).Kelembagaan forum memiliki
kelemahan seperti kesadaran para pengelola yang rendah terhadap tanggung
jawab, sebagian besar forum diisi oleh birokrat, belum adanya dana operasional
khusus, sistem informasi dan kantor pengelola tidak tersedia. Selain itu hal yang
paling mendasar adalah aspek legal kelembagaan, misalnya legalitas dari
pemerintah Provinsi atau kementerian atau kerjasama antara Satuan pengelola.
Strategi dalam mendorong kerjasama jejaring dapat didorong dengan menjalin
Hubungan saling ketergantungan fungsional ( Chisholm , 1989) atau
ketergantungan sumber daya ( Pfeffer & Salancik , 1978)dalam(Weible & Paul A.
Sabatier, 2005).
Moll, et.al, (1981)menyatakan bahwa daerah ini (Spermonde) bisa diselamatkan
dari eksploitasi yang berlebihan. Sebuah rencana manajemen yang baik akan
mampu mengendalikan industri dengan pertumbuhan dan tuntutan pariwisata.
Langkah untuk mendorong forum jejaring konservasi untuk tujuan restorasi dan
pengelolaan biodiversitas habitat, komunitas, dan jenis di Spermonde, merupakan
hal yang cukup sulit mengingat kondisi kelembagaan dan pendanaan bagi
3

pengelola, namun jika hal ini berhasil maka dapat menjadi contoh atau
pembelajaran bagi daerah lain dalam hanya sebatas pada kegiatan pengawasan.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan, maka dapat
ditarik kesimpulan penelitian yakni (1) Perairan Spermonde dan Selayar memiliki
keterkaitan biofisik sebagai pengaruh dari arus local dan Arus lintas Indonesia
(Arlindo) yang dominan bergerak dari utara ke Selatan, sehingga memberikan
pengaruh terhadap aliran larva dan kesamaan jenis karang yang tinggi. Kondisi
perairan ditunjukkan dengan keanekaragaman jenis karang menurun 25% di
Spermonde dalam 33 tahun. Sementara di Selayar dan Takabonerate berbeda,
dimana Takabonerate keanekaragaman jenis karang meningkat seiring dengan
kegiatan perlindungan. (2) Pengembangan daerah perlindungan dapat dilakukan di
kedua perairan, guna mencapai perlindungan habitat hingga 20%. Pengembangan
jejaring dengan dasar ekologi dikembangkan secara terpisah dikedua perairan oleh
karena berbeda ecoregion. (3) Di Spermonde dapat dikembangkan Jejaring
pengelolaan perairan untuk mendapatkan zona inti hingga 20% perlindungan
habitat dan mendorong restorasi habitat. Pendekatan jejaring ini menjadi rujukan
terhadap pengembangan kawasan konservasi perairan didaerah lain di Spermonde
yang belum memiliki Kawasan perlindungan. Factor kelembagaan sangat
berpengaruh terhadap penyelenggaran konservasi, semakin besar kapasitas
kelembagaan akan semakin baik, dimana kelembagaan juga bergantung pada Jenis
Kawasan Konservasi perairan.
Saran
Untuk pengembangan jejaring Kawasan konservasi, maka pendekatan
kompleksitas dan kehati hatian perlu digunakan agar dapat mengetahui manfaat
dan berbagai kemungkinan implikasi yang muncul dalam jejaring Konservasi.
Dimana bukan hanya pendekatan ekologi, social ekonomi, dan kelembagaan
tetapi bagaimana hubungan antara keduanya saling mempengaruhi agar tidak
menimbulkan konflik, melainkan disusun untuk menciptakan pencapaiannya.
Factor kelembagaan menjadi masalah dalam penyelenggaran konservasi, bukan
pada penegakan hukum atau kesadaran masyarakat, tetapi sejauh mana kinerja
dan kapasitas kelembagaan dalam penyelenggaraan konservasi. Oleh karenanya
seiring dengan pembelajaran di TNBTR, maka sepatutnya Kementerian Kelautan
Perikanan untuk memperbanyak pembelajaran pada kelembagaan tersebut karena
telah memiliki pengalaman yang panjang dan juga berhasil menciptakan kapasitas
yang besar dan menjadi rezim perlindungan. Sebagaimana Kapolres Selayar dalam
Visi Misinya yang kurang lebih mengatakan bahwa kita harus menyelamatkan

lingkungan dan manusia yang tidak bisa melihat kebenaran dan tersesat dalam
kegiatan pengrusakan

Daftar Pustaka
Akbar, I. A. (2008). Keragaman Suhu Dan Kecepatan Arus Di Selat Makassar Periode
Juli 2005 Juni 2006 (Mooring INSTANT) [ Skripsi ]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Alder, J., N. A. Sloan, & Henk Uktolseya. (1994). A Comparison of Management
Planning and Implementation in Three Indonesian Marine Protected
Areas. Ocean & Coastal Management 24, 179-198.
Balai Taman Nasional Takabonerate. (2012). Review Rencana Pengelolaan Taman
Nasional Takabonerate Tahun 1997-2022 Kabupaten Kepulauan Selayar. Selayar:
TN Takabonerate.
Ban, N. C. (2009). Minimum data requirements for designing a set of marine
protected areas, using commonly available abiotic and biotic datasets.
Biodivers Conserv (2009) 18 Springer, 1829-1845.
Barber, P. H. (2000). Biogeography A Marine Wallace's line ? Nature Vol 406,
692-693.
Best, M., B.W. Hoeksema , W. Moka , H. MOLL , Suharsono , & I Nyoman
Sutarna. (1989). Recent Scleractinian Coral Species Collected During The
Snellius-II Expedition In Eastern Indonesia. Netherlands Journal of Sea
Research 23 (2), 107-115.
BPSPL. (2010). dan diolah dari Buku Inventarisasi Data Potensi Penyebaran Biota
Perairan Laut yang masuk Appendiks Cites dan yang dilindungi di Sulawesi .
Makassar: BPSPL.
BPSPL. (2011). Identifikasi Dan Pemetaan Jenis Ikan Yang Dilindungi Dan Tidak
Dilindungi Yang Masuk Appendiks Cites Di Sulawesi Selatan . Makassar:
BPSPL.
Burke, L., Reytar, K., Spalding, M., & Perry, A. (2012). Menengok Kembali Terumbu
Karang yang Terancam di Segitiga Terumbu Karang (Terjemahan). World
Reseources Institute.
Callum M, & Roberts. (2001). Designing Marine Reserve Networks Why Small,
Isolated Protected Areas Are Not Enough . Summer Vol 2 no. 3 .
Callum, Roberts, & al, e. (2003). Application Of Ecological Criteria In Selecting
Marine Reserves And Developing Reserve Networks. Ecological
Applications 13, 215228.

Clifton, J. (2003). Prospects for co-management in Indonesia's marine protected


areas. MarinePolicy 27, 389395.
Cowen, R. (2002). Larval dispersal and retention and consequences for
population connectivity. Ecology of Coral Reef Fishes: Recent Advances. , 149
170.
Denny, W. (2010). Karakteristik Habitat Mamalia Laut di Kepulauan Seribu Jakarta
Utara [ Skripsi ]. Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Diamond , J. (1972). Biogeographic kinetics: estimation of relaxation times for
avifaunas of southwest Pacific islands. Proc. natn. Acad. Sei. , (pp. 199-203).
USA.
Diamond, J. (1975). The Island Dilemma : Lessons of Modern Biogeographic
Studies For The Design of Natural reserves. Biology Conservation, 129-146.
Direktorat Konservasi Kawasan Dan Jenis Ikan. (2014, Januari 2). Retrieved from
Direktorat
Konservasi
Kawasan
Dan
Jenis
Ikan:
http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/basisdata-kawasankonservasi/details/1/92
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. (2014, Februari 16). Capaian
2013: Pengelolaan Efektif KKP-3K Capai 3,647 juta Hektar, luasan KKP-3K
bertambah 689 ribu hektar. Retrieved from Direktorat Konservasi Kawasan
dan Jenis Ikan: http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/en/beritabaru/186capaian-2013-pengelolaan-efektif-kkp-3k-capai-3,647-juta-hektar,-luasankkp-3k-bertambah-689-ribu-hektar
Direktorat Konservasi Kawasan Dan Jenis Ikan. (2014, Januari 29). Capaian 2013:
Pengelolaan Efektif KKP-3K Capai 3,647 juta Hektar, luasan KKP-3K bertambah
689 ribu hektar. Retrieved from Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan:
http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/beritabaru/186-capaian-2013pengelolaan-efektif-kkp-3k-capai-3,647-juta-hektar,-luasan-kkp-3kbertambah-689-ribu-hektar
Dit. KKJI. (2013). Strategi Pengembangan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan di
Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau
Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Edinger, E., Jurek Kolasa, & Michael J. Risk. (2000). Biogeographic variation in
coral species diversity on coral reefs in three regions of Indonesia.
Diversity and Distributions 6, 113-127.
7

Erftemeijer PLA, O. R. (1993). Primary production of seagrass beds in South


Sulawesi (Indonesia): a comparison of habitats, methods and species. , .
Aquat Bot : 46, 67-90.
Fernandes. L, A. G. (2012). Biophysical principles for designing resilient networks of marine
protected areas to integrate fisheries, biodiversity and climate change objectives in the
Coral Triangle. The Nature Conservancy for the Coral Triangle Support
Partnership.
Fernndez,M, & Castilla, J. C. (2005). Marine Conservation in Chile: Historical
Perspective, Lessons, and Challenges. Conservation Biology 19(6):, 1752-1762.
Groonbridge, B., & Jenkins, M. (2002). Wordl Atlas of Biodiversity Prepared by the
UNEP World Conservation Monitoring Centre. Barkeley USA: University of
California.
Gustiar, C. (2005). Analisis Kelembagaan Dan Peranannya Dalam Penataan Ruanc Di
Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Handoko, E. Y. (2004). Satelit Altimetri dan Aplikasinya dalam Bidang Kelautan.
Pertemuan Ilmiah Tahunan I. Surabaya: Teknik Geodesi ITS Surabaya.
Heliani, L. S. (2009, 6 23). Dinamika Fisis Perairan Indonesia Dari Data Altimeter
(I).
Huffard, C., Erdmann, M., & Gunawan, T. (2012). Geographic Priorities For Marine
Biodiversity Conservation In Indonesia. Jakarta: Ministry of Marine Affairs and
Fisheries and Marine Protected Areas Governance Program.
Huffard, C., Erdmann, M., & Gunawan, T. (2012). Goegraphic Priorities for Marine
Biodiversity Conservation In Indonesia. Jakarta: Ministry of Marine Affairds
and Fisheries and Marine Protected Areas Governance Program.
Hutomo, M. (1985). Sumber daya ikan terbang. Jakarta: LIPI .
Ilahude, A. (1970). On the Occurrence of Upwelling in the Southern Makassar
Strait. Mar. Res. Indonesia, 10, 3-53.
Imran, A., Kaharuddin, M., Suriamihardja, D., & Sirajuddin, H. (2013). Geology
Of Spermonde Platform. Proceedings of the 7th International Conference on
Asian and Pacific Coasts (APAC 2013), (p. 1062). Bali.
Inaku, D. F. (2011). Analisis Pola Sebaran Dan Perkembangan Area Upwelling Di
Bagian Selatan Perairan Selat Makassar [ Tesis ]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.

Indar, Y. N., Munsi, L., & Kahar, L. (2002). Sistem Sistem Tradisional Sebagai Pranata
Institusi Dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Di Wilayah Pesisir.
Makassar: Universitas Hasanuddin 2002.
IUCN-WCPA, I. W. (2008). Establishing Marine Protected Area NetworksMaking It
Happen. Washington, D.C: IUCN-WCPA, National Oceanic and
Atmospheric Administration and The Nature Conservancy 118 p.
Jalil, A. R. (2013). Distribusi Kecepatan Arus Pasang Surut Pada Muson Peralihan
Barat-timur Terkait Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil Di Perairan
Spermonde . Depik 2 (1), 26-32.
Jamaluddin Jompa, Willem Moka , & Dewi Yanuarita. (2007). Kondisi Ekosistem
Perairan Kepulauan Spermonde: Keterkaitannya dengan Pemanfaatan
Sumberdaya Laut di Kepulauan Spermonde. 265.
Jentoft , S., Thijs C. van Son, & Maiken Bjurkan. (2007). Marine Protected Areas:
A Governance System Analysis. Hum Ecol 35, 611-622.
Jones, G. (1991). Postrecruitment Processes in the Ecology of Coral Reef Fish Population. A
Multivactorial Perspective dalam The Ecology of Fishes on Coral Reef. Durham:
Departement of Zoology University of New Hamspire.
kepselayarkab.go.id. (2014, January 11). Redaksi: Jl. Jend. Ahmad Yani No. 1 Benteng,
Kepulauan
Selayar.
Retrieved
from
kepselayarkab.go.id:
http://kepselayarkab.go.id/2013/09/781/
Kikutchi, T. (1980). Faunal Relationship in Temperate Seagrass Bed. In R. C.
Phillips, Handbook of Seagrass Biology. An Ecosystem Approach (pp. 153 -172).
New York,: Garland Press.
KLH. (2014, January 1). Kementerian Lingkungan Hidup. Retrieved from
Kementerian
Lingkungan
Hidup:
http://www.menlh.go.id/DATA/Peta%20lampiran%20factsheet.pdf
Knittweis, L., Kraemer, W. E., Timm, J., & Kochzius, M. (2009). Genetic
structure of Heliofungia actiniformis (Scleractinia:Fungiidae) populations
in the Indo-Malay Archipelago: implications for live coral trade
management efforts. Conserv Genet 10, 241249.
Kuo,

J. (2007). New monoecious seagrass of Halophila sulawesii


(Hydrocharitaceae) from Indonesia. Aquatic Botany 87 , 171-175.

Kurniawan, E. P. (2003). Bathimetri, Komposisi sedimen Dan Acoustic Bottom


Backscattering Strength Dasar Laut Dalam Diselat Makassar [ Skripsi ]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Laevastu, T. d. (1981). Fisheries Oceanography and Ecology. New York: Fishering
News Book Ltd.
Lampe, M. (2008). Kajian Masyarakat Maritim [Buku Bahan AJar]. Makassar:
Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin.
lllahude , G. (1978). On The Effecting The Productivity of The Southern.
Makassar Strait. Marine Research in Indonesia. 21:, 81-107.
McConnell, R. (1987). Ecological Studies in Tropical Fish Communities. Cambridge
University Press.
Miller, G., & Spoolman, S. (2009). Essentials of Ecology 5 Edition. United States:
Cengage Learning.
Moka, A. (2001). Bentuk Kepulauan Spermonde (Sangkarang). Materi Pendidikan
dan Latihan Metodologi Penelitian Terumbu Karang. Puslitbang Oseanologi
LIPI-UNHAS-BAPPEDA SULAWESI SELATAN-COREMAP-POSSI.
.
Moll, H., Maya Wijsman-Best , & L.G. de Klerk. (1981). Present Status Of The
Coral Reefs In The Spermonde Archipelago (South Sulawesi, Indonesia).
Proceedings of the Fourth International Coral Reef Symposium Manila, (pp. 265267). Manila.
Mona - Raja Ampat Sea-Turtle Tracking Project. (2014, Mey 31). Retrieved from
http://www.seaturtle.org/:
http://www.seaturtle.org/tracking/index.shtml?tag_id=60648
Moran, J. (1990). The Acanthasterplancii (L); Biographical Data. Coral Reefs 9, 9596.
Mutmainnah. (2012). Kajian Model Kesesuaian Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-Pulau
Kecil Berbasis Kerentanan dan Daya Dukung di Kecamatan Liukang Tupabbiring,
Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Provinsi Sulawesi Selatan [ Disertasi ]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.

10

Nontji, A. (1993). Laut Nusantara [ Cetakan Kedua ]. Jakarta: Djambatan.


Nuitja , I., & Uchida, I. (1983). Studied in The Sea Turtle II ( The Nesting Site
Characteristics of The Hawksbill and Green Turtle). A Journal of Museum
Zoologicium Bogor.
Nurjaya, I., & Surbakti, H. (2009). Sludi Pcndahuluan Kondisi OseanogMfi Fisik
pada Musim Baral di Perairan Pantai Timur Kalimantan antara Balikpapan
dan Delta Mahakam. Jurnal Kelautan Nasional Vol. 1. Retrieved from
http://eprints.unsri.ac.id/584/5/Pages_from_Heron_Surbakti-2.pdf
Ogden, J. C. (1983). Coral Reefs, Seagrass Beds and Mangroves: Their Interaction
in Coastal Zones of the Caribbean. . UNESCO Reports in Marine Science
No. 23.
Pemerintah Daerah Kepulauan Selayar. (2013). Fasilitasi Penyusunan Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir Dan Pulau-pulau Kecil Kabupaten Kepulauan Selayar . Selayar:
Pemerintah Daerah Kepulauan Selayar.
PMU Coremap II Kab. Pangkep. (2009). Management Plan Kawasan Konservasi Laut
Daerah (KKLD) Kab. Pangkep. Pangkep.
Rani, C. (2001). Pemutihan Karang : Pengaruhnya terhadap Komunitas Terumbu
Karang. Hayati Vol 8. No. 3, 86-90.
Rauf, A. (2008). Pengembangan Terpadu Pemanfaatan Ruang Kepulalan Tanakeke
Berbasis Daya Dukung [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Saptana, S. K. (2004). Integrasi Kelembagaan Forum Kass Dan Program
Agropolitan Dalam Rangka Pengembangan Agribisnis Sayuran Sumatera.
AKP Volume 2, 257-276.
Satria, F. (2009). Karakteristik Sumberdaya, Peluang dan Pola Pemanfaatan Ikan
Demersal Laut Dalam [ Disertasi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sinurat, M. R. (2000). Analisis Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Di
Wilayah Pesisir Timur Rawa Sragi Kabupaten Lampung Seiatan [Tesis]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Soekanto, S. (1997). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soenardjo, N. (1999). Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Mangrove dan
Hubungannya dengan Struktur Komunitas Mangrove di Kaliutu Kabupaten
Rembang Jawa Tengah [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

11

Souhoka , J., Hendra F. Sihaloho , & Djuwariah . (2011). Monitoring Kesehatan


Terumbu Karang Kabupaten Pangkep. Jakarta: LIPI.
Spalding, M. D., & all, e. (2007). Marine Ecoregions of the World: A
Bioregionalization of Coastal and Shelf Areas. BioScience, 573-583.
Starger, C. (2007). Coral Population Genetics in the Indonesian Seas [Thesis]. Columbia:
Columbia University.
Subiyanto, & Niniek Widyorini, I. (2009). Pengaruh Pasang Surut Terhadap
Rekruitmen Larva Ikan di Pelawangan Timur Segara Anakan Cilacap.
Saintek Perikanan Vol 5, No.1, 44-48.
Sukoraharjo, S. S. (2012). Variabilitas Massa Air Permukaan Dari Data Satelit di
Perairan Selat Makassar [ Disertasi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sultan, M. (2004). Pengembangan Perikanan Tangkap Dikawasan Taman Nasional Laut
Taka Bonerate [ Disertasi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Susandi, F. (2004). Pendugaan Nilai dan Sebaran Target Strength Ikan Pelagis di Selat
Makassar Pada Bulan Oktober 2003 [ Skripsi ]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Susanto, H. A. (2011). Progres Pengembangan Sistem Kawasan Konservasi Perairan
Indonesia Development And Progress Of Marine Protected Area Systems In
Indonesia. Jakarta: Coral Triangle Support Partnership.
Ubeng, A. (1999). Variasi Tahunan Upwelling Di Perairan Selatan Sulawesi Selatan [
Skripsi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Ulumudin , Y., Frensly D. Hukom , & Susetiono . (2011). Monitoring Kesehatan
Terumbu Karang Kabupaten Pangkep. Jakarta: LIPI.
UNEP-WCMC. (2008). National and Regional Network of Marine Protected Areas; A
Review of Progress. Cambridge: UNEP-WCMC.
Verheij, E. (1993). Marine plants on the reefs of the Spermonde Archipelago, SW Sulawesi,
Indonesia: aspect of taxonomy, fl on sties and ecology. [Dissertation]. Leiden:
Rijksherbarium Hortus Botanicus.
Weible, C., & Paul A. Sabatier. (2005). Comparing Policy Networks: Marine
Protected Areas in California. The Policy Studies Journal, Vol. 33, No. 2, ,
181-202.
White, A. P. (2006). Creating and managing marine protected areas in the Philippines.
Fisheries Improved for Sustainable Harvest Project, Coastal Conservation and
12

Education . Philippines: Foundation, Inc. and University of the Philippines


Marine Science Institute, Cebu City Coastal Conservation and Education .
Wilson, J., Darmawan , A., Subijanto, J., Green, A., & Sheppard, S. (2011).
Rancangan Ilmiah Jejaring Kawasan Konservasi Laut yang Tangguh Ecoregion
Sunda Kecil, Segitiga Karang [ Laporan ]. Australia: The Nature Conservancy,
Program Kelautan Asia Pasifik.
Woodruff, D. (2010). Biogeography and conservation in Southeast Asia: how 2.7
million years of repeated environmental fluctuations affect today's
patterns and the future of the remaining refugial-phase biodiversity.
Biodivers Conserv 19, 919-941.
Wyrtki, K. (1961). Physical Oceanography of The Southeast Asian Waters. California:
University of California .
Yusuf, S. (2008). Laporan Monitoring Terumbu Karang Berkala 2005-2008 KePulauan
Spermonde Sulawesi Selatan. Makassar: Pusat Penelitian Terumbu Karang
Universitas Hasanuddin.
Zacharias, M., Howes, D., Harper, J., & al, e. (1998). The British Columbia
marine ecosystem classification: rationale, development, and verification. .
Coast Manage, 105-124.
Zamani, N., & Hawis H. Madduppa. (2001). A Standard Criteria for Assesing the
Health of Coral Reefs: Implication for Management and Conservation.
Journal of Indonesia Coral Reefs 1(2), 137-146.

13

STATUS KEBERLANJUTAN PENYU LAUT DI PULAU


KAPOPOSANG
Syamsu Alam Ali dan Deasy Ariani
Pendahulua
Penyu laut (sea turtle) merupakah kekayaan biota laut langka sehingga dilindungi
oleh peraturan dan perundang undangan di Indonesia. Dari tujuh jenis penyu di
dunia, tercatat enam jenis penyu yang hidup di perairan Indonesia yaitu penyu
hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu abu-abu
(Lepidochelys olivacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu belimbing (Dermochelys
coriacea), serta penyu tempayan (Caretta caretta). Jumlah ini sebenarnya masih
diperdebatkan karena Nuitja (1992) menyebutkan hanya lima jenis yang
ditemukan, dimana Caretta caretta dinyatakan tidak ada. Namun demikian,
beberapa peneliti mengungkapkan bahwa Caretta caretta memiliki daerah jelajah
yang meliputi Indonesia (Limpus et al. 1992, Charuchinda et al. 2002).
Penyu hijau (Chelonia mydas) adalah salah satu dari enam spesies penyu laut yang
ada di perairan laut Indonesia. Sebagai spesies migran spesies penyu paling
intensif dieksploitasi masyarakat Indonesia. Populasi penyu hijau dikelompokkan
sebagai endangered species dalam IUCN Red List yakni spesies yang dalam waktu
dekat sangat beresiko mengalami kepunahan. Pemerintah Indonesia telah
menetapkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 yang melindungi penyu
hijau. Pemerintah Indonesia yang memiliki kewenangan mengelola spesies langka
dan terancam kepunahan gagal menghentikan eksploitasi penyu hijau. Indikasi
kegagalan Pemerintah ditunjukkan oleh penurunan populasi penyu hijau secara
terus menerus hingga saat ini (Wibowo dkk. 2007).
Di banyak tempat, khususnya di kawasanSunda Kecil (Jawa Barat, JawaTimur,
Bali dan NTB) mulai mengembangkan inisiatif pariwisata berbasis penyu. Ada
peluang konservasi disana, tapi di perlukan suatu kebijakan, petunjuk teknis dan
pelaksanaan yang relevan dengan kebutuhan biologi penyu laut agar pelaksanaan
wisata berbasis penyu dapat memberi lebih banyak manfaat ketimbang kerugian.
Dalam kesempatan ini berhasil di inisias iterbentuknya Jejaring Kelompok Praktisi
Konservasi Penyu di Wilayah JawaTimur dan Sunda Kecil bagian barat. Jejaring
ini dikoordinir oleh Ikram M. Sangaji, Kepala Badan Pengelolaan Sumberdaya
Pesisirdan Laut (BPSPL) KKP Denpasar. Penangkapan penyu laut masih sering
terjadi disebabkan oleh karena kurangnya pengawasan, lemahnya penegakan
hukum dan peraturan, kurangnya sosialisasi peraturan perikanan yang
14

berhubungan dengan larangan penangkapan dan perlindungan spesies ETP


(endanggered, treatned, dan protected), sehingga tingkat kesadaran masyarakat
terhadap perlindungan spesies ETP khususnya penyu laut masih sangat rendah.
Ada beberapa bentuk ancaman terhadap populasi penyu antara lain adalah
eksploitasi penyu untuk memenuhi kebutuhan protein bagi sebagian masyarakat
lokal, dipasarkan untuk menambah pendapatan nelayan, memenuhi kebutuhan
konsumsi dalam upacara tradisional, permintaan plastron (cangkang penyu)
untuk kebutuhan pemasaran internasional, pengambilan telur untuk
diperdagangkan dan dikonsumsi masyarakat lokal. Ancaman lain adalah
gangguan habitat peneluran karena aktifitas masyarakat disekitarnya serta adanya
konflik kepemilikan lahan daerah peneluran, serta pengaruh perubahan iklim,
kegagalan inkubasi dan penetasan telur akibat adanya abrasi pada habitat
peneluran.
Ancaman yang bervariasi ini, menyebabkan pengelolaan kawasan konservasi
penyu di Pulau Kapoposang memerlukan adaptasi strategi. Ancaman dari luar
kawasan, seperti perdagangan plastron internasional, tidak bisa ditangani hanya
kegiatan penegakan hukum setempat, tetapi harus lewat berbagai inisiatif regional,
nasional dan internasional. Ada pula ancaman dari praktek perikanan yang sering
menyebabkan tangkapan sampingan. Dalam upaya mitigasi tangkapan sampingan
ini tampak jelas keberhasilan upaya konservasi penyu, karena jumlah tangkapan
sampingan penyu yang bisa dilepaskan dalam keadaan hidup mencapai 98% pada
perikanan tuna longline yang menggunakan pancing lingkar.
Berdasar uraian tersebut di atas, maka keberlanjutan sumberdaya penyu tidak
hanya ditentukan oleh satu faktor tetapi dipengaruhi oleh banyak faktor yang
memiliki keterkaitan antar faktor (konektivitas) dalam suatu sistem yang
kompleks. Sistem perikanan yang sangat kompleks memerlukan pendekatan
multidimensi sehingga penilaian terhadap keberlanjutan sumberdaya perikanan
tidak dapat dipetakan pada satu dimensi saja tetapi harus dianalisis secara
multidimensional. Salah satu pendekatan untuk mengatasi permasalahan
tersebut di atas adalah pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan
berbasis ekosistem atau EAFM (ecological approach to fisherie management). EAFM
telah dikembangkan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia,
Filipina dan lain-lain. Pengelolaan sumberdaya perikanan bersifat kompleks
mencakup aspek biologi, lingkungan, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan
kelembagaan. FAO (1995) menyatakan tujuan umum pengelolaan sumberdaya
perikanan meliputi aspek biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial. Tujuan biologi
untuk menjaga sumberdaya pada level berkelanjutan, tujuan ekologi
meminimalkan dampak lingkungan dan sumberdaya non-target (by-catch) serta
sumberdaya lainnya yang terkait, tujuan ekonomi untuk memaksimalkan
15

pendapatan nelayan, dan tujuan sosial untuk memaksimalkan peluang kerja dan
mata pencaharian nelayan. Dalam implementasi EAFM harus diperhatikan
adalah : (1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang
dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan
ekosistemnya harus dijaga; (3) perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk
semua distribusi sumberdaya ikan; (4) prinsip kehati-hatian dalam proses
pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; (5) tata kelola perikanan
mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (FAO, 2003).
Pulau Kapoposang
Pulau Kapoposang diketahui sebagai salah satu habitat atau area pendaratan
penyu untuk melakukan peneluran. Di pulau tersebut terdapat 2 spesies dari 6
spesies yang terdapat di Indonesia yaitu penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan
penyu hijau (Chelonia mydas). Tekanan populasi penyu laut di Pulau Kapoposang
disebabkan karena masih adanya kebiasaan masyarakat Pulau Kapoposang
maupun masyarakat Pulau lain yang ada disekitar Pulau Kapoposang yang
mengambil telur penyu dari lubang sarangnya untuk dikonsumsi sebagai salah
satu sumber protein atau di jual pada masyarakat di luar pulau Kapoposang.
Sumberdaya penyu walaupun sudah menjadi barang terlarang untuk dieksploitasi
namun masyarakat nelayan masih tetap mengambil telurnya maupun menangkap
induknya untuk diambil daging dan cangkangnya. Penangkapan penyu sisik
maupun penyu hijau dewasa pada umumnya tertangkap secara tidak sengaja
(spesis bukan target) pada jaring insang atau pukat nelayan yang seharusnya
dilepas kembali ke laut
Pulau Kapoposang adalah bagian dari Kepulauan Spermonde atau Kepulauan
Singkarang di Selat Makassar yang terletak disebelah Barat Sulawesi Selatan.
Pulau Kapoposang adalah merupakan salah satu pulau di gugusan Kepulauan
Kapoposang. Pulau ini berada dibawah otoritas kecamatan Liukang Tupabbiring
Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan. Pulau Kapoposang
merupakan salah satu dari delapan kawasan konservasi yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Mentri Kelautan dan Perikanan No.66/Men/2009
dengan status Taman Wisata Perairan. Taman Wisata Kepulauan Kapooposang
terdiri dari 6 pulau kecil yaitu: Pulau Kapoposang 10 ha, Pulau Papandangan 13
ha, Pulau Gondongbali 5 ha, Pulau Pamanggangan 5 ha, Pulau Tambakulu 5,
dan Pulau Saranti 4 ha. Tiga pulau berpenduduk paling padat adalah
Gondongbali 1.807 jiwa, Papandangan 898 jiwa, dan Kapoposang 454 jiwa. Tiga
pulau lainnya yaitu Suranti, Tambakulu dan Pamanggangan tidak berpenduduk.
(Kecamatan Liukang Tupabbiring, 2013).

16

Pulau Kapoposang merupakan salah satu dusun dari Desa Mattiro Ujung
Kecamatan Liukang Tupabbiring. Pulau ini menjadi salah satu pulau yang selalu
dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Pulau
Kapoposang memiliki jarak cukup jauh dari Kota Makassar maupun dari Ibu
Kota Kabupaten Pangkep. Pulau Kapoposang dapat ditempuh dalam waktu 6
jam dari Pelabuhan Paotere Kota Makassar dengan menggunakan Kapal Motor.
Pelayaran ke pulau Kapoposang pada musim Barat dan musim Pancaroba cukup
berbahaya karena cuaca yang buruk seperti angin yang kencang dan gelombang
besar, sehingga pada musim tersebut sulit untuk mendapatkan transportasi ke
pulau Kapoposang. Para wisatawan yang akan berkunjung ke Pulau Kapoposang
pada umumnya menggunakan agen wisata yang ada di Makassar. Sarana dan
prasarana di Pulau Kapoposang sangat terbatas hanya terdapat sebuah SD,
beberapa buah cottage tempat menginap pengunjung, sebuah generator listerik
untuk sarana penerangan bagi beberapa rumah penduduk. Pulau Kapoposang di
tumbuhi banyak pohon kelapa, sukun, pohon kelor, pisang sebagai salah satu
sumber pendapatan. Hasil tumbuhan ini dijual di pulau-pulau terdekat dengan
harga yang cukup murah, namun jika dapat dijual di Makassar dan Pangkep
harganya cukup tinggi.
Mata pencaharian penduduk adalah nelayan dengan alat tangkap jaring insang,
pancing, bubu, dan cantrang. Jaring insang, pancing dan bubu digunakan untuk
menangkap ikan karang. Cantrang digunakan untuk menangkap kepiting rajungan
dan udang. Sumberdaya yang banyak diitangkap nelayan adalah ikan-ikan karang
seperti kerapu, kakap, lencam, serta kepiting rajungan dan udang. Daerah
penangkapan nelayan pulau Kapoposang tidak jauh dari Taman Wisata Perairan
Kapoposang terutama pada musim Barat dan Musim Pancaroba karena cuaca
yang buruk. Pada musim Barat pada umumnya nelayan hanya menangkap ikan
di daerah terumbu karang disekitar pulau. Kawasan Taman Wisata Perairan
Kapoposang juga dihuni oleh beberapa jenis biota ETP (endanggered, threatned,
dan protected) seperti penyu laut, dugong, berbagai jenis kima (Tridacna spp),
dan kuda laut.
Penangkapan terhadap biota ETP (endangered, threatnet, dan protected) sebagai
target utama sudah tidak dilakukan oleh nelayan di Pulau Kapoposang. Namun
yang terjadi adalah masih sering ditemukan biota ETP tertangkap oleh alat
tangkap jaring secara tidak sengaja atau hasil tangkapan sampingan. Misalnya
penyu laut tertangkap oleh jaring insang dan cantrang, dugong biasa tertangkap
dengan jaring di daerah padang lamun, sedangkan kima masih sering dieksploitasi
oleh nelayan untuk konsumsi rumah tangga. Keberdaan penyu di sekitar Pulau
Kapoposang pada musim pemijahan atau musim peneluran karena sebagian dari
pesisir pantai dengan substrat berpasir Pulau Kapoposang merupakan habitat

17

peneluruan penyu. Telur penyu di Pulau Kapoposang masih sering ditemukan


dan dimanfaatkan oleh nelayan sebagai salah satu sumber pendapatan dan sumber
protein.
Pendekatan Ekosistem dalam analisis Keberlanjutan penyu.
Karya tulis ini disusun berdasarkan hasil penellitian status keberlanjutan penyu
melalui pendekatan ekosistem yang telah dilakukan di Pulau Kapoposang mulai
Bulan Agustus sampai Oktober 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
status keberlanjutan setiap dimensi dan status keberlanjutan secara agregat
(multidimensi) terhadap pengelolaan penyu berdasarkan pendekatan ekosistem,
serta merumuskan strategi pengelolaan penyu secara berkelanjutan di Pulau
Kapoposang. Data yang dikumpulkan meliputi Data Primer dan Data Sekunder.
Data Primer diperoleh langsung dari responden sebagai pemangku kepentingan di
Pulau Kapoposang melalui wawancara, observasi, PRA, dan FGD.
Data
sekunder diperoleh dari studi pustaka, hasil penelitian, dan dokumen laporan yang
tersedia pada instansi pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan lembaga
penelitian. Metode analisis satatus keberlanjutan dilakukan melalui pendekatan
MDS (multi dimensional scaling) dengan menggunakan program RAPFISH
(Rapid Assesment Techniques For Fisheries) yang dikembangkan oleh University of
British Columbia yang telah dimodifiikasi. Analisis status keberlanjutan melalui
pendekatan ekosistem menggunakan 6 dimensi sesuai petunjuk penialaian
indikator pengelolaan perikanan dengan modifikasi beberapa atribut (indikator).
Pendekatan ekosistem melalui 6 dimensi yaitu: biologi, habitat dan ekosistem,
penangkapan, sosial, ekonomi, dan kelembagaan dengan (KKP, 2014). Metode
MDS merupakan teknik pendugaan keberlanjutan secara sederhana dengan
menggunakan 6 dimensi dan 30 atribut. Nilai pembobotan setiap atribut berkisar
antara 1-3 dimana nilai 1 adalah nilai minimum dan 3 adalah nilai maksimum.
Keberlanjutan Dimensi Biologis Sumberdaya Penyu
Analisis keberlanjutan dimensi biologi sumberdaya penyu di Pulau Kapoposang
dilakukan dengan menggunakan 5 indikkator atau atribut yaitu: komposisi
jenis, jumlah tukuik yang dihasilkan di penangkaran, frekwensi peneluran setiap
musim, range collaps, dan status eksploitasi penyu. Hasil analisis atribut
pengugkit (leverage of atribut) menunjukkan atribut yang sensitif pada dimensi
biologi sumberdaya adalah jumlah tukik di penangkaran dengan nilai 12,44
(Gambar 1). Indikator tersebut sebagai indikasi bahwa jumlah tukik yang
dihasilkan di tempat penangkaran perlu lebih diperhatikan karena masih
rendahnnya tingkat survival rate pada tukik. Kejadian ini dapat disebabkan oleh
karena kegagalan proses inkubasi dan perkembangan embriologis karena
18

manipulasi lingkungan yang kurang tepat. Secara umum penyu laut dapat
menghasilkan sekitar 150 butir telur dan diambil untuk ditetaskan pada tempat
tertentu namun tukik yang dihasilkan hanya berkisar antara 50-100 ekor tukik.
Kejadian ini diduga karena kualitas telur sudah rusak sedangkan telur-telur yang
mau ditangkarkan memerlukan telur yang berkualitas baik.
Sensitivitas atribut dan Indeks keberlanjutan dapat dilihat pada gambar di bawah
ini :
RAPFISH Ordination

Leverage of Attributes

60
7.10

Status Eksploitasi

UP
40

Attribute

Frekuensi
Peneluran/Musim

Other Distingishing Features

7.23

Rang Collapse

6.72

Jumlah Tukik di
Penangkaran

12.44

20

BAD

0
0

20

40

60

73.90

-20

Real Fisheries

-40
Janis Spesies Yang
Ada

10.16

GOOD
100
120

80

References

DOWN

Anchors

-60
0

10

12

14

Fisheries Sustainability

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute


Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 1. Hasil Analisis Sensitivitas Atribut dan Indeks Keberlanjutan Pada


Dimensi Sumberdaya
Faktor yang dapat menjadi pengungkit pada dimensi biologi sumberdaya
adalah "jumlah tukik yang dihasilkan di tempat penangkaran" merupakan
indikator yang perlu mendapat perhatian. Pengelola konservasi penyu di Pulau
Kapoposang baik pemerintah, swasta dan masyarakat perlu memperhatikan
dengan baik kondisi habitat peneluran, demplot penangkaran penyu, serta
kualitas telur penyu yang diambil dari lapangan atau yang dibeli dari nelayan.
Pemeliharaan yang baik terhadap demplot tersebut serta perlakuan yang tepat
terhadap telur-telur yang akan ditetaskan akan menghasilkan tukik yang lebih
banyak dan berkualitas. Pengembangan penetasan telur penyu perlu didukung
program penelitian lingkungan fisik terhadap keberhasilan penetasan dan sintasan
tukik. Hasil analisis Rapfish menunjukkan nilai keberlanjutan biologi sumberdaya
penyu sebesar 73.90 menunjukkan kategori baik (berkelanjutan) (Allahyari,
2010).

19

Keberlanjutan Dimensi Habitat dan Ekosistem


Analisis keberlanjutan dimensi habitat dan ekosistem berdasarkan
indikator tutupan lamun, tutupan karang, jenis substrat, perubahan garis pantai,
kekeruhan, dan kecerahan. Hasil analisis atribut pengugkit (leverage of atribut)
menunjukkan atribut paling sensitif adalah kondisi tutupan karang dengan nilai
11,17
(Gambar 2). Hal ini menunjukkan kondisi tutupan karang hidup
merupakan faktor pengungkit untuk meningkatkan kondisi habitat dan ekosistem
penyu laut di pulau kapoposang. Begitupula atribut perubahan garis pantai
dengan nilai 9,74
menunjukkan bahwa di pulau Kapoposang terjadi
kecenderungan perubahan garis pantai yang dapat berpengaruh terhadap posisi
peneluran penyu secara alami.
Leverage of Attributes

RAPFISH Ordination
60

5.09

Kecerahan

UP
40
6.57

Perubahan Garis
Pantai

9.74

Janis substrat

8.40

Kondisi Terumbu
Karang

11.17

Other Distingishing Features

Attribute

Kekeruhan

20

BAD

0
0

20

40

60

80

120

72.79
-20

-40
Kondisi tutupan lamun

GOOD
100

Real Fisheries

2.41

DOWN

References
Anchors

10

-60

12

Fisheries Sustainability

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute


Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 2. Hasil Analisis Sensitivitas Atribut dan Indeks Keberlanjutan Pada


Dimensi Habitat dan Ekosistem
Secara ekologi, kondisi terumbu karang di daerah reef flat di Pulau Kapoposang
tergolong rusak. Kerusakan terumbu karang diakibatkan oleh pemangsaan
bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci. Populasi binatang pemakan
karang ini memuncak pada tahun 2005 di hampir semua titik di sisi Utara dan
Barat (PPTK-Unhas, 2006). Hasil penelitian Spice-PPTK (2006) mengungkapkan
bahwa populasi Acanthaster planci mencapai 120 ekor per 100 m2. Dalam jangka
waktu 6 bulan, kondisi terumbu karang menurun dari 60 % tutupan karang hidup
20

menjadi 10-25 %. Pada tahun 2006 terumbu karang didominasi oleh komponen
karang mati dan tertutup algae. Di satu sisi tutupan terumbu karang pada kawasan
ini yang masih tersisa, sekarang sedang diserang pula oleh bintang berduri ini.
Selanjutnya, skor atribut lain yang tinggi merupakan indikasi bahwa kondisi
biologi dan lingkungan perairan mendukung keberlanjutan Habitat dan
Ekosistem di Pulau Kapoposang. Nilai keberlanjutan Habitat dan Ekosistem
sebesar 72.79 (Gambar 2) menunjukkan kategori baik (keberlanjutan).
Kerusakan terumbu karang telah mendapat perhatian melalui program
pengembangan TWP, zonasi daerah pemanfaatan, serta pengawasan dan
penegakan peraturan.
Keberlanjutan Dimensi Penangkapan
Analisis keberlanjutan dimensi penangkapan dengan menggunakan indikator,
selektifitas alat tangkap, penangkapan destruktif dan ilegal, jenis alat tangkap
ramah lingkungan, dan ukuran mata jaring. Hasil analisis atribut pengugkit
(leverage of atribut) memperlihatkan atribut paling sensitif sebagai faktor
pengungkit adalah ukuran mata jaring alat tangkap ikan sangat berpengaruh
terhadap tertangkapnya spesies penyu laut.

RAPFISH Ordination

Leverage of Attributes
60
Ukuran mata jaring

UP

4.68

Janis alat tangkap


yang digunakan

Other Distingishing Features

40

Attribute

2.28

Met ode Penangkapan


destruktif dan Ilegal

3.07

20
45.15
0

BAD
0

20

40

60

80

-20

-40
Selektifitas
Penangkapan

GOOD
100

3.71

Real Fisheries
DOWN

References
Anchors

-60
0

0.5

1.5

2.5

3.5

4.5

Fisheries Sustainability

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute


Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 3. Hasil Analisis Sensitivitas Atribut dan Indeks Keberlanjutan Pada


Dimensi Alat Tangkap

21

120

Ukuran mata jaring yang digunakan nelayan dalam penangkapan ikan sangat
bervariasi bergantung jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Penyu laut
yang tertangkap merupakan hasil tangkapan sampingan (tidak menjadi sasaran
utama penangkapan). Semua jenis jaring yang dipakai nelayan dapat menangkap
penyu mulai dari ukuran kecil sampai ukuran besar. Jenis jaring yang
dioperasikan di terumbu karang yang sering menangkap penyu adalah jaring atau
pukat baronang dan pukat kakap. Beberapa nelayan telah memiliki tingkat
kesadaran terhadap peraturan sehingga melepaskan penyu laut yang tertangkap
secara tidak sengaja pada jaring ikan mereka dilepaskan ke laut, sehingga populasi
penyu masih dapat dipertahankan di pulau Kapoposang. Namun sebagian
nelayan dari luar Pulau Kapoposang masih mengambil penyu yang tertangkap
untuk dijual sebagai hewan peliharaan dan untuk hiasan akuarium atau kolamkolam. Hasil analisis Rapfish (Gambar 3) menunjukkan nilai keberlanjutan
dimensi penangkapan sebesar 45.15 menunjukkan keberlanjutan kategori sedang
(berkelanjutan). Walaupun alat tangkap yang mereka gunakan dapat menjaring
penyu namun perilaku nelayan yang melepaskan kembali penyu yang terjaring
sehingga populasi penyu dapat dipertahankan di Pulau Kapoposang.
Keberlanjutan Dimensi Ekonomi
Keberlanjutan dimensi ekonomi mencerminkan kemampuan dari suatu kegiatan
pemanfaatan sumberdaya penyu untuk memperoleh hasil yang secara ekonomis
dapat berlangsung dalam jangka panjang dan berkelanjutan (Hartono, et al, 2005).
Analisis keberlanjutan dimensi ekonomi dengan menggunakan atribut atau
indikator kepemilikan asset, pendapatan rumah tangga, harga jual penyu,
pemasaran, dan kegiatan pariwisata. Hasil analisis atribut pengugkit (leverage of
atribut) menunjukkan atribut paling sensitif adalah pendapatan rumah tangga
perikanan dengan nilai 7,72 (Gambar 4). Pemanfaatan penyu di Pulau
Kapoposang memang hanya terbatas pada pengambilan telur di alam untuk
konsumsi rumah tangga dan beberapa nelayan mengambil penyu yanng
tersangkut dijaring untuk dijual.
Hasil analisis Rapfisih menunjukkan nilai
keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar
38,49 kategori cukup (kurang
berkelanjutan) (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa keberlanjutan dimensi
ekonomi di Pulau Kapoposang tergolong rendah, selain sumberdaya penyu tidak
memiliki prospek ekonomi karena hewan dilindungi juga disebabkan karena hasil
tangkapan ikan nelayan di pulau tersebut masih tergolong rendah.

22

RAPFISH Ordination

Leverage of Attributes

60
Pariwisata

5.41

UP
40
5.26

Harga Jual/Ekor

Other Distingishing Features

Attribute

Pemasaran

6.01

Pendapatan Rumah
Tangga

7.72

20

BAD
0

20

40

60

80

GOOD
100
120

38.49
-20

6.19

Kepemilikan Aset

-40

Real Fisheries
References

DOWN

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on
Sustainability scale 0 to 100)

Anchors

-60
Fisheries Sustainability

Gambar 4. Hasil Analisis Sensitivitas Atribut dan Indeks Keberlanjutan Pada


Dimensi Ekonomi
Harga penyu per ekor berkisar antara Rp. 150.000 Rp. 200.000 jauh
lebih rendah dibanding dengan harga ikan tangkapan nelayan seperti kakap,
kerapu, dan baronang. Selain itu, pemasaran penyu yang sulit karena pengawasan
yang ketat, dimana pemasaran yang banyak hanya ada di Pulau Bali untuk
memenuhi kebutuhan upacara adat mereka. Konstribusi penyu terhadap
peningkatan pendapatan masyarakat sangat rendah bahkan tidak ada di di Pulau
Kapoposang kecuali telurnya dikonsumsi untuk kebutuhan protein.
Untuk
meningkatkan nilai ekonomi masyarakat dari sumberdaya penyu dapat dilakukan
melalui pengembangan pariwisata ekologi penyu dengan tujuan pelestarian penyu
dan peningkatan ekonomi masyarakat melalui kegiatan pariwisata. Kegiatan
pariwisata untuk menyaksikan musim peneluran penyu dapat menjadi daya tarik
terendiri bagi wisatawan, selain tujuan wisata lainnya seperti memancing, selam,
perahu layar dan beberapa objek menarik di beberapa pulau disekitarnya. Selain
itu untuk mengurangi tekanan terhadap eksploitasi telur penyu perlu
pengembangan mata pencaharian alternatif sebagai sumber pendapatan lain
seperti budidaya ikan laut, budidaya rumput laut, dan pengembangan industri
rumah tangga perikanan.

23

Keberlanjutan Dimensi Sosial


Atribut dimensi sosial mencerminkan bagaimana sistem sosial masyarakat
kepulauan berada dalam kegiatan pengelolaan penyu yang saling berinteraksi
untuk mendukung kegiatan pengelolaan penyu secara berkelanjutan (Hartono et
al, 2005). Analisis status keberlanjutan dimensi sosial berdasarkan atribut:
partisipasi pemangku kepentingan, tingkat partisipasi, konflik pemanfaatan,
pemanfaatan pengetahuan lingkungan tradisional, jumlah rumah tangga nelayan.
RAPFISH Ordination

Leverage of Attributes
60

Rumah Tangga
Nelayan

UP

7.12

Attribute

Pengetahuan
Lingkungan

Other Distingishing Features

40

3.31

11.12

Konflik Pemanfaatan

Tingkat Partisipasi

20

BAD

0
0

20

40

60

80

GOOD
100

120

60.89

-20

6.80
-40

Real Fisheries
DOWN

References
Anchors

Partisipasi Pemangku
Kepentingan

6.48

-60
Fisheries Sustainability

10

12

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute


Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 5. Hasil Analisis Sensitivitas Atribut dan Indeks Keberlanjutan Pada


Dimensi Sosial
Hasil analisis atribut pengugkit menunjukkan atribut paling sensitif pada dimensi
sosial adalah konflik pemanfaatan sumberdaya dengan nilai 11,12 (Gambar 5).
Hal ini menandakan bahwa atribut konflik pemanfaatan sumberdaya perlu
mendapat perhatian. Konflik yang terjadi karena keperluan yang berbeda
terhadap telur penyu yaitu masyarakat pelestari penyu memerlukan telur untuk
ditangkarkan sedangkan sekelompok masyarakat manfaatkan telur penyu untuk
keperluan konsumsi dalam rumah tangganya. Selain itu konflik pemanfaatan
lahan atau ruang untuk kepentingan sarang atau tempat peneluran penyu dengan
pemanfaatan lahan untuk kepentingan penduduk seperti pemukiman, perkebunan
yang dapat mengganggu aktivitas peneluran penyu secara alami. Penanganan
konflik tersebut memerlukan penyadaran masyarakat agar tidak mengkonsumsi

24

telur penyu karena dibutuhkan untuk penetasan agar menghasilkan tukik untuk
penangkaran
Selain itu menghindari aktivitas masyarakat pulau yang dapat menganggu proses
peneluran pada musim pemijahan, menganggu atau merusak habitat peneluran
penyu. Hasil analisis Rapfish menunjukkan status keberlanjutan dimensi sosial
adalah 60,89 (Gambar 5) atau tergolong baik (keberlanjutan). Untuk itu dimensi
sosial ini perlu mendapat perhatian dalam penyusunan kebijakan pengelolaan
penyu seperti memberikan kesempatan yang sama terhadap anggota masyarakat
dalam kegiatan perencanaan, pengelolaan penyu baik anggota kelompok pelestari
penyu maupun yang bukan. Selain itu, peniingkatan penyuluhan pada masyarakat
tentang peraturan dan kebijakan pengelolaan penyu secara berkelanjutan.
Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan
Atribut dimensi kelembagaan merupakan cerminan dari tingkat organisasi,
ketersediaan peraturan, implementasi peraturan, dalam pengelolaan sumberdaya
penyu di Pulau Kapoposang. Atribut yang digunakan dalam analisis
keberlanjutan dimensi kelembagaan ini adalah: dukungan kelembagaan, program
pengelolaan, keberadaan dan sosialisasi peraturan, kepatuhan, dan bantuan
kelembagaan. Hasil analisis
atribut pengugkit (leverage of atribut)
menunnjukkan
peraturan dan sosialisasi peraturan menunjukkan faktor
pengungkit denggan nilai 19,99 (Gambar 6).
Leverage of Attributes

RAPFISH Ordination
60

Bantuan Kelembagaan

2.78

UP
40
4.73

Keberadaan dan
Sosialisasi Aturan

Other Distingishing Features

Attribute

Kepatuhan

15.99

Program Pengelolaan

3.54

Dukungan
Kelembagaan

2.64

20

0
0 BAD

20

40

60

80

GOOD
84.01
100
120

-20

-40

Real Fisheries
DOWN

10

12

14

16

140

References
Anchors

18

-60

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute


Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Fisheries Sustainability

Gambar 6. Hasil Analisis Sensitivitas Atribut dan Indeks Keberlanjutan Pada


Dimensi Kelembagaan
25

Menurut Charles et al. (2002), terdapat 2 kunci bagi keberlanjutan kelembagaan


yaitu : (1). Adanya aturan yang rasional untuk ditegakkan, dan (2) Keseimbangan
antara tingkat pengaturan sumberdaya yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan
tingkat kinerja yang diperlukan untuk menjalankan aturan secara efektif.
Peraturan tentang pengelolaan dan pelestarian penyu sudah banyak dan cukup
lengkap baik peraturan daerah, provinsi, maupun peraturan nasional dan
internasional. Masalahnya adalah minimnya sosialisasi peraturan sehingga
kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan dan
perlindungan penyu sehingga ada kesan bahwa masyarakat tidak patuh karena
tiidak mengetahui adanya peraturan-peraturan pelestarian penyu. Pemerintah
atau kelompok masyarakat swasta (LSM) pemerhati penyu perlu menempatkan
petugas khusus selain memberikan pendampingan teknis dalam proses
penangkaran dan pengelolaan penyu juga melakukan sosialisasi peraturan terkait
pengelolaan dan pelestarian penyu.
Hasil analisi status keberlanjutan dimensi
kelembagaan sebesar 84.01 menunjukkan status dimensi kelembagaan sangat baik
(sangat berkelanjutan). Hal ini menjelaskan bahwa dimensi ini perlu
dipertahankan eksistensinya karena dapat menjadi landasan utama dalam
pengelolaan sumberdaya penyu di Pulau Kapoposang Secara berkelanjutan.
Keberlanjutan Multidimensi (Secara Agregat)
Indeks keberlanjutan setiap dimensi belum menggambarkan status keberlanjutan
dari kegiatan keseluruhan. Untuk itu, nilai indeks setiap dimensi perlu
digabungkan untuk menentukan nilai status keberlajutan multidimensi.
Penggabungan dilakukan dengan mengalikan nilai indeks dari hasil perhitungan
(existing condition) dengan hasil perhitungan bobot dari masing-masing dimensi
berdasarkan penilaian dari tiga (3) orang ahli pengelolaan sumberdaya penyu (need
assessment). Hasil pembobotan menempatkan dimensi Habitat dan Ekosistem,
serta dimensi Sumberdaya pada urutan teratas diikuti oleh Dimensi kelembagaan,
sosial, dan ekonomi serta nilai terendah pada teknik penangkapan. Berdasarkan
jumlah nilai tersebut maka didapatkan nilai indeks multidimensi 67.04 yang
menunjukkan bahwa status keberlanjutan multidimensi pengelolaan penyu di
pulau Kapoposang berada dalam kategori baik (berkelanjutan). Hal ini
mengindikasikan bahwa untuk meningkatkan status keberlanjutan kegiatan secara
menyeluruh, diperlukan penataan terhadap berbagai atribut yang sensitivitasnya
tinggi khususnya teknik penangkapan, sosial, dan ekonomi. Pengembangan
pengelolaan penyu di Pulau Kapoposang memerlukan strategi dan interfensi
kebijakan terhadap berbagai permasalahan yang ada secara simultan dan terarah
dengan mengacu kepada berbagai aturan dan kebijakan yang telah ditetapkan di
berbagai tingkatan (daerah, provinsi, dan nasional). Selain itu perlu dilakukan
26

pemberian prioritas kepada aspek pengelolaan yang memiliki nilai indeks


keberlanjutan yang berada pada kategori kurang berkelanjutan, yaitu dimensi
ekonomi, dan teknik penangkapan, sebagaimana Charles et.al (2002) menyatakan
bahwa pengelolaan akan banyak berhadapan dalam kompromi dan membuat
pilihan dan penetapan skala prioritas terhadap alternatif yang tersedia untuk
menetapkan penggunaan alokasi sumberdaya yang terbatas.
Fitness, Tingkat Kepercayaan dan Stabilitas Atribut
Nilai Stress kelima dimensi <0.20 menunjukkan hasil analisis yang baik. Nilai
stress menggambarkan goodness of fitness dalam multi-dimensional scaling, yaitu ukuran
ketepatan suatu konfigurasi dapat mencerminkan data aslinya. Nilai stress yang
rendah mencerminkan nilai goodness of fitness yang sempurna, dengan batas tertinggi
menurut Kruskal dan Wills (1979) in Kavanagh et al. (2000) adalah maksimal
sebesar 0.20.
Tabel 1. Nilai Stress, Kuadrat Korelasi dan Indeks Keberlanjutan
Indeks
Dimensi
Stre
Squarred
Keberl
Keterangan
Keberlanjutan
ss
Correlation
anjuta
n
Dimensi
0.1
Baik/Berkelanjut
0.9400
73.90
Sumberdaya
532
an
0.1
Baik/Berkelanjut
Dimensi Sosial
0.9375
60.89
499
an
0.1
Cukup/Kurang
Dimensi Ekonomi
0.9365
38.49
594
Berkelanjutan
Sangat
Dimensi
0.1
0.9209
84.01 Baik/Sangat
Kelembagaan
657
Berkelanjutan
Dimensi
Teknik 0.1
Sedang/Berkelanj
0.9234
45.15
Penangkapan
770
utan
Dimensi Habitat dan 0.1
Baik/Berkelanjut
0.9314
72.79
Ekosistem
424
an
Nilai Kuadrat Korelasi (R2) untuk semua dimensi diatas 85%, juga menujukkan
tingkat kepercayaan (koefisien determinasi) terhadap hasil analisis multidimensi
untuk penilaian status keberlanjutan pengelolaan penyu di Pulau Kapoposang
dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan dimana hasil estimasi proporsi ragam
data dapat terjelaskan oleh teknik analisis ini secara memadai, dimana nilai R2
yang digunakan > 80% (Kavanagh, 2000).

27

DIAGRAM LAYANG-LAYANG
Dimensi Sumberday
a
73.90
100

80
60

Dimensi Habitat dan Ekosistem

40

Dimensi Sosial

60.89

72.79
20
0

Dimensi Teknik Penangkapan

Dimensi Ekonomi

38.49

45.15
84.01
Dimensi Kelembagaan

Gambar 10. Diagram Layang Nilai Indeks Keberlanjutan Setiap Dimensi


Pengelolaan Penyu
Diagram diatas menunjukkan indeks kebelanjutan setiap dimensi dalam
pengelolaan penyu di Pulau Kapoposang. Indeks keberlanjutan Dimensi dengan
niai terendah yaitu dimensi ekonomi dengan nilai 38.49 (kurang berkelanjutan).
Selanjutnya dimensi yang memiliki kategori berkelanjutan adalah teknik
penagkapan dengan nilai 45.15, dimensi dosial denga nilai 60.89, dimensi Habitat
dan ekosistem dengan nilai 72.79, dan dimensi sumberdaya dengan nilai 73.90,
sedangkan yang tertinggi adalah dimensi kelembagaan dengan nilai 84.01 (sangat
berkelanjutan). Untuk itu diperlukan perhatian yang lebih tinggi pada dimensi
dengan nilai keberlanjutan yang rendah dimensi ekonomi, terutama dalam hal
pengembangan mata pencaharian alternatif ramah lingkungan.
Kesimpulan
Status keberlanjutan setiap dimensi yang berpengaruh dalam pengelolaan penyu
melalui pendekatan ekosistem di Pulau Kapoposang adalah dimensi ekonomi
(kurang berkelanjutan), dimensi teknik penangkapan, sosial, ekonomi, habitat dan
ekosistem (berkelanjutan), sedangkan dimensi kelembagaan (sangat
berkelanjutan), sedangkan status keberlanjutan secara agregat atau multidimensi
memiliki kategori baik atau berkelanjutan.
28

Hasil analisis multidimensi aplikasi Rapfish (modifikasi) menujukkan nilai stress


dan koefisien determinasi cukup baik dan hasilnya dapat dipercaya.
Rekomendasi
(1) Perlu melindungi habitat peneluran penyu, demplot peneluran penyu, dan
perlindungan proses peneluran pada musim pemijahan, penangan telur yang
berasal dari nelayan dengan baik sebelum ditangkarkan.
(2) Pelibatan anggota masyarakat dalam kegiatan pengelolaan dan penangkaran
penyu di Pulau Kapoposang selain anggota kelompok pelestari penyu (Bahari
Lestari) agar tidak terjadi konflik.
(3) Pengembangan wisata ekologi di Pulau Kapoposang sebagai salah satu cara
untuk meningkatkan nilai ekonomi sumberdaya penyu yaitu promosi daya
tarik untuk menyaksikan penyu bertelur pada musim pemijahan.
(4) Peningkatan sosialisasi peraturan yang sudah ada baik peraturan pada level
kabupaten, provinsi, nasional, maupun internasional pada masyarakat di Pulau
Kapoposang.
(5) Pengawasan dan pengendalian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, dan
penyadaran masyarakat untuk melakukan pelepasan penyu.
(6) Melindungi terumbu karang, padang lamun yang ada disekitar daerah
peneluran penyu (sarang penyu) Memberikan perhatian terhadap habitat
penyu, khususnya kondisi terumbu karang dengan mengintensifkan
pengawasan terhadap penerapan program dan aturan yang telah berjalan saat
ini.

29

DAFTAR PUSTAKA
Alder, J. TJ Pitcher. Preikshot D, Kaschner K, Ferris B. 2000. "How Good Is
Good?": A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of The
Sustainability Status of Fisheries of North Atlantic. Sea Around Us
Methodology Review: 136-182.
Allahyari MS. 2010. Social Sustainability Assessment of Fisheries Cooperatif in
Guilan Province, Iran. J.Of Fisheries and Aquatic Science 5(3):216-222
Arianto, A. 1999. Studi Karakteristik Habitat Peneluran Penyu Sisik (Eretmochelys
imbricata) dan Pengelolaan di Pantai Tampang-Belimbing TN bukit
Barisan Selatan. Skripsi (tidak dipublikasikan). Jurusan konservasi
Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor
Awaloeddinnoer. 2012. Prevalensi Penyakit Pada Karang sclerectinia di Kepulauan
Spermonde. Tesis. Jurusan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah,
Program studi Manajemen Kelautan. Pasca Srajana Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Cicin-Sain and R.W. Knecht, 1998. Integrated Coastal and Marine Management.
Island Press, Washington DC
Charles AT. 2001. Sustainable Fishery System. Blackwell Sciences. London. UK
Dahuri, R,J. Rais, SP Ginting dan M.J. Sitepu, 1996. Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradniya Paramita. Jakarta
Dayanti,S.R.2010.Survey Kesadaran dan Dukungan Masyarakat terhadap Pengelolaan
Kawasan Konservasi TWP Pulau Kapoposang.Laporan Praktek Kerja
Lapang.Jurusan Ilmu Kelautan.Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan.Universitas Hasanuddin.Makassar
Dermawan Agus, Ir, dkk. 2009. Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi Penyu.
Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal
Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan
Perikanan RI.
DKP. 2009b. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Departemen Kelautan Dan
Perikanan. Jakarta
FAO Fisheries Department. 2004. The state of world fisheries and aquaculture.
FAO Rome, pp 153.
Fletcher, W.J. 2008. A Guide to Implementing an Ecosystem Approach to
Fisheries Management (EAFM) for the tuna fisheries of the Western and
Central Pacific Region. Forum Fisheries Agency, Honiara, Solomon
Islands. Version 5 March 2008: 70.
Haslindah. 2012. Valuasi Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang di Taman Wisata
Perairan Kapoposang Kabupaten Pangkep. Tesis. Jurusan Perencanaan

30

dan Pengelolaan Wilayah, Program studi Manajemen Kelautan. Pasca


Srajana Universitas Hasanuddin. Makassar.
Indrawasih, Ratna. 2008. Co-Management Sumberdaya Laut Pelajaran Dari
Pengelolaan Model COFISH Di Kabupaten Lombok Timur, Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Jurnal Kebijakan Dan Riset Sosial Ekonomi,
Volume I No.2
Irwan Noor. "Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis)
di Perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur" Disertasi
Program Doktor. Universitas Hasanuddin. Makassar 2012.
Kavanagh. P. 2001. Rapid Appraisal for Fisheries (Rapfish) Project. Rapfish
Software Description (for Microsoft Exel). University of British
Columbia
Kay, R and J. Alder, 1999. Coastal Planning & Management E & FN Spon,
London
Kementrian Kelautan Dan Perikanan. 2011. Laporan Akhir Monitoring Kondisi
Kesehatan Terumbu Karang di TWP Kapoposang. Direktorat Jendral Kelautan,
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil: Satker Rehabilitasi dan Terumbu Karang.
Kruskal, J. B., & Wish, M. (1978). Multidimensional scaling. Beverly Hills, CA: Sage
Publications.
Marasco, R. J., Goodman, D., Grimes, C. B., Lawson, P. W., Punt, A. E. and
Quinn II, T. J.2007. Ecosystem-based fisheries management: some
practical suggestions. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Science,
64, pp. 928-939.
Mrquez-M., R. 1990. FAO Species Catalogue Vol. 11: Sea Turtles of The
World: An Annotated and Illustrated Catalogue of Sea Turtle Species
Known To Date. FAO. Roma. iv + 81 h.
Metcalf, J. Sarah. 2009. Qualitative Modelling To Aid Ecosystem Analyses For
Fiheries Management In A Data-Limited Situation. Dissertation.
University of Tasmania. Australia.
Notohadikusumo.T. 2005. Implikasi Etika Dalam Kebijakan Pembangunan
Kawasan. Jurnal Forum Perencanaan Pembangunan. Edisi Khusus,
Januari 2005
Nuitja, I.N.S. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. IPB Press.
Bogor. xii + 127 h.
Nur, N. 2004. Sea Turtle Conservation in Malaysia. www.wildasia.net. [18 Maret
2005]
PERSGA/GEF. 2004. Standard survey methods for key habitats and key species
in the Red Sea and Gulf of Aden. PERSGA Technical Series No.10.
PERSGA, Jeddah.

31

Pitcher, T.J. and Preikshot, D.B. 2001. Rapfish: A Rapid Appraisal Technique to
Evaluate the Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research, 49(3):
pp. 255-270
Pikitch, E.K., Santora, C., Babcock, E.A., Bakun, A., Bonfil, R.,Conover, D.O.,
Dayton, P., Doukakis, P., Fluharty, D., Herman,B., Houde, E.D., Link, J.,
Livingston, P.A., Mangel, M.,McAllister, M.K., Pope, J., and Sainsbury,
K.J. 2004. Ecosystembased fishery management. Science (Washington,
D.C.), 305:346347.
Pomeroy, Robert, Len Garces, Micahel Pido, Geronimo Silvestre. 2009.
Ecosystem-based Fisheries Management in Small-Scale Tropical Marine
Fisheries: Emerging Models of Governance Arrangements in The
Philippines. Journal of Elsevier: Marine Policy, Vol 34: pp. 298-308.
PPTK Unhas. 2006. Monitoring Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan
Spermonde.
RAPFISH Group. 2006. Standart Attributes For Rapfish Analysis Evaluation
Fields for Ecological, Technological, Economic, Sosial and Ethnic Status.
Fisheries Centre, UBC. Vancaouver.
Rebel, T. P. 1974. Sea Turte and Turtle Industry of The Western Indies, Florida,
and The Gulf of Mexico. University of Miami Press. Florida. 250 h.
Saaty, T. L. 1995. Decision Making for Leaders. The Analytical Hierarchy
Process for Decisions in A Complex World. RWS Publication, Pittsburgh.
Sekaran, Uma 2006. Metodologi Penelitian Untuk Bisnis. Jakarta: Salemba Empat.
USAID.1996.
Track
a
Turtle.
www.oneocean.org/ambassadaor/turtlebiology.html. [18 Maret 2006]
Wiyono, Eko Sri. 2006. Mengapa Sebagaian Besar Perikanan Dunia
Overfishing? (Suatu Telaah Manajemen Perikanan Konvensional).
Inovasi Online, ISSN : 0917-8376 | Edisi Vol.6/XVIII/Maret 2006
www.ioseaturtles.org
Zaldi, S.J. 2010. Survei Sosial Ekonomi dan Ketaatan Masyarakat terhadap Kawasan
Konservasi Laut (KKL) Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Kapoposang
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.Laporan Praktek Kerja Lapang. Jurusan
Ilmu Kelautan.Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.Universitas
Hasanuddin.Makassar.
Zamani, N.P. 1998. Penyu Laut Indonesia. Lestarikan atau Punah Selamanya.
WWF Indonesia-Bali Office. Bali. iv + 27 h.
Zulfakar. 1996. Studi Habitat Peneluran Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate) di
Pulau Dapur, Kecamatan Toboali, Kabupaten, Bangka Propinsi Sumatera
Selatan. Skripsi (tidak dipublikasikan). Jurusan Konservasi Sumberdaya
Alam. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

32

MODEL-MODEL PENGELOLAAN KONSERVASI

Pendahuluan

Dining, Jamaluddin Jompa dkk

Terumbu karang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi,


Isishippuris adalah salah satu biota yang terdapat di dalamnya. Isishippuris
merupakan salah satu jenis oktokoral yang hidup di perairan tropis indo pasifik.
Di Indonesia jenis ini mendominasi perairan Indonesia bagian timur, terutama
Perairan Maluku dan Papua. Jenis ini dikelompokan dalam kelompok Gorgonia,
yaitu kelompok oktokoral yang tumbuh dan muncul dari substrat dasar dan
mempunyai kerangka dalam (aksial) yang kokoh. Kerangka aksial terdiri dari
gorgoin yang keras dan padat, sama dengan zat tanduk yang mengandung
substansi kolage dan senyawa protein. Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, terutama di bidang kedokteran dan farmasi telah dilakukan isolasi
senyawa-senyawa aktif yang terkandung di dalam jaringan tubuh biota yang hidup
di laut. Senyawasenyawa tersebut telah diuji dan berkhasiat sebagai senyawa
senyawa antibakteri, anti kanker maupun anti virus. Dalam hal ini oktokoral jenis
Isishippuris diketahui mengadung senyawa antivirus (Tanaka,1981).
Sebelum terjadi kontroversial dalam perdagangan bambu laut yang nantinya akan
berujung pada keputusan CITES (Convention on International Trade in Endangared
Species) dalam status appendix bambu laut, seperti kasus permata laut (Corallium),
pemerintah perlu merespon hal ini lebih cepat untuk menentukan perangkat
regulasi atau code of conduct untuk eksploitasi dan ukuran panen bambu laut. Lebih
detail lagi kelompok gorgonian ini meskipun sudah dimanfaatkan secara umum
oleh masyarakat namun belum diketahui status biologi dan/atau status
populasinya. Mengantisipasi permasalahan ini, Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir
dan Pulau Pulau Kecil telah mengeluarkan surat edaran No
233/KP3K/III/2013 tentang Pengelolaan Bambu Laut dan Habitatnya yang
meminta perhatian seluruh Dinas Kelautan dan Perikanan segera
mengkoordinasikan langkah langkah sebagai berikut : 1) Pencegahan dan
pengawasan terkait pemanfaatan bambu laut; 2) Mensosialisasikan peraturan
perundangan undangan yang terkait, sekaligus pembinaan dalam rangka
penyadaran masyarakat guna melindungi potensi dan sumber daya ikan di wilayah
negara Republik Indonesia

33

Namun demikan, surat edaran Dirjen tersebut belumlah cukup mencegah


terjadinya eksploitasi yang berlebihan dan degradasi kerusakan ekosistem terumbu
karang. Sehingga salah satu jalan yang ditempuh pemerintah, dalam hal ini
Kementerian Kelautan dan Periikanan (KKP) adalah menyiapkan strategi
perlindungan terhadap bambu laut.Hal ini dilakukan, selain untuk menjawab
permasalahan keberlanjutan pengelolaan perikanan, juga mendukung
perlindungan ikan secara global. Menurunnya populasi bambu laut yang terus
menerus perlu di lakukan kajian atau analisis tentang aspek sosial (peran dan
pemahaman masyarakat), ekonomi (tingkat pendapatan), budaya masyarakat
(tradisi) dan aspek hukum (formal dan nonformal), serta peran lembaga-lembaga
yang berwewenang dalam hal pengelolaan terhadap sumberdaya alam pesisir dan
laut. Selanjutnya keseluruhan hasil kajian atau analisis dari aspek-aspek yang
dikemukakan di atas, akan menjadi data dan informasi bagian alisis model
pengelolaan terhadap sumber daya alam pesisir dan laut secara umum dan
terhadap bambu laut secara khususnya.
Langkah awal dimulainya analisis tentang pengelolaan terhadap sumber daya
bambu laut, bermula dari beberapa data sebagai informasi dasar yang menyatakan
bahwa telah terjadi penurunan populasi sumber daya bambu laut pada beberapa
lokasi di Indonesia timur. Tingginya tingkat penangkapan atau eksploitasi
terhadap sumber daya bambu laut diduga akan menurunkan populasi sumber
daya ini di alam. Selain itu berbagai upaya eksploitasi terhadap sumber daya alam
perairan pesisir dan laut yang selama ini dilakukan di sekitar ekosistem terumbu
karan gdengan menggunakan alat tangkap destruktif, akhirnya akan merusak
terumbu karang. Hal ini juga menjadi salah satu masalah serius yang dapat
menurunkan populasi bambu laut di alam.
Selain itu penurunan populasi sumber daya bambu laut adalah juga karena
Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat seperti tingkat
pendidikan,tingkatpendapatan, maupun latarbelakang pekerjaan dapat
mempengaruhi juga pola pikir atau pun pemahaman tentang bagaimana
mengelola sumberdaya alam yang lestari atau berkelanjutan bagi peningkatan
taraf hidup Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat strategi pengelolaan
bambu laut di Indonesia yang berbasis pada kondisi pupulasi, sosekbud, hukum
dan kelembagaan guna kepentingan pengelolaan sumber daya bambu laut secara
berkelanjutan

34

Gambaran Umum Populasi


Status Populasi
Status populasi bambu laut belum dilakukan secara menyeluruh, namun dari
beberapa hasil survey yang telah dilakukan,kepadatan alaminya tidak merata pada
setiap daerah. Kelimpahan yang ada di setiap daerah berbeda beda tergantung
kondisi wilayah dan kondisi terumbu karang di setiap daerah tersebut.Kelimpahan
jumlah koloni didasarkan pada kriteria Haris, dkk. (2010) membaginya kedalam
lima kategori sebagaimana disajikan pada Tabel 1.Kriteria kelimpahan bambu
laut berdasarkan jumlah koloni (Haris, dkk. 2010)
No

KELIMPAHAN (Jumlah Koloni)

KATEGORI

1.
2.
3.
4.
5.

3 - 44
45 84
85 126
127 167
168 - 209

jarang
sedikit
sedang
banyak
melimpah

Berdasarkan hasil penelitian Haris, Abdul .Jompa dkk (2010), pada perairan
Spermonde Kota Makassar, Sulawesi Selatan, berdasarkan jumlah koloni yang
ditemukan hanya terdapat tiga dari lima kategori kelimpahan, yaitu jarang, sedikit
dan melimpah seperti pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Kelimpahan Bambu Laut di Perairan Spermonde, Kota Makassar
No Lokasi
Jumlah
Kategori
Koloni
1
P. Samalona
11 - 26
Jarang
2
P. Kodingarenglompo
7 17
Jarang
3
P. Kodingarengkeke
3 32
Jarang
4
P. Bonetambung
15 209
Melimpah
5
Gs. Bonebattang
42 44
Jarang
6
P. Barranglompo
26 45
Sedikit
Jika kita melihat tabel 2. Jumlah bambu laut hanya melimpah pada Perairan di P.
Bonetambung yaitu 209 koloni/500 m2. Hal ini di mungkinkan karena pada
lokasi tersebut merupakan daerah yang agak terlindung (Leeward). P.Bone
tambung merupakan lokasi yang memilki kondisi terumbu karang yng masih
35

baik.Dari hasil survey tahun 2013 P.Bone tambung memiliki jumlah koloni
bambu laut yang masih melimpah di bandingkan dengan pulau pulau lain
sekitarnya.P Bone tambung sangat terjaga terumbu karangnya karna merupakan
Daerah Perlindungan Laut (DPL) oleh masyarakat setempat sehingga kondisi
terumbu karangnya terjaga. Tokoh masyarakat di Pulau tersebut sangat menjaga
laut mereka.Sedangkan pada perairan lainnya koloninya sangat jarang , bahkan di
beberapa pulau seperti di P.Barrang Lompo dan P.Samalona tidak di temukan lagi
bambu laut. imprep (Dining A Candri Dkk). Data bambu laut di Kabupaten
Parigi Moutong menunjukan status populasi dari biota bambu laut (Isis hippuris)
pada stasiun pertama memiliki kepadatan populasi sebesar 852 koloni / 500
m,menunjukan jumlah yang melimpah, sedangkan pada stasiun kedua memiliki
populasi 514 koloni / 500 m menunjukan kategori melimpah. Sedangkan sebaran
koloni Isis hippuris ditemukan hidup lebih besar berada pada kedalaman 5 meter
dengan persentase 38,14% dan rata-rata ukuran yang dominan hidup adalah
ukuran 30-50 cm dengan persentase 44,66%. Data yang lain yang di lakukan oleh
BPSPL Makassar antara lain data bambu laut pada Tahun 2012 di beberapa
daerah Sulawesi, yaitu Perairan Gorontalo, Selayar, Konawe dan Parigi Moutong.
Adapun sebaran kelimpahan bambu laut di Perairan Kabupaten Goronatlo Utara
berdasarkan jumlah koloni bambu laut , dari data tersebut, dapat diketahui ratarata sebaran kelimpahan adalah 73,5 koloni dengan ukuran kelimpahan yang
didominasi oleh kelompok dengan jumlah koloni yang kecil (1 10) . Menurut
Haris, dkk.(2010), kelimpahan koloni bambu laut ini termasuk kategori sedikit.
Hal ini menunjukkan bahwa bambu laut di perairan pulau Saronde ini tingkat
pertumbuhannya masih rendah, meskipun merupakan daerah yang agak
terlindung (atol). Di samping itu Perairan di Kabupaten Gorontalo Utara
khususnya perairan Pulau Saronde belum ada kegiatan pengambilan bambu laut
sehingga dapat dikatakan bahwa ukuran komposisi dan kelimpahan bambu laut
yang ada ini masih merupakan ukuran alamiah yang belum dimanfaatkan oleh
nelayan.
Berdasarkan hasil survey BPSPL Makassar di Kabupaten Konawe, Kelimpahan
koloni bambu laut di perairan Kabupaten Konawe termasuk kategori sedikit
sampai kategori melimpah (berdasarkan kategori Haris, dkk., 2010), tetapi
penyebarannya tidak merata dan ukuran individu didominasi dengan yang kecil (0
30 cm). Populasi dan sebaran bambu laut sudah sangat terbatas akibat
eksploitasi berlebihan yang dilakukan di perairan Konawe.
Di Kabupaten Bima dan Kota Bima survey di lakukan oleh BPSPL Bali
menunjukan bahwa di daerah tersebut bambu laut penyebaran tidak merata.Di
Kota Bima (P.Kolo, P.Soronehe 1 dan P.Soronehe 2 dan P.Bonto) tidak di
temukan sama sekali bambu laut sedangkan di kabupaten Bima yaitu di Pulau
36

(Lariti I, Lariti 2, Tosa, Lampa Jara dan Pasir Putih).Survey juga di lakukan di
pulau Lombok yaitu Kepulauan Gili Matra :Gili Air, Gili Meno dan Gili trawangan
tidak di temukan bambu Laut di daerah tersebut.Dining Candri,Dkk (In Prep).
Data terbaru tahun 2013 dan 2014 yang sudah di lakukan di Kepulauan
Spermonde menunjukan penurunan jumlah yang signifikan.
Kepulauan Wakatobi
Survey yang di lakukan di Pulau Hoga di daerah perlindungan laut di temukan
bambu laut dalam kondisi melimpah tetapi di beberapa pulau yang lain di
temukan bambu laut dalam kondisi jarang .Di Pulau Wanci survey menunjukan
bambu laut dalam kategori sedikit, jarang bahkan tidak di temukan. Dining
Candri,dkk (In Prep)
Tingkat Pemanfaatan
Biota bamboo laut ini termasuk dalam karang lunak yang banyak diperdagangkan
dan diekspor ke Eropa, Amerika, dan sebagian Asia. Permintaan pasar terbesar
adalah dari Cina dan memiliki harga yang tinggi.Dari data hasil laporan bulanan
kegiatan operasional tindakan karantina Tahun 2011 yang dikeluarkan oleh
Stasiun Karantina Ikan Kelas I Wolter Monginsidi, bahwa sepanjang tahun 2011
telah terjadi pengiriman bambu laut sebanyak 230.000 kg, dengan tujuan utama
Makassar dan Surabaya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin tinggi
tingkat pengambilan bambu laut maka akan semakin tinggi pula ancaman
terhadap terumbu karang disebabkan cara pengambilan atau pemanenan yang
tidak ramah lingkungan.
Dari hasil wawancara yang diperoleh, sistem pemasaran Isis hippuris yang
dilakukan di Kecamatan Moutong yakni pedagang pengumpul mendatangi
masyarakat kemudian dilakukan transaksi dengan harga jual Rp.1.500,- perkilogram dalam bentuk bambu laut yang telah dikelupas. Sedangkan di Kabupaten
Konawe, harga bambu laut di tingkat nelayan sangat murah yaitu rata-rata Rp
500,- per kilogram bambu laut kering, sedangkan harga ditingkat eksportir Rp
5.000 perkilogram. Untuk harga jual bambu laut di Kabupaten Gorontalo Utara
selama ini berkisar antara Rp2.000,00/kg Rp3.000,00/kg. Nelayan pengambil
bambu laut tidak mengetahui secara jelas jalur pemasaran di tingkat pedagang
pengumpul hingga ke konsumen. Begitu juga dari data yang di kumpulkan di
Kepulauan Togean dan kepulauan Wakatobi, dari wawancara yang di lakukan
kepada narasumber kunci, harga bambu laut berkisar antara Rp 2000 Rp.5000./
kg.

37

Tingkat Pengelolaan
Bambu laut sampai saat ini belum termasuk dalam jenis yang dilindungi dan
masuk dalam Appendiks CITES. Sehingga pengelolaannya harus berdasarkan
Undang Undang 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan.
Dalam Pasal 7 UU 31 Tahun 2004 telah jelas disebutkan bahwa IKAN adalah
segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada
di dalam lingkungan perairan (Pisces, Crustacea, Mollusca, Coeloenterata (bambu
laut), Echinodermata, Amphibia, Reptilia, Mamalia dan Algae)Bambu laut (Isis
hippuris) yang termasuk kedalam phylum Coelenterata termasuk dalam definisi
ikan menurut UU 31 Tahun 2004.Dan didalam Pasal 53 PP 60 Tahun 2007
juga telah disebutkan bahwa Otoritas Pengelola (Management Authority)
Konsevervasi Sumberdaya Ikan adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan
Di beberapa tempat, khususnya di Propinsi Sulawesi Tengah melalui Surat
Edaran Gubernur Sulawesi Tengah Nomor S.23/596/DISKANLUT tanggal 27
Oktober 2009, bambu laut telah dilarang dieksploitasi untuk kepentingan apapun
dan beberapa hasil telah disita dalam usaha pengapalannya. Sebaliknya di
beberapa tempat, BKSDA telah mengeluarkan izin pemanfaatannya mengikuti
aturan CITES dan Undang Undang Nomor 50 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati, padahal jenis ini belum termasuk jenis yang dilindungi
dan masuk kedalam Appendiks CITES. Sehingga pengelolaannya harus
berdasarkan Undang Undang 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya
Ikan
Dalam rangka pengelolaan berkelanjutan, Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan
Pulau Pulau Kecil telah mengeluarkan surat edaran No 233/KP3K/III/2013
tentang Pengelolaan Bambu Laut dan Habitatnya yang meminta perhatian seluruh
Dinas Kelautan dan Perikanan segera mengkoordinasikan langkah langkah
sebagai berikut : 1) Pencegahan dan pengawasan terkait pemanfaatan bambu laut;
2) Mensosialisasikan peraturan perundangan undangan yang terkait, sekaligus
pembinaan dalam rangka penyadaran masyarakat guna melindungi potensi dan
sumber daya ikan di wilayah negara Republik Indonesia.

38

Landasan Hukum Penetapan Status Perlindungan


(1)

Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan


sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45
tahun 2009.

(2)

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan


Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dalam Undang-Undang Nomor 27/2007 ini secara gamblang disampaikan bahwa


kegiatan penambangan terumbu karang ataupun kegiatan yang secara langsung
maupun secara tidak langsung dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang
DILARANG dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengambilan
bambu laut (bambu laut merupakan bagian ekosistem terumbu karang dan
menempati habitat yang sama dengan ekosistem terumbu karang, sehingga
pengelolaan terumbu karang tidak bias dipisahkan dengan pengelolaan terumbu
karang).
(3)

Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi


Sumber Daya Ikan;

Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 tentang konservasi sumber daya


ikan merupakan aturan turunan dari Undang-Undang nomor 31 tahun 2004
tentang perikanan dan perubahannya Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009.
Pada Pasal 21 disebutkan bahwa konservasi sumber daya ikan dilakukan dengan
tujuan untuk melindungi jenis ikan yang terancam punah, Penetapan status
perlindungan jenis ikan merupakan salah satu upaya dalam rangka implementasi
program konservasi jenis ikan.
(4)

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER03/MEN/2010 tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan
Jenis Ikan.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03/MEN/2010


merupakan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004
tentang Perikanan dan perubahannya UU No. 45 tahun 2009 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan yang
mengatur tahapan-tahapan yang dilakukan dalam rangka penetapan status
perlindungan jenis ikan yang mengalami ancaman kepunahan, langka dan
endemik. Verifikasi dan analisis kebijakan pada dasarnya merupakan kegiatan

39

pengumpulan data dan kegiatan analisis dari data-data yang dihasilkan selama
proses verifikasi. Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan verifikasi di antara di
Rekomendasi Ilmiah dari LIPI selaku otoritas ilmiah diperlukan sebagai bahan
pertimbangan dari sisi keilmuan terhadap spesies ikan yang diusulkan untuk
ditetapkan status perlindungannya. Dalam tahapan ini selain pertimbangan ilmiah
LIPI juga diharapkan dapat memberikan saran pengelolaan terhadap spesies ikan
yang akan dilindungi. Rekomendasi LIPI ini merupakan salah satu dasar dalam
melaksanakan program tindak lanjut setelah penetapan status perlindungan oleh
Menteri Kelautan dan Perikanan.
Menteri menetapkan SK perlindungan jenis ikan berdasarkan tingkat
keterancaman dan kebutuhan pengaturan, dapat ditetapkan dengan status
perlindungan penuh atau status perlindungan terbatas.Pada dasarnya penetapan
status perlindungan penuh dan terbatas tersebut merupakan salah satu upaya
untuk menghindari bahaya kepunahan dan program peningkatan populasinya di
habitat alam.
Di dalam Permen di atas juga diatur mekanisme perubahan status perlindungan,
sehingga berdasarkan data hasil monitoring dan evaluasi populasi apabila kondisi
populasi menjadi semakin baik, serta kemampuan dalam melakukan pengelolaan,
maka spesies ikan yang sudah dilindungi dapat dibuka status perlindungannya
menjadi tidak dilindungi ataupun menjadi perlindungan terbatas. Setelah
ditetapkannya status perlindungan ini, maka perlu dilakukan program sosialisasi
sehingga aturan yang sudah ditetapkan dapat diketahui secara luas, terutama oleh
stakeholder-stakeholder yang terkait dengan mata rantai penangkapan dan
perdagangan.Monitoring populasi dan upaya-upaya untuk menambah jumlah
individu dalam populasi serta pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum
dilakukan dalam rangka penegakan aturan dan pencapaian tujuan perlindungan.

40

Pemenuhan Terhadap Indikator


Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber
Daya Ikan, Pasal 23 menyebutkan kriteria jenis ikan dilindungi di antaranya
meliputi: terancam punah, langka, daerah penyebaran terbatas (endemik),
terjadinya penurunan populasi di alam secara drastis dan tingkat kemampuan
reproduksi yang rendah.
Pengambilan dan perdagangan bambu laut sudah berlangsung secara masif,
khususnya di wilayah perairan Kepulauan Sulawesi. Bambu laut umumnya hidup
di perairan pesisir yang dangkal, sehingga sangat rawan akan terjadinya
pemanfaatan yang berlebih. Berdasarkan hasil survey populasi bambu laut pada
beberapa lokasi di perairan Sulawesi menunjukkan besarnya tekanan penangkapan
terhadap populasi bambu laut.
Dalam melakukan pengambilan bambu laut yang dilakukan oleh masyarakat
nelayan umumnya tidak dilakukan dengan metode khusus, lokasi pengambilan
yang berada di kawasan pesisir yang dangkal tidak membutuhkan peralatan yang
modern, umumnya pengambilan dilakukan dengan cara mencabut atau dibabat
menggunakan parang. Dengan metode ini hampir semua koloni bambu laut
tercabut, baik yang berukuran kecil maupun yang berukuran besar.
Sosial Budaya dan Dukungan Masyarakat
Perlu adanya upaya untuk menyamakan visi antara pemerintah dan masyarakat
bahwa regulasi tentang penetapan status perlindungan bambu laut bukanuntuk
menutup sumber penghidupan masyarakat, tetapi dilakukan agar masyarakat
mempunyai sumber penghidupan yang berkelanjutan, tidak hanya bagi
masyarakat di masa sekarang tetapi juga untuk generasi yang akan datang.
Dampak Penetapan Status Terhadap Sumber Pendapatan Masyarakat
Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir mempunyai ketergantungan yang besar
terhadap sumberdaya yang ada di pesisir dan laut, dimana sebagian besar
masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan atau pekerjaan-pekerjaan lainnya yang
terkait dengan sumberdaya ikan. Saat ini, berdasarkan hasil kajian yag dilakukan di
wilayah perairan di Indonesia khususnya di indonesia Timur dapat diketahui
bahwa penyebab utama kerusakan ekosistem bambu laut disebabkan oleh
kegiatan pengambilan bambu laut dengan menggunakan cara-cara yang belum
mempertimbangkan aspek kelestarian bambu laut itu sendiri. Masyarakat
mengambil dengan cara mencabut dan mencungkil karang, sehingga apabila
kegiatan ini berlangsung secara terus menerus tanpa adanya pengaturan yang jelas
maka dikhawatirkan kegiatan pengambilan bambu laut ini tidak hanya akan

41

mengancam kelestarian bambu laut, tetapi juga akan mengancam ekosistem


terumbu karang.
Penetapan status perlindungan bambu laut yang nantinya akan ditetapkan melalui
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan ini tidak akan memberikan dampak
secara signifikan pada pendapatan masyarakat. Beberapa hal yang menjadi
pertimbangan dalam pernyataan tersebut adalah :
a. Pengambilan bambu laut bukan merupakan mata pencaharian utama
masyarakat, profesi masyarakat yang mengambil bambu laut adalah
nelayan. Penghentian pengambilan bambu laut pada dasarnya hanya
untuk menambah pendapatan masyarakat dalam jangka pendek, tetapi
dalam jangka panjang jusru akan memiskinkan masyarakat, karena
kerusakan ekosistem bambu laut akan
b. mengancam kelestarian ekosistem dan kelimpahan sumber daya ikan yang
justru menjadi sumber pendapatan utama masyarakat.
c. Pengambilan bambu laut sampai dengan saat ini ditemukan di perairan
pesisir Sulawesi, terutama di Sulawesi , Pengambilan bambu laut ini
hanya melibatkan sebagian kecil masyarakat pesisir, sehingga penghentian
pengambilan bambu laut tidak akan memberikan dampak yang besar
kepada masyarakat pesisir secara keseluruhan.
d. Secara nasional pengambilan bambu laut ini baru teridentifikasi di
perairan pesisir Sulawesi sedangkan di daerah lainnya belum dtemukan.
Penghentian sementara pengambilan bambu laut hanya akan berdampak
pada sebagian kecil masyarakat pesisir di perairan Sulawesi.
e. Nilai jual bambu laut yang diterima oleh masyarakat sangat rendah,
sehingga nilai manfaat ekonomi yang diterima oleh masyarakat dari
pengambilan bambu laut tidak seimbang dengan nilai kerusakan yang
ditimbulkan, termasuk kerugian jangka panjang yang berupa ancaman
kehilangan sumber daya ikan yang menjadi sumber pendapatan utama
masyarakat.
Dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan di atas dan untuk menjaga
keberlanuutan sumber daya ikan bagi kelangsungan sumber pendapatan
masyarakat, maka penetapan status perlindungan bambu laut melalui penghentian
kegiatan pengambilan selayaknya segera dilakukan, sehingga dampak kerusakan
yang lebih besar tidak terjadi. Status perlindungan bambu laut harus segera di
tetapkan mengingat tidak ada aturan yang mengatur tentang hal ini, di mana
ancaman kerusakan terumbu karang dan keberlanjutan bambu laut ini terus
mengancam.

42

Dari data yang di peroleh di dearah kepulauan Wakatobi dari tahun 2000 sampai
tahun 2002 terjadi pengambilan bambu laut dalam skala besar, saat ini setelah 12
tahun kondisi bambu laut belum pulih, terbukti dari survey di lakukan jumlah
bambu laut dalam kategori sedikit bahkan tidak ada sama sekali, kecuali di daerah
DPL dalam kategori melimpah.Dining Candri,Dkk (In Prep)
Arah Kebijakan Pemerintah
Undang-Undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil dengan tegas menyampaikan larangan penambangan terumbu
karang, walaupun pada bagian penjelasan disampaikan bahwa kegiatan yang
dilarang tersebut apabila menyebabkan tutupan terumbu karang kurang dari 50%.
Disisi lain berdasarkan data survey status terumbu karang di Indonesia
menunjukkan bahwa sebagian besar kondisi terumbu karang berada dalam
kondisi yang memprihatinkan, dan apabila tidak dilakukan langkah yang tegas
maka hampir dipastikan laju kerusakan terumbu karang, termasuk juga di
dalamnya bambu laut akan terus mengalami peningkatan.
Program
Coral Reef Rehabilitation and Management Project yang dilaksankan di Indoensia
merupakan salah satu program penyelaman terumbu karang terbesar di dunia
bakan terumbu karang.Segala aspek yang menjadi penyebab kerusakan ekosistem
terumbu karang coba disentuh melalui program ini, baik dari sisi sosial ekonomi,
penyadaran
masyarakat,
public
awareness,
dan
juga
aspek
pengawasannya.Kegiatan pengambilan bambu laut yang merupakan salah satu
penyusun ekosistem terumbu karang merupakan fakta yang kontradiktif dengan
arah kebijakan pemerintah, dimana kegiatan pengambilan bambu laut ini juga
merupakan salah satu faktor yang dapat memperparah kerusakan ekosistem
terumbu karang, khususnya di wilayah perairan pesisir.
Dukungan Pemerintah Daerah
Pengambilan bambu laut pada awalnya marak terjadi di perairan Sulawesi Tengah,
aktivitas pengambilan bambu laut tersebut dikhawatirkan akan memberikan
dampak yang besar pada ancaman kepunahan bambu laut dan ancaman kerusakan
yang lebih besar pada ekosistem terumbu karang. Seperti telah disampaikan pada
bagian-bagian sebelumnya bahwa terumbu karang merupakan ekosistem penting
yang mendukung keberlangsungan sumber daya ikan yang merupakan sumber
penghidupan dan sumber pangan utama masyarakat pesisir.
Dukungan pemerintah daerah yang merupakan wujud pemahaman tentang
pentingnya menjaga kesinambungan sumber daya guna menjaga sumber
penghidupan masyarakat pesisir pemerintah Daerah Sulawesi Tengah telah
mengeluarkan surat edaran, diantaranya yaitu :
43

Surat Edaran Gubernur Sulteng kepada Bupati/Walikota Seluruh Sulteng Nomor


: 523/529/DISKANLUT tanggal 27 Oktober 2009 perihal : pelarangan
pengumpulan dan pemasaran bambu laut (Isis hippuris) dan batang merah
(Melitodes/Sealipress)
(1)

Surat Edaran Bupati Sinjai Nomor : 660/943/SET, tanggal 23 Juni 2005


tentang pelarangan pengambilan bambo laut dan sejenisnya;

Dukungan pemerintah daerah dalam bentuk surat edaran tersebut secara


substansi merupakan langkah penyelamatan untuk menghindari ancaman yang
lebih besar, namun demikian karena kebijakan ini hanya bersifat lokal sehingga
tidak akan mempu untuk mengantisipasi pengambilan bambu laut dalam skala
yang lebih luas. Walaupun sudah ada surat edaran yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah Sulawesi Tengah, namun kegiatan pengambilan dan
perdagangan bambu laut masih tetap terjadi di wilayah lainnya, seperti yang terjadi
di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan.
Distribusi
bambu laut di Indonesia cukup luas, dan umumnya hidup pada daerah yang sama
dengan daerah penyebaran terumbu karang. Pasar bambu laut yang cukup luas
merupakan ancaman serius bagi kelangsungan bambu laut secara nasional,
walaupun saat ini baru terjadi di perairan Sulawesi namun tidak menutup
kemungkinan bahwa kegiatan pengambilan bambu laut ini akan meluas ke daerah
lainnya di Indonesia.Data terakhir yang di di lakukan BPSPL Bali (2013)
menemukan di kabupaten Bima NTB ada aktivitas pengambilan bambu laut.
Kondisi Yang Diharapkan
Bambu laut merupakan salah satu jenis sumberdaya yang dimiliki bangsa
Indonesia, dan tentu saja setiap sumberdaya yang dimiliki tersebut diharapkan
dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Dalam
konteks ini masyarakat dipahami sebagai generasi manusia yang ada pada saat
sekarang dan generasi yang akan datang, oleh karena itu sumber daya bambu laut
ini masih tetap diusahakan kelestariannya sampai waktu yang akan datang
sehingga dapat juga memberikan manfaat kepada generasi berikutnya.
Dalam konteks pemanfaatan sumberdaya, ada jenis sumberdaya yang dapat
dimanfaatkan secara langsung melalui kegiatan pengambilan atau penangkapan
tanpa menyebabkan ancaman kepunahan, namun ada juga jenis sumber daya
lainnya yang karena berbagai faktor akan lebih memberikan manfaat secara tidak
langsung kepada masyarakat. Kondisi yang diharapkan dengan adanya status
perlindungan bambu laut ini diantaranya adalah :

44

1) Bambu laut dapat terjaga kelestariannya sehingga dapat memberikan


manfaat yang lebih besar bagi lingungan dan masyarakat generasi sekarang
dan generasi yang akan datang;
2) Masyarakat pesisir dapat merasakan manfaat yang lebih besar dan lebih
sinambung dari sumber daya bambu laut, sehingga dikhawatirkan kondisi
pemanfaatan bambu laut yang terjadi saat ini hanya akan memberikan nilai
ekonomi yang rendah bagi masyarakat dan hanya berlangsung sesaat.
3) Pengambilan bambu laut diharapkan tidak menyebabkan kepunahan
bambu laut dan tidak menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang,
sehingga diperlukan regulasi dan inovasi teknologi dalam pemanfaatannya,
sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.
4) Pemanfaatan bambu laut hendaknya mempunyai basis kajian yang
memadai sehingga kegiatan pemanfaatan tidak memberikan dampak yang
serius bagi kelangsungan sumberdaya. Saat ini kajian-kajian yang terkait
dengan aspek biologi dan inovasi teknologi pemanfaatannya belum
tersedia secara memadai.
Perancangan Status Perlindungan
Terkait dengan program penetapan status perlindungan terbatas bambu laut, ada
beberapa hal penting yang harus menjadi pertimbangan sebelum menetapkan
status perlindungan, diantaranya :
a.

b.

c.

d.

Data dan informasi tentang aspek biologi dan status populasi masih
sangat terbatas, namun kegiatan pemanfaatan telah dilakukan secara
besar-besaran sehingga dikhawatirkan jika ini di lakukan terus menerus
akan mengakibatkan ancaman kepunahan spesies bambu laut.
Bambu laut dapat di manfaatkan secara lestari. Pemanfaatan secara lestari
ini dapat dimaknai dengan menerapkan prinsip-prinsip sustainable use,
diantaranya : pemanfaatan tidak melebihi batas yang diperbolehkan,
pemanfaatan dengan cara-cara yang bersifat merusak, dan lain-lain;
Metode pengambilan bambu laut dilakukan dengan cara yang tidak ramah
lingkungan sehingga dapat mengancam kelestarian sumber daya bambu
laut dan menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang. Untuk itu
perlu adanya metode yang tepat dengan cara pengambilan bambu laut
dengan cara memotong bagian tubuh bambu laut bukan mencabut apalagi
mencukil karang, karena hal ini dapat merusak terumbu karang dan
mengancam kelestarian sumberdaya bambu laut.
Bambu laut (Isis hippuris) berada saku kelas dengan terumbu karang (Kelas
: Anthozoa) yang secara ekologis pada habitat yang sama. Pemerintah
melalui Undang-Undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah

45

e.
f.

g.

h.

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pada Pasal 35 telah mengeluarkan larangan


pengambilan terumbu
karang, termasuk aktivitas-aktivitas yang dapat menyebabkan kerusakan
terumbu karang;
Pengambilan dan perdagangan bambu laut bukan merupakan mata
pencaharian utama masyarakat, tetapi hanya pendapatan tambahan bagi
keluarga. Penghentian pemanfatan bambu laut tidak akan menyebabkan
dampak yang besar pada tingkat kesejahteraan masyarakat, namun tetap
perlu dipertimbangkan untuk untuk mengembangkan mata pencaharian
alternative bagi masyarakat yang terkena dampak secara langsung oleh
penghentian pemanfaatan bambu laut.
Gubernur Propinsi Sulawesi Tengah No. 523/596/DISKANLUT tanggal
27 Oktober tahun 2009 telah mengeluarkan Surat Edaran kepada seluruh
Bupati/Walikota yang ada di Propinsi Sulawesi Tengah tentang larangan
pengumpulan, penampungan dan pemasaran bambu laut dan batang
merah. Empat substansi surat edaran tersebut diantaranya : (1) tidak
membuat rekomendasi dan ijin atas pengambilan, pengumpulan,
penampungan dan pemasaran bambu laut baik hasil dari wilayah sendiri
maupun dari Kabupaten/Kota lainnya; (2) meningkatkan pengawasan atas
usaha-usaha yang merusak ekosistem pantai dan pulau-pulau kecil
termasuk bambu laut dan sejenisnya; (3) membuat edaran
Bupati/Walikota kepada aparat pemerintah, para Kepala SKPD, Camat,
Lurah / Kepala Desa, Petugas Pelabuhan untuk melarang kegiatan
pengambilan, pengumpulan, penampungan dan pemasaran bambu laut di
wilayahnya; (4) mendukung sejumlah aparat Dinas Kelautan dan
Perikanan, Polisi, Kejaksanaan untuk memproses lebih lanjut dengan
adanya pelanggaran, pengambilan, pengumpulan, penampungan dan
pemasaran bambu laut (Isis hippuris) dan matang merah atau sejenisnya
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. (5) surat edaran ini agar
disampaikan/diteruskan kepada seluruh unit kerja yang ada di
lingkungannya dan ditempatkan pada papan pengumuman atau tempat
yang mudah dibaca masyarakat.
Surat Edaran Bupati Sinjai Nomor : 660/943/SET tanggal 23 Juni 2013
tentang pelarangan pengambilan bambu laut dan sejenisnya yang
ditujukan kepada : (1) Kepala Badan, Dinas dan Kantor Lingkup Pemkab
Sekab Sinjai; (2) Para Camat Sekab. Sinjai dan (3) Para Kepala Desa
Sekab. Sinjai. Surat Edaran ini didasarkan pada fakta lapangan bahwa
pengambilan bambu laut sangat berpengaruh terhadap rusaknya potensi
terumbu karang serta sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

46

Berdasarkan Peraturan MenteriKP Nomor : 3/MEN/2010 tentang Tata Cara


Penetapan Status Perlindungan dan poin-poin pertimbangan penting di atas maka
beberapa opsi perlindungan yang paling memungkinkan untuk diimplementasikan
dengan mempertimbangkan kepentingan ekonomi, ekologi, soasial
dan
kepentingan konservasi, yaitu dengan penetapan status Perlindungan Terbatas
Waktu.
Perlindungan terbatas waktu
Perlindungan terbatas waktu yang dimaksudkan dalam hal ini adalah penghentian
sementara berdasarkan kurun waktu tertentu, dimana setelah kurun waktu
tersebut masih terbuka peluang untuk memanfaatkan potensi bambu laut dengan
pengaturan-pengaturan tertentu. Tipe perlindungan untuk bambu laut ini pada
dasarnya merupakan MORATORIUM pengambilan dan perdagangan bambu laut
selama kurun waktu tertentu.
Perencanaan
Perlindungan

Implementasi

Program

Pasca

Penetapan

Status

Setelah proses penetapan status perindungan terbatas bambu laut mendapatkan


pengesahan dari Menteri Kelautan dan Perikanan, akan dilanjutkan untuk
menyusun dokumen rencana program / rencana pengelolaan yang akan
dilaksanakan selama moratorium dilakukan. Program-program yang akan disusun
dalam rencana pengelolan ini nantinya diharapkan dapatmembantu dalam
penyelesaian permasalahan pengelolaan bambu laut untuk tujuan pengelolaan
yang lebih baik.
Sosialisasi dan Penyadaran Masyarakat
Sosialisasi merupkan langkah awal yang akan dilakukan pasca penetapan status
perlindungan terbatas bambu laut, substansi yang mendasari penetapan status
perlindungan dan tujuan penetapan status perlindungan harus dapat
dikomunikasikan dengan baik kepada semua stakeholders. Pada saat ini program
perlindungan jenis melalui penetapan status perlindungan belum banyak dipahami
secara baik oleh masyarakat umum, kesan di masyarakat bahwa penetapan status
perlindungan jenis ini hanya akan merugikan masyarakat dan akan menutup
sumber mata pencaharian masyarakat saja, sehingga seringkali pemerintah dan
masyarakat ditempatkan pada posisi yang berseberangan.
Hal yang sama juga dilakukan untuk penetapan status perlindungan bambu laut,
penetapan status perlindungan ini pada dasarnya untuk pengembangan pola
pemanfaatan yang berkelanjutan, dimana dalam konsepnya penetapan status
47

perlindungan hanya bersifat sementara, dan berpeluang untuk dibuka kembali.


Kegiatan sosialisasi ini diharapkan dapat di lakukan dengan pertemuan maupun
dengan penyediaan bahan sosialisasi yang memadai agar dapat di pahami dengan
baik oleh masyarakat.
Pengawasan dan Pembinaan
Efekivitas pelaksanaan regulasi status perlindungan ini akan banyak ditentukan
pada efektivitas pelaksanaan pengawasan dan pembinaan yang dilakukan di
tingkat lapangan. Pada saat ini fungsi pengawasan yang ada di Kementerian
Kelautan dan Perikanan berada di Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya
Kelautan dan Perikanan, Penyedik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di tingkat pusat
dan daerah, Pengawasan Perikanan di tingkat pusat dan daerah dan Kelompok
Masyarakat Pengawas (POKMASWAS).Dari bebrapa data yang di peroleh
pengawasan selama ini sangat lemah karen terbatasnya armada, biaya dan lokasi
yang sulit di jangkau.
Selain pelaksanaan pengawasan di lapangan, pengewasan terhadap peredaran
bambu laut juga memegang peranan penting. Bambu laut ini diperdagangkan
dengan tujuan ekspor, sehingga peran pengawas di pintu-pintu pengeluaran /
pintu ekspor juga akan berperan besar pada sukses atau tidaknya regulasi ini
diimplementasikan. Peranan petugas pelabuhan, karantina dan bea cukai akan
menjadi salah satu kunci yang penting, apabila pengawasan di pintu-pintu
pengeluaran dijaga dengan ketat, maka secara langsung juga akan menekan pada
kegiatan pengambilan di lapangan.karena fungsi pengawasan dan peredaran ini
tidak berada di bawah Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setelah
penetapan status perlindungan ini perlu segera dilakukan pertemuan koordinasi
dengan instansi pengawasan terkait, termasuk memberikan informasi daerahdaerah pengambilan bambu laut yang utama serta pengusaha eksportir bambu
laut. Pengawasan terhadap peredaran ini mungkin tidak terlalu sulit untuk
dilakukan, mengingat jumlah eksportir masih terbatas, termasuk daerah asal
eksportir yang masih terbatas ada beberapa lokasi saja, terutama di Surabaya dan
Makassar.
Survey Status Populasi
Salah satu kekhawatiran yang dialami dari maraknya kegiatan pemanfaatan bambu
laut yang terjadi beberapa waktu yang lalu adalah minimnya data dan informasi
yang dimiliki, termasuk data sebaran potensi dan status populasinya.Sejak tahun
2011, Dit. KKJI dan Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan / BPSPL
Makassar dan BPSPL Bali telah melakukan studi populasi bambu laut di
beberapa daerah, di tambah lagi survey yang di lakukan oleh Universitas
48

Hasanuddin ,namun wilayah yang dapat di survey masih sangat terbatas, sehingga
masih belum dapat merepresentasikan status sebaran dan status populasi bambu
laut secara nasional.
Berdasarkan pada kegiatan survey potensi bambu laut yang dilakukan, habitat
bambu laut mempunyai kesamaan dengan habitat terumbu karang, dan banyak
ditemukan pada perairan yang relatif dangkal, dan bebrapa di daerah reef slope,
sehingga dapat dengan mudah dimanfaatan oleh masyarakat. Selama ini bambu
laut belum menjadi fokus objek yang diperhitungkan dalam pelaksanaan survey
terumbu karang, sehingga walaupun sudah banyak survey terumbu karang yang
dilakukan, namun data tentang bambu laut sendiri masih sangat minim tersedia.
Untuk massa yang akan datang, pelaksanaan survey terumbu karang diharapkan
dapat dilaksanakan bersamaan dengan survey bambu laut, sehingga waktu
pelaksanaan dapat berjalan dengan lebih efektif dan juga dapat menghemat
pembiayaan. Luasnya wilayah perairan Indonesia merupakan salah satu tantangan
yang harus dihadapi dalam melaksanakan survey bambu laut, oleh karena itu
kajian studi potensi populasi ini tidak mungkin dilakukan oleh Ditjen KP3K saja
tetapi harus melibatkan lebih banyak pihak-pihak terkait.Terkait dengan hal
tersebut maka perlu disediakan buku panduan metode pelaksanaan survey,
sehingga setiap orang dapat melakukan survey dengan metode yang standar.
Pengembangan Metode Pengambilan
Bambu laut hidup berkoloni, dimana dalam koloni tersebut hidup bersama
bambu laut yang berukuran kecil dan bambu laut yang berukuran besar.
Pengambilan bambu laut yang selama ini dilakukan nelayan dilakukan dengan cara
mencabut dan mencungkil sehingga semua ukuran bambu laut terambil.Cara
seperti ini tentunya tidak baik untuk pertumbuhan bambu laut. Untuk
pemanfaatan yang berkelanjutan perlu dikembangkan metode pemanenan yang
baik, sehingga hanya bambu laut yang berukuran besar saja yang diambil dan
dimanfaatkan, sedangkan bambu laut yang berukuran kecil, tetap diberikan
kesempatan untuk tumbuh besar atau dengan membuat aturan pengambilan
bambu laut dengan cara di potong di bagian tertentu sehingga bambu laut bisa
tumbuh kembali dalam waktu yang cepat.
Metode pengambilan bambu laut yang tidak ramah lingkungan merupakan salah
satu hal yang menjadi ancaman serius dalam pemanfaatan bambu laut saat ini,
dalam pengambilan bambu laut ini tidak hanya menyebabkan kerusakan bambu
laut tetapi juga menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang.

49

Kesimpulan
Pengambilan bambu laut untuk tujuan perdagangan yang terjadi di sebagian
wilayah Indonesia, khususnya di daerah Sulawesi telah berpotensi besar
menyebabkan kerusakan ekoistem terumbu karang dan sumber daya bambu laut
itu sendiri. Untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan adanya regulasi dalam
dalam pengelolaan bambu laut ke depan, sehingga pemanfaatan yang dilakukan
tidak memberikan dampak kerusakan yang lebih besar.
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan di beberapa daerah Sulawesi selatan,
Sulawesi Tengah, Nusa tenggara Barat, Gorontalo, Sulawesi Tenggara dan
Sumatera bagian Barat sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya dapat
disimpulkan han-hal sebagai berikut :
a.
b.

c.
d.
e.

Pengambilan bambu laut untuk tujuan perdagangan dapat


mengakibatkan kepunahan bambu laut
(Isis hippuris) dan
menyebabkan kerusakan terumbu karang yang berada di sekitarnya;
Pengambilan bambu laut yang selama ini dil akukan bukan
merupakan sumber penghidupan utama masyarakat, pengambilan
bambu laut hanya merupakan mata pencaharian sampingan selain
menangkap ikan.
Nilai jual bambu laut pada level masyarakat sangat rendah, sehingga
nilai ekonomi yang didapatkan dari pengambilan bambu laut tidak
seimbang dengan dampak kerusakan yang ditimbulkan.
Kebijakan Pemerintah Indonesia dan Surat edaran Pemerintah
Daerah yang ada saat ini merupakan dukungan kuat untuk
mendukung pelestarian bambu laut.
Kebijakan yaitu peraturan dan perundangan untuk pengelolaan
bambu laut perlu di koordinasikan lagi secara bersama antar
stakeholder yang terlibat sehingga pengelolaan dapat di lakukan
dengan optimal.

Rekomendasi dan Saran


Dengan memperhatikan aspek-aspek penting yang terkait dengan pemanfaatan
bambu laut dan melihat kondisi yang ada saat ini maka diperlukan langkahlangkah konservasi, diantaranya adalah:
a.
b.

Perlunya adanya regulasi nasional untuk untuk menjamin kelestarian


sumber daya bambu laut di Indonesia.
Perlunya disusun rencana program yang lebih detil tenang arah
pengelolaan bambu laut ke depan, sehingga keberadaan bambu laut
50

c.

d.

dapat membeikan manfaat kepada lingkungan dan masyarakat


secara luas.
Perlunya dilakukan kajian secara mendalam tentang aspek biologi,
ekologi dan keragaman genetik serta sosial ekonomi dalam
pengelolaan bambu laut ke depan agar dapat memberikan manfaat
ekonomi yang lebih besar dengan tetap memperhatikan aspek
kelestarian bambu laut dan ekosistemnya.
Perlunya dilakukan kajian yang lebih mendasar terkait dengan
kandungan yang terdapat dalam bambu laut, beberapa hasil kajian
menunjukkan adanya kandungan bio-aktif yang potensial untuk
dikembangkan menjadi berbagai kebutuhan, termasuk obat-obatan
dan kosmetik.

51

DAFTAR PUSTAKA
Chao, C.H., L.F. Huang, S.L. Wu, J.H.Su, H.C.Huang, and J.H.Sheu.2005. Steroids
from the Gorgonian I.hippuris.. J.Nat Prod., 68 (9), pp 1366-1370.
Coremap II dan DKP Provinsi Sulsel, 2011.Potensi dan Status Pemanfaatan
Sumberdaya Bambu Laut diKabupaten Selayar. Makassar
CRITC-COREMAP LIPI 2006.Studi Baseline Ekologi di perairan Padaido Biak
Timur. Laporan Penelitian: 64 hal.
Candri, D.A., Jompa J.Niartiningsih., Rani C .2014. Bioekologi dan Keragaman
Genetik
Bambu Laut Isis hippuris. Disertasi Doctoral (In
Prep).Makassar.
KKJI KKP ,2013.Dokumen analisis Kebijakan Bambu laut.Jakarta.
Fabricius KE, Benayahu Y, Genin A.1995a. Herbivory in asym-biotic soft corals,
Science (268) : 90-92.
Fabricius, K and G. Death 1997.The effects of flow, depth and slope on cover of soft coral
th
taxa and growth forms on Davies Reef, Great Barrier Reef.Proc. of the 8 Coral
Reef Symp., Panama Vol.2:1071-1076
Fabricius, K. and P. Alderslade, 2001, Soft Coral and Sea Fan, Australia Institude
of Marine Science, Queensland, Australia.
Fabricius, K., Alderslade., 2006. Soft Coral and Sea Fans.Reading Trees Publications
USA. 141p.
Haris, A., Tuwo A., dan Anas, A., 2010. Kelimpahan dan Distribusi I.hippuris di
Perairan Spermonde Kota Makassar.Jurnal Torani/Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan.UNHAS, Makassar.
Manuputty, A.E.W. 2002.Karang Lunak (Soft Coral) Perairan Indonesia.LIPI
Jakarta.
Masyud B. 1992. Identifikasi Sifat Satwa yang Dilindungi, Sisi Penting Kegiatan
Konservasi Keanekaragaman Hayati. Med. Konservasi 3(4): 41-46.
Soekarno M, Hutomo, Moosa MK, Darsono,P. 1983.Terumbu Karang di Indonesia;
Sumberdaya, Permasalahan dan Pengolahannya.Proyek Studi Sumberdaya
Alam Indonesia, Studi Potensi Sumberdaya Hayati Ikan, LONLIPI.Jakarta.
Soekarno R. 1995. Kondisi Terumbu Karang Indonesia dan Usaha
Pengelolaannya. SNC-Lavalin International Inc. Association with

52

International Development Program of Australian Universities and


Collages, PT Hasfarm DianKonsultan, SEP-SPIU.Jakarta.
Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit
Djambatan.Jakarta.
Tanaka, H.T.; J. Yasumasa and K. Hiroyuki 1981.Hippuristanols, cytotoxic
polyxygenated steroids from the gorgonianIsis hippuris. Chem. Lett. 11:1647-1650.

53

PERIKANAN DAN KONSERVASI: SINERGIS ATAU


KONTRADIKTIF ?

Pendahuluan

Sudirman dan Natsir Nessa

Bagan merupakan salah satu alat tangkap yang digunakan oleh para nelayan di
seluruh perairan Indonesia. Alat tangkap ini menggunakan alat bantu cahaya
untuk menarik perhatian ikan agar mendekati alat tangkap atau masuk ke areal
penangkapan atau catchable area. Menggunakan waring dengan ukuran mata jaring
yang sangat kecil yaitu 0,5 cm. Berdasarkan cara pengoperasiannya bagan dapat
dikelompokkan kedalam kelompok jaring angkat (Von Brandt,1985). Bagan
dalam operasi penangkapannya menggunakan cahaya sebagai alat bantu
berkembang terus dan dapat diklasifikasikan mulai dari bagan tancap (fixed bagan),
bagan apung (floated bagan), yang dapat dibagi kedalam 2 kelompok yaitu bagan
rakit dan bagan perahu. Bagan perahu(canoe bagan) dapat pula diklasifikasikan
menjadi bagan satu perahu (bagan with one canoe), bagan dua perahu (bagan with two
canoes) dan bagan dengan menggunakan mesin sendiri (bagan with engine boat)
Bagan tancap mulai beroperasi sejak tahun 1949 dan sampai sekarang alat tangkap
tersebut masih eksis. Perkembangan terakhir adalah bagan raksasa atau biasa
disebut dengan bagan rambo. Bagan apung berdasarkan ukurann plat formnya
dapat dibagi atas 3 jenis yaitu: Bagan kecil (small bagan), biasanya berukuran 12 x12
m, bagan sedang (medium bagan) dan bagan raksasa (large bagan). Lampu yang
digunakan juga berkembang, sesuai dengan perkembangan teknologi. Pada
awalnya bagan yang hanya menggunakan lampu petromaks, kini bagan sudah
menggunakan lampu mercury. Sejak tahun 1950 pemanfaatan lampu petromaks
telah digunakan oleh para nelayan khususnya nelayan yang melakukan
penangkapan di perairan Teluk Bone dan Selat Makassar. Selanjutnya pada tahun
1972, seiring dengan pemanfaatan listrik untuk kebutuhan industri dan rumah
tangga, maka telah dimanfaatkan pula oleh para nelayan bagan. Lampu merkury
mulai dimanfaatkan oleh para nelayan di Teluk Bone sejak tahun1987 pada alat
tangkap bagan rambo dan berkembang terus sampai saat ini. Demikian halnya
dengan lampu neon, sejak tahun 1992 telah dimanfaatkan oleh para nelayan bagan
(Sudirman 2003; Sudirman dan Nessa, 2011).
Alat tangkap bagan sebagai salah satu alat tangkap yang menggunakan cahaya
banyak digunakan oleh para nelayan di wilayah pesisir karena mempunyai
54

beberapa keunggulan-keunggulan. Keunggulan tersebut antara lain Secara teknis


mudah dilakukan/diopersikan (khususnya bagan tancap), Investasinya terjangkau
oleh oleh masyarakat, Merupakan perikanan rakyat yang telah digunakan oleh
masyarakat di wilayah pesisir dan sekitar pulau-pulau kecil secara turun temurun,
Tangkapannya selalu ada walaupun terkadang jumlahnya sedikit dan Menyerap
banyak tenaga kerja (Sudirman dan Nessa 2011). Keunggulan-keunggulan
tersebut membuat alat penangkapan bagan sampai saat ini masih digunakan oleh
nelayan dihampir seluruh wilayah pesisir Indonesia.
Namun demikian terdapat pula beberapa kelemahan-kelemahan dan
permasalahan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan sehingga
menimbulkan beberapa masalah antara lain: Selektivitasnya rendah sehingga
dinilai kurang ramah terhadap lingkungan perairan, Untuk bagan perahu
membutuhkan jumlah banyak kayu sebagai bahan dalam pembuatannya sehingga
dapat menguras sumberdaya hutan di darat, Kadang-kadang beroperasi di daerah
pelayaran, sehingga dapat mengganggu dan membahayakan aktivitas pelayaran di
laut, Banyak beroperasi di sekitar daerah terumbu karang, sehingga dapat
mempengaruhi keseimbangan ekosistem terumbu karang.
Berdasarkan atas keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh perikanan bagan serta
permasalah-permasalahan yang ditimbulkannya, maka terbuka peluang-peluang
pengaturan yang dapat dilakukan seperti mengatur daerah penangkapan bagan,
sehingga tidak mengganggu alur pelayaran dan daerah-daerah terumbu karang.
Membatasi jumlah unit yang beroperasi dalam suatu areal penangkapan, serta
memperbaiki selektivitas mata jaring yang digunakan.
Penangkapan
Prinsip penangkapan ikan pada bagan adalah menarik perhatian ikan dengan
bantuan cahaya buatan atau lampu agar ikan masuk ke areal penangkapan
(catchable area), selanjutnya jaring yang berada di bawah bagan akan ditarik ke
permukaan sehingga ikan akan terkumpul pada jaring atau tertangkap. Fungsi
jaring pada bagan bukanlah sebagai alat untuk menjeratnya ikan, akan tetapi
sebagai tempat berkumpulnya ikan-ikan yang berkumpul dibawah cahaya.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah semua jenis ikan dapat tertangkap dengan
bagan?. Ikan yang tertangkap pada bagan umumnya adalah ikan-ikan yang dapat
tertarik oleh cahaya atau phototaxis positif. Ikan yang phototaksis positif memiliki
sel kon yang terangsang jika ada sumber cahaya disekitarnya, dengan kata lain
akan mendekati cahaya atau lampu yang sedang menyala. Tingkah laku ikan yang
mendatangi cahaya tersebut dimanfaatkan oleh nelayan untuk melakukan
penangkapan khususnya pada alat tangkap bagan.

55

Mengenal Ragam Bagan


Bagan tancap merupakan bagan yang dipasang secara menetap di perairan, terdiri
dari rangkaian bambu yang dipasang secara membujur dan melintang. Bambu
merupakan komponen utama dari bangunan bagan tancap. Bahan tersebut
mudah diperoleh nelayan dan harganyapun tergolong murah. Jumlah bambu
yang digunakan bergantung pada kedalaman perairan bagan tersebut beroperasi.
Semakin dalam perairan maka jumlah bambu yang digunakan semakin banyak
karena bambu tersebut harus disambung. Secara umum jumlah bambu bervariasi
antara 135-200 batang. Bambu tersebut merupakan komponen utama dalam
menopang berdirinya alat tangkap bagan tancap di perairan. Komponen
lain
yang digunakan adalah waring. Waring dipasang pada bagian tengah bagan yang
berfungsi untuk menangkap ikan yang masuk ke catchable area. Ukuran bagan
tancappun bervariasi mulai dari ukuran 7 x 7 m sampai 9 x 9 m, bergantung
kedalaman perairan tempat bagan tersebut dioperasikan. Umumnya nelayan
menggunakan ukuran 8 x 8 m. Photo salah satu bagan tancap diperairan disajikan
pada Gambar 1 dan 2. Sejalan dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi
serta kemajuan yang telah dicapai oleh masyarakat maka desain dan konstruksi
bagan semakin berkembang.

Gambar 1. Bagan tancap di perairan Teluk Bone beroperasi pada kedalaman


perairan 5-10 m.

56

Gambar 2. Operasi penangkapan bagan tancap di Selat Makassar pada


malam hari.
Selain bagan Tancap, terdapat pula bagan Perahu.Menurut beberapa sumber
informasi mengatakan bahwa bagan apung mulai beroperasi pada tahun 1960
dengan menggunakanan model 2 perahu. Model ini terus berkembang.
Perkembangan terakhir dari alat tangkap bagan adalah bagan raksasa atau disebut
juga dengan bagan rambo. Alat tangkap bagan rambo pertama kali diperkenalkan
di perairan Luwu Teluk Bone pada tahun 1987. Dua tahun kemudian (1989)
alat tangkap ini telah berkembang di perairan Barru Selat Makassar (Mallawa et al.
1992). Dari wawancara dengan beberapa nelayan di perairan Kabupaten Barru
diperoleh informasi bahwa alat tangkap ini sudah mulai beroperasi di perairan
Kabupaten Barru sejak tahun 1987 tetapi ukurannya masih lebih kecil (22 m x 21
m) dari yang ada sekarang ( 33 m x 31 m).
Rancang bangun alat tangkap bagan rambo berbeda dengan bagan biasa.
Komponen-komponennya lebih kompleks dengan konstruksi yang lebih kuat dan
spesifik berdasarkan tujuan penangkapan. Satu unit bagan rambo terdiri dari
beberapa komponen yang saling berhubungan. Komponen-komponen tersebut
adalah sebagai berikut (Sudirman,2003; Sudirman dan Made,2005).: (1) perahu; (2)
rangka (3) jaring (4) bingkai jaring (5) roller (6) generator set (genset); (7) lampu
merkuri (8) rumah bagan (Sudirman dkk, 2005)

57

Alat-alat lain yang ada pada alat tangkap bagan rambo adalah alat bantu dalam
memperlancar kegiatan operasional bagan rambo, antara lain radio komunikasi,
keranjang, peti dan serok.
Radio komunikasi digunakan untuk
mengkomunikasikan hal-hal yang berhubungan dengan hasil tangkapan, harga
ikan, fishing ground, antara juragan laut dan juragan darat (punggawa laut dan
punggawa darat) dan antara sesama nelayan bagan rambo. Keranjang merupakan
tempat hasil tangkapan setelah disortir. Sebuah keranjang mempunyai diameter 45
cm dengan tinggi 26 cm. Setiap bagan rambo mempunyai minimal 30 keranjang.
Peti merupakan tempat penyimpanan hasil tangkapan sebelum dibawa ke darat.
Ikan yang ada dalam peti telah dicampur dengan es untuk mengawetkan hasil
tangkapan. Serok ini mempunyai ukuran panjang 3,5 m dengan diameter bukaan
mulut 52 cm, tinggi jaring 60 cm dengan mesh size 1 cm.
Pemanfaatan Bagan untuk Penangkapan Ikan
Dalam pengoperasian satu unit bagan rambo dibutuhkan 16-20 orang ABK yang
dipimpin oleh seorang juragan laut atau disebut dengan punggawa laut. Juragan
laut memimpin dan bertanggungjawab terhadap seluruh operasi penangkapan
ikan yang dilakukan. Tugas masing-masing personil di atas bagan rambo pada
saat operasi dapat dibagi atas: satu orang yang mengatur pencahayaan lampu, 1
orang mengatur tali jangkar pada saat hauling, 2 orang bertugas untuk mengangkut
hasil tangkapan dan selebihnya 14 orang bertugas untuk memutar roller dan
menggiring ikan ke salah satu sisi perahu yang berfungsi sebagai kantong jaring.
Proses penangkapan dimulai dengan terlebih dahulu menentukan fishing ground.
Penentuan fishing ground antara lain ditentukan dengan melihat hasil tangkapan
nelayan bagan rambo pada malam sebelumnya. Jika ada bagan rambo yang
mendapatkan hasil tangkapan yang menonjol maka bagan rambo akan
terkonsentrasi pada suatu fishing ground tertentu. Sebaliknya jika hasil tangkapan
merata antara setiap unit alat tangkap maka fishing groundnya akan menyebar.
Penentuan fishing ground ini sepenuhnya berada pada juragan laut. Lama waktu
yang dibutuhkan dari satu fishing ground ke fishing ground lainnya antara 1-7 jam,
bergantung pada jarak lokasi dan keadaan cuaca. Setelah melalui pengecekan
dasar perairan (sebaiknya lumpur dan dekat dengan daerah terumbu) maka fishing
ground ditentukan, yang dilanjutkan dengan penurunan jangkar.
Pada saat menjelang senja hari (pukul 18.10 WIT) penurunan jaring mulai
dilakukan (setting) setelah semua ikatannya pada bingkai telah terikat dengan baik,
selanjutnya dilakukan penyalaan lampu (lighting).
Roller batu yang berfungsi
sebagai penahan jaring dari arus terlebih dahulu diturunkan. Dua sampai empat
jam setelah lampu dinyalakan dilakukan pemadaman lampu. Pemadaman lampu
dilakukan secara bertahap untuk menghindari kagetnya ikan dan usaha untuk
58

menggiring ikan ke tengah jaring. Lampu yang pertama dipadamkan adalah


seluruh lampu bagian pinggir rangka bagan, dimana setiap lampu mempunyai
kekuatan 400 W yang bejumlah 10 buah. Bersamaan dengan itu lampu
konsentrasi mulai dinyalakan. Lima menit kemudian lampu yang berada di
bagian tiang utama dipadamkan. Pada saat ini lampu yang menyala hanyalah
lampu yang berada di rumah bagan dan seluruh lampu yang berada di bawah
platform rangka bagan.
Pemadaman lampu di bawah platform rangka bagan juga dilakukan secara bertahap
yang dimulai dibagian luar rangka bagan, sehingga gerombolan ikan semakin
mendekat ke bagian tengah kapal. Pada akhirnya lampu yang menyala hanyalah
lampu konsentrasi yang terletak pada sisi kiri dan kanan perahu. Lampu
konsentrasi ini diredupkan secara perlahan selama 10 15 menit. Penarikan
jaring dimulai ketika juragan laut telah memberikan isyarat bahwa jaring sudah
mulai ditarik. Keputusan penarikan dilakukan ketika juragan laut setelah
mengamati secara visual gerombolan ikan yang terdapat di bawah platform rangka
bagan khususnya yang berada di daerah sekitar lampu fokus atau lampu
konsentrasi. Pemutaran roller jaring dilakukan dengan cepat agar gerombolan ikan
pada catchable area tidak meloloskan diri. Waktu yang dibutuhkan untuk menarik
jaring sampai kepermukaan air bergantung pada kecepatan arus dan kedalaman
perairan, umumnya berkisar 8-10 menit.
Proses selanjutnya adalah menggiring ikan ke bagian sisi jaring (berfungsi sebagai
kantong). Jika ikan sudah berkumpul, maka diangkat ke atas perahu dengan
menggunkan serok, dilanjutkan dengan penyortiran hasil tangkapan dan setting
tahap berikunya. Ikan yang sejenis di kelompokkan kedalam satu basket dan
dimasukkan kedalam peti dan mencampur dengan es. Proses ini dilakukan 1 4
kali dalam semalam. Jika tangkapan pada malam tersebut tidak memuaskan maka
pada pagi harinya akan dilakukan perpindahan fishing ground, dan sebaliknya tetap
pada fishing ground itu jika tangkapan memuaskan.
Waktu yang dibutuhkan dalam penyalaan lampu berbeda-beda bergantung pada
waktu hauling, musim ikan, waktu kedatangan ikan kedalam catchable area, periode
bulan, dan keadaan cuaca. Hauling pertama dan ke 2 relatif waktunya sama,
masing-masing 4 jam, sedangkan hauling ke 3 hanya 3 jam. Kegiatan
pengoperasian dilakukan hampir setiap malam, namun demikian pada saat bulan
terang atau bulan baru jika hasil tangkapan kurang memuaskan maka digunakan
oleh para nelayan bagan rambo untuk istirahat sambil melakukan perbaikanperbaikan kapal dan jaring, biasanya 3 - 5 hari. Pada saat itu terjadi pasang
tertinggi dan surut terendah sehingga perahu bagan dapat disandarkan di fishing
base, sehingga pembersihan dan pengecetan bagian bawah kapal dapat lebih
mudah dilakukan.
59

Saat permulaan operasi penangkapan maka bagan rambo di tarik ke fishing ground
dengan towing boat. Jarak fishing ground dari fishing base antara 4 sampai 17 mil laut.
Selanjutnya dilakukan proses penangkapan seperti yang dikemukakan di atas.
Dalam uraian tersebut di atas nampaknya perlu pula dikemukakan bagaimana
proses tertangkapnya ikan pada bagan bagan rambo.
Penangkapan Dengan Prinsip Keberlanjutan
Terdapat perbedaan dan persamaan daerah penangkapan bagan tancap dan bagan
apung atau bagan perahu, khususnya yang beroperasi di perairan Sulawesi Selatan.
Untuk memperoleh tangkapan yang maksimal, para nelayan bagan tancap sudah
mengetahui daerah-daerah penangkapan yang sangat baik untuk memasang alat
tangkap bagan tancap. Disepanjang perairan Makassar, Maros dan Pangkep
umumnya nelayan bagan memasang alat tangkapnya pada daerah-daerah yang
berdekatan dengan hutan mangrove atau tidak jauh dari daerah terumbu karang
pada kedalaman 5-9 m. Daerah tersebut merupakan daerah subur akan unsure
hara.
Dengan demikian maka ikan-ikan yang tertangkap juga adalah ikan-ikan yang
menghuni daerah-daerah tersebut. Fishing ground bagan tancap di perairan
Kabupaten Pangkep dikelilingi oleh pulau-pulau kecil dengan dasar perairan
berlumpur dan berpasir. Disekitar pulau-pulau tersebut merupakan daerah
terumbu karang dan padang lamun yang kaya akan sumberdaya ikan. Tidak jauh
dari daerah penangkapan bagan tancap tersebut, terdapat muara sungai (estuaria)
yang ditumbuhi oleh hutan bakau yang subur pula. Komponen-komponen
ekosistem tersebut turut memberikan kesuburan di daerah penangkapan bagan
tancap, karena adanya suplai bahan organik.
Pada bagan apung di Selat Makassar, operasi penangkapnnya berhubungan erat
dengan adanya terumbu karang disekitarnya. Jumlah hasil tangkapan akan banyak
jika bagan apung tersebut beroperasi disekitar daerah terumbu karang. Hal ini
disebabkan karena banyak ikan-ikan pelagis kecil mencari makan disekitar daerah
terumbu karang. Perbedaannya dengan bagan tancap hanyalah karena bagan
apung dapat berpindah-pindah dari satu fishing ground ke fishing ground lainnya.
Dengan demikian agar marine protected area tidak terganggu oleh alat tangkap bagan,
maka sebaiknya alat tangkap tersebut tidak beroperasi disekitar marine protected area.
Hasil Tangkapan Dorong Kesejahteraan Nelayan
Berdasarkan hasil penelitian Sudirman dkk (2012) menunjukkan bahwa jumlah
spesies yang ditemukan pada bagan tancap yang beroperasi di Perairan Pangkep
Sulawesi Selatan sebanyak 32 spesies. Dengan rincian, tangkapan utama (primary
catch) adalah 13 spesies, tangkapan sampingan (by catch) 13 spesies dan tangkapan
buangan (discard)
60

sebanyak 6 spesies (Tabel 1). Komposisi hasil tangkapan berdasarkan berat (kg)
pada bagan tancap selama penelitian menunjukkan berturut-turut adalah
tangkapan utama 78%, tangkapan sampingan 11 % dan tangkapan buangan 11 %
(Gambar 4). Komposisi ini memberikan gambaran bahwa keadaan bagan tancap
memberikan hasil tangkapan yang baik bagi pendapatan nelayan. Umumnya hasil
tangkapan bernilai ekonomi yang dapat memberikan kesejahteraan kepada
nelayan. Hanya 11% hasil tangkapan merupakan hasil tangkapan buangan yang
umumnya tidak dikonsumsi oleh masyarakat. Namun demikian hasil tangapan
buangan tersebut masih dapat dijual dengan harga yang sangat rendah (Rp
1000/Kg), sebagai makanan ternak ataupun sebagai makanan ikan di tambak.
Tangkapan sampingan umunya dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi di rumah
tangga nelayan bagan.

N= 1913,6

Gambar 4. Komposisi tangkapan hasil tangkapan bagan tancap di Selat Makassar


(Sudirman dkk, 2012)
Terdapat 5 species hasil tangkapan dominan pada bagan tancap selama
penelitian (Sudirman dkk, 2012), berturut-turut adalah ikan cumi-cumi (25%),
tembang (23%), peperek (22%), teri (20%) dan beronang (10%) (Gambar 5).
Cumi-cumi, tembang dan ikan teri dapat dilihat secara langsung berenang dekat
permukaan air, di bawah lampu. Sebaliknya ikan peperek dan ikan baronang tidak
muncul kepermukaan air. Kedua species tersebut berada di bagian dasar.
Keberadaan ikan baronang disekitar bagan diduga karena fishing ground dari
bagan tancap yang beroperasi disekelilingya adalah merupakan daerah terumbu
karang yang merupakan habitat dari dari ikan baronang.

61

Gambar 5. Komposisi tangkapan utama lima jenis ikan hasil tangkapan bagan
tancap di
Selat Makassar (Sudirman dkk, 2012)
Terdapat beberapa jenis ikan yang kecil yang hidup di daeah karang tertangkap
dengan alat tangkap bagan tancap, seperti ikan baronang ukuran kecil (Gambar
6), ikan kwe, ikan buntal dan ikan lepu dan jenis ikan karang lainnya (Gambar 7)

Gambar 6. Ikan baronang kecil yang tertangkap dengan bagan tancap di Selat
Makassar

Gambar 7. Variasi hasil tangkapan pada bagan tancap di Perairan Pangkep

62

Komposisi jumlah hasil angkapan pada bagan apung berbeda dengan pada bagan
tancap baik jumlah maupun jenisnya (Gambar 8).

Japuh(Othe
r sardine)
3,1%

Cumi-cumi
(Squids)
2,4%

Lain-lain
(Others)
5,3%

Teri
(Anchovy)
30,5%

Selar (Big
eye scad)
7,2%

Layang
(Russell`s
scad)
26,2%
Tembang
7,1%

Kembung(In
dian
mackerel)
18,1%

Gambar 8. Komposisi hasil tangkapan bagan apung di Selat Makassar (Sudirman,


2003)
Jumlah dan komposisi jenis hasil tangkapan selama penelitian (Figure 4.14)
menunjukkan bahwa jenis ikan yang dominan tertangkap berturut-turut adalah
teri (Stolephorus spp) 30,5 %, layang (Decapterus sp) 26,2 %, kembung (Rastrelliger
sp) 18,1 %, selar (Selar spp) 7,2 %, tembang (Sardinella spp) 7,1 %, japuh
(Dussumieria acuta) 3,1 % dan cumi-cumi (Loligo spp) 2,4 %, (total tangkapan
56.152 kg). Jumlah jenis ikan yang tertangkap selama penelitian pada alat tangkap
bagan rambo adalah 59 spesies . Jenis ikan yang dominan tertangkap adalah ikan
pelagis kecil dan moluska sebanyak 94,7 % yang terdiri dari : teri hitam (Stolephorus
insularis), teri (Stolephorus indicus), teri merah (Stolephorus buccaneri), teri putih
(Stolephorus heterolobus), teri (Stolephorus tri), layang (Decapterus ruselli), layang deles
(Decapterus macrosoma), kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta), kembung perempuan
(Rastrelliger brachysoma), selar bentong (Selar crumenopthalmus), selar kuning (Selaroides
leptolepis), Selar tetengkek (Megalaspis cordyla), tembang (Sardinella fimbriata),
tembang (Sardinella sp), sardin (Sardinella sirm), japuh (Dussumieria acuta), cumicumi (Loligo edulis), cumi-cumi (Loligo duvaucalli), cumi-cumi (Loligo chinensis), cumicumi (Architeuthis sp) dan cumi-cumi (Sebroteithis lessoniana) (Gambar 9).
Selain kelompok ikan-ikan pelagis kecil dan moluska, jenis ikan lainnya yang ikut
tertangkap namun dalam jumlah yang relatif sedikit sebanyak 5,3 % yang terdiri
dari; peperek (Leiognathus aureus, Leiognahtus berbis dan Leiognathus blochii), ikan
bulan (Mene maculata), alu-alu (Sphyraena genie dan Sphyraena jello), kucul (Sphyraena
obtusata), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomorus commerson), beloso
laut (Saurida tumbil), biji nangka (Upeneus molluccensis, dan Upeneus tragula), terbang
63

Cypsilurus poecilopterus), tongkol (Auxis thazard), ikan platu (Pseudobalistis sp, dan
Aluterus sp), ikan leweri batu (Anomalops sp), cendro (Tylosorus crocodilus), julungjulung (Hemirhamphus far), kerong-kerong (Therapon theraps), bulan bulan merah
dan hitam (Priacantus sp), baronang kuning (Siganus virgatus), lingkis (Siganus
canaliculatus) lolosi biru (Caesio coerulaureus), lolosi merah (Caesio chrysozona), ekor
kuning (Caesio erythrogaster), layur (Trichiurus savala), buntal (Arothron hispidas),
buntal duri (Diodon holacanthus), buntal tanduk (Lactoria cornuta), gemih (Echenies
naucrates), rambeng (Dipterygonosus sp) bawal putih (Pampus argenteus), bawal hitam
(Formio niger), gurita (Octopus sp) dan ikan peseng-peseng atau samu-samu
(Rabdania sp).
Gambar 9. Variasi hasil tangkapan pada bagan apung di Selat Makassar

Gambar 10. Jenis ikan karang yang tertangkap pada bagang apung di Selat
Makassar yang bernilai ekonomis.

64

Gambar 11. Jenis ikan karang yang tertangkap pada bagang apung di Selat
Makassar yang tidak bernilai ekonomis dan merupakan discards.
Banyak jenis-jenis ikan yang tertangkap pada bagang apung hanya merupakan
tangkapan sampingan. Jenis tersebut merupakan salah satu rantai dalam ekosistem
terumbu karang atau di perairan laut.
Ancaman Terhadap Kelestarian Marine Proteced Area
Daerah penangkapan ikan alat tangkap bagan baik bagan tancap maupun agan
perahu, sebagian besar berhubungan dengan daerah terumbu karang. Karena
daerah penangkapannya berada disekitar terumbu karang ersebut. Bagan rambo di
Selat Makassar masih tergolong daerah pantai karena kedalaman perairannya 25
70 m. Ikan-ikan yang bermigrasi ke pantai karena faktor lingkungan seperti arus,
salinitas, temperatur air, musim, pasang surut, topografi, makanan dan lain-lain
mungkin menyebabkan daerah tersebut menjadi fishing ground bagan.
Ikan-ikan yang mencari makan, apabila tersedia makanan akan tinggal lama di
dearah iluminasi cahaya untuk makan dan sebaliknya akan segera meninggalkan
daerah tersebut jika tidak tersedia makanan. Ikan-ikan yang pototaksis positif
akan memilih cahaya yang disenanginya. Berenang di atas atau di bawah jaring
dan berdiam lama disekitar iluminasi cahaya. Ikan yang pototaksis positif dan
mencari makan akan melakukan keduanya berada didaerah iluminasi sambil
melakukan aktivitas makan (feeding activity).
Dari data komposisi hasil tangkapan menunjukkan bahwa lebih dari 94% hasil
tangkapan bagan rambo didominasi oleh teri, layang, kembung, selar, tembang,
japuh dan cumi-cumi. Selebihnya adalah ikan-ikan predator, by-catch dan discard
catch yang umum adalah ikan-ikan karang. Walaupun jumlah spesies yang
tertangkap dengan alat tangkap bagan rambo cukup banyak namun masih
didominasi oleh spesies tersebut di atas. Sebagai konsekuensi dari daerah tropis

65

maka jumlah spesies sangat beragam. Namun dari hasil tangkapan tersebut tidak
ditemukan spesies langka yang dilindungi tertangkap oleh bagan rambo sehingga
di duga tidak membahayakan biodiversity. Terdapat berbagai jenis ikan karang yang
tertangkap dengan alat tangkap bagan, walaupun jumlahnya tidak dominan. Pada
alat tangkap bagan tancap, tangkapan ikan baronang kecil sebanyak 10% dari total
hasil tangkapan adalah suatu hal yang sangat mengkhawatirkan akan kelestarian
ikan-ikan tersebut, karena mempengaruhi populasinya. Sebaiknya hasil tangkapan
tersebut dikembalikan ke alam dalam keadaan hidup. Sebab jika tidak maka
ancaman yang ditimbulkan adalah mempengaruhi rantai ekosistem yang ada
diterumbu karang, yan pada akhirnya akan mempengaruhi kesehatan ekosistem
terumbu karang.
Penutup
Dari data yang disajikan di atas menunjukkan bahwa alat tangkap bagan banyak
menangkap ikan-ikan kecil (juvenile) dan berpengaruh terhadap kelestarian
ekosistem perairan termasuk ekosistem terumbu karang. Disamping itu alat
tangkap tersebut menangkap ikan disekitar areal terumbu karang, sehingga
sebagian ikan-ikan karang juga tertangkap, walaupun prosentasenya sedikit. Oleh
sebab itu, dalam rangka keberlanjutan sumberdaya perikanan khususnya menjaga
marine protected area, jumlah unit alat tangkap bagan yang diizinkan beroperasi
disetiap perairan harus dikontrol dengan baik, guna menjaga kelestarian
sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, sebagai bagian dari implementasi
UU.No.34 th 2004 dan sebagai implementasi dari Code of Conduct for Responsible
Fisheries (CCRF).

66

DAFTAR PUSTAKA
Mallawa, A, Sudirman, M. Palo, dan Musbir 1992: Studi
Mengenai
Perikanan Bagan rambo di Perairan Barru Selat Makassar . Laporan
Proyek Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Ujung
Pandang. 40 hal.
Nadir, M., 2000. Teknologi Light Fishing di Perairan Barru Selat Makassar:
Deskripsi, Sebaran Cahaya dan Hasil Tangkapan (Tidak dipublikasikan).
Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. 87 hal.
Sudirman dan N.Nessa 2011. Perikanan Bagan dan Aspek Pengelolaannya. UMM
Press. Malang.234. Hal
Sudirman, 2003. Analisis Tingkah Laku ikan Untuk Mewujudkan Teknologi
Ramah Lingkungan dalam Proses Penangkapan Pada bagan Rambo di
Selat Makassar. Disertasi Pascasarjana IPB.307 hal.
Sudirman dan S.Made. 2005. Aspek Teknis, Proses Penangkapan dan Analisis
Investasi Pada Alat Tangkap Bagan Rambo di Selat Makassar. Jurnal
Punggawa. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan . Volume 2
Nomor 1,
Sudirman, Najamuddin dan Machfud Palo. 2012.Efektivitas pemanfaatan jenis
dan warna lampu untuk menarik perhatian ikan pelagis kecil pada alat
tangkap bagan
tancap dalam menunjang pengembangan perikanan
tangkap secara berkelanjutan. Laporan Penelitian Hibah Kompetensi.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Unhas. 46 hal
Sudirman, Najamuddin dan Machfud Palo. 2013. Efektivitas penggunaan
berbagai jenis lampu listrik untuk menarik perhatian ikan pelagis kecil
pada
bagan tancap. Jurnal Penelitian Perikanan Tangkap, JPPI.
Vol.19.no. 3. Desember 2013
Von Brandt, A..1985. Fish Catching Methods of the World. Third Edition.
Fishing News Books Ltd. Farnham. P.418.

67

KAWASAN KONSERVASI LAUT DAN PEMULIHAN


KEANEKARAGAMAN LARVA

Pendahuluan

Muhammad Lukman, Andriani Nasir.

Pemanfaatan sumber daya laut memiliki peran yang signifikan bagi kehidupan
masyarakat nelayan. Penyediaan lapangan pekerjaan untuk masyarakat, potensi
pangan dan pendapatan negara. Banyak permasalahan yang timbul akibat
pemanfaatan yang tidak memperhatikan kelestarian sumber daya. Kerusakan
lingkungan, pencemaran air laut dan kerusakan terumbu karang. Ekspoitasi yang
berlebihan akan memberikan dampak yang buruk bagi perkembangan sumber
daya alam laut. Dari sisi ketersediaan sumberdaya yang berkelanjutan,
pembangunan yang tidak memperhatikan aspek kelestarian akan mengurangi
kemampuan sumberdaya pesisir dalam mendukung fungsi pelayanan bagi
keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir dalam jangka panjang. Pengabaian
terhadap tata ruang wilayah pesisir, pemanfaatan yang bersifat destruktif,
kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang tidak jelas, serta
rendahnya keterlibatan masyarakat akan bermuara pada kurang optimalnya
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir.
Perairan yang mendapat masukan dari bahan organik dan arorganik akan
mempengaruhi ekosistem yang ada. Bahan antropogenik ini berasal dari berbagai
sumber seperti kegiatan pertambakan dan pertanian selanjutnya memasuki
perairan melalui aliran sungai dan run-off dari daratan.
Adanya buanganbuangan tersebut di atas sangat berdampak pada lingkungan pesisir dan laut.
Tingginya unsur hara akan merusak ekosistem terumbu karang dan biodiversity
(Costa Jr et al., 2008; Edinger et al., 1998). Bahan organic dengan konsentrasi
yang tinggi akan memicu pemasaman air laut (Rixen et al., 2008), yang berakibat
pada penurunan laju kalsifikasi karang (Death et al., 2009). Beberapa fenomena
memperlihatkan bahwa ada keterkaitan yang sangat jelas antara peningkatan
jumlah nutrien yang masuk ke dalam perairan terhadap peningkatan produktivitas
primer yang memicu pertumbuhan fitoplankton dan akhirnya berpengaruh secara
tidak langsung dengan terumbu karang. Pengaruh tidak langsung tersebut dalam
bentuk kompetisi ruang (McCoook et al. 2001). Adanya peningkatan fitoplankton
di daerah terumbu karang ini yang merupakan daerah pemijahan bagi ikan akan
memicu pula peningkatan zooplankton sebagai produksi sekunder bagi benih
ikan.
68

Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran organisme di


dalamnya, akan tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan preferensi
lingkungan yang berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik
lingkungannya. Dalam rangka pengelolaan sumberdaya hayati perairan laut,
pemahaman terhadap faktor-faktor fisik laut dan pengaruhnya terhadap
perkembangan biota laut merupakan suatu kebutuhan yang mutlak. Faktor fisikakimia laut, seperti cahaya, suhu, salinitas, arus dan pasang surut semenjak semula
dipandang sebagai faktor abiotik pada ekosisitem laut yang memiliki banyak
kegunaan dalam proses kelangsungan hidup ikan, seperti pertumbuhan dan
distribusinya.
Bertolak dari uraian di atas, dipandang perlu untuk menguraikan secara mendetail
tentang keterkaitan pola distribusi dengan kelimpahan larva ikan berdasarkan
parameter fisika kimia perairan. Mengingat larva sebagai awal kehidupan ikan
yang merupakan sumberdaya perikanan di suatu perairan. Pemerintah telah
mengambil kebijakan untuk pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Melalui penetapan kawasan konservasi, pemerintah berupaya melindungi
ketersediaan sumber daya alam untuk kepentingan jangka panjang. Kawasan
Konservasi Laut Daerah (KKLD) secara prinsipnya adalah merupakan suatu
kawasan yang ditetapkan sebagai zona lindung yang dilarang dimanfaatkan secara
permanen dari berbagai kegiatan usaha perikanan, penambangan karang dan
pemanfaatan sumberdaya, sehingga kawasan ini memiliki biodeversity yang tinggi.
Dengan demikian, penelitian penilaian kualitas daya dukung lingkungan perairan
khususnya di Kawasan Konservasi Laut Daerah ini yang merupakan kawasan
natural sangat penting untuk diteliti, sebagai dasar perbandingan karakter daya
dukung lingkungan di luar kawasan KLD yang mendapat pengaruh antropogenik.
Hasil penelitian ini akan bermanfaat untuk pembangunan skenario penilaian daya
dukung kualitas lingkungan, yang dapat menunjang upaya penyelamatan terumbu
karang dan sekaligus mendukung upaya meningkatkan produksi dan distribusi
larva ikan.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah (1) Menganalisis kelimpahan larva ikan dan kualitas
lingkungan perairan dengan menentukan variabilitas nutrien dan parameter fisik
dan kimia perairan pesisir dan laut dalam kawasan KLD. (2) Menganalisis dan
mengevaluasi berbagai parameter fisik, kimia dan biologi sehubungan dengan
penciri lingkungan kawasan konservasi. (3) Menganalisis skenario penilaian daya
dukung kualitas lingkungan perairan dalam kawasan KLD.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang distribusi
larva ikan dan kualitas lingkungan perairan kawasan konservasi laut daerah dalam
69

menunjang produktivitas perikanan, kemudian dapat dijadikan rujukan dalam


pengelolaan lingkungan di luar kawasan KLD yang dapat menunjang upaya
penyelamatan terumbu karang sebagai daerah pemijahan ikan dan sekaligus
mendukung upaya meningkatkan produktifitas perikanan.
Kawasan Konservasi Laut Daerah
Kawasan KLD sering dianggap sebagai kawasan yang diperuntukkan bagi
konservasi keanekaragaman hayati. Namun kawasan konservasi laut ini juga
dapat memainkan peran penting di dalam pengelolaan perikanan dan pariwisata.
Selama ini manfaat perikanan dan pariwisata dipandang sebagai hasil samping dari
pelestarian keanekaragaman hayati, namun para ilmuwan dan manajer akhir-akhir
ini mengubah cara pandang tersebut dengan memberikan penekanan pada
manfaat kawasan konservasi laut di dalam pengelolaan manfaat. Misalnya,
Program Kawasan Habitat Ikan Australia secara khusus menyatakan bahwa
kawasan konservasi laut berfungsi untuk meningkatkan perikanan, sementara
pelestarian keanekaragaman hayati dipandang hanya sebagai manfaat tambahan
(DPI, 2002).
Terdapat dua bukti dampak kawasan konservasi laut. Pertama, terdapat bukti
yang kuat bahwa wilayah larangan penangkapan (perlindungan) memiliki
persediaan ikan yang lebih besar, ukuran ikan yang lebih besar serta komposisi
spesies yang lebih beragam (spesies ikan komersial berukuran lebih besar) bila
dibandingkan dengan wilayah penangkapan. Di dalam ulasannya tentang dampak
wilayah perlindungan, Roberts dan Hawkins (2000) memberikan contoh dari 30
kajian yang dilaksanakan pada era 90-an yang mencatat satu atau lebih dari
dampak tersebut. Dengan demikian, dampak pada populasi ikan terkait dengan
perubahan yang terjadi pada bagian lain dari ekosistem. Misalnya, Babcock et al.
(1999) (dalam Roberts dan Hawkins, 2000) melaporkan penurunan 3 (tiga) kali
lipat populasi bulu babi di dalam kawasan perlindungan, sementara itu populasi
tersebut meningkat hampir tiga kali lipat di luar kawasan perlindungan. Selain itu,
Roberts dan Hawkins (2000) menyatakan bahwa seringnya kecenderungan
nelayan untuk memfokuskan kegiatan penangkapan di dekat kawasan
perlindungan (fishing the line) menunjukan bukti manfaat dari wilayah
perlindungan bagi perikanan komersial.
Peranan Hidrooseanografi terhadap Distribusi Beban Masukan
Gerakan air laut dan angin berpengaruh terhadap penyebaran dan sekaligus daya
tahan hidup organisme perairan. Adanya kekuatan angin yang bertiup melalui
permukaan mengakibatkan perpindahan horisontal massa air (Nybakken, 1988).
Pickard (1975) dalam Kaswadji (1999) menambahkan bahwa jika angin bertiup di
atas perairan, air dibawahnya akan ikut terseret bergerak membentuk arus dan
70

dalam waktu yang cukup lama bisa menyebabkan turbulensi. Turbulensi ini bisa
berperan mengangkat nutrien yang terkumpul di bawah lapisan tercampur akibat
tenggelamnya bahan-bahan organik maupun anorganik (Mann dan Lazier 1991).
Pasang surut merupakan salah satu sifat perairan yang dominan berpengaruh pada
distribusi beban masukan (Parson et al., 1984). Bersamaan dengan angin dan
gelombang, pengaruh pasang surut menciptakan turbulen perairan yang dapat
mengagkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan.
Beban Masukan Bahan Organik dan Anorganik
Bahan masukan organik signifikan mempengaruhi dinamika mikroalga melalui
peningkatan dan/atau menciptakan variabilitas kekeruhan (May et al., 2003).
Menurut Libels (1992), beban dan jenis-jenis bahan organik yang masuk ke
perairan laut terdiri atas karbohidrat, lipid, asam-asam nuklead, asam-asam amino,
hasil eksresi nitrogenus, asam-asam karbosilik, senyawa yang mengandung fosfor
dan sulfur. Bahan organik ini selanjutnya mengalami degradasi dengan waktu yang
berbeda.Secara umum sumber nutrien yang ada pada perairan laut berasal dari
masukan bahan organik (Valiela, 1984). Melalui aktivitas bakteri dan organisme
pengurai lainnya, bahan ini mengalami dekomposisi menjadi bahan-bahan
anorganik yang dapat dimanfaatkan oleh organisme autotrof (Chester, 1991),
seperti misalnya nitrat dan fosfat.
Menurut Cebrian (2002), nutrien diperoleh dari proses degradasi bahan organik
yang berlangsung pada kolom air atau sedimen. Laju penguraian bahan organik
sangat ditentukan oleh ketersediaan oksigen pada perairan (Valiela, 1984 dan
Libels, 1992). Reaksi yang terjadi sehubungan dengan ketersediaan oksigen yang
cukup disebut reaksi oksidasi. Menurut Valiela (1984), kondisi ini disebut dengan
kondisi aerobik.Proses penguraian bahan organik dapat pula terjadi pada kondisi
sangat miskin oksigen. Reaksi yang terjadi disebut dengan reaksi reduksi (Valiela,
1994; Thurman, 1993;
Millero dan Sohn, 1992). Dalam melaksanakan aktivitas, bakteri dan organisme
pengurai lainnya mereduksi molekul-molekul yang mengandung oksigen.
Selanjutnya, oksigen yang terbentuk dari reduksi itu digunakan sebagai energi
dalam melaksanakan proses penguraian bahan organik.
Jenis bahan organik yang masuk ke perairan ada yang mudah terdegradasi dan ada
pula yang sukar terdegradasi (memerlukan waktu yang lama). Salah satu contoh
bahan organik yang mudah terdegradasi adalah karbohidrat, lemak, dan protein.
Jenis-jenis bahan organik ini merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan
yang telah mati atau hasil buangan dari limbah domestik dan industri. Kemudian
bahan organik yang sukar terdegradasi adalah polychlorinated biphenyl (PCBs) dan
polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) (Effendie, 2003).
71

Prinsip Nutrien Sebagai Faktor Pembatas


Nutrien yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk fitoplankton dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu; (1) makro nutrien dibutuhkan dalam
jumlah banyak yang terdiri dari unsur O, C, N, H, P, S, K, Mg, dan Ca, dan (2)
mikro nutrien dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit adalah Fe, Mn, Cu, Zn, B,
Si, Mo, Cl, V, Co, dan Na (Parson et al., 1984). Menurut Reynolds (1984) makro
nutrien menyumbangkan lebih besar dari 0,1% dari bobot kering bebas abu dan
mikro nutrien kurang dari 0,1% bobot. Diantara unsur-unsur makro nutrien, N
dan P sering menjadi faktor pembatas pertumbuhan dan perkembangan
fitoplankton baik pada perairan tawar maupun dalam perairan estuari dan laut
(Lagus et al., 2004). Disebut sebagai faktor pembatas karena N dan P sangat
dibutuhkan oleh fitoplankton dalam jumlah yang besar namun ketersediaanya
sedikit dan tidak mencukupi (Barnes dan Hughes, 1988). Seperti yang
dicontohkan oleh Mackentum (1969), bahwa karena kedua unsur tersebut
dibutuhkan oleh fitoplankton dalam jumlah yang besar yaitu berkisar 0.203-0.790
g-at N/L dan 0.029-0.587 g-at P/L, namun ketersediaannya kecil yaitu 0.01-50
g-at N/L dan lebih kecil dari 0.01 g-at P/L di permukaan dan pada laut dalam
lebih besar 3 g-at P/L. Besar kecilnya unsur-unsur tersebut dalam perairan
sangat bergantung dari masukan dari luar perairan seperti sungai, resapan tanah,
pencucian ataupun erosi, serta sistem pembentukan yang berlangsung di badan air
itu sendiri (Parsons et al., 1984).
Implikasi Pada Terumbu Karang dan Produktivitas Perikanan
Kesehatan ekosistem terumbu karang sangat dipengaruhi oleh kualitas perairan.
Hampir dijumpai di seluruh dunia, penuruan densitas dan keanekaragaman karang
berhubungan dengan meningkatnya laju pengayaan nutrien (eutrofikasi) di
perairan laut
(Costa Jr. et al., 2008; Fabricus et al., 2005). Tingginya nutrien di perairan merusak
ekosistem terumbu karang dan biodiversity (Edinger et al., 1998; Hatcher, 1997).
Walaupun diakui oleh banyak ilmuwan bahwa karang tidak hanya dibatasi pada
lingkungan yang oligotrofik, kebutuhan akan nutrien yang berlebihan tidak begitu
penting bahkan memiliki efek samping. Hal ini juga diperkuat oleh konsensus
bahwa aktifitas biologi dari komunitas planktonik (yang dipengaruhi oleh nutrien)
tidak sepenting komunitas bentik pada sebuah ekosistem terumbu karang yang
sehat (Costa Jr et al., 2008).
Pengayaan nutrien di perairan (sering disebut sebagai eutrofikasi atau nutrifikasi)
sekitar terumbu karang berakibat pada ketidakseimbangan pertukaran nutrien
antara zooxanthella (alga simbiosis) dengan rumah karangnya (the host coral). Selain
itu, pengayaan nutrient diperairan juga memberikan beberapa dampak pada
72

kesehatan terumbu karang melalui pengurangan daya penetrasi cahaya akibat dari
pertumbuhan fitoplankton. Meningkatnya fitoplankton yang cukup besar akan
mengganggu bahkan merusak settlement dari larva karang, termasuk kemungkinan
menurunnya tingkat kelangsungan hidup larva karang akibat pemangsaan
bilamana terjadi perkembangan plankton karnivora (larva-larva ikan). Perubahan
struktur komunitas fitoplankton ini berakibat pada kerentanan sumber pangan
laut di kawasan terumbu karang khususnya produksi larva ikan.
Metode Penelitian
Lokasi penelitian yaitu, kawasan konservasi laut daerah Wakatobi (Gambar 3) dan
Kapoposang. Penentuan posisi/titik stasiun penelitian selama pengamatan
menggunakan GPS (Global Positioning System) berdasarkan jarak.

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian di KKLD Wakatobi

73

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian di KKLD Kapoposang


Populasi dan Teknik Sampel
Pengambilan contoh (air dan biota) akan dilakukan pada tiap stasiun. Adapun
peralatan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1. Pengukuran berbagai
parameter dilaksanakan di lapangan (in situ) dan di laboratorium.
Pengambilan sampel larva ikan akan menggunakan jaring 500 secara horisontal
panjang kolom air yang ditempuh antara 3 5 meter. Sampel yang tersaring akan
dikumpulkan dalam botol sampel dan diawetkan dengan formalin (10%) untuk
identifikasi di laboratorium.
Pengambilan sampel air untuk nutrien menggunakan Botol Niskin volume 5 liter
pada kedalaman 5 meter di bawah permukaan laut, untuk keperluan pengukuran
nutrien jenis N, P, dan Si (1.5 2 liter sampel air laut). Sampel air untuk nutrien
akan disimpan pada botol sampel nutrien. Pengambilan sampel nutrien dilakukan
dengan menyaring air sampel dengan saringan GF/F (0.7 m) dan dengan
menggunakan vacum pump (tekanan 200 mm Hg). Hasil filter untuk nutrien 100
74

ml diikat HgCl2 200 l. Selanjutnya sampel tesebut disimpan dalam kotak dingin
(cool box) dan dibawa ke laboratorium untuk analisa selanjutnya. Penyaringan
dilakukan sejam setelah pengambilan sampel.
Tabel 1. Parameter, metode, dan alat yang digunakan
Parameter

Tmpt.

Sumber

Satuan

Metode

Alat

Ind/m3

Jaring 500

Makroshop

Lab

mgL-1

Reduksi
Cadmium

Spektrofotometer

Lab.

Aminot dan
Rey, 2000

UV
A1800Shimadzu

Lab.

Grasshoff,

analisis

Utama
1.Larva
Ikan
2.NO3-N
3.NO2-N
4.NH3-N

mgL-1
mgL-1
-1

5.PO4-P
6.Silika

mgL

mgL-1

Sulfanilamid
Amonium
Molibat
Stanous
Klorida

Spektrofotometer
UV
A1800Shimadzu
Spektrofotometer

UV
A1800Molybdosilica Shimadzu
te
Spektrofotometer
UV
A1800Shimadzu
Spektrofotometer
UV
A1800Shimadzu

75

APHA, 1986
et al. 1983;
sda

Lab.
Lab.
Lab.

sda
sda

Hasil Dan Pembahasan


Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Perairan Taman Wisata Pulau
Kapoposang dan Taman Nasional Wakatobi dengan pendekatan kualitatif
ditemukan 3 jenis biota yang dominan yaitu telur larva, larva ikan, dan crustacea.
(Tabel 2).
Tabel 2. Jenis dan Indeks Keanekaragaman larva selama pengamatan di Teluk
Perairan Taman Wisata Pulau Kapoposang dan Taman Nasional
Wakatobi
Lokasi

Jenis

H
3

[Ind/m ]
Taman Wisata
Wakatobi

Nasional Telur

Taman Pulau Kapoposang

229

1.0

Larva ikan

189

0.7

Crustacea

108

1.1

Telur

96

1.0

Larva ikan

16

0.7

Crustacea

82

1.1

Hasil analisis indeks keanekaragaman menunjukkan bahwa Taman Wisata Pulau


Kapoposang dan Taman Nasional Wakatobi memiliki keanekaragaman yang
tergolong rendah untuk batasan jenis larva ikan karena nilainya kurang dari satu
(<1), sedang untuk jenis telur dan crustacea tergolong sedang dengan nilainya
berkisar 1 - 3 atau antara 1.0 hingga 1.1 (Tabel 2.).
Sedangkan untuk kelimpahan dari 3 jenis larva yang ditemukan tertinggi
diperoleh pada perairan Taman Nasional Wakatobi (Gambar 4). Jenis telur larva
memiliki kelimpahan yang lebih tinggi yaitu 229 ind/m3, kemudian terendah dari
jenis-jenis crustacea yaitu sebanyak 108 ind/m3. Tingginya kelimpahan larva ini
tidak terlepas dari adanya perlindungan kawasan sebagai taman nasional sehingga
biodiversity relatif terpelihara baik karena terdapat sinergisitas erat antara
pengelolaan kawasan daratan dan pesisir/laut. Selain itu, tingginya kelimpahan
Larva sebagai indikator terpeliharanya ekosistem terumbu karang pada Taman
Nasional wakatobi, dimana ekosistem terumbu karang ini sebagai area pemijahan
berbagai jenis ikan. Hal ini didukung pula bahwa berdasarkan Indeks Keragaman
Ikan Karang (RPTNW, 2008) menunjukkan 942 spesies di wilayah Wakatobi.

76

Peringkat ini menempatkan Wakatobi pada kategori keanekaragaman hayati sama


dengan Teluk Milne di Papua Nugini dan di Komodo.

Gambar 4. Grafik Kelimpahan Larva di Perairan Taman Nasional Wakatobi dan


Taman Wisata Pulau kapoposang
Hal sebaliknya, kelimpahan larva ikan pada perairan Taman Wisata Pulau
Kapoposang tergolong rendah yaitu 16 ind/m3. Rendahnya kelimpahan larva ini
diakibatkan tingginya angka kerusakan terumbu karang. COREMAP (2005)
melaporkan kondisi terumbu karang di Kabupaten Pangkep 74,26% dalam
kondisi rusak dan hanya 25,74% dalam kondisi baik dari total luas keseluruhan
terumbu karang sebesar 27.027,71 ha. Kondisi ini sangat memprihatinkan, bukan
saja kita kehilangan sumber keanekaragaman plasma nutfah, ekosistem
pendukung kehidupan dan penyangga sumberdaya pangan, tapi juga hampir
sekitar 53.355 jiwa lebih terancam kehilangan mata pencaharian.

77

Variabilitas Nutrien
Berdasarkan hasil pengamatan kandungan nutrien yang didapatkan dalam
penelitian rata-rata dari kedua lokasi yang diamati sangat bervariasi, seperti yang
disajikan pada Gambar 5.

12

TN. Wakatobi
10

Konsentrasi [M]

0
10

TW. Kapoposang

8
2

0
NO3

NO2

NH3 NH4+

PO4

Si

Gambar 5. Grafik Variabilitas Nutrien di Perairan Taman Wisata Pulau


Kapoposang dan Taman Nasional Wakatobi
Konsentrasi nitrat tertinggi didapat pada lokasi Taman Nasional Wakatobi yaitu
dengan rata-rata konsentrasi 1.060.105 M. Sedangkan terendah pada lokasi
Taman Wisata Pulau kapoposang dengan rata-rata konsentrasi 0.410.039 M.
Tingginya kandungan nitrat di Perairan Taman Nasional Wakatobi disebabkan
karena letak stasiun yang lebih berdekatan dengan pulau Hoga dan pulau
Kaledupa sehingga banyak menerima limpasan dari kedua pulau tersebut.

78

Nitrat merupakan faktor pembatas bagi produktivitas di laut, sesuai dengan


pernyataan Mackenthum (1969) bahwa bila kandungan nitrat lebih dari 0.1 mg/l
masih dapat digunakan untuk pertumbuhan fitoplankton sedangkan kurang dari
0.1 mg/l merupakan faktor pembatas bagi perairan tersebut. Hasil pengamatan
fosfat (Gambar 5) terlihat bahwa konsentrasi fosfat nampaknya lebih tinggi di
perairan Taman Wisata Pulau Kapoposang yaitu dengan rata-rata konsentrasi
1.330.127 M, sedangkan rata-rata konsentrasi di Taman Nasional wakatobi
0.780.066 M. Hal ini diperkirakan akibat adanya proses resuspensi sedimen
yang dapat melarutkan sebagain kandungan fosfat dalam partikel ke kolom air.
Untuk konsentrasi silika tertinggi ditemukan di Perairan Taman Nasional
Wakatobi dengan rata-rata konsentrasi 9.700.919 M dan terendah di Taman
Wisata Pulau Kapoposang yaitu rata-rata konsentrasi 8.870.042 M. Tingginya
konsentrasi silika ini, juga terkait dengan input daratan. Hasil pengukuran
konsentrasi silika menunjukkan bahwa nutrien ini memiliki konsentrasi sangat
tinggi dibanding nitrat dan fosfat. Karena terpengaruh oleh kondisi seasonal
seperti musim hujan dan musim peralihan, dimana waktu pengambilan sampel
dilakukan pada bulan Pebruari dan Maret. Parameter silika ini, juga merupakan
salah satu unsur yang sangat dibutuhkan oleh fitoplankton untuk
pertumbuhannya, terutama dibutuhkan oleh Diatom (Bacillariophyceae) untuk
pembentukan dinding sel. Keberadaan fitoplankton di daerah terumbu karang ini
akan memicu pula peningkatan zooplankton sebagai produksi sekunder bagi
benih ikan.
KESIMPULAN
Perbedaan konsentrasi nutrien di perairan Taman Wisata Pulau Kapoposang dan
Taman Nasional Wakatobi berkorelasi erat terhadap kelimpahan larva ikan.
Perbedaan karakter lingkungan antar habitat memberikan pengaruh terhadap
komposisi larva yang tertangkap selama pengamatan.
Penetapan kawasan konservasi laut perairan pulau Kapoposang sebagai Taman
Wisata dan perairan Wakatobi sebagai Taman Nasional memberikan manfaat
tidak langsung yakni melindungi habitat ikan sebagai bagian yang penting untuk
perkembangbiakan jenis ikan komersial. Kawasan ini juga memberikan tempat
berlindung bagi ikan yang tidak dapat diberikan oleh sarana pengelolaan lainnya
sehingga dapat mencegah penurunan secara drastis persediaan ikan komersial.

79

DAFTAR PUSTAKA
Aminot, A., Rey, F., 2006. Standard procedure for the determination of
chlorophyll a by spectroscopic methods. International Council for the
Exploration of the Sea, Denmark.
[APHA] American Public Health Association. 1986. Standard Methods for the
Examination of Water and Waste Water Including Bottom Sediment and
Sludges. 12th ed. New York: Amer. Publ. Health Association Inc.
Barnes, R.S.K. and R.N. Hughes. 1988. An Introduction to Marine Ecology.
Blackwell Scientific Publication, London.
Cebrian. J. 2002. Variability and Control of Carbon Consumption, Export and
Acumulation in Marine Communities. Limnology Oceanography. 47(1):1112.
Chester, R. 1991. Marine Geochemistry. Unwin Hyman Ltd, Australia.
Costa Jr, O. S., M. Nimmo, and E.Cordier. 2008. Coastal nutrification in Brazil: A
review of the role of nutrien excess on coral reef demise. Journal of South
American Earth Sciences 25(2): 257-270.
Death, G., J.M. Lough, and K.E. Fabricus. 2009. Declining coral calcification on
the Great Barrier Reef. Science 323, 116-119.
Drever, J.L. 1997. The geochemistry of natural waters:surface and groundwter
environments. Lebanon USA: Prentice Hall.
Edinger, E. N., G. V. Limmon, J. Jompa, Widjatmoko, Wisnu, Heikoop, Jeffrey.
M.J, Risk, J. Michael. 2000. Normal Coral Growth Rates on Dying Reefs:
Are Coral Growth Rates Good Indicators of Reef Health? Marine Pollution
Bulletin 40(5): 404-425.
Edinger, E.N., J. Jompa, G.V. Limmon, W. Widjatmoko, and M.J. Risk. 1998.
Reef degradation and coral biodiversity in Indonesia: Effects of land-based
pollution, destructive fishing practices and changes over time. Marine
Pollution Bulletin 36(8), 617-630.
Effendi, H. 2003. Telaahan Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Fabricus, K., G. Death, L. McCook, E. Turak, and D.McB. Williams. 2005.
Changes in algal, coral and fish assemblages along water gradients on the
inshore Great Barrier Reef. Marine Pollution Bulletin 51, 384-398.

80

Hatcher, B.G. 1997. Coral reef ecosystems: how much greater is the whole than
the sum of the parts? Coral Reefs 16, S77-S91.
Heisler, J., P.M.Glibert, J.M.Burkholder, D.M.Anderson, W.Cochlan, W.C.
Dennison, Q. Dortch, C.J. Gobler, C.A. Heil, E. Humphries, A. Lewitus,
R.Magnien, H.G. Marshall, K. Sellner, D.A. Stockwell, D.K. Stoecker,
M.Suddleson. 2008. Eutrophication and harmful algal blooms: A scientific
consensus. Journal Harmful Algae. xxx; xxx-xxx
Jassby, A.D. and J.E. Cloern. 2000. Organic Matter Sources and Rehabilitation
of the sacramento San Joaqiun Delta (California, USA). Aquat. Conserv.
Mar. Freshw. Ecosyst. 10: 323-352.
Kaswadji, R.F.
1999.
Pengaruh angin terhadap penyebaran biomassa
fitoplankton di Teluk Pelabuhan Ratu. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan
Perikanan Indonesia: VI(2): 61-72.
Lagus, A., Suomela, J., Wethoff, G., Heikkila, K., Helminen, H., and Sipura, J.
2004. Species-Specific Differences in Phytoplankton Responses to N and
P Enrichment and The N:P ratio in The Archipelago Sea, Northern Baltic
Sea. Journal of Plankton Research., 26 (7), 779-798.
Libels, S.M. 1992. An Introduction to Marine Biogeochemistry. J.Wiley and
Sohn, Inc.
Mackenthum, K.M. 1969. The Practice of Water Pollution Biology. United
States Department of Interior, Federal Water Pollution Control
Administration, Division of Technical Support.
Mann, K.H. dan J.R.N. Lazier. 1991. Dynamics of Marine Ecosystems. Boston:
Blackwell Scientific Publication.
May, C.L., J.R. Koseff, L.V. Lucas, J.E. Cloern, and D.H. Schoellhamer. 2003.
Effects of Spatial and Temporal Variability of Turbidity on Phytoplankton
Blooms. Mar. Ecol. Prog. Ser. 254: 111-128.
McCook L.J. 1999. Macroalgae, nutrients and phase shifts on coral reefs:
scientific issues and management consequences for the Great Barrier Reef.
Coral Reefs 18, 357-367.
Millero, F.J. and M.L. Sohn. 1992. Chemical Oceanography. CRC Press. Boca
Raton Ann Arbort London..
Nikolsky, G,V. 1963. The Ecology of Fishes. London: Academic Press.
Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Alih

81

Bahasa; M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, dan M. Hutomo. Jakarta:


Gramedia.
Odum, E.P 1971. Fundamental of E Cology. Third Edition. Philadelphia and
London: W.B. Sounders Company.
Parsons, T.R., M. Takahashi, and B. Hargrave. 1984. Biological Oceanographic
Processes. Third Edition. Oxford: Pergamon Press.
Balai Taman Nasional Wakatobi, 2008. Rencana Pengelolaan Taman Nasional
Wakatobi Periode Tahun 1998 2023 (Revisi Tahun 2008).
Rixen T., A. Baum, T. Pohlmann, W. Balzer, J. Samiaji, and C. Jose. 2008. The
Siak, a tropical black water river in central Sumatra on the verge of anoxia.
Biogeochemistry 90, 129-140.
Statham, P.J. 2012. Review : Nutrien in estuaries-An overview and the potensial
impacts of climate change. Science of the Total Environment 434; 213227.
Thurman, H.V.
Company.

1993.

Essential of Oceanography.

Macmillan Publishing

Valiela, I. 1984. Marine Ecologycal Processes. Springer-Verlag. New York.

82

KAWASAN KONSERVASI LAUT DAN PREVALENSI


PENYAKIT KARANG DI INDONESIA

Pendahuluan

Rahmi, Jamaluddin Jompa dkk.

Kerusakan terumbu karang di dunia menjadi persoalan utama untuk segera


diselesaikan. Perubahan aktivitas alam seperti pengasaman laut, naiknya
temperatur akibat perubahan iklim, penangkapan ikan berlebih dan polusi tutupan karang dunia telah munurun hingga sekitar 125.000 kilometer persegi
dalam kurun waktu 50 tahun kebelakang. Biolog laut, seperti Charlie Veron,
mantan kepala peneliti di Australian Institute of Marine Science, memprediksi
bahwa terumbu karang akan hilang dalam satu abad kedepan. Tahun 2014 inipun, pemutihan karang massal, dimana karang kehilangan protozoa simbiotik-nya
dan semakin rentan akan penyakit dan kematian - terjadi di sepanjang pesisir
Indonesia, Filipina, dan beberapa pulau Karibia. Terumbu karang saat in bukan
lagi menghadapi gangguan atau bencana alam namun pengaruh antropogenik
yang menjadi "dampak antropogenik yang kronis", merupakan gangguan yang
konstan dan bertahan dalam kurun waktu lama. Dampak antropogenik saat ini
membuat kemampuan alami karang untuk pulih tidak bisa menahan
bertambahnya kematian karang yang terus terpicu akibat gangguan manusia.
Ancaman terhadap terumbu karang biasanya disebabkan oleh polusi dari pupuk,
limbah, racun buatan manusia, sedimentasi dan eksploitasi yang
berlebihan.Sedangkan ancaman secara globalnya adalah kenaikan suhu air
laut.Karena terumbu hidup di wilayah yang berada di atas batas temperatur di
pesisir-pesisir pantai. Sehingga perubahan suhu yang kecil sekalipun, 1-2 derajat
celsius saja dalam beberapa minggu dapat mengakibatkan kematian. Karang dapat
hidup dalam batas toleransi suhu berkisar dari 20 sampai 30 derajat selsius. Suhu
kritis yang dapat menyebabkan karang memutih tergantung dari penyesuaian
karang tersebut terhadap suhu air laut rata-rata daerah dimana ia hidup. Karang
cenderung memutih apabila suhu meningkat tajam dalam waktu yang singkat atau
suhu meningkat perlahan-lahan dalam jangka waktu yang panjang. Gangguan
alam yang lain yang dapat menyebabkan pemutihan karang yaitu tingginya tingkat
sinar ultra violet, perubahan salinitas secara tiba-tiba, kekurangan cahaya dalam
jangka waktu yang lama, dan penyakit.

83

Beberapa jenis penyakit karang yang menyerang karang, antara lain, White band
disease (WBD) yang menginfeksi Acropora palmata di Santa Croix (Gladfelter et al.,,
1977), White plague (W) yang menginfeksi Montastrea di Key Largo (Dustan, 1977)
dan Dark spot yang menginfeksi Siderastrea sidereal di Karibia (Goreau et al.,, 1998).
Dalam dua dekade, penyakit karang telah meningkat baik jumlah, spesies yang
terinfeksi dan daerah penyebarannya (Goldberg and Wilkinson (2004). Infeksi
penyakit ini umumnya terjadi ketika karang mengalami stress akibat tekanan dari
lingkungan, seperti pencemaran, suhu tinggi, sedimentasi, nutrient yang tinggi
terutama nitrogen dan senyawa carbon, predator, kompetisi dengan alga yang
pertumbuhannya sangat cepat, dan kondisi fisiologis yang lemah setelah terjadi
pemutihan (Antonius and Lipscomb. 2001; Raymundo et al., 2008; Aeby et al.,
2011).
Bedasarkan hasil penelitian sebelumnya, penyakit pada karang dapat
mengakibatkan kerusakan, bahkan sampai kematian pada karang. Green and
Bruckner (2000) melaporkan bahwa White band disease menyebabkan kematian
karang Acropora cervicornis sebesar 85% pada tahun 1980 di U.S. Virgin island.
Hasil penelitian di wilayah Indo-Pasifik menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
penyakit secara temporal di beberapa lokasi. Monitoring penyakit karang yang
telah dilakukan dalam kurun waktu tahun 1998-2003 menunjukkan peningkatan
penyakit white syndrome sebesar 20 kali lipat di terumbu karang Great Barrier Reef ,
Australia (Willis et al., 2004). Raymundo et al., (2006) mengemukakan pada dua
lokasi di Filipina diperoleh total prevalensi penyakit mencapai 19,9%, dengan
prevalensi tertinggi 53,7% pada penyakitporites ulcerative white spot (PUWS) dan
growth anomaly mencapai 39,1% (Kaczmarsky, 2006).
Pendekatan Morfologi dan Analisa Penyakit Karang
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2013 sampai Januari 2014.Analisis
karakteristik morfologi penyakit dari karang yang terinfeksi dilakukan di
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Pengamatan distribusi dan Prevalensi penyakit pada kawasan konservasi laut
dilakukan di Pulau Kapoposang dan di
Pulau Sarappo Lompo.Analisis Kualitas Air dilakukan di Laboratorium Kualitas
Air Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
Tahap persiapan yang dilakukan meliputi pengumpulan informasi awal mengenai
kondisi lokasi penelitian dan dijadikan acuan guna pengambilan data terdiri atas
studi pustaka mengenai lokasi survey. Penetapan stasiun penelitian berdasarkan
kepada keterwakilan zona konservasi yaitu Pulau Kapoposang dan zona diluar

84

konservasi yaitu Pulau Sarappo Lompo. Pengamatan Distribusi penyakit


didasarkan kepada kedua pulau tersebut.
Tabel 1. Posisi Geografis Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian

Lintang

Pulau Kapoposang
Site 1
Site 2
Site 3
Pulau Sarappo Lompo
Site 1
Site 2

85

Bujur

0404239.0
0404134.4
0404155.0

11805778.7
11805693.7
11805687.2

0405315.8
0405299.0

11901561.6
11901559.7

Gambar 1. Lokasi Penelitian (P. Kapoposang dan P. Sarappo Lompo)


Pengambilan data sebaran penyakit dilakukan dengan menggunakan metode
sabuk transek (belt transect) berukuran 20x2 meter pada kedalaman 3-10 meter
(Woesik et al.,, 2009, Raymundo et al.,, 2008). Sabuk transek dipasang pada sisi
pulau yang mempunyai penutupan karang tinggi. Pengamatan penyakit dilakukan
secara langsung didalam transek. Identifikasi karang berdasarkan petunjuk
Suharsono (1996) dan Veron (2000), sedangkan identifikasi penyakit mengikuti
petunjuk Raymundo et al.,, (2008), Weil dan Hooten (2008), Beedan et al.,, (2008)
dan Galloway (2009).

86

Gambar 2.Potensi Kawasan Konservasi Laut di Pulau Kapoposang

87

Ancaman Kepunahan dan Lingkungan yang Tak Ramah


Monitoring penyakit karang telah dilakukan sejak tahun 1998 di terumbu karang
Great Barrier Reef Australia menunjukkan peningkatan 20 kali lipat penyakit WS
dalam kurun waktu 1998-2003 (Willis et al.,, 2004). Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan di pulau Kapoposang dan Sarappo Lompo dengan mengambil
lokasi pada 3 titik yang berbeda, penyakit pada karang batu yang ditemukan di
pulau tersebut terdiri dari 3 yaitu black band disease (BBD), brown band disease (BRB)
dan growth anomaly (GA).

Gambar 3.Prevalensi Karang yang sakit dan karang yang sehat di Pulau
Kapoposang dan Sarappo Lompo.
Berdasarkan Gambar 3 diatas terlihat bahwa di Pulau Kapoposang dan Pulau
Sarappo Lompo memiliki prevalensi penyakit karang yang lebih kecil
dibandingkan dengan karang yang sehat. Prevalensi pada penyakit karang
merupakan persentase koloni yang terserang penyakit.Prevalensi dapat diketahui
dengan menghitung jumlah koloni yang terinfeksi penyakit dari jumlah seluruh
koloni (Raymundo et al., 2008).
Karang yang terinfeksi banyak ditemukan pada kedalaman 1-3 meter di daerah
tubir (upper reef slope) sementara pada kedalaman 5-7 meter (reef slope) tidak banyak

88

ditemukan penyakit karang.Penyakit brown band disease banyak ditemukan pada


karang Acropora sp, dan black band disease ditemukan pada jenis karang Porites sp
dan Pachyseris sp sedangkan growth anomaly hanya ditemukan pada jenis karang
Fungia sp (Gambar 4). Penelitian Raymundo et al.,, (2006) menunjukkan total
prevalensi penyakit mencapai 8,3% pada 8 lokasi terumbu diperairan Filipina,
dengan prevalensi tinggi yaitu 53,7% oleh porites ulcerative white spot dan growth
anomaly mencapai 39,1%.
Selama penelitian juga ditemukan kelompok
Compromised Health (CH) yang menjadi pengganggu bagi kesehatan karang tetapi
tidak dikategorikan sebagai penyakit karang.Kelompok CH berasal dari biota
seperti Drupella sp, Achantaster plancii, bekas gigitan ikan dan kompetisi dengan
alga.
Hasil penelitian yang dilakukan diperoleh data bahwa kelompok CH banyak
ditemukan di Pulau Sarrappo Lompo, dengan adanya kompetisi karang dengan
alga serta karang dengan predator Achantaster plancii dengan nilai total kelimpahan
sebesar 0,13 kol.m-2, keberadaan A. plancii ditandai juga dengan adanya bekas jejak
memutih pada setiap koloni karang yang dilewatinya. Kelompok CH selain dapat
mematikan karang juga dapat menjadi vector penyakit bagi karang.Rodjan and
Lewis (2008) meyatakan pemangsa pada karang seperti ikan, Drupella sp,
Achantaster plancii berpotensi sebagai vector bagi infeksi penyakit yang diakibatkan
oleh bakteri. Kondisi ini juga ditemukan pada daerah upper reef slope di pulau
kapoposang tetapi kelimpahannya 0,06 kol.m2. Pemangsaan pada umumnya dari
pangkal cabang ke ujung cabang oleh Drupella comus dan Acanthaster plancii kadang
memulaidari tepi pinggiran khusus pada karang Acropora tabulate (Beeden et al.,
2008).

89

Gambar 4. Penyakit pada karang (A) BBD pada Pachyceris sp (B) BBD
pada Porites sp (C dan D) BRB pada Acropora sp (E)
Pemangsaan pada Fungia sp (F) GA pada Fungia sp.
Karang Acropora sp tersebut ditemukan pada daerah dangkal (1,5m) sehingga
rentan mengalami stress akibat adanya perubahan kondisi lingkungan seperti
suhu, intensitas cahaya dan partikel terlarut yang tinggi. Apabila kondisi perairan
berarus lemah atau perairan tenang suhu dan intensitas cahaya juga akan secara
optimal sampai ke dasar perairan dan dapat mengakibatkan karang menjadi stress
sehingga mudah terinfeksi penyakit. Alasan utama meningkatnya penyakit karang
adalah stress akibat lingkungan dan climate change (Harvell et al., 2002; Lesser et al.,
2007). Keduanya sangat rentan terhadap penyakit karang(Lesser et al., 2007) dan
peningkatan patogenitas dari komunitas mikroba (Rosenberg & Ben-Haim,
2002).Peningkatan suhu yang tinggi menyebabkan zooxanthella terlepas dari
karang sehingga karang mengalami stres, akibatnya mudah terinfeksi oleh
penyakit (Ben-Haim et al., 1999).
Penyakit karang menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan
komunitas karang serta memperlihatkan kecenderungan peningkatan infeksi
penyakit pada karang dalam kurun waktu 2005 2007 di perairan Taman
Nasional Laut Wakatobi (Haapkyla et al., 2007).Hasil studi terbaru berdasarkan
data Reef Check, menunjukkan Kawasan konservasi laut (KKL), suatu kawasan
dimana kegiatan perikanan dan kegiatan lain yang berpotensi merusak diatur
dengan baik, mampu memberikan bonus bagi ekosistem terumbu karang yaitu
90

membantu terumbu untuk pulih dari berbagai akibat ancaman terhadap kondisi
kesehatan karang.
Marine reserves are known to be effective conservation tools when they are placed and
designed properly. Kawasan konservasi laut merupakan alat konservasi yang efektif
jika didesain dan ditempatkan secara tepat. Baik bagi sumber daya ikan, maupun
untuk nelayan.Kawasan konservasi laut (KKL)mengidentifikasian wilayah-wilayah
terumbu karang yang kurang rusak dan meninjau ulang sistem zonasi dan
batasan-batasan.

Gambar 5. Fluktuasi rata-rata bulanan dari curah hujan, suhu, lama penyinaran
cahaya matahari dan kecepatan angin pada tahun 2013 (Stasiun
Klimatologi Kelas 1 Maros)
Berdasarkan Gambar 5, data rata-rata bulanan pada tahun 2013, diperoleh
data kecepatan angin pada saat penelitian (Agustus-Desember 2013) sedang
mengalami peningkatan yang dimulai dari bulan Juli hingga sampai September (14 knot). Data curah hujan memperlihatkan bahwa curah hujan tertinggi pada
tahun 2013 adalah di bulan Desember (720 mm) dan mengalami penurunan pada
bulan Agustus-Oktober. Data suhu mengalami kenaikan pada bulan Mei (27,7C)
dan pada bulan September-November (27,6C).
Adapun data lama penyinaran matahari sedang mengalami peningkatan
sejak bulan Agustus 2013 (86%) hingga Oktober 2013 (87%) dan mencapai
puncaknya paada bulan September (93%). Kondisi terjadinya peningkatan suhu,
lama penyinaran matahari, dan kecepatan angin (pada saat pengambilan data) ,

91

dapat memicu terjadinya penyakit karang di kawasan Kawasan konservasi laut


Kapoposang.
Meningkatnya prevalensi dari penyakit karang dapat dikaitkan dengan
perubahan anomali suhu laut oleh karena pemanasan global. Hal ini mungkin
juga dikarenakan kegiatan yang berhubungan dengan: pariwisata yang berlebihan
melalui kontruksi dari resort, dan kegiatan rekreasi yang tidak diatur seperti:
scuba diving, snorkling, berjalan di terumbu. Terumbu karang harus dianggap dan
dimasukkan ke dalam rencana.Manajemen. Untuk menghemat daya laut tak
ternilai: kita harus mengadopsi keberlangsungan konsep kawasan konservasi laut
bukannya kegiatan pariwisata secara random.
Kawasan Konservasi dan Keberlanjutan Ekosistem Terumbu Karang
Faktor utama yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang di
Indonesia karena kurangnya kepedulian masyarakat untuk menjaga dan
melestarikan ekosistem ini. Kawasan konservasi laut (KKL) memberikan
wawasan kepada masyarakat dan menanamkan kepedulian untuk bersama-sama
menjaga ekosistem pesisir yang ada disekitarnya.. Dengan program KKL,
masyarakat akan dirangsang untuk mengembangkan kearifan lokal, peningkatan
rasa memiliki terhadap ekosistem terumbu karang sehingga akan berkembangnya
metode penangkapan yang ramah lingkungan dan lestari. Selain itu, akan
berkembang pula mata pencaharian alternatif selain penangkapan seiring
berkembangnya wawasan masyarakat pesisir.
Hughes (2010) mengemukakan "kunci untuk menyelamatkan terumbu
terletak di dalam pemahaman kita mengapa beberapa terumbu mengalami
degenerasi menjadi hamparan rumput laut dan tidak bisa pulih lagi - kejadian yang
disebut "perubahan fase", sementara di terumbu lain karang-nya mampu pulih
kembali dengan sukses - sebuah kemampuan yang disebut daya lenting atau
resiliensi.
Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Kapoposang dan pulau Sarappo
Lompo sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pangkep perlu
diteliti sehingga menjadi dasar bagi penentuan kawasan konservasi sebagai salah
satu cara untuk mengurangi resiko penyakit karang. Kawasan konservasi menjadi
salah satu dasar utama sumberdaya alami untuk menarik wisatawan diseluruh
dunia (Bonn et al. ,2005).
Industri pariwisata sangat bergantung kepada
lingkungan yang menarik dan sehat dalam penjualannya. Penelitian yang
dilakukan oleh Shafer and Inglis (2000) telah melaporkan bahwa faktor-faktor
terpenting yang mempengaruhi kunjungan di Great Barrier Reefs (GBR) adalah
interaksi dari staff dan kualitas dari terumbu karang serta ikan. Dengan demikian
terdapat motivasi yang kuat dalam melindungi dan melestarikan karang sebagai
92

subjek yang menarik bagi pariwisata. Marine Protected Areas (MPAs) merupakan
strategi manajemen yang dapat digunakan dalam meningatkan ketahanan
ekosistem pesisir dan melindungi terumbu karang.. Meskipun secara langsung
MPA tidak bisa melindungi terumbu karang dari pemutihan dan penyakit lainnya,
sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan ketahanan terumbu karang
dengan melindungi terumbu karang dari gangguan antropogenik lainnya. Sebagai
contoh dampak antropogenik seperti: peningkatan nutrisi, polusi, penyelam dan
kerusakan kapal, sedimentasi dan penangkapan yang berlebihan dapat dikurangi.
Pengurangan tekanan langsung ini memberikan kontribusi terhadap ketahanan
sumber larva yang penting bagi pemulihan terumbu karang (Grimsditch and
Salm, 2006).
Efek berikutnya dari kematian terumbu karang adalah berubahan ekosistem
terumbu akibat adanya penyakit, yang selanjutnya mengakibatkan perubahan
berantai lingkungn laut. Terumbu karang telah bertahan dari perubahan
lingkungan selama jutaan tahun.Namun laju perubahan lingkungan global dewasa
ini dapat terjadi dalam kecepatan yang tak terduga akibat aktifitas manusia.
Sehingga nasib terumbu karang di masa depan akan semakin tak menentu.
Beberapa penelitian juga mengangkat beberapa tempat dimana terumbu karang
yang berbalik pulih akibat adanya usaha pencegahan dampak manusia terkait
penurunan karang di masa lalu. Sebagai contohnya, mengakhiri buangan limbah
di Teluk Kanehoe di Hawaii telah memungkinkan karang untuk pulih; kembalinya
populasi bulu babi di beberapa bagian kepulauan Karibia telah memungkinkan
karang untuk bangkit 'melawan' rumput laut; dan di Filipina regulasi yang lebih
efektif untuk penangkapan ikan berlebih telah memungkinkan ikan kakatua untuk
pulih kembali - sejenis ikan terumbu yang membantu karang pulih dengan
memakan rumput laut (makroalga) kompetitor karang.Krisis terumbu karang
dunia umumnya terkait juga dengan krisis kepemerintahan, sebab kita telah
mengetahui apa saja yang perlu dilakukan, namun aksi atau tindakan (untuk
mengurangi polusi, menekan emisi gas rumah kaca, mencegah penangkapan
berlebih dan merusak) tidak dilakukan.
Studi tersebut juga menyarankan agar pemangku kebijakan dapat melibatkan para
peneliti yang memahami studi kesehatan terumbu karang dalam pengembangan
kebijakan terkait penyelamatan terumbu karang. Sebagai tambahan, pemerintah
sebaiknya fokus dalam pendidikan masyarakat lokal, perubahan mekanisme tata
guna lahan dalam mencegah lepasan polusi, memperkuat hukum untuk
melindungi terumbu karang, memperbaiki pengaturan penangkapan berlebih, dan
bekerja dengan institusi internasional, seperti Convention on International Trade in
Endangered Species (CITES), dalam penyediaan perlindungan yang lebih baik bagi

93

karang yang terancam punah.Namun tentunya, satu bongkahan batu besar lainnya
adalah perubahan iklim. Dalam masa pengasaman laut saat ini, sebab meingkatnya
emeisi karbon serta menghangatnya temperatur laut - akan membawa
keterpurukan terumbu karang meskipun tindakan yang mendukung bagi
kesehatan karang dilakukan.
Kesimpulan
Penyakit karang menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan
komunitas karang serta memperlihatkan kecenderungan peningkatan infeksi
penyakit. Meningkatnya penyakit karang disebabkan kurangya kepedulian
masyarakat untuk menjaga dan melestarikan ekosistem terumbu karang. Salah
satu cara mengurangi terjadinya kerusakan terumbu karang yakni dengan
mendorong terbentuknya kawasan konservasi laut.
Rekomendasi
Untuk melindungi Terumbu Karang sebaiknya perlu dibentuk kawasan
konservasi sebagai salah satu cara untuk mengurangi resiko penyakit karang.
Meningkatkan peran masyarakat untuk terlibat aktif di dalam upaya menjaga dan
melestarikan ekosistem terumbu karang. Mendorong pemerintah agar siap
menghadapi perubahan iklim sebagai isu utama yang paling penting bagi
pengelolaan dan konservasi terumbu karang dengan menekan tajam emisi gas
rumah kaca.

94

Daftar Pustaka
Aeby, G.S., Williams, G.J., Franklin, E.C., Kenyon, J., Cox, E.F., Coles, S and
TM Work. 2011. Patterns of Coral Disease Across the Hawaiian
Archipelago: Relating Disease to Environment. PloS ONE 6(5):e20307.
Alker AP, Smith GW and Kim K. 2001. Characterization of Aspergyllus sydoii
(Thom et church), a fungal phatogen of Carribean sea fan corals.
Hydrobyologia. 460:105-111.
Antonius, A., and Lipscomb, D. 2001. First Protozoan Coral Killer Identified in
The Indo-Pacific. Atoll Research Bull 21:481-493.
Beeden, R., Willis, B.L., Raymundo, L.J,m Page, C.A., and Weil, E. 2008.
Underwater Cards for Assessing Coral Health on Indo-Pacific Reef.
CRTR Program Project Executing Agency, Center for Marine Studies.
The University of Queensland. Australia.
Ben-Haim, Y., Banin, E., Kushmaro, A., Loya, Y. and Rosenberg, R.
1999.Inhibition of Photosynthesis and Bleaching of Zooxanthellae by The
Coral Pathogen Vibrio shiloi. Environ. Microbiol. 1:223-229.
Bonn, M. A.; Joseph, S. and Dai, M. 2005. An empirical analysis of ecogeneralists
visiting Florida: 19982003. Tourism Analysis, 10: 165- 185.
Bryant D, Burke L, McManus J and Spalding M. 1998. Reef at Risk : a map
based indicator of threats to the Worlds coral reefs. Washinton DC:
World Resource Institute. 56p.
Galloway, S.B., Bruckner, A.W. and Woodley, C.M. (eds.). 2009. Coral Health
and Disease in the Pasific: Vision for Action. NOAA Technical
Memorandum NOS NCCO97 and CRCP 7.National Oceanic and
Atmospheric Administration, Silver Spring, MD 314 pp.
Goldberg, J. And Wilkinson, C. 2004. Global Threats to Coral Reef: Bleaching,
Climate Change, Disease, Predator Plagues, and Invasive Spesies.
GCRMN. 25 p.
Grimsditch, G. D. and Salm, R. V. 2006. Coral Reef Resilience and Resistance
to Bleaching. IUCN. Gland, Switzerland. 52pp.
Green E and Bruckner AW. 2000. The Significant of Corals Disease
Epizoothyology for Coral Reef conservation. Biologycal Conservation.
96:347-361.
Haapkyla, J., Seymour, A.S., Trebilko, J., Smith, D. 2007. Coral Disease
Prevalence and Health in The Wakatobi Marine Park, South-east
Sulawesi, Indonesia. Marine Biologi U.K. 87:403-414.
Haapkyla, J., Unsworth, R.K.F., Seymour, A.S., Thomas, J.M., Flavel, M., Willis,
B.L., Smith, D.J. 2009. Spation-Temporal Coral Disease Dynamics in the
Wakatobi Marine National Park. South-East Sulawesi Indonesia. Disease
of Aquatic Organisme 87: 105-115.

95

Harvell CD, Mitchell CE, Ward JR, Altizer S, Dobson AP, Osfeld RS, Samuel
MD. 2002. Climate warming and disease risks for terrestrial and marine
biota. Science 296:2158-2162.
Harvell, C.D., Aronson, A., Baron, N., Connell, J., Dobson, D., Ellner, S.,
Gerber, L., Kim, K., Kuris, A., McCallum, H., Lafferty, K., McKay, B.,
Porter, J., Pascual, M., S,ith, G., Sutherland, K., Ward, J. 2004. The rising
tide of ocean disease: unsolved problems and research priorities. Review
Front Ecol Environ 2(7): 375-382.
Hughes,T.P., Nicholas A.J. Graham., Jeremy B.C. Jackson., Peter J. Mumby, and
Robert S. Steneck. 2010. Rising to the challenge of sustaining coral reef
resilience. Trends in Ecology and Evolution.Vol.25 No.11.
Jompa, J., 1996. Monitoring and Assessment of Coral Reefs in Spermonde
Archipelago, South Sulawesi, Indonesia.Thesis.McMaster University.
Canada.
Kaczmarsky, L.T. 2006. Coral Disease Dynamics in the central Philipines.
Disease of Aquatic Org. 69 (1): 9-21.
Kaczmarsky, L. T., Draud, M., and Williams, E.H. 2005. Is there a Relationship
Between Proximity to Seawage Effluent and the Prevalence of Coral
Disease, Carib. Jour. Sci. 41:124-137.
Kuta, K.G and Richarson, LL. 2002. Ecological aspect of black band disease of
corals: relationship between disease incidence and environmental factors.
Corals reefs. 21:393-398.
Lesser MP, Bythell JC, gates RD, Johnstone RW, Hoegh-Guldberg O. 2007. Are
infectious disease really killing corals? Alternative interpretations of the
experimental and ecological data. J Exp Mar Biol Ecol 346:36-44.
Massinai, A. 2012.Kondisi dan Sebaran Penyakit pada Karang batu (Stony coral)
di Kepulauan Spermonde.Disertasi. Program Pasca Sarjana Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Myers, R.L. and Raymundo, L. 2009. Coral Disease in Micronesian Reefs: a Link
Between Disease Prevalence and Host Abudance. Dis Aquat Org 87: 77104.
Nugus, M.M., and Bak, R.P.M. 2009. Brown-Band Syndrome of Feeding Scars of
the Crown-of-Thorn Starfish Acantasterplanci. Coral Reef 28:507-510.
Page C and Willis B. 2006. Distribution, host range and large scale spatial
variability in black band disease prevalence on the Great Barrier Reef
Australia. Dist Aquatic. Org. 69;41-51.
Raymundo, L.J., Maypa, A.P., Rosell, K.B., Cadiz, P.L., and Rojas, P.T. 2006. A
Survey of Coral Disease Prevalence in Marine Protected Areas andFished
Reefs of the Central Viisayas, Philippines. Global Environment Facility

96

Targeted Research and Capacity Building for Coral Reef Management


Project, Coral Disease Working Group.
Raymundo, L.J., Couch, C.S., and Harvell, C.D. 2008. Coral Disease Handbook:
Guidelines for Assessment, Monitoring & Management, Coral Reef
Targeted Research and Capacity Building for Management Program. The
University of Queensland. Australia.
Rutzler K and Santavy DL. 1983. The black band disease of Atlantic reef corals.
Description of the cyanophyte pathogen. PSZNI:Mar. Ecol 4:301-319.
Rodriguez S and Croquer A. 2008. Dynamic of Balck Band Disease in A
Diploria strigoza population Subjectedto Annual Upwelling on The
Notrherns cost of Venezuela. Coral Reefs. 27, 381-388.
Rodjan RD and Sara M lewis, SM. 2008. Impact of Corals Predator on Tropicals
Reefs. Marine Ecology Progress series. 367:73-91.
Rosenberg E, Ben-Haim Y. 2002. Microbial disease of corals and global
warming. Environ Microbiol 4:318-326.
Rogers, C. S. 1990. Responses of coral reefs and reef organisms to
sedimentation.Mar. Ecol. Prog. Ser., 62:185-202.
Sato Y, Bourne D and Willis B. 2009. Dynamic of Seasonal Outbreaks of Black
band disease in an asembalges of Montipora sp in Pelorus Island (Great
Barrier reef, Australia). Proc R Soc Lond B. 276: 2795-2803.
Sabdono, A. dan Radjasa, O.K. 2006.Karakterisasi Molekuler Bakteri yang
Berasosiasi dengan Penyakit BBD (Black Band Disease) pada Karang
Acropora sp di Perairan Karimunjawa.Ilmu kelautan 11(3): 158-162
Suharsono. 1996. Jenis-jenis Karang yang Umum di Jumpai di Indonesia. LIPIP3O Proyek Penelitian dan Pengembangan Daerah Pantai. Jakarta.
Shafer,C.S and Inglis, G.J. 2000. Influence and Social, biophysical and
manajerial conditions on tourism experience within the Great barrier Reff
World Heritage Area Environ. Manag., 26: 73-87.
Toren A, Landau L, Kushmaro A. Loya Y and Rosenberg E. 1998. Effect of
temperature on adhesion of VibrioStrain AK-1 to Oculina patagonica and on
coral bleaching. Appl Environ Microbial 64:1379-1384.
Willis, B.L., Page, C.A., Dinsdale, E.A. 2004. Coral Diseaseon the Great Barrier
Reef .Coral Disease and Health. (Rosenberg E, & Loya Y, eds). pp 69-104.
Springer-Verlag. Berlin.
Williams, D.N. and Miller, M.W. 2005. Coral Disease Outbreak: Pattern,
Prevalence and Transmission in Acropora cervicormis. Marine Ecology
Progress Series 301: 119-128.
Weil, E. 2004. Coral Reef Disease in the Wider Caribbean. In: E. Rosenberg and
Y. Loya (eds.) Coral Reef and Disease. 35-68.

97

Weil E, Smith, G.W., Gil-Agudelo, D.L. 2006. Status and progress in coral reef
disease research. Dis Aquat Org 69: 1-7.
Weil, E., and Crocuer, A., Urreiztieta, L. 2009. Temporal Variability and Impas of
Coral Disease and Bleacing in La Parguera, Puerto Rico from 2003-2007.
Caribbean Journal Science 45: 221-246.
Weil, E., and Hooten, A.J. 2008.Underwater Cards for Assessing Coral Health on
Caribbean Reef.CRTR Program Project Executing Agency, Center for
Marine Studies.The University of Queensland. Australia.
Woesik, R.V, J.Gilner, Hooten AJ. 2009. Standar Operating Procedure for
Repeated Measures of Process and State Variables of Corals Reef
Environment. CRTR and Capacity Building for management
Program.The University of Quensland. Australia.
Zvuloni A, Artzy Randrup Y, Stone L, Kramarsky-Winter E,barkan R and Loya
Y. 2009. Spatio Temporal Transmission Pattern of Black Band Disease
in A Corals Community. PLoS ONE (4) 4:1-10.

98

Anda mungkin juga menyukai