Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Otonomi Daerah bukanlah merupakan suatu kebijakan yang baru dalam

penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia karena sejak berdirinya negara


kesatuan Republik Indonesia sudah dikenal adanya otonomi daerah yang
dipayungi oleh Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan inti dari
pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah
(discretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar
prakarsa, kreativitas, dan peran serta masyarakat dalam rangka mengembangkan
dan memajukan daerahnya. Perubahan penyelenggaraan pemerintahan daerah juga
ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menempatkan Pemerintah Daerah dan DPRD selaku
penyelenggara pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
yang telah membawa perubahan fundamental dalam sistem Pemerintahan Daerah,
yaitu dari sistem pemerintahan yang sentralistik kepada desentralisasi. Sistem
pemerintahan desentralisasi ini merupakan penyelenggaraan pemerintahan yang
dititik beratkan kepada daerah Kabupaten/Kota sehingga daerah Kabupaten/Kota
memiliki keleluasaan untuk mengelola rumah tangga daerahnya dengan prinsip
otonomi

daerah,

termasuk

pelaksanaan

pengelolaan

keuangannya

yang

diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.


Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
menempatkan Pemerintah Daerah dan DPRD selaku penyelenggara pemerintahan
daerah. Sesama unsur pemerintahan daerah pada dasarnya kedudukan Pemerintah
Daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif) adalah sama, yang membedakannya
adalah fungsi, tugas dan wewenang serta hak dan kewajibannya. DPRD sebagai
lembaga legislatif mempunyai tiga fungsi yaitu 1) fungsi legislasi, 2) fungsi
anggaran, dan 3) fungsi pengawasan. Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh
DPRD adalah pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai kebijakan publik di
daerah yang dilaksanakan oleh lembaga eksekutif termasuk juga dengan

pengawasan terhadap kebijakan pelaksanaan APBD. Terkait dengan pengawasan


keuangan daerah, DPRD merupakan lembaga yang memiliki posisi dan fungsi
strategis dalam pengawasan keuangan daerah. Di dalam Peraturan Pemerintah
(PP) RI No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pada Pasal 132
menyatakan bahwa DPRD melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
peraturan daerah tentang APBD.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, timbul beberapa
rumusan masalah yang menjadi bahan kajian didalam membuat laporan ini.
Adapun permasalahan yang dibahas dalam laporan ini, yaitu:
1. Apa pengertian dari otonomi daerah?
2. Apa aspek dari otonomi daerah?
3. Apa prinsip dan tujuan dari otonomi daerah?
1.3 Tujuan
Tujuan akan memberikan arah dan tumpuan dalam melaksanakan kegiatan
selanjutnya. Adapun tujuan yang dari pembuatan laporan kerja praktek ini yaitu
diantaranya:
1. Untuk mengetahui pengertian dari otonomi daerah
2. Untuk mengetahui aspek dari otonomi daerah
3. Untuk mengetahui prinsip dan tujuan dari otonomi daerah

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Otonomi Daerah
Istilah otonomi secara etimologis berasal dari kata yunani autos yang

berarti sendiri dan nomos yang berarti hukum atau peraturan. Menurut
Encyclopedia of Social Science, bahwa otonomi dalam pengertian orisinil adalah
the legal self sufficiency of social body and its actual independence. Jadi ada dua
ciri hakikat dari otonomi, yakni legal self suffiency dan actual independence.
Dalam kaitan dengan politik atau pemerintahan, otonomi daerah berarti self
government atau condition of living under ones own law. Dengan demikian
otonomi daerah yang memiliki legal self sufficiency yang bersifat self government
yang diatur dan diurus oleh own laws.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:992), otonomi adalah
pola pemerintahan sendiri. Sedangkan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undangundang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, definisi otonomi
daerah sebagai berikut: Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk
mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri
dengan menghormati peraturan perundangan yang berlaku. Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah juga mendefinisikan daerah
otonom sebagai berikut: Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Contoh daerah otonom (local
self-government) adalah kabupaten dan kota. Dari pendapat di atas dapat ditarik

kesimpulan bahwa otonomi daerah dapat diartikan sebagai wewenang yang


diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah baik kabupaten maupun kota
untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya
sendiri sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing dan mengacu kepada
kepada peraturan perundangan yang berlaku dan mengikatnya.
2.2

Tujuan Otonomi Daerah


Adapun tujuan dari otonomi daerah menurut undang-undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 2 ayat 3 menyebutkan bahwa


tujuan otonomi daerah ialah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang memang menjadi urusan pemerintah, dengan tujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing
daerah. Berikut penjelasannya:
1. Meningkatkan Pelayanan Umum
Dengan adanya otonomi daerah diharapkan ada peningkatan pelayanan
umum secara maksimal dari lembaga pemerintah di masing-masing
daerah. Dengan pelayanan yang maksimal tersebut diharapkan
masyarakat dapat merasakan secara langsung manfaat dari otonomi
daerah.
2. Meningkatkan kesejahteraan Masyarakat
Setelah pelayanan yang maksimal dan memadai,

diharapkan

kesejahteraan masyarakat pada suatu daerah otonom bisa lebih baik


dan

meningkat.

Tingkat

kesejahteraan

masyarakat

tersebut

menunjukkan bagaimana daerah otonom bisa menggunakan hak dan


wewenangnya secara tepat, bijak dan sesuai dengan yang diharapkan.
3. Meningkatkan daya saing daerah
Dengan menerapkan otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan
daya saing daerah dan harus memperhatikan bentuk keanekaragaman
suatu daerah serta kekhususan atau keistimewaan daerah tertentu serta
tetap mengacu pada semboyan negara kita "Bineka Tunggal Ika"
walaupun berbeda-beda namun tetap satu juga.
Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan otonomi

daerah

yaitu

membebaskan pemerintah pusat dari berbagai beban dan menangani urusan suatu
daerah yang bisa diserahkan kepada pemerintah daerah. Oleh karenanya

pemerintah pusat memiliki kesempatan untuk mempelajari, merespon, memahami


berbagai kecenderungan global dan menyeluruh serta dapat mengambil manfaat.
2.3

Manfaat Otonomi Daerah


Manfaat otonomi daerah yaitu memberikan hak kepada daerah otonom

untuk mengatur daerahnya sendiri, agar mereka memiliki kebebasan dalam


meningkatkan pelayanan terhadap masyarakatnya, juga mempermudah pemda
otonom untuk mengetahui atau mengerti kebutuhan masyarakat didalamnya.
Manfaat otonomi daerah lainnya antara lain:
1. Pelaksanaan otonomi daerah dapat dilaksanakan sesuai kepentingan
masyarakatnya.
2. Memotong jalur birokrasi yang sedikit rumit dan prosedur yang sangat
terstruktur dari pemerintah pusat.
3. Mampu meningkatkan efisiensi pemerintahan pusat, pejabat pusat
tidak lagi menjalankan tugas rutin ke daerah-daerah karena hal itu bisa
diserahkan kepada pejabat daerah otonom.
4. Dapat meningkatkan pengawasan dalam berbagai kegiatan atau
aktivitas yang dilakukan oleh elite lokal, yang biasanya tidak simpatik
dengan program-program pembangunan nasional dan tidak sensitif
terhadap kebutuhan dari kalangan miskin di suatu pedesaan.
5. Dapat meningkatkan penyediaan barang dan jasa disuatu daerah
dengan biaya yang terjangkau dan lebih rendah, hal itu tidak lagi
menjadi beban pemerintah pusat karena telah diserahkan kepada
pemda.

2.4

Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia


Sejarah perkembangan pada Masa Kemerdekaan:

1.

Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945. Undang-undang Nomor 1

Tahun 1945 menitik beratkan pada asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan


KND (komite Nasional Daerah) di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan
daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas
dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
1)

Provinsi

2)

Kabupaten/kota besar

3)

Desa/kota kecil.

UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan
segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak
memiliki penjelasan.
2.

Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948. Peraturan kedua yang

mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948


yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu
dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a)

Propinsi

b)

Kabupaten/kota besar

c)

Desa/kota kecil

d) Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.


3.

Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957. Menurut UU No. 1 Tahun

1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi
menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri,
dalam tiga tingkat, yaitu:
1)

Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya

2)

Daerah swatantra tingkat II

3)

Daerah swatantra tingkat III.

UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluasluasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
4.

Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959. Penpres No. 6 Tahun

1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959 menitikberatkan pada


kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemenelemen baru. Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri
dikenal dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III. Dekonsentrasi
sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa kepala
daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.

5.

Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 Menurut UU ini, wilayah

negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:


1)

Provinsi (tingkat I)

2)

Kabupaten (tingkat II)

3)

Kecamatan (tingkat III)

Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang


pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan
koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan,
dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah
pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin
pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan
dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di
luar pengadilan.
6.

Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah


tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan
daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi
menurut tingkatannya menjadi:
1)

Provinsi/ibu kota negara

2)

Kabupaten/kotamadya

3)

Kecamatan

Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah
tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan
memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi
yang nyata dan bertanggung jawab.
7.

Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah


yang lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU
No. 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1) Sistem

ketatanegaraan

Indonesia

wajib

menjalankan

prinsip

pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam


kerangka NKRI.
2) Daerah

yang

dibentuk

berdasarkan

asas

desentralisasi

dan

dekonsentrasi adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk


berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah
kota.
3) Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
4) Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi
daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan
keinginan masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi
rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
8.

Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004


Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang

pemerintah Daerah yang

dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa

dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah


dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas
hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah
pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah
pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan
di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu,
hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin di
pertegas dan di perjelas.
2.5

Desentralisasi

Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat


kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri
berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan
Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi
suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam
keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan
kewenangan.
Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi
akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan
adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan pardigma pemerintahan
di Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung
jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah.
Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk
memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang
merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan
dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara
pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap
mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan
nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan,
pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat
menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan
efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.

2.6

Sentralisasi
Sentralisasi dan desentralisasi sebagai bentuk penyelenggaraan negara

adalah persoalan pembagian sumber daya dan wewenang. Pembahasan masalah


ini sebelum tahun 1980-an terbatas pada titik perimbangan sumber daya dan
wewenang yang ada pada pemerintah pusat dan pemerintahan di bawahnya. Dan
tujuan baik dari perimbangan ini adalah pelayanan negara terhadap masyarakat.

Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini, pandangan politik


yang dianggap tepat dalam wacana publik adalah bahwa desentralisasi merupakan
jalan yang meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah. Pandangan ini
diciptakan oleh pengalaman sejarah selama masa Orde Baru di mana sentralisme
membawa banyak akibat merugikan bagi daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan
kesempatan dikembangkannya suatu diskusi yang sehat bagaimana sebaiknya
desentralisasi dikembangkan di Indonesia. Jiwa desentralisasi di Indonesia adalah
melepaskan diri sebesarnya dari pusat bukan membagi tanggung jawab
kesejahteraan daerah.
Sentralisasi dan desentralisasi tidak boleh ditetapkan sebagai suatu proses
satu arah dengan tujuan pasti. Pertama- tama, kedua sasi itu adalah masalah
perimbangan. Artinya, peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan selalu
merupakan dua hal yang dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal perimbangan. Selain
proses politik yang sukar ditentukan, seharusnya ukuran yang paling sah adalah
argumen mana yang terbaik bagi masyarakat.
2.7

Asas-Asas Pembentuk Otonomi Daerah


Berikut merupakan asas-asas yang membentuk otonomi daerah yaitu

diantaranya:
1.

Asas Otonomi
Berikut ini ada beberapa asas otonomi daerah. Asas-asas tersebut sebagai

berikut:
a. Asas tertib penyelenggara Negara
Asas

yang

menjadi

landasan

keteraturan,

keserasian,

dan

keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara (Pasal 3


angka 2 UU No. 28/1999)
b) Asas Kepentingan umum
Asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang
aspiratif, akomodatif, dan selektif (Pasal 3 angka 3 UU No. 28/1999).
c) Asas Kepastian Hukum

Asas dalam negara hukum yang menggunakan landasan peraturan


perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggara negara
d) Asas keterbukaan
Asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan
atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara (Pasal 3 angka 4
UU No. 28/1999).
e) Asas Profesionalitas
Asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 3 angka
6 UU No. 28/1999).
f) Asas efisiensi
g) Asas proporsionalitas
Asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban
Penyelenggara Negara (Pasal 3 angka 5 UU No. 28/1999).
h) Asas efektifitas
i) Asas akuntabilitas
2.8

Kendala-kendala Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah


Pada dasarnya, desentralisasi bertujuan membangun partisipasi masyarakat

dan mengundang keterlibatan publik seluas-luasnya dalam proses perencanaan,


implementasi

dan

evaluasi

pembangunan

yang

dijalankan.

Untuk

itu,

desentralisasi memberikan ruang yang lebih luas kepada daerah untuk secara
demokratis mengatur pemerintahannya sendiri sebagai manifestasi dari cita-cita
sistem desentralisasi.
Akan tetapi pelaksanaan sistem ini mendapatkan tantangan yang cukup
besar. Kendala-kendala tersebut diantaranya adalah:
1.

Mindset atau mentalitas aparat birokrasi yang belum berubah.

2.

Hubunganantara institusi pusat dengan daerah.

3.

Sumber daya manusia yang terbatas.

4.

Pertarungan kepentingan yang berorientasi pada perebutan kekuasaan,


penguasaan aset dan adanya semacam gejala powershift syndrom yang
menghinggapi aparat pemerintah.

5.

Keinginan pemerintah untuk menjadikan desa sebagai unit politik di


samping unit sosial budaya dimana desa memiliki tatanan sosial budaya
yang otonom.

2.8

Pemeran Penting Dalam Otonomi Daerah

1.

APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)


Di dalam Otonomi daerah selalu identik dengan yang namanya Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah atau yang sering disebut APBd.Di sini saya akan
membahas sedikit mengenai APBD.
Keberhasilan otonomi daerah tidak lepas dari kemampuan bidang
keuangan yang merupakan salah satu indikator penting dalam

menghadapi

otonomi daerah. Kedudukan faktor keuangan dalam penyelenggaraan suatu


pemerintah sangat penting, karena pemerintahan daerah tidak akan dapat
melaksanan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk
memberikan pelayanan pembangunan dan keuangan inilah yang mrupakan salah
satu dasar kriteria untukmengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Suatu daerah otonom
diharapkan mampu atau mandiri di dalam membiayai kegiatan pemerintah
daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai
proposal yang lebih kecil dan Pendapatan Asli Daerah harus menjadi bagian yang
terbesar dalammemobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah. Oleh
karena itu,sudah sewajarnya apabila PAD dijadikan tolak ukur dalam pelaksanaan
otonomi daerah demi mewujudkan tingkat kemandirian dalam menghadapi
otonomi daerah.
Mardiasmo mendefinisikan anggaran sebagai pernyataan mengenai
estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang
dinyatakan dalam ukuran finansial,sedangkan penganggaran adalah proses atau

metode untuk mempersiapkan suatu anggaran.Mardiasmo mendefinisikan nya


sebagai

berikut

,anggaran

publik

merupakan

suatu

dokumen

yang

menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi


mengenai pendapatan belanja dan aktifitasSecara singkat dapat dinyatakan bahwa
anggaran publik merupakan suatu rencana finansial yang menyatakan :
1) Berapa biaya atas rencana yang di buat(pengeluaran/belanja),dan
2) Berapa banyak dan bagaimana cara uang untuk mendanai rencana

tersebut(pendapatan)
Sedangkan menurut UU No.17 tahun 2003 tentang keuangan Negara
disebutkan bahwa APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah
yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Lebih lanjut dijelaskan
dalam PP No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolahan Keuangan Daerah disebutkan
bahwa APBD adlah rencana keuangan tahunan Pemerintah daerah yang di bahas
dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD,dan ditetapkan dengan
peraturan daerah.
Ekonomi Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan
pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumbersumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan
lokal.
2.9

Faktor Pendukung Terselenggaranya Otonomi Daerah


Dalam pelaksanaannya, otonomi daerah merupakan desentralisasi sebagian

kewenangan dari pemeruntah pusat kepada pemerintah daerah untuk dilaksanakan


menjadi urusan rumah tangganya sendiri. Pemberian otonomi kepada daerah
haruslah didasarkan kepada faktor-faktor yang dapat menjamin daerah yang
bersangkutan mampu mengurus rumah tangganya.
Diantara factor-faktor tersebut yang mendukung terselenggaranya otonomi
daerah diantaranya adalah kemampuan sumberdaya manusia yang ada, serta
kerersediaan sumber daya alam dan peluang ekonomi daerah tersebut.
1.

Kemampuan Sumber Daya Manusia

Salah satu kunci kesuksesan penyelenggaraan otonomi daerah sangatlah


bergantung pada sumber daya manusianya. Disamping perlunya aparatur
yang kompeten, pembangunan daerak juga tidak mungkin dapat berjalan
lancar tanpa adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Untuk
itu tidak hanya kualitas aparatur yang harus ditingkatkan tetapi juga
kualitas partisipasi masyarakat.
Dalam

mensukseskan

pembangunan

dibutuhkan

masyarakat

yang

berpengetahuan tinggi, keterampilan tinggi, dan kemauna tinggi. Sehingga


benar benar mampu menjadi innovator yang mampu menciptakan tenaga
kerja yang burkualitas.
2.

Kemampuan Keuangan/Ekonomi
Tanpa pertumbuhan ekonomiyang tinggi, pendapatan daerah jelas tidak
mungkin dapat ditingkatkan.sementara itu dengan pendapatan yang
memedahi, kemampuan daerah untuk menyelenggarakan otonomi akan
menungkat. Dengan sumber daya manusia yang berkualitas, daerah akan
mampu untuk membuka peluang-peluang potensi ekonomi yang terdapat
pada daerah tersebut.
Penmgembangan sumber daya alam yang ada di daerah tersebut, apabila
dikelola dengan secaraa optimal dapat menunjang pembangunan daerah
dan mewujudkan otonomi. Kemampuan daerah untuk membiayai diri
sendiri akan terus meningkat.

BAB III
PEMBAHASAN REVIEW ARTIKEL
3.1 Artikel 1

Otonomi Daerah Benturkan Provinsi dan


Kabupaten
Rabu, 7 Desember 2011

PONTIANAK, KOMPAS.com - Penerapan otonomi daerah, selain memberi


dampak positif tak sedikit pula dampak negatif yang terjadi. Salah satu di
antaranya adalah benturan antara gubernur dengan bupati atau wali kota di
daerahnya.
Gubernur seringkali tidak dilibatkan dalam kebijakan-kebijakan tertentu, karena
menganggap kewenangan itu ada di kabupaten atau kota.
Demikian diungkapkan Asisten Daerah II Kalimantan Barat, Lensus Kandri,
mewakili Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis, dalam pencanangan satu polisi
satu desa dan pembukaan sarasehan pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat di Auditorium Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat,
Rabu (7/12/2012).
"Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang
beberapa kali diperbaharui itu, sering menimbulkan benturan antara provinsi dan
daerah tingkat dua. Seringkali bupati atau wali kota membuat kebijakan tanpa
melibatkan gubernur, karena merasa sudah otonomi daerah. Mereka lupa kalau
gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah," ujar Lensus.
Dalam sebuah peraturan presiden, gubernur berhak memberi teguran dan sanksi
kepada kepala daerah tingkat dua yang melakukan tindakan yang bertentangan
dengan peraturan.
"Namun, sanksi yang diberikan tidak bisa menyentuh pemberhentian kepala
daerah tingkat dua, karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat," kata
Lensus.

3.1.1

Review Artikel 1
Dalam era reformasi pemerintah telah mengeluarkan kebijakan otonomi

daerah. Pertama adalah UU No.22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU


No.25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Kedua
adalah UU No.32/2004 dan UU No.33/2004 tentang perimbangan keuangan pusat
dan daerah. Ketiga UU No.12/2008 tentang pemerintahan daerah. UU ketiga ini
disebut revisi dari UU pertama dan kedua atas pemerintahan daerah.

Paket kebijakan otonomi daerah pertama dikeluarkan oleh Presiden B.J. Habibie
dengan maksud mengubah pola otonomi daerah yang sentralistik (UU No.5/1974
Produk Orba) kearah yang lebih demokratis.
Dalam perjalanannya sesuai dengan kebutuhan demokrasi, UU No.22/1999 telah
dinilai baik dari segi kebijakan dan implementasinya, dan ternyata mengalami
kelemahan sehingga undang-undang tersebut mengalami revisi menjadi
UU.32/2004 dan di revisi lagi menjadi UU No.12/2008.
Dengan lahirnya UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah , yang kini sudah
diubah dengan UU 12/2008 diharapkan melahirkan check and balances dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah sehingga demokrasi tidak lagi sebatas coretan
diatas kertas semata.

3.2

Artikel 2

Otonomi Daerah Belum Optimal


Jumat, 2 Juli 2010
BIMA, KOMPAS.com - Di Kabupaten Bima, perebutan RSUD Bima antara
kabupaten sebagai pemilik dan Kota Bima sebagai yang ketempatan rumah sakit
membuat kondisi rumah sakit itu buruk. Kisah-kisah tentang RSUD Bima
bagaikan menjadi legenda urban, mulai dari dokter yang jarang tampak di unit
gawat darurat sampai dokter yang memberikan resep lewat telepon berdasarkan
masukan suster jaga. Herannya, bukannya menjadi fokus pelayanan, RSUD
Bima malah jadi sumber terbesar PAD, kata Husein Laodet, pengurus pemuda
adat, Lembaga Sampela Mbojo.
Kepala Bagian Keuangan Kabupaten Bima H Wafdin mengatakan, dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp 19,247 miliar tahun 2009, pendapatan paling
besar adalah dari sewa aset Rp 2,3 miliar, pajak penerangan jalan Rp 1,759 miliar,
dan retribusi terbesar dari RSUD, yaitu Rp 1,788 miliar.
Wafdin mengatakan, kalau dihitung-hitung sebenarnya Pemkab Bima banyak
mengeluarkan subsidi untuk RSUD Bima, yaitu untuk listrik, obat-obatan, serta
makanan dan minuman pasien. Namun, setelah ditelisik lebih jauh, tertera dalam
APBD Kabupaten Bima, porsi belanja untuk RSUD Bima sebesar Rp 12,18
miliar, 72 persen dialokasikan untuk gaji dan sisanya untuk belanja administratif,
termasuk rapat, listrik, dan perjalanan dinas. Hanya Rp 498 juta atau 4 persen
yang dialokasikan untuk makanan pasien.
Saat mengunjungi rumah sakit itu, Kamis (10/6) pukul 22.00, rumah sakit sangat
ramai. Pengunjung tidak hanya bisa keluar masuk, tetapi juga bisa menginap di
kamar untuk yang sakit seenaknya. Seperti di ruang ekonomi untuk pria, anakanak dan keluarga datang serta bercakap-cakap sambil merokok. Di samping kiri
dan kanan, pasien dengan infus, termasuk Taufiq (30), warga Kampung Melayu
yang sudah dua bulan menanti diamputasi kedua tangannya tanpa ada jadwal
operasi yang jelas.
Di UGD, dr Reza Refial yang berjaga mengatakan, pihak rumah sakit agak
kesulitan meminta orang Bima untuk tertib. Menjawab pertanyaan tentang adanya
pasien di UGD yang tidak ditangani dokter, menurut dia, hal itu karena prioritas
penyakit pasien itu tidak perlu segera ditangani dokter. Saat itu ada seorang pasien
di UGD yang baru masuk dengan alasan panas tinggi dan mempertanyakan
kondisi lantai UGD yang kotor serta kenapa dia tidak ditangani dokter.

3.2.2 Review Artikel 2


Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) mengevaluasi 57 daerah otonom
baru bentukan tahun 2007-2009 menghasilkan empat masalah menonjol, yaitu
penetapan batas wilayah, pembentukan organisasi perangkat daerah, penyediaan
sarana dan prasarana pemerintahan, serta pengalihan personil, pembiayaan,
peralatan, dan dokumen.
Untuk penetapan batas wilayah, Kemdagri harus mempertegas cakupan wilayah
dan memperketat persyaratan keberadaan peta beserta garis batas yang jelas dan
akurat, dari peta sketsa ke peta lengkap sesuai dengan kaidah pemetaan dalam
lampiran undang-undang tentang pembentukan, penghapusan, dan penggabungan
daerah. Jika Kemdagri mengantisipasi melalui pengaturan cakupan wilayah dan
keberadaan peta beserta garis batasnya maka penetapan batas wilayah tidak lagi
bermasalah.
Untuk pembentukan organisasi perangkat daerah, Kemdagri harus mengatur
perampingan struktur tapi menggemukkan fungsinya dalam batas minimum
kebutuhan daerah otonom baru. Jika Kemdagri mengantisipasi melalui pengaturan
organisasi perangkat daerah yang ramping tapi gemuk fungsi maka pembentukan
organisasi perangkat daerah otonom baru menjadi tidak lagi terhambat.
Untuk penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan, Kemdagri harus mengatur
persyaratannya sebelum pembentukan daerah otonom baru. Jika Kemdagri
mengantisipasi melalui persyaratan maka penyediaan sarana dan prasarana
pemerintahan daerah otonom baru menjadi lebih memadai.

BAB IV
SIMPULAN
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada tiga aspek otonomi daerah yaitu :
1. Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri.
2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari
pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka
pemerintahan nasional.
3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai
perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama
kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.
Keadaan geografis indonesia yang berupa kepulauan berpengaruh terhadap
mekanisme pemerintahan negara, sehingga diperlukan adanya otonomi daerah
untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerrintahan yang ada di
Indonesia.
Dalam otonomi daerah terdapat prinsip dan tujuan dari otonomi daerah,
Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan
daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Kemudian dalam otonommi daerah, terdapat demokrasi yang menjadi titik
temu antara otonomi daerah dan keindonesiaan, dan karena itu penguatan
demokrasi menjadi prasarat bagi terbentuknya hubungan yang kongruen antara
keindonesiaan dan kedaerahan, antara otonomi daerah dan NKRI.

DAFTAR PUSTAKA
Pheni Chalid. 2005. Otonomi Daerah, Masalah, Pemberdayaan dan Konflik.
Adviser for Decentralization and Regional Autonomy, Partnership for
Governance Reform
Sarundajang,S.H, 1999, Arus balik Kekuasaan Pusat Ke daerah, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta
Soejito, Irawan, 1976, Sejarah Pemerintahan Daerah Di Indonesia jilid 1&2,
Pradnya Paramita, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai