Anda di halaman 1dari 3

HANUNG YUDHA FEBRIANTO / 16811043 / A

Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam yang ditandai dengan
kenaikan tekanan darah arteri secara persisten. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak
diketahui (essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di
kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal
sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab
hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial.
contoh penyakit yang menjadi komorbid terjadinya hipertensi sekunder adalah penyakit ginjal kronis,
hiperaldosteronisme primer, penyakit renovaskular, sindroma Cushing, pheochromocytoma, koarktasi aorta,
penyakit tiroid atau paratiroid. Sedangkan contoh obat yang dapat memicu timbulnya hipertensi sekunder adalah
kortikosteroid, ACTH, estrogen (biasanya pil KB dengan kadar estrogen tinggi), NSAID, cox-2 inhibitor,
fenilpropanolamine dan analognya, cyclosporin dan tacrolimus, eritropoetin, sibutramin, antidepresan (terutama
venlafaxine)(1).
Secara patofisiologi mekanisme terjadinya hipertensi dapat dijelaskan. tekanan darah arteri adalah
tekanan yang diukur pada dinding arteri dalam millimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya
diukur, tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). Banyak faktor yang mengontrol tekanan
darah berkontribusi secara potensial dalam terbentuknya hipertensi; faktor-faktor tersebut adalah: 1.
Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau variasi diurnal), mungkin berhubungan
dengan meningkatnya respons terhadap stress psikososial dll; 2. Produksi berlebihan hormon yang menahan
natrium dan vasokonstriktor; 3. Asupan natrium (garam) berlebihan; 4. Tidak cukupnya asupan kalium dan
kalsium; 5. Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi angiotensin II dan
aldosteron; 6. Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada pembuluh darah kecil di ginjal;
7. Diabetes mellitus; 8. Resistensi insulin; 9. Obesitas; 10. Meningkatnya aktivitas vascular growth factors.
Klasifikasi tekanan darah oleh JNC(Joint National Committe) 7 untuk pasien dewasa (umur 18 tahun)
berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis mencakup
4 kategori yaitu : Normal TS<120 dan TD<80; Prehipertensi TS=120-139 atau TD=80-89; Hipertensi stage 1
TS=140-159 atau TD=90-99; Hipertensi stage 2 TS160 atau TD100(1). Faktor resiko mayor: hipertensi,
merokok, obesitas (BMI 30), immobilitas, dislipidemia, diabetes mellitus, mikroalbuminuria atau perkiraan
GFR<60 ml/min, umur (>55 tahun untuk laki-laki, >65 tahun untuk perempuan), riwayat keluarga untuk penyakit
kardiovaskular prematur (laki-laki < 55 tahun atau perempuan < 65 tahun)(1).
Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah untuk menurunan mortalitas dan morbiditas yang
berhubungan dengan hipertensi. Mortalitas dan morbiditas ini berhubungan dengan kerusakan organ target
(misal: kejadian kardiovaskular atau serebrovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal); mengurangi resiko
merupakan tujuan utama terapi hipertensi, dan pilihan terapi obat dipengaruhi secara bermakna oleh bukti yang
menunjukkan pengurangan resiko. Terapi yang diberikan kepada penderita hipertensi berupa terapi farmakologi
dan terapi non farmakologi. Terapi non farmakologi berupa modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat
menurunkan tekanan darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk; mengadopsi
pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah
natrium; aktifitas fisik; tidak mengkonsumsi alkohol sama sekali. Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan
tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat
membebaskan pasien dari menggunakan obat(2).
Untuk terapi farmakologi, berdasarkan petunjuk dari JNC 8 menyatakan bahwa algoritma terapi
hipertensi mulai didasarkan pada hipertensi umum (tanpa penyakit penyerta diabetes atau gagal ginjal kronis)
dan hipertensi dengan DM dan GGK. Hipertensi umum usia 60 tahun target TD= TDS <150 mm Hg dan TDD
<90 mm Hg; terapi (non kulit hitam= mulai dengan diuretik tipe tiazid atau ACEI atau ARB atau CCB, tunggal
atau kombinasi), (kulit hitam= mulai dengan thiazide-type diuretic atau CCB, tunggal atau in kombinasi).
Hipertensi umum usia 60 tahun target TD= TDS <140 mm Hg dan TDD <90 mm Hg; terapi (non kulit hitam=
mulai dengan diuretik tipe tiazid atau ACEI atau ARB atau CCB, tunggal atau kombinasi), (kulit hitam= mulai
dengan thiazide-type diuretic atau CCB, tunggal atau in kombinasi). Hipertensi dengan penyerta DM tanpa
GGK target TD= TDS <140 mm Hg dan TDD <90 mm Hg; terapi (non kulit hitam= mulai dengan diuretik tipe
tiazid atau ACEI atau ARB atau CCB, tunggal atau kombinasi), (kulit hitam= mulai dengan thiazide-type diuretic
atau CCB, tunggal atau in kombinasi). Hipertensi dengan penyerta GGK dengan atau tanpa DM target TD= TDS
<140 mm Hg dan TDD <90 mm Hg; terapi untuk semua ras dimulai dengan ACEI atau ARB, tunggal atau
kombinasi dengan kelas terapi lain. Dari keempat klasifikasi tersebut diberikan secara titrasi menggunakan
pilihan strategi: A. Maksimalkan obat pertama sebelum menambahkan terapi kedua; B. Menambahkan obat
kedua sebelum sampai pada dosis maksimum dari obat pertama; C. Memulai dengan 2 kelas terapi berbeda
secara terpisah atau secara kombinasi dosis pasti(3).

Pada hipertensi darurat (emergency) penderita dapat diberikan terapi yang dapat mereduksi tekanan
arteri rata-rata diatas 25% selama menit-jam sebagai target utama. Tujuannya adalah untuk mencegah
kerusakan pada organ lain karena tekanan darah terlalu tinggi. Obat yang dapat diberikan pada hipertensi
darurat adalah Obat yang dapat diberikan adalah Nitroprusida (IV dengan laju 0,25-10 g/kg/menit dengan onset
aksi hipotensi langsung terjadi dan menghilang 2-5 menit setalah dihentikan), Nitrogliserin (IV laju 5-100
g/menit dengan tolerasin 24-48 jam), Nikardipin (IV 5-15 mg/jam, ditambahkan 1-2,5 mg/jam setelah 15 menit),
Felodopam (IV laju 0,1-0,3 mck/kg/menit), Labetalol (dosis awal 20 mg secara injeksi IV perlahan periode 2
menit diikuti dengan injeksi tambahan 40-80 mg selang 10 menit, hinga dosis total 300 mg. Dapat diberikan juga
infus kontinyu dengan laju awal 0,5-2 mg/menit), dan Hidralazin (IV dengan melarutkan 10-20 mg di 20 mL
dekstrosa 5% dalam air dan diberikan dengan laju 0,5-1 mL/menit. Onset aksi selang waktunya 10-30 menit dan
efeknya berlangsung 2-4 jam) (Sasee, 2015)(4).
Komplikasi hipertensi yang mungkin terjadi diantaranya: Gagal Jantung, ACEI adalah pilihan obat utama
berdasarkan hasil dari beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dan morbiditas. Diuretik juga
merupakan terapi lini pertama karena mengurangi edema dengan menyebabkan diuresis. ACEI harus dimulai
dengan dosis rendah pada pasien dengan gagal jantung, terutama pada pasien dengan eksaserbasi akut, terapi
dengan penyekat beta digunakan untuk mengobati gagal jantung sistolik untuk pasien-pasien yang sudah
mendapat standar terapi dengan ACEI dan furosemid, ARB dapat digunakan sebagai terapi alternatif untuk
pasien-pasien yang tidak dapat menoleransi ACEI; Pasca Infark Miokard, Guideline untuk pasca infark miokard
oleh American College of Cardiology/American Heart Association merekomendasikan terapi dengan penyekat
beta (agen yang tanpa aktifitas intrinsik simpatomimetik [ISA]) dan ACEI. Penyekat beta menurunkan stimulasi
adrenergik jantung (cardiac adrenergic stimulation). ACE inhibitor memperbaiki cardiac remodeling, fungsi
jantung dan menurunkan kejadian kardiovaskular setelah infark miokard; Penyakit Ginjal Kronis, ACEI dan
ARB mempunyai efek melindungi ginjal (renoprotektif) dalam progres penyakit ginjal diabetes dan non-diabetes.
Salah satu dari kedua obat ini harus digunakan sebagai terapi lini pertama untuk mengontrol tekanan darah dan
memelihara fungsi ginjal pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis(1).
Penyakit Ginjal kronik adalah suatu proses patofisologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan
penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal
ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu
derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis atau transplantasi ginjal. Klasifikasi
penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat penyakit dan atas dasar diagnosis
etiologi. Kerusakan ginjal dengan FLG normal > 90 ml/menit/1,73 m2; Kerusakan ginjal dengan FLG ringan 60
89 ml/menit/1,73 m2; Kerusakan ginjal dengan FLG sedang 30 59 ml/menit/1,73 m2; Kerusakan ginjal
dengan FLG berat 15 29 ml/menit/1,73 m2; Gagal Ginjal < 15 atau dialysis(5).
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya,
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan fungsional nefronb yang masih tersisa
(surviving nephorns) sebagai upaya konpensasi yang dipelantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadi hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin- angiotensinaldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, skelorosis dan progresifitas
tersebut. Aktivitas jangka panjang aksi renin angiotansin-aldosteron, sebagian ddipelantarai oleh growth factor
(TGF-). Faktor resiko yang memperantarai GGK adalah: glomerulonefritis; penyakit ginjal herediter; hipertensi
esensial; uroipati obstruktif; infeksi saluran kemih dan ginjal (pielonefritis); nefritis Interstisial(6).
Assessment terkait dengan kasus skenario tidak terdapat DRP pada pengobatan pasien, akan tetapi
terdapat non DRP yang berupa ketidakpatuhan pasien dalam meminum obat. Rencana terapi yang akan
diberikan kepada pasien telah sesuai dengan kasus yaitu pemberian captopril 50 mg dan amplodipin 10 mg.
Berdasarkan dari jurnal yang didapat, dijelaskan bahwa pasien hipertensi dengan GGK, kombinasi antara
amlodipine dengan ACEI (dalam hal ini captopril) memiliki keuntungan yang baik dalam melindungi ginjal
dibandingkan hanya monoterapi amlodipine saja. Monitoring yang dilakukan terhadap pengobatan pada pasien
adalah evaluasi tekanan darah pasien, monitoring hipotensi ortostatik, monitoring efek samping captopril (batuk
kering, kelelahan, dispenia, dan insomnia) dan amlodipine (sakit kepala, oedema, mual). Sedangkan untuk terapi
non farmakologi yang diberikan pada pasien adalah menerapkan pola makan DASH yaitu diet kaya dengan
buah, sayur dan produk susu rendah lemak serta diet rendah garam, Natrium yang direkomendasikan yaitu <2,4
gr (100meq)/hari. Olahraga seperti lari ringan, berenang, bersepeda selama 30 menit/hari. Menurunkan berat
padan sampai dengan BMI normal (18,5 24.9), bila pasien merokok atau minum alkohol sebaiknya dihentikan.
Penangan non DRP yang berupa ketidakpatuhan pasien dalam minum obat dapat ditangani dengan cara
mengajak anggota keluarga untuk aktif dalam mengingatkan minum obat kepada pasien, membuatkan pasien

jadwal atau kalender minum obat, dan mengingatkan pasien dengan cara menghubungi pasien via telpon atau
sms ketika waktu minum obat tiba. berdasarkan data lab pasien diketahui jika kolesterol total pasien lebih dari
normal (150-200) yaitu 210, peningkatan dapat diperbaiki atau diturunkan dengan cara memodifikasi gaya hidup.
Daftar Pustaka
1. Anonim, 2009, Pharmaceutical CareUntuk Penyakit Hipertensi, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
2. Anonim, 2003, The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, National Heart, Lung, and Blood Institute, Boston.
3. James, P. A., dkk., 2013, Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in
Adults; Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee, American
Medical Association, Iowa City.
4. Sasee, J. J. And Maclaughlin, E. J., 2015, Hypertension in Dipiro; Pharmacoteraphy Approach 9th edition.
McGraw-Hill Companies,
5. Sudoyo A.W., dkk., 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran Indonesia, Jakarta.
6. Sukandar E., 2006, Nefrologi Klinik. Pusat Informasi Ilmiah, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai