Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. LANDASAN TEORI
1. Aedes aegypti
Filum:
Arthropoda
Kelas:
Insecta
Ordo:
Diptera
Famili:
Culicidae
Genus:
Aedes
Upagenus:
Stegomyia
Spesies:
Ae. Aegypti
Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue
penyebab penyakit demam berdarah. Selain dengue, A. aegypti juga merupakan
pembawa virus demam kuning (yellow fever) dan chikungunya. Penyebaran jenis
ini sangat luas, meliputi hampir semua daerah tropis di seluruh dunia. Sebagai
pembawa virus dengue, A. aegypti merupakan pembawa utama (primary vector)
dan bersama Aedes albopictus menciptakan siklus persebaran dengue di desa dan
kota.
Mengingat keganasan penyakit demam berdarah, masyarakat harus mampu
mengenali dan mengetahui cara-cara mengendalikan nyamuk jenis ini untuk
membantu mengurangi persebaran penyakit demam berdarah.

10

Gambar 1. Nyamuk Aedes aegypti


Stephen L. Dogget, 2003

a.

Morfologi

1). Telur

Telur Ae.aegypti mempunyai dinding yang bergaris-garis dan mempunyai


gambaran kain kasa (Gandahusada,1998). Telur berbentuk elips berwarna hitam
dan terpisah satu dengan yang lain. Umumnya nyamuk akan meletakkan telurnya
pada suhu 20-300 C. Telur Aedes aegypti dapat bertahan pada kondisi
kering dengan waktu dan intensitas yang bervariasi hingga
beberapa bulan, tetapi tetap dalam kondisi hidup. Jika tergenang
air, beberapa telur mungkin menetas dalam beberapa menit,
sedangkan yang lain mugkin membutuhkan waktu lama
terbenam dalam air. Telur menetas dalam 1 sampai 2 hari
menjadi larva.

Gambar 2. Telur Aedes aegypti


Adnan Agnesa, 2011

11

2). Larva

Terdapat empat tahapan dalam perkembangan larva yang disebut instar.


Perkembangan dari instar 1 ke instar 4 memerlukan waktu sekitar 5 hari. Setelah
mencapai instar ke-4, larva berubah menjadi pupa dimana larva memasuki masa
dorman. Pupa bertahan selama 2 hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar
dari pupa. Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu
7 hingga 8 hari, namun dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak
mendukung.
Ciri khas dari larva Aeses aegypti adalah :
-

Adanya corong udara (Siphon) pada segmen terakhir.


-

Pada segmen-segmen abdomen tidak dijumpai adanya rambut-rambut


berbentuk kipas (rambut palma).

Pada corong udara (sipon) terdapat pecten.

Sepasang rambut serta jumbai akan dijumpai pada sipon.


-

Ada setiap sisi abdomen segmen kedelapan ada comb scale sebanyak 821
atau berjejer 1 sampai 3.

Bentuk individu comb scale seperti duri.


-

Pada sisi thorax terdapat duri yang panjang dengan bentuk kurva dan
adanya sepasang rambut di kepala.

12

Corong udara atau sipon dilengkapi pecten.

Gambar 3. Larva Aedes aegypti


Stephen L. Dogget, 2003

a). Larva Instar III Aedes aegypyi

Telur yang telah menetas akan melalui 4 fase pengelupasan kulit (instar). Larva
instar I yang berukuran 1-2 mm, setelah 2 hari akan menjadi larva instar II dengan
panjang tubuh menjadi 2,3-3.9 mm. Setelah 2-3 hari kemudian akan menjadi larva
instar III dengan panjang tubuh 5 mm dengan ciri ciri duri pada thorak mulai
terlihat jelas dengan warna sifon menghitam.

Gambar 4. Siklus telur-larva instar III


Nyamuk Aedes aegypti
Adnan Agnesa 2011

3). Pupa

13

Pupa merupakan stadium tidak makan dan sebagian besar waktunya dihabiskan
dipermukaan air untuk mengambil udara melalui terompet respirasinya. Periode
pertumbuhan pupa menjadi dewasa di daerah tropik selama 2-3 hari, sedangkan di
daerah subtropik dapat mencapai 9-12 hari.

Gambar 5. Pupa Aedes aegypti


Stephen L. Dogget, 2003

4). Dewasa

Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran
nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus), mempunyai warna dasar hitam dengan
bintik-bintik putih terutama pada kakinya. Morfologinya khas yaitu mempunyai
gambaran lira (lyre-form) yang putih pada punggungnya (mesonotum). Nyamuk
Aedes aegypti dewasa memiliki ukuran sedang dengan tubuh berwarna hitam
kecoklatan. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan gari-garis putih
keperakan. Di bagian punggung (dorsal) tubuhnya tampak dua garis melengkung
vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri dari spesies ini. Sisik-sisik
pada tubuh nyamuk pada umumnya mudah rontok atau terlepas sehingga
menyulitkan identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua.

14

Ukuran dan warna nyamuk jenis ini kerap berbeda antar populasi, tergantung dari
kondisi lingkungan dan nutrisi yang diperoleh nyamuk selama perkembangan.
Nyamuk jantan dan betina memiliki perbedaan dalam hal ukuran. Nyamuk jantan
pada umumnya lebih kecil dari betina dan terdapat banyak rambut-rambut tebal
pada antena nyamuk jantan. Kedua ciri ini dapat diamati dengan mata telanjang.

Gambar 6. Morfologi Nyamuk Dewasa Aedes aegypti


Adnan Agnesa, 2011

b.

Perilaku dan Siklus Hidup

Aedes aegypti bersifat diurnal atau aktif pada pagi hingga siang hari. Penularan
penyakit dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang
menghisap darah. Hal itu dilakukan untuk memperoleh asupan protein yang
diperlukan untuk memproduksi telur. Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah,
dan memperoleh energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan. A. aegypti
menyenangi area yang gelap dan benda-benda berwarna hitam atau merah.

15

Demam berdarah kerap menyerang anak-anak karena anak-anak cenderung duduk


di dalam kelas selama pagi hingga siang hari dan kaki mereka yang tersembunyi
di bawah meja menjadi sasaran empuk nyamuk Aedes aegypti (Gandahusada,
1998).

Infeksi virus dalam tubuh nyamuk dapat mengakibatkan perubahan perilaku yang
mengarah pada peningkatan kompetensi vektor, yaitu kemampuan nyamuk
menyebarkan virus. Infeksi virus dapat mengakibatkan nyamuk kurang handal
dalam menghisap darah, berulang kali menusukkan proboscisnya, namun tidak
berhasil mengisap darah sehingga nyamuk berpindah dari satu orang ke orang
lain, akibatnya risiko penularan virus menjadi semakin besar.

Di Indonesia, nyamuk A. aegypti umumnya memiliki habitat di lingkungan


perumahan, di mana terdapat banyak genangan air bersih dalam bak mandi
ataupun tempayan. Oleh karena itu, jenis ini bersifat urban, bertolak belakang
dengan A. albopictus yang cenderung berada di daerah hutan berpohon rimbun
(sylvan areas).

Nyamuk Betina meletakkan telurnya di dinding tempat perindukkanya 1-2 cm di


atas permukaan air. Seekor nyamuk betina dapat meletakkan rata-rata 100 butir
telur tiap kali bertelur. Setelah kira-kira 2 hari telur menetas menjadi larva lalu
mengadakan pengelupasan kulit sebanyak 4 kali, tumbuh menjadi pupa dan
akhirnya menjadi dewasa. Pertumbuhannya dari telur menjadi dewasa
memerlukan waktu kira-kira 9 hari. Telur Aedes aegypti tahan kekeringan dan
dapat bertahan hingga 1 bulan dalam keadaan kering.

16

Jika terendam air, telur kering dapat menetas menjadi larva. Sebaliknya,larva
sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya. Kondisi larva saat
berkembang dapat memengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang dihasilkan.
Sebagai contoh, populasi larva yang melebihi ketersediaan makanan akan
menghasilkan nyamuk dewasa yang cenderung lebih rakus dalam mengisap darah.

Tempat perindukan utama Ae.aegypti adalah tempat-tempat berisi air bersih yang
berdekatan letaknya dengan rumah penduduk, biasanya tidak melebihi jarak 500
meter dari rumah. Tempat perindukan tersebut berupa tempat perindukan buatan
manusia; seperti tempayan/ gentong tempat penyimpanan air minum, bak mandi,
pot bunga, kaleng, botol, drum, ban mobil yang terdapat dihalaman rumah atau di
kebun yang berisi air hujan, juga berupa tempat perindukan alamiah; seperti
kelopak daun tanaman (keladi, pisang), tempurung kelapa, tonggak bambu dan
lubang pohon yang berisi air hujan. Di tempat perindukan Ae.aegypti seringkali
ditemukan larva Ae.albopictus yang hidup bersama-sama.

Gambar 7. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti


Adnan Agnesa, 2011

17

c.

Pengendalian Populasi Nyamuk

Pada saat ini pemberantasan Ae.aegypti merupakan cara utama yang dilakukan
untuk memberantas DBD (Demam Berdarah Dengue), karena vaksin untuk
mencegah dan obat untuk membasmi virusnya belum tersedia. Pemberantasan
Ae.aegypti dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa dan jentiknya. Program yang
sering dikampanyekan di Indonesia adalah 3M, yaitu menguras, menutup, dan
mengubur.
Menguras bak mandi, untuk memastikan tidak adanya larva nyamuk
yang berkembang di dalam air dan tidak ada telur yang melekat pada
dinding bak mandi.
Menutup tempat penampungan air sehingga tidak ada nyamuk yang
memiliki akses ke tempat itu untuk bertelur.
Mengubur barang bekas sehingga tidak dapat menampung air hujan dan
dijadikan tempat nyamuk bertelur.

1) Pemberatasan Nyamuk Dewasa


Pemberantasan nyamuk dewasa, dilakukan dengan cara penyemprotan
(pengasapan, = fogging) dengan insektisida yaitu:
-

Organofosfat misalnya malation, fenitrotion

Piretroid sintetik, misalnya lamda sihalotrin, permetrin

Karbamat

18

2) Pemberantasan Jentik Nyamuk


Pemberantasan Jentik Ae.aegypti yang dikenal dengan istilah Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN), dilakukan dengan cara :
a) Kimia : Pemberantasan larva dilakukan dengan larvasida yang dikenal
dengan istilah abatisasi. Larvasida yang biasa digunakan adalah
temefos. Formulasi temefos yang digunakan ialah granules
(Sandgranules). Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10 gram ( 1 sendok
makan rata) untuk tiap 100 liter air. Abatisasi dengan temefos tersebut
mempunyai efek residu 3 bulan.
b) Biologi : Misalnya memelihara ikan pemakan jentik (Ikan kepala Timah,
Ikan Guppy)
c) Fisik : Cara 3 M (Menguras, Menutup, Mengubur)
Penggunaan insektisida yang berlebihan tidak dianjurkan, karena sifatnya
yang tidak spesifik sehingga akan membunuh berbagai jenis serangga
lain yang bermanfaat secara ekologis. Penggunaan insektisida juga
akhirnya memunculkan masalah resistensi serangga sehingga
mempersulit penanganan di kemudian hari.

19

2. BABADOTAN (Ageratum conyzoides)

Ordo:
Famili:

Asterales
Asteraceae

Bangsa:

Eupatorieae

Genus:

Ageratum

Spesies:

A. conyzoides

Nama binomial Ageratum conyzoides

Babadotan (Ageratum conyzoides) adalah sejenis gulma pertanian anggota suku


Asteraceae. Terna semusim ini berasal dari Amerika tropis, khususnya Brazil,
akan tetapi telah lama masuk dan meliar di wilayah Nusantara. Disebut juga
sebagai babandotan atau babadotan, wedusan, dus-bedusan, serta Billygoat-weed,
Goatweed, Chick weed, atau Whiteweed dalam bahasa Inggris, tumbuhan ini
mendapatkan namanya karena bau yang dikeluarkannya menyerupai bau kambing.

Gambar 8. Tanaman Babadotan (Ageratum conyzoides)

20

Andi Cahyadi, 2010

a. Morfologi
Terna berbau keras, berbatang tegak atau berbaring, berakar pada bagian yang
menyentuh tanah, batang gilig dan berambut jarang, sering bercabang-cabang,
dengan satu atau banyak kuntum bunga majemuk yang terletak di ujung, tinggi
hingga 120 cm. Daun-daun bertangkai, 0,55 cm, terletak berseling atau
berhadapan, terutama yang letaknya di bagian bawah. Helaian daun bundar telur
hingga menyerupai belah ketupat, 210 0,55 cm; dengan pangkal agak-agak
seperti jantung, membulat atau meruncing; dan ujung tumpul atau meruncing;
bertepi beringgit atau bergerigi; kedua permukaannya berambut panjang, dengan
kelenjar di sisi bawah.
Bunga-bunga dengan kelamin yang sama berkumpul dalam bongkol rata-atas,
yang selanjutnya (3 bongkol atau lebih) terkumpul dalam malai rata terminal.
Bongkol 68 mm panjangnya, berisi 6070 individu bunga, di ujung tangkai yang
berambut, dengan 23 lingkaran daun pembalut yang lonjong seperti sudip yang
meruncing. Mahkota dengan tabung sempit, putih atau ungu. Buah kurung
(achenium) bersegi-5, panjang lk. 2 mm; berambut sisik 5, putih.
b. Distribusi

21

Tumbuhan ini menyebar luas di seluruh wilayah tropika, bahkan hingga


subtropika. Didatangkan ke Jawa sebelum 1860, kini gulma ini telah menyebar
luas di Indonesia. Bandotan sering ditemukan sebagai tumbuhan pengganggu di
sawah-sawah yang mengering, ladang, pekarangan, tepi jalan, tanggul, tepi air,
dan wilayah bersemak belukar.
Ditemukan hingga ketinggian 3.000 m, terna ini berbunga sepanjang tahun dan
dapat menghasilkan hingga 40.000 biji per individu tumbuhan, karenanya gulma
ini dirasakan cukup mengganggu di perkebunan. Di luar Indonesia, bandotan juga
dikenal sebagai gulma yang menjengkelkan di Afrika, Asia Tenggara, Australia,
serta di Amerika Serikat.
c. Kandungan Kimia Daun
Daun babadotan (Ageratum conyzoides) yang sering kita lihat dipinggir jalan,
sawah, dan ladang yang sering dianggap sebagai gulma dan rumput yang kurang
berdaya guna ternyata bermanfaat dan memiliki berbagai macam, karena
mengandung saponin, flavanoid, polifenol, dan minyak atsiri.
Herba bandotan mengandung asam amino, organacid, pectic substance, minyak
asiri kumarin, ageratochromene, friedeline, sitosterol, stigmasterol, tanin,
sulfur, dan potassium chlorida. Akar bandotan mengandung minyak atsiri, alkaloid
dan kumarin (Sianturi, 2009).

1) Saponin

22

Saponin adalah sekelompok senyawa dengan struktur triterpen


yang mengikat satu atau lebih gula. Dengan struktur ini saponin
memiliki sisi hidrofil dan lipofil yang jika dilakukan
penggoncangan akan menimbulkan buih. Saponin jika terpecah
dari gulanya disebut dengan sapogenin (Saifudin, 2011).
Saponin juga merupakan jenis glikosida metabolit sekunder yang banyak
ditemukan dalam tumbuhan, terdiri dari gugus gula yang berikatan dengan
aglikon atau sapogenin.
Senyawa ini bersifat racun bagi binatang berdarah dingin. Oleh karena itu dapat
digunakan untuk pembasmi hama tertentu. (Ditjen Budidaya Perikanan, 2010)
Saponin memiliki karakteristik berupa buih. Sehingga ketika direaksikan dengan
air dan dikocok maka akan terbentuk buih yang dapat bertahan lama. Saponin
mudah larut dalam air dan tidak larut dalam eter. Saponin memiliki rasa pahit
menusuk dan menyebabkan bersin serta iritasi (http://www.farmasi.asia/tag/).

Gambar 9. Struktur Kimia Golongan Saponin


Farmasi Asia, 2010

2) Flavanoid

23

Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari dari 15 atom karbon yang umumnya
tersebar di dunia tumbuhan. Lebih dari 2000 flavonoid yang berasal dari
tumbuhan telah diidentifikasi, namun ada tiga kelompok yang umum dipelajari,
yaitu antosianin, flavonol, dan flavon. Antosianin (dari bahasa Yunani anthos ,
bunga dan kyanos, biru-tua) adalah pigmen berwarna yang umumnya terdapat di
bunga berwarna merah, ungu, dan biru. Pigmen ini juga terdapat di berbagai
bagian tumbuhan lain misalnya, buah tertentu, batang, daun dan bahkan akar.
Flavanoid sering terdapat di sel epidermis.
Sebagian besar flavonoid terhimpun di vakuola sel tumbuhan walaupun tempat
sintesisnya ada di luar vakuola (Wikipedia, 2011). Flavanoid merupakan
subgolongan polifenol yang terdistribusi luas diberbagai tanaman dengan aktivitas
yang sangat beragam dan seringkali mendukung aktivitas senyawa utama atau
bersifat sinergisme (Saifudin, 2011).

Gambar 10. Struktur Kimia Golongan Flavanoid


Wikipedia, 2011

3) Polifenol

24

Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan pada tumbuhan. Zat ini
memiliki tanda khas yakni memiliki banyak gugus fenol dalam molekulnya.
Polifenol berperan dalam memberi warna pada suatu tumbuhan seperti warna
daun saat musim gugur (Wikepedia, 2010).
Polifenol (polyphenol) merupakan senyawa kimia yang terkandung di dalam
tumbuhan dan bersifat antioksidan kuat. Polifenol adalah kelompok antioksidan
yang secara alami ada di dalam sayuran (brokoli, kol, seledri), buah-buahan (apel,
delima, melon, ceri, pir, dan stroberi), kacang-kacangan (walnut, kedelai, kacang
tanah), minyak zaitun, dan minuman (seperti teh, kopi, cokelat dan anggur
merah/red wine) (Purwadiastuti,2009).
Senyawa polifenol terdiri dari beberapa subkelas yakni, flavonol, isoflavon
(dalam kedelai), flavanon, antosianidin, katekin, dan biflavan. Turunan dari
katekin seperti epikatekin, epigalo-katekin, apigalo-katekin galat, dan quercetin
(Purwadiastuti,2009). Fenolat memilik berbagai macam aktivitas misalnya
antibakteri, antijamur, antioksidan kuat, sedatif dan lain-lain. Hampir semua
tanaman memiliki polifenol (Saifudin, 2011).

Gambar 11. Struktur Kimia Golongan Polifenol


Anonim, 2011

25

3. INSEKTISIDA
Insektisida adalah bahan yang mengandung persenyawaan kimia yang digunakan
untuk membunuh serangga. Insektisida yang baik (ideal) mempunyai sifat sebagai
berikut : 1) mempunyai daya bunuh yang besar dan cepat serta tidak berbahaya
bagi binatang vertebrata termasuk manusia dan ternak; 2) murah harganya dan
mudah didapat dalam jumlah yang besar; 3) mempunyai susunan kimia yang
stabil dan tidak mudah terbakar; 4) mudah dipergunakan dan dapat dicampur
dengan berbagai macam bahan pelarut dan 5) tidak berwarna dan tidak berbau
yang tidak menyenangkan.
Beberapa istilah yang berhubungan dengan insektisida adalah : 1) Ovisida =
Insektisida untuk membunuh stadium telur; 2) larvasida = insektisida untuk
membunuh stadium larva/nimfa; 3) adultisida = insektisida untuk membunuh
stadium dewasa; 4) akarisida (mitisida) = insektisida untuk membunuh stadium
tungau; 5) pedikulisida (lousisida) = insektisida untuk membunuh tuma.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam upaya membunuh serangga dengan
insektisida adalah mengetahui spesies serangga yang akan dikendalikan,
ukuranya, susunan badannya, stadiumnya, sistem pernafasan dan bentuk
mulutnya. Juga penting mengetahui habitat dan perilaku serangga dewasa
termasuk bentuk kebiasaan makannya (Soedarto,1992).
a. Pembagian Insektisida

26

Menurut bentuknya, insektisida dapat berupa bahan padat, larutan dan gas. Bahan
padat : 1) Serbuk (dust), berukuran 35200 mikron dan tembus 20 mesh screen, 2)
granula (Granules), berukuran sebesar butir-butir gula pasir dan tidak tembus 20
mesh screen, 3) pellets, berukuran kira-kira 1 cm3.
Larutan ; 1) Aerosol dan fog, berukuran 0,150 mikron; 2) kabut (mist), berukuran
50100 mikron; 3) semprotan (spray), berukuran 100500 mikron. Gas : 1) asap
(fumes dan smokes), berukuran 0,0010,1 mikron; 2) uap (Vapours), berukuran
kurang dari 0,001 mikron.

Menurut cara masuknya ke dalam badan serangga, insektisida dibagi dalam ;

1) Racun Kontak (contact poissons)


Insektisida masuk melalui eksoskelet ke dalam badan serangga dengan
perantaraan tarsus (jari-jari kaki) pada waktu istirahat di permukaan yang
mengandung residu insektisida. Pada umumnya dipakai untuk
memberantas serangga yang mempunyai bentuk mulut tusuk isap.

2) Racun perut (stomach poissons)

27

Insektisida masuk ke dalam badan serangga melalui mulut, jadi harus


dimakan. Biasanya serangga yang diberantas dengan menggunakan
insektisida ini mempunyai bentuk mulut untuk menggigit, lekat isap, kerat
isap, dan bentuk mengisap.
3)Racun Pernafasan (fumigans)
Insektisida masuk melalui sistem pernafasan (spirakel) dan juga melalui
permukaan badan serangga. Insektisida ini dapat digunakan untuk
memberantas semua jenis serangga tanpa harus memperhatikan bentuk
mulutnya. Penggunaan insektisida ini harus berhati-hati sekali terutama
bila digunakan untuk pemberantasan serangga di ruang tertutup.
Menurut macam bahan kimia, insektisida dibagi dalam : 1) insektisida anorganik
(inorganic insecticides), 2) insektisida organik berasal dari alam (natural organic
insecticides) dan 3) insektisida organik sintetik (synthetic organic insecticides)
(Gandahusada, 1998).
Insektisida anorganik terdiri dari golongan sulfur dan merkuri (SO2, CuSO4,
HgCl2), golongan arsenikum (Paris Green = Cu (C2H3O2. 3-Cu(As3O2)2, lead
arsenate = PbHAsO4, Ca arsenate = Ca3(AsO4)2) dan golongan fluor (Cryolite =
Na3A1F3, NaF).
Insektisida organik dari alam terdiri dari golongan insektisida berasal dari
tumbuh-tumbuhan (Piretrum, Rotenon, Nikotin, Sabadila) dan golongan
insektisida berasal dari bumi (minyak tanah, minyak solar, minyak pelumas).

28

Insektisida Organik sintetik terdiri dari golongan organik klorin (DDT, dieldrin,
feniltrotion, abate, DDVP, diptereks), golongan organik nitrogen (dinitrofenol),
golongan sulfur (karbamat) (Baygon, Sevin) dan golongan tiosianat (Letena,
Tanit) (Gandahusada, 1998).
b. Metoda Penggunaan Insektisida
Untuk memilih jenis insektisida dalam usaha memberantas serangga, maka harus
dipertimbangkan berbagai faktor yaitu spesies serangga yang dituju, stadium
serangga yang ingin diberantas apakah stadium telur, larva atau dewasa,
lingkungan hidup di daerah yang akan diberantas serangganya (apakah di air,
apakah pemberantasannya ditujukan terhadap serangga yang terbang di udara,
apakah serangga tersebut berada pada tumbuhan atau di dalam tanah) dan
bagaimana sifat-sifat biologik serangga yang akan diberantas agar dapat dipilih
insektisida yang paling mudah masuk ke dalam tubuh serangga,
misalnya dengan mengetahi cara hidup, cara makan dan sistem pernafasan
serangga yang dituju.
Dengan demikian maka dapat dipilih jenis-jenis insektisida yang tepat dan
dilakukan pemberantasan dengan cara metode yang benar (Soedarto, 1992).
c. Resistensi Terhadap Insektisida
Suatu artropoda dikatakan telah kebal (resisten) terhadap sejenis insektisida bila
dengan menggunakan dosis yang biasa digunakan, artropoda tidak dapat dibunuh.
Resistensi dapat terjadi oleh karena berbagai sebab yaitu serangga memiliki

29

sistem enzim yang mampu menetralisi racun (insektisida), selain itu terdapatnya
timbunan lemak di dalam tubuh serangga dapat menyerap insektisida yang masuk
dan hambatan-hambatan lain yang mencegah penyerapan insektisida ke dalam
tubuh meningkatkan daya resistensi artropoda terhadap insektisida.
Selain faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya resistensi artropoda terhadap
insektisida adalah stadium serangga, generation time dan kompleksitas gen dari
artropoda. Insektisida yang bekerja terhadap semua stadium serangga, artinya
dapat membunuh baik stadium telur, larva, pupa, dan stadium dewasa misalnya
akan lebih cepat terjadi resistensi terhadapnya dibandingkan dengan insektisida
yang hanya bekerja terhadap satu stadium serangga. Serangga-serangga yang
mempunyai beberapa generasi dalam satu tahun, akan lebih cepat menjadi resisten
terhadap insektisida dibandingkan dengan serangga-serangga yang hanya
mempunyai satu generasi dalam satu tahunnya. Dalam hal kompleksitas dari gen,
semakin banyak gen yang mengatur kemampuan resistensi serangga terhadap
insektisida, makin lambat terjadinya reaksi.
Bila terjadi resistensi terhadap insektisida, maka selain dosis harus ditingkatkan,
juga harus diciptakan insektisida baru untuk memberantas serangga tersebut oleh
karena jika dosis terus ditingkatkan, pada suatu saat akan membahayakan
kesehatan manusia dan kesehatan lingkungan (Soedarto, 1992).
4. ETANOL
Etanol adalah bahan cairan yang telah lama digunakan sebagai obat dan
merupakan bentuk alkohol yang terdapat dalam minuman keras seperti bir,

30

anggur, wiski maupun minuman lainnya. Etanol merupakan cairan yang jernih
tidak berwarna, terasa membakar pada mulut maupun tenggorokan bila ditelan.
Etanol mudah sekali larut dalam air dan sangat potensial untuk menghambat
sistem saraf pusat terutama dalam aktivitas sistem retikuler.
Aktivitas etanol sangat kuat dan setara dengan bahan anastetik umum. Tetapi
toksisitas etanol relatif lebih rendah dari pada metanol ataupun isopropanol
(Darmono, 2005).
5. EKSTRAK
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstrasi zat aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan serbuk yang tersisa
diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan
(Farmakope, 1995).
Kecuali dinyatakan lain pelarut yang diperbolehkan dalam pembuatan ekstrak
adalah etanol. Pelarut organik selain etanol memiliki potensi toksisitas yang lebih
tinggi. Etanol memiliki kemampuan menyari dengan polaritas yang lebar mulai
senyawa non polar sampai dengan polar. Sedangkan peyari air cukup sulit
diuapkan pada suhu rendah sehingga berpotensi terdegradasinya komponen aktif
atau terbentuknya senyawa lain karena pemanasan. Ekstraksi dengan non pelarut
seperti superkritikal gas diperkenankan namun yang menjadi masalah adalah
aplikasi untuk industri masih sangat terbatas karena peralatan yang cukup mahal
(Saifudin, 2011).

31

a. Tekhnik Ekstrasi
Dalam pembuatan ekstrak terkait dengan tekhnik ekstraksi yang
dilakukan, pemilihan metode dalam pembuatan ekstrak juga
penting untuk dicermati. Metode ekstraksi seperti maserasi,
perkolasi, perkolasi berkesinambungan, atau Advande extractor
seperti superkritikal gas perlu disesuaikan dengan kemampuan
baik segi bahan baku, peralatan, efisiensi, dan hasil akhir yang
diinginkan (Saifudin, 2011).

1) Maserasi
Maserasi berasal dari bahasa latin maserare yang berarti merendam. Dalam proses
ini bahan baku yang telah dihaluskan direndam dalam cairan penyari hingga
jaringan-jaringan melunak dan penyari masuk kedalamnya melarutkan zat-zat
aktif darinya. Dalam proses ini bahan baku yang akan disari dimasukkan kedalam
botol bermulut lebar bersama-sama dengan penyari atau menstrum, kemudian
ditutup rapat (Ardani, 1990).
Selama 2 sampai 14 hari dibiarkan dalam botol tertutup tersebut sambil berulangulang dikocok. Pengocokan ini dimaksudkan supaya setiap kali ada penyari baru
pada permukaan bahan baku tersebut akan di ekstraksi kembali dengan pelarut.
Pada umumnya maserasi dilakukan pada suhu 150-200 C atau pada suhu kamar
selama 3 hari sampai semua zat yang dapat larut dalam penyari terlarut semua.
Cara pembuatan Maserasi menurut Farmakope yakni, kecuali dinyatakan lain, 10
bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok dimasukkan ke dalam sebuah

32

bejana, dituangi dengan 75 bagian cairan penyari lalu ditutup. Dibiarkan selama 5
hari terlindung dari cahaya sambil berulang kali dilakukan pengocokan. Setelah
itu diserkai dan disaring. Filtrat hasil saringan pertama kembali direndam dengan
penyari hingga diperoleh 100 bagian.
Maserat atau hasil proses filtrasi akhir disuling atau diuapkan pada tekanan rendah
pada suhu 500 C hingga konsistensi yang dikehendaki (agak kental), konsistensi
viskositas ekstrak dibandingkan dengan aquadest menggunakan pipet tetes
(Ardani, 1990). Pengentalan umumnya menggunakan tangas air, vacuum oven,
freeze bulk dryer. Untuk pengentalan secara sederhana dapat mengunakan tangas
air atau panci logam berisi air yang diatasnya digunakan panci stainless steel yang
berisi ekstrak cair (Saifudin, 2011). Cairan kental yang diperoleh dipindahkan ke
bejana tertutup, dibiarkan selama 2 hari di tempat yang sejuk terlindung dari
cahaya dan selanjutnya dapat digunakan.

B. Kerangka Teori

Nyamuk betina Aedes aegypti


menghisap darah manusia

Asupan protein telur terpenuhi,


Nyamuk bertelur 100 buah di
permukan air

Telur menetas menjadi fase


larva instar I-IV
Pemberian Ekstrak daun Babadotan

Larva instar III Aedes aegypti


dengan dengan
kandungan
Saponin,
terpajan
Ekstrak
daun
Pertumbuhan
Larva
terganggu,
Larva instar
III
Aedes
aegypti
Flavanoid,
dan
polifenol
pada
media
babadotan pada media air mereka
Larva
Aedes
aegypti
mati
bergerak
aktif
mencari
makan
air tempat
pertumbuhan
larva
tumbuh

Nyamuk dewasa betina menjadi


vektor virus Dengue

33

Memasuki masa pupa, kemudian


menjadi nyamuk dewasa siap
terbang

Virus Dengue tidak akan ditularkan


tanpa adanya vektor nyamuk Aedes
aegypti

Larva gagal tumbuh menjadi nyamuk


Aedes aegypti dewasa

C. Kerangka Konsep
Larva nyamuk instar III
Aedes aegypti ditaruh
pada media air

Larva instar III


nyamuk Aedes
aegpyti mati

34

Ekstrak daun
Babadotan dengan
konsentrasi 10.0%,
12.5%, 15.0%,

D. Definisi Operasional

35

Tabel 1. Tabel Definisi Operasional

N
O
1

Variabel
Penelitian
Variabel
Bebas :
Ekstrak
daun
babadotan

Variabel
Terikat:
Kematian
larva
Instar III
Aedes
aegypti

Definisi

Cara Ukur

Alat ukur

Hasil ukur

Ekstrak
yang dibuat
dari
simplisia
daun
babadotan,
yang telah
dikeringkan
pada cahaya
matahari
untuk
dihilangkan
kadar
airnya.
Pembuatan
ekstrak
(100%)
dilakukan
dengan cara
merendam
simplisia
dalam
etanol 70%
menggunak
an metode
maserasi.
Larva Aedes
aegypti yang
mati karena
terpajan
dengan
ekstrak
daun
babadotan
pada media
air.

Ekstrak
dibuat
tingkat
konsentrasi
yang
berbedabeda
menggunaka
n rumus
pengenceran
.

Labu
ukur

Kematian
larva
dihitung
dalam
kurun
waktu
selama 12
jam. Dengan
pencatatan
jumlah
kematian
setiap 2 jam
sekali dari
setiap

Observasi - Adanya
Kematian
Larva
Instar III
Aedes
aegypti
- Tidak
adanya
kematian
Larva
Instar III
Aedes
aegypti

Pengenceran
Ekstrak
dengan
Konsentrasi
10.0%,
12.5%,
15.0%,
17.5%, dan
20.0%.

Skala
ukur
Interva
l

Ratio

36

konesentrasi
ekstrak.

E. HIPOTESIS

Ekstrak daun babadotan mampu membunuh Larva Nyamuk Instar III Aedes
aegypti penyebab Demam Berdarah Dengue.

Anda mungkin juga menyukai