Anda di halaman 1dari 10

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Setelah dilakukan uji toksisitas ekstrak daun babadotan
(Ageratum conyzoides) terhadap jumlah kematian larva instar III
Aedes aegypti didapatkan hasil bahwa terjadi kematian larva
Aedes aegypti pada ekstrak daun babadotan dengan konsentrasi
10.0%, 12.5%, 15.0%, 17.5%, dan 20.0%. Hasil pengamatan
jumlah kematian larva setelah dilakukan uji toksisitas pada
berbagai tingkatan konsentrasi selama waktu 12 jam
menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengamatan akan
memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap jumlah
kematian larva (Gambar 12).

43

10
9
8
7

6
Jumlah Kematian Larva

II

III

IV

3
2
1
0

Gambar 12.
Histogram uji toksisitas ekstrak daun
babadotan terhadap jumlah kematian larva instar III
Aedes aegypti dengan 6 tingkatan konsentrasi dan 4
kali pengulangan.
Gambar histogram menunjukkan bahwa seluruh tingkatan
konsentrasi (kecuali kontrol 0.0 %) mampu membunuh larva
instar III Aedes aegypti dalam kurun waktu 12 jam.

Tabel 2.

Analisa sidik ragam (ANOVA) uji toksisitas ekstrak


daun babadotan (Ageratum conyzoides) terhadap
jumlah kematian larva instar III Aedes aegypti

Sumber
Keragaman
Perlakuan

Derajat
Bebas
5

Jumlah
Kuadrat

Kuadrat
Tengah

f
hitung

330.21

66.042

1651.0
5

0.04

Galat

18

0.75

Total

23

330.96

(Keterangan : perhitungan terdapat pada lampiran 10)

f tabel
0,05
0,01
2,77
4.25

44

Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pada uji ANOVA


pada taraf kesalahan 5 % dan 1 % diperoleh F hitung > F tabel,
yang berarti terdapat pengaruh perbedaan yang sangat nyata
pada konsentrasi ekstrak daun babadotan terhadap kematian
larva instar III Aedes aegypti sehingga dilanjutkan dengan Uji
Beda Nyata Terkecil (BNT 5 %) pada taraf 5% untuk melihat
tingkat kemaknaan perbedaan pada setiap konsentrasi. Hasil uji
BNT menunjukkan bahwa pada konsentrasi ekstrak daun
babadotan 0.0% dan 10.0% dapat memberikan pengaruh secara
nyata terhadap nilai rata-rata kematian larva, dan konsentrasi
12.5% merupakan konsentrasi yang efektif untuk membunuh
larva instar III Aedes aegypti. (Keterangan : perhitungan terdapat
pada lampiran 11)

B. Pembahasan
Hasil pengamatan uji toksisitas ekstrak daun babadotan terhadap
larva instar III Aedes aegypti menunjukkan bahwa dengan
perlakuan berbagai tingkatan konsentrasi ekstrak daun
babadotan (Ageratum conyzoides), menyebabkan terjadinya
kematian pada larva instar III Aedes aegypti. Hal ini
membuktikan bahwa ekstrak daun babadotan (Ageratum
conyzoides) bersifat toksis dan mampu mematikan larva instar III

45

Aedes aegypti diperkirakan karena adanya kandungan berbagai


macam zat aktif seperti saponin, flavanoid, dan polifenol yang terdapat
pada setiap konsentrasi ekstrak.
Saponin merupakan jenis glikosida metabolit sekunder yang banyak ditemukan
dalam tumbuhan, dan pada daun babadotan senyawa ini cukup mendominasi
sebagai produksi zat aktif terbanyak pada tanaman. Senyawa ini bersifat racun
bagi binatang berdarah dingin, oleh karena itu dapat digunakan untuk pembasmi
hama tertentu. Flavanoid dan polifenol merupakan senyawa satu
turunan yang memiliki daya antioksidan kuat, antijamur,
antibakteri dan berbagai macam khasiat lainya (Saifudin, 2011),
kandungan zat aktif ini berkontribusi dalam meracuni larva instar
III Aedes aegypti dalam uji toksisitas.
Zat aktif saponin, flavanoid, dan polifenol dalam daun babadotan
diambil dengan proses ekstraksi metode maserasi atau perendaman.
Dalam proses ini bahan baku daun babadotan yang telah dikeringkan dan
dihaluskan direndam dalam cairan penyari etanol 70% hingga jaringan-jaringan
melunak dan penyari masuk kedalamnya melarutkan zat-zat aktif dari daun
(Ardani, 1990).
Ekstraksi metode maserasi dipilih dalam penelitian ini untuk
mengambil seluruh zat aktif saponin, flavonoid, dan polifenol
yang terdapat dalam daun babadotan secara sederhana. Pelarut
etanol 70% yang digunakan akan menyari seluruh zat aktif dalam
daun babadotan dengan pengocokan secara berkala selama

46

beberapa hari yang dilanjutkan dengan proses penguapan pada


waterbath. Setelah diuapkan dengan waterbath ekstrak daun
babadotan diencerkan menjadi konsentrasi 10.0%, 12.5%, 15.0
%, 17.5%, dan 20.0%, selanjutnya ekstrak dapat digunakan
untuk uji toksisitas dalam membunuh larva instar III Aedes
aegypti.
Maserasi merupakan metode ekstraksi yang paling sederhana
yang hasilnya merupakan sediaan cair dari bahan nabati yang
direndam menggunakan larutan nonpolar (bukan air) seperti
etanol, methanol, aceton, dan etil asetat selama periode waktu
tertentu (Farmakope, 1995). Pemilihan pelarut dalam proses
maserasi juga harus diperhatikan untuk mendapatkan tingkat
efektivitas yang tinggi dalam menyari zat aktif dari simplisia
daun babadotan. Metode maserasi masih memiliki beberapa
kekurangan seperti, proses akhir maserasi berupa sediaan
ekstrak cair yang masih berwarna dan masih memiliki aroma
yang khas dari bahan nabati yang diekstrak, dan juga proses
penyarian yang memakan waktu berhari-hari membutuhkan
pelarut simplisia yang cukup banyak.
Terdapat banyak sekali jenis metode ekstraksi yang berbedabeda seperti maserasi, perkolasi, perkolasi berkesinambungan,
atau Advande extractor super kritikal gas. Proses ekstraksi
disesuaikan dengan kemampuan baik segi bahan baku,

47

peralatan, efisiensi, dan hasil akhir yang diinginkan (Saifudin,


2011).

Ekstraksi perkolasi dan perkolasi berkesinambungan merupakan


bagian ekstraksi cair padat yang sejenis dengan metode
maserasi namun memiliki beberapa kelebihan tersendiri dalam
proses penyarian bahan nabati (Harbone,1987 dalam Gunawan,
2008).
Ekstraksi perkolasi sinambung menggunakan komponenkomponen dengan metode fraksinasi menggunakan corong pisah
atau soxhlet untuk mengambil zat aktif yang terdapat pada
bahan nabati. Keuntungan dalam proses ini ialah lebih efektif
karena pelarut yang digunakan adalah pelarut murni hasil
fraksinasi sehingga dapat menyaring senyawa dalam simplisia
nabati lebih banyak dalam waktu yang singkat dibandingkan
maserasi, dan pelarut yang dibutuhkan juga lebih sedikit.
Kerugian cara ini adalah tidak dapat digunakan untuk senyawasenyawa termolabil (Harbone, 1987 dalam Gunawan, 2008).
Berdasarkan penelitian sebelumnya yakni uji toksisitas temephos
(abate) terhadap larva nyamuk Anopheles sp, diperoleh kadar
efektif 1 ppm abate digunakan dalam 1 liter air untuk membunuh
nyamuk Aedes aegypti sebanyak 100 ekor (Fahmi,2006), dari

48

penelitian ini penulis mengambil pemilihan jumlah sebanyak 10


ekor larva untuk memperoleh kemampuan yang maksimal dari
ekstrak dalam membunuh larva instar III dengan volume 100.0
ml air. Setiap perlakuan dibuat ulangan sebanyak 4 kali dengan
waktu pengamatan setiap 2 jam selama 12 jam.

Interaksi konsentrasi ekstrak daun babadotan dengan lamanya


waktu kematian larva instar III Aedes aegypti yang terjadi pada
uji toksisitas, menunjukkan bahwa interaksi konsentrasi 20.0 %,
17.5 %, 15.0 %, dan 12.5 % dengan waktu kematian 12 jam
merupakan konsentrasi yang efektif untuk membunuh larva
instar III Aedes aegypti.
Pemberian ekstrak daun babadotan memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap jumlah kematian larva instar III Aedes aegypti
pada setiap perlakuan konsentrasi. Pada konsentrasi terendah
(10.0 %) telah dapat membunuh larva sebanyak 62.5 % dalam
12 jam, pada konsetrasi ini tidak semua larva mengalami
kematian, hal ini diduga karena senyawa saponin, flavanoid, dan
polifenol dalam larutan hanya sedikit sehingga tingkat
keterpaparan larva terhadap zat aktif yang bersifat racun masih
mampu ditolerir oleh tubuh larva.

49

Pada konsentrasi kedua (12.5 %) telah mampu menyebabkan


kematian larva instar III Aedes aegypti sebanyak 100 % dalam 12
jam. Peningkatan yang signifikan pada jumlah kematian larva
instar III Aedes aegypti diduga karena bertambahnya konsentrasi
ekstrak, sehingga senyawa saponin, flavanoid, dan polifenol
dalam larutan juga bertambah.
Pada konsentrasi 12.5 %, 15.0 %, 17.5 %, dan 20.0 % kematian
larva instar III Aedes aegypti mencapai 100 %, hal ini
diperkirakan karena larva sudah tidak mampu menahan tingkat
keterpaparan zat aktif yang bersifat toksis pada konsentrasi 12.5
%.

Semakin meningkatnya konsentrasi diatas kadar 12.5 %


memungkinkan terjadinya pula peningkatan kandungan zat aktif
yang terdapat pada larutan, dan tingkat keterpaparan larva
terhadap zat aktif saponin, flavanoid, dan polifenol diduga
semakin mematikan. Ekstrak daun babadotan sendiri merupakan
jenis racun stomac poissons (racun perut) berbentuk cairan yang
diberikan pada setiap wadah dalam uji toksisitas. Racun stomach
poissons merupakan insektisida yang masuk ke dalam badan serangga
melalui mulut dan harus dimakan (Gandahusada, 1998), maka itu larva instar III
yang sangat aktif mencari makan pada media air tempat mereka tumbuh

50

kemungkinan akan terkena toksisitas dari ekstrak daun babadotan yang diberikan
pada air tempat mereka tumbuh.
Dalam uji statistik kemaknaan terlihat bahwa interaksi
konsentrasi ekstrak daun babadotan dengan lamanya waktu
untuk membunuh larva pada konsentrasi 0.0% dan 10.0% sangat
berbeda nyata, sedangkan untuk konsentrasi 20.0%, 17.5%, 15.0
%, dan 12.5 % tidak berbeda nyata atau memberikan pengaruh
yang sama terhadap jumlah kematian larva, sehingga dapat
disimpulkan konsentrasi 12.5% dipilih sebagai konsentrasi
terkecil yang efektif dalam membunuh larva instar III Aedes
aegypti.
Dalam penelitian ini terbukti bahwa daun babadotan (Ageratum
conyzoides) mampu digunakan sebagai bahan larvasida alami
pembunuh larva instar III Aedes aegypti.

Bahan alami lebih baik untuk digunakan karena lebih ramah akan lingkungan dan
tidak mengganggu kesehatan manusia, sedangkan bahan kimia yang telah
digunakan secara luas untuk mengontrol nyamuk dapat berdampak negatif seperti
terjadinya resistensi terhadap nyamuk Aedes aegypti dan vektor dengue lainya
(WHO, 1999).

51

Larvasida alami ekstrak daun babadotan diharapkan mampu menjadi salah satu
alternatif lain dalam membunuh larva Aedes aegypti yang lebih aman dan mudah
penggunaanya serta lebih ramah terhadap lingkungan.

Hasil penelitian ini mampu dimanfaatkan di masyarakat untuk kepentingan


penurunan angka kematian dan kesakitan akibat penyebaran virus demam
berdarah dengue dengan cara memutus siklus hidup pada fase larva, dengan tidak
adanya larva maka nyamuk sebagai vektor tentu tidak akan tumbuh, dan virus
yang hanya terdapat dalam tubuh nyamuk tidak mungkin berpindah dan
memasuki tubuh manusia.

Anda mungkin juga menyukai