PENDAHULUAN
Indonesia adalah Negara Kesatuan yang penuh dengan keragaman. Indonesia terdiri
atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan, dll.
Namun Indonesia mampu mepersatukan bebragai keragaman itu sesuai dengan semboyan
bangsa Indonesia "Bhineka Tunggal Ika" , yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Indonesia mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Dan tak kalah
pentingnya, secara sosial budaya dan politik masyarakat Indonesia mempunyai jalinan
sejarah dinamika interaksi antar kebudayaan yang dirangkai sejak dulu. Interaksi antar
kebudayaan dijalin tidak hanya meliputi antar kelompok sukubangsa yang berbeda, namun
juga meliputi antar peradaban yang ada di dunia. Labuhnya kapal-kapal Portugis di Banten
pada abad pertengahan misalnya telah membuka diri Indonesia pada lingkup pergaulan dunia
internasional pada saat itu. Hubungan antar pedagang gujarat dan pesisir jawa juga
memberikan arti yang penting dalam membangun interaksi antar peradaban yang ada di
Indonesia. Singgungan-singgungan peradaban ini pada dasarnya telah membangun daya
elasitas bangsa Indonesia dalam berinteraksi dengan perbedaan. Disisi yang lain bangsa
Indonesia juga mampu menelisik dan mengembangkan budaya lokal ditengah-tengah
singgungan antar peradaban itu.
Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup secara
berdampingan, saling mengisi, dan ataupun berjalan secara paralel. Misalnya kebudayaan
kraton atau kerajaan yang berdiri sejalan secara paralel dengan kebudayaan berburu meramu
kelompok masyarakat tertentu. Dalam konteks kekinian dapat kita temui bagaimana
kebudayaan masyarakat urban dapat berjalan paralel dengan kebudayaan rural atau pedesaan,
bahkan dengan kebudayaan berburu meramu yang hidup jauh terpencil. Hubungan-hubungan
antar kebudayaan tersebut dapat berjalan terjalin dalam bingkaiBhinneka Tunggal Ika ,
dimana bisa kita maknai bahwa konteks keanekaragamannya bukan hanya mengacu kepada
keanekaragaman kelompok sukubangsa semata namun kepada konteks kebudayaan.Didasari
pula bahwa dengan jumlah kelompok sukubangsa kurang lebih 700an sukubangsa di
seluruh nusantara, dengan berbagai tipe kelompok masyarakat yang beragam, serta
keragaman agamanya, pakaian adat, rumah adat kesenian adat bahkan makanan yang
dimakan pun beraneka ragam. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang
memiliki karakteristi yang unik ini dapat dilihat dari budaya gotong royong, teposliro, budaya
menghormati orang tua (cium tangan), dan lain sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Keberagaman Indonesia
Keragaman adalah suatu kondisi pada kehidupan masyarakat. Perbedaan seperti itu
ada pada suku bangsa, ras, agama, budaya dan gender. Keragaman yang ada di Indonesia
adalah kekayaan dan keindahan bangsa. Pemerintah harus bisa mendorong keberagaman
tersebut menjadi suatu kekuatan untuk bisa mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional.
Keragaman budaya atau cultural diversity adalah keniscayaan yang ada di bumi
Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri
keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan
kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah
bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok
sukubangsa yang ada didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana
mereka tinggal tersebar dipulau- pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah
dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir,
dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban
kelompok-kelompok sukubangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda.
Keberagaman dalam masyarakat dapat menjadi tantangan karena orang yang berbeda
pendapat yang lepas kendali. Tumbuhnya perasaan kedaerahan dan kesukuan dapat
berlebihan dan diiringi tindakan yang merusak persatuan dapat mengancam keutuhan bangsa
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, upaya meningkatkan kerukunan
antar suku, pemeluk agama, dan kelompok-kelompok sosial lainnya perlu dilaksanakan.
Upaya mewujudkan kerukunan dapat dilakukan melalui dialog dan kerja sama dengan prinsip
kebersamaan, kesetaraan, toleransi, dan saling menghormati.
Faktor penyebab keberagaman suku bangsa dan budaya masyarakat di Indonesia
Kebaragaman masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang datang dari
dalam maupun luar masyarakat. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor alam, diri sendiri, dan
masyarakat . Secara umum keberagaman masyarakat Indonesia disebabkan oleh:
1. Letak strategis wilayah Indonesia
Coba kalian amati letak geogarfi Indonesia dalam peta dunia. Letak Indonsia yang
stategis yaitu di antara dua Samudera Pasific dan Samudera Indonesia, serta dua
benua Asia dan Australia mengakibatkan wilayah kita menjadi jalur perdagangan
internasional. Lalu lintas perdangangan tidak hanya membawa komoditas dagang,
namun juga pengaruh kebudayaan mereka terhadap budaya Indonesia.
Kedatangan bangsa asing yang berbeda ras, kemudian menetap di Indonesia
mengakibatkan perbedaan ras. Juga agama dan kepercayaan mereka.
2. Kondisi negara kepulauan
Negara Indonesia terdiri beribu-ribu pulau yang secara fisik terpisah-pisah.
Keadaan ini menghambat hubungan antarmasyarakat Indonesia dari pulau yang
berbeda-beda. Setiap masyarakat di kepulauan mengembangkan budaya mereka
masing-masing, sesuai dengan tingkat kemajuan dan lingkungan masing-masing.
Hal ini mengakibatkan perbedaan suku bangsa, bahasa, budaya, peran laki-laki
dan perempuan, dan kepercayaan atau agama di Indonesia.
3. Perbedaan kondisi alam
Kondisi alam yang berbeda seperti daerah pantai, pegunungan, daerah subur,
padang rumput, pegunungan, dataran rendah, rawa, laut mengakibatkan perbedaan
masyarakat. Juga kondisi kekayaan alam, tanaman yang dapat tumbuh, hewan
yang hidup di sekitarnya. Masyarakat di daerah pantai berbeda dengan masyarakat
pegunungan, seperti perbedaan bentuk rumah, mata pencaharian, makanan pokok,
pakaian, kesenian, bahkan kepercayaan.
4. Keadaan transportasi dan komunikasi
dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa kesadaran akan keberagaman yang
kita miliki, bangsa Indonesia bisa saja terjerumus ke arah perpecahan.
Keberagaman masyarakat Indonesia memiliki dampak positif sekaligus dampak
negatif bagi diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara.. Dampak positif memberikan
manfaat bagi perkembangan dan kemajuan, sedangkan dampak negatif mengakibatkan
ketidakharmonisan bahkan kehancuran bangsa dan negara. Keberagaman suku bangsa,
budaya, ras, agama, dan gender menjadi daya tarik wisatawan asing untuk berkunjung ke
Indonesia. Kita tidak hanya memiliki keindahan alam, tetapi juga keindahan dalam
keberagaman masyarakat Indonesia.
Perbedaan dalam lingkungan sekolah juga memiliki manfaat bagi pelajar, guru, dan
sekolah. Bayangkan apabila setiap saat semua pelajar dan guru selalu memiliki pendapat
yang sama, cara berpakain yang sama, cara berbicara yang sama. Maka kehidupan sekolah
akan monoton atau hambar. Kreatifitas dan inovasi akan lebih berkembang apabila
memungkinkan perbedaan pendapat, berpikir, dan berkreasi.
D. Keberagaman dan Bhinneka Tunggal Ika
penghambat
dalam
seperti
Sunda, suku
Melayu,
dan suku
Madura adalah kelompok terbesar berikutnya di negara ini. Banyak suku-suku terpencil,
terutama di Kalimantan dan Papua, memiliki populasi kecil yang hanya beranggotakan
ratusan orang. Sebagian besar bahasa daerah masuk dalam golongan rumpun bahasa
Austronesia, meskipun demikian sejumlah besar suku di Papua tergolong dalam rumpun
bahasa Papua atau Melanesia.
Pembagian kelompok suku di Indonesia tidak mutlak dan tidak jelas akibat
perpindahan penduduk, percampuran budaya, dan saling mempengaruhi; sebagai contoh
sebagian pihak berpendapat orang Cirebon adalah suku tersendiri dengan dialek yang khusus
pula, sedangkan sementara pihak lainnya berpendapat bahwa mereka hanyalah subetnik dari
suku Jawa secara keseluruhan. Demikian pula suku Baduy dan suku Banten yang sementara
pihak menganggap mereka sebagai bagian dari keseluruhan suku Sunda. Contoh lain
percampuran suku bangsa adalah suku Betawi yang merupakan suku bangsa hasil
percampuran berbagai suku bangsa pendatang baik dari Nusantara maupun Tionghoa dan
Arab yang datang dan tinggal di Batavia pada era kolonial.
Peta suku bangsa pribumi di Indonesia berdasarkan peta di ruang etnografi Museum
Nasional Indonesia. Suku bangsa pendatang keturunan asing seperti keturunan Tionghoa,
Arab, dan India tidak ditampilkan dalam peta, tetapi kebanyakan tinggal di kawasan
perkotaan yang tersebar di Indonesia.
Proporsi populasi jumlah suku bangsa di Indonesia menurut sensus 2010 sebagai berikut:
Suku Bangsa
Populasi (juta)
Persentasi
Kawasan utama
Suku Jawa
95,2
40,2
Suku Bangsa
Populasi (juta)
Persentasi
Kawasan utama
Suku Sunda
36,7
15,5
Jawa Barat
Suku Batak
8,5
3,5
Sumatera Utara
3,2
Sulawesi
Suku Madura
7,2
3,0
Pulau Madura
Suku Betawi
6,8
2,88
Jakarta
Minangkabau
6,5
2,73
Suku Bugis
6,3
2,69
Sulawesi Selatan
Arab-Indonesia[5]
5,000
2,4
Suku Banten
4,331
2,1
Banten
Suku Banjar
3,506
1,7
Kalimantan Selatan
Suku Bali
3,094
1,5
Pulau Bali
Suku Sasak
2,681
1,3
Pulau Lombok
Suku Makassar
2,063
1,0
Sulawesi Selatan
Suku Cirebon
1,856
0,9
Jawa Barat
5. Sulawesi: Suku Makassar, Suku Bugis, Suku Mandar, Suku Tolaki, Suku
Minahasa yang terdiri 8 suku bangsa, Suku Gorontalo, Suku Toraja
6. Kepulauan Sunda Kecil: Suku Bali, Suku Sasak,
7. Maluku: Suku Ambon, Suku Nuaulu, Suku Manusela, Suku Wemale
8. Papua - Suku Papua terdiri 466 suku bangsa diantaranya: Suku Dani, Suku
Bauzi, Suku Asmat
Kelompok suku bangsa pada masa Hindia Belanda
Sejumlah kecil orang India, Arab, dan Tionghoa telah datang dan menghuni beberapa
tempat di Nusantara sejak dahulu kala pada zaman kerajaan kuno. Akan tetapi gelombang
imigrasi semakin pesat pada masa kolonial. Terbentuklah kelompok suku bangsa pendatang
yang terutama tinggal di perkotaan dan terbentuk pada masa kolonial Hindia Belanda, yaitu
digolongkan dalam kelompok Timur Asing; seperti keturunan Tionghoa, Arab, dan India;
serta golongan Orang Indo atau Eurasia yaitu percampuran Indonesia dan Eropa. Warga
keturunan Indo kolonial semakin berkurang di Indonesia akibat Perang Dunia II dan Revolusi
Kemerdekaan Indonesia. Kebanyakan beremigrasi atau repatriasi ke luar negeri seperti ke
Belanda atau negara lain.
6 Agama di Indonesia :
1. Agama Islam
Nama Kitab Suci : Al-Quran
Nama Pembawa : Nabi Muhammad SAW
Permulaan : Sekitar 1400 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : Masjid
Hari Besar Keagamaan : Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha, Tahun Baru
Hijrah, Isra Miraj
Jumlah Penganut : 207.176.162 jiwa (87,18%)
2. Agama Kristen Protestan
Nama Kitab Suci : Alkitab
Nama Pembawa : Yesus Kristus
Permulaan : Sekitar 2000 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : Gereja
Hari Besar Keagamaan : Hari Natal, Hari Jumat Agung, Hari Paskah, Kenaikan
Isa Almasih
Jumlah Penganut : 16.528.513 jiwa (6,96%)
3. Agama Katolik
Nama Kitab Suci : Alkitab
Nama Pembawa : Yesus Kristus
Permulaan : Sekitar 2000 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : Gereja
Hari Besar Keagamaan : Hari Natal, Hari Jumat Agung, Hari Paskah, Kenaikan
Isa Almasih
Jumlah Penganut : 6.907,873 jiwa (2,91%)
4. Agama Hindu
Nama Kitab Suci : Weda
Nama Pembawa :
Permulaan : Sekitar 3000 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : Pura
Hari Besar Keagamaan : Hari Nyepi, Hari Saraswati, Hari Pagerwesi
Jumlah Penganut : 4.012.116 jiwa (1,69%)
5. Agama Buddha
Nama Kitab Suci : Tri Pitaka
Nama Pembawa : Siddharta Gautama
Permulaan : Sekitar 2500 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : Vihara
Hari Besar Keagamaan : Hari Waisak, Hari Asadha, Hari Kathina
Jumlah Penganut : 1.703.254 jiwa (0,72%)
6. Agama Kong Hu Cu
Nama Kitab Suci : Si Shu Wu Ching
Nama Pembawa : Kong Hu Cu
Permulaan : Sekitar 2500 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : Li Tang / Klenteng
Hari Besar Keagamaan : Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh
Jumlah Penganut : 117.091 jiwa (0,05%)
Misalanya permasalahan senjata tajam. Bagi suku dayak, senjata tajam sangat
dilarang keras dibawa ketempat umum. Orang yang membawa senjata tajam kerumah orang
lain, walaupun bermaksud bertamu, dianggap sebagai ancaman atau ajakan berduel. Lain
halnya dengan budaya suku madura yang biasa menyelipkan senjata tajam kemana-mana dan
dianggap biasa ditanah kelahirannya.
Bagi suku dayak, senjata tajam bukan untuk menciderai orang. Bila hal ini terjadi,
pelakunya harus dikenai hukuman adat pati nyawa (bila korban cidera) dan hukum
adat pemampul darah (bila korban tewas). Namun, bila dilakukan berulang kali, masalahnya
berubah menjadi masalah adat karena dianggap sebagai pelecehan terhadap adat sehingga
simbol adat mangkok merah (Dayak Kenayan) atau Bungai jarau (Dayak Iban) akan
segera berlaku. Dan itulah yang terjadi dicerita perang antar suku Dayak-Madura.
b. Perilaku yang tidak menyenangkan
Bagi suku Dayak, mencuri barang orang lain dalam jumlah besar adalah tabu karena
menurut mereka barang dan pemiliknya telah menyatu; ibarat jiwa dan badan. Bila dilanggar,
pemilik barang akan sakit. Bahkan, bisa meninggal. Sementara orang madura sering kali
terlibat pencurian dengan korbannya dari suku dayak. Pencurian yang dilakukan inilah yang
menjadi pemicu pecahnya perang antara suku dayak dan madura.
c. Pinjam meminjam tanah
Adat suku dayak membolehkan pinjam meminjam tanah tanpa pamrih. Hanya dengan
kepercayaan lisan, orang madura diperbolehkan menggarap tanah orang dayak. Namun,
persoalan timbul saat tanah tersebut diminta kembali. Seringkali orang madura menolak
mengembalikan tanah pinjaman tersebut dengan alasan merekalah yang telah menggarap
selama ini.
Dalam hukum adat Dayak, hal ini disebut balang semaya (ingkar janji) yang harus
dibalas dengan kekerasan. Perang antar suku Dayak dan Madura pun tidak dapat dihindarkan
lagi.
d. Ikrar perdamaian yang dilanggar
Dalam tradisi masyarakat Dayak, ikrar perdamaian harus bersifat abadi. Pelanggaran
akan dianggap sebagai pelecehan adat sekaligus pernyataan permusuhan. sementara orang
Madura telah beberapa kali melanggar ikrar perdamaian. Dan lagi-lagi hal tersebutlah yang
memicu perang antar suku tersebut.
2. Konflik melayu madura
Pada bulan februari April 1999, konflik etnis kembali terjadi di Kabupaten Sambas,
Kalimantan Barat, yang untuk pertama kalinya antara orang melayu dengan madura.
Akibatnya sekitar 25 ribu Madura terpaksa diungsikan di Pontianak. Berbeda dengan
pengungsi akibat konflik dayak- madura pada tahun 1996/1997 yang masih bisa kembali ke
tempat tinggalnya di Sambas, kali ini mereka tidak bisa kembali dan terpaksa tinggal di
berbagai tempat pengungsian.
Pertikaian dan permusuhan ini terjadi berawal dari peristiwa pembantaian dan
penganiayaan beberapa orang warga Melayu kampung Parit Setia terhadap seorang warga
Madura dari kampung Rambayan pada malam bulan ramadhan 1419 H. yang diduga
menyelinap masuk ke rumah salah satu rumah warga Parit Setia dengan maksud mencuri,
yakni di rumah Ayyub yang meninggal dalam peristiwa penyerangan. Namun sayang, malang
nasib warga madura itu, perbuatannya diketahui oleh tuan rumah dan diteriaki maling, yang
akhirnya didengar dan dikejar oleh warga yang lainnya. Usaha untuk menyelinap masuk ke
rumah gagal, dan akhirnya satu orang tertangkap basah, sementara yang lainnya sempat
melarikan diri. Setelah diikat lalu dipukuli hingga babak belur. Penangkapan ini diketahui
oleh temannya yang lari dan memberitahukannya kepada warga lainnya di kampung
Rambaian. Setelah dipukuli, keesokan harinya masalahnya kemudian diserahkan kepada
kekepolisian kecamatan. Dan diproses. Warga melayu ditahan atas tuduhan penganiayaan dan
warga Madura dilepaskan karena menurut Polisi tidak ada bukti pencurian. Padahal menurut
masyarakat Parit Setia dan sekitarnya, mereka sering kecurian dan bahkan perampokkan pada
malam hari. Setelah peristiwa itu, masyarakat Parit Setia merasa terancam dengan
tersebarnya isyu akan ada penyerangan warga Madura kampung Rambaian. Warga kampung
Parit Setia melalui aparat kampung yaitu kepala kampung sudah beberapa kali mengadakan
kontak perdamaian, dengan harapan agar kasus pertikaian antara warga itu diselesaikan
dengan baik, apalagi sesama muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa. Namun upaya
itu tidak dihiraukan, bahkan dipertajam sendiri oleh kepala kampungnya sendiri. Indikator
keterlibatan pimpinan kampung Rambaian adalah pada saat penyerangan kendaraan yang
digunakan adalah kendaraan (truk) kepala kampung (H. Leman) di samping itu, beliau juga
ikut dalam rombongan penyerangan itu. Maka terjadilah tragedi 1 syawal 1419 H. yang
menewaskan tiga orang warga melayu kampung Parit Setia.
3. Konflik Ambon
Konflik fisik di Ambon secara kasat mata dipicu oleh percekcokan di terminal Batu
Merah antara Usman, pemuda Bugis yang tinggal di kawasan Islam, Batu Merah Bawah, dan
Yopie Saiya, pemuda Ambon dari kawasan Kristen, Mardika, tanggal 19 Januari 1999,
bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Peristiwa sepele, dan dianggap biasa oleh masyarakat
setempat, dalam sekejab menimbulkan pertikaian antar kelompok agama dan suku bangsa,
dan meledak menjadi kerusuhan besar di seantero kota Ambon. Kerusuhan itu bahkan meluas
ke seluruh Pulau Ambon tanpa dapat dikendalikan. Kerusuhan yang berlarut-larut di Pulau
Ambon yang semula berpenduduk 312.000 jiwa ini memakan banyak korban jiwa. Korban
pengungsi mencapai sekitar 100.000 jiwa yang lari ke luar Ambon dan menyisakan 20.000
jiwa orang yang terpaksa tinggal di 34 lokasi pengungsian. Kota dan desa-desa di Ambon
bertebaran dengan puing-puing bangunan rumah ibadat, rumah tinggal dan toko yang dibakar
serta diratakan dengan tanah. Kota Ambon dan sebagian desa-desa sekitarnya tersegregasi
ketat dan terbagi dalam 2 wilayah: Islam dan Kristen. Masyarakat dan wilayah Kristen
disebut merah, dan yang Muslim disebut putih. Di kota Ambon, masyarakat hidup dalam
keadaan terpisah: pasar khusus merah, pasar khusus putih, pelabuhan speedboat merah dan
putih, becak merah dan putih, angkot merah dan putih, bank merah dan putih, dan
sebagainya.
Peristiwa Idul Fitri berdarah 19 Januari 1999 bukanlah satu-satunya peristiwa yang
menjadi fakta kebrutalan salibis terhadap kaum Muslimin di Maluku. Bisa dikatakan,
peristiwa tersebut adalah yang terbesar sekaligus awal dari berbagai peristiwa pembantaian
secara masif terhadap kaum Muslimin di Maluku sejak tahun 1998. Tragedi Idul Fitri
berdarah juga telah menjadi awal letupan terjadinya perang agama antara kaum Muslimin
dan kaum salibis secara berkepanjangan hingga perjanjian damai tahun 2002. Rangkaian
peristiwa pembantaian terhadap kaum Muslimin oleh para teroris salibis yang bermula di
Ambon berlanjut sampai Maluku Utara. Salah satu peristiwa paling mengenaskan, setelah
Tragedi Idul Fitri berdarah adalah pembantaian kaum Muslimin yang tengah berlindung di
dalam masjid di kecamatan Tobelo, Halmahera Maluku Utara. Ketika itu mereka diserang
kaum salibis.
indonesia.
Kekisruan
makin
terlihat
ketika
daerah
ini
tergabung
kepada Indonesia setelah adanya penandatangan kesepakan politik antara RI-Belanda yang
difasilitasi PBB pada 1962. Semenjak terintegrasi dengan Indonesia, pergolakan di Papua
tidak juga surut, hal ini di sebabkan dari ada perbedaan presepsi mengenai landasan historis
penyatuan kawasan tersebut dengan Indonesia. Gerakan-gerakan separatis bersenjata
bermunculan dan menyeruak di sepanjang lebih dari tiga dekade bergabungnya papua dengan
indonesia, juga bermunculan adanya indikasi pelanggaran Hak asasi manusia.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa Otsus Papua sebagai kebijakan penanganan
konflik di antara masyarakat Papua dan Pemerintah Indonesia, selama kurun waktu sepuluh
tahun, implementasinya belum menjawab masalah-masalah mendasar masyarakat Papua.
Seperti yang diungkapkan oleh Anthonius Mathius Ayorbaba dalam Tabloid Reformata,
malahan yang terjadi adalah potensi transformasi dari konflik laten ke konflik manivest dan
afternath conflict pada satu sisi , dan pada sisi lainnya implementasi Otsus menjadi pemicu
konflik baru di Tanah Papua.
5. Konflik Poso
Poso adalah kota pinggiran pantai yang tenang-tenang saja di Provinsi Sulawesi
Tengah yang pedesaan itu. Bagi orang kristen, 24 Desember 1998 adalah Malam Natal,
sementara bagi orang-orang Muslim itu persis di tengah-tengah bulan puasa Ramadhan.
Ketika seorang remaja kristen dari lingkungan Muslim Kayamanya, meletuslah huru-hara,
yang terbatas hanya di kota Poso. Tak lama kemudian tiap orang sependapat bahwa sumber
masalahnya adalah alkohol, dan masalah itu dilupakan. Tetapi pada april 2000 kekerasan
yang lebih serius meledak di kota, yang kemudian merembet ke seantero Kabupaten Poso.
Pada Mei 2000, pasukan Kristen membantai sekitar delapan puluh orang Muslim disebuah
daerah kantong Muslim kecil yang tengah berlindung disebuah masjid yang bernama
Walisongo, tak jauh di selatan Kota Poso. Januari 2002, empat bulan setelah serangan 11
September di Amerika Serikat, Poso disebut di Newyork Times. Konflik itu telah bereskalasi
dari pertikaian lokal menjadi sebuah masalah internasional. Konflik-konflik tersebut bisa
bereskalasi karena alasan-alasan yang bisa diterangkan, karena makin banyak orang
memutuskan untuk terlibat.
6. Upaya Meredam Konflik Etnis di Indonesia
Dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana.
Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihakpihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat
konflik tersebut serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut
berusaha mengatasi konflik yang muncul. Penyelesaian persoalan dengan pemaksaan sepihak
oleh pihak yang merasa lebih kuat, apalagi apabila di sini digunakan tindakan kekerasan fisik,
bukanlah cara yang demokratik dan beradab. Inilah yang dinamakan main hakim sendiri,
yang hanya menyebabkan terjadinya bentrokan yang destruktif. Cara yang lebih demokratik
demi tercegahnya perpecahan, dan penindasan atas yang lemah oleh yang lebih kuat, adalah
cara penyelesaian yang berangkat dari niat untuk take a little and give a little, didasari itikat
baik untuk berkompromi. Musyawarah untuk mufakat, yang ditempuh dan dicapai lewat
negosiasi atau mediasi, atau lewat proses yudisial dengan merujuk ke kaidah perundangundangan yang telah disepakati pada tingkat nasional, adalah cara yang baik pula untuk
mentoleransi terjadinya konflik, namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan diatasi lewat
mekanisme yang akan mencegah terjadinya akibat yang merugikan kelestarian kehidupan
yang tenteram.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk penyelesaian konflik tersebut, yaitu :
1) Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga
dalam hal ini pemerintah dan aparat penegak hukum yang memberikan keputusan
dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak dengan memberikan sanksi yang
tegas apabila. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana
saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal.
2) Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan
keputusan yang mengikat.
3) Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang
berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama.
4) Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki
kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang.
Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau
mundur.
5) Adjudication (ajudikasi),
yaitu
penyelesaian
perkara
atau
sengketa
memahami perbedaan yang mereka punyai serta menaati berbagai norma dan hukum
yang berlaku di dalam masyarakat.
4) Adanya kesediaan dari kedua belah pihak yang terlibat konflik untuk saling
memaafkan dan melupakan peristiwa yang telah terjadi.
Terjadinya perdamaian pada konflik antar sukubangsa yang telah terwujud dalam
sebuah konflik fisik tidaklah mudah sehingga perlu adanya campur tangan pihak ketiga yang
memiliki kapabilitas sebagai orang atau badan organisasi yang dihormati dan dipercaya
kesungguhan hatinya serta ketidakberpihakannya terhadap kedua belah pihak yang terlibat
konflik. Peran selaku pihak ketiga dimaksud dapat dilakukan oleh Polri sebagai juru damai
dalam rangka mewujudkan situasi yang kondusif dalam hubungan antar sukubangsa dengan
memberi kesempatan terjadinya perdamaian dimaksud seiring berjalannya proses penyidikan
yang dilandasi pemikiran pencapaian hasil yang lebih penting dari sekedar proses
penegakkan
hukum
berupa
keharmonisan
hubungan
antar
sukubangsa
yang
berkesinambungan. Dalam hal ini, Polri dapat menerapkan metode Polmas dengan
melibatkan para tokoh dari masing-masing suku bangsa Ambon dan Flores yang merupakan
Patron dari kedua belah pihak yang terlibat konflik yang tujuannya adalah agar permasalahan
yang terjadi dapat terselesaikan secara arif dan bijaksana oleh, dari dan untuk kedua
sukubangsa dimaksud termasuk dalam hal menghadapi permasalahan- permasalahan lainnya
di waktu yang akan datang.