Anda di halaman 1dari 3

Daniel S.

Lev:
Hukum bagi suatu negara memiliki peran yang sangat penting, terutama bagi
Indonesia. Hukum diartikan oleh Daniel S. Lev (1985) bahwa hukum merupakan
lapisan utama yang kaya dikarenakan adanya catatan mengenai struktur negara dan
merefleksikan distribusi dari politik, sosial, dan sosial. Hukum dan segala proses
hukum merupakan unsur penting dari (Gramscian) hegemoni yang mendefinisikan
dan membenarkan hubungan penguasa dan subjek (Lev, 1985: 57) Hukum di
Indonesia menyangkut segala peraturan dan norma yang berlaku di Indonesia. Namun
pada realitanya, Indonesia tidak dapat lepas dari peninggalan-peninggalan masa
kolonial Belanda. Sehingga hukum juga tidak terlepas dari pengaruh kolonial
Belanda. Walaupun, hukum yang berlaku saat ini terdapat adat dan aturan hukum
setempat atau daerah. Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat Daniel S. Lev
(1985: 57) new states owe a great deal to colonial precedent. Sehingga dapat
dikatakan negara Indonesia tidak dapat terlepas dari masa-masa lampau, termasuk
pengaruh hukum masa kolonialisme Belanda
Sejak awal kekuasan kolonial, Belanda telah membentuk berbagai kebijakankebijakan hukum saat melakukan kolonialisme di Indonesia. Dibentuknya Vereenigde
Oost Indische Compagnie (VOC) menjadi bukti kebijakan hukum sudah diterapkan.
VOC melakukan penekanan dalam bidang perekeonomiannya dengan memaksakan
aturan-aturan hukumnya (Djamali, 1984: 11). Selain itu VOC pada tahun 1601
memberikan wewenang kepada Gubernur Jenderal Pieter Both, yaitu membuat
peraturan untuk menyelesaikan perkara istimewa para pegawai VOC di daerah-daerah
yang dikuasasi dan dapat dapat memustuskan perkara perdata dan pidana (Djamali,
1984: 11). Berlanjut hingga awal abad ke-19. Indonesia memiliki pengadilan, terdapat
tiga pengadilan pemerintah, yakni pengadilan distrik atau daerah untuk kasus-kasus
kecil,

pengadilan

kabupaten

untuk

kasus-kasus

yang

besar,

dan

akhirnya Landaard ada disetiap kabupaten (Lev, 1985: 58). Semua pengadilan
tersebut dibentuk dan diatur oleh colonial administration Belanda. Pada tahun
1920an, semua pengadilan pemerintah didominasi oleh orang Belanda. Pada
realitanya, pada tahun 1920an dan 1930an pengacara Indonesia menjadi
ketua Landaard, namun pengacara Indonesia tidak pernah menjadi mayoritas di
Indonesia (Lev, 1985: 60).

Seperti pendapat penulis sebelumnya, bahwa hukum Indonesia terdapat adat


atau aturan daerah atau tempat yang berlaku. Namun pada masa kolonialisme
Belanda, hukum adat pada saat itu menjadi membingungkan. Daniel S. Lev (1958:
63) mengatakan bahwa perlakuan terhadap adat atau hukum setempat adalah salah
satu tema yang paling membingungkan dan ambigu dalam sejarah kolonial di
Indonesia, dan layak dilakukan peninjauan kembali. Pengisolasian adat dari
kebijakan-kebijakan pada masa kolonial Belanda menjadi sebuah isu yang berbeda di
dalam lingkungan kolonial. Hukum adat di Indonesia, seperti pada dasarnya dikenal
sebagai hasil ciptaan Belanda (Lev, 1985: 64). Meskipun demikian, origin atau
warisan dan aturan yang bersifat substantif masih dapat dikatakan asli Indonesia.
Posisi penulis bahwa hukum Indonesia tidak dapat terlepas dari masa kolonial
Belanda, didukung oleh Ben Anderson yang menyatakan bahwa pada dasarnya rantai
antara pengalaman di era kolonialisme dan kemerdekaan di era kini tidak akan
terputus (Lev, 1985: 57). Sehingga Belanda menjadi faktor terbentuknya hukum di
Indonesia. Daniel S. Lev (1985: 57) menyatakan bahwa pada era kolonialisme
Belanda

mencoba

mengaplikasikan

hukum-hukum

yang

dapat

mendukung

kepentingannya, sehingga hukum-hukum yang dibentuk tersebut cenderung bersifat


eksploitasi yang efisien. Pada masa kolonialisme, hukum yang ada di Indonesia dapat
dilihat dari aspek pluralisme. Pengakuan adanya hukum lokal atau adat dan hukum
Belanda memicu diaplikasikannya hukum plural yang menghendaki fungsi dan
prerogatif yang berbeda antara orang Belanda dan Indonesia (Lev, 1985: 59). Namun
dalam praktiknya, hukum adat ditujukan untuk orang-orang asli Indonesia, sedangkan
hukum Belanda ditujukan untuk orang bLenda sendiri. Demi mewujudkan
kepentingannya, Belanda mencoba mengkolaborasikan sistem hukum di Indonesia
untuk mempertahankan kekuasaan yang dimiliki. Hal tersebut dilakukan dengan cara
penanganan kasus yang berhubungan dengan adat ditangani di Landraden sebagai
pengadilan negeri yang menangani hukum tidak tertulis yang diputuskan oleh orang
Indonesia yang ada didalamnya dan dipertimbangkan lagi oleh orang Belanda (Lev,
1985). Selain itu hanya orang keturunan Eropa yang memiliki andil dalam sektor
pemerintahan, sementara orang Indonesia dipaksa tunduk terhadap peraturan yang
dibuat oleh pemerintah Belanda (Lev, 1985: 59). Dalam perkara ini, menurut penulis
Belanda secara tidak langsung mencoba mendiskriminasi orang Indonesia, dibuktikan
dengan tidak diberikannya

Kemudian berlanjut pada masa setelah kemerdekaan, Indonesia memiliki dua tradisi
hukum. Advokat dan para intelektual Indonesia menginginkan negara Indonesia
dimodelkan di sisi Eropa dari sistem kolonial. Daniel S. Lev (1985: 69) menyatakan
bahwa hukum adat yang berlaku pada masa kolonial Belanda hingga era kemerdekaan
pun tidak jauh beda. Tanpa petunjuk hukum baru atau arah kebijakan yang baru,
pengadilan mengambil hukum adat seperti sebelumnya, menyerukan kode di sini dan
adat di sana (Lev, 1985: 70). Indonesia pada era kemerdekaan masih banyak
kekurangan, belum adanya ideologi negara, ekonomi, serta tidak adanya hukum
substantif pasca 1945. Namun, satu dekade sekitar tahun 1950-an kemudian mulai
banyak perubahan misalnya, Ratu dan Gubernur Jenderal telah diubah menjadi
Presiden dan Wakil Presiden dan sejenisnya. Setelah 1950-an Daniel S. Lev
menyatakan bahwa pengambilan nilai hukum adat dalam keputusan mulai berubah.
Hingga kemudian perubahan tersebut menjadikan hukum Indonesia mencakup seluruh
etnis yang ada, dengan nilai-nilai yang telah dielaborasikan dalam hukum Indonesia.
Dalam hal ini, penulis melihat bahwa hukum atau peraturan yang telah dibuat pada
masa kolonialisme Belanda tetap dijalankan namun terdapat perubahan untuk
menyesuaikan hukum Indonesia saat ini.
Dari penjelasan diatas bahwa penulis menekankan kembali perkembangan hukum di
Indonesia tidak dapat lepas dari kontribusi kolonialisme Belanda. Sama dengan yang
disampaikan oleh Daniel S. Lev bahwa new states owe a great deal to colonial
precedent. Walaupun demikian, penulis beropini rakyat Indonesia harus tetap
menerima dan menjalankan segala bentuk hukum yang berlaku di Indonesia. Jika hal
demikian dapat tercapai maka hukum Indonesia menjadi aspek fundamental negara
dalam menyelesaikan permasalahan di dalam negeri maupun di luar.

Referensi
Djamali, R. Abdoel. 1984. Hukum dalam Arti Tata Hukum, dalam Pengantar
Hukum

Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, pp. 5-66

Lev, Daniel S. 1985. Colonial Law and the Genesis of the Indonesian State, dalam
Indonesia, Vol. 40, pp. 57-74.

Anda mungkin juga menyukai