Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh:
Ayu
Skrepsia
Hadiwiguno
1206264032
Shanna Priangka Ramadhanti 1206209406
A. Sejarah
1. Konvensi Jenewa 1958
Hingga tahun 1950-an, penelitian ilmiah kelautan (marine scientific research)
tidak diatur dalam perjanjian internasional manapun. Penelitian ilmiah kelautan
pertama kali dipertimbangkan pada saat Konferensi PBB tentang Hukum Laut pada
tahun 1958. Di antara empat Konvensi Jenewa 1958, hanya Konvensi Landas
Kontinen yang secara spesifik menyebutkan dalam Pasal 5 paragraf 8,
Persetujuan Negara Pantai harus diperoleh sehubungan dengan penelitian
mengenai, dan yang dilakukan di, landas kontinen. Namun demikian, Negara
Pantai tidak boleh tidak memberikan persetujuannya jika permintaan tersebut
diajukan oleh lembaga yang memenuhi kualifikasi dengan tujuan murni untuk
penelitian terhadap karakteristik fisik atau biologis dari landas kontinen,
dengan tunduk pada ketentuan bahwa Negara Pantai berhak, jika ingin, untuk
berpartisipasi atau diwakili dalam penelitian dan bahwa setiap hasil
1
Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea Office of Legal Affairs, Marine Scientific
Research A revised guide to the implementation of the relevant provisions of the United Nations
Convention on the Law of the Sea, The Law of the Sea, (2010).
E. D. Brown, Freedom of Scientific Research and the Legal Regime of Hydrospace, Indian
Journal of International Law, vol. 9, (1985), pp. 327-380.
3
Myron H. Nordquist, United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982: A Commentary,
(Leiden, Martinus Nijhoff, 1985).
4
Komite Pertama adalah Seabed Mining, the Area, sedangkan Komite Kedua adalah Territorial
Sea, Innocent Passage, Straits Used for International Navigation, Archipelagic States, the Exclusive
Economic Zone, the Continental Shelf and High Seas, Regime of Islands, Enclosed or Semi-enclosed
Seas, and Right of Access of Land-locked States to and from the Sea and Freedom of Transit.
5
Lucius Cafliscb dan Jacques Piccard, The Legal Regime of Marine Scientific Research and the
Third United Nations Conference on the Law of the Sea, (Heidelberg: Max-Planck-Institut fr
auslndisches ffentliches Recht und Vlkerrecht, 1978), hlm. 878.
United Nations Convention on the Law of the Sea [UNCLOS], United Nations Publication
No.E.97.V. 10, Pasal 87.
7
Selanjutnya disebut organisasi internasional.
8
W. S. Wooster, "Freedom of Oceanic Research," Ocean Development and International Law
Journal, vol. 4, (1987), pp. 41-95.
penelitiannya dalam jangka waktu enam bulan sejak informasi 9 diberikan kepada
Negara Pantai, kecuali jika dalam empat bulan sejak penerimaan informasi tersebut
Negara Pantai telah menginformasikan Negara Peneliti bahwa:
1. Negara Pantai tidak memberikan izinnya;10 atau
2. Informasi yang diberikan Negara Peneliti tidak sesuai dengan fakta-fakta
yang ada; atau
3. Negara Pantai memerlukan informasi tambahan dari yang disebutkan
dalam Pasal 248 dan 249 UNCLOS, atau
4. Terdapat kewajiban yang belum diselesaikan.11
1. Prinsip-prinsip Umum
Dalam Pasal 240, UNCLOS mengidentifikasi prinsip-prinsip umum untuk melakukan
penelitian ilmiah kelautan, yakni penelitian ilmiah kelautan harus:
1. Dilakukan secara eksklusif untuk tujuan damai.12 Hal ini sesuai dengan
semangat umum UNCLOS untuk mempromosikan penggunaan laut
untuk tujuan damai, sebagaimana diatur dalam pembukaan dan
ditegaskan dalam berbagai artikel, termasuk Pasal 88, 143 dan 301. 13
Tujuan damai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 (a) ini
memiliki makna sesuai dengan Piagam PBB yang menafsirkan tujuan
damai sebagai tujuan non-agresif atau defensif.
2. Dilakukan dengan metode ilmiah yang tepat dan kompatibel dengan
UNCLOS;14
3. Tidak mengganggu penggunaan laut untuk tujuan lain (yang sah dan
sesuai dengan UNCLOS) dan harus menghormati penggunaan
tersebut;15 dan
4. Dilakukan sesuai dengan semua peraturan terkait yang diadopsi sesuai
dengan
UNCLOS,
termasuk
peraturan
yang
bertujuan
untuk
Negara
dan
J. Ashley Roach dan Robert W. Smith, Excessive Maritime Claims: Third Edition, (Leiden:
Koninklijke Brll NV, 2012), hlm. 433.
24
R. R. Churchill dan A. V. Lowe, The Law of the Sea, (Manchester: Manchester University
Press, 1999), hlm. 404.
25
Pasal 19 paragraf 2 huruf j UNCLOS.
26
David Joseph Attard, et. al., The IMLI Manual on International Maritime Law: Volume I:
The Law of the Sea, (Oxford: Oxford University Press, 2014), hlm. 422.
27
Pasal 246 paragraf 1 UNCLOS.
28
Pasal 246 paragraf 2 UNCLOS.
29
Pasal 246 paragraf 3 UNCLOS.
30
Pasal 246 paragraf 5 UNCLOS.
Donald R. Rothwell, et. al., The Oxford Handbook of the Law of the Sea, (Oxford: Oxford
University Press, 2015), hlm. 563.
32
Evanson Chege Kamau, Research and Development on Genetic Resources: Public Domain
Approaches in Implementing the Nagoya Protocol, (New York: Routledge, 2015), hlm. 78.
33
Myron H. Nordquist, United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982: A
Commentary, (Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 2002), hlm. 552.
diwajibkan
untuk
mempromosikan
10
kedaulatan
dan
yurisdiksi
serta
atas
dasar
saling
untuk
dan
mengendalikan
kerusakan
terhadap
kesehatan
dan
11
R. Winner, "Science, Sovereignty, and the Third Law of the Sea Conference,"
Ocean Development and International Law Journal, vol. 14, (1990), pp. 297-342.
53
Pasal 258 UNCLOS.
54
Pasal 259 UNCLOS.
55
Pasal 261 UNCLOS.
56
Pasal 246 paragraf 3 UNCLOS.
12
13
Keanekaragam hayati yang sangat kaya sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa
kegiatan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi akan selalu dilakukan di
Indonesia. Sebelum dilakukan hal tersebut, maka terdapat penelitian-penelitian yang
dilakukan yakni dengan penelitian ilmiah kelautan tersebut. Tujuan dari penelitian
ilmiah kelautan adalah untuk dapat meningkatkan pengetahuan ilmiah terkait
lingkuangan laut demi kepentingan umat manusia dan semata-mata diamksud dengan
damai.68 Oleh karena itu, sangat penting bagi Pemerintah Indonesia untuk
mengadakan peraturan terkait penelitian ilmiah kelautan yang sesuai dan selaras
dengan konvensi UNCLOS.
Apabila dilihat peraturan yang ada di Indonesia, maka dapat dilihat bahwa
pengaturan penelitian ilmiah kelautan di Indonesia masih bersifat sektoral ditinjau
dari segi rezim hukum laut. Hal ini dikarenakan terdapat berbagai peraturan
perundangan yang mengatur mengenai wilayah laut dibagi menjadi beberapa rezim
hukum laut. Diantara peraturan- peraturan tersebut hal yang berkaitan dengan
penelitian ilmiah kelautan hanya diatur sebagian kecil berdasarkan pelaksanaan
penelitian ilmiah kelautan di wilayah tertentu, bukan diatur secara keseluruhan untuk
wilayah perairan Indonesia. Akan tetapi, dengan dibentuknya Undang-Undang No. 32
tahun 2014 tentang kelautan, hal ini diharapkan untuk dapat lebih mengatur dari
seluruh aspek kelautan, termasuk penelitian sehingga terdapat adanya unifikasi.
a. Pengaturan dalam UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen
Indonesia sebenarnya telah memiliki hukum nasional yang membahas
tentang penelitian ilmiah kelautan, antara lain UU No. 1 Tahun 1973
tentang Landas Kontinen. Akan tetapi, pada undang-undang ini hanya
memberikan keterangan mengenai penyelidikan ilmiah kelautan atas
kekayaan alam di Landas Kontinen saja. Penelitian keilimihan kelautan
tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah. 69 Berdasarkan penjelasan
mengenai penyelidikan ilmiah di landas kontinen yang akan diatur
kemudian oleh Peraturan Pemerintah, belum ada bentuk aturan pelaksana
yang mengatur mengenai penyelidikan ilmiah yang dimaksud. Sehingga,
68
MSR is therefore crucial to determine such thresholds through collection of data and interpretation of
the results
69
Ristyo Weka Wismono, Unifikasi Pengaturan Penelitian Ilmiah Kelautan di Indonesia
dalam Rangka Meningatkan Alih Teknologi Kelautan, Tesis dari Universitas Diponegoro, 2008. Hal
22
14
Ekonomi Eksklusif
Pada undang-undang tersebut, telah dibahas juga terkait Penelitian
Ilmiah Kelautan. Akan tetapi, pengertian mengenai penelitian ilmiah
kelautan dan penjelasan mengenai pelaksanaan penelitian ilmiah kelautan
di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang hanya dapat
dilaksanakan setelah permohonan untuk penelitian telah disetujui oleh
Pemerintah Republik Indonesia. Dalam undang- undang tersebut
dijelaskan mengenai rumusan pengertian penelitian ilmiah kelautan 70,
tetapi apabila ditelaah lebih lanjut pengertian tersebut lebih luas
lingkupnya dibanding dengan pengertian penelitian ilmiah berdasarkan
Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Sebagai akibatnya, suatu kegiatan
penelitian ilmiah yang dilakukan di zona ekonomi eksklusif Indonesia
dapat dianggap mencakup pula kegiatan eksplorasi sumber daya alam.
c. Undang- Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil.
Penelitian ilmiah kelautan telah sedikit dibahas dalam undang-undang
ini. Secara eksplisit sebenarnya tidak pernah disebut apa penelitian
keilmuan laut. Namun, beberapa aspek mengenai penelitian dan
pengembangan telah diatur lebih lengkap dibandingkan dengan aturanaturan yang membahas mengenai penelitian ilmiah kelautan sebelumnya.
Walaupun tidak memberikan definisi secara jelas mengenai penelitian dan
pengembangan di wilayah pesisir, tetapi undang- undang ini telah
70
Penelitian ilmiah adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan penelitian mengenai
semua aspek kelautan di permukaan air, ruang air, dasar laut dan tanah di bawahnya di zona ekonomi
eksklusif Indonesia. Pasal 1 huruf c Undang-Undang No.5 tahun 1983 tentang ZEE
Barangsiapa melakukan kegiatan penelitian ilmiah di zona ekonomi eksklusif Indonesia harus
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari dan dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang
ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Pasal 7 Undang- Undang No. 5 tahun 1983 tentang
ZEE
15
aturan
payung
bagi
pelaksanaan
penelitian
ilmiah
dan
71
Indonesia, Undang-Undang No. 32 tahun 2104 tentang Kelautan. Pasal 37 ayat (1).
16
yang dilengkapi dengan prasarana kapal latih dan kapal penelitian serta
tenaga fungsional peneliti.72 Ketentuan lebih lanjut terkait pembuntukan
fasilitas tersebut akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.73
Dalam undang-undang ini juga disebutkan penelitian yang bekerja
sama dengan asing. Pemerintah disini mengatur pelsakanaan penelitian
ilmiah kelautan dalam rangka kerja sama penelitian dengan pihak asing.74
Hasilnya lalu wajib dilaporkan kepada Pemerintah sesuai dengan peraturan
undang-undang. Apabila dilhat, maka disini merupakan pasal yang secara
eksplisit menggambarkan penelitian terkait ilmu kelautan. Akan tetapi,
disini tidak menjelaskan mengenai tata cara atau proses yang dilakukan
mengenai penelitian tersebut. Dan apabila dilihat lebih lanjut dalam bagian
kelima yakni kerja sama kelautan, tidak secara spesifik kerja sama apa
yang dimaksud namun dapat diasumsikan kerja sama secara general atau
lebih pada eksplorasi, pemanfaatan dan pengelololaan Sumber Daya
Kelautan. Dalam hal ini, maka ketentuan hukum laut internasional lah
yang digunakan atau bisa dikatakan harus sesuai dengan UNCLOS.
Dalam Undang-Undang No.32 tahun 2014, dinyatakan diperlukan fasilitas untuk
dapat menjalankan penelitian-penelitian pada ilmu kelautan. Kementerian Kelautan
dan Perikanan ( KKP) telah membentuk badan untuk dapat menjalankan hal tersebut
yakni Badan Penelitan dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan ( BALITBANG).
Dalam badan ini, yang menjadi fokus adalah pada penelitian dan pengembangan dari
kelautan dan perikanan, Dalam BALITBANG, dibagi lagi kebeberapa departemen
yakni Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan serta Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sumber Daya Lautd dan Pesisir ( P3SDLP).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir adalah salah
satu unit kerja Eselon II yang ada di lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang ditetapkan
perubahannya berdasarkan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.15/MEN/2010 yang semula bernama Pusat Riset Wilayah Laut dan
Sumberdaya Non HayatiBadan Riset Kelautan dan Perikanan. Hal ini dikarenakn
72
17
18
D. Kasus
Pengaturan mengenai Penelitian Ilmu Kelautan sangatlah krusial sehingga
diperlukan standar dalam pengumpulan data dan dalam melakukam intepretasi dari
hasilnya. Para ilmuan juga diharapkan untuk dapat menyimbangi tujuan dari
kelangsungan peneilitian dengan memperhatikan terhadap lingkungan sehingga tidak
terjadi eksploitasi yang berlebihan.76 Dengan itu sangatlah penting adanya pengaturan
terkait Penelitian Ilmu Kelautan dimana diatur mengenai quota sehingga tidak akan
terjadi suaut eksploitasi. Dapat dilihat dalam Southern Bluefin Tuna Case.
Dalam Southern Bluefin Tuna Case, perkara ini adalah antara Australia dan
Selandia Baru lawan Jepang. Perkara ini adalah mengenai Southern Bluefin Tuna
yang sudah ditangkap secara berlebihan sehingga harus dilindungkan. Karena itu,
maka Jepang, Australia dan juga Selandia Baru melakukan suatu perjanjian yakni
Convention for the Conservation of Southern Bluefish Tuna ( CSBT Convention)
pada tahun 1993. Disini, konvensi tersebut telah diatur berapa banyak yang dapat
ditangkap ikannya ( TAC) untuk ketiga negara tersebut. Namun, pada tahun 1998
Jepang telah melakukan experimental fishing di
menentang terhadap eksploitasi ( yang akhirnya dicabut), namun hal ini juga
mengakibatkan Jepang untuk melakukan perjanjian agar program tersebut tidak
diteruskan.
76
Tim Daniel, Legal Aspects of Marine Scientific Research and Part XIII of the UN
Convention on the Law of the Sea dalam Konfrens ABLOS, Monaco Pada 10-12 Oktober 2015.
77
Simon Marr, The Southern Bluefin Tuna Case: The Precautionary Approach and
Management of Fish Resources, EJIL Vol 11, 2000. Hal 816-817.
19
Kasus lain terkait dengan Penelitian Ilmu Kelautan adalah produk farmasi
yang berumber sumber daya genetik laut yang bernama Prialt. Prialt merupakan obat
nyeri dan ditapatkan dari kerang yang dapat diambil di wilayah Indonesia dan sangat
umum untuk dapat diambil di Indo- Pacific. Pada tahun 2004, obat tersebut disetujui
dan diperbolehkan untuk diproduksi oleh US Federal Drug Agency. Pada tahun
berikutnya, Elan Corporation memproduksi obat tersebut dan mendapat hasil penjulan
Prialt mencapai $6.100.000 sampai pada tahun 2010. Mengingat bahan Prialt ini
didapatkan dalam wilayah perlautan Indonesia, namun dikarenakan tidak ada
kejelasan terkait pengaturan pembagian manfaat
KESIMPULAN
20
tidak hanya sekedar pasal yang menjelaskan mengenai pengertian penelitian ilmiah
kelautan, tetapi juga hal- hal lain yang berkaitan dengan penelitian ilmiah kelautan.
Berdasarkan alasan tersebut, penelitian ilmiah kelautan perlu diatur dalam suatu
peraturan tersendiri, tidak menjadi sub bagian dari suatu undang- undang, sehingga
dapat menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan penelitian ilmiah kelautan.
Daftar Pustaka
Undang-Undang dan Perjanjian
Agreement Relating to the Implementation of Part XI of the United Nations
Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982.
United Nations Convention on the Law of the Sea. United Nations Publication
No.E.97.V. 10.
Indonesia. Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen
Indonesia.Undang- Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia. Undang- Undang No. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Indonesia. Undang-Undang No. 32 tahun 2104 tentang Kelautan.
Buku
Attard, David Joseph, et. al.. The IMLI Manual on International Maritime Law:
Volume I: The Law of the Sea. Oxford: Oxford University Press. 2014). hlm.
422.
Cafliscb, Lucius. The Legal Regime of Marine Scientific Research and the Third
United Nations Conference on the Law of the Sea. Heidelberg: Max-PlanckInstitut fr auslndisches ffentliches Recht und Vlkerrecht. 1978. hlm. 878.
Churchill, R. R. dan A. V. Lowe. The Law of the Sea. Manchester: Manchester
University Press. 1999.
Kamau, Evanson Chege. Research and Development on Genetic Resources: Public
Domain Approaches in Implementing the Nagoya Protocol. New York:
Routledge. 2015.
Nordquist, Myron H. United Nations Convention on the Law of the Sea. 1982: A
Commentary. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers. 2002.
21
Roach, J. Ashley dan Robert W. Smith. Excessive Maritime Claims: Third Edition.
Leiden: Koninklijke Brll NV. 2012.
Rothwell, Donald R., et. al.. The Oxford Handbook of the Law of the Sea. Oxford:
Oxford University Press. 2015.
Walker, George K.. Definitions for the Law of the Sea: Terms Not Defined by the 1982
Convention. Leiden: Koninklijke Brill NV. 2012.
Wegelein, Florian H. Th.. Marine Scientific Research: The Operation and Status of
Research Vessels and Other Platforms in International Law. Leiden: Martinus
Nijhoff Publishers. 2005.
Wismono, Ristyo Weka. Unifikasi Pengaturan Penelitian Ilmiah Kelautan di
Indonesia dalam Rangka Meningatkan Alih Teknologi Kelautan, Tesis dari
Universitas Diponegoro, 2008.
Jurnal
_____ Marine Scientific Research A revised guide to the implementation of the
relevant provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea.
The Law of the Sea. Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea Office of
Legal Affairs. 2010.
Brown, E. D.. Freedom of Scientific Research and the Legal Regime of
Hydrospace. Indian Journal of International Law. vol. 9. 1985.
Burke, W. T.. Marine Science Research and International Law. Occasional Paper.
No. 8. 1970.
Moore, J. R.. "The Future of Scientific Research in Contiguous Research Zones:
Legal Aspects." The International Lawyer. vol. 8 1984.
Marr, Simon. The Southern Bluefin Tuna Case: The Precautionary Approach and
Management of Fish Resources. EJIL Vol 11. 2000.
Winner, R.. "Science, Sovereignty, and the Third Law of the Sea Conference."Ocean
Development and International Law Journal. vol. 14. 1990.
Wooster, W. S.. "Freedom of Oceanic Research." Ocean Development and
International Law Journal. vol. 4. 1987.
Artikel Internet
SEJARAH http://p3sdlp.litbang.kkp.go.id/index.php/en/p3sdlp/sejarah diakses pada 2 Desember 2015.
22