Anda di halaman 1dari 6

TINJAUAN PUSTAKA

DEGLOVING INJURY
A. Pendahuluan
Degloving injury menandakan terlepasnya kulit dan jaringan subkutan dari
fasia dan otot yang terletak di bawahnya. Cedera semacam ini paling banyak
melibatkan ekstermitas bawah dan torso, dan penyebab tersering adalah
kecelakaan industri dan lalu lintas. Cedera dapat terjadi pada seluruh bagian
ekstremitas bawah, bahkan dapat meluas hingga ke bagian bawah torso. Cedera
tersebut sering disertai dengan fraktur atau cedera lain yang dapat menyebabkan
berbagai macam komplikasi mulai dari infeksi hingga kematian. Apalagi jika
pasien berusia lanjut, risiko terjadinya komplikasi semakin meningkat (Wojcicki
et al, 2011).
Cedera degloving terjadi akibat gaya tangensial yang mengenai permukaan
kulit dengan permukaan yang ireguler yang mencengkram kulit sehingga tidak
licin. Ketika gaya ini dilawan dengan gerakan yang berlawanan, kulit tertarik dan
terlepas dari jaringan di bawahnya (Krisnamoorthy and Karthikeyan, 2011).
Biasanya, luka yang terjadi bersifat terbuka. Namun, ada pula cedera degloving
yang bersifat tertutup, yang lebih jarang ditemukan (Yorganci et al, 2002). Jika
lukanya bersifat terbuka, setelah terjadi cedera harus segera dilakukan tindakan
menutup area yang mengalami degloving. Tindakan ini dimaksudkan untuk
mengurangi risiko terjadinya infeksi (Fujiwara and Fukamizu, 2008).
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaaan fisik pada pasien dengan cedera Degloving terdiri dari beberapa
langkah berikut (Krisnamoorthy and Karthikeyan, 2011):
1. Pemeriksaaan kondisi umum

2. Pemeriksaan cedera yang mengancam jiwa


3. Pemeriksaaan cedera mayor
4. Pemeriksaan area degloving
Sejauh mana kulit yang hilang
Ekspos/ cedera struktur vital
Gerakan yang bisa dilakukan
C. Manajemen
Prinsip (Krisnamoorthy and Karthikeyan, 2011):
1.
2.
3.
4.
5.

Pertahankan struktur sebanyak mingkin


Penutupan kulit definitive sesegera mungkin
Penutup kulit berkualitas baik
Pengembalian fungsi segera
Kemungkinan pengerjaan prosedur sekunder

Pada pasien lanjut usia, perlu diperhatikan pula risiko terjadinya hematoma yang
dapat menyebabkan komplikasi pada infeksi, bahkan berpotensi menjadi massa
jaringan lunak. Pri, oses aging mempengaruhi turgor dan menurunkan resistensi
terhadap cedera. Penting untuk menginvestigasi penyebab cedera dan mencari
kondisi medis yang menyertai, seperti neuropati diabetik dan penyakit vaskular
pada ekstremitas bawah (Pagan and Hunter, 2011).
D. Pilihan Operasi
Replantasi-Revaskularisasi
Pilihan utama dan terbaik pada kasus degloving adalah dengan
replantasi dan revaskularisasi. Ketika kulit yang cedera sudah terangkat secara
total dari tubuh, kulit dapat dikembalikan dengan prosedur bedah yang
dinamakan replantasi (Krisnamoorthy and Karthikeyan, 2011).
Saat kulit secara fisiologis mengalami degloving tetapi masih
menempel pada tubuh, kulit dapat divaskularisasi dengan anastomosis arteriarteri, arteri-vena, maupun vena-vena. Prosedur ini disebut revaskularisasi.
Jadi,

menggantikan

kulit

yang

mengalami

degloving

dan

memvaskularisasinya dengan anastomosis mikrovaskuler mengembalikan

kulit dan jaringan lunak dalam kualitas dan kuantitas yang baik
(Krisnamoorthy and Karthikeyan, 2011). Namun, pilihan ini mungkin tidak
bias dilakukan pada pasien-pasien tertentu dengan alasan:
1. Kulit yang mengalami degloving hancur, atau vaskularisasi kulit sulit
diselamatkan
2. Ada kegawatan lain yang lebih mengancam jiwa, yang membutuhkan
tindakan pembedahan mayor segera
3. Ada penyakit komorbid yang menyertai, seperti usia lanjut, penyakit
jantung, ataupun diabetes mellitus yang tidak terkontrol, sehingga anestesi
yang terlalu lama dapat merugikan.
Jika replantasi atau revaskularisasi tidak memungkinkan, terkadang
bisa dengan menggunakan kulit yang mengalami degloving sebagai full
thickness graft atau thick split skin graft. Kulit dipisahkan dari jaringan lemak
dan dipasangkan di daerah degloving. Cara ini mungkin memiliki kelemahan,
yaitu strukturnya yang rapuh, sehingga mempertahankan kontak tetap baik
menjadi penting agar proses penyambungan berjalan baik. Untuk mencapai
hal ini, tekanan negative dalam bentuk suction digunakan di bawah graft dan
tekanan positif diberikan bersama dengan dressing dan kompresi. Cara ini
dapat digunakan jika tidak terdapat kerusakan struktur kulit yang mengalami
degloving. Jika cara ini tidak memungkinkan, pilihan selanjutnya adalah
amputasi (Krisnamoorthy and Karthikeyan, 2011). Berdasarkan penelitian
Bosse dkk tahun 2002, outcome pada 2 tahun yang didapat pada pasien yang
menjalani rekonstruksi dengan pasien yang mengalami amputasi adalah sama.
Tujuan Rekonstruksi (Krisnamoorthy and Karthikeyan, 2011):
1. Membuat kulit yang tipis, lentur, dan sensitif untuk mencegah kekakuan dan
pengerutan
2. Membuat jaringan yang direkonstruksi cepat sembuh, agar segera dapat
dilakukan mobilisasi

3. Membuta kulit cukup bertahan lama untuk menghadapi prosedur bedah


sekunder
4. Membuat hasil yang secara kosmetik dapat diterima
E. Konseling Pra-Pembedahan
Komunikasikan hal-hal dibawah ini kepada pasien (Krisnamoorthy and
Karthikeyan, 2011):
1. Prosedur yang telah direncanakan
2. Deksripsi detil mengenai darimana kulit yang akan diambil dan bagaimana
daerah tersebut akan ditutupi. Komplikasi yang mungkin timbul dan bagaiman
3.
4.
5.
6.

mengatasinya juga harus didiskusikan


Bekas luka yang mungkin akan terlihat
Anestesi yang digunakan beserta komplikasinya
Lama perawatan post-operasi di rumah sakit
Perkiraan waktu rekonstruksi total dan kapan bisa kembali ke rumah, kapan

bias kembali bekerja


7. Pentingnya terapi dan kebutuhan splints, mobilisasi, masase bekas luka, dan
kompresi
8. Kebutuhan prosedur sekunder multiple untuk melengkapi proses rekonstruksi

F. Perawatan Post Operasi


Defek jaringan lunak pada regio kaki biasanya memerlukan pembedahan
local atau free flap surgery jika prosedur skin graft tidak dapat dilakukan akibat
pembentukan jaringan granulasi yang minim. STSG tidak direkomendasikan pada
luka dengan ekspos struktur tulang maupun neurovaskuler, atau luka yang
melibatkan daerah yang menahan beban. Pada sebuah studi komparatif antara
dressing tradisional dengan negative pressure weight therapy (NPWT), NPWT
terbukti menurunkan angka kebutuhan free flap surgery sebesar 30%. NPWT juga
membantu

mengevakuasi

hematoma,

eksudat,

dan

pathogen

dengan

digunakannya tekanan negatif pada luka (Lee et al, 2009). NPWT juga

mempercepat penyembuhan dengan memperbaiki angiogenesis, proliferasi


endotel, integritas membrane basalis kapiler, aliran darah kapiler, dan mengurangi
edema interstisial (Cipolla et al, 2008).

DAFTAR PUSTAKA
Bosse MJ, Mackenzie EJ, Kellam JF, et.al. An analysis of outcomes of
reconstruction or amputation of leg-threatening injuries. N Eng J Med 2002;
347(24): 1924-1931
Cipolla J, Baillie DR, Steinberg SM, Martin ND, Jaik NP, Lukaszczyk JJ, Stawicki
SP. Negative pressure wound therapy: Unusual and innovative application .
OPUS 12 Scientist 2008; 2(3): 15-29
Fujiwara M, Fukamizu H. Delayed wraparound abdominal flap reconstruction for a
totally degloved hand. J Hand Surg 2008; 13:115-119

Krishnamoorty R, Karthikeyan G. Degloving injuries of the hand. Ind J Plast Surg


2011; 44(2):227-236
Kudsk KA, Sheldon GF, Walton RL. Degloving injuries of the extremities and torso.
The J Trauma 1981;21(10): 835-839
Leatherwood, DF. Emergency room treatment of the hand. U P Onl J 1997;10:40-48
Lee HJ, Kim JW, Chang WO, et al. Negative pressure wound therapy for soft tissue
injuries around the foot and ankle. J Ortho Surg Research 2009;4:1:14
Pagan M, Hunter J. Lower leg haematomas: Potential for complications in older
people. J Wound Practice Research 2011;19: 21-28
Wojcicki P, Wojtkiewicz W, Drozdowski P. Severe lower extremities degloving
injuries-medical

problems

and

treatment

results.

Polski

Przeglad

Chirurgiczny 2011;83(5): 276-282


Yorganci, K, Atli M, Kayikci, A, Kaynaroglu V. Closed degloving injury
complicated with paraplegia. Turkish J Trauma Em Surg 2002;8:118-119

Anda mungkin juga menyukai